NILAI KEARIFAN LOKAL DALAM PENATAAN RUANG KOTA BERKELANJUTAN Implementasi Filosofi ‘TRIHITAKARANA’ di Bali. | Rabindra | ARSITEKTUR LANSEKAP 76 162 1 SM

(1)

NILAI KEARIFAN LOKAL DALAM PENATAAN RUANG KOTA BERKELANJUTAN Implementasi Filosofi ‘TRIHITAKARANA’ di Bali.

Disusun oleh : Ida Bagus Rabindra

ABSTRACT

The key of success in sustainable development implementation are: involve in community participation, understand and imply local wisdom, arrange synergies between local wisdom and the modern life. All of those keys are include in the process of decision makers policy.

The local wisdom as well as community ideology has been proofed that people could live in harmony with the natural environment as their mother nature. Local wisdom and community ideology should synergize with values pattern which accepted by local community.

The concept of Trihitakarana means ‘three elements of harmonious causes’ that philosophically based on the Balinese community living. This ideological concept was based on Balinese-Hinduism religion, which believe in ‘harmonious relationship’ human with God, human with human, and human with nature. This article explained: synergize between the Trihitakarana as ideology, environmental system analysis (ESA/ KLHS), and current issues in sustainable green city planning and management.

Keywords : implementation, synergize, local wisdom, Trihitakarana, sustainable.

PENDAHULUAN

Dalam kerangka menjamin

terwujudnya ruang nusantara yang aman,

nyaman, produktif dan berkelanjutan,

diterbitkan Undang-Undang Nomor 26 Tahun

2007 tentang Penataan Ruang. Undang-undang ini mengatur perencanaan tata ruang wilayah kota harus memuat rencana penyediaan dan pemanfaatan ruang terbuka hijau yang luas minimalnya sebesar 30% dari luas wilayah kota. Demi efektifnya implementasi undang-undang diatas, maka Kementerian Pekerjaan

Umum menerbitkan Peraturan Menteri

Pekerjaan Umum No. 05/PRT/M/2008tentang

Pedoman Penyediaan dan Pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau di Kawasan Perkotaan.

Beberapa solusi cerdas yang

dipaparkan dalam Konferensi Nasional Smart Green City Planning yang dilaksanakan di Werdhapura Village Center, Bali-November

2010, diantaranya mengenai metode

penyusunan program pemanfaatan/

pengendalian penataan ruang, penyusunan peraturan zonasi, serta penataan ruang yang

berwawasan lingkungan dan berprinsip

pembangunan keberkelanjutan melalui

pendekatan Kajian Lingkungan Hidup


(2)

Latar Belakang

Dalam penataan ruang kota, para pakar sering mengingatkan akan arti penting The Hannover Principles 1992, menyangkut ‘Kota Hijau’ yaitu tentang hak kemanusiaan dan alam agar diakomodasi dalam pembangunan kota supaya bisa sehat, beragam dan

berkelanjutan. Diingatkan juga tentang

Gerakan Urbanisme Baru (New Urbanism) sebagai konsep dengan lima prinsip penangkal

kecenderungan urbanisme brutal sebagaimana

terjadi pada dekade 1980-an. Tak juga kalah pentingnya memasukkan nilai-nilai kearifan lokal (local wisdom) dalam setiap proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang.

Negeri ini sesungguhnya begitu kaya dengan kearifan-kearifan lokal yang sangat bernilai, namun tak sedikit yang faktanya diabaikan dan ditinggalkan oleh komunitasnya sendiri, dikarenakan dianggap usang dan tidak mudah diimplementasikan untuk memecahkan masalah kekinian. Salah satu kearifan lokal yang dinilai para pakar telah memuat prinsip-prinsip menangkal kecenderungan urbanisme brutal adalah falsafah Trihitakarana, yang merupakan pandangan sekaligus landasan segenap segi kehidupan masyarakat Bali.

Sesungguhnya, pelajaran teramat

penting yang dapat ditarik dari keteladanan

kearifan lokal adalah adanya kesatuan yang

utuh atau kesenyawaan antara warga dan

lingkungan komunitasnya, serta terbentuknya ikatan sosial (social cohesiveness) yang sangat kental diantara para warganya.

Permasalahan

Implementasi nilai-nilai kearifan lokal kedalam proses analisis dan sintesis peme-cahan masalah perencanaan kota saat ini, tak semudah yang bisa kita bayangkan dan harapkan. Dibutuhkan suatu pemahaman mendalam tentang makna filosofis setiap kearifan lokal yang ada, dan kecermatan sosiologis serta kepekaan ideologis dalam analisis strategis pendekatan metodologis implementasi nilai intrinsiknya; Khususnya bagaimana mensinergikannya kedalam pola dan metoda pendekatan analisis modern, seperti Kajian Lingkungan Hidup Strategis. Metodologi Pemecahan Masalah

Diperlukan upaya sinkronisasi secara cerdas dan bijak antara dua pola pendekatan yang berbeda asas dan ideologis ini, dengan memposisikan keduanya tidak dalam satu aras kategoris, melainkan komposisi saling mengisi dan melengkapi; Masing-masing sebagai kerangka yang mewadahi (container) dengan isi yang diwadahi (content) secara padu dan harmoni. Inti upaya ini adalah mengaktualisasi


(3)

potensi nila-nilai intrinsik kearifan lokal yang terpendam, keatas permukaan kompleksitas masalah saat ini bagi manfaat pemenuhan kebutuhan kekinian, dalam kerangka metoda logis yang sedemikian dinamis.

SOLUSI CERDAS PENATAAN RUANG KOTA

Penataan ruang merupakan suatu

sistem proses perencanaan tata ruang,

pemanfaatan ruang, dan pengendalian

pemanfaatan ruang. Wujud proses dan hasil penataan ruang adalah dalam Kebijakan ,

Rencana dan Program Tata Ruang (KRP).

Untuk menghasilkan rencana tata ruang yang sekaligus dapat menghambat, mengurangi atau bahkan mengatasi dampak-dampak langsung ataupun tak langsungnya terhadap lingkungan alami, maka diperlukan beberapa peraturan atau metoda analisis yang wajib diintegrasikan sebagai solusi cerdas kedalam proses penataan ruang, antara lain:

1. Menjamin Tersedianya Ruang Terbuka Hijau (RTH)

Patut disyukuri, bahwasanya Pemerintah melalui Kementerian Pekerjaan Umum cepat menyadari akan arti penting ruang terbuka hijau sebagai prasyarat kota yang berkelanjutan. Bahwa perencanaan tata

ruang wilayah kota harus memuat rencana penyediaan dan pemanfaatan ruang terbuka hijau yang luas minimalnya sebesar 30% dari luas wilayah kota. Memperkuat amanat isi Undang-undang no. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang tersebut, diterbitkan Peraturan Menteri Pekerjaan

Umum No. 05/PRT/M/2008 tentang

Pedoman Penyediaan dan Pemanfaatan

Ruang Terbuka Hijau di Kawasan

Perkotaan.

Penyediaan dan pemanfaatan RTH dalam RTRW Kota/RDTR Kota/RTR Kawasan Strategis Kota /RTR Kawasan Perkotaan, dimaksudkan agar menjamin tersedianya ruang yang cukup bagi: (a) Kawasan konservasi untuk kelestarian hidrologis, (b) Kawasan pengendalian air larian dengan menyediakan kolam retensi; (c) Area pengembangan keanekaragaman hayati; (d) Area penciptaan iklim mikro

dan pereduksi polutan dikawasan

perkotaan; (e) Tempat rekreasi dan

olahraga masyarakat; (f) Pembatas

perkembangan kota kearah yang tidak diharapkan; (g) Pengamanan sumberdaya baik alam, buatan maupun historis; (h) Penyediaan RTH yang bersifat privat,

melalui pembatasan kepadatan serta

criteria pemanfaatannya; (i) Area mitigasi/


(4)

penempatan pertandaan (signage) sesuai dengan peraturan perundangan dan tidak mengganggu fungsi utama RTH tersebut.

Tujuan penyelenggaraan RTH adalah

Menjaga ketersediaan lahan sebagai

kawasan resapan air, menciptakan aspek planologis perkotaan melalui keseimbang-an keseimbang-antara lingkungkeseimbang-an alam dkeseimbang-an lingkungkeseimbang-an binaan yang berguna untuk kepentingan masyarakat, serta meningkatkan keserasian lingkungan perkotaan sebagai sarana pengaman lingkungan perkotaan yang aman, nyaman, segar, indah, dan bersih.

Fungsi Utama (intrinsic) RTH adalah Fungsi Ekologis, yakni memberi jaminan pengadaan RTH menjadi bagian dari system sirkulasi udara (paru-paru kota), pengatur iklim mikro agar system sirkulasi

udara dan air secara alami dapat

berlangsung lancer, sebagai peneduh, produsen oksigen, penyedia habitat satwa, penyerap polutan media udara, air dan tanah, serta penahan angin.

Adapun fungsi tambahan (extrinsic) RTH adalah fungsi sosial dan budaya, fungsi ekonomi sebagai sumber produk yang bisa dijual, fungsi estetika untuk meningkatkan kenyamanan dan keindahan, fungsi-fungsi ini dapat dikombinasikan sesuai dengan kebutuhan, kepentingan,

keberlanjutan kota seperti perlindungan tata air, keseimbangan ekologi dan konservasi hayati.

Manfaat langsung Ruang Terbuka Hijau (RTH)) membentuk keindahan dan kenyamanan serta mendapatkan

bahan-bahan bernilai ekonomi, disamping

manfaat tidak langsung seperti pembersih udara yang sangat efektif, pemeliharaan

kelangsungan persediaan air tanah,

pelestarian fungsi lingkungan (konservasi hayati atau keanekaragaman hayati). 2. K.L.H.S. sebagai Proses Analisis

Lingkungan Sistematis

Devinisi KLHS (Kajian Lingkungan Hidup Strategis) atau SEA (Strategic Environment Assesment) adalah suatu proses sistematis dan komprehensif untuk

mengevaluasi dampak lingkungan,

pertimbangan sosial dan ekonomi, serta

prospek keberlanjutan dari usulan

kebijakan rencana, dan program

pembangunan. KLHS adalah rangkaian analisis yang sistematis, menyeluruh dan partisipatif untuk memastikan bahwa prinsip pembangunan berkelanjutan telah menjadi dasar dan terintegrasi dalam pembangunan suatu wilayah dan atau kebijakan, rencana dan program (KRP).


(5)

KLHS dibutuhkan untuk menginte-grasikan pertimbangan lingkungan hidup dan keberlanjutan melalui penyusunan Kebijakan, Rencana dan Program (KRP)

untuk meningkatkan pembangunan;

memperkuat proses pengambilan keputus-an atas KRP, mengurkeputus-angi kemungkinkeputus-an kekeliruan dalam membuat prakiraan/ prediksi pada awal proses perencanaan,

kebijakan, rencana atau program

pembangunan.

Tujuan KLHS adalah menghasilkan Kebijakan, Rencana dan Program (KRP)

yang berwawasan lingkungan hidup.

Pembangunan berkelanjutan yang

berwawasan lingkungan hidup adalah upaya sadar dan terencana, yang memadu-kan lingkungan hidup, termasuk sumber daya, kedalam proses pembangunan untuk menjamin kemampuan kesejahteraan dan mutu hidup generasi kini dan generasi masa depan. Sedangkan manfaat KLHS adalah dalam meningkatkan kredibilitas keputusan yang diambil dan mendorong kajian dampak lingkungan (AMDAL) pada tingkat proyek menjadi lebih efektif biaya dan waktu.

KLHS memperkuat proses

perencanaan melalui beberapa hal seperti : Identifikasi masalah-masalah lngkungan

hidup dan kendala pembangunan di wilayah studi; Menganalisis implikasi

berbagai opsi perencanaan terhadap

lingkungan dan memberi rekomendasi

untuk optimasi atau pengembangan

berbagai alternative yang berkelanjutan;

Merekomendasikan langkah untuk

meminimalisasi resiko lingkungan dan

sekaligus memaksimalisasi manfaat

termasuk rekomendasi desain proyek dan studi AMDAL proyek bersangkutan, penataan kelembagaan, dan inisiatif untuk mengendalikan dampak kumulatif.

KLHS minimal memuat kajian, antara lain: Kapasitas daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup, perkiraan mengenai dampak dan risiko lingkungan hidup, kinerja layanan jasa ekosistem, efisiensi pemanfaatan sumber daya alam, serta tingkat kerentanan dan kapasitas adaptasi terhadap perubahan iklim.

Pada prinsipnya KLHS perlu

dilaksanakan secara terintegrasi dengan

proses perencanaan. Hal itu untuk

menjamin agar pengaruhnya terhadap muatan KRP yang diputuskan memadai.

Namun keragaman kondisi yang

mempengaruhi proses perencanaan KRP menyebabkan pelaksanaan KLHS dapat dilakukan dengan cara :


(6)

a. KLHS dilaksanakan sebagai bagian dari proses penyusunan rancangan KRP atau dianggap sebagai peleburan kedua proses tersebut.

b. KLHS dilaksanakan bersamaan dengan

proses penyusunan rancangan KRP,

dimana kedua proses tersebut

diselenggarakan secara parallel namun saling berinteraksi satu sama lain.

c. KLHS dilaksanakan setelah KRP

ditetapkan; dimana keseluruhan

rangkaian proses KLHS berdiri sendiri.

KEARIFAN LOKAL MASYARAKAT

BALI DALAM LANDASAN FILOSOFI ‘TRIHITAKARANA’

Masyarakat Bali, yang kehidupannya dituntun oleh nilai-nilai kebudayaan Bali yang bercorak religious Hinduistis, selalu berusaha bersikap seimbang terhadap alam sekitarnya. Sehingga dapat dikatakan, bahwa nilai dasar dari kehidupan adat di Bali adalah nilai

keseimbangan’ (Dharmayudha dan Koti

Cantika, 1994)

Nilai keseimbangan ini diwujudkan dalam asas-asas kehidupan masyarakat Bali, yakni : 1. Asas selalu berharap dapat menyesuaikan

diri dan berusaha menjalin hubungan

dengan elemen-elemen alam dan

kehidupan yang mengitarinya.

2. Asas selalu berharap dapat menciptakan suasana kedamaian dan ketentraman antar sesama mahluk dan juga terhadap alam dimana manusia hidup sebagai salah satu elemen dari alam semesta raya

Nilai dan asas-asas tersebut kemudian

dipersepsikan sebagai landasan filosofis

TRIHITAKARANA, yang artinya menurut

Ketut Kaler (1983) adalah ‘Tiga unsur yang

merupakan sumber sebab terciptanya

kebaikan’; Adapun ketiga unsur tersebut

adalah :

1. Unsur Jiwa yang disebut Atman,

2. Unsur Tenaga atau Kekuatan yang disebut

Prana,

3. Unsur Badan Wadag atau Ragawi yang

disebut Sarira.

Ketiga unsur Tri Hita Karana ini

kemudian dipakai sebagai pola dasar baku oleh masyarakat Bali dalam membentuk segala sesuatu yang diharapkan dapat menciptakan keharmonisan, termasuk membentuk desa dan komunitasnya. Dalam pembentukan desa (adat) yang harmonis, ketiga unsur Tri Hita Karana diwujudkan sebagai :


(7)

1. Parhyangan Desa, yaitu Tri Kahyangan

atau Tiga Tempat Suci, berupa Pura

Puseh, Pura Desa dan Pura Dalem

sebagai unsur jiwa atau ‘atman’-nya desa.

2. Pawongan Desa, adalah segenap Krama

Desa yaitu warga komunitas desa sebagai unsur tenaga atau ‘prana’ nya desa.

3. Palemahan Desa, adalah tanah dan

lingkungan Wilayah Desa termasuk daerah pemukimannya yang merupakan unsur badan wadag atau ‘sarira’-nya desa.

Tri Hita Karana mengajarkan pencapaian tujuan hidup yang disebut dengan Jagaditha

atau Kesejahteraan, dalam filosofi ini

kesejahteraan hanya dapat dicapai melalui tiga jalan yang diharapkan. Ketiga jalan dimaksud,

yakni Satyam atau Kebenaran yang bisa

dicapai melalui kedamaian Atman atau Jiwa;

Ciwam atau Kebijakan yang bisa dicapai

melalui keharmonisan Prana atau

Tenaga/Kekuatan Komunitas; dan Sundaram

atau Kebahagiaan yang dapat dicapai melalui kearifan Sarira atau Badan Wadag/ Fisik Lingkungan.

Gambar 01

SKEMA FILOSOFI TRIHITAKARANA

Pola hubungan yang seimbang dan serasi diantara ketiga sumber kesejahteraan dan kedamaian ini, diharapkan agar manusia selalu

berusaha untuk menjaga keharmonisan

hubungannya dengan ketiga unsur itu, yakni :

1. Hubungan harmonis manusia dengan

Tuhan, untuk mencapai Kebenaran,

2. Hubungan harmonis manusia dengan


(8)

3. Hubungan harmonis manusia dengan alam, untuk mencapai Kebahagiaan.

IMPLEMENTASI ‘TRIHITAKARANA’

KEDALAM KONSEP TATA RUANG DESA ADAT DI BALI

Penerapan falsafah Trihitakarana dalam penataan ruang, dapat diimplementasikan baik kedalam proses perencanaan tata ruang,

pemanfaatan ruang dan pengendalian

pemanfaatan ruang. Pendekatan penerapan Trihitakarana kedalam konteks pola tata ruang desa dilakukan melalui wujud implementasi makna ketiga unsurnya yakni implementasi

makna Parhyangan sebagai Jiwa Desa,

implementasi makna Pawongan sebagai

Tenaga Desa dan implementasi makna

Palemahan sebagai Sarira Desa.

1. Parhyangan : Pengendali Pemekaran Fisik Wilayah dan Tata Guna Lahan Desa Adat

Dalam setiap desa adat di Bali (baik di wilayah pedesaan maupun perkotaan)

terdapat Parhyangan Desa, yang

merupakan wujud hubungan harmonis antara manusia dengan Tuhan dalam

pemahaman falsafah Trihitakarana.

Parhyangan desa terdiri atas 3 (tiga) buah Pura (bangunan suci tempat beribadah) yang berada pada Hulu-Desa, Pusat-Desa,

dan Hilir-Desa dimana ketiganya menjadi batas tegas peruntukan dan perkembangan fisik desa.

Pura pada hulu desa disebut Pura Puseh, yakni pura yang berkaitan dengan keyakinan

akan proses penciptaan atau kelahiran

manusia, dimana Tuhan dalam

manifestasinya sebagai Sang HyangBrahma

atau Sang Pencipta di-stana-kan

(diposisikan untuk disembah). Dengan

diposisikannya pada bagian Kaja-Kangin

atau Timur Laut sebagai wilayah paling hulu desa dengan tata nilai ruang

Utamaning-Utama, maka secara tegas diatur untuk tidak

diperkenankan adanya fungsi fisik profane guna lahan lain pada wilayah desa yang lebih hulu daripada Pura Puseh, sehingga Pura ini menjadi batas fisik kelayakan fungsi guna lahan profane (non sacral) wilayah paling Timur (Kangin) dan wilayah paling Utara (Kaja) Desa.

Pura pada pusat desa disebut Pura Desa, yakni pura yang berkaitan dengan keyakinan akan proses pemeliharaan atau

kehidupan manusia, dimana Tuhan dalam

manifestasinya sebagai Sang Hyang

Wisnu atau Sang Pemelihara

di-stana-kan. Posisinya pada pusat desa dengan tata nilai Madya-ning-Madya, menjadikannya

sebagai pusat pertumbuhan dan


(9)

dapat digeser fungsi lain sebagai pusat desa. Pusat Desa berperan mengendalikan batas terluar desa, hal ini dapat terjadi

karena batas terluar desa biasanya

disyaratkan dengan jangkauan suara kul-kul (kentongan) dari pura dipusat desa ini. Berdasarkan hasil penelitian jarak terluar batas wilayah dari pusat, suara kulkul masih dapat terdengar pada radius sekitar 500 meter hingga 800 meter (Rabindra, Pola Komunits Kota Tabanan, Bali, Tesis, PWK-ITB, 1995).

Pura pada hilir desa disebut Pura

Dalem, yakni pura yang berkaitan dengan

keyakinan akan proses peleburan atau

kematian manusia, dimana Tuhan dalam

manifestasinya sebagai Sang Hyang Siwa atau Sang Pelebur atau Sang Pemralina di-stana-kan. Sesuai dengan fungsinya sebagai pura kematian, pada kawasan sekitar pura ini biasanya juga terdapat

Setra atau pemakaman/kuburan desa.

Dengan diposisikannya pada bagian Kelod-Kauh atau Barat-Daya sebagai wilayah paling hilir desa dengan tata nilai ruang

Nista-ning-Nista, maka tidak layak adanya

fungsi fisik profane guna lahan lain yang lebih nista dari kuburan, sehingga Pura ini menjadi batas fisik kelayakan fungsi guna lahan paling Barat (Kauh) dan Selatan (Kelod) Desa.

2. Pawongan : Pengendali Jumlah Populasi Komunitas dan Ikatan Sosial Antar Warga Komunitas

Pawongan Desa, adalah segenap

Krama Desa yaitu warga komunitas desa

sebagai tenaga’ atau prana’ nya desa; merupakan kekuatan yang timbul dan terwujud dari bentuk hubungan harmonis antara manusia satu dengan manusia lainnya sebagai unsur utama pembentuk sebuah komunitas, dalam pemahaman falsafah Tri Hita Karana. Komunitas inilah inti kekuatan atau tenaga atau ‘prana’ nya

desa (adat) sebagai unit-unit dasar

pembentuk komunitas wilayah atau kota. Kekuatan komunitas ini bukanlah pada

ukuran tenaga dalam artian fisis,

melainkan kekuatan sosial berupa rasa kebersamaan, solidaritas dan sikap gotong royong yang sangat kental diantara para warganya. Sebuah kekuatan sosial yang terbentuk dari harmoni hubungan antara manusia satu dengan lainnya, yang diikat dengan kedekatan fisik dan intensitas komunikasi dan tingkat kenal yang tinggi diantara satu dengan lainnya (social cohesiveness).

Krama desa atau warga komunitas desa (adat) terdiri dari jumlah beberapa warga komunitas banjar (adat), dimana


(10)

warga komunitas banjar adat terdiri dari

warga beberapa komunitas tempekan.

Berdasarkan hasil penelitian, jumlah warga komunitas tempekan biasanya terdiri dari 25 hingga 50 kepala keluarga atau sekitar 100 jiwa hingga 250 jiwa atau setara dengan jumlah warga rukun tetangga (RT)

minimal. Beberapa tempekan biasanya

membentuk suatu komunitas banjar (adat), dengan jumlah warga komunitas banjar (adat) idealnya terdiri atas 150 hingga 250 kepala keluarga atau sekitar 600 jiwa hingga 1000 jiwa, atau setara dengan jumlah warga rukun warga (RW) ideal. Pada wilayah pusat kota yang padat, jumlah warga banjar (dinas) bisa mencapai sekitar 1200 jiwa sampai 2000 jiwa atau sekitar 250 hingga 500 kepala keluarga. Luas wilayah banjar minimal diperkotaan sekitar 35 Ha hingga 55 Ha atau luas wilayah dalam radius 350 m sampai dengan 420 m. Sedangkan luas wilayah banjar maksimal adalah sekitar 75 Ha hingga 200 Ha atau seluas wilayah dalam radius 500 m sampai dengan 800 m (Rabindra, Tesis, PWK-ITB,1995).

Besaran jumlah unit-unit komunitas tempekan, banjar dan krama desa terbentuk atas dasar derajat ikatan sosial yang

dipengaruhi oleh kedekatan fisik

lingkungan, intensitas pertemuan dan

komunikasi, serta rasa saling kenal dan saling memperhatikan diantara anggota komunitas. Dengan unit dasar besaran ini secara otomatis akan terkendali jumlah populasi setiap unit komunitas, sehingga sulit timbul terjadinya peledakan jumlah populasi yang tak terkendali didalam maupun diluar komunitas. Disamping komunitas inti seperti diatas, terdapat juga sub-sub komunitas yang disebut sekehe atau kelompok, seperti : sekehe suka duka

yakni semacam koperasi suka-duka,

gotong royong, arisan, dsb; sekehe subak yakni kelompok pengairan dan pertanian;

sekehe gong yakni kelompok kesenian dan

sebagainya; sekehe semal yakni kelompok pembasmi hama pertanian; juga sekehe

teruna-teruni yakni kelompok remaja

semacam kelompok karang taruna. Hampir tidak ada masalah yang tidak dapat diselesaikan dengan baik, apabila rasa kebersamaan dalam komunitas terbentuk begitu harmonis; demikian halnya dalam konteks dengan penataan ruang wilayah, tak ada masalah pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang yang tak bisa diselesaikan secara mudah dan tanpa masalah oleh warga komunitas yang harmonis.


(11)

3. Palemahan : Pengendali Perluasan Kawasan Terbangun dan Terjaganya Kelestarian Lingkungan Alami

Yang dimaksud dengan Badan Wadag

atau Sarira Desa, adalah wujud fisik lingkungan desa (adat) di Bali yang terdiri

atas cluster pemukiman masyarakat

termasuk pekarangannya; fasilitas sosial non sakral seperti Bale Desa/ Bale Banjar/ Bale Wantilan, Pasar, Sekolah, jalan lingkungan lapangan, kuburan (setra), dan lain sebagainya; juga termasuk kebon (teba), tegalan, sawah serta sungai, situ/ danau/ pantai, bukit, lembah, jurang, hutan dan elemen lingkungan alami lain yang ada didalam wilayahnya.

Cluster pemukiman dalam satuan unit

tempekan, banjar maupun desa ditata

dengan berbagai bentuk seperti konsep perempatan agung/ Catur Muka, konsep

Swastikasana, Konsep Linier Tri Mandala

(seperti di Desa Penglipuran) atau Iron Grid (seperti di Tenganan atau Desa Bugbug) dan sebagainya. Apapun konsep cluster pemukiman selalu mengacu pada ikatan sosio-religious dengan tata letak Tri Kahyangan, dan ikatan sosio-kultural dengan pola komunitas krama desa yang hidup diwilayahnya. Yang membedakan penerapan pola desa selain kondisi

geografis dan topografis alam lingkungan desa, adalah latar belakang historis terbentuknya desa, atau system jaringan transportasi wilayah yang lebih luas.

Pekarangan sebagai unsur-unsur

pembentuk cluster ditata secara sangat bijaksana dengan memperlakukan konsep

Sanga Mandala, yakni sistem tata nilai

ruang yang membagi pekarangan dalam 9 (Sembilan) zona pemanfaatan. Konsep ini memiliki tiga zona Utama, 3 zona Madya, serta Madya ning Nista.dan 3 zona Nista. Zona Utama ning Utama berfungsi sebagai Pemerajan yakni tempat suci yang 70 % berupa ruang terbuka dengan proporsi hijau sekitar 50:50 atau sekitar 4 % total

pekarangan. Zona Madya ning Madya

berfungsi sebagai Natah atau halaman tengah multi fungsi yang 100% terbuka dengan proporsi hijau 50:50 atau sekitar 5,5% total pekarangan. Sementara 7 zona lainnya rata-rata 60 % terbangun dan 40 % terbuka dengan proporsi hijau 50:50 atau setara dengan 15,5 % total pekarangan. Jadi setiap pekarangan menyumbang ruang terbuka 40,5 % dengan ruang terbuka hijau 25 % total luas pekarangan.

Konsep penyengker yang

memben-tengi pekarangan, selain mencegah konflik


(12)

mengendalikan pertumbuhan fisik bangunan karena memisahkan pekarangan yang boleh dibangun dengan teba atau kebun yang tak boleh dibangun. konsep

telajakan antara pekarangan dengan

pekarangan lain dan dengan jalan

lingkungan (semacam garis sempadan pagar atau bangunan) membuat batas sakral yang menjadikan manfaat pencegah perselisihan dengan masyarakat umum selain manfaat konstruktif pagar dan

bangunan, juga menyumbang ruang

terbuka hijau yang cukup signifikan. Topografi desa dikelola dengan sangat arif, yakni tidak melakukan pembentukan muka tanah dengan metoda cut dan fill secara sembarangan, karena aturan tidak diperkenankan merubah komposisi bagian lahan hulu ke hilir dan atau sebaliknya. Metoda yang diijinkan adalah dengan

metoda terrasering/ berjenjang untuk

mengurangi dampak terjadinya run-off

ataupun longsor. Disamping memberi manfaat pada system pengairan pertanian yang disebut subak, metoda terasering ini juga memberi peluang sangat besar pada

proses pelambatan aliran air kehilir, sehingga daya serap air permukaan menjadi sangat efektif.

Pemanfaatan potensi hidrografis seperti sungai, mata air dan situ/ danau juga dikelola secara sangat bijaksana untuk melindungi sumber-sumber air bersih dan air pertanian bagi kehidupan bersama. Mata air (mumbul) dan situ atau danau dijaga dengan membangun semacam

petirtan (pura kecil tempat mengambil air

suci bagi kegiatan sakral), pelanggaran perlakuan terhadap sumber-sumber air diancam sanksi agama dan adat yang sangat berat. Aliran sungai dikelola secara kolektif untuk dijaga dan dimanfaatkan demi kesejahteraan bersama melalui sistem

teknologi pengairan tradisional yang

fenomenal yakni sistem subak. Sistem ini dikelola oleh sub komunitas yang disebut

sekehe subak, yakni kelompok petani dan

warga pengelola air bagi manfaat pertanian (khususnya sawah) dan manfaat lainnya seperti untuk kegiatan mandi , cuci dan kakus (MCK).


(13)

Gambar 02

SKEMA IMPLEMENTASI TRIHITAKARANA

DALAM KONSEP HARMONISASI TATA NILAI RUANG DESA ADAT

Pada bagian belakang setiap

pekarangan biasanya terdapat teba atau kebun/ kandang hewan/ruang terbuka hijau dan lain sebagainya, yang rata-rata seluas setidaknya 50 % setiap pekarangan, ini berarti menyumbang RTH yang sangat signifikan bagi desa. Disamping itu, potensi hutan, tebing, lembah ataupun

jurang juga dikelola secara sangat

bijaksana, umumnya kawasan-kawasan seperti ini dijadikan tanah ulayat seperti

laba desa (tanah milik desa) dan laba

pura (tanah milik pura), dimana ditetapkan

awig-awig desa atau aturan lokal yang

sangat ketat terhadap pemanfaatan dan

perubahan peruntukkannya. Dengan aturan yang sangat ketat dan umumnya sangat ditaati oleh krama desa, maka kelestarian alam lingkungan pada kawasan-kawasan tadi akan sangat terjaga.

IMPLEMENTASI ‘TRIHITAKARANA’

KEDALAM PENATAAN RUANG KOTA SECARA CERDAS

Desa adat merupakan entitas utama ter-bentuknya kota-kota di Bali, dari dahulu kala hingga kini. Populasi yang berkembang secara pesat akibat proses urbanisasi dikawasan perkotaan di Bali, tidak serta merta melahirkan


(14)

pemekaran desa-desa baru. Lebih cenderung terjadi peningkatan jumlah populasi warga desa atau pemekaran banjar-banjar baru didalam desa. Karenanya pola tata ruang desa adat sebaiknya dapat tetap dipertahankan dan

juga dapat dijadikan landasan pokok

pengembangan tata ruang perkotaan di Bali.

Perkembangan kegiatan pariwisata

telah menarik begitu banyak pendatang untuk

menetap dikawasan perkotaan di Bali.

Heterogenitas penduduk yang tinggal dan menetap di wilayah-wilayah desa adat dikawasan perkotaan pun menjadi lebih

beragam. Mengatasi keberagaman latar

belakang sosial dan budaya yang berkembang

diterapkan aturan kependudukan bagi

pendatang, yakni boleh tinggal dan menetap pada wilayah salah satu banjar adat dari desa adat tertentu dikawasan perkotaan dengan menjadi warga banjar dinas dan warga desa dinas.

Banjar Dinas dan Desa Dinas adalah bentuk banjar adat atau desa adat yang juga diperankan sebagai banjar administrasi atau desa administrasi yang melayani urusan

administrasi warga pendatang. Warga

pendatang tidak diwajibkan mengikuti

kegiatan adat banjar atau desa adat, namun wajib mentaati berbagai peraturan yang berlaku pada banjar/desa adat tersebut, yang

umumnya diatur dalam awig-awig desa adat. Diantara aturan yang wajib ditaati warga pendatang adalah peraturan menyangkut tata ruang desa adat dalam pembangunan sarana dan prasarana baru bagi pemukiman dan fasilitas pendukungnya.

Permasalahan sering muncul apabila berbagai peraturan menyangkut tata ruang kawasan perkotaan yang diterapkan oleh pemerintah kota/kabupaten, tak selaras dengan awig-awig desa-desa adat entitas pokok terbentuknya wilayah kota tersebut. Koreksi

atas masalah yang muncul sepatutnya

dialamatkan kepada kebijakan pemerintah

kota/kabupaten yang tidak mampu

mengintegrasikan nilai-nilai kearifan lokal yang ada kedalam analisis kebijakan tata ruang kotanya.

Sepatutnya pemerintah kota/kabupaten dapat mengadopsi potensi-potensi kearifan lokal yang tertuang dalam berbagai awig-awig desa adat, sebagai landasan konseptual isi (content) materi analisis kebijakan dan perencanaan tata ruang kota. Sedangkan Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) sebagai metodologi modern penataan ruang kota hijau yang berkelanjutan, dapat dijadikan wadah (container) dari proses analisis strategis dalam pendekatan perencanaan tata ruang perkotaan sebagai suatu metode pemecahan masalah secara cerdas.


(15)

Melalui sinergi content – container antara implementasi nilai-nilai kearifan lokal konsep Trihitakarana kedalam proses analisis strategis pengambilan kebijakan tata ruang kota hijau berkelanjutan secara sinkron,

diharapkan tercipta dan terjaga keharmonisan kehidupan masyarakat kota diantara elemen lingkungan binaan kota dan elemen-elemen lingkungan alaminya.

Gambar 03

SINERGI IMPLEMENTASI SOLUSI CERDAS PENATAAN RUANG (CONTAINER) DENGAN IMPLEMENTASI FILOSOFI TRIHITAKARANA (CONTENT)

Daftar Pustaka

Adhika, I Made, Peran Banjar dalam Penataan Komunitas Perkotaan di Bali,


(16)

Studi Kasus Kota Denpasar, Tesis S-2, Program Pasca Sarjana PWK-ITB, Bandung, 1994.

Cantika, Koti dan I Made Dharmayudha,

Filsafat Adat Bali, Upadha Sastra, Denpasar,

1994.

Kozlowski, Jerzy and G.Hill, Towards Planning For Sustainable Development – A Guide for the Ultimate Environmental

Threshold (UET) Method, Avebury,

Brookfield USA, 1993.

Mantra, Ida Bagus, Bali : Masalah Sosial

Budaya dan Modernisasi, Upadha Sastra,

Denpasar, 1990.

Rudito, Bambang dan Melia Famiola, Social Mapping – Metode Pemetaan Sosial, Teknik Memahami Suatu Masyarakat atau

Komuniti, Penerbit Rekayasa Sains, Bandung,

2008.

Rabindra, Ida Bagus, Pola Komunitas Kota

Tabanan, Bali, Tesis S-2, Program Pasca

Sarjana PWK-ITB, Bandung, 1995.

Russ, Thomas H., Site Planning and Design

Handbook, McGraw-Hill Companies,

Boston, Massachusetts, 2002.

Simonds, John Ormbee, Garden Cities 21:

Creating A Livable Urban Environment,

McGraw- Hill, Inc., 1994.

………….., Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor: 05/PRT/M/2008, tentang, Pedoman Penyediaan dan Pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau di Kawasan

Perkotaan, Direktorat Jenderal Penataan

Ruang – Departemen Pekerjaan Umum, Jakarta, 2008.

………….., Tanya Jawab – Seputar

Penyelenggaraan Penataan Ruang Daerah,

Direktorat Jenderal Penataan Ruang –

Departemen Pekerjaan Umum, Jakarta, 2010.  


(1)

3. Palemahan : Pengendali Perluasan Kawasan Terbangun dan Terjaganya Kelestarian Lingkungan Alami

Yang dimaksud dengan Badan Wadag atau Sarira Desa, adalah wujud fisik lingkungan desa (adat) di Bali yang terdiri atas cluster pemukiman masyarakat termasuk pekarangannya; fasilitas sosial non sakral seperti Bale Desa/ Bale Banjar/ Bale Wantilan, Pasar, Sekolah, jalan lingkungan lapangan, kuburan (setra), dan lain sebagainya; juga termasuk kebon (teba), tegalan, sawah serta sungai, situ/ danau/ pantai, bukit, lembah, jurang, hutan dan elemen lingkungan alami lain yang ada didalam wilayahnya.

Cluster pemukiman dalam satuan unit tempekan, banjar maupun desa ditata dengan berbagai bentuk seperti konsep perempatan agung/ Catur Muka, konsep Swastikasana, Konsep Linier Tri Mandala (seperti di Desa Penglipuran) atau Iron Grid (seperti di Tenganan atau Desa Bugbug) dan sebagainya. Apapun konsep cluster pemukiman selalu mengacu pada ikatan sosio-religious dengan tata letak Tri Kahyangan, dan ikatan sosio-kultural dengan pola komunitas krama desa yang hidup diwilayahnya. Yang membedakan penerapan pola desa selain kondisi

geografis dan topografis alam lingkungan desa, adalah latar belakang historis terbentuknya desa, atau system jaringan transportasi wilayah yang lebih luas.

Pekarangan sebagai unsur-unsur pembentuk cluster ditata secara sangat bijaksana dengan memperlakukan konsep Sanga Mandala, yakni sistem tata nilai ruang yang membagi pekarangan dalam 9 (Sembilan) zona pemanfaatan. Konsep ini memiliki tiga zona Utama, 3 zona Madya, serta Madya ning Nista.dan 3 zona Nista. Zona Utama ning Utama berfungsi sebagai Pemerajan yakni tempat suci yang 70 % berupa ruang terbuka dengan proporsi hijau sekitar 50:50 atau sekitar 4 % total pekarangan. Zona Madya ning Madya berfungsi sebagai Natah atau halaman tengah multi fungsi yang 100% terbuka dengan proporsi hijau 50:50 atau sekitar 5,5% total pekarangan. Sementara 7 zona lainnya rata-rata 60 % terbangun dan 40 % terbuka dengan proporsi hijau 50:50 atau setara dengan 15,5 % total pekarangan. Jadi setiap pekarangan menyumbang ruang terbuka 40,5 % dengan ruang terbuka hijau 25 % total luas pekarangan.

Konsep penyengker yang memben-tengi pekarangan, selain mencegah konflik kepentingan dengan tetangga, juga


(2)

mengendalikan pertumbuhan fisik bangunan karena memisahkan pekarangan yang boleh dibangun dengan teba atau kebun yang tak boleh dibangun. konsep telajakan antara pekarangan dengan pekarangan lain dan dengan jalan lingkungan (semacam garis sempadan pagar atau bangunan) membuat batas sakral yang menjadikan manfaat pencegah perselisihan dengan masyarakat umum selain manfaat konstruktif pagar dan bangunan, juga menyumbang ruang terbuka hijau yang cukup signifikan.

Topografi desa dikelola dengan sangat arif, yakni tidak melakukan pembentukan muka tanah dengan metoda cut dan fill secara sembarangan, karena aturan tidak diperkenankan merubah komposisi bagian lahan hulu ke hilir dan atau sebaliknya. Metoda yang diijinkan adalah dengan metoda terrasering/ berjenjang untuk mengurangi dampak terjadinya run-off ataupun longsor. Disamping memberi manfaat pada system pengairan pertanian yang disebut subak, metoda terasering ini juga memberi peluang sangat besar pada

proses pelambatan aliran air kehilir, sehingga daya serap air permukaan menjadi sangat efektif.

Pemanfaatan potensi hidrografis seperti sungai, mata air dan situ/ danau juga dikelola secara sangat bijaksana untuk melindungi sumber-sumber air bersih dan air pertanian bagi kehidupan bersama. Mata air (mumbul) dan situ atau danau dijaga dengan membangun semacam petirtan (pura kecil tempat mengambil air suci bagi kegiatan sakral), pelanggaran perlakuan terhadap sumber-sumber air diancam sanksi agama dan adat yang sangat berat. Aliran sungai dikelola secara kolektif untuk dijaga dan dimanfaatkan demi kesejahteraan bersama melalui sistem teknologi pengairan tradisional yang fenomenal yakni sistem subak. Sistem ini dikelola oleh sub komunitas yang disebut sekehe subak, yakni kelompok petani dan warga pengelola air bagi manfaat pertanian (khususnya sawah) dan manfaat lainnya seperti untuk kegiatan mandi , cuci dan kakus (MCK).


(3)

Gambar 02

SKEMA IMPLEMENTASI TRIHITAKARANA

DALAM KONSEP HARMONISASI TATA NILAI RUANG DESA ADAT

Pada bagian belakang setiap pekarangan biasanya terdapat teba atau kebun/ kandang hewan/ruang terbuka hijau dan lain sebagainya, yang rata-rata seluas setidaknya 50 % setiap pekarangan, ini berarti menyumbang RTH yang sangat signifikan bagi desa. Disamping itu, potensi hutan, tebing, lembah ataupun jurang juga dikelola secara sangat bijaksana, umumnya kawasan-kawasan seperti ini dijadikan tanah ulayat seperti laba desa (tanah milik desa) dan laba pura (tanah milik pura), dimana ditetapkan awig-awig desa atau aturan lokal yang sangat ketat terhadap pemanfaatan dan

perubahan peruntukkannya. Dengan aturan yang sangat ketat dan umumnya sangat ditaati oleh krama desa, maka kelestarian alam lingkungan pada kawasan-kawasan tadi akan sangat terjaga.

IMPLEMENTASI ‘TRIHITAKARANA’ KEDALAM PENATAAN RUANG KOTA SECARA CERDAS

Desa adat merupakan entitas utama ter-bentuknya kota-kota di Bali, dari dahulu kala hingga kini. Populasi yang berkembang secara pesat akibat proses urbanisasi dikawasan perkotaan di Bali, tidak serta merta melahirkan


(4)

pemekaran desa-desa baru. Lebih cenderung terjadi peningkatan jumlah populasi warga desa atau pemekaran banjar-banjar baru didalam desa. Karenanya pola tata ruang desa adat sebaiknya dapat tetap dipertahankan dan juga dapat dijadikan landasan pokok pengembangan tata ruang perkotaan di Bali.

Perkembangan kegiatan pariwisata telah menarik begitu banyak pendatang untuk menetap dikawasan perkotaan di Bali. Heterogenitas penduduk yang tinggal dan menetap di wilayah-wilayah desa adat dikawasan perkotaan pun menjadi lebih beragam. Mengatasi keberagaman latar belakang sosial dan budaya yang berkembang diterapkan aturan kependudukan bagi pendatang, yakni boleh tinggal dan menetap pada wilayah salah satu banjar adat dari desa adat tertentu dikawasan perkotaan dengan menjadi warga banjar dinas dan warga desa dinas.

Banjar Dinas dan Desa Dinas adalah bentuk banjar adat atau desa adat yang juga diperankan sebagai banjar administrasi atau desa administrasi yang melayani urusan administrasi warga pendatang. Warga pendatang tidak diwajibkan mengikuti kegiatan adat banjar atau desa adat, namun wajib mentaati berbagai peraturan yang berlaku pada banjar/desa adat tersebut, yang

umumnya diatur dalam awig-awig desa adat. Diantara aturan yang wajib ditaati warga pendatang adalah peraturan menyangkut tata ruang desa adat dalam pembangunan sarana dan prasarana baru bagi pemukiman dan fasilitas pendukungnya.

Permasalahan sering muncul apabila berbagai peraturan menyangkut tata ruang kawasan perkotaan yang diterapkan oleh pemerintah kota/kabupaten, tak selaras dengan awig-awig desa-desa adat entitas pokok terbentuknya wilayah kota tersebut. Koreksi atas masalah yang muncul sepatutnya dialamatkan kepada kebijakan pemerintah kota/kabupaten yang tidak mampu mengintegrasikan nilai-nilai kearifan lokal yang ada kedalam analisis kebijakan tata ruang kotanya.

Sepatutnya pemerintah kota/kabupaten dapat mengadopsi potensi-potensi kearifan lokal yang tertuang dalam berbagai awig-awig desa adat, sebagai landasan konseptual isi (content) materi analisis kebijakan dan perencanaan tata ruang kota. Sedangkan Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) sebagai metodologi modern penataan ruang kota hijau yang berkelanjutan, dapat dijadikan wadah (container) dari proses analisis strategis dalam pendekatan perencanaan tata ruang perkotaan sebagai suatu metode pemecahan masalah secara cerdas.


(5)

Melalui sinergi content – container antara implementasi nilai-nilai kearifan lokal konsep Trihitakarana kedalam proses analisis strategis pengambilan kebijakan tata ruang kota hijau berkelanjutan secara sinkron,

diharapkan tercipta dan terjaga keharmonisan kehidupan masyarakat kota diantara elemen lingkungan binaan kota dan elemen-elemen lingkungan alaminya.

Gambar 03

SINERGI IMPLEMENTASI SOLUSI CERDAS PENATAAN RUANG (CONTAINER) DENGAN IMPLEMENTASI FILOSOFI TRIHITAKARANA (CONTENT)

Daftar Pustaka

Adhika, I Made, Peran Banjar dalam Penataan Komunitas Perkotaan di Bali,


(6)

Studi Kasus Kota Denpasar, Tesis S-2, Program Pasca Sarjana PWK-ITB, Bandung, 1994.

Cantika, Koti dan I Made Dharmayudha, Filsafat Adat Bali, Upadha Sastra, Denpasar, 1994.

Kozlowski, Jerzy and G.Hill, Towards Planning For Sustainable Development – A Guide for the Ultimate Environmental Threshold (UET) Method, Avebury, Brookfield USA, 1993.

Mantra, Ida Bagus, Bali : Masalah Sosial Budaya dan Modernisasi, Upadha Sastra, Denpasar, 1990.

Rudito, Bambang dan Melia Famiola, Social Mapping – Metode Pemetaan Sosial, Teknik Memahami Suatu Masyarakat atau

Komuniti, Penerbit Rekayasa Sains, Bandung, 2008.

Rabindra, Ida Bagus, Pola Komunitas Kota Tabanan, Bali, Tesis S-2, Program Pasca Sarjana PWK-ITB, Bandung, 1995.

Russ, Thomas H., Site Planning and Design Handbook, McGraw-Hill Companies, Boston, Massachusetts, 2002.

Simonds, John Ormbee, Garden Cities 21: Creating A Livable Urban Environment, McGraw- Hill, Inc., 1994.

………….., Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor: 05/PRT/M/2008, tentang, Pedoman Penyediaan dan Pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau di Kawasan Perkotaan, Direktorat Jenderal Penataan Ruang – Departemen Pekerjaan Umum, Jakarta, 2008.

………….., Tanya Jawab – Seputar

Penyelenggaraan Penataan Ruang Daerah, Direktorat Jenderal Penataan Ruang –

Departemen Pekerjaan Umum, Jakarta, 2010.