Pembatasan Konten Harus terkait dengan Penegakan Hukum Pidana

14 harus dilakukan dengan undang-undang. Pengaturan dengan menggunakan undang-undang akan memastikan adanya pengawasan dan legalitas dari kebijakan sensor itu sendiri. Kebijakan sensor hanya dibolehkan bilamana memenuhi bebepara pra-syarat berikut yakni adanya otoritas resmi yang ditunjuk oleh Undang-Undang untuk melakukan kebijakan sensor apakah lewat Kejaksaan atau Putusan Pengadilan, dan kedua menekankan tentang perlunya sebuah Undang - Undang yang secara khusus mengatur kebijakan sensor di internet pada umumnya, hingga tata cara sensor internat untuk masing-masing lembaga yang berwenang sesuai undang-undang yang sah.

3.2. Pembatasan Konten Harus terkait dengan Penegakan Hukum Pidana

Pengaturan mengenai pembatasan konten, harus selalu dikaitkan dengan konteks penegakan hukum, khususnya yang terkait dengan hukum pidana. Tanpa keterkaitan dengan penegakkan hukum, maka praktik pemblokiran dan penyaringan konten Internet sangat rawan disalah gunakan. Sebagai contoh, pengertian konten negatif dalam Rancangan Permen ini norma pengaturannya yang tidak pasti, persisten secara akurat. Cakupan konten dalam Rancangan Permen ini walaupun di kategorisasikan dalam 3 varian, sebetulnya sangat luas. Konten pornografi, perjudian dan kegiatan ilegal lainnya yang di maksud dalam Rancangan Permen tersebut multi intrepretasi. Pengertian pornografi yang dimaksud membutuhkan kepastian hukum yang ketat mengenai apa yang di aksud dala draft i i se agai …yang memuat kecabulan atau eksploitasi seksual yang melanggar norma kesusilaan dalam masyarakat.. pe gertia i i sa gat luas ahka le ih luas dari aksud UU Pornografi sekalipun. Pengertian pornografi dalam Rancangan Permen ini tidak sesuai dengan UU Po ografi ya g e uat ta aha ele e pe ti g yak i yang secara eksplisit memuat persenggamaan, kekerasan seksual, masturbasi, ketelanjangan, atau tampilan yang mengesankan ketelanjangan, alat kelamin dan pornografi anak . Tabel 2 Larangan konten Pengertian Catatan Pornografi gambar, sketsa, ilustrasi, foto, tulisan, suara, bunyi, gambar bergerak, animasi, kartun, percakapan, gerak tubuh, atau bentuk pesan lainnya melalui berbagai bentuk media komunikasi danatau pertunjukan di muka umum, yang memuat kecabulan atau eksploitasi seksual yang melanggar norma kesusilaan dalam masyarakat 1. Pengertian pornografi ini tidak sesuai dengan UU Pornografi yang memuat tambahan elemen pe ti g yak i ya g se ara eksplisit e uat persenggamaan, kekerasan seksual, masturbasi, ketelanjangan, atau tampilan yang mengesankan ketela ja ga , alat kela i da por ografi a ak. 2. Pengertian ini harus di susun secara presisi agar tidak menimbulkan penafsiran tunggal. 3. Memposisikan sebuah konten adalah negatif atau tidak sebaiknya dengan putusan pengadilan atau badan sensor muatan yang dibentuk berdasarkan UU. 4. Pasal 18 huruf a UU No. 44 Tahun 2008 tentang Pornografi hanya menyatakan bahwa untuk mencegah perluasan pornografi, pemerintah dapat melakukan pemutusan jaringan pembuatan dan penyebarluasan produk pornografi atau jasa pornografi, termasuk pemblokiran pornografi melalui internet, Namun ketentuan ini tidak mengatur lebih lanjut mengenai pihak yang berwenang melakukan pemblokiran internet, serta tata cara pemblokiran dilakukan, agar memenuhi kaidah due process of law. 15 Perjudian Tidak ada penjelasan Tidak ada penjelasan mengenai perjudian dunia maya, apakah sama dengan KUHP ? Pengertian ini harus di defenisikan ulang Kegiatan ilegal lainnya kegiatan ilegal yang pelaporannya berasal dari Kementerian atau Lembaga Pemerintah yang berwenang Apa yang di maksud dengan konten negatif sungguh sangat luas dan tergantung kepada penafsiran tunggal dari Kementrian Kominfo. Keluasan ini dapat terlihat dari frase merupakan kegiatan ilegal yang pelaporannya berasal dari Kementerian atau Lembaga Pemerintah yang berwenang. De ikia pula apa ya g di aksud de ga kegiata ilegal lai ya apa ya g di aksud de ga ..merupakan kegiatan ilegal yang pelaporannya berasal dari Kementerian atau Lembaga Pemerintah yang berwenang. Apakah kegiata illegal i i juga sudah diklarifikasi de ga aik a a ya g illegal da mana yang tidak, kemudian dasar penentuan illegal tersebut dari siapa? Apakah berdasarkan atas UU yang relevan ataukah hanya sebatas keputusan internal dari lembaga yang bersangkutan, putusan pengadilan dan lain sebagainya, hal-hal ini yang tidak akan mampu di atur dalam Rancangan Permen ini. Pada bagian awal preambule dari Rancangan Permen, pemerintah sebenarnya menginginkan adanya sensor yang meliputi : 1 Hak Kekayaan Intelektual, 2 muatan yang melanggar kesusilaan, perjudian, dan 3 muatan yang menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan kelompok masyarakat tertentu atas suku, agama, ras, dan antar golongan dan 4 nilai-nilai etika, moral, dan kaidah-kaidah yang tidak sesuai dengan citra bangsa Indonesia. Seperti yang dikatakan: 50 …… ahwa Hak Kekayaan Intelektual yang ada dalam situs internet dilindungi berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan; bahwa Pemerintah dan masyarakat perlu melindungi informasi elektronik danatau situs internet dari muatan yang melanggar kesusilaan, perjudian, dan muatan yang menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan kelompok masyarakat tertentu atas suku, agama, ras, dan antar golongan; bahwa untuk memberikan perlindungan bagi masyarakat terhadap nilai-nilai etika, moral, dan kaidah-kaidah yang tidak sesuai dengan citra bangsa Indonesia; aman bagi masyarakat dengan memberikan perlindungan berdasarkan daftar informasi sehat da terpe aya… Dalam Rancangan Permen diberikan pengertian bahwa kegiatan yang di maksud kegiatan illegal adalah: 51 ……..ter asuk tetapi tidak ter atas pada: a. pelanggaran hak cipta; b. peredaran obat, obat tradisional, kosmetik, suplemen makanan, makanan dan minuman tanpa izin edar untuk beredar di Indonesia; c. narkotika dan prekusor narkotika; d. praktek perdagangan dan investasi ilegal. Jadi se e ar ya, ‘a a ga Per e i i sudah dire a aka se agai Per e “apujagat ya g i gi melakukan sensor untuk semua hal, baik yang telah ada di dalam UU ITE maupun di luar UU ITE. Oleh karena itu, Rancangan Permen ini pada dasarnya akan mengesahkan tindakan blokir dan penyaringan 50 Bagian menimbang permen dalam draft Santika Serpong 51 Ibid 16 yang tidak terkait sama sekali dengan tindakan penegakkan hukum, khususnya penegakkan hukum pidana. Yang menjadi masalah karena amanat berdasarkan UU yang telah ada adalah larangan hanya terbatas kepada: Dalam UU ITE, Bab VII tentang Perbuatan Yang Dilarang yakni:  Pasal ayat Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan danatau mentransmisikan dan atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik adanatau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan  Pasal 27 ayat 2 Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan danatau mentransmisikan danatau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik danatau Dokumen Elektro ik ya g e iliki uata perjudia  Pasal ayat Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan danatau mentransmisikan danatau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik danatau dokumen elektronik yang memiliki muatan penghinaan  Pasal ayat Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan permusuhan individu danatau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antar golongan SARA .  Pasal Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mengirimkan informasi elektronik danatau dokumen yang berisik ancaman kekerasan atau menakut-nakuti yang ditujukan secara pribadi. Dalam UU Pornografi, BAB II tentang Larangan dan Pembatasan yakni :  Pasal 4 Setiap orang dilarang memproduksi, membuat, memperbanyak, menggandakan, menyebarluaskan, menyiarkan, mengimpor, mengekspor, menawarkan, memperjualbelikan, menyewakan, atau menyediakan pornografi yang secara eksplisit memuat: a. persenggamaan, termasuk persenggamaan yang menyimpang; b. kekerasan seksual; c. masturbasi atau onani; d. ketelanjangan atau tampilan yang mengesankan ketelanjangan; e. alat kelamin; atau f. pornografi anak. Setiap orang dilarang menyediakan jasa pornografi yang: a. menyajikan secara eksplisit ketelanjangan atau tampilan yang mengesankan ketelanjangan; b. menyajikan secara eksplisit alat kelamin; c. mengeksploitasi atau memamerkan aktivitas seksual; atau d. menawarkan atau mengiklankan, baik langsung maupun tidak langsung layanan seksual.  Pasal 5 “etiap ora g dilara g e i ja ka atau e gu duh por ografi se agai a a di aksud dalam Pasal 4 ayat 1.  Pasal 6 “etiap ora g dilara g e perde garka , e perto to ka , e a faatka , e iliki, atau menyimpan produk pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat 1, kecuali yang diberi kewenangan oleh peraturan perundang- u da ga . 17 Konten yang pengendaliannya memiliki konsensus global yakni:  Termasuk dalam hal ini adalah pornografi anak-anak, pembenaran akan aksi genosida, dan aksi atau organisasi terorisme, seluruhnya dilarang berdasarkan hukum Internasional Muatan yang di atur dalam larangan tersebut adalah perbuatan yang diklasifikasikan sebagai tindak pidana. Diluar hal tersebut Kementerian Kominfo harusnya tidak perlu menambah-nambah lagi muatan- muatan yang ditafsirkannya secara subyektif. Karena untuk merumuskan secara baik elemen-elemen yang ada di dalam UU ITE saja, Permen sudah tidak mampu lagi merumuskan secara benar yang baik. Disamping itu. tidak ada cukup penjelasan dan pengaturan yang memadai mengenai bagaimana cara Kementerian kominfo memastikan bahwa konten tersebut bermuatan negatif sehingga harus di sensor. Dalam Rancangan Permen, sangat mudah bagi pemerintah untuk melakukan penetapan bahwa sebuah konten itu termasuk kedalam konten negatif dan harus di sensor, dimana proses pembuktiannya jauh lebih mudah dan tanpa syarat apapun daripada proses pembuktian pemeriksaan pengadilan yang justru lebih ketat.

3.3. Kewenangan Pemerintah Menkominfo yang terlalu luas.