17
Konten yang pengendaliannya memiliki konsensus global yakni:
Termasuk dalam hal ini adalah pornografi anak-anak, pembenaran akan aksi genosida, dan aksi atau organisasi terorisme, seluruhnya dilarang berdasarkan hukum Internasional
Muatan yang di atur dalam larangan tersebut adalah perbuatan yang diklasifikasikan sebagai tindak pidana. Diluar hal tersebut Kementerian Kominfo harusnya tidak perlu menambah-nambah lagi muatan-
muatan yang ditafsirkannya secara subyektif. Karena untuk merumuskan secara baik elemen-elemen yang ada di dalam UU ITE saja, Permen sudah tidak mampu lagi merumuskan secara benar yang baik.
Disamping itu. tidak ada cukup penjelasan dan pengaturan yang memadai mengenai bagaimana cara Kementerian kominfo memastikan bahwa konten tersebut bermuatan negatif sehingga harus di sensor.
Dalam Rancangan Permen, sangat mudah bagi pemerintah untuk melakukan penetapan bahwa sebuah konten itu termasuk kedalam konten negatif dan harus di sensor, dimana proses pembuktiannya jauh
lebih mudah dan tanpa syarat apapun daripada proses pembuktian pemeriksaan pengadilan yang justru lebih ketat.
3.3. Kewenangan Pemerintah Menkominfo yang terlalu luas.
Hal mendasar lainnya adalah, Peran Menkominfo terlalu besar kewenengannya dalam hal sensor. Draft ini memposisikan menkominfo sebagai pelapor, pengadu, penyidik, penuntut, pembuat standar penilaian
sekaligus penilai atau hakim dan sekaligus pula eksekutor dalam kebijakan boking dan filtering, hal Ini yang seharusnya di tolak. Berdasarkan pada ketentuan Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8 1 dan Pasal 9 1
Rancangan Permen, meyatakan bahwa seluruh akses Internet di Indonesia harus lolos dari pemblokiran sesuai daftar alamat situs database bermuatan negatif yang dikelola oleh Direktur Jenderal Aplikasi
Informatika. Hal ini sama saja dengan bentuk pengontrolan informasi yang ketat oleh negara dan pada prakteknya rentan mencederai hak berekspresi dan berinformasi
Sebenarnya kelembagaan, pemblokiran konten internet tidak pernah ditetapkan berada di bawah pengawasan suatu institusi tertentu, Kementerian Komunikasi dan Informatika Kominfo sebetulnya
tidak memiliki kewenangan secara struktural yang diamanatkan oleh Undang-Undang untuk melakukan pembatasan atas akses informasi konten internet di Indonesia. Kebijakan yang hanya secara eksplisit
e ge ai se sor i ter et i i tertua g dala pasal UU ITE ya g e yataka ..Pemerintah melindungi kepentingan umum dari segala jenis gangguan sebagai akibat penyalahgunaan informasi elektronik dan
transaksi elektronik yang mengganggu kepentingan umum sesuai dengan ketentuan . Jadi e
erika peran yang terlalu besar pada suatu kementerian yang secara regulasinya tidak cukup kuat memiliki
kewenangan yang menyatakan sebuah konten adalah negatif dan kemudian berhak untuk melakukan sensor adalah hal yang berlebihan.
Oleh itu maka harus dipastikan terlebih dulu apakah kebijakan sensor internet pemerintah memang menjadi ranahnya Kementerian Kominfo. Karena UU tidak jelas mengatur kewenangan sensor ini maka
Permen Kominfo haruslah di tolak, sebelum memastikan kewenangan Menkominfo jelas dalam kebijakan sensor internet.
Pengawasan terhadap Komiinfo sebagai lembaga satu-satunya yang superbody terkait
uata ko te juga tidak tercantum dalam UU maupun dalam Rancangan Permen ini. Tentunya hal ini harus dicurigai
karena Kementerian Kominfo terlihat bekerja tanpa pengawasan yang cukup baik. Rancangan Permen hanya mengatur megenai normalisasi proses penghapusan alamat situs dari
TRUST+Positif dengan cara membebankan kepada pemohon untuk mengajukan normalisasi atas pe
lokira situs jika ada kesalaha pe a tu a ala at situs di dala data ase Trust Positif, a u
18 hal tersebut sangatlah tidak memadai. Pada pasal 16 ayat 3 dan ayat 4 memang dikatakan bahwa
Dirjen dapat menerima dan memproses laporan dari masyarakat atas normalisasi database dalam 1 x 24 jam, namun hal tersebut tidak berarti masyarakat akan bisa langsung mengakses situs yang dinormalisasi
dicabut dari database blokir tersebut. Selain itu pula tatacaranya yang diatur dalam Rancangan Permen ini berbelit-belit dan birokratis, dimana
pihak yang mengajukan normalisasi lah yang harus membuktikan bawa pemblokiran tersebut tidak sesuai dengan muatan yang telah ditetapkan. Pada pasal 9 ayat 2, tertulis bahwa penyelenggara jasa akses
Internet, atau ISP, hanya akan melakukan pembaharuan rutin paling sedikit 1 x seminggu. Jika ada sebuah situs ya g se pat se ara tidak se gaja asuk dala data ase Trust Positif da la tas di lokir oleh I“P,
maka untuk pemulihannya bisa jadi akan memakan waktu 1 minggu atau secepatnya mengikuti periode
pembaharuan berikutnya. Memang ada mekanisme pembaharuan 1 x 24 jam, khusus untuk hal yang ersifat e desak, ta pa ada pe jelasa le ih la jut apa ya g di aksud de ga e desak terse ut
52
. Demikian pula tidak dijelaskan mengenai kompensasi atas kesalahan yang dilakukan, Rancangan Permen
tidak mengatur mengenai ganti rugi terhadap blokir yang telah dilakukannya.
3.4. Sensor yang Kebablasan akan Merugikan Publik