Struktur dan Keragaman Genetik Populasi Lokal Monyet Ekor Panjang (Macaca fascicularis) di Jawa Timur, Bali, dan Lombok

STRUKTUR DAN KERAGAMAN GENETIK
POPULASI LOKAL MONYET EKOR PANJANG
(Macaca fascicularis) DI JAWA TIMUR, BALI, DAN LOMBOK

I NENGAH WANDIA

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2007

PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI
DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi “Struktur dan Keragaman
Genetik Populasi Lokal Monyet Ekor Panjang (Macaca fascicularis) di Jawa
Timur, Bali, dan Lombok” adalah karya saya sendiri dengan arahan komisi
pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi
mana pun. Sumber informasi yang berasal dari atau dikutip dari karya yang
diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks
dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.


Bogor, Februari 2007

I Nengah Wandia
NRP 067030011

ABSTRAK
I NENGAH WANDIA. Struktur dan Keragaman Genetik Populasi Lokal Monyet
Ekor Panjang (Macaca fascicularis) di Jawa Timur, Bali, dan Lombok. Di bawah
bimbingan BAMBANG SURYOBROTO, SRI SUPRAPTINI MANSJOER, dan
HADI S. ALIKODRA.
Monyet ekor panjang tersebar luas di Daratan Asia Tenggara, Lempeng
Sunda, Kepulauan Filipina, dan daerah Wallacea Selatan. Di Indonesia hewan ini
diduga berasal dari Daratan Asia Tenggara dan penyebarannya di kepulauan
selatan diyakini dari barat ke timur dengan Jawa sebagai awal. Pulau Bali dan
Lombok terpisah oleh selat yang dalam sehingga menimbulkan ketidakjelasan
cara penyebaran monyet ekor panjang ke daerah sebelah timur garis Wallace.
Penelitian ini mengungkapkan struktur populasi, keragaman fenotipe kualitatif,
dan keragaman genetik populasi lokal monyet ekor panjang di Jawa Timur
(sebagai asal) serta Pulau Bali dan Lombok yang mengapit garis Wallace dengan
tujuan untuk mengetahui sejarah kehidupan yang telah dilaluinya. Penelitian

dilakukan di dua populasi lokal di Kawasan Jawa Timur, enam populasi lokal di
Pulau Bali, dan dua populasi lokal di Pulau Lombok.
Hasil penelitian menunjukkan parameter-parameter demografi bervariasi
dan monyet muda adalah anggota terbanyak di masing-masing populasi lokal.
Rasio monyet jantan dan betina dewasa beragam dengan kisaran sempit antara
1:1,7 dan 1:3,7 dengan rataan 1:2,3. Nisbah antara ukuran populasi efektif
terhadap jumlah monyet dewasa rata-rata 0,75 untuk seluruh populasi lokal. Dua
rasio ini mungkin merupakan karakter khas populasi lokal monyet ekor panjang
di Indonesia.
Secara umum, monyet ekor panjang di Jawa Timur, Bali dan Lombok
memiliki warna yang sama untuk mahkota, rambut punggung, rambut paha
lateral, dan kulit abdomen. Warna mahkota, rambut pungggung, dan rambut paha
lateral tersebut adalah kuning keemasan-kecokelatan, serta warna kulit
abdomennya kebiruan. Selain itu, seluruh monyet ekor panjang yang diobservasi
memiliki cambang transzigomatikus. Karakter jambul dan pusaran kepala, secara
umum, ditemukan di seluruh populasi lokal di Kawasan Jawa Timur, Pulau Bali,
dan Pulau Lombok. Dapat disimpulkan bahwa populasi monyet ekor panjang di
Jawa Timur, Pulau Bali, dan Pulau Lombok memiliki fenotipe yang sama.
Keragaman genetik populasi lokal dikaji menggunakan penanda DNA
mikrosatelit. Populasi lokal yang diteliti, secara umum, berada dalam

keseimbangan Hardy-Weinberg yang berarti bahwa anggotanya melakukan
perkawinan secara acak. Analisis genetik menunjukkan populasi monyet ekor
panjang di Kawasan Jawa Timur memiliki rataan heterosigositas dan rataan
jumlah alel per lokus (berturut-turut 0,653 dan 4,89) lebih tinggi daripada yang
ditemukan di Pulau Bali (0,580 dan 3,98) dan Pulau Lombok (0,481 dan 3,56).
Hasil penelitian mengindikasikan bahwa penyebaran monyet ekor panjang di
kepulauan selatan Indonesia berjalan dari barat ke timur dengan Jawa Timur
sebagai pintu penyebaran.
Kata kunci: struktur populasi, fenotipe, keragaman genetik, monyet ekor panjang

ABSTRACT
I NENGAH WANDIA. Population Structure and Genetic Variation in Local
Populations of Long Tailed Macaques (Macaca fascicularis) in East Java, Bali,
and Lombok. Under the supervision of BAMBANG SURYOBROTO, SRI
SUPRAPTINI MANSJOER, and HADI S. ALIKODRA.
The long tailed macaque is widely distributed in Mainland Southeast
Asia, Sunda Shelf, Philippine Archipelago, and southern archipelago of
Wallacea. Mainland Southeast Asia was regarded as their origin and subsequent
migration in Southern Archipelago of Indonesia was predicted from west to east
with Java as the gate. Bali and Lombok Islands are separated by deep strait which

causes uncertainty about mode of their transportation to the eastern region of
Wallace line. This study explored the population structures, the qualitative
phenotypes, and the genetic variations of long-tailed macaques in East Java
Region (as the origin) and Bali and Lombok Islands which flank Wallace line
with the aim to infer their past migration. Sampling was conducted at two local
populations in East Java Region, six in Bali Island, and two in Lombok Island.
Results showed that the parameters of demography varied and juvenile
macaques comprised the most portions in each local population. Ratios of adult
male to adult female varied in small range from 1:1.7 to 1:3.7 with an average of
1:2.3. Ratios of effective population size to total number of adult males and
females were homogeneous with an average of 0.75 across local populations. The
two ratios may be regarded as typical characters of macaque populations in
Indonesia.
In general, the macaques in East Java, Bali, and Lombok have the same
color of crown, dorsal pelage, lateral thigh pelage, and abdominal skin. The color
of the crown, the dorsal pelage, and the lateral thigh pelage was golden-yellow to
brown, and that of the abdominal skin was bluish. Furthermore, all of the long
tailed macaques observed had transzygomatic type lateral facial crest. The
characteristics of the phenotypes of crest and swirl on head were, generally, to be
found throughout the local populations. It can be concluded that the populations

of long tailed macaques in East Java Region (Java), Bali, and Lombok have the
same phenotypic characters.
The genetic variation in the local populations was examined using
microsatellite DNA markers. The populations examined, in general, were
regarded as being in Hardy-Weinberg equilibrium which means that the members
of the local populations mate randomly. The genetic assessment demonstrated
that the populations in East Java had average heterozygosity per individual and
average number of alleles per locus (0.653 and 4.89, respectively) relatively
higher than those of the populations in Bali (0.580 and 3.98) and Lombok (0.481
and 3.56). The results indicated that the migration patterns of long tailed
macaques in Southern Archipelago of Indonesia went from west to east with East
Java (Java) as the origin.
Key words: population structure, phenotype, genetic variation, long tailed
macaques

© Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2007
Hak cipta dilindungi
Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari
Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam
bentuk apa pun, baik cetak, fotokopi, mikrofilm, dan sebagainya


STRUKTUR DAN KERAGAMAN GENETIK
POPULASI LOKAL MONYET EKOR PANJANG
(Macaca fascicularis) DI JAWA TIMUR, BALI, DAN LOMBOK

I NENGAH WANDIA

Disertasi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Doktor pada
Progam Studi Primatologi

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2007

Judul Disertasi

: Struktur dan Keragaman Genetik Populasi Lokal

Monyet Ekor Panjang (Macaca fascicularis)
di Jawa Timur, Bali, dan Lombok

Nama Mahasiswa
Nomor Pokok
Program Studi

: I Nengah Wandia
: P067030011
: Primatologi (PRM)

Disetujui
Komisi Pembimbing

(Dr. Bambang Suryobroto)
Ketua

(Dr. Ir. Sri Supraptini Mansjoer)
Anggota


(Prof. Dr. Ir. Hadi S. Alikodra, MS)
Anggota

Diketahui,

Ketua Program Studi Primatologi

(Prof. Drh. Dondin Sajuthi, MST, PhD)
MS)

Tanggal ujian: 12 Februari 2007

Dekan Sekolah Pascasarjana

(Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro,

Tanggal lulus:

PRAKATA
Pertama-tama, penulis memanjatkan puji syukur kehadirat Tuhan Yang

Maha Esa karena atas perkenan-Nya disertasi yang berjudul “Struktur dan
Keragaman Genetik Populasi Lokal Monyet Ekor Panjang (Macaca fascicularis)
di Jawa Timur, Bali, dan Lombok” dapat diselesaikan.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Dr. Bambang Suryobroto, Dr.
Ir. Sri Supraptini Mansjoer, dan Prof. Dr. Ir. Hadi S. Alikodra, M.S atas semua
arahan dan bimbingan dari sebelum penelitian sampai penulisan disertasi ini.
Ucapan terima kasih juga penulis tujukan kepada Dekan FKH dan Rektor
Univesitas Udayana yang telah memberikan izin tugas belajar, Dekan Sekolah
Pascasarjana IPB dan Rektor IPB yang telah menerima penulis sebagai
mahasiswa di Sekolah Pascasarjana IPB, dan Direktur Jendral Pendidikan Tinggi
yang telah memberikan beasiswa BPPS.
Secara khusus, penulis menyampaikan apresiasi yang setinggi-tingginya
kepada Dr. Bambang Suryobroto (Kepala Laboratorum Zoologi FMIPA, IPB),
Dr. Agustin Fuentes (Notredame University), Dr. N. K. Mahardika (Direktur
Biomedik FKH-UNUD), Dr. drh. Diah Iskandariati (Kepala Laboratorium
Mikrobiologi PSSP), drh. Nengah Budiarsa (APPERI), dan drh. Aida L. Rompis
(Direktur Pusat Kajian Primata UNUD) atas bantuan fasilitas, bahan kimia, dan
finansial sehingga penelitian dapat diselesaikan sesuai yang direncanakan. Juga,
kepada drh. I Gd. Soma MKes, drh. IGA. Arta Putra, MS, Dr. drh. I Kt. Suatha,
drh. I Pt. Yasa, dan Islamul Hadi, SSi, MSi, sebagai tim inti penangkap monyet

saat penelitian lapangan, serta anggota lainnya yang tidak bisa disebutkan satu
per satu, penulis menyampaikan penghargaan atas bantuan tenaga fisik di
lapangan.
Penulis tidak lupa juga mengucapkan terima kasih kepada pengelola atau
pemangku adat di Pura Gunung Pengsong, Pura Bukit Gumang, Wanara Wana
Ubud, Sangeh, Alas kedaton, Pura Uluwatu, Pura Pulaki, dan Pura Giri Sloka
Alas Purwo. Demikian pula, kepada petugas polisisi hutan di lokasi Alas Purwo,
Baluran, dan Sangeh atas segala bantuan fisiknya, penulis mengucapkan terima
kasih yang sebesar-besarnya. Kepada staf dan teman-teman di Laboratorium
Zoologi FMIPA IPB, penulis menyampaikan penghargaan setinggi-tingginya atas
bantuan dan kerjasamanya. Akhirnya, kepada isteri dan keluarga, penulis
menyampaikan banyak terima kasih atas kesabaran dan dukungan moral serta
materialnya selama menempuh studi di IPB.
Semoga disertasi ini ada manfaatnya.

Bogor, Februari 2007
I Nengah Wandia

RIWAYAT HIDUP


I NENGAH WANDIA, anak kedua dari pasangan suami istri Ketut Singra
dan Ni Nengah Wengsi, lahir tanggal 1 Oktober 1966 di Jembrana, Bali.
Pendidikan sekolah dasar diselesaikan pada tahun1979 di SD 2 Dangintukadaya,
Negara, Jembrana. Pada tahun 1982, pendidikan menengah pertama ditamatkan
di SMP 1 Negara, dan pendidikan menengah atas diselesaikan pada tahun 1985 di
SMA 1 Negara, Jembrana. Selanjutnya, penulis mengikuti pendidikan kedokteran
hewan di Program Studi Kedokteran Hewan Universitas Udayana dan
memperolah gelar Sarjana Kedokteran Hewan (Drs. Med. Vet.) pada tahun 1989,
dan gelar Dokter Hewan diraih oleh penulis di tempat yang sama pada tahun
1991. Tahun 2001, penulis menyelesaikan pendidikan pascasarjana S2 di
Program Studi Primatologi, Sekolah Pascasarjana IPB, Bogor, dan tahun 2003
penulis melanjutkan ke jenjang pendidikan S3 di program studi yang sama.
Sejak tahun 1994 sampai sekarang penulis menjadi staf pengajar di
Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Udayana. Pada bulan Oktober 1999,
penulis mendapatkan kesempatan mengikuti pelatihan dan seminar Asian Science
Seminar on Biodiversity selama dua minggu di Primate Research Institute, Kyoto
University, Inuyama, Aichi, Jepang.
Penulis menikah dengan Ni Wayan Deani pada tanggal 19 September
1997, dan sampai saat ini telah dikaruniai dua orang putra, Yayang Putra
Dewanta dan Dewangga Putra Dewanta.

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL ……………………………………………………….

halaman
xii

DAFTAR GAMBAR ……………………………………………………

xiv

DAFTAR LAMPIRAN ………………………………………………….

xvi

PENDAHULUAN ………………………………………………………
Latar Belakang ……………………………………………………
Identifikasi Masalah ………………………………………………
Tujuan Penelitian …………………………………………………
Pemecahan Masalah ……………………………………………..
Hipotesis ………………………………………………………….
Manfaat Penelitian ………………………………………………..
TINJAUAN PUSTAKA …………………………………………………
Monyet Ekor Panjang (Macaca Fascicularis) ……………………
Reproduksi ………………………………………………………..
Morfologi …………………………………………………………
Genetika Populasi Monyet Ekor Panjang ………………………...
DNA Mikrosatelit ………………………………………………...
Amplifikasi Fragmen DNA ……………………………………..
Keragaman Genetik ………………………………………………
MATERI DAN METODE PENELITIAN ……………………………
Pendekatan Populasi ……………………………………………..
Waktu dan Lokasi Penelitian ………………………………
Koleksi dan Analisis Data …………………………………
Pendekatan Morfologi Eksternal (Fenotipe Kualitatif)…………..
Waktu dan Lokasi Penelitian ………………………………
Alat dan Bahan …………………………………………….
Koleksi dan Analisis Data Fenotipe ……………………….
Pendekatan Genetik (Mikrosatelit) ………………………………
Waktu dan Lokasi Penelitian ………………………………
Alat dan Bahan ……………………………………………..
Primer Mikrosatelit …………………………………………
Pengambilan Contoh Darah Monyet Ekor Panjang ………...
Ekstraksi dan Purifikasi DNA Total ……………………….
Amplifikasi Lokus Mikrosatelit …………………………...
Peubah Genetika Populasi ………………………………….
Analisis Data Mikrosatelit…………………………………..

1
1
4
4
4
5
6
7
7
11
11
13
14
15
16
18
18
18
18
21
21
21
21
23
23
24
24
25
25
27
28
28

ix

HASIL DAN PEMBAHASAN …………………………………………
Struktur Populasi Lokal Monyet Ekor Panjang di Kawasan Jawa
Timur, Pulau Bali, dan Pulau Lombok …………………………...
Hasil Penelitian ……………………………………………
Kelompok Sosial dan Komposisi Umur Anggota
Populasi Lokal ………………………………………..
Kepadatan Populasi Lokal…………………………….
Rasio Monyet Ekor Panjang Jantan dan Betina
Dewasa serta Ukuran Populasi Efektif ……………….
Pembahasan …………………………………………………
Simpulan ……………………………………………………
Keragaman Fenotipe Kualitatif Populasi Lokal Monyet Ekor
Panjang di Kawasan Jawa Timur, Pulau Bali, dan Pulau Lombok
Hasil Penelitian ……………………………………………
Kelas Fenotipe Kualitatif dan Sebaran Karakter………
Warna Mahkota, Rambut Punggung, Rambut Paha
Lateral, dan Kulit Abdomen …………………………..
Cambang (Crest Lateral Wajah) dan Jambul …………
Pusaran Rambut Kepala ………………………………
Analisis Korespondensi Karakter Fenotipe Kualitatif
Monyet Ekor Panjang Penelitian ……………………..
Pembahasan …………………………………………………
Warna Mahkota, Rambut Punggung, Rambut Paha
Lateral, dan Kulit Abdomen …………………………..
Cambang dan Jambul …………………………………
Pusaran Rambut Kepala Monyet Ekor Panjang……….
Kekhasan Fenotipe Populasi Lokal Monyet Ekor
Panjang ………………………………………………..
Simpulan ……………………………………………………
Struktur Genetik Populasi Lokal Monyet Ekor Panjang di
Kawasan Jawa Timur, Pulau Bali, dan Pulau Lombok……………
Hasil Penelitian ……………………………………………
Alel dan Lokus Polimorfik ……………………………
Distribusi Frekuensi Alel ……………………………..
Variasi Genetik dan Keseimbangan Hardy-Weinberg...
Deferensiasi Genetik Populasi Lokal Dalam Pulau dan
Aliran Genetik …………………………………..........
Diferensiasi Genetik Populasi Lokal Seluruh Pulau ….
Jarak Genetik Antar Populasi Lokal ………………….
Pembahasan …………………………………………………
Lokus Mikrosatelit Polimorfik dan Penyebaran Alel…
Keragaman dan Diferensiasi Genetik ………………...
Jarak Genetik Antar Populasi Lokal ………………….
Simpulan ……………………………………………………
Pembahasan Umum ………………………………………………
Struktur Populasi, Keragaman Fenotipe Kualitatif, dan
Keragaman Genetik Populsi Lokal …………………………

30
30
30
30
32
32
33
40
41
41
41
42
45
49
52
59
59
61
62
63
66
67
67
67
70
79
83
84
85
88
88
91
96
99
101
101

x

Filogeografi Monyet Ekor Panjang Jawa Timur, Bali, dan
Lombok ……………………………………………………
Spesiasi Aloptrik ……………………………………………
Keragaman Genetik Sebagai Basis Pengelolaan Populasi
Lokal Monyet Ekor Panjang ………………………………..
SIMPULAN DAN SARAN ……………………………………………..
Simpulan ………………………………………………………….
Saran ………………………………………………………………
DAFTAR PUSTAKA …………………………………………………...
LAMPIRAN ……………………………………………………………..

104
107
109
112
112
112
113
120

xi

DAFTAR TABEL

Halaman
1

Jumlah monyet ekor panjang dewasa yang diamati untuk data
fenotipe kualitatif di masing-masing populasi lokal …………...

22

Jumlah contoh darah monyet ekor panjang pada masing-masing
populasi lokasi ………………………………………………...

23

Struktur populasi, luas habitat, dan kepadatan populasi lokal
monyet ekor panjang di Jawa Timur, Pulau Bali, dan Pulau
Lombok …………………………………………………………

30

Rasio jantan dan betina dewasa serta ukuran populasi efektif
(Ne) populasi lokal monyet ekor panjang di Kawasan Jawa
Timur, Pulau Bali, dan Pulau Lombok …………………………

32

Sebaran karakter kelas fenotipe kualitatif di sepuluh populasi
lokal monyet ekor panjang…………………………………….

41

Distribusi frekuensi warna mahkota, rambut punggung, rambut
paha lateral, dan kulit abdomen monyet ekor panjang di sepuluh
populasi lokal …………………………………………………...

44

Frekuensi karakter transzigomatikus dan infrazigomatikus kelas
fenotipe jambul pipi monyet ekor panjang di sepuluh populasi
lokal…………………………………………………………….

46

Frekuensi karakter tengah/tegak, kiri/ke kiri, kiri/tegak, dan
tanpa jambul kelas fenotipe jambul monyet ekor panjang di
sepuluh populasi lokal…………………………...........................

47

Frekuensi karakter kanan/searah, kiri/berlawanan, kanankiri/searah-berlawanan, sepan/searah, depan/berlawanan, dan
tanpa pusaran kelas fenotipe pusaran kepala monyet ekor
panjang di sepuluh populasi lokal ……...……………………….

50

10 Jumlah alel pada masing-masing lokus mikrosatelit di sepuluh
populasi lokal monyet ekor panjang ……………………………

68

11 Heterosigositas dan simpangan baku masing-masing lokus
mikrosatelit pada populasi lokal monyet ekor panjang di
Kawasan Jawa Timur, Pulau Bali, dan Pulau Lombok …………

80

12 Rataan heterosigositas (H) dan galat baku (SE) populasi lokal
monyet ekor panjang di Kawasan Jawa Timur, Pulau Bali, dan
Pulau Lombok ..............................................................................

81

13 Nilai FIT masing-masing lokus mikrosatelit pada populasi lokal
di Kawasan Jawa Timur, Pulau Bali, Pulau Lombok …………..

82

2
3

4

5
6

7

8

9

xii

14 Diferensiasi genetik (FST) dan jumlah migran efektif (Nem)
pada populasi lokal dalam Kawasan Jawa Timur, Pulau Bali,
dan Pulau Lombok ……………………………………………..

84

15 Jarak genetik standar Nei (DS) antar populasi lokal monyet ekor
panjang ………………………………………………………….

86

16 Rataan jarak genetik standar Nei (D S) antar populasi kawasan
atau pulau ………………………………………………………

86

xiii

DAFTAR GAMBAR
Halaman
1

Diagram alur kerangka pikir penelitian …………………………….

6

2

Populasi lokal monyet ekor panjang yang diteliti untuk struktur
populasi dan fenotipe kualitatif …………………………………….

18

3

Lokasi pencuplikan darah monyet ekor panjang …………………...

23

4

Komposisi monyet anak, muda, dan dewasa di masing-masing
populasi lokal monyet ekor panjang………………………………...

31

Komposisi gabungan monyet anak dan muda, betina dewasa, dan
jantan dewasa di masing-masing populasi lokal monyet ekor
panjang………………………………………………………………

31

Warna mahkota, rambut punggung, dan rambut paha lateral monyet
ekor panjang ……………………………………………………….

43

7

Warna kulit adomen monyet ekor panjang …………………………

45

8

Cambang (A) dan jambul (B) monyet ekor panjang ……………….

46

9

Sebaran frekuensi jenis (posisi dan kecondongan) jambul monyet
ekor panjang di seluruh populasi lokal ……………………………..

48

10 Pusaran kepala pada monyet ekor panjang …………………………

49

11 Proyeksi karakter fenotipe monyet ekor panjang pada sumbu F1
dan F2 analisis korespondensi berganda …………………………..

54

12 Proyeksi karakter fenotipe monyet ekor panjang, jenis kelamin, dan
populasi lokal pada sumbu F1 dan F2 analisis korespondensi
berganda ……………………………………………………………

56

13 Proyeksi karakter fenotipe monyet ekor panjang, jenis kelamin, dan
populasi lokal pada sumbu F1 dan F3 analisis korespondensi
berganda ……………………………………………………………

58

14 Alel lokus D1S533 …………………………………………………

67

15 Rataan jumlah alel seluruh populasi lokal di dalam Kawasan Jawa
Timur, Pulau Bali, dan Pulau Lombok ……………………………..

69

16 Rataan alel per lokus seluruh populasi lokal di dalam Kawasan
Jawa Timur, Pulau Bali, dan Pulau Lombok ……………………….

69

5

6

xiv

17 Distribusi frekuensi alel lokus D1S533 di sepuluh populasi lokal
monyet ekor panjang ……………………………………………….

70

18 Distribusi frekuensi alel lokus D1S548 di sepuluh populasi lokal
monyet ekor panjang ………………………………………………

71

19 Distribusi frekuensi alel lokus D1S550 di sepuluh populasi lokal
monyet ekor panjang ………………………………………………..

72

20 Distribusi frekuensi alel lokus D2S367 di sepuluh populasi lokal
monyet ekor panjang ………………………………………………

73

21 Distribusi frekuensi alel lokus D3S1768 di sepuluh populasi lokal
monyet ekor panjang ……………………………………………….

74

22 Distribusi frekuensi alel lokus D4S243 di sepuluh populasi lokal
monyet ekor panjang ……………………………………………….

75

23 Distribusi frekuensi alel lokus D4S2456 di sepuluh populasi lokal
monyet ekor panjang ………………………………………………

77

24 Distribusi frekuensi alel lokus D5S820 di sepuluh populasi lokal
monyet ekor panjang ……………………………………………….

78

25 Distribusi frekuensi alel lokus D2S1368 di sepuluh populasi lokal
monyet ekor panjang ……………………………………………….

79

26 Rataan heterosigositas (H) seluruh populasi lokal di dalam
Kawasan Jawa Timur, Pulau Bali, dan Pulau Lombok ……………

82

27 Diferensiasi genetik populasi lokal monyet ekor panjang (F ST)
untuk seluruh kawasan atau pulau (Jawa Timur, Pulau Bali, Pulau
Lombok) ……………………………………………………………

85

28 Pengelompokan populasi lokal monyet ekor panjang berdasaran
jarak genetik standar Nei (D S) dengan metode UPGMA …………..

87

29 Skema posisi lokasi populasi lokal monyet ekor panjang ………....

87

xv

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman
1

Preparasi membran dialisis, larutan dialisis, dan urea lysis buffer….

121

2

Pewarnaan perak (silver staining) pada gel poliakrilamid 7% ……..

122

3

Rumus yang digunakan dalam analisis fenotipe dan genetik ………

123

4

Kelas fenotipe jambul monyet ekor panjang dan Uji T ………........

127

5

Kelas fenotipe pusaran kepala monyet ekor panjang dan Uji T ……

128

6

Analisis korespondensi karakter fenotipe monyet ekor panjang …...

129

7

Frekuensi alel masing-masing lokus mikrosatelit pada sepuluh
populasi lokal monyet ekor panjang ……………………………….

132

Ideks Fiksasi (FIT) lokus mikrosatelit pada masingmasingpopulasi
lokal monyet ekor panjang dan nilai ?2 …………………………….

134

Runutan nukleotida primer mikrosatelit yang digunakan untuk
penelitian ……………………………………………………………

136

10 Alel mikrosatelit yang terobservasi pada monyet ekor panjang
(Elektroforesis pada gel poliakrilamid 7% dengan pewarnaan
perak) ………………………………………………………………

137

11 Hasil survei pada masyarakat di sekitar populasi lokal ……………

139

8
9

xvi

PENDAHULUAN

Latar Belakang
Monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) tersebar luas di Daratan Asia
Tenggara, Lempeng Sunda, Kepulauan Filipina, dan daerah Wallacea Selatan .
Monyet ekor panjang di Indonesia diperkirakan berasal dari Daratan Asia
Tenggara dan bermigrasi melebihi satu juta tahun yang lalu (awal Pleistocene)
saat Daratan Asia dan Lempeng Sunda menyatu (Eudey 1980; Wheatley 1980;
Fooden 1995). Fosilnya yang ditemukan di Desa Trinil, Jawa Tengah berumur
lebih tua jika dibandingkan dengan yang ditemukan di Pulau Timor dan Pulau
Flores (Fooden 1995). Hal ini meyakinkan para ahli bahwa penyebarannya di
kepulauan selatan Indonesia berjalan dari barat ke timur dengan populasi Jawa
sebagai pusat penyebaran. Penyebarannya dari Jawa ke Bali diperkirakan melalui
migrasi langsung karena kedua pulau beberapa kali menyatu saat proses glasiasi
(pembentukan lempengan es) (Fooden 1995). Namun, cara penyebarannya ke
pulau yang berada di sebelah timur garis Wallace belum jelas.
Garis Wallace yang memisahkan fauna Indonesia menjadi Zoogeografi
Oriental dan Zoogeografi Australia (Lincoln et al. 1988), memiliki peranan
penting dalam penyebaran genus Macaca di Indonesia. Tidak ditemukannya
monyet ekor pajang di Pulau Sulawesi (Eudey 1980; Supriatna dan Wahyono
2000) membuktikan bahwa garis Wallace yang berupa laut yang dalam efektif
menghalangi penyebaran hewan ini. M. nemestrina yang melimpah di Pulau
Sumatera dan Pulau Kalimantan tidak ditemukan di Pulau Jawa, Pulau Bali, dan
Nusa Tenggara. Ketiadaannya mungkin berkaitan dengan pemisahan geografi
oleh laut yang menghalangi penyebarannya dan kepunahan lokal (Eudey 1980;
Groves 1980; Froehlich et al. 1996). Tujuh spesies monyet Sulawesi (Fooden
1969) mempunyai kesamaan nenek moyang dengan M. nemestrina (Fooden
1969; Hoelzer dan Melnick 1996). Pulau Sulawesi tidak pernah bersatu dengan
Lempeng Sunda semenjak 50 juta tahun yang lalu (Hall 2001), sehingga nenek
moyang monyet Sulawesi harus menyeberangi laut untuk sampai ke sana. Di
kepulauan selatan Indonesia, garis Wallace memisahkan Pulau Bali dengan Pulau
Lombok (Michaux 1991; Cox dan Moore 2000), bahkan pada saat glasiasi

2
maksimum yang terakhir ( 18 ribu tahun yang lalu) (Fooden 1995). Hal ini
meniscayakan migrasi monyet ekor panjang juga menyeberangi laut sebagai cara
penyebarannya ke kepulauan sebelah timur garis Wallace.
Penelitian sebelumnya mengenai variasi genetik monyet ekor panjang di
Indonesia dengan penanda protein darah menemukan adanya ketidakselarasan
antara keragaman genetik bersanding dengan letak geografi kelompok monyet
ekor panjang Jawa, Bali, dan Lombok (Kawamoto et al. 1984). Keragaman
genetik populasi atau kelompok sosial monyet ekor panjang di Pulau Bali
seyogyanya lebih tinggi daripada yang ditemukan di Pulau Lombok sebagai
akibat dari efek founder, tetapi hasil penelitian (Kawamoto et al. 1984)
menunjukkan hal sebaliknya. Dinyatakan pula bahwa ada bantuan manusia bagi
migrasi dari Pulau Jawa langsung ke Pulau Lombok. Penelitian lebih lanjut
diperlukan untuk mendapatkan ketegasan mengenai pola migrasi monyet ekor
panjang ke kepulauan sebelah timur garis Wallace.
Struktur genetik suatu spesies mencerminkan biodiversitas pada tingkat
yang paling dasar. Struktur genetik ini tidak hanya memberikan informasi tentang
biodiversitas pada saat ini, tetapi juga menunjukkan sejarah kehidupan yang telah
dilaluinya dan kondisi mendatang yang akan dialaminya. Kemampuan
retrospektif dan prospektif ini diperoleh dengan mengetahui parameter-parameter
yang menentukan struktur genetik populasi (Nozawa et al. 1996; Hartl dan Clark
1997; Frankham et al. 2004). Oleh karena itu, data struktur genetik suatu spesies
atau populasi bukan saja dapat menerangkan sejarahnya, tetapi juga dapat
digunakan sebagai dasar pertimbangan strategi konservasinya.
Ungkapan struktur genetik pada peringkat fenotipe terlihat pada
morfologi hewan. Monyet ekor panjang yang terisolasi di berbagai pulau di
Indonesia telah diidentifikasi sebagai subspesies-subspesies yang berbeda
berdasarkan pada morfologinya. Namun, penentuan subspesiesnya terutama yang
menempati daerah Wallacea belum mendapatkan ketegasan oleh para ahli
primatotogi. Sody (1949) menempatkan monyet ekor panjang di Pulau Jawa
sebagai M. f. mordax, di Pulau Bali sebagai M. f. submordax, dan di Pulau
Lombok sebagai M. f. sublimiatus. Sementara, Supriatna dan Wahyono (2000)

3
mengelompokkan monyet ekor panjang di Pulau Jawa, Pulau Bali, dan Pulau
Lombok ke dalam M. f. fascicularis. Berkaitan dengan hal ini, variasi genetik
antar populasi juga dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan untuk
penegasan suatu klasifikasi.
Terlepas dari kisah penyebarannya, kini, sebagian besar populasi monyet
ekor panjang di suatu pulau berada dalam populasi-populasi lokal yang terpisah
satu dengan yang lain. Meskipun keberadaan menjadi beberapa populasi lokal
cukup menguntungkan seperti tidak musnah seluruhnya jika terjadi bencana alam
atau wabah penyakit di satu lokasi dan memberi insentif ekonomi tinggi pada
masyarakat sekitarnya, populasi demikian cukup rentan terhadap kehanyutan
genetik dan tekanan silang dalam (Avise 1994; Nozawa et al. 1996; Hartl dan
Clark 1997). Kehilangan keragaman genetik populasi yang berkelanjutan akan
mengancam keberadaan jangka panjang populasi lokal tersebut. Langkah-langkah
konservasi in situ sangat diperlukan untuk menghindarkan kesirnaan dari habitat
alaminya.
Demografi populasi berperan penting dalam mempertahankan keberadaan
variabilitas genetik populasi. Nasib suatu varian genetik dalam populasi sangat
ditentukan oleh peluang varian tersebut diteruskan ke generasi selanjutnya.
Peluang ini sangat berkaitan dengan ukuran populasi efektif yang besarnya
ditentukan oleh jumlah jantan dan betina dewasa serta rasionya dalam populasi
(Nozawa et al. 1996; Hartl dan Clark 1997; Li 1997). Dampak random genetic
drift akan semakin besar pada populasi dengan ukuran populasi efektif yang
semakin rendah (Hartl dan Clark 1997; Li 1997; Frankham et al. 2004).
Demografi populasi juga dapat merefleksikan kondisi struktur genetik populasi.
Kawin keluarga yang tinggi dan pemunculan alel letal dalam populasi dapat
menurunkan fitness atau daya hidup individu yang baru dilahirkan (Frankham et
al. 2004; Klug dan Cummings 2005). Efek ini selanjutnya akan menyebabkan
jumlah hewan muda lebih rendah dari jumlah yang dewasa. Oleh karena itu, data
demografi populasi dapat digunakan sebagai indikator untuk keberlangsungan
hidup populasi ke depan.

4
Berdasarkan pada informasi di atas, sangat menarik untuk meneliti cara
penyebaran monyet ekor panjang melewati garis Wallace, isolasi geografi dan
fragmentasi populasi, serta kondisi ekosistem kontemporer. Penelitian kali ini
dilakukan pada populasi lokal monyet ekor panjang yang menempati Kawasan
Jawa Timur (sebagai populasi asal) serta Pulau Bali dan Pulau Lombok yang
mengapit garis Wallace. Penelitian menyangkut demografi populasi dan
keragaman genetik populasi yang didekati melalui morfologi eksternal (fenotipe
kualitatif) dan penanda mikrosatelit (DNA).

Identifikasi Masalah
1

Belum adanya informasi struktur populasi monyet ekor panjang di Jawa
Timur, Pulau Bali, dan Pulau Lombok.

2

Kurangnya informasi keragaman genetik populasi lokal monyet ekor panjang
di Jawa Timur, Pulau Bali, dan Pulau Lombok yang didekati dengan
morfologi eksternal (fenotipe kualitatif) dan mikrosatelit (DNA inti).

Tujuan Penelitian
1

Mendapatkan kejelasan proses migrasi monyet ekor panjang di kepulauan
selatan Indonesia.

2

Mengkaji struktur populasi lokal monyet ekor panjang di Jawa Timur, Pulau
Bali, dan Pulau Lombok.

3

Mengkaji keragaman morfologi eksternal (fenotipe kualitatif) dan keragaman
genetika molekuler dengan penanda mikrosatelit populasi lokal monyet ekor
panjang di Jawa Timur, Pulau Bali, dan Pulau Lombok.

Pemecahan Masalah
Untuk mendapatkan penyelesaian terhadap masalah dan tujuan di atas,
dilakukan penelitian yang mencakup dua pendekatan yaitu pendekatan populasi
dan genetik. Pendekatan populasi meliputi data struktur populasi (demografi) di
masing-masing populasi lokal. Data lainnya seperti sikap masyarakat setempat
terhadap keberadaan monyet ekor panjang juga dikoleksi sebagai pelengkap. Data
struktur populasi lokal monyet ekor panjang dikaji mengenai dukungannya

5
terhadap keberlangsungan hidup masing-masing populasi lokal di Jawa Timur,
Bali, dan Lombok.
Keragaman

genetik

populasi

lokal

dianalisis

menggunakan

dua

pendekatan yaitu morfologi eksternal (fenotipe kualitatif) dan mikrosatelit (DNA
inti). Pendekatan fenotipe kualitatif digunakan karena keragamannya lebih
dipengaruhi oleh keragaman materi genetiknya. Meskipun fenotipe kualitatif
sangat susah diketahui pola pewarisan ke generasi berikutnya karena bersifat
multifaktorial, fenotipe kualitatif cukup baik untuk identifikasi keunikan suatu
populasi dan identifikasi subspesies. Pendekatan genetik menggunakan
mikrosatelit (DNA inti) sebagai penanda molekul. Pendekatan ini lebih
mencerminkan struktur genetik populasi karena mikrosatelit merupakan materi
genetik itu sendiri. Mikrosatelit telah digunakan secara luas sebagai penanda
molekul di berbagai studi genetika populasi karena beberapa keunggulan yang
dimilikinya

seperti

kelimpahannya

tinggi

dalam

genom

eukariot,

polimorfismenya tinggi akibat mutasi dan rekombinasi, dan amplifikasinya
mudah secara in vitro melalui polymerase chain reaction (PCR). Kejelasan
proses migrasi monyet ekor panjang di kepulauan selatan Indonesia didapatkan
melalui pengkajian kecenderungan penurunan keragaman genetik populasi dan
kecenderungan peningkatan jarak genetik populasi dari barat ke timur dengan
populasi di Jawa Timur sebagai pusat penyebaran. Secara keseluruhan, kerangka
pemikiran penelitian dituangkan ke dalam diagram alur seperti ditampilkan pada
Gambar 1.

Hipotesis
1. Struktur populasi menentukan kestabilan populasi lokal monyet ekor panjang
di setiap lokasi.
2. Karakteristik fenotipe kualitatif populasi lokal monyet ekor panjang antar
pulau berbeda.
3. Migrasi monyet ekor panjang di kepulauan selatan Indonesia dari barat ke
timur sejalan dengan kecenderungan penurunan keragaman genetik dan
peningkatan jarak genetik antar populasi pulau.

6
Manfaat Penelitian
1. Informasi yang diperoleh dapat digunakan sebagai model untuk proses
migrasi dan sejarah penyebaran mamalia.
2. Struktur dan keragaman genetik populasi dapat dijadikan bahan pertimbangan
dalam penyusunan strategi konservasi (pengawetan, pengembangan, dan
pemanfaatan) populasi lokal monyet ekor panjang di Jawa Timur, Pulau Bali,
dan Pulau Lombok.

Monyet ekor panjang

Melintasi garis
Wallace
Isolasi geografi
dan fragmentasi
Ekosistem
kontemporer

Populasi lokal
Di Jatim, Bali, Lombok

Karakteristik
demografi

Keragaman genetik
populasi lokal

Pendekatan fenotipe
kualitatif

Struktur populasi

Karakter kualitatif

Analisis

Interpretasi:
modus migrasi
Gambar 1 Diagram alur kerangka pikir penelitian.

Pendekatan
mikrosatelit

Sebaran alel
Peubah genetika
populasi

Rekomendasi
Strategi Konservasi

TINJAUAN PUSTAKA
Monyet Ekor Panjang (Macaca fascicularis)
Klasifikasi
Monyet ekor panjang termasuk kelompok monyet dunia lama (Old World
monkey) dan diklasifikasikan sebagai berikut (Napier dan Napier 1985; Swindler
1998):
Kelas : Mammalia
Ordo : Primates
Subordo : Anthropoidea
Infraordo : Catarrhini
Superfamili : Cercopithecoidea
Famili : Cercopithecidae
Subfamili: Cercopithecinae
Genus : Macaca
Spesies : Macaca fascicularis
Berdasarkan pada anatomi saluran reproduksi, Fooden (1980) membagi
genus Macaca menjadi empat grup yaitu silenus-sylvanus, sinica, fascicularis,
dan arctoides. Grup silenus-sylvanus ditandai oleh glans penis bilobus tumpul
dan lebar. Glans penis pada grup sinica lebar tetapi ujungnya lancip. Pada grup
fascicularis, glans penisnya bilobus tumpul tetapi sempit, dan pada grup
arctoides, glans penisnya memanjang dan ujungnya lancip. Anatomi saluran
reproduksi betina grup silenus-sylvanus sama dengan grup fascicularis. Kedua
grup ini memiliki serviks uterus dan kolikuli servikalis berukuran sedang atau
moderat. Sedangkan pada grup sinica, ukuran organ tersebut sangat besar.
Sementara, pada grup arctoides, kolikuli servikalis tidak ada tetapi ditemukan
organ kolikulus vestibularis. M. fascicularis dimasukkan ke dalam kelompok
fascicularis bersama-sama M. cyclopis, M. mulatta, dan M. fuscata.
Beberapa populasi monyet ekor panjang yang menempati berbagai pulau
di Indonesia, telah dinyatakan sebagai subspesies yang berbeda. Sody (1949)
melaporkan ada sebelas subspesies antara lain M. f. fascicularis (Pulau
Sumatera), M. f. mordax (Pulau Jawa), M. f. submordax (Pulau Bali), M. f.

8
sublimiatus (Pulau Lombok, Pulau Sumbawa, Pulau Flores, dan Pulau Sumba),
dan M. f. limiatus (Pulau Timor). Sementara, Supriatna dan Wahyono (2000)
melaporkan ada empat subspesies monyer ekor panjang di Indonesia yaitu M. f.
fascicularis (Sumatera, Kalimantan, Jawa, Bali, Lombok, Sumbawa, Flores,
Sumba hingga Timor), M. f. fusca (Pulau Simaleu), M. f. karimondjawai (Pulau
Karimunjawa), dan M. f. lasiae (Pulau Lasia).

Kelompok Sosial
Monyet ekor panjang hidup dalam sebuah kelompok sosial. Kelompok
sosial didefinisikan sebagai kelompok yang di antara anggotanya terjalin
komunikasi secara intensif (Jolly 1985). Kelompok sosial monyet ekor panjang
termasuk dalam multi-male group yakni dalam satu kelompok terdapat beberapa
jantan dan betina dewasa serta anak-anaknya (Napier dan Napier 1985; Mitchell
dan Erwin 1986; Williams dan Bernstein 1995). Sebuah kelompok sosial sering
terbagi menjadi beberapa subkelompok (Rowe 1996).
Adanya lebih dari satu jantan dewasa dalam sebuah kelompok sosial
sering menimbulkan ketegangan di antara jantan sekelompok. Keadaan ini
menimbulkan hirarki dominansi pada jantan dalam kelompok tersebut. Perilaku
sosial anggota kelompok sangat dipengaruhi oleh hirarki dominansi.

Secara

umum, hirarki dominansi tertinggi diduduki oleh jantan dewasa (alpha male)
(Swindler 1998).
Secara kolektif, monyet betina berperan penting dalam kehidupan sosial
meskipun secara individual merupakan subordinat dari monyet jantan. Monyet
ekor panjang bersifat matrilinial. Monyet betina membentuk inti permanen dari
kelompok sosial karena tetap tinggal pada kelompok kelahirannya. Monyet jantan
yang lahir sering bermigrasi ke kelompok sosial lainnya (Napier dan Napier
1985; Mitchell dan Erwin 1986).
Sebuah kelompok sosial monyet akan menempati areal dengan luasan
tertentu. Daerah jelajah (home range), tempat sebuah kelompok melakukan
aktivitas, sering tumpang tindih dengan daerah jelajah kelompok lainnya. Di
dalam daerah jelajah ditemukan daerah pusat (core area) yang menjadi pusat
aktivitas kelompok seperti makan dan tidur. Selain itu, di dalam daerah jelajah

9
ditemukan daerah teritori. Daerah ini akan dicegah terhadap masuknya anggota
kelompok lain (Jolly 1985; Napier dan Napier 1985).

Pakan
Monyet ekor panjang melakukan aktivitas di siang hari (diurnal).
Sebagian besar aktivitasnya dilakukan di atas tanah (terrestrial), dan sebagian
lagi pada pohon (arboreal). Monyet ini memiliki kantong pipi sebagai tempat
penyimpanan makanan untuk sementara (Napier dan Napier 1985). Primata ini
termasuk hewan frugivora (makanan utama buah-buahan) sampai omnivora.
Selain buah-buahan, jenis pakan lainnya berupa serangga, bunga rumput, jamur,
kepiting, moluska, akar, biji, dan telor (Wheately 1980, 1989).

Penyebaran dan Habitat
Monyet ekor panjang tersebar luas dari 20 o Lintang Utara sampai 10o
Lintang Selatan dan 92o Bujur Timur sampai 128o Bujur Timur (Wheatley 1980).
Monyet ekor panjang Indonesia diperkirakan berasal dari Daratan Asia Tenggara.
Penyebarannya terjadi lebih dari satu juta tahun yang lalu (awal Pleistocene) saat
Daratan Asia Tenggara menyatu dengan Lempeng Sunda akibat pembentukan
lempengan es (glasiasi) dan penurunan permukaan air laut (Fooden 1995).
Selanjutnya, penyebaran dan isolasi monyet ini di Kepulauan Sunda dimulai
sejak 20 ribu tahun yang lalu selama proses glasiasi terakhir (Eudey 1980).
Di Indonesia, fosil monyet ekor panjang tertua ditemukan di Desa Trinil
(daerah di bagian timur Jawa Tengah) dengan umur mendekati satu juta tahun
yang lalu (Fooden 1995). Fosil monyet ekor panjang juga ditemukan di Pulau
Timor dengan umur lebih kurang 4.500 tahun dan Pulau Flores dengan umur
lebih kurang 3.500 tahun. Para ahli meyakini bahwa penyebaran monyet ekor
panjang di Indonesia dimulai dari barat (Pulau Jawa sebagai daerah asal) ke timur
(Eudey 1980; Fooden 1995).
Penyebaran monyet ekor panjang dari Jawa ke Bali diperkirakan melalui
migrasi langsung. Pulau Bali telah beberapa kali menyatu dengan Pulau Jawa
bersamaan dengan siklus glasiasi, dan menyatu kembali saat glasiasi maksimum
terakhir (lebih kurang 18 ribu tahun yang lalu). Migrasi monyet diperkirakan saat

10
Pulau Bali menyatu dengan Pulau Jawa, dan mengalami pemisahan serta isolasi
sejak sebelum 5 ribu tahun yang lalu akibat peningkatan permukaan air laut
(pembentukan Selat Bali, Fooden 1995).
Proses penyebaran genus Macaca ini ke pulau bagian timur garis Wallace
seperti Pulau Lombok dan Sumbawa tampaknya belum jelas. Berbeda dengan
Pulau Bali yang dipisahkan oleh selat dangkal (Selat Bali) dari Pulau Jawa, Pulau
Lombok dipisahkan oleh selat yang dalam dan lebar (Selat Lombok) dari Pulau
Bali. Saat glasiasi maksimum terakhir (±18 ribu tahun yang lalu) Pulau Lombok
menyatu dengan Pulau Sumbawa dan Moyo tetapi tetap terpisah dengan Pulau
Bali. Selanjutnya, Pulau Lombok, Sumbawa, dan Moyo terpisah bersamaan
dengan peningkatan permukaan air laut sejak sebelum 5 ribu tahun yang lalu
(Fooden 1995). Beberapa hipotesis telah dimunculkan untuk menerangkan hal
tersebut seperti penyebaran melalui migrasi saat pulau-pulau tersebut menyatu,
melalui berenang dan rafting antar pulau, dan introduksi manusia (Fooden 1995).
Indikasi bahwa keberadaannya di kawasan timur garis Wallace akibat introduksi
manusia tampak sejalan dengan hipotesis yang dilansir oleh Kawamoto dan
Suryobroto (1985).
Monyet ekor panjang dapat hidup di berbagai pulau dan habitat. Monyet
ekor panjang tersebar di kepulauan Sunda dan Filipina serta daratan Asia
Tenggara (Zapler 1972; Suryobroto et al. 1995). Di Indonesia, monyet ini
ditemukan di Sumatera, kepulauan Lingga dan Riau, Bangka, Belitung,
kepulauan Tambelan, kepulauan Natuna, Nias, Jawa, Bali, Mantasari, Bawean,
Maratua, Lombok, Sumba, dan Sumbawa (Wheatley 1989; Santosa 1996;
Suaryana et al. 2000). Monyet ekor panjang banyak dijumpai di daerah tepian
sungai, tepian danau, sepanjang pantai, dan hutan sekunder. Selain itu, monyet
ekor panjang juga dapat menempati rawa mangrove (Santosa 1996). Kemampuan
monyet ekor panjang dapat hidup di habitat asli dan habitat-habitat lainnya terkait
dengan kelenturan adaptasi yang tinggi terhadap lingkungan dan iklim yang
berbeda (Napier dan Napier 1985).

11
Reproduksi
Kematangan seksual dimulai siapnya individu untuk bereproduksi baik
secara fisik maupun mental. Kematangan seksual monyet ekor panjang jantan
pada umur 51,6 bulan (Rowe 1996). Kematangan seksual jantan ditandai oleh
volume testis yang lebih besar dari 20 cm3. Meskipun monyet jantan
memproduksi sperma yang cukup banyak pada umur 3,5 tahun, monyet tersebut
belum dinyatakan dewasa secara sosial. Selain itu, monyet ini tidak memberikan
kontribusi yang nyata untuk perkawinan sampai 2-3 tahun kemudian (Hendrickx
dan Dukelow 1995). M. fascicularis betina mengalami pubertas pada umur 2-3
tahun. Pubertas ditandai oleh kejadian menstruasi pertama (menarche). Siklus
menstruasi berkisar 28-32 hari dan ovulasi terjadi pada hari ke 12 sampai hari ke
15 (Hendrickx dan Dukelow 1995). Kematangan seksual monyet ekor panjang
betina pada umur 50,4 bulan, dan lama kebuntingan berkisar antara 160–170 hari.
Umur melahirkan pertama umumnya 46 bulan, dan interval kelahiran antara 12–
24 bulan (Rowe 1996). Secara umum, monyet ini melahirkan satu anak.
Penyapihan anak dilakukan pada umur 12-18 bulan (Hendrickx dan Dukelow
1995).
Dalam multi male group, ada kompetisi antar jantan untuk mengawini
betina. Pembentukan ikatan sementara antara seekor betina siap kawin dengan
seekor jantan dapat menurunkan intensitas perkelahian antar jantan. Ikatan ini
dapat terjadi selama satu periode siap kawin. Selama periode ini, jantan tersebut
akan selalu dekat dan mengawasi betina pasangannya (Napier dan Napier 1985).
Betina siap kawin menunjukkan pembengkakan dan perubahan warna
kulit di sekitar alat kelamin luar. Pembengkakan dan perubahan warna menjadi
kemerahan dikarenakan oleh pengaruh hormon estrogen dalam darah.
Pembengkakan maksimum terjadi saat ovulasi dan setelahnya mengalami
penurunan (Zappler 1972).

Morfologi
Monyet ekor panjang adalah satwa primata yang berjalan dengan empat
kaki (quadrupedalism), memiliki ekor yang lebih panjang dari panjang kepala
dan badan, serta memiliki bantalan duduk (ischial callosity) yang melekat pada

12
tulang duduk (ischium) (Napier dan Napier 1985). Monyet ini memiliki warna
rambut bervariasi dari coklat kekuningan atau abu-abu sampai coklat gelap.
Warna rambut di bagian ventral tubuh lebih pucat. Rambut di atas mahkota
kepala tumbuh kearah belakang yang sering berbentuk jambul (crest) yang lancip
(Groves 2001). Monyet ekor panjang memiliki cambang (crest di lateral wajah)
bertipe tranzigomatikus atau infrazigomatikus (Fooden 1995). Monyet ekor
panjang jantan dewasa memiliki kumis, sedangkan pada betina yang dewasa
ditemukan jenggot. Anak yang baru lahir berambut hitam dan wajahnya berambut
tipis. Warna kulit wajahnya abu-abu gelap dengan kulit kelopak mata bagian
medial lebih pucat (Chiarelli 1972; Rowe 1996).
Monyet ekor panjang menunjukkan perbedaan ukuran antara jantan dan
betina (sexual dimorphism). Bobot tubuh monyet ekor panjang jantan 4,7-8,3 kg
dan yang betina 2,5-5,7 kg. Panjang kepala dan badan jantan berkisar 412-648
mm dan betina berkisar 385-503 mm. Panjang ekor monyet jantan 435-655 mm
dan betina 400-550 mm. Indeks intermembral 93 (Rowe 1996).
Jumlah gigi permanen genus Macaca 32 buah (2I – 1C – 2PM – 3M/2I –
1C - 2PM – 3M). Gigi seri atas agak lebar terutama gigi seri pertama, sedangkan
gigi seri kedua lebih kecil dan sering lancip. Gigi seri bawah kedua lebih lebar
dari gigi seri bawah pertama. Gigi taring atas berukuran panjang baik pada jantan
maupun betina, tetapi yang jantan lebih panjang dari yang betina. Gigi taring
bawah lebih pendek dari taring atas, namun tetap menonjol melebihi tepi deretan
geligi lainnya. Premolar ketiga (P3) atas memiliki satu atau dua kuspis,
sedangkan P4 umumnya memiliki tiga kuspis (Swindler 1998).
Bentuk premolar bawah bervariasi. P3 bawah memiliki sebuah kuspis
yang memanjang, sedangkan P4 memiliki dua sampai empat kuspis. Molar atau
geraham Macaca adalah bilophodont. Pada masing-masing molar terdapat empat
kuspis (dua cuspis buccalis dan dua cuspis lingualis yang dihubungkan oleh
crista enamel transversus). Geraham bawah ketiga (M3) memiliki kuspis
tambahan, cuspis hypoconulid (Swindler 1998).

13
Genetika Populasi Monyet Ekor Panjang
Genus Macaca memiliki jumlah kromosom 2N=42 buah. Tipe
kromosomnya meliputi

metasentrik, submetasentrik, dan akrosentrik (Marks

1994 dalam Swindler 1998).
Distribusi varian atau alel genetik populasi monyet ekor panjang antar
pulau bervariasi. Penelitian variabilitas genetik monyet ekor panjang di Indonesia
menunjukkan bahwa sejumlah tiga alel plasma protease inhibitor (Pi) ditemukan
dari lima alel kodominan yang ada pada monyet Asia. Sejumlah empat alel
plasma transferrin (Tf) ditemukan pada monyet Indonesia dari lebih kurang 13
alel Tf yang terdapat pada monyet Asia. Dua alel plasma alkaline phosphatase
(Alp) ditemukan pada monyet Bali. Dari dua alel plasma thyroxin-binding
prealbumin (TBPA) yang