Demokrasi, Partisipasi, dan Negara Dalam Era Otonomi Daerah

pemerintahannya. Permasalahannya apakah kalau ketiga unsur utama tersebut dapat dipenuhi dalam proses desentralisasi atau otonomi daerah, maka kelompok “majoritas sosial” dapat terangkat martabatnya? Jangan- jangan yang justru terjadi adalah semakin parahnya proses peminggiran dan eksploitasi dari kaum “minoritas sosial”. Jawaban terhadap pertanyaan ini harus dilihat dalam kaitannya dengan dinamika politik di aras lokal. Istilah “mayoritas sosial” menunjuk kepada kelompok besar kaum miskin, terpinggirkan, tertindas, dan dilupakan. Sedangkan “minoritas sosial” adalah kelompok kecil masyarakat yang menguasai sumber daya dan kekayaan, termasuk di dalamnya adalah kaum konglomerat, penguasa politik, dan kelompok lain yang sering menggunakan kekuasaannya untuk menindas mayoritas sosial Esteva dan Prakash, 2000.

1.3. Demokrasi, Partisipasi, dan Negara Dalam Era Otonomi Daerah

Secara harafiah kata “demokrasi” berarti suatu pemerintahan dari, untuk dan oleh rakyat, namun sejumlah ahli memberi maka demokrasi yang berbeda-beda. Bachrach 1980:24-98 menunjukkan bahwa tujuan tertinggi dari demokrasi adalah suatu sistem pemerintahan yang memaksimalkan perkembangan diri setiap individu dimana kebebasan mutlak dijamin. Dahl 1971:2 mengatakan bahwa suatu sistem politik demokrasi adalah suatu sistem yang benar-benar atau hampir mutlak bertanggungjawab kepada semua warga negaranya accountability. Pandangan-pandangan para ahli ini seringkali bersifat normatif dan seringkali tidak dapat diterapkan dalam dunia nyata terutama di Indonesia. Schumputer 1947:269 memberi makna demokrasi yang relatif lebih realistis. Sebuah sistem politik disebut demokrasi sejauh para pengambil keputusan kolektifnya yang paling kuat dipilih melalui pemilu periodik, dimana para calon bebas bersaing untuk merebut suara dan dimana hampir semua orang dewasa berhak memilih. Dari sini metode demokratis dapat dilakukan dalam arti suatu rencana institutional pengambilan keputusan untuk mencapai keputusan politis dilakukan oleh individu yang memperoleh kekuasaan tadi. Dengan demikian maka demokrasi mengandung tiga dimensi makna yang saling terkait yaitu; persaingan, partisipasi Dahl 1971:4-9, dan kebebasan. Bagi Indonesia, dimana peran parpol belum berfungsi sepenuhnya maka makna kebebasan, persaingan dan partisipasi belum dapat dilakukan sebagaimana didefinisikan oleh Schumputer. Yang terjadi di aras lokal dan regional adalah suatu demokrasi elitis yang baru menyentuh para elite pemegang kekuasaan baik formal maupun non-formal Suwondo 1999. Sejalan dengan makna demokrasi seperti terurai di atas yang nampaknya juga erat dan tepat untuk membahas demokrasi di Indonesia adalah definisi yang dikemukakan oleh David Beetnam. Dia mendefinisikan bahwa democarcy as a mode of decision-making about collectively binding rules and policies over which the people exercise control Beetham 1993:55. Yang paling menentukan di dalam makna pola pengambilan keputusan ini 5 adalah adanya control dari masyarakat popular control dan, adanya kesama-derajatan dalam politic political equality. Dengan demikian maka demokrasi sebenarnva sangat terkait dengan bagaimana proses pengambilan keputusan tersebar terjadi. Di sini yang kemudian menjadi penting adalah apakah rakyat ikut berpartisipasi di dalammnya, baik di dalam penentuan Kebijakan Publik Peraturan Daerah, maupun di dalam aspek teknis pelaksanaannya. Persoalan yang kemudian muncul adalah apakah makna partisipasi itu sendiri. Kalau makna parsipasi diletakkan pada sebuah garis kontinuum maka di sisi sebelah kiri dapat digambarkan rakyat tidak hanya tidak berperan namun dimanfaatkan keadaannya untuk melegitimasi sebuah keputusan yang rakyat sendiri menjadi sengsara. Disisi sebelah kanan dapat digambarkan rakyatlah yang mempunyai wewenang penuh dan menentukan. Dengan gambaran itu maka partisipasi dapat diklasifikasikan kedalam empat makna partisipasi, yaitu: 1 Partisipasi Ayam Potong Disini digambarkan seperti seorang koki yang bertanya kepada ayam. Hei ayam kamu mau dimasak apa? Cap Jhae? atau Ayam Goreng?, atau Ayam Panggang?. Disini si ayam memang boleh memilih dan boleh sepenuhnya mengambil keputusan namun pilihannya sudah dibatasi yaitu hanya ada satu pilihan yaitu mati di potong. 2 Partisipasi Mobilisasi Disini rakyat diminta kerelaannya untuk menyumbangkan tenaga sering disebut kerja bakti atau gotong royong, pemikiran, dana iuran wajib, tanah kalau ada pelebaran jalan atau material yang lain. Rakyat tidak tahu untuk apa mereka di mobilisasi, namun yang penting mereka harus bersedia membantu program. Penolakan terhadap program yang kemudian disebut sebagai “Pembangkangan” dapat berarti anti Pancasila. Dengan melakukan hegemoni Negara bisa memaksakan kehendak. 3 Parisipasi Pengambilan Keputusan Dalam bentuk partisipasi yang ketiga ini, rakyat sudah diikut sertakan secara penuh baik di dalam proses pengambilan keputusan terutama perencanaan, maupun di dalam pelaksanaan keputusan tersebut. Kelemahan dalam pola ini adalah masih kuatnya peran negara mencampuri kehendak rakyat di dalam mengambil keputusan. 4 Partisipasi Pelimahan Kewenangan Bentuk yang terakhir ini adalah bentuk yang paling ekstrem dimana rakyat diberi kebebasan di dalam mengambil keputusan tanpa campur tangan sama sekali dari negara. Negara mempunyai kewajiban untuk memberikan kepercayaan dan kewenangan kepada rakyat untuk menentukan nasibnya, tujuannya dan rencananya sendiri. 6 Gambaran partisipasi dalam era otonomi daerah, terutama terkait dengan pola partisipasi yang keempat pemberian kewenangan, mau-tidak mau harus dikaitkan dengan keberadaan negara pemerintahan baik di aras lokal maupun regional. Oleh sebab itu ada baiknya kalau dikemukakan apa makna dari suatu negara. Weber memahami fungsi negara sebagai organisasi yang mempunyai kewenangan dan monopoli untuk menggunakan kekuatan fisik militer di dalam suatu teritorial Norbu, 1992:190. Kewenangan itu dibutuhkan untuk mengatur apabila teritori tersebut mengalami kekacauan. Hanya dengan kekuatan fisik maka kekacauan dapat ditekan. Walaupun begitu alasan modernisasi, efisiensi, dan kepatuhan hukum oleh masyarakat tidak dapat mengabaikan pandangan normatif bahwa pemerintahpun harus bekerja sesuai dengan ketentuan dan perundang-undangan HAM sehingga kedaulatan negarapun bersifat terbatas Coker 1921. Lebih dari itu Arief Budiman 1996 menganggap bahwa pada mulanya kelompok-kelompok masyarakat berada dalam kondisi chaos karena saling bertentangan demi mencapai tujuannya, Disini yang berlaku adalah hukum alam siapa kaut akan menang kondisi masyarakat seperti ini disebut sebagai Natural society. Kemudian mereka bersepakat untuk menitipkan kedaulatan dan kekuasaannya kepada suatu organisasi untuk mengatur agar dapat hidup makmur dan tenteram kondisi masyarakat semacam ini disebut sebagai Political society. Dengan demikian kekuasaan negara sebenarnya hanya merupakan titipan dari rakyatnya yang harus dijalankan untuk kepentingan rakyatnya secara luas. Dalam kenyataannya banyak negara bangsa yang kemudian melupakan asal-usalnya dan malah menekan dan menindas rakyatnya. Demikian pula di Indonesia, terutama pada era Otonomi Daerah, maka seharusnya kita memahami bahwa negara hanya melaksanakan titipan kekuasaan dari rakyat, sehingga semua kebijakan yang keluar dari negara harus sesuai dengan aspirasi dan kebutuhan rakyat. Permasalahannya bagaimana kebijakan publik tersebut terjadi.

1.4. Kebijakan Publik Yang Partisipatif