pembuatan kebijakan publik, seperti Peraturan Daerah, maka aspek dan prinsip-prinsip tersebut harus direnungkan kembali agar tidak salah langkah.
Berkaitan dengan permasalahan tersebut diatas ada beberapa makna dan konsekuensi yang perlu dijabarkan di dalam materi ini teutama
menyangkut aspek: 1 Apa makna Otonomi Daerah; 3 Apa makna Prinsip Demokrasi dan Partisipasi; 3 Apa makna Kebijakan Publik; dan 4
Bagamana konsekuensi makna Ototlomi Daerah, Demokrasi, dan Partisipasi dalam proses Pembuatan Kebijakan Publik.
1.2. Makna Otonomi Daerah
Secara ringkas dapat dikemukakan bahwa UU No. 32 Tahun 2004 mengatur tentang otonomi daerah. Pemerintah daerah berhak
menyelenggarakan pemerintahannya di semua bidang kecuali bidang: a Politik Luar Negeri; b Hankam; c Peradilan; d Moneter dan fiskal; e
Agama; dan kewenangan di bidang lain Pasal 10 ayat 1-3, UU No. 32 Tahun 2004. Bidang lain yang tetap akan diatur oleh pemerintah pusat tersebut
ternyata mencakup banyak bidang seperti: perencanaan nasional, pengendalian pembangunan nasional secara makro, dana perimbangan
keuangan, sistem administrasi negara, sistem lembaga perekonomian negara, pembinaan dan pemberdayaan SDM, pendayagunaan SDA, teknologi
tinggi yang strategis, konservasi, dan standardisasi nasional. Dengan demikian masih banyak bidang yang tetap ditangani oleh pemerintahan
pusat.
Dari segi penyelenggaraan pemerintahan daerah juga terdapat perubahan yang mengarah kepada nuansa yang seharusnya lebih
demokratis. Pihak legislatif berhak memilih kepala daerah dan membuat peraturan daerah secara bebas sesuai dengan aspirasi masyarakat, asalkan
tidak bertentangan dengan perundangan yang sudah ada dan tetap berada pada negara kesatuan Indonesia. Pihak eksekutif dapat menyelenggarakan
pemerintahannya dan bertanggungjawab ke DPRD representasi dari rakyat.
Dari segl keuangan, yang di dasarkan kepada Undang-undang No 25 tahun 1999 tentang perimbangan keuangan daerah, maka pihak pemerintah
daerah mempunyai sumber keuangan yang diperoleh lewat: 1 Pendapatan Ash Daerah pajak daerah, retribusi, hasil perusahaan daerah, dan hasil
pengelolaan kekayaan daerah; 2 Dana Perimbangan 90 dari bagian PBB; 80 dari perolehan hak atas tanah dan bangunan; penerimaan
sebagian hasil Sumber Daya Alam yang meliputi 30 hasil gas alam, 15 dari minyak bumi; dan 80 dari hasil hutan, tambang lain, dan perikanan;
dana alokasi umum; dan dana alokasi khusus; 3 Pinjaman daerah; dan 4 Pendapatan lain yang sah.
Disamping konsep dan isi aturan Pemerintahan Daerah seperti terurai di atas maka dicanangkannya undang-undang ini paling tidak memuat lima
tujuan utama yaitu: 1 Mempererat kesatuan bangsa; 2 meningkatkan
3
efisiensi administrasi; 3 mewujudkan kemandirian daerah; 4 memacu pembangunan sosial-ekonomi; dan 5 membentuk pemerintahan yang
demokratis yang mendorong munculnya inovasi dan partisipasi masyarakat Sarundayang, 1999, namun tujuan utamanya seharusnya adalah tetap
yaitu untuk mensejahterakan rakyat. Permasalahannya apakah ke lima tujuan tersebut dapat tercapai dan apabila dapat tercapai seberapa besar
porsi yang diperoleh kelompok mayoritas sosial yang miskin, terindas, dan terpinggirkan? Untuk menjawaban hal tersebut perlu dikemukakan
sebelumnya tentang makna otonomi daerah yang sebenarnya dapat terwujud dengan adanya proses desertralisasi kekuasaan dari pusat ke
daerah.
Koesoemahatmadja 1979 membedakan dua jenis desentralisasi yaitu: 1
dekonsentrasi yang merupakan pelimpahan kekuasaan dari alat perlengkapan negara tingkat atas kepada bawahan untuk dilaksanakan guna
melancarkan tugas pemerintah pusat. Di sini partisipasi rakyat dalam pengambilan keputusan tidak ada, dan 2 desentralisasi ketatanegaraan
atau desentralisasi politik yang merupakan pelimpahan kekuasaan
perundangan dan pemerintahan kepada daerah-daerah otonomi di lingkungannya. Di sini partisipasi masyarakat dalam proses pengambilan
keputusan kebijakan publik harus ada.
Pemahaman tersebut mempunyai dua makna yaitu:
pelimpahan wewenang, sering disebut sebagai “delegation” yang berarti pelimpahan
wewenang atau penyerahan tanggungjawab kepada bawahan untuk mengambil keputusan tetapi pengawasannya masih ada di tangan
pemerintah pusat. Makna yang kedua adalah ”devolution” atau
pelimpahan kekuasaan yang berarti adanya pelimpahan tanggungjawab penuh kepada pihak bawahan atas daerah Fadillah Putra 1999. Berdasar
pemahaman ini maka makna desentralisasi seharusnya merupakan penyerahan tanggungjawab penuh kepada daerah. Dalam hal ini maka
seharusnya pula makna Otonomi Daerah adalah merupakan penyerahan tanggungjawab penuh kepada daerah yang akan mengelola
pemerintahannya sesuai dengan aspirasi rakyatnya yang disampaikan dan dilaksanakan secara demokratis, walaupun harus tetap dalam kerangka
negara Kesatuan Republik Indonesia. Undang-undang No 32 Tahun 2004 menyebutkan bahwa makna desentralisasi adalah penyerahan wewenang
pemerintahan, oleh pemerintah pusat kepada daerah otonom dalam rangka negara kesatuan. Sedangkan makna otonomi diistilahkan sebagai
pengelolaan pemerintahan daerah secara luas dan nyata. Namun dalam pasal-pasal selanjutnya masih banyak bidang-bidang yang tetap dikuasai
dan diatur oleh pemerintahan pusat.
Dari sini ada tiga unsur utama dalam makna proses desentralisasi otonomi daerah, yaitu: terjadinya proses
pertanggungjawaban oleh
penyelenggara pemerintahan kepada rakyat; adanya partisipasi
masyarakat dalam proses pengambilan keputusan terutama menyangkut
kebijakan publik yang dilakukan secara transparan Uphoff 1979; dan dipegangnya kaidah-kaidah
demokrasi di dalam menjalankan
4
pemerintahannya. Permasalahannya apakah kalau ketiga unsur utama tersebut dapat dipenuhi dalam proses desentralisasi atau otonomi daerah,
maka kelompok “majoritas sosial” dapat terangkat martabatnya? Jangan- jangan yang justru terjadi adalah semakin parahnya proses peminggiran dan
eksploitasi dari kaum “minoritas sosial”. Jawaban terhadap pertanyaan ini harus dilihat dalam kaitannya dengan dinamika politik di aras lokal. Istilah
“mayoritas sosial” menunjuk kepada kelompok besar kaum miskin, terpinggirkan, tertindas, dan dilupakan. Sedangkan “minoritas sosial” adalah
kelompok kecil masyarakat yang menguasai sumber daya dan kekayaan, termasuk di dalamnya adalah kaum konglomerat, penguasa politik, dan
kelompok lain yang sering menggunakan kekuasaannya untuk menindas mayoritas sosial Esteva dan Prakash, 2000.
1.3. Demokrasi, Partisipasi, dan Negara Dalam Era Otonomi Daerah