7
1. Parhyangan Desa, yaitu Tri Kahyangan atau Tiga Tempat Suci, berupa Pura
Puseh, Pura Desa dan Pura Dalem
sebagai unsur jiwa atau ‘atman’-nya desa.
2. Pawongan Desa, adalah segenap Krama Desa yaitu warga komunitas desa sebagai
unsur tenaga atau ‘prana’ nya desa.
3. Palemahan Desa, adalah tanah dan lingkungan Wilayah Desa termasuk daerah
pemukimannya yang merupakan unsur badan wadag atau ‘sarira’-nya desa.
Tri Hita Karana mengajarkan pencapaian
tujuan hidup yang disebut dengan Jagaditha
atau Kesejahteraan,
dalam filosofi
ini kesejahteraan hanya dapat dicapai melalui tiga
jalan yang diharapkan. Ketiga jalan dimaksud,
yakni Satyam atau Kebenaran yang bisa
dicapai melalui kedamaian Atman atau Jiwa;
Ciwam atau Kebijakan yang bisa dicapai
melalui keharmonisan
Prana atau
TenagaKekuatan Komunitas; dan Sundaram
atau Kebahagiaan yang dapat dicapai melalui kearifan Sarira atau Badan Wadag Fisik
Lingkungan.
Gambar 01
SKEMA FILOSOFI TRIHITAKARANA
Pola hubungan yang seimbang dan serasi diantara ketiga sumber kesejahteraan dan
kedamaian ini, diharapkan agar manusia selalu berusaha
untuk menjaga
keharmonisan hubungannya dengan ketiga unsur itu, yakni :
1. Hubungan harmonis manusia dengan Tuhan, untuk mencapai Kebenaran,
2. Hubungan harmonis manusia dengan manusia, untuk mencapai Kebijakan,
8
3. Hubungan harmonis manusia dengan alam, untuk mencapai Kebahagiaan.
IMPLEMENTASI ‘TRIHITAKARANA’
KEDALAM KONSEP TATA RUANG DESA ADAT DI BALI
Penerapan falsafah Trihitakarana dalam penataan ruang, dapat diimplementasikan baik
kedalam proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan
ruang dan
pengendalian pemanfaatan ruang. Pendekatan penerapan
Trihitakarana kedalam konteks pola tata ruang desa dilakukan melalui wujud implementasi
makna ketiga unsurnya yakni implementasi
makna Parhyangan sebagai Jiwa Desa, implementasi makna Pawongan sebagai
Tenaga Desa dan implementasi makna Palemahan sebagai Sarira Desa.
1. Parhyangan : Pengendali Pemekaran Fisik Wilayah dan Tata Guna Lahan
Desa Adat
Dalam setiap desa adat di Bali baik di wilayah pedesaan maupun perkotaan
terdapat Parhyangan
Desa, yang
merupakan wujud hubungan harmonis antara manusia dengan Tuhan dalam
pemahaman falsafah
Trihitakarana. Parhyangan desa terdiri atas 3 tiga buah
Pura bangunan suci tempat beribadah
yang berada pada Hulu-Desa, Pusat-Desa, dan Hilir-Desa dimana ketiganya menjadi
batas tegas peruntukan dan perkembangan fisik desa.
Pura pada hulu desa disebut Pura Puseh,
yakni pura yang berkaitan dengan keyakinan
akan proses penciptaan atau kelahiran
manusia, dimana
Tuhan dalam
manifestasinya sebagai Sang Hyang Brahma
atau
Sang Pencipta
di-stana-kan diposisikan
untuk disembah.
Dengan
diposisikannya pada bagian Kaja-Kangin
atau Timur Laut sebagai wilayah paling hulu
desa dengan tata nilai ruang Utamaning- Utama, maka secara tegas diatur untuk tidak
diperkenankan adanya fungsi fisik profane guna lahan lain pada wilayah desa yang lebih
hulu daripada Pura Puseh, sehingga Pura ini menjadi batas fisik kelayakan fungsi guna
lahan profane non sacral wilayah paling Timur Kangin dan wilayah paling Utara
Kaja Desa.
Pura pada pusat desa disebut Pura Desa, yakni pura yang berkaitan dengan
keyakinan akan proses pemeliharaan atau kehidupan manusia, dimana Tuhan dalam
manifestasinya sebagai
Sang Hyang
Wisnu atau Sang Pemelihara di-stana-
kan. Posisinya pada pusat desa dengan tata
nilai Madya-ning-Madya, menjadikannya
sebagai pusat
pertumbuhan dan
pengendalian perkembangan desa yang tak
9
dapat digeser fungsi lain sebagai pusat desa. Pusat Desa berperan mengendalikan
batas terluar desa, hal ini dapat terjadi karena
batas terluar
desa biasanya
disyaratkan dengan jangkauan suara kul- kul kentongan dari pura dipusat desa ini.
Berdasarkan hasil penelitian jarak terluar batas wilayah dari pusat, suara kulkul
masih dapat terdengar pada radius sekitar 500 meter hingga 800 meter Rabindra,
Pola Komunits Kota Tabanan, Bali, Tesis, PWK-ITB, 1995.
Pura pada hilir desa disebut Pura Dalem, yakni pura yang berkaitan dengan
keyakinan akan proses peleburan atau kematian manusia, dimana Tuhan dalam
manifestasinya sebagai Sang Hyang Siwa atau Sang Pelebur atau Sang Pemralina
di-stana-kan. Sesuai dengan fungsinya sebagai pura kematian, pada kawasan
sekitar pura ini biasanya juga terdapat
Setra atau pemakamankuburan desa. Dengan diposisikannya pada bagian Kelod-
Kauh atau Barat-Daya sebagai wilayah
paling hilir desa dengan tata nilai ruang
Nista-ning-Nista, maka tidak layak adanya
fungsi fisik profane guna lahan lain yang lebih nista dari kuburan, sehingga Pura ini
menjadi batas fisik kelayakan fungsi guna lahan paling Barat Kauh dan Selatan
Kelod Desa.
2. Pawongan : Pengendali Jumlah Populasi Komunitas dan Ikatan Sosial Antar