Perkembangan dan Inisiatif Internasional

3 Pelapor khusus PBB pada 2011, Frank La Rue, telah mengeluarkan beberapa rekomendasi tentang perlindungan kebebasan berkespresi di internet 10 yang dalam laporannya dinyatakan bahwa ….kehe ata i ter et u tuk e ye arka i for asi se ara epat da e o ilisasi asa juga menciptakan ketakutan bagi pemerintah atau penguasa. Hal ini mendorong meningkatnya pembatasan penggunaan Internet melalui penggunaan teknologi canggih untuk memblokir konten, memonitor dan mengidentifikasi para aktifis dan kritikus , pemidanaan terhadap ekspresi yang sah serta pengadopsian peraturan tertentu yang membenarkan tindakan-tindakan pembatasan . Penggunaan teknologi penyaringan dan pemblokiran oleh negara merupakan pelanggaran atas kewajiban Negara untuk menjamin kebebasan berekspresi jika tidak memnuhi prinsip-prinsip umum terkait dengan hak atas kebebasan berpendapat dan berkespresi. Pertama kondisi khusus yang membenarkan pemblokiran tidak terdapat dalam hukum atau diatur oleh hukum tapi menyebabkan pemblokiran konten secara luas dan semena-mena. Kedua pemblokiran tidak dilakukan untuk memenuhi tujuan seperti yang dijelaskan dalam pasal 19 ayat 3 Kovenan Sipol dan daftar pemblokiran secara umum dirahasiakan sehingga sulit untuk ditentukan apakah akses ke konten yang dibatasi tersebut dilakukan demi tujuan yang benar. Ketiga, bahkan ketika pembenaran terhadap pemblokiran dilakukan, tindakan pemblokiran telah menciptakan alat-alat yang tidak perlu dan tidak sesuai untuk mencapai tujuan karena tindakan tersebut sering tidak mempunyai tujuan yang cukup untuk dilakukan dan menyebabkan konten tidak bisa di akses karena sudah dianggap illegal. Terakhir konten sering di blok tanpa adanya intervensi atau kemungkinan pengujian kembali oleh sebuah pengadilan atau badan yang independen. 11 Oleh karena itu maka Pelapor Khusus sangat memperhatikan adanya mekanisme yang digunakan untuk mengatur dan menyaring informasi di internet yang sangat baik dengan kontrol yang berlapis-lapis yang sering tersembunyi dari perhatian masyarakat. 12 Tindakan pemblokiran atau penyaringan harus dilakukan secara trasnparan dan diperlukan untuk mencapai tujuan utama yang diprioritaskan oleh Negara. Dalam setiap tindakan pemblokiran atau penyaringan perlu adanya daftar laman yang diblokir dan informasi detail mengenai keperluan dan pembenaran dilakukannya pemblokiran pada setiap laman. Penjelasan harus diberikan pada laman yang terkena dampak pemblokiran mengenai kenapa mereka di blokir. Mengenai penentuan tentang konten yang harus diblokir maka hal itu harus dilakukan oleh otoritas pengadilan yang kompeten atau sebuah badan yang independen dari pengaruh politik, pengaruh bisnis, atau pengaruh dari pihak yang tidak berwenang lainnya.

1.3. Perkembangan dan Inisiatif Internasional

Kekosongan di sisi hukum dalam soal kebijakan konten ini membuat pemerintah di berbagai Negara yang menerapkan pembatasan tingkat tinggi harus memutuskan konten yang perlu di blokir. Namun karena kebijakan ini merupakan isu sensitif bagi setiap masyarakat, maka penerapan instrumen hukum menjadi penting. Pembuatan regulasi nasional dalam hal kebijakan konten bisa menyediakan perlindungan yang lebih baik bagi hak asasi manusia dan menyelesaikan peran Penyedia Jasa Internet yang kadang ambigu dan badan pelaksana serta pemain lain. Dalam beberapa tahun terakhir, berbagai Negara telah memperkenalkan undang-undang kebijakan Internet di Negara masing-masing. Pada tataran Internasional, inisiatif utama muncul dari Negara-negara Uni Eropa dengan undang-undang yang tegas mengatur ekspresi kebencian termasuk anti rasisme dan anti semitisme. Lembaga-lembaga regional di eropa juga telah mencoba untuk menerapkan aturan- 10 Ibid hal. 55 11 Lihat Frank La Rue, Laporan Pelapor Khusus PBB untuk Promosi dan perlindungan hak kebebasan berpendapat dan berekspresi, Paragraf 31, http:daccess-dds- ny.un.orgdocUNDOCGENG1113201PDFG1113201.pdf?OpenElement 12 Ibid, Paragraf 29 4 aturan ini di dunia maya. Instrumen hukum primer yang membahas permasalah konten adalah Protokol Tambahan Dewan Eropa terhadap Konvensi Kriminal di Dunia Maya The Convention on Cyber Crimes. 13 Uni Eropa juga telah memulai pengendalian konten, mengadopsi rekomendasi Komisi Eropa melawan rasisme melalui internet. 14 Di tingkat yang lebih praktis Uni Eropa memperkenalkan rencana tindakan- tindakan untuk internet yang lebih aman di Uni Eropa di dalamnya termasuk poin-poin: 15 1. Mendorong jaringan hotline untuk pelaporan konten illegal di Eropa 2. Pengendalian konten Vs Kebasan berekpresi 3. Mendorong pengaturan mandiri 4. Mengembangkan peringkat konten, penyaringan, dan penyaringan berdasarkan acuan tertentu 5. Mengembangkan perangkat lunak dan jasa layanan 6. Membangkitkan kesadaran untuk penggunaan internet yang lebih aman Organisasi Keamanan dan Kerjasama Eropa juga secara aktif telah mengatur beberapa konferensi dan pertemuan dengan perhatian utama terhadap kebebasan berekspresi dan potensi penyalahgunaan internet misalnya rasisme, xenophobia dan propaganda antisemit sejak 2003. Organisasi Article 19 juga telah memberikan sebuah rekomendasi penting mengenai pembatasan konten ini, 16 dengan menggunakan peran yang lebih besar oleh penegak hukum, yakni Pertama, setiap orang harus mampu memberi tahu penegak hukum mengenai suatu dugaan tindak kejahatan, termasuk tindak kejahatan online. Jika pihak penegak hukum meyakini bahwa konten yang dipermasalahkan harus dihapus dan masalah tersebut tidak mendesak, mereka harus meminta perintah pengadilan, jika diperlukan dengan dasar Ex Parte. Namun jika situasinya memang mendesak, misalnya terancamnya nyawa seseorang, maka penegak hukum harus diberikan kekuatan undang-undang untuk memerintahkan penghapusan atau pemblokiran akses terhadap konten yang dipermasalahkan sesegera mungkin. Namun demikian, perintah tersebut harus dikonfirmasi oleh pengadilan dalam periode waktu tertentu yang ditetapkan, misalnya 48 jam. Penggunaan mekanisme informal seperti telepon atau email untuk meminta host untuk menghapus konten tidak diperbolehkan. Kedua, setiap pengguna internet dapat memberikan pemberitahuan kepada host atau platform media sosial mengenai dugaan konten kejahatan. Dalam kasus semacam ini, host atau platform harus memberitahu lembaga penegak hukum jika komplain tersebut memang berdasar dan layak untuk diteruskan dengan penyidikan. Host atau platform juga dapat memutuskan untuk menghapus konten yang dipermasalahkan sebagai upaya interim sejalan dengan ketentuan layanan mereka. Ketiga, banyak negara memiliki lembaga swasta yang bekerjasama dengan lembaga penegak hukum dan mengoperasikan hotline yang dapat ditelepon oleh setiap pengguna internet jika mereka menduga adanya suatu konten kejahatan yang diposting secara online lihat misalnya Internet Watch Foundation di Inggris atau SaferNet di Brazil. Dalam kasus-kasus tersebut, hotline biasanya melaporkan konten yang dipermasalahkan kepada host maupun lembaga penegak hukum. Mereka kemudian dapat menanganinya dengan mengikuti proses yang sama sebagaimana dijelaskan di atas dan mereka menggunakannya untuk menangani komplain dari publik terkait konten online yang berpotensi kejahatan. 13 Loc Cit. Jovan Kurbalija hal. 147 14 ibid 15 ibid 16 Lihat Article 19, Perantara Internet:Dilema dan Tanggung jawab, 2013 5 Opsi manapun yang dipilih, adalah penting untuk memberitahukan pihak berwenang mengenai setiap tuduhan adanya tindak kejahatan serius sehingga hal tersebut dapat segera ditangani sesuai dengan prosedur yang berlaku dalam sistem peradilan pidana. Penting pula untuk dipahami bahwa di banyak negara, hukum pidana mencakup banyak jenis pelanggaran minor maupun administratif dan tidak mungkin bagi polisi, demi kepentingan publik, untuk menyidik setiap tuduhan kegiatan online berpotensi kejahatan. Karena alasan yang sama, Jaksa harus mempertimbangkan apakah perlu untuk memproses suatu kasus jika suatu masalah dapat diselesaikan secara lebih efektif dengan menghapus konten misalnya penghapusan pernyataan rasis di Twitter. Oleh karenanya, penting untuk dipahami bahwa sebagian besar kasus yang terkait dengan tuduhan pelanggaran hukum minor akan jauh lebih bijak untuk menghapus konten yang dipermasalahkan daripada langsung memprosesnya secara hukum. 1.4. Ruang lingkup hukum bloking dan filtering konten Internet di Indonesia Jenis jenis konten yang dilarang dalam berbagai kesepakatan Internasional meliputi: 1. pornografi anak untuk perlindungan anak 17 2. penyebaran kebencian untuk melindungi hak-hak komunitas yang terpengaruh oleh hal itu 3. hasutan publik untuk melakukan genosida untuk melindungi hak-hak orang lain 4. advokasi nasional terkait rasa atau agama yang bisa memicu hasutan diskriminasi, kekerasan atau permusuhan untuk menjaga hak-hak orang lain seperti hak untuk hidup 18 Sedangkan Konten yang dilarang dalam hukum Indonesia diatur dalam beberapa undang-undang yakni: Dalam UU ITE mengenai pornografi dalam Bab VII tentang Perbuatan Yang Dilarang, Pasal ayat Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan danatau mentransmisikan dan atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik adanatau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan Insert Pasal 27 ayat 2 “ Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan danatau mentransmisikan danatau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik danatau Dokumen Elektro ik ya g e iliki uata perjudia Pasal ayat Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan danatau mentransmisikan danatau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik danatau dokumen elektronik yang memiliki muatan penghinaan Pasal ayat Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan permusuhan individu danatau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antar golongan SARA . Pasal Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mengirimkan informasi elektronik danatau dokumen yang berisik ancaman kekerasan atau menakut-nakuti yang ditujukan secara pribadi. 17 Lihat Pasal 2 dan Pasal 3 Protokol Opsional Konvensi Hak anak mengenai penjualan anak, prostitusi anak dan pornografi anak. Menurut pelapor khusus PBB pemblokiran terhadap pornografi anak adalah pengecualian yang jelas dan dibenarkan. Negara juga perlu untuk fokus kepada usaha mereka dalam menghukum orang-orang yang bertanggungjawab dalam memproduksi dan menyebarkan pornografi anak daripada hanya sekedar melakukan tindakan pemblokiran. 18 Lihat Pasal 20 Konvenan Sipol 6 Pembatasan konten dalam hukum nasional memasukkan sejumlah syarat yang tidak diatur dalam hukum HAM I ter asio al, isal ya aga a da kesusilaa dala pasal ayat UU ITE. Pe atasan tersebut, selain tidak diatur dalam hukum HAM internasional, juga tidak mempunyai indikator yang jelas yang berakibat punya potensi melanggar HAM jika tidak diatur secara jelas. Selain itu, penggunaannya seringkali didasarkan pada suatu nilai atau keyakinan yang tunggal atau dilakukan berdasarkan kehendak kelompok mayoritas, dan hal ini bertentangan dengan prinsip keberagaman atau perlindungan terhadap kelompok minoritas, sehingga justru menyebabkan atau berpotensi terjadinya pelanggaran HAM. UU ITE mempunyai masalah, yakni adanya pembatasan dengan dasar melanggar kesusilaan dan rumusan larangan perbuatan atas dasar penghinaan dan penerapannya selalu merujuk pada ketentuan KUHP. “e e tara itu, dasar pe gatura atau pe atasa se agai a a diatur Pasal 28 2 dan Pasal 29 dipandang dapat dimasukkan dalam klausul pembatas yang digunakan sebagai dasar pembatasan hak atas kebebasan berekspresi yaitu ketertiban umum dan menghormati hak atau nama baik orang lain, serta melindungi keamanan nasional atau ketertiban umum atau kesehatan atau moral masyarakat . Namun masalah utama yang mengemuka dalam praktik pemblokiran dan penyaringan adalah belum adanya ketentuan yang secara detail mengatur mekanisme dan tata cara pemblokiranpenyaringan konten. Indonesia juga belum memiliki suatu badan khusus yang independen, yang diberikan mandat untuk melakukan pemblokiran dan penyaringan konten internet. Sebagai contoh, ketentuan Pasal 18 huruf a UU No. 44 Tahun 2008 tentang Pornografi hanya menyatakan bahwa untuk mencegah perluasan pornografi, pemerintah dapat melakukan pemutusan jaringan pembuatan dan penyebarluasan produk pornografi atau jasa pornografi, termasuk pemblokiran pornografi melalui internet. Namun ketentuan ini tidak mengatur lebih lanjut mengenai pihak yang berwenang melakukan pemblokiran internet, serta tata cara pemblokiran dilakukan, agar memenuhi kaidah due process of law. 19

1.5. Praktek Pemblokiran dan Penyaringan blockingfiltering di Indonesia