Tinjauan Pustaka LANDASAN TEORI

commit to user 5

BAB II LANDASAN TEORI

A. Tinjauan Pustaka

1. Cuci Tangan Awal konsep mencuci tangan dengan bahan antiseptik muncul di awal abad ke-19. Pada awal tahun 1822, seorang Ahli Farmasi Perancis mendemonstrasikan larutan yang mengandung klorida pada limun atau soda yang dapat menghilangkan bau busuk mayat manusia dan dapat digunakan sebagai desinfektan dan antiseptik. Dalam tulisannya yang dipublikasikan pada tahun 1825, ahli farmasi tersebut menyatakan bahwa dokter ataupun orang yang mendatangi pasien dengan penyakit berbahaya dapat terhindar dari penyakit tersebut dengan menggosok tangannya menggunakan cairan yang menggunakan klorida tersebut Boyce dan Pittlet, 2002; Nasution, 2007. Pada tahun 1843, Holmes menyimpulkan bahwa demam purpura dipindahkan dari satu pasien ke pasien lain melalui tangan para petugas kesehatan. Dari hasil observasinya, Holmes menyimpulkan bahwa untuk mencegah terjadinya penyebaran demam purpura, dokter yang menangani persalinan wanita tidak diperkenankan ikut serta dalam pemeriksaan forensik. Jika dokter tersebut tetap ikut dalam pemeriksaan forensik, Holmes menyarankan dokter tersebut untuk mencuci tangannya dengan baik, mengganti setiap pakaiannya, dan beristirahat minimal 24 jam sebelum kembali membantu persalinan atau memeriksa pasien. Selain itu, commit to user 6 Holmes juga menyarankan jika seorang dokter menangani pasien demam, maka sebaiknya dihentikan praktiknya kurang lebih satu bulan Boyce dan Pittlet, 2002; Nasution, 2007. Observasi Holmes diikuti pula oleh Semmelweis pada tahun 1846. Semmelweis menyimpulkan bahwa wanita yang bersalin dengan dibantu mahasiswa kedokteran dan dokter di Rumah Sakit Umum Wina memiliki angka mortalitas tinggi daripada mereka yang dibantu oleh bidan. Semmelweis mencatat bahwa dokter yang pindah dari kamar autopsi ke ruang operasi obstetrik memiliki tangan yang berbau tidak sedap meskipun telah mencuci tangannya dengan sabun dan air ketika memasuki klinik obstetrik Boyce dan Pittlet, 2002; Nasution, 2007. Menurut postulat Semmelweis , demam purpura yang mempengaruhi wanita postpartum adalah akibat berbagai partikel pada kadaver yang pindah dari kamar autopsi ke ruang persalinan lewat tangan mahasiswa dan dokter. Mungkin, karena telah diketahuinya efek menghilangkan bau oleh campuran klorida. Pada Mei 1847 Semmelweis menyarankan mahasiswa kedokteran dan dokter membersihkan tangannya dengan larutan klorida bila berpindah dari satu pasien ke pasien lain. Observasi oleh Semmelweis ini kemudian menunjukkan bahwa mencuci tangan dengan bahan antiseptik dapat mengurangi transmisi penyakit berbahaya oleh petugas kesehatan lebih baik dibanding mencuci tangan dengan sabun dan air biasa. Berdasarkan hasil studi Holmes dan Semmelweis tersebut, mencuci tangan diterima sebagai cara penting dalam commit to user 7 pencegahan transmisi patogen pada fasilitas pelayanan kesehatan Boyce dan Pittlet, 2002; Nasution, 2007. Terminologi cuci tangan di bidang kedokteran diartikan sebagai kegiatan asepsis yang bertujuan mengurangi kolonisasi flora transien mikroorganisme yang sebenarnya tidak hidup normal di bagian tubuh tersebut namun tidak patogen pada individu dengan daya tahan tubuh baik. Terdapat dua bagian besar mikroorganisme yang ditemukan pada kulit, yaitu mikroorganisme yang memang normal terdapat di kulit dan mikroorganisme yang bersifat sebagai kontaminan sementara. Flora residen yang merupakan flora normal kulit mempunyai potensi patogenik yang rendah, sedangkan flora yang transien di kulit merupakan penyebab paling sering infeksi nosokomial akibat transmisi silang di rumah sakit Pittet, 2001. Mencuci tangan yang diduga terkontaminasi setelah merawat atau memegang pasien dapat dilakukan dengan menggunakan berbagai materi, di antaranya Pittet, 2001 : a. Sabun. Bahan ini dapat menyingkirkan beberapa mikroba secara mekanis. Mencuci tangan menggunakan air yang dicampur dengan sabun atau deterjen dapat membantu melepaskan debu, bakteri, protein, dan sekresi minyak dari kulit yang tidak lepas hanya dengan menggunakan air saja WHO, 2005. Mencuci tangan menggunakan air panas dengan temperatur yang nyaman di kulit terbukti lebih efektif dalam membersihkan tangan. Hal ini disebabkan kemampuan air panas dalam melarutkan berbagai substansi seperti debu, minyak, danatau commit to user 8 zat kimia, dan bukan karena kemampuan air panas yang dapat membunuh kuman. Temperatur air yang paling efektif membunuh kuman adalah sekitar 100 o C, sedangkan temperatur air paling nyaman untuk mencuci tangan adalah sekitar 45 o C WHO, 2005. b. Klorheksidine Glukonat dan Povidon Iodine. Kulit manusia normalnya mengandung sel-sel mati, keringat kering, bakteri, sekresi minyak, protein, dan debu. Sabun biasa tidak dapat membunuh patogen, akan tetapi penambahan bahan kimia antiseptik pada sabun menjadikan sabun memiliki sifat pembasmi kuman dengan tangan WHO, 2005. Bahan antiseptik, seperti klorheksidine glukonat atau povidon iodin, digunakan untuk mengeliminasi flora-flora transien melalui efek deterjen mekanik. Selain itu, zat antiseptik ini dapat tetap mempertahankan fungsi antimikrobanya pada flora lain yang kemungkinan masih tersisa. Menurut Rotter , bahan antiseptik tidak hanya menghilangkan flora transien secara mekanik namun juga secara kimiawi membunuh flora yang mengkontaminasi dan berkolonisasi dengan aktivitas residu yang lama Kesavan et al. , 1998. c. Alkohol. Alkohol memiliki aktivitas paling baik dan paling cepat dalam membunuh bakteri dari semua jenis antiseptik. Bahan ini juga dipilih untuk hand-rubbing dan biasa disebut desinfektan-tangan- tanpa-air waterless hand desinfection . Menggosok tangan dengan alkohol baik sebagai upaya desinfeksi tangan karena alkohol memilih spektrum antimikroba yang optimal aktif melawan semua bakteri, virus, dan jamur, tidak membutuhkan wastafel atau tempat khusus commit to user 9 untuk menggunakannya, ketersediaannya mudah, dan kerjanya cepat Pittet, 2001. Cuci tangan memiliki banyak manfaat antara lain: a. Mencegah Infeksi Nosokomial Cuci tangan bagi tenaga kesehatan yang bekerja di rumah sakit merupakan salah satu langkah preventif untuk mencegah infeksi nosokomial. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Grayson et a.l 2009, mencuci tangan dengan menggunakan sabun maupun dengan menggunakan pencuci tangan berbasis alkohol efektif dalam mengurangi konsentrasi virus pada tangan. Dengan berkurangnya konsentrasi viral pada tangan, transmisi virus dari tenaga kesehatan kepada pasien, maupun kepada sesama tenaga kesehatan dapat dicegah. Cuci tangan juga merupakan salah satu intervensi non- farmakologis dalam mencegah penyebaran influenza Ford dan Grabenstein, 2006. b. Mencegah Penularan Penyakit Infeksi Cuci tangan merupakan cara efektif dan sederhana sebagai upaya pencegahan penularan penyakit infeksi. Hal tersebut disebabkan cuci tangan dapat mencegah seseorang terpajan dengan mikroorganisme penyebab penyakit infeksi. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Sandora , seorang dokter di Divisi Penyakit Menular pada Rumah Sakit Anak Boston, menunjukkan bahwa jumlah kasus diare turun hingga 59 persen setelah anak-anak di rumah sakit tersebut mencuci tangan dengan menggunakan cairan antiseptik Barclay dan Lie, 2008. commit to user 10 c. Mengurangi Jumlah Flora Transien di Tangan Berdasarkan penelitian, pemakaian 3 jenis pencuci tangan berbasis alkohol gel etanol 61.5; etanol 70 ditambah larutan chlorhexidine 0.5; isopropanol 70 ditambah larutan chlorhexidine 0.5 serta mencuci tangan dengan air dan sabun efektif dalam mengurangi konsentrasi viral pada tangan pada para medis di suatu rumah sakit Grayson, 2009. 2. Tahap Cuci Tangan Agar tujuan cuci tangan dapat tercapai diperlukan metode cuci tangan yang sempurna. Tahap-tahap yang perlu dilakukan adalah sebagai berikut Sherertz dan Sarubbi, 1983; Anonim, 2009 : a. Tangan dibasuh dengan air hangat yang mengalir dan menggunakan sabun sebaiknya sabun cair. b. Melakukan tahap-tahap pembasuhan tangan sebagai berikut: Gambar-1: Urutan dan Cara Mencuci Tangan yang Benar Anonim, 2009 1 Telapak tangan ke telapak tangan palm to palm . 2 Telapak tangan kanan membasuh bagian punggung tangan kiri, dan sebaliknya palm to back . commit to user 11 3 Telapak tangan ke telapak tangan, jari-jari saling menyilang untuk menggosok sela jari finger webs . 4 Mempertemukan kuku-kuku kedua tangan dan saling menggosok. 5 Menggosok dengan gerakan memutar ibu jari kanan dengan telapak tangan kiri. 6 Menggosok telapak tangan kiri dengan gerakan memutar ke depan ke belakang menggunakan jari-jari kanan, dan sebaliknya. commit to user 12 c. Tangan kemudian dibilas dengan air hangat yang mengalir untuk membersihkan sisa sabun. d. Tangan dikeringkan dengan seksama. Selain itu terdapat hal-hal yang penting dilakukan untuk lebih menyempurnakan cuci tangan, yaitu Anonim, 2009; Wilkinson dan Van Leuven, 2007 : 1 Mengangkat lengan baju. 2 Melepaskan perhiasan yang dipakai. 3 Melepaskan jam tangan. 4 Menghindari air memercik ke pakaian. 5 Menghindari memegang wastafel. 6 Menuangkan 3-5 mL sabun cair. 7 Menggosokkan sabun ke seluruh permukaan tangan. 8 Menggosok tangan selama minimal 15 detik. 9 Menyabuni seluruh permukaan tangan dan jari-jari. 10 Membersihkan kuku, bila kuku kotor. 11 Membilas tangan dengan air dan menjaga tangan tetap lebih rendah dari lengan bawah. 12 Mengeringkan tangan dengan kain atau tisu kering mulai dari jari ke lengan. 13 Mematikan keran dengan tisuhanduk. 14 Mengoleskan losion tangan atau pelindung kulit lain. commit to user 13 3. Hubungan Tahap Cuci Tangan dengan Jenis Kelamin Jenis kelamin dapat mempengaruhi tahap cuci tangan seseorang. Antara laki-laki dan perempuan terdapat perbedaan kebiasaan mengenai pola hidup bersih. Hal tersebut juga dapat menyebabkan tahap cuci tangan antara laki-laki dan perempuan dapat berbeda. Dalam sebuah penelitian yang dilakukan di tujuh kota di Korea Selatan dengan 2800 responden yang diobservasi, Jeong , et al. 2007 menemukan bahwa 63,4 responden mencuci tangannya setelah menggunakan kamar mandi umum. Salah satu faktor signifikan yang terkait dengan peningkatan tingkat cuci tangan adalah jenis kelamin wanita. Penelitian lain oleh Johnson, et al. berteori bahwa tingginya angka cuci tangan pada wanita dibanding pria dipengaruhi oleh perilaku penglihatan. Pada penelitian ini, Johnson , et al. 2003 memasang tanda peringatan yang mengingatkan orang untuk mencuci tangannya di kamar mandi umum. Observasi terhadap 175 individu 95 wanita dan 80 pria menyatakan bahwa 61 wanita dan 37 pria mencuci tangannya, tanpa adanya tanpa peringatan. Sedangkan 97 wanita dan 35 pria mencuci tangannya pada keadaan ada tanda peringatan. Pada kelompok pekerja medis, perbedaan ini juga diteliti oleh Van de Mortel , et al. 2001 di dalam Critical Care Unit CCU sebuah institusi pendidikan kedokteran dan keperawatan di Australia. Di mana mereka menemukan bahwa staf CCU wanita secara signifikan mencuci tangan mereka lebih sering dibanding staf pria setelah kontak dengan pasien, dengan nilai p = 0.0001. Dalam penelitian tersebut disimpulkan commit to user 14 bahwa faktor jenis kelamin mempengaruhi tingkat cuci tangan, meskipun angka ini dapat berubah pada grup profesi tertentu. 4. Hubungan Tahap Cuci Tangan dengan Pendidikan Pendidikan juga dapat mempengaruhi tahap cuci tangan seseorang. Hal tersebut sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Larson, et al. , mengenai implementasi dari program intervensi edukasi feedback pada pasien di Intensive Care Unit ICU dan ICU bedah. Dari penelitian tersebut diperoleh setelah dilaksanakannya program pendidikan, kepatuhan dan cara mencuci tangan dengan benar berubah sedikit; ICU 14 sebelum dan 25 sesudah; ICU bedah 6 sebelum dan 13 sesudah Larson et al., 1997; Littet et al., 1999; Voss et al., 1997. 5. Hubungan Tahap Cuci Tangan dengan Kesibukan Organisasi Organisasi kampus juga merupakan faktor yang dapat mempengaruhi cuci tangan terutama pada mahasiswa kedokteran. Hal tersebut disebabkan organisasi kampus dapat menjadi wadah promosi kesehatan khususnya cuci tangan. Hal tersebut tergantung pada jenis organisasi yang diikuti. Namun, organisasi kampus ternyata dapat mengurangi waktu cuci tangan. Hal tersebut berbanding terbalik dengan jumlah organisasi yang diikuti Notoatmodjo, 2003. Berdasarkan penelitian yang dilakukan di Universitas Newscastle, Inggris, dengan 300 sampel yang terdiri dari 150 sampel sibuk ≥4 organisasi kampus yang diikuti dan 150 sampel tidak sibuk 4 organisasi commit to user 15 kampus yang diiikuti, ternyata sebesar 26 yang mencuci tangan benar pada sampel sibuk dan 67 pada sampel tidak sibuk Tones dan Tilford, 2001; WHO 2005. 6. Hubungan antara Tahap Cuci Tangan dengan jumlah sumber informasi Sumber informasi dapat mempengaruhi tahap cuci tangan seseorang. Hal tersebut disebabkan karena sumber informasi tertentu dapat mempengaruhi sikap dan perilaku seseorang untuk cuci tangan dengan benar. Salah satu sumber informasi yang dapat meningkatkan tingkat kepatuhan cuci tangan adalah orang tua. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Catalina Lopez, et al. kepada anak-anak yang berumur 13,4 tahun dengan jumlah sampel 645, menunjukkan bahwa anak-anak mencuci tangan setelah mendapat informasi dari orang tua sebesar 88,5, dari sekolah 66,7, dari media 56,8. Selain itu, siswa yang mendapat informasi dari orang tua cenderung dua kali lebih benar dalam mencuci tangan dibandingkan dengan yang tidak mendapat informasi dari orang tua Nutbeam, 1998. 7. Perilaku Kesehatan Perilaku adalah respon individu terhadap suatu stimulus atau suatu tindakan yang dapat diamati dan mempunyai frekuensi spesifik, durasi dan tujuan baik disadari maupun tidak. Perilaku merupakan kumpulan berbagai faktor yang saling berinteraksi. Sering tidak disadari bahwa interaksi tersebut amat kompleks sehingga petugas kesehatan tidak sempat commit to user 16 memikirkan penyebab seseorang menerapkan perilaku tertentu. Karena itu amat penting bagi seorang petugas kesehatan untuk dapat menelaah alasan di balik perilaku individu sebelum mampu mengubah perilaku tersebut. Hal yang paling penting dalam mewujudkan perilaku kesehatan adalah masalah pembentukan dan proses perubahan perilaku. Karena perubahan perilaku merupakan tujuan pendidikan atau penyuluhan kesehatan dan juga sebagai penunjang program-program kesehatan yang lain Notoatmodjo, 2001. Terdapat berbagai macam teori yang menjelaskan tentang perubahan perilaku seseorang terhadap suatu perilaku kesehatan. Dalam teori perilaku individu, terdapat beberapa teori dasar yang mencoba menerangkan konsep perilaku dan hal-hal yang menyebabkan seseorang melakukan tindakan tersebut. Teori tersebut adalah The Health Field Concept, Health Belief Model HBM , Theory of Reasoned Action TRA dan teori perilaku berencana Theory of Planned Behavior Notoatmodjo, 2001. Selain itu juga masih ada beberapa teori perilaku yang juga penting dalam upaya menerangkan perilaku individu. 8. Theory of Planned Behavior Tones dan Tilford, 2001 Pada teori health action model dikembangkan untuk menjelaskan secara menyeluruh faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku seseorang untuk hidup sehat. Terdapat dua bagian utama dari teori ini yaitu berperan dalam keinginan individu untuk bertindak atau disebut juga behavioural intention ; yang terdiri dari tiga komponen yang saling berinteraksi yaitu: commit to user 17 kognitif, afektif, dan normatif. Bagian utama yang kedua lebih difokuskan pada factor-faktor yang menentukan sebuah keinginan untuk diwujudkan. Theory of Planned Behavior PBT merupakan pengembangan lebih lanjut dari theory of reasoned action . Ajzen 1988 menambahkan konstruk yang belum ada dalam TRA, yaitu tekad dan kemauan diri untuk berperilaku sehat atau kontrol perilaku yang dipersepsi perceived behavioral control . Konstruk ini ditambahkan dalam upaya memahami keterbatasan yang dimiliki individu dalam rangka melakukan perilaku tertentu Chau dan Hu, 2002. Dengan kata lain, dilakukan atau tidak dilakukannya suatu perilaku tidak hanya ditentukan oleh sikap dan norma subjektif semata, tetapi Behavioral juga persepsi individu terhadap kontrol yang dapat dilakukannya yang bersumber pada keyakinannya terhadap kontrol tersebut control beliefs . Secara lebih lengkap Ajzen 2005 menambahkan factor latar belakang individu ke dalam PBT. Model teoritik dari PBT mengandung berbagai variabel yaitu : a. Latar belakang background factors , seperti usia, jenis kelamin, suku, status sosial ekonomi, suasana hati, sifat kepribadian, dan pengetahuan mempengaruhi sikap dan perilaku individu terhadap sesuatu hal. Faktor latar belakang pada dasarnya adalah sifat yang hadir di dalam diri seseorang, yang dalam model Kurt Lewin dikategorikan ke dalam aspek O organism . Di dalam kategori ini Ajzen memasukkan tiga faktor latar belakang, yakni personal, sosial, dan informasi. Faktor personal adalah sikap umum seseorang terhadap sesuatu, sifat kepribadian personality traits , nilai hidup values , emosi, dan commit to user 18 kecerdasan yang dimilikinya. Faktor sosial antara lain adalah usia, jenis kelamin gender , etnis, pendidikan, penghasilan, dan agama. Faktor informasi adalah pengalaman, pengetahuan, dan ekspose pada media. b. Keyakinan Perilaku behavioral belief yaitu hal-hal yang diyakini oleh individu mengenai sebuah perilaku dari segi positif dan negatif, sikap terhadap perilaku atau kecenderungan untuk bereaksi secara afektif terhadap suatu perilaku, dalam bentuk suka atau tidak suka pada perilaku tersebut. c. Keyakinan Normatif normative belief , yang berkaitan langsung dengan pengaruh lingkungan yang secara tegas dikemukakan oleh Lewin dalam Field Theory . Pendapat Lewin ini digaris-bawahi juga oleh Ajzen melalui PBT. Menurut Ajzen, faktor lingkungan sosial khususnya orang-orang yang berpengaruh bagi kehidupan individu significant others dapat mempengaruhi keputusan individu. d. Norma subjektif subjective norm adalah sejauh mana seseorang memiliki motivasi untuk mengikuti pandangan orang terhadap perilaku yang akan dilakukannya normative belief . Apabila individu merasa itu adalah hak pribadinya untuk menentukan apa yang akan dilakukan, bukan ditentukan oleh orang lain di sekitarnya, maka individu akan mengabaikan pandangan orang tentang perilaku yang akan dilakukannya. Fishbein Ajzen 1975 menggunakan istilah motivation to comply untuk menggambarkan fenomena ini, yaitu commit to user 19 apakah individu mematuhi pandangan orang lain yang berpengaruh dalam hidupnya atau tidak. e. Keyakinan bahwa suatu perilaku dapat dilaksanakan control beliefs diperoleh dari berbagai hal, pertama adalah pengalaman melakukan perilaku yang sama sebelumnya atau pengalaman yang diperoleh karena melihat orang lain misalnya teman, keluarga dekat melaksanakan perilaku itu sehingga individu memiliki keyakinan bahwa dirinya akan dapat melaksanakan. Selain pengetahuan, ketrampilan, dan pengalaman, keyakinan individu mengenai suatu perilaku akan dapat dilaksanakan ditentukan juga oleh ketersediaan waktu untuk melaksanakan perilaku tersebut, tersedianya fasilitas untuk melaksanakannya, dan memiliki kemampuan untuk mengatasi setiap kesulitan yang menghambat pelaksanaan perilaku. f. Persepsi kemampuan mengontrol perceived behavioral control , yaitu keyakinan bahwa individu pernah melaksanakan atau tidak pernah melaksanakan perilaku tertentu, individu memiliki fasilitas dan waktu untuk melakukan perilaku itu, kemudian individu melakukan estimasi atas kemampuan dirinya apakah individu memiliki kemampuan atau tidak memiliki kemampuan untuk melaksanakan perilaku itu. Ajzen menamakan kondisi ini dengan “persepsi kemampuan mengontrol” perceived behavioral control . Niat untuk melakukan perilaku intention adalah kecenderungan seseorang untuk memilih melakukan atau tidak melakukan sesuatu pekerjaan. Niat ini ditentukan oleh sejauh mana individu memiliki sikap positif pada perilaku tertentu, dan commit to user 20 sejauh mana kalau individu memilih untuk melakukan perilaku tertentu itu mendapatkan dukungan dari orang-orang lain yang berpengaruh dalam kehidupannya.

B. Kerangka Pemikiran