Dampak Pemberian Bakteri Asam Laktat Probiotik Indigenus terhadap Status Hematologi Tikus Percobaan yang Dipapar Enteropatogenik Escherichia coli (EPEC).

(1)

DAMPAK PEM INDIGENUS TER

YANG DIPAP

F

SKRIPSI

EMBERIAN BAKTERI ASAM LAKTAT P RHADAP STATUS HEMATOLOGI TIKU APAR ENTEROPATOGENIK Escherichia c

Oleh ERI SUHESTI

F24062753

2010

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

PROBIOTIK US PERCOBAAN ia coli (EPEC)


(2)

DAMPAK PEMBERIAN BAKTERI ASAM LAKTAT PROBIOTIK INDIGENUS TERHADAP STATUS HEMATOLOGI TIKUS PERCOBAAN

YANG DIPAPAR ENTEROPATOGENIK Escherichia coli (EPEC)

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat untuk mendapat gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN Pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan

Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor

Oleh : ERI SUHESTI

F24062753

2010

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(3)

Judul Skripsi : Dampak Pemberian Bakteri Asam Laktat Probiotik Indigenus terhadap Status Hematologi Tikus Percobaan yang Dipapar Enteropatogenik Escherichia coli (EPEC)

Nama : Eri Suhesti NIM : F24062753

Menyetujui : Dosen Pembimbing,

(Prof. Dr. Ir. Made Astawan, MS) NIP : 19620202.198703.1.004

Mengetahui : Ketua Departemen,

(Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc.) NIP : 19650814.199002.1.001


(4)

Eri Suhesti. F24062753. Dampak Pemberian Bakteri Asam Laktat Probiotik Indigenus terhadap Status Hematologi Tikus Percobaan yang Dipapar Enteropatogenik Escherichia coli (EPEC). Dibawah bimbingan Made Astawan.

RINGKASAN

Menurut data Badan Kesehatan Dunia (WHO, 2005), diare adalah penyebab nomor empat kematian dari seluruh penyakit di seluruh dunia. Di Indonesia, diare adalah pembunuh balita nomor dua setelah ISPA (Infeksi Saluran Pernapasan Akut). Escherichia coli merupakan bakteri yang paling banyak ditemukan sebagai bakteri penyebab diare. Budiarti (1997) menyatakan Enteropatogenik Escherichia coli (EPEC) merupakan salah satu penyebab utama diare pada anak-anak di Indonesia dengan prevalensi 55% dari jumlah anak penderita diare. Dari hasil Survey Kesehatan Rumah Tangga (SKRT, 2008), sekitar 162 ribu balita di Indonesia meninggal setiap tahun atau sekitar 460 balita setiap harinya. Oleh karena itu, diperlukan upaya pencegahan dan pengendalian penyakit diare.

Probiotik adalah zat nutrisi tambahan berupa mikroorganisme hidup yang bermanfaat bagi induk yang memakannya dengan jalan meningkatkan keseimbangan populasi mikroba usus (Fuller, 1992). Lactobacillus plantarum 2C12 dan Lactobacillus fermentum 2B4 merupakan satu jenis probiotik yang telah ditemukan oleh Arief (2008) dari daging sapi mentah yang terbukti bersifat sebagai probiotik dan mampu menghasilkan senyawa antimikroba. Senyawa antimikroba yang dihasilkan mampu menghambat pertumbuhan bakteri enteropatogenik seperti Escherichia coli enterotoksigenik, Straphylococcus aureus dan Salmonella typhimurium. Namun sifat fungsional lainnya belum diteliti, khususnya sebagai pencegah suatu penyakit gastroenteritis, misalnya diare akibat infeksi EPEC. Beberapa strain proboitik juga mampu bersifat bakterisidal terhadap bakteri patogen termasuk EPEC, yaitu dengan cara meningkatkan status imun inang yang mengkonsumsinya atau bersifat imunomodulator. Hal tersebutlah yang melatarbelakangi penelitian ini.

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menguji kemampuan bakteri asam laktat probiotik indigenus berupa Lactobacillus plantarum 2C12 dan Lactobacillus fermentum 2B4 sebagai antidiare pada tikus percobaan yang dipapar bakteri EPEC serta mengetahui dampaknya terhadap status hematologi (eritrosit, hematokrit, hemoglobin, trombosit, dan leukosit).

Tahap pertama penelitian ini meliputi persiapan kultur BAL dan EPEC. Kultur induk disegarkan kembali dalam media de Man Rogosa Sharpe Broth (MRSB) untuk BAL dan media Nutien Agar untuk EPEC. Kemudian dilakukan pengenceran agar diperoleh populasi 108 cfu/ml untuk BAL dan 106 cfu/ml untuk EPEC. Kultur stok yang telah dibuat perlu diperbaharui setiap minggu agar aktivitasnya tidak berkurang dengan cara menyimpan dalam refrigerator. Tahap penelitian selanjutnya adalah pengujian secara in vivo. Jumlah tikus yang digunakan dalam penelitian ini sebanyak 95 ekor, yang dibagi kedalam 6 kelompok perlakuan. Setiap kelompok


(5)

terdapat 15 ekor tikus dan 5 ekor tikus sisanya digunakan sebagai kelompok baseline. Masa adaptasi tikus selama 3 hari dan masa perlakuan selama 21 hari. Selama masa perlakuan, secara berkala dilakukan penghitungan jumlah konsumsi ransum dan pengukuran berat badan. Pembedahan tikus selama masa perlakuan dilakukan setiap 7 hari sekali. Darah tikus digunakan untuk analisis hematologi dengan parameter eritrosit, hematokrit, hemoglobin, trombosit, dan leukosit. Analisis hematologi dilakukan dengan menggunakan alat “Hematology Analyzer”.

Pada umumnya berat badan tikus mengalami kenaikan selama pemeliharaan. Akan tetapi, pada tikus yang diinfeksi EPEC, yaitu tikus kelompok BAL L. plantarum 2C12 + EPEC, BAL L. fermentum 2B4 + EPEC, dan kontrol positif, mengalami penurunan berat badan sejak hari ke-12 hingga ke-21. Hal ini disebabkan tikus tersebut mengalami infeksi saluran pencernaan oleh EPEC, sehingga proses penyerapan zat-zat gizi di dalam usus menjadi terganggu.

Kejadian diare pada tikus dimulai sejak satu minggu dicekok EPEC dan berlangsung secara terus-menerus. Feses tikus yang diinfeksi EPEC dengan atau tanpa pemberian BAL mengalami diare (yang ditunjukkan dengan penampakkan feses yang lebih lembek) sedangkan kelompok tikus yang tidak diberi cekok EPEC, fesesnya tidak mengalami diare (feses cukup keras). Namun Kelompok tikus yang hanya diberikan EPEC saja tanpa pemberian BAL mengalami diare yang lebih parah. Hal ini ditunjukkan oleh tingginya kadar air feses mencapai 63.95% pada hari ke-14 dan 68,92% pada hari ke-21.

Kelompok kontrol positif umumnya memiliki status hematologi yang paling rendah dibandingkan kelompok tikus lainnya kecuali pada jumlah leukosit. Jumlah eritrosit, hematokrit, hemoglobin, trombosit, dan leukosit pada kelompok kontrol positif secara berturut-turut adalah 7,07 juta/L, 39,13%, 14,5 g%, 383 ribu/L, dan 4433 sel/L. Penambahan probiotik BAL L. plantarum 2C12 atau L. fermentum 2B4 pada tikus yang diinfeksi EPEC mampu mempertahankan jumlah eritrosit, hematokrit, dan hemoglobin tikus pada jumlah yang normal. Berdasarkan penelitian ini, pemberian BAL L. plantarum 2C12 lebih efektif dalam mempertahankan jumlah eritrosit, hematokrit dan hemoglobin tikus yang diinfeksi EPEC dibandingkan penambahan BAL L. fermentum 2B4.


(6)

BIODATA PENULIS

Penulis dilahirkan di Tegal, pada tanggal 17 Agustus 1989. Penulis merupakan anak pertama dari tiga bersaudara dari pasangan keluarga H. Maskhuro, SE. dan Hj. Suci Nurhayati. Penulis menempuh pendidikan sekolah dasar selama 6 tahun (1997-2002) di SD Negeri Ngijo 3 Tasikmadu, Surakarta. Kemudian meneruskan ke sekolah menengah pertama di SMP Negeri 1 Sragi, Pekalongan selama 3 tahun (2002-2004), dan setelahnya melanjutkan studi ke SMU Negeri 1 Wiradesa, Pekalongan sejak tahun 2004-2006 . Pada tahun 2006, penulis meneruskan pendidikan ke tingkat perguruan tinggi dengan diterima sebagai mahasiswa Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI).

Selama mengikuti pendidikan di Institut Pertanian Bogor, penulis cukup aktif di berbagai organisasi kemahasiswaan. Penulis pernah menjadi pengurus aktif Forum for Scientific Studies (FORCES), Himpunan Mahasiswa Ilmu dan Teknologi Pangan (HIMITEPA), Food Processing Club (FPC), BAUR 2008, KPMDB. Penulis juga aktif di kegiatan non-akademik seperti Program Kreativitas Mahasiswa (PKM) dan PKM-AI. Pada bulan Mei 2010, penulis bersama timnya berhasil lolos menjadi finalis 3 besar lomba pangan internasional Developing Solutions for Developing Countries competition yang diadakan oleh Institute of Food Technologist Student Association di Chicago, Illinois Amerika Serikat pada tanggal 17-20 July 2010. Penulis juga pernah menjadi asisten praktikum Biologi Tingkat Persiapan Bersama (TPB) dan asisten praktikum Kimia Tingkat Persiapan Bersama (TPB).

Penulis menyelesaikan tugas akhir dengan melakukan penelitian pada tahun 2009 yang merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Teknologi Pertanian di IPB dan membuat skripsi yang berjudul “Dampak Pemberian Bakteri Asam Laktat (BAL) Probiotik Indigenus terhadap Status Hematologi Tikus Percobaan yang Dipapar Enteropatogenik Escherichia coli (EPEC)”. Penelitian ini dibimbing oleh Prof. Dr. Ir. Made Astawan, M.S.


(7)

i KATA PENGANTAR

Alhamdulillahi Robbil’alamin, puji syukur kehadirat Allah SWT karena atas segala limpahan karunia, rahmat, dan kasih sayangNya penulis dapat menye-lesaikan tugas akhir yang berjudul “Dampak Pemberian Bakteri Asam Laktat (BAL) Probiotik Indigenus terhadap Status Hematologi Tikus Percobaan yang Dipapar Enteropatogenik Escherichia coli (EPEC)”.

Dalam penyusunan tugas akhir ini penulis tidak terlepas dari dukungan dari berbagai pihak, baik secara langsung maupun tidak langsung. Oleh karena itu penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Prof. Dr. Ir. Made Astawan, M.S., selaku dosen pembimbing akademik atas pengarahan, masukan serta kesabarannya untuk membimbing penulis selama kuliah hingga penyelesaian skripsi.

2. Irma Isnafia Arief, SPt. MSi yang telah membimbing dan memberi masu-kan selama penelitian berlangsung.

3. Dr. Tutik Wresdiyati, Ph.D. dan Dr. Ir. Hj. Endang Prangdimurti, M.Si., selaku dosen penguji yang telah bersedia untuk menguji pada ujian saya. 4. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional

Republik Indonesia, yang telah memberikan dana selama penelitian ber-langsung.

5. Ayah, Ibu, Kakek, Nenek, dan adik-adikku, atas segala dukungan yang ti-dak ternilai harganya, baik secara fisik dan moril, kasih sayang, cinta yang begitu besar, dan keceriaan, serta keluarga besar yang telah memberikan semangat bagi penulis.

6. Laboratorium Kesehatan Daerah Bogor yang telah membantu menganal-isis dalam penelitian ini.

7. Seluruh dosen ITP yang banyak memberikan ilmu dan nasehat kepada pe-nulis selama berkuliah dan staf departemen yang telah banyak membantu penulis.

8. Bapak Hadi selaku laboran Laboratorium Hewan Percobaan Seafast atas bantuan dan kerjasamanya selama penelitian.


(8)

ii 9. Sahabat-sahabat terbaik yang selalu mewarnai hidup penulis selama di ITP, Della, Helen, Sadek, Laras, Henni, Yua, Ovi, Stefenus, Aan, Yogi, Idham, Riza, Iyus, Adit, Zikry.

10. Sahabat sepenelitian, Ebol, yang telah berjuang bersama dalam semangat dan keceriaan.

11. Sahabat satu bimbingan, Desong, yang mau bekerjasama dan memberi du-kungan selama ini.

12. Temen-temen ITP 43, terimakasih banyak telah menjadi sahabat dan te-men yang baik selama hampir tiga tahun.

13. Temen-temen MEGA 1, Dede, Dian, Ike, Ima, Ana, dll, yang selalu mem-berikan semangat dan mewarnai hidup yang indah selama ini.

14. Pegawai-pegawai UPT yang sangat baik dan ramah.

15. Seluruh pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu namanya atas se-mua bantuan, semangat, perhatian dan doa kepada penulis. Semoga Allah SWT membalas seluruh kebaikan kalian. Amin.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini jauh dari kesempurnaan dan masih banyak kekurangan. Oleh karena itu segala saran dan kritik yang membangun bagi penulis sangat diharapkan. Semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat untuk memperkaya ilmu pengetahuan dan informasi bagi seluruh pihak yang membu-tuhkan.

Bogor, Mei 2010


(9)

iii

DAFTAR PUSTAKA

Halaman

KATA PENGANTAR……… i

DAFTAR TABEL……….. v

DAFTAR GAMBAR………. vi

DAFTAR LAMPIRAN……….. vii

BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang……….. 1

B. Tujuan……… 3

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA A. Penelitian Pendahulu………. 4

B. Escherichia coli... 8

C. Bakteri Asam Laktat……….. . 11

D. Probiotik………... 14

E. Darah……… 16

F. Hematology Analyzer... 25

BAB III. METODOLOGI PENELITIAN A. Bahan dan Alat 1. Bahan……… 28

2. Alat……… 28

B. Metoda Penelitian 1. Tahap 1 Pembuatan Kultur…….………... 29

2. Tahap 2 Pengujian In vivo……… 29

a. Pengelolaan Hewan Percobaan……….. 29

b. Kandang dan Perlengkapan……… 30

c. Persiapan dan Pembuatan Ransum………. 30

d. Perlakuan anti- Enteropathogenik E. coli (EPEC) secara in vivo……….. 30

e. Analisis Hematologi………... 32


(10)

iv BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Pertumbuhan Berat Badan Tikus………... 34

B. Kejadian Diare pada Tikus Terinfeksi EPEC………. 35

C. Hematologi Tikus………... 37

1. Eritrosit………. 37

2. Hematokrit……….... 41

3. Hemoglobin……….. 43

4. Trombosit……….. 44

5. Leukosit……… 46

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan………. 50

B. Saran………... 51

DAFTAR PUSTAKA……….. 52


(11)

v

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 1. Morfologi Isolat Indigenus Bakteri Asam Laktat………. 4

Tabel 2. Hasil Fermentasi terhadap Beberapa Jenis Gula Sederhana……. 5

Tabel 3. Sifat Dasar Probiotik Isolat Indigenus Bakteri Asam Laktat…… 6

Tabel 4. Hasil Zona Hambat Isolat BAL terhadap EPEC………... 7

Tabel 5. Hasil Identifikasi BAL dengan uji API test……….. 7

Tabel 6. Beberapa Mikroorganisme Probiotik... 14

Tabel 7. Komposisi Ransum Standar……….. 30

Tabel 8. Kelompok tikus perlakuan... 31

Tabel 9. Kadar air Feses Tikus Pecobaan (%bb)... 36

Tabel 10. Rataan Eritrosit Tikus Percobaan pada Hari ke-7, 14 dan 21... 38

Tabel 11. Rataan Hematokrit Tikus Percobaan pada hari ke-7, 14 dan 21.... 39

Tabel 12. Rataan Hemoglobin Tikus Percobaan pada hari ke-7, 14 dan 21.. 42

Tabel 13. Rataan Trombosit Tikus Percobaan pada hari ke-7, 14 dan 21... 45


(12)

vi

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1. Skema Pembentukan Sel Darah Merah... 18

Gambar 2. Mekanisme eritropoetin dalam meningkatkan produksi eritrosit... 20

Gambar 3. Skema Perubahan protrombin menjadi trombin dan polimerasi fibrinogen membentuk benang fibrin... 24

Gambar 4. Hematology Analyzer di Labkesda, Bogor……….. 27

Gambar 5. Bagan perlakuan pada tikus percobaan……… 32

Gambar 6. Pertumbuhan berat badan tikus selama 21 hari percobaan... 34

Gambar 7. Feses tikus pada hari ke-14... 36

Gambar 8. Rataan Eritrosit Tikus (Juta/L) pada Hari ke-21 Percobaan... 38

Gambar 9. Rataan Hematokrit Tikus (%) pada Hari ke-21 Percobaan... 40

Gambar 10. Rataan Hemoglobin Tikus (g%) pada Hari ke-21 Percobaan... 43

Gambar 11. Rataan Trombosit Tikus (Ribu/L) pada Hari ke-21 Percobaan.... 45

Gambar 12. Rataan Leukosit Tikus (sel/L) pada Hari ke-21 Percobaan... 47


(13)

vii

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman Lampiran 1. Data Konsumsi Ransum Standar Tikus Kelompok A

pada Minggu ke-1 sampai Minggu ke4………... 60

Lampiran 2. Data Konsumsi Ransum Standar Tikus Kelompok B pada Minggu ke-1 sampai Minggu ke-4………. 64

Lampiran 3. Data Konsumsi Ransum Standar Tikus Kelompok C pada Minggu ke-1 sampai Minggu ke-4………. 68

Lampiran 4. Data Konsumsi Ransum Standar Tikus Kelompok D pada Minggu ke-1 sampai Minggu ke-4……….. 72

Lampiran 5. Data Konsumsi Ransum Standar Tikus Kelompok E pada Minggu ke-1 sampai Minggu ke-4………. 76

Lampiran 6. Data Konsumsi Ransum Standar Tikus Kelompok F pada Minggu ke-1 sampai Minggu ke-4………. 80

Lampiran 7. Data Berat Badan Tikus Kelompok A……… 84

Lampiran 8. Data Berat Badan Tikus Kelompok B………. 85

Lampiran 9. Data Berat Badan Tikus Kelompok C………. 86

Lampiran 10. Data Berat Badan Tikus Kelompok D………... 87

Lampiran 11. Data Berat Badan Tikus Kelompok E……… 88

Lampiran 12. Data Berat Badan Tikus Kelompok F……… 89

Lampiran 13. Hasil Pemeriksaan Hematologi………. 90

Lampiran 14. Prosedur Penggunaan Alat Hematology Analyzer……… 92

Lampiran 15. Hasil Uji Duncan Eritrosit………. 93

Lampiran 16. Hasil Uji Duncan Hematokrit……… 95

Lampiran 17. Hasil Uji Duncan Hemoglobin……….. 97

Lampiran 18. Hasil Uji Duncan Trombosit………. 99


(14)

1

BAB 1 PENDAHULUAN

A.LATAR BELAKANG

Menurut data Badan Kesehatan Dunia (WHO, 2005), Diare adalah penyebab nomor empat kematian dari seluruh penyakit di seluruh dunia. Di Indonesia, diare adalah pembunuh balita nomor dua setelah ISPA (Infeksi Saluran Pernapasan Akut). Dari hasil Survey Kesehatan Rumah Tangga (SKRT, 2008), di Indonesia sekitar 162 ribu balita meninggal setiap tahun atau sekitar 460 balita setiap harinya. Diare adalah suatu kondisi dimana seseorang buang air besar tiga kali atau lebih dalam satu hari dan tinja atau feses yang keluar berupa cairan encer atau sedikit berampas, kadang juga disertai darah atau lendir.

Berdasarkan data identifikasi bakteri patogen, Escherichia coli merupakan bakteri yang paling banyak ditemukan sebagai bakteri penyebab diare. Budiarti (1997) menyatakan pula bahwa Enteropatogenik Escherichia coli (EPEC) merupakan salah satu penyebab utama diare pada anak-anak di Indonesia dengan prevalensinya 55% dari jumlah anak penderita diare.

Kegagalan sistem pertahanan mukosa intestinal dalam produksi musin (sebagai pelumas, penghalang fisik, dan menghasilkan senyawa bakteriostatis maupun bakteriosidal sel) dan mikrovili (yang mendorong musin dan bakteri keluar dari membrane mukosa) dalam mencegah adhesi EPEC akan mengawali infeksi EPEC (Salyer dan Whitt, 1994). Kegagalan mekanisme pertahanan tubuh tersebut menyebabkan terjadinya perlekatan bakteri pada permukaan sel intestinal inang, berupa lesi attaching dan effacing yang bersifat localized addherence. Perlekatan kuat antara sel bakteri dan sel epitel inang akan mengakibatkan kerusakan pada aktin dan mikrovili sel-sel mukosa inang sehingga kemampuan mukosa untuk mengabsorbsi air hilang. Hal tersebut menyebabkan terjadinya penyakit diare (Knutton et al., 1989).

Penelitian Arief (2008) mendapatkan sepuluh BAL indigenus yang diisolasi dari daging sapi mentah yang mempunyai sifat dasar sebagai probiotik yang mampu bertahan hidup pada kondisi pH rendah dan adanya garam


(15)

2 empedu, sesuai dengan kondisi saluran pencernaan. Menurut Salminen et al. (1999), probiotik yaitu sediaan sel mikroba atau komponen dari sel mikroba yang mempunyai pengaruh menguntungkan bagi kesehataan dan kehidupan inangnya. Sebagian besar probiotik digolongkan ke dalam suatu grup organisme yang dikenal sebagai bakteri asam laktat.

Kesepuluh bakteri tersebut menghasilkan senyawa antimikroba yang menghambat pertumbuhan bakteri enteropatogenik seperti Escherichia coli enterotoksigenik, Staphylococcus aureus dan Salmonella typhimurium. Namun sifat fungsional lainnya belum diteliti, khususnya sebagai pencegah suatu penyakit gastroenteritis, misalnya diare karena infeksi EPEC. Hal yang sangat menarik lainnya adalah adanya suatu mekanisme dimana diketahui bahwa beberapa strain probiotik mampu bersifat bakterisidal terhadap bakteri patogen termasuk EPEC dengan cara meningkatkan status imun inang yang mengkonsumsinya atau berfungsi sebagai imunomodulator. Kesepuluh jenis BAL indigenus dari hasil penelitian Arief (2008) tersebut diseleksi untuk mendapatkan BAL probiotik unggul sebagai anti EPEC. Melalui uji API test diperoleh Lactobacillus plantarum 2C12 dan Lactobacillus fermentum 2B4 yang memiliki penghambatan terbaik terhadap EPEC.

Hematologi adalah cabang ilmu kedokteran yang mempelajari darah, organ pembentuk darah dan penyakitnya. Pengukuran status hematologi yang dilakukan pada penelitian ini menggunakan alat berupa ‘Hematology Analyzer’ yang berada di Labkesda, Jln. Kesehatan No. 3 Tanah Sareal, kota Bogor. Hematology analyzer merupakan alat untuk menghitung sel-sel darah. Alat ini bekerja secara otomatis, mudah dan cepat. Keuntungan lainnya dari alat ini, hasil yang diperoleh sangat akurat dengan tingkat kesalahan kurang dari satu persen serta dibutuhkan sampel yang sedikit yaitu 100 ml. Sel darah yang diukur antara lain sel darah merah (eritrosit), sel darah putih (leukosit), keping-keping darah (trombosit), kadar hemoglobin dan hematokrit.


(16)

3

B.TUJUAN

Penelitian ini dilakukan untuk menguji kemampuan bakteri asam laktat probiotik indigenus berupa Lactobacillus plantarum 2C12 dan Lactobacillus fermentum 2B4 sebagai antidiare pada tikus percobaan yang dipapar bakteri penyebab diare, yaitu Enteropatogenik Escherichia coli (EPEC) secara in vivo serta mengetahui dampaknya terhadap status hematologi dengan parameter eritrosit, hematokrit, hemoglobin, trombosit, dan leukosit.


(17)

4

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Penelitian Pendahulu

Arief et al. (2008) berhasil mengisolasi 10 isolat indigenus bakteri asam laktat yang berasal dari daging sapi mentah di beberapa pasar tradisional wilayah Bogor. Kesepuluh bakteri asam laktat tersebut diketahui mempunyai sifat sebagai probiotik dan menghasilkan senyawa antimikroba yang dapat menghambat bakteri patogen. Sifat dasar kesepuluh bakteri asam laktat dan kemampuannya sebagai probiotik dinyatakan pada Tabel 1, 2, dan 3.

Tabel 1. Morfologi Isolat Indigenus Bakteri Asam Laktat.

No Kode

Isolat

Bentuk Pertumbuhan di suhu

Pertumbuhan di NaCl

6.5%

Pertumbuhan NH3 dari

arginin

Menghasilkan gas dari glukosa

15°C 45°C

1. IA5 Batang + + + - -

2. IA32 Coccus + + + + -

3. IB1 Batang + + + - +

4. 2B1 Coccus + + + - -

5. 2B2 Batang + + + + -

6. 2B4 Batang + + + - +

7. IC4 Batang + + + + -

8. 2C2 Batang + + + - -

9. 2C12 Coccus + + + + -

10. 2D1 Batang + + + - -

Keterangan : (+) = dapat tumbuh/ menghasilkan gas dari glukosa


(18)

5 Tabel 2. Hasil Fermentasi terhadap Beberapa Jenis Gula Sederhana. No Kode

Isolat

Kemampuan memfermentasi gula Identifikasi

persuasif

ara gal glu lak mal man raf rham tre Sorb suk xyl awal*

1. IA5 - + + + + - + - - - + - Lactobacillus

sp

2. IA32 + + + + + - + - - - + - Lactococcus

lactic

3. IB1 + + + + + + d + + d + d Lactobacillus

plantarum

4. 2B1 + + + + + - + - - - + + Streptococcus

sp

5. 2B2 - + + + + - + - - - + + Lactobacillus

fermentum

6. 2B4 + + + + + - + - - - + + Lactobacillus

fermentum

7. IC4 + + + + + - + - - - + - Lactobacillus

sp

8. 2C2 + + + + + - + - - - + - Streptococcus

sp

9. 2C12 - + + + + + + d d d + d Lactobacillus

sp

10. 2D1 + + + - + - + - - - + + Lactobacillus

sp

Keterangan : *= identifikasi presumtif berdasarkan software PIB Win

(+) = dapat memfermentasi; (-) = tidak dapat memfermentasi, (d) = dubius

ara = arabinosa, gal = galaktosa, glu = glukosa, lak = laktosa, mal = maltosa, man = manitol, raf = rafinosa, rham = rhamnosa, tre = trehalosa, sorb = sorbitol, suk = sukrosa, xyl = xilosa.


(19)

6 Tabel 3. Sifat Dasar Probiotik Isolat Indigenus Bakteri Asam Laktat.

No Kode Isolat

Kemampuan menghambat mikroba patogen Kemampuan tumbuh di kondisi saluran pencernaan (in vitro)

Staphylococcus aureus ATCC

25923

Salmonella typhimurium

ATCC 14028

Escherichia coli ATCC 25922/ETEC pH lambung (2,5) pH usus (7,2) Garam empedu (bile salt) 0,5%

1. IA5 ++ ++ +++ + + +

2. IA32 ++ ++ +++ + + +

3. IB1 + ++ ++ + + +

4. 2B1 ++ ++ ++ + + +

5. 2B2 ++ ++ +++ + + +

6. 2B4 ++ +++ +++ + + +

7. IC4 ++ ++ ++ + + +

8. 2C2 ++ ++ +++ + + +

9. 2C12 ++ ++ ++ + + +

10. 2D1 ++ +++ ++ + + +

Dari kesepuluh isolat BAL probiotik kemudian dilakukan pengujian aktivitas antimikroba terhadap EPEC secara in vitro dengan menggunakan metode difusi sumur. Suspensi EPEC dengan konsentrasi 8x106 sel bakteri/ml, diambil sebanyak 1 ml kemudian di tuangkan ke dalam cawan petri steril. Selanjutnya menuangkan media Mueller Hinton Agar (MHA) yang telah disterilkan. Cawan petri diputar-putar membentuk angka delapan di atas bidang datar agar media MHA dan suspensi bakteri EPEC menjadi homogen dan diamkan sampai media menjadi keras. Setelah keras dibuat lubang sumur berdiameter 5 mm dengan menggunakan ujung pipet pasteur.

Sebanyak 50 µl supernatan bebas sel atau substrat antimikroba dituangkan ke dalam setiap lubang sumur. Seluruh cawan tersebut kemudian diinkubasi pada suhu 37°C selama 24 jam. Zona hambat yang terbentuk di sekitar sumur diamati dan diukur diameternya dengan memakai jangka sorong. Zona hambat 10 jenis isolat BAL terhadap EPEC yang dilakukan oleh Arief (2009) dapat dilihat pada Tabel 4.


(20)

7 Tabel 4. Hasil Zona Hambat Isolat BAL terhadap EPEC.

No Isolat BAL Zona Hambat terhadap EPEC (mm)

1. 2B1 5,62

2. 1A5 6,37

3. 2B2 6,59

4. 2B4 6,59

5. 1B1 7,01

6. 2D1 6,83

7. 1C4 8,73

8. 2C12 13,87

9. 2C2 7,91

10. 1A32 7,31

Pada tahapan kegiatan selanjutnya dilakukan pemilihan (seleksi) bakteri asam laktat yang akan digunakan pada tahapan penelitian secara in vivo. Penyeleksian ini berdasarkan pada kemampuan aktivitas antimikroba terhadap EPEC secara in vitro, selain itu pula dipertimbangkan genus dan spesies bakteri asam laktat yang berbeda sehingga akan dapat dilihat sifat fungsionalnya secara lebih jelas. Diperlukan pula uji konfirmasi identifikasi genus dari bakteri asam laktat tersebut yang dilakukan secara biokimiawi melalui uji API test. Hasil uji API test dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5. Hasil Identifikasi BAL dengan uji API test.

No Isolat BAL Genus dan spesies Penamaan

1.

2B1 Lactococcus sp Lactococcus sp 2B1

2.

1A5 Lactobacillus plantarum Lactobacillus plantarum 1A5

3.

2B2 Lactobacillus fermentum Lactobacillus fermentum 2B2

4.

2B4 Lactobacillus fermentum Lactobacillus fermentum 2B4

5.

1B1 Lactobacillus plantarum Lactobacillus plantarum 1B1

6.

2D1 Lactococcus sp Lactococcus sp 2D1

7.

1C4 Lactococcus sp Lactococcus sp 1C4

8.

2C12 Lactobacillus plantarum Lactobacillus plantarum 2C12 9.

2C2 Lactobacillus plantarum Lactobacillus plantarum 2C2

10.


(21)

8 Berdasarkan hasil identifikasi Arief (2009) tersebut, dapat diketahui bahwa isolat yang dapat diidentifikasi sampai tingkat spesies melalui uji API test adalah Lactobacillus fermentum dan Lactobacillus plantarum, oleh karenanya pemilihan BAL dilakukan pada kedua spesies tersebut yang memiliki penghambatan terbaik terhadap EPEC. Berdasarkan hal tersebut maka dipilih Lactobacillus plantarum 2C12 yang memiliki penghambatan terbaik terhadap EPEC, sedangkan untuk Lactobacillus fermentum, keduanya memiliki daya hambat yang sama antara 2B2 dan 2B4, namun berdasarkan karakterisasinya terhadap ketahanan garam empedu di saluran pencernaan maka dipilih Lactobacillus fermentum 2B4.

B. Escherichia coli

Escherichia coli (E. coli) adalah bakteri Gram negatif berbentuk batang, bersifat anaerobik fakultatif dan tidak berspora. Escherichia coli dapat ditumbuhkan dengan mudah pada media umum atau media khusus pada suhu 37ºC di bawah kondisi aerob. Escherichia coli dari feses, biasanya dikulturkan pada media yang hanya akan menumbuhkan bakteri dan famili Enterobacteriaceae, serta membuatnya berdiferensiasi sesuai morfologinya.

Salah satu karakter Escherichia coli terpenting adalah kemampuannya untuk berkolonisasi pada permukaan mukosa usus walaupun terdapat gerakan peristaltik usus dan kompetisi dengan flora lokal untuk mendapatkan nutrisi. Seluruh galur Escherichia coli memiliki fimbriae permukaan, namun pada Escherichia coli penyebab diare terdapat antigen fimbriae spesifik yang meningkat kemampuannya untuk membentuk koloni dan memudahkannya untuk mengadakan perlekatan pada daerah yang tidak bisa digunakan untuk kolonisasi (Acheson et al., 1992).

Escherichia coli tidak sekedar menyebabkan sindrom diare yang

berlebihan, namun juga menunjukkan adanya kekhasan epidemiologi dan gejala-gejala di antaranya : Escherichia coli dapat menyebabkan infeksi saluran kemih mulai dari asimptomatik bakteriuria sampai pada gejala urosepsis. Escherichia coli juga dapat mengakibatkan neonatal meningitis, pneumonia, cholecystitis, dan infeksi rahim (Acheson et al., 1992).


(22)

9 Nataro dan Kaper (1998) membagi penyebab diare berdasarkan patogenitasnya menjadi enam kelompok yaitu: Enteropatogenic Escherichia coli (EPEC), Enteroinvasive Escherichia coli (EIEC), Enterohaemorrhagic

Escherichia coli (EHEC), Enterotoxigenic Escherichia coli (ETEC),

Enteroaggregative Escherichia coli (EAEC), dan Diffusely Adherent Escherichia coli (DAEC).

Diare merupakan penyakit yang sering didapatkan di negara kita. Diare masih termasuk salah satu penyebab utama kematian di Indonesia yaitu sebesar 15% pada bayi dan 25% pada anak usia 1-4 tahun. Diare merupakan penyakit kedua terbanyak setelah infeksi saluran pernafasan akut dan merupakan penyebab pertama kematian di tahun 1986 (Mc Callum dalam Kolopaking, 2002).

Escherichia coli yang menyebabkan diare akut pada manusia yaitu EPEC, EIEC, dan ETEC. EPEC merupakan salah satu kategori Escherichia coli penyebab diare yang dihubungkan dengan kejadian diare pada bayi di negara-negara berkembang (Nataro dan Kaper, 1998). Kurniasih (1995) melaporkan bahwa bakteri EPEC dari penderita diare anak-anak di RSU Ciawi Bogor adalah sereotipe O55, O86, O111, dan O127. Utsonomiya et al. (1995) melaporkan bahwa 38% isolat bakteri yang diisolasi dari penderita diare di Bolivia adalah EPEC, sedangkan di Indonesia diare yang disebabkan oleh EPEC pada anak-anak adalah 55% (Murtini, 2001).

Penyakit yang disebabkan oleh EPEC sangat khas karena sebagian besar hanya terjadi pada bayi yang dicirikan dengan diare yang tidak berlendir, muntah, dan sedikit demam (Donnenberg, 1995). EPEC ditularkan melalui kontak langsung antar orang (Bower et al, 1989). Pemberian antibiotik pada diare akut seharusnya dihindari karena dapat menyebabkan kematian mikroflora usus yang bermanfaat untuk menjaga homeostasis tubuh. Antibiotik hanya diberikan pada disentri dan kholera, karena pemberian antibiotik selama kejadian diare akut merupakan resiko terjadinya diare yang berkepanjangan. Pemberian antibiotik untuk diare persisten adalah tidak efektif (Hidayat, 1997).


(23)

10

Patogenesis EPEC

Transmisi EPEC dapat terjadi melalui feses-oral, tangan yang terkontaminasi, makanan yang terkontaminasi dan serangga vektor yang terkontaminasi (Levine dan Edelman, 1984). Pada bayi, transmisi bisa melalui alas kain bayi, mainan, toples, handuk tangan, timbangan, botol susu, dan lain-lain. EPEC yang diisolasi dari debu dan aerosol diduga menjadi sumber transmisi yang potensial, baik yang dihirup secara langsung maupun tidak langsung melalui kontaminasi serangga.

Kegagalan sistem pertahanan mukosa intestinal melalui produksi musin (sebagai penghalang fisik, pelumas, menghasilkan senyawa bakteriostatik maupun bakteriosidal sel) oleh sel goblet dan sel MALT (yang memproduksi secretory LgA) serta mikrovili (yang mendorong musin dan bakteri keluar dari membran mukosa) dalam mencegah adhesi EPEC akan mengawali infeksi EPEC (Salyer dan Whitt, 1994). Kegagalan mekanisme pertahanan tubuh tersebut menyebabkan terjadinya perlekatan bakteri pada permukaan sel intestinal inang, berupa lesi attaching dan effacing yang bersifat localized addherence. Perlekatan kuat antara sel bakteri dan sel epitel inang akan merusak aktin dan mikrovili sel-sel mukosa inang yang mengakibatkan hilangnya kemampuan mukosa untuk mengabsorbsi air sehingga terjadi diare akut berair yang persisten, selain kadang-kadang disertai demam ringan dan muntah (Knutton et al., 1989).

Terdapat dua pendapat berbeda dalam menjelaskan mekanisme perlekatan EPEC pada sel intestinal inang. Berdasarkan penelitian Donnenberg dan Kaper (1992) yang menggunakan sel kultur Hep-2 menyebutkan bahwa patogenitas EPEC terjadi dalam tiga tahap: 1) Perlekatan terlokalisasi (localized addherence) yang ditandai perlekatan tidak erat yang diperantarai oleh bundle forming phillus (BFP), 2) Tranduksi sinyal yang diperantarai sekresi protein EPEC (Esc), dan 3) Pengikatan (intimate binding) yang melibatkan intimin dan tir (translocated intimin receptor).

Hicks et al. (1998) menyatakan bahwa proses patogenitas EPEC tidak hanya terjadi tiga tahap tetapi melalui empat tahap diawali oleh perlekatan tidak erat antara bakteri dengan sel inang yang diperantarai oleh adhesin bukan


(24)

11 oleh BFP, kemudian diikuti dengan sekresi protein tir dan intimin sehingga terbentuk lesi A/E dan pada EPEC yang memiliki gen bfp akan menyandikan BFP yang mengakibatkan terjadinya ekspansi tiga dimensi EPEC. Dengan demikian ada tambahan faktor virulen lain, selain yang disampaikan oleh Donnenberg dan Kaper (1992) yaitu adhesin.

C. Bakteri Asam Laktat

Bakteri asam laktat adalah bakteri yang melakukan penguraian glukosa atau karbohidrat menghasilkan asam laktat yang akan menurunkan pH serta menimbulkan rasa asam (Muchtadi, 1997). Bakteri asam laktat dapat dibedakan atas dua kelompok yaitu homofermentatif dan heterofermentatif. Bakteri yang tergolong homofermentatif misalnya Streptococcus, Pediococcus, dan beberapa spesies Lactobacillus. Bakteri asam laktat yang tergolong heterofermentatif misalnya Leuconostoc dan beberapa spesies Lactobacillus (Rahman et al., 1992).

Bakteri asam laktat dalam produk pangan memiliki peranan dalam meningkatkan keamanan pangan dengan cara menghambat pertumbuhan bakteri pembusuk dan perusak makanan yaitu bakteri Gram positif maupun Gram negatif (Hugas dan Monfort, 1997). Beberapa spesies spesifik bakteri asam laktat mempunyai kemampuan melekat pada sel mukosa dan mampu memproduksi respon imun (Salminen at al., 1999). Lactobacilli dapat menstimulir respon inang yang memiliki peranan penting dalam mekanisme pertahanan mukosa (Brassart dan Schiffrin, 2000).

1. Lactobacillus plantarum

Lactobacillus plantarum termasuk bakteri dalam filum Firmicutes, ordo

Lactobacillales, famili Lactobacillaceae, dan genus Lactobacillus.

Lactobacillus dicirikan dengan bentuk batang, biasanya panjang tetapi

terkadang hampir berbentuk bulat, umumnya dalam rantai-rantai pendek. Lactobacillus merupakan bakteri Gram positif, tidak menghasilkan spora, anaerob fakultatif, berukuran 0,6-0,8 m x 1,2-6,0 m, konfeks, opak atau sedikit transparan dan tidak berpigmen. Genus tumbuh baik pada suhu 30-40°C


(25)

12 dan tersebar luas di lingkungan terutama dalam produk pangan asal hewan dan sayuran (Holt et al., 1994), mesofilik, tidak mereduksi nitrat menjadi nitrit, melakukan aktivitas proteolitik dan lipolitik yang lemah serta bersifat antagonis terhadap mikroorganisme penyebab kerusakan makanan seperti Staphylococcus aureus, Salmonella dan Gram negatif lainnya (Jay, 2000).

Lactobacillus plantarum umumnya lebih tahan terhadap keadaan asam

dan oleh karenanya menjadi lebih banyak terdapat pada tahap terakhir dari fermentasi tipe asam laktat. Bakteri ini sering digunakan dalam fermentasi susu, sayur, dan daging khususnya sosis. Lactobacillus plantarum tampaknya yang paling banyak berperan dalam fermentasi, ini mungkin karena suhu fermentasi yang digunakan lebih tinggi dibanding bakteri fermentasi yang lainnya. Selain itu, fermentasi dari Lactobacillus plantarum merupakan homofermentatif sehingga tidak menghasilkan gas (Buckle et al., 1987).

Bakteri Lactobacillus plantarum merupakan bakteri penghasil hidrogen peroksida tertinggi dibandingkan bakteri asam laktat lainnya dan juga menghasilkan bakteriosin yang merupakan senyawa polipeptida atau protein yang bersifat bakterisidal (James et al., 1992). Lactobacillus plantarum dapat memproduksi bakteriosin yang merupakan bakterisidal bagi sel sensitif dan dapat menyebabkan kematian sel secara cepat walaupun pada konsentrasi rendah (Ray, 2000). Bakteriosin yang berasal dari Lactobacillus plantarum dapat menghambat Staphylococcus aureus dan bakteri Gram negatif (Branen, 1993).

Lactobacillus plantarum sering terdapat pada mukosa manusia, dari mulut hingga rektum, dan juga terdapat pada sistem pencernaan beberapa hewan domestik seperti anjing, babi, kuda, serangga, laba-laba dan ular. Siklus habitat Lactobacillus plantarum dapat berubah dari sistem pencernaan manusia atau hewan, melalui makanan-makanan fermentasi asam laktat dan tumbuhan, kembali ke mulut dan sistem pencernaan manusia dan hewan. Salah satu faktor penting yang memberikan kemampuan Lactobacillus plantarum dalam berpindah dari makanan ke sistem pencernaan adalah kemampuannya untuk bertahan dalam lingkungan sistem pencernaan dan mampu melekat pada mukosa (Molin, 2003).


(26)

13 Selain asam laktat yang merupakan produk utama di bawah kondisi anaerob, sejumlah asam asetat telah ditunjukkan diproduksi oleh Lactobacillus plantarum pada kondisi aerob. Sekitar sepertiga asam asetat dan dua pertiga asam laktat diproduksi oleh Lactobacillus plantarum pada kondisi aerob.

Lactobacillus plantarum tidak hanya dapat memfermentasi heksosa dan

pentosa (memproduksi masing-masing satu mol laktat, asetat, dan CO2per mol pentosa), tetapi juga memanfaatkan beberapa asam-asam organik seperti asam malat, tartarat, dan sitrat untuk memproduksi CO2 dan asam laktat atau asetat dan produksi-produksi lainnya. Organisme ini juga memiliki toleransi yang tinggi terhadap pH yang rendah dibandingkan bakteri asam laktat lainnya (Molin, 2003).

2. Lactobacillus fermentum

Lactobacillus fermentum merupakan bakteri Gram positif

heterofermentatif yang sering diasosiasikan dengan kerusakan fili atau carises. Namun, Pereira et al. (2003) menyatakan bahwa Lactobacillus fermentum secara in vitro diketahui memiliki potensi sebagai probiotik. Selain itu, bakteri ini secara in vivo diketahui tidak menimbulkan sifat yang merugikan, meningkatkan produksi SCFA, terutama propionat dan butirat. Menurut Henriksson et al. (1991) dikutip oleh Perdira et al. (2007), bakteri ini merupakan flora normal yang berada pada saluran pencernaan manusia dan mampu menempel pada usus halus.

Galur Lactobacillus ini, berdasarkan hasil penelitian Reque at al. (2000), memiliki sifat microphilic, membentuk koloni yang teramati setelah ditumbuhkan pada media padat MRS selama 24 jam berbentuk cembung dan licin. Lactobacillus fermentum berdasarkan penelitian tersebut, memiliki sifat tahan terhadap garam empedu dan memiliki aktifitas antimikroba yang memiliki efek sama dengan antibiotik saat diuji pada daging ayam (Reque at al., 2000).

Penelitian ini menggunakan Lactobacillus fermentum 2B4 yang memiliki sifat Gram positif, katalase negatif dan bersifat aerob. Menurut Nuraida et al. (2008) Lactobacillus fermentum secara in vivo dapat bertahan


(27)

14 dalam saluran pencernaan. Bakteri asam laktat tersebut juga memiliki sifat yang menguntungkan inangnya dengan meningkatkan proliferasi sel limfosit dan menurunkan jumlah patogen (E. coli, B. cereus, S. thyphimurium dan S. aureus).

D. Probiotik

Fuller (1992) mengemukakan bahwa probiotik adalah zat nutrisi tambahan berupa mikroorganisme hidup yang bermanfaat bagi induk yang memakannya dengan jalan meningkatkan keseimbangan populasi mikroba usus. Keseimbangan yang baik dalam ekosistem mikrobiota usus bisa menguntungkan kesehatan tubuh dan dapat dipengaruhi oleh konsumsi probiotik setiap hari (Lisal, 2005). Spesies mikroba yang umum digunakan sebagai probiotik adalah Lactobacillus, Bifidobacteria, Enterococcus, Saccharomyces, dan Lactococcus (Gibson, 2000). Beberapa mikroorganisme yang tergolong probiotik dapat dilihat pada Tabel 6.

Tabel 6. Beberapa Mikroorganisme Probiotik

Lactobacilli Bifidobacteria Bakteri Asam Laktat lainnya

L. acidophilus B. adolescentis Enterococcus faecium L. amylovorus B. animalis Leuconostoc mesenteroides

L. casei B. bifidum

L. crispatus B. breve

L. gasseri B. infantis

L. johnsonnii B. longum L. paracasei

L. plantarum L. reuteri

L. rhamnosus

Sumber: Holsapfel et al. (2000).

Karakteristik probiotik yang diinginkan dari satu strain spesifik mencakup: (a) Mempunyai kapasitas untuk bertahan hidup (survive), untuk melakukan kolonisasi (colonize), serta melakukan metabolisme dalam saluran cerna, (b) Mampu mempertahankan suatu keseimbangan mikroflora usus yang sehat melalui kompetisi dan inhibisi kuman-kuman patogen, (c) Dapat menstimulasi bangkitnya pertahanan imun, (d) Bersifat patogenik dan non-toksik, serta (e) Harus mempunyai karakteristik teknologi yang baik, yaitu mampu bertahan hidup secara optimal dan stabil selama penyimpanan dan


(28)

15 penggunaan (storage and use) dalam bentuk preparat makanan yang diinginkan dan dikeringkan, agar dapat disediakan secara masal dalam industri (Lisal, 2005). Menurut Tannock (1999) manfaat yang diperoleh dari mengkonsumsi probiotik yaitu: (1) Meningkatkan sistem kekebalan tubuh, (2) Mengurangi gejala diare, (3) Menurunkan kolesterol dalam darah, (4) Mempunyai aktivitas anti karsinogenik, (5) Mengikis sel tumor, dan (6) Mengatur tekanan darah.

Menurut Gibson dan Roberford (1995) prinsip kerja probiotik yaitu 1) Mikroorganisme non-endogenus mendesak mikroorganisme patogen endogenus keluar dari ekosistem saluran pencernaan dan menggantikan lokasi mikroorganisme patogen (translokasi) di dalam saluran pencernaan, 2) Menyediakan enzim yang mampu mencerna serat kasar, protein, lemak, dan mendetoksifikasi zat racun atau metabolit, dan 3) Menghasilkan asam, selain itu beberapa mikroba probiotik dapat menghasilkan bahan antimikroba (bakteriosin). Probiotik dapat diberikan melalui pakan, air, minum, dan kapsul.

Bakteri probiotik mampu bertahan hidup dalam saluran pencernaan setelah dikonsumsi. Bakteri ini tahan terhadap lisozim, asam lambung, dan asam empedu sehingga mampu mencapai usus dalam keadaan hidup. Bakteri probiotik mampu melekat pada sel-sel epithelial dan memproduksi zat metabolit yang berperan dalam menjaga dan mempertahankan mikroflora usus. Kondisi seimbang mikroflora usus memberikan aktivitas menguntungkan dan menghasilkan efek positif bagi kesehatan (Yukuchi et al., 1992).

Bakteri supaya dapat berkolonisasi pada saluran pencernaan maka pertama kali harus melekat pada glikokonjugat yang ada pada membran mikrovili. Glikokonjugat merupakan terminal gula pada sisi rantai oligosakarida yang terletak pada membran mikrovili. Glikokonjugat ini dapat berupa glikoprotein atau glikolipid. Spesifik bakteri melekat pada spesifik gula. Bakteri probiotik dapat melekat pada permukaan usus untuk meningkatkan pertahanan saluran pencernaan inang. Probiotik dapat melindungi inang dari kolonisasi bakteri yang bersifat patogen dengan mekanisme yang berbeda-beda, misalnya probiotik juga mempunyai preferensi pada sebuah reseptor karbohidrat. Jika preferensi untuk menempel pada gula spesifik, misalnya Bifidobacterium perfringens dan E. coli memiliki preferensi yang sama pada


(29)

16 manosa, maka probiotik dapat melakukan kompetisi dan menghambat kolonisasi E. coli. Penempelan probiotik tersebut dapat merangsang aktifitasnya sel-sel epithelial dan fungsi limfosit, sehingga dapat meningkatkan kapasitas perlindungan pada sistem pertahanan mukosa (Walker, 2008).

E. Darah

Seluruh cairan tubuh didistribusikan di antara dua kompartemen utama yaitu cairan ekstraselular dan cairan intraselular. Cairan ekstraselular ini dibagi menjadi cairan ekstravaskular dan cairan intravaskular. Cairan ekstravaskular terdiri dari cairan interstitial yang merupakan tiga perempat cairan ekstravaskular dan cairan intravaskular yang terdiri dari plasma darah (Guyton dan Hall, 1997).

Darah merupakan kumpulan elemen-elemen dalam bentuk suspensi atau kumpulan sel yang terendam di dalam cairan transparan berwarna kuning yang disebut plasma darah (Williams, 1987). Darah merupakan cairan yang terdiri dari plasma, sel-sel darah dan trombosit. Plasma mengandung zat-zat yang penting dalam proses digesti (asam-asam urat dan kreatin) dari metabolisme, antibodi, karbondioksida, garam inorganik, dan protein seperti albumin, globulin, dan fibrinogren (Van Tyne dan Berger, 1975).

Menurut ini Martini et al. (1992) darah mempunyai beberapa fungsi di dalam sirkulasi diantaranya: (1) Membawa oksigen dari paru-paru ke dalam jaringan dan membawa karbondioksida dari jaringan ke paru-paru, (2) Mendistribusikan nutrisi yang diserap dari saluran pencernaan, (3) Membawa sisa metabolit dari jaringan perifer ke tempat-tempat eksresi, (4) Membawa enzim dan hormon ke organ lain dalam tubuh, (5) Mengatur pH dan komposisi elektrolit cairan interstitial dalam tubuh, (6) Membantu tubuh melawan toksin dan bahan-bahan patogen dengan membawa sel-sel darah putih bermigrasi ke dalam jaringan yang terinfeksi.

Volume sel darah umumnya 6-8% dari berat badan, jumlahnya lebih sedikit dibandingkan dengan volume plasma. Volume darah hewan dipengaruhi oleh umur, keadaan kesehatan dan gizi makanan, ukuran tubuh,


(30)

17 waktu menyusui atau laktasi, derajat aktivitas dan faktor lingkungan (Phillis, 1978).

1. Eritrosit

Eritrosit (sel-sel darah merah) merupakan sel darah terbanyak dan hampir mendekati seluruh volume sel darah pada hewan (Breazile, 1971). Eritrosit pada unggas berbeda dengan eritrosit pada mamalia karena eritrosit unggas berinti dan berukuran besar sedangkan eritrosit mamalia merupakan sel yang tidak berinti, tidak mempunyai mitokondria, kompleks golgi, ribonukleoprotein, dan sentriole selama pematangan (Breazile, 1971). Pada awal pembentukannya, eritrosit mamalia memiliki inti, tetapi inti tersebut akan perlahan-lahan menghilang karena tekanan saat eritrosit menjadi dewasa untuk memberikan ruangan kepada hemoglobin. Eritrosit yang dewasa berbentuk ellips, intinya terletak di tengah tetapi pada umumnya berbentuk oval (Van tyne dan Berger, 1975).

Bentuk eritrosit dapat berubah-ubah ketika sel-sel tersebut melewati kapiler-kapiler. Dengan kata lain sel darah merah itu dianggap sebagai kantong yang dapat berubah bentuk menjadi berbagai macam bentuk, dimana perubahan bentuk ini tergantung pada lokasi organ yang dilaluinya. Bentuk normal sel darah merah adalah pelat, cekung ganda berdiameter 8 m dengan ketebalan pada bagian tengahnya kurang lebih 1 m (Guyton dan Hall, 1997).

Eritrosit dapat menunjang fungsi pernafasan dengan mensuplai oksigen yang diperlukan untuk metabolisme jaringan. Sel ini dapat membawa oksigen secara khusus dari paru-paru ke jaringan serta membantu membawa karbondioksida dari jaringan ke paru-paru (Breazile, 1971). Selain itu, eritrosit berfungsi mengkatalisis reaksi antara karbondioksida dan air karena adanya kandungan enzim karbonat anhidrase dalam eritrosit (Guyton dan Hall, 1997).

Pembentukan eritrosit melalui sebuah proses yang disebut Eritropoesis. Proses pembentukan sel darah merah pada umumnya dipengaruhi oleh beberapa faktor penting, diantaranya adalah faktor pertumbuhan yang menggertak pembentukan sel darah merah dan faktor penunjang yang berperan dalam proses pembentukan hingga proses pematangan. Faktor-faktor ini adalah


(31)

18

Burst Forming Unit Erythroid (BFU-E) dan Coloning Forming Unit Erythroid

(CFU-E) yang memiliki pengaruh langsung pada sumsum tulang sebagai tempat pembentukan sel darah merah dan eritropoitin, yaitu hormon yang di hasilkan oleh ginjal untuk menggertak pembentukan sel darah merah. Adapun proses pembentukan sel darah merah memiliki beberapa tahapan, dimana proeritroblas merupakan sel pertama yang diketahui masuk dalam rangkaian pembentukan sel-sel darah merah (Guyton, 1993).

Dari sebuah sel punca CFU-E akan didapatkan banyak sekali proeritroblas. Kemudian sel proeritroblas ini akan membelah menjadi 8 hingga 16 sel darah merah matang yang disebut basofil eritroblas yang dapat menyerap warna basa, sel ini sedikit menyerap hemoglobin. Pada tingkatan selanjutnya terbentuk sel polikromatofil eritroblas yang mulai banyak menyerap hemoglobin. Setelah mengalami pembelahan kembali, akan terbentuk sel generasi keempat yang disebut ortokromatik eritroblas dimana sekarang warnanya lebih merah oleh adanya hemoglobin. Ketika sitoplasma sel-sel tersebut telah dipenuhi hemoglobin yang mencapai 34% dari volume sel terbentuk endoplasmiretikulum, maka sel yang terbentuk disebut retikulosis, sel inilah yang nanti akan berkembang menjadi dewasa dan diedarkan dalam sistem peredaran darah (Guyton, 1993). Adapun proses pembentukan sel darah merah dapat dilihat Gambar 1.

Gambar 1. Skema Pembentukan Sel Darah Merah (Guyton, 1993).

PROERITROBLAS

Membelah beberapa kali hingga mencapai 8-16 sel darah merah matang

BASOFIL ERITROBLAS

Sel yang dapat mengambil warna basa, sedikit mengandung Hb

POLIKROMATOFIL ERITROBLAS

Mengandung lebih banyak hemoglobin sehingga warna lebih merah

RETIKULOBLAS

Konsentrasi Hb berkisar 34% nukleus memadat dan ukurannya mengecil


(32)

19 Pembentukan eritrosit awal mulanya terjadi di dalam hati dan limpa sebelum sumsum tulang terbentuk, setelah terbentuk barulah di hasilkan eritrosit dari sumsum tulang. Dalam sumsum tulang, eritrosit terus diproduksi seiring dengan penghancuran atau perombakan eritrosit oleh retikulo endoplasmik sistem (RES) sehingga jumlah eritrosit dalam aliran darah konstan. Paruh hidup dari eritrosit sendiri adalah sekitar 120 hari (Guyton dan Hall, 1997). Jumlah eritrosit dalam peredaran darah dipengaruhi beberapa faktor diantaranya : umur, jenis kelamin, keadaan gizi, masa laktasi, kebuntingan, produksi telur, pelepasan epinefrin, siklus estrus, volume darah (Hemodilusi dan Hemokonsentrasi), waktu harian, temperatur lingkungan, dan ketinggian (Swenson, 1984).

Menurut Dranville (1972) jumlah normal sel darah merah tikus berkisar 7.2-9.6 juta/L. Lama masa hidup eritrosit relatif tetap, sehingga menyebabkan jumlahnya tetap karena setiap hari sel eritrosit tua akan dihancurkan oleh retikulo endoplasmik sistem (RES). Dalam sistem pembentukannya eritrosit tergantung dari kecepatan pembentukan dalam sumsum tulang, yang dikontrol oleh sejenis hormon yang disebut eritropoitin yang merupakan molekul glikoprotein dengan berat molekul kira-kira 40.000 Da (Guyton, 1993). Pada kasus-kasus hipoksia, jumlah hormon eritropoitin meningkat sehingga jumlah eritrosit juga meningkat. Meningkatnya hormon ini diakibatkan peranan ginjal, tetapi tempat pembentukan hormon ini belum diketahui secara pasti. Pengaruh

eritropoitin dalam pembentukan sel darah merah sangat besar, yaitu

merangsang pembentukan eritroblas dari sel-sel punca hematopoetik. Hormon eritropoitin juga dapat merangsang proses pembelahan sel menjadi lebih cepat (Guyton, 1993). Adapun peranan hormon eritropoitin disajikan pada Gambar 2.

2. Leukosit (Sel Darah Putih)

Leukosit atau sel darah putih merupakan unit termobil atau aktif dalam sistem pertahanan tubuh (Guyton et al., 1996). Leukosit mempunyai bentuk yang beragam yang berfungsi untuk melindungi tubuh dari banyak penyakit seperti bakteri, virus, dan parasit (Svendsen, 1974). Leukosit memiliki inti dan


(33)

20 Gambar 2. Mekanisme eritropoetin dalam meningkatkan produksi eritrosit

(Guyton, 1993).

bersifat amuboid (Bell, 1965). Menurut Svendsen (1974) terdapat dua golongan leukosit yaitu : polimorfonuklear/granulosit (neutrofil, eosofil, basofil) dan mononuklear/agranulosit (limfosit dan monosit).

Dalam menjalankan fungsinya leukosit menggunakan darah sebagai media transportasi dari sumber pembentukkannya menuju jaringan-jaringan di dalam tubuh (Kelly, 1984). Sirkulasi darah sebagai media transportasi akan membawa sel-sel leukosit menuju lokasi invasi mikrooganisme atau perlukaan di dalam jaringan. Adanya peningkatan permeabilitas dinding pembuluh darah

Anemia

Penurunan volume darah Hemoglobin rendah Gangguan aliran darah Penyakit pulmonum

Enzim

Primer plasma

Di fetus

Inaktif oleh

5-10% di dewasa neuroamidase

Pluripotensial sel punca Eritroid Pembelahan dan Progenitor pematangan

Eritrosit dewasa HIPOKSIA

HATI Sel kuffer

GINJAL

Peningkatan PGE di medulla Peningkatan cAMP di Korteks

ERITROPOETIN Eritrogenin


(34)

21 akan menyebabkan sel-sel leukosit melakukan migrasi ke dalam jaringan (Martini et al, 1992).

Leukosit memiliki lebih dari satu jenis sel yang bersirkulasi dengan fungsi yang berbeda-beda dalam kurun waktu yang bersamaan (Raphael, 1987). Sejumlah besar leukosit keluar dari dalam tubuh melalui saliva, susu dan saluran mekanisme pertahanan tubuh melawan penyakit (Kelly, 1984).

Menurut Martini et al. (1992) adanya peningkatan permeabilitas dinding pembuluh darah akan menyebabkan sel-sel leukosit bermigrasi ke dalam jaringan luka/infeksi. Secara fisiologis terjadi akibat peningkatan jumlah sel neutrofil atau sel limfosit di dalam sirkulasi darah dan menyebabkan peningkatan jumlah leukosit total dan nilai absolut kedua sel tersebut. Peningkatan sekresi epinefrin dan kortikosteroid yang terjadi pada kondisi stress, baik secara fisik maupun emosional atau akibat penyakit yang diderita dapat menyebabkan jumlah leukosit meningkat (Jain, 1993), sedangkan pada leukositosis patologis, peningkatan leukosit dalam darah disebabkan leukosit aktif dalam melawan infeksi dalam tubuh. Kondisi ini dapat meningkatkan jumlah leukosit hingga 20.000-40.000/ l (Doxey, 1971).

Jumlah total leukosit per mililiter darah adalah refleksi dari keseimbangan antara persediaan dan kebutuhan berbagai jaringan terhadap leukosit. Aktivitas yang cukup akan mempengaruhi jumlah total leukosit dalam keadaan sehat (Schalm dan Carrol, 1975). Dalam keadaan normal sebagian leukosit bersirkulasi dalam seluruh aliran darah, kira-kira tiga kali jumlah leukosit yang disimpan dalam sumsum tulang (Guyton at al., 1996).

3. Hemoglobin

Hemoglobin adalah suatu protein berpigmen yang membawa oksigen dalam sel darah merah. Pembentukan hemoglobin dimulai dalam eritroblas pada stadium retikulosis kemudian diteruskan sampai sel eritrosit matang (Schalm et al., 1975). Hemoglobin (Hb) merupakan pigmen eritrosit yang terdiri dari protein kompleks terkonjugasi yang mengandung besi. Protein Hb adalah globin, sedangkan warna merah disebabkan oleh warna heme (Guyton, 1993).


(35)

22 Hemoglobin terbentuk dari dua komponen yaitu heme dan globin. Heme adalah suatu senyawa metalik yang mengandung satu atom besi (Guyton, 1993). Heme mengandung protoporphirin dan ion Fe yang disintesis dalam mitokondria (Schalm et al., 1975). Dari beberapa penelitian dengan menggunakan isotop, pembentukan heme banyak terjadi di dalam mitokondria (Guyton, 1997). Kandungan zat besi yang terlepas ketika hemoglobin mengalami perusakan, akan segera menuju ke hati, kemudian akan dipergunakan kembali untuk pembentukan hemoglobin baru (Ganong, 1995), sedangkan globin adalah suatu polipeptida untuk pembentukan hemoglobin yang disintesis dalam sitoplasma sel darah merah (Schalm et al., 1975).

Sifat dasar rantai hemoglobin adalah kemampuannya untuk berikatan secara longgar dan reversibel dengan oksigen, tetapi jika ada gangguan akan mengubah sifat-sifat fisik molekul hemoglobin (Guyton, 1997). Berat molekul hemoglobin 64.450 yang berbentuk bulat terdiri dari 4 subunit (Ganong, 1995). Biosintesis hemoglobin terjadi terus-menerus selama proses

Eritropoesis hingga tahapan selanjutnya dalam perkembangan sel darah merah.

Pembentukan hemoglobin terus berlangsung selama inti masih ada dalam sel, baik di dalam sel yang berada dalam sumsum tulang maupun didalam sirkulasi darah (Swenson, 1970). Lebih lanjut Swenson menegaskan bahwa hemoglobin berhubungan dengan oksigen. Pada saat eritrosit melewati kapiler paru-paru akan terjadi proses pengikatan O2 oleh Hb membentuk oksihemoglobin dan

ketika melewati jaringan, oksigen yang terikat akan dibebaskan. Intensitas warna pada Hb tergantung keberadaan atau jumlah oksigen dalam eritrosit. Jika O2 banyak maka akan berwarna lebih terang sedangkan jika Hb mengalami reduksi akan berwarna lebih gelap atau ungu. Hemoglobin juga mampu berikatan dengan karbon monoksida membentuk ikatan karboksihemoglobin dan memiliki ikatan 200 kali lebih kuat dibandingkan dengan ikatan dengan oksigen (Swenson, 1970).

4. Trombosit

Darah terdiri dari plasma dan sel-sel darah. Sebanyak 45% dari volume darah terdiri dari sel-sel darah dan 55% terdiri dari plasma. Elemen darah


(36)

23 terbentuk oleh tiga jenis sel, yaitu sel darah merah (RBC- red blood cell), sel darah putih (WBC- white blood cell) dan sel pembekuan darah (trombosit). Trombosit mempunyai ukuran yang sangat kecil yaitu sebesar 2 m. Trombosit tidak mempunyai inti sel dan merupakan fragmen sel, dan berbentuk giant cell di dalam sumsum tulang belakang (Gadjahnata, 1989).

Keping-keping darah atau sering dikenal dengan sebutan trombosit berukuran kecil, tidak berwarna, dan berbentuk bulat atau batang (dalam sirkulasi darah hewan). Besar trombosit bermacam-macam, pada mamalia rata-rata berdiameter 3 , dalam keadaan tertentu dapat berukuran besar. Pada ayam dan spesies lain di bawah mamalia, trombosit mempunyai inti dan biasanya berbentuk oval dengan lebar 3-5 m dan panjang 7-10 m. Trombosit dibentuk di hati fetus, limpa, dan sumsum tulang. Pada mamalia dewasa, sumsum tulang merupakan tempat pembentukan utama. Trombosit berasal dari megakariosit dan jumlahnya paling banyak pada darah yang bersirkulasi. Jumlah trombosit tergantung pada spesies hewan. Pada individu yang sama, jumlah trombosit darah vena dan arteri berbeda (Supriatna, 1988).

Menurut Guyton dan Hall (1996), trombosit dibentuk di sumsum tulang belakang dari megakariosit, yaitu sel yang sangat besar dalam susunan hemopoietik dalam sumsum tulang belakang yang memecah menjadi trombosit, baik dalam sumsum tulang atau segera setelah memasuki darah. Trombosit mempunyai banyak ciri khas fungsional sebagai sebuah sel, walaupun tidak mempunyai inti dan tidak dapat bereproduksi. Membran sel trombosit juga memegang peranan yang penting. Di permukaannya terdapat lapisan glikoprotein yang menyebabkan trombosit dapat menghindari pelekatan pada endotel normal dan justru melekat pada dinding pembuluh yang terluka, terutama pada sel-sel endotel yang rusak, dan bahkan melekat pada jaringan kolagen yang terbuka pada bagian pembuluh. Waktu paruh hidup trombosit dalam darah berkisar antara 8-12 hari, setelah itu proses kehidupannya berakhir. Trombosit kemudian diambil dari sirkulasi oleh sistem makrofag jaringan dan diganti dengan sel yang baru.

Menurut Sacher dan McPheson (2000), trombosit mempunyai dua fungsi yang berbeda: (1) Melindungi integritas endotel pembuluh darah, dan


(37)

24 (2) Memulai perbaikan apabila terjadi kerusakan pada dinding pembuluh darah. Interaksi trombosit dengan dinding pembuluh ini disebut hemostatis primer. Orang yang trombositnya terganggu dalam hal fungsi atau jumlah akan mengalami ptekie pada kulit dan selaput lendir. Mereka juga tidak dapat menghentikan pendarahan yang terjadi akibat cendera sengaja atau tidak sengaja pada pembuluh darah.

Trombosit berfungsi dalam sistem pembekuan darah, dari trombosis jaringan yang rusak akan dikeluarkan tromboplastin yang bereaksi dengan protrombin dan kalsium membentuk trombin. Trombin akan bereaksi dengan fibrinogen membentuk fibrin yang akan menutupi jaringan yang terluka (Gadjahnata, 1989). Menurut Guyton dan Hall (1996), trombosit memegang peranan yang penting dalam mengubah protrombin menjadi trombin, karena banyak protrombin mula-mula melekat pada reseptor trombosit yang telah berikatan dengan jaringan yang rusak. Pengikatan ini akan mempercepat pembentukan trombin dari protrombin. Mekanisme terbentuknya benang fibrin yang akan menutup jaringan yang rusak dapat dilihat pada Gambar 3.

Gambar 3. Skema Perubahan protrombin menjadi trombin dan polimerasi fibrinogen membentuk benang fibrin ( Guyton dan Hall, 1996).

Trombosit adalah fragmen sitoplasma prekusor sel induk, yaitu megakariosit. Ukuran trombosit bervariasi dan beredar selama kurang lebih 10 Trombin faktor stabilisasi

fibrin yang teraktivasi

Protrombin

Trombin

Fibrinogen Fibrinogen

monomer

Benang- benang fibrin


(38)

25 hari sebagai sel berbentuk piringan dan tidak berinti. Pembentukan trombosit dilakukan oleh trombopoietin, yang analog dengan eritropoietin pada pembentukan eritrosit. Trombopoietin memiliki homologi yang subtansial dengan eritropoietin dan tidak hanya meningkatkan produksi trombosit, tetapi juga proliferasi megakariosit (Sacher dan McPherson, 2000).

Gangguan pada jumlah atau fungsi trombosit menyebabkan pemanjangan waktu pendarahan dan kelainan pembentukan bekuan. Keadaan dimana jumlah trombosit darah berkurang disebut dengan trombositopenia. Ini terjadi saat trombosit menghilang dari sirkulasi lebih cepat sebelum waktunya dan belum digantikan oleh trombosit baru. Trombositopenia juga dapat diakibatkan oleh gagalnya produksi trombosit yang masih ada dalam sirkulasi darah. Menurut Sacher dan McPherson (2000), penyebab utama trombositopenia dapat diklasifikasikan menjadi dua kategori: (1) Kegagalan sumsum tulang belang untuk menghasilkan trombosit dalam jumlah memadai, dan (2) Peningkatan destruksi perifer atau sekuestrasi trombosit.

5. Hematokrit

Hematokrit atau Packed Cell Volume (PCV) adalah suatu persentase sel darah merah dalam 100 ml darah. Pada hewan normal PVC sebanding dengan jumlah eritrosit dan kadar hemoglobin (Widjajakusuma dan Sikar, 1986). Nilai hematokrit dipengaruhi oleh temperatur lingkungan. Menurut Hodges (1977), nilai hematokrit menurun dengan bertambahnya temperatur dan dapat meningkat dalam temperatur yang lebih rendah. Nilai hematokrit juga akan bertambah jika terjadi keadaan hipoksia atau polisitemia dimana jumlah eritrosit lebih banyak dibanding dengan jumlah normal.

F. Hematology Analyzer

Hematology analyzer (Gambar 4) merupakan suatu alat yang digunakan untuk memeriksa darah. Fungsi alat ini untuk menghitung jumlah sel-sel darah. Alat hematology analyzer ini dapat menghitung berbagai macam sel darah, seperti perhitungan volume rata-rata sel darah merah/Mean Cell Volume (MCV), jumlah eritrosit, kadar hemoglobin, jumlah trombosit, jumlah leukosit


(39)

26 dan masih banyak parameter yang dihasilkan sesuai dengan kemampuan alatnya.

Alat Hematology analyzer yang dipakai pada penelitian ini berada di di Labkesda, Jln. Kesehatan No.3 Tanah Sareal, kota Bogor. Tipe alatnya yaitu Hemavet HV950FS multispecies hematology analyser. Prosedur penggunaan dari alat ini dapat dilihat pada Lampiran 14.

Menurut Sofie (1994), dalam menghitung jumlah sel-sel darah alat ini mampu bekerja ganda. Pertama, metode otomatik optik mendasarkan pada pengumpulan hamburan cahaya dari sel-sel darah dan mengonversinya ke dalam bentuk pulsa-pulsa listrik untuk dihitung. Untuk analisis hemoglobin. Prinsip kerjanya : Cahaya sebagai sumber sinar dilewatkan melalui aliran sel kemudian diteruskan ke detektor cahaya seperti photo multiplier. Jika ada sel yang lewat maka cahaya yang ke detektor akan terhalang oleh sel. Besar kecilnya sel akan mempengaruhi banyak atau sedikitnya cahaya yang ke detektor. Detektor akan mengonversinya ke dalam pulsa-pulsa listrik dengan amplitudo yang berbeda-beda. Untuk hemoglobin diperlukan cahaya dengan panjang gelombang 535 nm. Pulsa-pulsa ini kemudian dikuatkan oleh amplifier berimpedansi inputan tinggi. Setelah melalui amplifier pulsa-pulsa ini masuk discriminator amplitudo yang dapat diatur untuk memilah-milah pulsa yang benar-benar dari sel. Kemudian dihitung dan ditampilkan ke penampil (display). Teknik ini membutuhkan waktu 30 detik untuk sekali proses penghitungan secara lengkap. Sistem ini memerlukan kurang lebih satu mililiter sample darah.

Metode kedua yaitu metode elektrik konduksi, menggunakan prinsip mengukur perubahan konduktivitas yang terjadi pada saat tiap sel melewati sebuah lubang sel pada orifice (ruang penghitungan). Prinsip ini dikenal dengan nama Coulter Counter. Untuk analisis sel darah merah, sel darah putih, dan trombosit. Prinsip pengukurannya, darah bukanlah konduktor yang baik dan pelarut yang digunakan adalah konduktor yang baik. Metode ini menggunakan dua buah elektrode, yang satu diletakkan dalam orifice dan yang lainnya ditempatkan di luarnya. Di antara kedua elektrode (terbuat dari platinum) itu dialirkan arus listrik konstan. Penghitungan sel terjadi saat sel-sel


(40)

27 darah dialirkan melewati lubang bersama mengalirnya larutan (reagen). Pada saat tidak ada sel yang melewati lubang orifice maka resistansi antara dua elektrode sangat kecil. Tetapi pada saat sebuah sel melewati lubang orifice maka resistansi akan menjadi besar, maka pulsa tegangan akan tebentuk sesuai dengan besar atau volume sel. Untuk mendapatkan hasil yang optimum maka panjang lubang harus 75% dari ukuran diameternya.

Reagen yang digunakan untuk analisis sel darah merah adalah Larutan Lyse dan Diluent (1:50.000), Sel darah putih menggunakan Larutan Lyse (1:5000), dan Trombosit menggunakan Larutan Diluent. Larutan Lyse digunakan sebagai reagent yang mempunyai konduktifitas tinggi. Larutan lyse terdiri dari Garam ammonium < 50 g/L, Nonion surfaktan < 15 g/L, Isopropyl 0,1-1,5 ml/L, Etanol < 1,5 ml/L.


(41)

28

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. Bahan dan Alat 1. Bahan

a. Tikus Percobaan

Tikus percobaan yang digunakan merupakan tikus jantan jenis Albino Norway Rats (Rattus novergicus) galur Sprague Dawley umur 5-6 minggu hasil pengembangbiakan Badan POM RI.

b. Bahan Makanan Tikus

Bahan yang digunakan sebagai makanan tikus dalam penelitian ini adalah pati jagung, minyak jagung, kasein, mineral mix, vitamin mix, CMC, dan air.

c. Bahan Pembuatan Kultur BAL dan EPEC

Bahan yang digunakan media de Man Rogosa Sharpe Broth (MRSB), media de Man Rogosa Sharpe Agar (MRSA), media Nutrien Agar, media Nutrien Broth, dan standar Mc. Farland no 0.5.

c. Bahan Analisis

Bahan-bahan yang digunakan dalam pembedahan tikus antara lain alkohol 70% dan kapas. Bahan untuk analisis hematologi antara lain cube yang berisi larutan EDTA, batu es, larutan lyse dan diluent.

2. Alat

a. Alat Pemeliharaan Tikus

Alat yang digunakan untuk memelihara tikus dan membuat makanan tikus adalah kandang metabolik, botol minum, timbangan, baskom plastik, dan blender.

b. Alat Pembedahan Tikus

Alat yang digunakan dalam pembedahan tikus adalah papan bedah, gunting dan jarum suntik.

c. Alat Analisis

Alat yang digunakan untuk analisis hematologi menggunakan “Hematology Analyzer” yang berada di Labkesda, Bogor.


(42)

29

B. Metoda Penelitian

1. Tahap 1 Pembuatan kultur

a. Pembuatan Kultur BAL L. plantarum 2C12 dan L. fermentum 2B4.

Kultur induk L. plantarum 2C12 dan L. fermentum 2B4 dari penelitian Arief (2008) disegarkan terlebih dahulu pada media de Man

Rogosa Sharpe Broth (MRSB). Kemudian dari kultur yang disegarkan

tersebut dibuat kultur kerja. Setelah itu, kultur kerja dipupukkan pada media de Man Rogosa Sharpe Agar (MRSA) untuk diketahui populasinya. Kultur yang memenuhi syarat untuk digunakan cekok pada tikus percobaan yaitu kultur dengan jumlah populasi 108 cfu/ml.

Kultur stok yang telah dibuat perlu diperbaharui setiap minggu agar aktivitasnya tidak berkurang. Pemeliharaan kultur stok pada penelitian ini akan menggunakan metode Hariyadi et al. (2001) dengan cara membuat tusukan kultur pada MRSA chalk semisolid, kemudian menginokulasikannya pada MRSB, lalu kultur tersebut dapat disimpan di refrigerator.

b. Pembuatan Kultur EPEC

Kultur EPEC dibiakkan pada media Nutrien Agar selama 24 jam pada suhu 37°C untuk dijadikan kultur kerja. Setelah itu diambil sebanyak satu ose kultur kerja tersebut lalu dibiakkan ke dalam tabung berisi media Nutrien Broth. Setelah 24 jam kultur bakteri uji disetarakan kekeruhannya dengan standar Mc. Farland no 0.5, yang memiliki kesetaraan dengan jumlah populasi bakteri sebesar 8x108 sel bakteri/ml. Suspensi bakteri EPEC yang terbentuk kemudian diencerkan sampai diperoleh konsentrasi 8x106 sel bakteri/ml.

2. Tahap 2 Pengujian In vivo

a. Pengelolaan Hewan Percobaan

Hewan percobaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah tikus putih albino Norway rats (Rattus novergicus) galur Sprague


(43)

30

Dawley umur 5-6 minggu berjenis kelamin jantan hasil

pengembangbiakan dari Badan POM RI.

b. Kandang dan Perlengkapan

Kandang yang digunakanadalah kandang yang berukuran 17,5 x 23,75 x 17,5 cm milik Laboratorium Hewan Percobaan Seafast, dengan jumlah sesuai dengan jumlah tikus yang digunakan. Kandang terbuat dari stainless steel. Kandang tikus harus berlokasi pada tempat yang bebas dari suara ribut, dan terjaga dari asap industri atau polutan lainnya. Lantai harus mudah dibersihkan dan disanitasi. Suhu optimum ruangan untuk tikus adalah 22-24 ºC dan kelembaban udara 50 – 60 %, dengan ventilasi yang cukup (namun tidak ada jendela terbuka) (Muchtadi 1993).

c. Persiapan dan Pembuatan Ransum

Ransum yang diberikan kepada tikus percobaan mengacu pada AOAC (Association of Official Agricultural Chemists) (Muchtadi et al., 1992). Komposisi ransum standar disusun berdasarkan standar AOAC seperti pada Tabel 7. Semua kelompok tikus diberikan ransum standar.

Tabel 7. Komposisi Ransum Standar

Bahan-bahan campuran Jumlah (%)

Protein kasein Minyak jagung Campuran mineral Campuran vitamin CMC

Air

Maizena (pati jagung)

10 8 5 1 1 5

Untuk membuat 100% Sumber : Muchtadi et al. (1992).

d. Perlakuan anti-E.coli Enteropatogenik (EPEC) secara in vivo

Pengujian ini dilakukan sesuai petunjuk Zoumpopoulou et al. (2008) hanya berbeda bakteri patogen yang digunakan. Dua buah kultur bakteri asam laktat terpilih berumur satu hari pada media MRS broth sebanyak 1 ml dengan populasi 108 cfu diberikan sesuai dengan


(44)

31 perlakuan kepada tikus percobaan, sedangkan populasi Enteropatogenik E. coli penyebab diare yang diberikan adalah sebesar 106 cfu/ml sebanyak 1 ml yang didasarkan bahwa dosis infeksi Enteropatogenik E.coli adalah minimal 105 cfu/ml (Oyetayo, 2004). Tikus dibagi menjadi 6 kelompok, setiap kelompok terdiri dari 15 ekor tikus sebagai ulangan dengan kelompok seperti disajikan pada Tabel 8 dan Gambar 5.

Sebelumnya, dilakukan adaptasi tikus terhadap lingkungan selama tiga hari dengan pemberian makan ransum standar terhadap semua tikus. Selain itu juga terdapat kelompok baseline, yang terdiri dari 5 ekor tikus, tikus kelompok ini juga dipelihara selama masa adaptasi tiga hari dan setelah itu dibedah untuk dilakukan analisa semua peubah sebagai data awal sebelum perlakuan.

Tabel 8. Kelompok tikus perlakuan

Kelompok tikus Perlakuan

Kontrol negatif Tikus normal diberikan ransum standar dan diberikan akuades secara oral menggunakan sonde

BAL L. plantarum

2C12

Tikus yang hanya diberikan ransum standar, diiringi pemberian BAL L. plantarum 2C12

BAL L. fermentum

2B4

Tikus yang hanya diberikan ransum standar, diiringi pemberian BAL L. fermentum 2B4

BAL L. plantarum

2C12 + EPEC

Tikus yang diberikan ransum standar, diiringi pemberian BAL L. plantarum 2C12, tetapi diselingi dengan pemberian infeksi EPEC.

BAL L. fermentum

2B4 + EPEC

Tikus yang diberikan ransum standar, diiringi pemberian BAL L. fermentum 2B4, tetapi diselingi dengan pemberian infeksi EPEC. Kontrol positif Tikus yang diberikan ransum standar dan

infeksi EPEC

Setiap perlakuan terdiri dari 15 ekor tikus sebagai ulangan. Pembedahan tikus untuk dilakukan analisis peubah yang diamati


(45)

32 dilakukan pada hari ke-7, 14 dan 21 masing-masing 4 ekor. Selain itu, terdapat pula 5 ekor tikus sebagai kelompok baseline yang akan dibedah pada hari ke-0 setelah masa adaptasi. Dengan demikian diperlukan 95 ekor tikus.

Masa perlakuan dilakukan selama 21 hari. Selama masa perlakuan, semua kelompok tikus diberikan ransum stándar dan pemberian air minum diberikan secara ad libitum. Pengamatan yang dilakukan yaitu jumlah konsumsi ransum dan berat badan tikus percobaan. Banyaknya ransum yang dikonsumsi dihitung setiap hari dengan menimbang sisa ransum yang tidak dikonsumsi oleh tikus. Pengamatan berat badan masing-masing tikus dilakukan setiap tiga hari sekali selama perlakuan. Hasil yang diperoleh kemudian dibandingkan antar kelompok.

e.Analisis Hematologi

Analisis kondisi hematologi dilakukan sesuai Aboderin dan Oyetayo (2006). Analisis kondisi hematologik dilakukan dengan alat diagnosa kesehatan tubuh dan parameter status imun darah yaitu leukosit (sel darah putih). Prosedur analisisnya sebagai berikut: Sampel darah tikus diambil dari tikus melalui ‘cardiac puncture’ ke dalam cube yang berisi EDTA. Analisis dilakukan dengan

Cekok BAL

Adaptasi

H(-3) H(0) H(7) H(14) H(21)

Cekok EPEC

T0 T1 T2 T3

Keterangan :

T0 = terminasi awal (4 tikus)

T1 = terminasi 1 (4 tikus setiap kelompok) T2 = terminasi 2 (4 tikus setiap kelompok) T3 = terminasi 3 (4 tikus setiap kelompok)


(46)

33 menggunakan alat otomatik ‘Hematology Analyzer’ dengan parameter eritrosit, hematokrit, hemoglobin, trombosit, dan leukosit.

f. Rancangan percobaan

Rancangan penelitian menggunakan Rancangan Acak Lengkap, dengan model matematika sbb :

Yij = + αi +βj + ε ij

Yij : pengaruh perlakuan pada tikus (kelompok tikus) ke -i dan ulangan ke-j.

: nilai tengah perlakuan.

αi : pengaruh perlakuan ke.-i.

βj : pengaruh ulangan ke-j.

ε ij : galat perlakuan ke-i dan ulangan ke-j.

Data dianalisis dengan menggunakan ANOVA. Jika terdapat perbedaan nyata akan diuji lanjut dengan uji Duncan (Steel dan Torrie, 1995).


(47)

34

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

A.Pertumbuhan Berat Badan Tikus

Pertumbuhan berat badan tikus selama percobaan dapat dilihat pada Gambar 6. Pada umumnya berat badan tikus mengalami kenaikan selama pemeliharaan. Akan tetapi, pada tikus yang diinfeksi EPEC, yaitu tikus kelompok BAL L. plantarum 2C12 + EPEC, BAL L. fermentum 2B4 + EPEC, dan kontrol positif, mengalami penurunan berat badan sejak hari ke-12 hingga ke-21. Hal ini disebabkan tikus tersebut mengalami infeksi saluran pencernaan oleh EPEC, sehingga proses penyerapan zat-zat gizi di dalam usus menjadi terganggu. Data konsumsi ransum standar selama masa perlakuan masing-masing kelompok tikus dapat dilihat pada Lampiran 1 - Lampiran 6.

Enteropatogenik Escherichia coli (EPEC) merupakan bakteri penyebab diare terutama pada anak-anak. Infeksi EPEC mengakibatkan hilangnya mikrovili usus di sekitar bakteri sehingga terjadi gangguan penyerapan makanan yang mengakibatkan hambatan tumbuh kembang. Data berat badan tikus masing-masing kelompok dapat dilihat pada Lampiran 7 – Lampiran 12. Adesi atau pelekatan bakteri patogen pada permukaan mukosa menjadi tahap awal infeksi saluran usus. Pelekatannya pada sel epitelial usus akan mengakibatkan kolonisasi, kerusakan sel, gangguan mekanisme pengaturan sel, serta pertumbuhan dan perkembangbiakan intraselular (Coconnier et al., 1993).

Gambar 6. Pertumbuhan berat badan tikus selama 21 hari percobaan.

0 50 100 150 200 250

H0 H1 H3 H6 H9 H12 H15 H18 H21

B o b o t b ad an ( g ram )

Periode pemeliharan (hari ke-)

Bobot badan selama pemeliharan

kontrol negatif BAL L.plantarum BAL L. fermentum BAL L. plantarum + EPEC BAL L. frementum + EPEC kontrol positif


(1)

Univariate Analysis of Variance

Between-Subjects Factors

Value Label N

ULANGAN 1 6

2 6

3 6

PERLAKUAN 0

kontrol negatif 3

1

BAL L. plantarum 2C12 3

2

BAL L. fermentum 2B4 3

3

BAL L. plantarum 2C12 + EPEC 3

4

BAL L. fermentum 2B4 + EPEC 3

5

kontrol positif 3

Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: NILAI

Source

Type III Sum

of Squares df Mean Square F Sig.

Corrected Model 7,388(a) 7 1,055 2,751 ,072

Intercept 4389,845 1 4389,845 11441,820 ,000

ULANGAN ,570 2 ,285 ,743 ,500

PERLAKUAN 6,818 5 1,364 3,554 ,042

Error 3,837 10 ,384

Total 4401,070 18

Corrected Total 11,225 17


(2)

Post Hoc Tests

Homogeneous Subsets

NILAI Duncana,b

PERLAKUAN

N Subset

1 2 3

kontrol positif 3 14,5000

kontrol negatif

3 15,4333

BAL L. fermentum 2B4

3 15,5333

BAL L. fermentum 2B4 + EPEC 3 15,6000

BAL L. plantarum 2C12 3 16,2667

BAL L. plantarum 2C12 + EPEC 3 16,3667

Sig. 1,000 ,070 ,120

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = ,384.

a Uses Harmonic Mean Sample Size = 3,000. b Alpha = ,05.


(3)

Univariate Analysis of Variance

Between-Subjects Factors

Value Label N

ULANGAN 1 6

2 6

3 6

PERLAKUAN 0

kontrol negatif 3

1

BAL L. plantarum 2C12 3

2

BAL L. fermentum 2B4 3

3

BAL L. plantarum 2C12 + EPEC 3

4

BAL L. fermentum 2B4 + EPEC 3

5

kontrol positif 3

Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: NILAI

Source

Type III Sum

of Squares df Mean Square F Sig.

Corrected Model 186448,056(a

) 7 26635,437 2,486 ,093

Intercept 4781262,722 1 4781262,722 446,295 ,000

ULANGAN 4315,111 2 2157,556 ,201 ,821

PERLAKUAN 182132,944 5 36426,589 3,400 ,047

Error 107132,222 10 10713,222

Total 5074843,000 18

Corrected Total 293580,278 17


(4)

Post Hoc Tests

Homogeneous Subsets

NILAI Duncan a,b

PERLAKUAN

N Subset

1 2 3

kontrol positif 3 383,0000

BAL L. plantarum 2C12 + EPEC

3 435,0000 435,0000

BAL L. fermentum 2B4 + EPEC

3 452,0000 452,0000

BAL L. fermentum 2B4 3 544,6667 544,6667 544,6667

kontrol negatif 3 612,6667 612,6667

BAL L. plantarum 2C12 3 665,0000

Sig. ,105 ,078 ,204

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = 10713,222.

a Uses Harmonic Mean Sample Size = 3,000. b Alpha = ,05.


(5)

Univariate Analysis of Variance

Between-Subjects Factors

Value Label N

ULANGAN 1 6

2 6

3 6

PERLAKUAN 0

kontrol negatif 3

1

BAL L. plantarum 2C12 3

2

BAL L. fermentum 2B4 3

3

BAL L. plantarum 2C12 + EPEC 3

4

BAL L. fermentum 2B4 + EPEC 3

5

kontrol positif 3

Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: NILAI

Source

Type III Sum of

Squares df Mean Square F Sig.

Corrected Model 21803888,889(a) 7 3114841,270 1,817 ,189 Intercept

433160555,556 1 433160555,55

6 252,637 ,000

ULANGAN 2207777,778 2 1103888,889 ,644 ,546

PERLAKUAN 19596111,111 5 3919222,222 2,286 ,036

Error 17145555,556 10 1714555,556

Total 472110000,000 18

Corrected Total 38949444,444 17


(6)

Post Hoc Tests

Homogeneous Subsets

NILAI Duncan a,b

PERLAKUAN

N Subset

1 2 3

BAL L. plantarum 2C12 + EPEC 3 3766,6667 3766,6667 BAL L. fermentum 2B4 + EPEC 3 3766,6667 3766,6667

kontrol positif 3 4433,3333

kontrol negatif 3 4933,3333

BAL L. plantarum 2C12 3 6200,0000

BAL L. Fermentum 2B4 3 6333,3333

Sig. ,054 ,078 ,106

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = 1714555,556.

a Uses Harmonic Mean Sample Size = 3,000. b Alpha = ,05.