1
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Menurut Ray Williams sebagai Presiden International Coach Federation National Post, 4 April 2007 mengungkapkan bahwa business
coaching adalah profesi yang memiliki pertumbuhan berada pada urutan kedua tercepat di dunia setelah teknologi informasi. Hal ini didorong oleh
banyak kepemimpinan tidak efektif yang telah memberikan kontribusi terhadap permintaan untuk executive coaching. Hal tersebut ditunjukkan
dengan fakta bahwa pengeluaran tahunan untuk business coaching di Amerika Serikat telah mencapai satu juta dollar Harvard Business Review,
November 2004. Sementara itu pemakaian business coaching di Inggris telah tersebar luas dan diperoleh data bahwa 88 perusahaan sudah
menggunakan coaching di dalam organisasinya University of Bristol Newsletter 2005.
Adapun pertumbuhan organisasi dengan menggunakan coaching telah dilakukan juga oleh Institute Management Australia dimana 70 dari
perusahaan yang menjadi anggotanya telah memekerjakan para coach untuk melakukan business coaching Inside Business Channel 2, Juli 2006. Data
yang ada menyatakan bahwa terdapat 40.000 orang di Amerika Serikat yang telah bekerja sebagai business coach atau life coach. Selain itu juga, pasaran
dari business coaching senilai 2,4 juta dollar dan kini bertumbuh 18 pertahunnya Market Data Report 2007.
Business Coaching ini berdampak pada percepatan pengembangan karier bagi para eksekutif. de Geus dan Senge 1997 menyatakan bahwa
kemampuan eksekutif yang telah menggunakan coaching berkemampuan untuk belajar lebih cepat dan membawa dampak keunggulan kompetitif yang
berkelanjutan. Lingkungan organisasi yang berkembang pesat dan didukung
2 dengan coaching mampu mendorong para eksekutif untuk dapat mengambil
keputusan yang strategis dan mengelola sumber daya organisasi sesuai tantangan dan kebutuhan organisasi.
Smith dan Sandstrom 1999 menegaskan bahwa coaching adalah alat strategis untuk meningkatkan fleksibilitas perilaku dan membantu para
eksekutif untuk mengidentifikasi tantangan, merenungkan dan mengambil tindakan yang tepat untuk kepentingan organisasi. Hal serupa juga
dinyatakan Warrenfeltz 2000 bahwa keberadaan coaching mampu mendorong organisasi untuk lebih efisien dan efektif dalam pengelolaan
sumber daya manusia. Fenomena executive coaching juga didukung hasil riset empiris di
bidang tersebut yang mengalami perkembangan yang pesat Filipezak, 1998; Kilburg, 1996; Quick dan Macik-Frey, 2004; Feldman dan Lankau, 2005;
Nieminen et al., 2013. Perkembangan literatur executive coaching di bidang konsultasi manajemen, pelatihan dan pengembangan, serta konsultasi
psikologi juga mengalami peningkatan Kampa-Kokesch dan Anderson, 2001. Adapun Joo 2005 menyatakan bahwa riset executive coaching
berelasi dengan mentoring, kesuksesan karir, balikan feedback 360 derajat, serta pelatihan dan pembelajaran. Dalam kerangka konseptualnya, Joo 2005
menyajikan anteseden dari keberhasilan executive coaching adalah karakteristik coach, karakteristik coachee dan dukungan organisasi.
Anteseden tersebut mengikuti proses pendekatan, hubungan dan penerimaan feedback dari coaching sehingga menghasilkan outcome berupa self-
awareness dan pembelajaran. Hasil akhirnya adalah kesuksesan individual dan organisasi. Riset lain oleh Bono et al. 2009 memberi bukti empiris
bahwa psikologi dalam executive coaching berperan penting dalam perubahan perilaku manager sebagai sumber daya manusia di organisasi.
Dalam domain pengembangan sumber daya manusia, Feldman dan Lankau 2005 menggambarkan karakteristik yang membedakan executive
coaching dengan intervensi pengembangan pimpinan yang lain yaitu: terformalisasi, jangka pendek sampai menengah, hubungan satu demi satu
3 dengan seorang konsultan yang berfokus pada penyediaan pimpinan yang
mau melakukan feedback tentang perilaku kinerja dan peningkatan efektivitasnya dalam pekerjaan, serta organisasinya. Feedback yang
bersumber dari banyak pihak disebut sebagai multisource feedback MSF. Penilaian kinerja karyawan dalam perusahaan biasanya dilakukan
oleh atasan langsung danatau tak langsung yang disebut sebagai penilaian kinerja karyawan single-source feedback. Penilaian seperti ini memiliki
banyak kelemahan dan bias, karena sangat tergantung selera pimpinan terhadap bawahannya. Oleh karena itu, kini mulai dikembangkan penilaian
kinerja model 360 derajat. Pengembangan manajemen sumber daya manusia untuk penilaian kinerja karyawan dengan umpan balik 360 derajat telah
dikenal sebagai umpan balik multisumber atau penilaian multisumber. Umpan balik 360 derajat memiliki berbagai nama: umpan balik dari banyak
penilai multi-rater feedback, penilaian dari bawah ke atas upward appraisal, umpan balik rekan sekerja co-worker feedback, penilaian multi
perspektif multiperspective ratings, umpan balik satu lingkaran penuh full- circle feedback. Angka 360 menunjukan 360 derajat dalam suatu lingkaran
dengan figur individual di pusat lingkaran. Penilaian kinerja karyawan yang menggunakan umpan balik 360
derajat dilakukan oleh karyawan sendiri, kelompok “peer”, bawahan dan atasan. Dalam beberapa kasus umpan balik 360 derajat ini, penilaian kinerja
diri dilakukan dari sumber eksternal seperti pelanggan dan pemasok atau pemangku kepentingan lainnya. Proses ini melibatkan pihak luar perusahaan
seperti konsumen, klien dan penjual. Proses ini pun memiliki keterlibatan dan kredibilitas tinggi dari karyawan dalam memengaruhi peningkatan perilaku,
kinerja dan komunikasi. Pola ini memberi karyawan kesempatan untuk mengetahui bagaimana mereka dinilai orang lain, termasuk untuk melihat
ketrampilan dan perilakunya. Dari studi yang dilakukan Walker and Smither 1999 selama lima
tahun menyatakan bahwa antara satu hingga dua tahun pertama tidak adanya
4 perbaikan signifikan dalam hal peningkatan kinerja, karena masing
– masing masih bersikap subyektif. Namun setelah proses berlangsung selama tiga
tahun maka mulai tampak ada peningkatan kinerja. Selain itu studi yang dilakukan Reilly et al. 1996 menunjukkan adanya peningkatan kinerja di
bidang administrasi pada tahun-tahun pertama dan berlangsung terus setelah dua tahun berikutnya. Menurut Maylett dan Riboldi, 2007 model 360
derajat ini dapat digunakan untuk memprediksi kinerja karyawan yang sifatnya
berkesinambungan, sehingga
MSF memiliki
keunggulan dibandingkan dengan single-source feedback.
Penelitian di bidang MSF berkembang sangat pesat pada beberapa dekade terakhir yaitu dalam hal pengembangan, penilaian dan pengambilan
keputusan personil Antonioni, 1996; Brutus dan Derayeh, 2002; Burtus et al., 2006; Hedge et al., 2001; Waldman et al., 1998. Dalam konteks
perkembangan pemimpin,
proses MSF
yang pertama
mencakup pengumpulan nilai oleh pemimpin supervisor, rekan sejawat, laporan
langsung, dan diri sendiri, dan kedua, berbagi hasil dengan pemimpin untuk memfasilitasi pembelajaran dan kemajuan Dalessio, 1998. Riset empiris
menunjukkan bahwa pengaruh MSF terhadap efektivitas pemimpin masih inkonklusif atau masih sulit diinterpretasikan Hezlett, 2008; McCharty dan
Garavan, 2006, namun perubahan yang dilakukan oleh pemimpin setelah menerima MSF adalah positif, meski nilai perubahannya masih kecil karena
hanya beberapa pemimpin memiliki kesadaran untuk berubah setelah menerima feedback.
Hal- hal yang berpotensi menjadi penyebab tidak optimalnya MSF dalam meningkatkan perubahan perilaku pemimpin adalah desain riset, masih
adanya kelemahan dalam hal instrumen MSF, salah langkah dalam implementasinya, dan faktor substantif dalam pengembangan model teoritis.
Nieminen et al. 2013 menggunakan executive coaching sebagai komplemen dari tujuan MSF dengan membantu pemimpin untuk mengembangkan tujuan
dan mengikuti aksi pengembangan yang tepat. Hasil riset Nieminen et al.
5 2013 menunjukkan bahwa ada hubungan positif antara MSF terhadap
efektivitas manajer sebagai pimpinan. Multisource feedback dengan feedback workshop memiliki nilai lebih kecil dibanding feedback workshop yang
dikombinasi dengan executive coaching. Namun demikian, riset Nieminen et al. 2013 belum mempertimbangkan tipe kepemimpinan dalam executive
coaching seperti yang diulas oleh Hezlett 2008. Nieminen et al. 2013 memberikan bukti empiris yang sama bahwa executive coaching dengan
MSF dalam workshop meningkatkan kinerja individual coachee. Dalam penelitian Kochanowski et al. 2010 diketahui bahwa hasilnya konsisten
dengan hasil dari studi kuasi-eksperimental oleh Smither et al. 2003. Efek dari intervensi umpan balik memiliki pengaruh terhadap taktik pengaruh
proaktif. Masey 2010 menjelaskan bahwa taktik pengaruh proaktif adalah upaya oleh seorang manajer pemasaran kepada agen untuk melakukan
kepatuhan atau kerja sama dalam mencapai target dan keefektifan manajer ditentukan sebagian oleh tingkat pengaruh informal mereka di dalam
organisasi. Taktik pengaruh proaktif yang biasa dilakukan manajer pemasaran di Indonesia yaitu taktik pengaruh proaktif yang meliputi rational
persuasion, inspirational appeal, collaboration, dan consultation. Dampak dari intervensi umpan balik hanya ditemukan untuk collaboration dan
consultation. Dalam percobaan lapangan oleh Seifert dan Yukl 2005 dan Seifert
et al. 2003 diketahui tidak adanya efek signifikan yang ditemukan untuk persuasi rasional dan taktik ini juga tidak terpengaruh oleh sebuah intervensi
umpan balik dalam dua percobaan di lapangan sebelumnya. Persuasi rasional adalah taktik pengaruh proaktif yang paling sering digunakan para manajer
Yukl, 2009, dan mungkin kurang rentan terhadap perubahan daripada taktik yang lain. Sedangkan hasil untuk inspirasional juga tidak memiliki
signifikansi. Sayangnya, kemampuan generalisasi pada kesimpulan penelitian
–penelitian tersebut Nieminen et al., 2013; Kochanowski et al., 2010 masih terbatas karena tipe kepemimpinan coach yang terlibat executive
coaching belum diteliti.
6 Tipe kepemimpinan memegang peranan penting dalam suatu
organisasi. Perbedaan tipe perilaku pemimpin akan menyebabkan dampak feedback pun menjadi berbeda Kochanowski et al., 2010. Hubungan antara
perilaku dan keterampilan kepemimpinan berdampak positif terhadap efektivitas organisasi. Hal ini terkait erat dengan nilai-nilai, norma -norma
perilaku, dan praktik kerja Denison dan Mishra, 1995; Denison et al., 2003. Penggunaan feedback terhadap perubahan perilaku dengan mempertimbang-
kan tipe kepemimpinan berpotensi meningkatkan kinerja individual dan dampak selanjutnya dapat meningkatkan kinerja organisasi.
Tipe kepemimpinan yang efektif dan sering diteliti secara mendalam yaitu
tipe kepemimpinan
transformasional. Tipe
Kepemimpinan transformasional merupakan kemampuan seorang pemimpin dalam bekerja
dengan dan atau melalui orang lain untuk mentransformasikan secara optimal sumber daya organisasi dalam rangka mencapai tujuan yang bermakna sesuai
dengan target capaian yang telah ditetapkan. Sumber daya organisasi yang dimaksud yaitu sumber daya manusia seperti pimpinan, staf, bawahan, tenaga
ahli, dan lain-lain. Berkaitan dengan tipe kepemimpinan transformasional ini, Leithwood et al. 1999 mengemukakan bahwa kepemimpinan transfor-
masional menggiring sumber daya manusia yang dipimpin ke arah tumbuhnya
sensitivitas pembinaan
dan pengembangan
organisasi, pengembangam
visi secara
bersama, pendistribusian
kewenangan kepemimpinan, dan membangun kultur organisasi yang menjadi keharusan
dalam skema restrukturisasi organisasi. Cheung dan Wong 2010 dalam penelitiannya menemukan bahwa adanya hubungan positif antara tipe
kepemimpinan transformasional dan kreativitas karyawan yang hasilnya berupa konsisten dengan temuan penelitian Shin dan Zhou 2003. Mereka
berpendapat bahwa para pemimpin peduli terhadap kebutuhan karyawan dan keinginan berhubungan dengan kegiatan sosial yang pada akhirnya
memengaruhi kekuatan ide generasi. Kepemimpinan transformasional diprediksikan mampu mendorong terciptanya efektifitas organisasi. Tipe
kepemimpinan transformasional menggambarkan adanya tingkat kemampuan
7 pemimpin untuk mengubah mentalitas dan perilaku pengikut menjadi lebih
baik. Kepemimpinan transformasional memiliki makna dan orientasi masa
depan future oriented diantaranya kebutuhan menanamkan budaya inovasi dan kreatifitas dalam meningkatkan meningkatkan mutu dan eksistensi
pengembangan organisasi ke depan. Hal ini penting karena kondisi persaingan yang dihadapi organisasi masa kini menuntut terciptanya
organisasi yang berkualitas, produktif, serta profesional dalam menapaki masa depan dengan segala tantangan yang ada. Kepemimpinan
transformasional menurut Avilio dan Bernard M. Bass 2005 memiliki karakteristik yang membedakan dengan tipe kepemimpinan yang lainnya
seperti charisma yaitu memberikan visi dan misi yang masuk akal, menimbulkan kebanggaan, menimbulkan rasa hormat dan percaya.
Karakteristik lainnya
adalah inspiration
yang merupakan
cara mengomunikasikan harapan yang tinggi, menggunakan simbol untuk
memfokuskan upaya, mengekspresikan tujuan penting dengan cara yang sederhana. Selanjutnya karakteristik lainnya yaitu intellectual stimulation,
yaitu bagaimana meningkatkan intelegensi, rasionalitas, dan pemecahan masalah secara teliti. Terakhir adalah karakter individualized consideration
yaitu memberikan perhatian pribadi, melakukan pelatihan dan konsultasi kepada setiap bawahan secara individual. Tipe kepemimpinan semacam ini
akan mampu
membawa kesadaran
pengikut followers
dengan memunculkan
ide –ide
produktif, hubungan
yang sinergikal,
kebertanggungjawaban, kepedulian edukasional, cita-cita bersama, dan nilai –
nilai moral. Aplikasi tipe kepemimpinan transformasional pada banyak organisasi
sangat ideal. Melalui tipe kepemimpinan seperti itu, segala potensi organisasi dapat ditransformasikan menjadi aktual dalam kerangka mencapai tujuan
lembaga. Melihat kesejatian tipe kepemimpinan transformasional ini, setiap pemimpin harus menjadi basis pemimpin dalam melakukan transformasi
8 tugas kesehariaannya. Kepemimpinan transformasional pada prinsipnya
mengubah budaya organisasi. Gundersen et al. 2012 dalam risetnya menemukan bahwa tipe kepemimpinan transformasional di lingkungan kerja
yang dinamis memberikan dampak kinerja yang efektif bagi karyawan dan efektifitas bagi organisasi.
Cunningham dan Cordeiro 2006 dalam hal kepemimpinan mendasarkan pada tipe kepemimpinan transformasional menyebutkan empat
hal penting yang perlu mendapat perhatian pemimpin untuk mewujudkan tujuan kinerja organisasi secara efektif yaitu: 1 Membuat visi yang ideal,
menarik dan dapat dicapai, pemimpin perlu mengkaji data dan informasi organisasi yang tersedia serta memelajari kebutuhan lingkungan internal dan
trend perkembangan lingkungan eksternal; 2 Merumuskan visi untuk mendapatkan visi yang benar-benar ideal. Pemimpin mengkaji kembali
kekuatan dan kelemahan internal organisasi serta memprediksi kemungkinan masa depan yang ideal yang bisa dicapai dalam kurun waktu antara 5
– 10 tahun; 3 Mengomunikasikan visi yang pada dasarnya adalah konsep impian
masa depan yang penuh makna bahkan misteri. Oleh karena itu visi harus disebarluaskan kepada pihak-pihak yang bekepentingan dalam organisasi.
Hal ini dimaksudkan supaya pesan-pesan inti yang terkandung didalamnya dapat dipahami dan dirasakan sebagai kebutuhan bersama, serta menjadi
simbol kebanggaan dalam menggerakkan roda organisasi; 4 Deployment dapat diartikan sebagai bentuk upaya menerjemahkan dan menyebarluaskan
visi ke dalam realita dengan cara membangun budaya kerja yang kondusif. Deployment dalam konteks ini juga dapat berarti mencegah kecenderungan
penyebaran perkembangan kearah yang tidak diinginkan. Tipe kepemimpinan tersebut banyak diimplemtasikan dalam kepemimpinan yang berkaitan
dengan edukasi dan admistratif, dan memiliki ciri –ciri yang dimiliki
kepemimpinan transformasionl. Implementasi tipe kepemimpinan transformasional dalam organisasi
memang perlu diterapkan seperti dalam jabatan kepala cabang, kepala
9 penjualan, kepala bengkel ataupun kepala departemen dan yang lain-lain.
Model kepemimpinan ini memang perlu diterapkan sebagai salah satu solusi krisis kepemimpinan, terutama dalam bidang yang mengarah kepada tujuan
masa depan yang lebih baik. Adapun alasan –alasan mengapa pentingnya
penerapan model kepemimpinan transformasional bagi suatu organisasi yaitu: 1 secara signifikan meningkatkan kinerja organisasi, 2 secara positif
dihubungkan dengan orientasi pemasaran jangka panjang dan kepuasan pelanggan, 3 membangkitkan komitmen yang lebih tinggi para anggotanya
terhadap organisasi, 4 meningkatkan kepercayaan pekerja dalam manajemen dan perilaku keseharian organisasi, 5 meningkatkan kepuasan
pekerja melalui pekerjaan dan pemimpin, serta 6 mengurangi stress para pekerja dan meningkatkan kesejahteraan.
Sedangkan menurut Bycio et al. 1995 kepemimpinan transaksional adalah tipe kepemimpinan dengan pemimpin yang perhatiannya berfokus
pada transaksi interpersonal antara pemimpin dengan karyawan yang melibatkan hubungan pertukaran. Pertukaran tersebut didasarkan pada
kesepakatan mengenai klasifikasi sasaran, standar kerja, penugasan kerja, dan penghargaan.
Burns 1978 memaparkan bahwa kepemimpinan transaksional merupakan hubungan antara pemimpin dengan bawahan didasarkan pada
serangkaian aktivitas tawar menawar antar keduanya. Karakteristik kepemimpinan transaksional adalah contingent reward dan management by-
exception. Tipe kepemimpinan ini juga dianggap sangat tepat untuk dipergunakan dalam situasi atau tuntutan yang sifatnya target, seperti
layaknya pada bidang penjualan. Pandangan
kepemimpinan transformasional
sebagai model
kepemimpinan dalam organisasi yang paling ideal, pada kenyataannya praktek-praktek kepemimpinan di organisasi sangat ditentukan oleh atau
bergantung pada konteksnya Leithwood dan Jantzi, 2005, seperti karakteristik dan kemampuan pengikut, kondisi organisasi, dan kebijakan
lembaga Bottery, 2001; Fosket Lumby, 2003; Hallinger, Taraseina, and
10 Miller, 1994. Hal ini juga ditegaskan oleh Goddart 2003 bahwa setiap
situasi yang berbeda membutuhkan tipe kepemimpinan yang berbeda. Penelitian Rasool 2010 menggunakan true experimental design
yang secara empiris mengevaluasi keefektifan pelatihan kepemimpinan transformasional. Aspek simbol dan emosi pada kepemimpinan telah
memberi ketertarikan yang besar untuk penelitian sejak 1980-an. Teori kepemimpinan transformasional dipengaruhi oleh hasil kerja Burns 1978
dan penelitian Bass 1985 yang menerangkan akan pentingnya aspek kepemimpinan. Riset empiris menemukan bahwa pemimpin transformasional
meningkatkan motivasi Bogler, 2001, kepuasan kerja, dan komitmen Koh, 1990. Kepemimpinan transformasional muncul sebagai pendekatan yang
efektif dalam tatanan organisasi Leithwood 1994. Penggunaan MSF dari berbagai sumber telah menjadi metode yang
populer bagi pengembangan kepemimpinan selama 10 tahun terakhir, dan kini telah digunakan secara luas dalam organisasi besar London Smither,
dalam Yukl, 2006; Zentis, 2007. Senada dengan hal ini, Atwater dan Brett 2006 menyebutkan bahwa metode MSF dapat menjadi metode yang
bermanfaat untuk meningkatkan efektivitas perilaku pemimpin dan pada akhirnya memengaruhi sikap karyawan secara positif.
Penelitian lain tentang penggunaan metode MSF terkait dengan kepemimpinan menyatakan bahwa metode tersebut mampu menunjukkan
perubahan perilaku yang positif dan meningkatkan kesadaran diri Atwater dan Brett, 2006, meningkatkan perilaku kepemimpinan individu secara
efektif Smither et al., 2005, membuat perubahan positif pada sikap dan kelekatan karyawan Atwater dan Brett, 2006, meningkatkan kesadaran
individu untuk merubah perilakunya selama proses pengembangan serta meningkatkan kepuasan kerja karyawan Zentis, 2007.
Riset yang dilakukan oleh Turner Nangalia, 2006 menyampaikan bahwa diidentifikasi manfaat dari executive coaching sebagai suatu strategi
kepemimpinan, yaitu perhatian yang berkelanjutan, pemikiran yang meluas
11 melalui dialog, kesadaran diri, tanggung jawab personal untuk berkembang
dan pembelajaran cepat. Selain itu individu yang terikat dalam hubungan coaching dapat memiliki perspektif yang segar pada tantangan dan peluang
pribadi, meraih keterampilan berpikir dan pembuatan keputusan, mencapai efektivitas pribadi dan peningkatan kepercayaan diri dalam melaksanakan
pekerjaan dan peran dalam hidupnya. Studi Parker et al., 2006 menyatakan bahwa executive coaching
dapat meningkatkan pengembangan pada 3 tiga wilayah kompetensi, yaitu perilaku kepemimpinan sebesar 82, membangun tim sebesar 41 dan
mengembangkan staf sebesar 36. Dalam tataran mekanisme, executive coaching dapat dilakukan melalui interaksi orang per orang yaitu orang yang
akan dikembangkan kepemimpinannya dengan seorang coach melalui sesi coaching berdasarkan data dari perspektif stakeholders dapat melalui 360
assessment yang didasarkan pada sikap kesaling percayaan dan menghargai. Laurie 2005 menyatakan dalam executive coaching menggunakan
teknik deduktif untuk meningkatkan kemampuan dan tujuan individu secara khusus yang ingin diraihnya. Menghargai seorang coach merupakan sikap
timbal balik yang harus dilakukan antara coach dan coachee sehingga membantu proses coaching. Pekerjaan seorang pemimpin adalah
mendapatkan hasil dengan memanfaatkan orang lain dalam mengelola sumber daya manusia. Pemimpin memiliki kepentingan dengan cara
meningkatkan pengetahuan, keterampilan, kinerja para stafnya. Adapun proses pemberdayaan tersebut terletak pada kolaborasi yang berdasarkan
pada tiga komponen yaitu bantuan teknis, dukungan pribadi, dan tantangan individu, yang disatukan dalam emosi, antara pimpinan sebagai coach dan
staf sebagai coachee. Sehubungan coaching merupakan ikatan antar personal, maka ikatan tersebut harus ada apabila coaching diharapkan untuk
memberikan dampak positif bagi karyawan yang merupakan aset perusahaan. Berdasarkan uraian tersebut di atas dapat diartikan bahwa kepemimpinan
transformasional yang berkualitas dapat membantu pelaksanaan coaching
12 yang diharapkan memberikan dampak yang signifikan terhadap peningkatan
kinerja karyawan dalam perusahaan. Pada prinsipnya pendekatan kepemimpinan transformasional menunjukkan tingkat kepedulian pemimpin
untuk melakukan transformasi dan memengaruhi tindakan yang dilakukan serta pendekatan yang dilakukan oleh pemimpin. Hal ini berdampak pada
setiap aspek kapabilitas dan pengalaman kepemimpinan, termasuk kemampuan pribadi untuk berubah, strategi perubahan yang dikembangkan,
tipe kepemimpinan dan keputusan, pola komunikasi, serta respon pribadi. Transformasi pengembangan sumber daya manusia yang lain adalah
dalam hal penggunaan behavioral feedback yang semula single feedback menjadi multisource feedback. Secara empiris, masih sedikit hasil riset yang
menyatakan bahwa metode tersebut efektif Kochanowski et al., 2010. Hasil riset empiris menunjukkan metode tersebut secara umum lemah dan
inkonsisten Smither et al., 2005; Yukl dan Seifert 2005. Metode yang digunakan sebagai behavioral feedback masih banyak yang sifatnya tunggal
yaitu dari bawahan saja Atwater et al., 2000; Van Dierendonck, et al., 2007 yang berdampak lebih kecil terhadap perubahan perilaku bawahan.
Perkembangan berikutnya dalam praktik tidak lagi menggunakan single feedback melainkan menggunakan MSF dalam executive coaching, sehingga
hal ini menarik untuk diteliti lebih intensif. Media coaching saat ini mengalami perubahan yang signifikan seiring
dengan kemajuan teknologi komunikasi yang mengalami perkembangan yang luar biasa. Meluasnya penggunaan internet telah mengubah perilaku
masyarakat secara mendalam dan banyak aspek kehidupan yang ditentukan oleh internet, terutama dalam kehidupan dan aktivitas berorganisasi. Dalam
pelaksanaan coaching
terhadap sumber
daya manusia
yang berkesinambungan, para praktisi mulai mengeksplorasi manfaat dari media
modern berbasis perkembangan teknologi komunikasi dalam penerapannya. Survei Sherpa 2012 menunjukkan bahwa pada tahun 2012, hanya 41
pembinaan dilakukan tatap muka, 31 pembinaan disampaikan melalui
13 telepon, 14 dengan bantuan webcam dan skype, 11 dalam bentuk e-mail
dan 3 konferensi video. Sebuah tren yang sedang berkembang terhadap coaching secara virtual juga terdapat di Cina Bresser, 2013. International
Coaching Federation ICF Global Coaching Study menunjukkan bahwa pada tahun 2012 di Amerika Utara, coaching melalui telepon bahkan telah
menjadi metode yang paling disukai, sedangkan di Eropa Barat hanya 9 yang belum menggunakan media online ICF, 2012. Namun demikian,
coaching melalui media modern tampaknya menjadi fenomena yang berkembang Grant dan Zackon, 2004; ICF, 2007 dan diperkirakan terus ada
peningkatan dalam penggunaannya Frazee, 2008. E-Coaching adalah istilah yang sering digunakan bergantian dengan
virtual coaching, jarak coaching, coaching online, dan coaching jarak jauh. Clutterbuck dan Hussein 2010 misalnya mengacu pada e-coaching sebagai
hubungan perkembangan antara coach dan coachee, yang dimediasi melalui e-mail dan dapat dilengkapi dengan media lainnya. Definisi alternatif
menganggap e-coaching sebagai hubungan teknologi dalam mediasi antara coach dan coachee dengan tujuan memfasilitasi pertumbuhan coachee
Hernez-Broome, 2010. Di antara modalitas teknologi yang digunakan untuk menyampaikan
coaching jarak jauh yaitu penggunaan telepon dianggap paling sering digunakan Berry, 2005; Grant Zackon 2004; Poepsel, 2011, dan dampak
positifnya terhadap kinerja telah didukung oleh bukti empiris Ghods, 2009; Filsinger et al., 2014. Beberapa penelitian lain menunjukkan media coaching
baik yang dilakukan dengan tatap muka langsung, maupun coaching melalui media telepon memberi hasil terhadap peningkatan kinerja Nieminen et al.,
2013; Kochnowski et al., 2010. Kelemahan penggunaan media telepon adalah coachee memiliki
keterbatasan dalam menangkap dan mendokumentasi materi yang diberikan coach. Kelemahan tersebut dapat ditanggulangi dengan media elektronik
lainnya yaitu short message service SMS dan surel karena materi dapat
14 dibaca berulang, lebih mudah dipahami dan dapat diinternalisasi lebih
mendalam. Riset terkini yaitu Ghods dan Boyce 2013 dan Filsinger et al., 2014 memberi bukti empiris bahwa selain media telpon, modalitas
coaching berbasis teks berbantuan perangkat virtual seperti skype, teleconference, surel, SMS, whats app mulai banyak digunakan. Sehubungan
dengan modalitas coaching berbasis teks, penelitian menghasilkan temuan menggembirakan yaitu adanya dampak positif dari peran coaching terhadap
kinerja Poepsel, 2011; Wang, 2000. Penelitian McLaughlin 2013 menyarankan bahwa penggunaan modalitas berbasis teks berbantuan
perangkat virtual dalam coaching diperlukan penelitian dan penerapan yang semakin mendalam karena dapat sebanding dan bisa lebih kuat dari coaching
tatap muka. Telah ada sejumlah riset tentang executive coaching maupun
multisource feedback menggunakan metode eksperimen yang merupakan satu metode yang menguji hubungan kausalitas antar variabel Shadish et al.,
2002. Namun demikian, kebanyakan metode eksperimen dalam executive coaching didesain menggunakan single-group pre-post design dengan
pengukuran purwauji pretest dan purnauji posttest pada satu kelompok eksperimental saja, seperti pada penelitian oleh Bailey dan Fletcher 2002,
Hazucha et al. 1993, Luthans dan Peterson 2003. Penggunaan satu kelompok eksperimental tersebut memiliki kelemahan yaitu sulit untuk
diinterpretasikan hasilnya karena tidak ada kelompok kontrol sebagai pembanding kelompok eksperimen. Hanya sedikit penelitian yang
menggunakan true field experiment dengan kelompok kontrol dan randomisasi pada kelompok eksperimen seperti halnya penelitian oleh
Atwater et al. 2000; Seifert dan Yukl 2005; Seifert et al., 2003; Van Direndonck et al., 2007.
Nieminen et al. 2013 menggunakan kelompok kontrol dan kelompok eksperimen dengan quasi-experimental design pada manajer
menengah instansi pemerintahan. Satu kelompok kontrol menerima workshop
15 dan satu kelompok eksperimen menerima workshop dan executive coaching
selama lima belas bulan. Variabel dependen dalam riset Neiminen et al. 2013 tersebut adalah perubahan peringkat multisource feedback dan
peringkat keefektifan kepemimpinan, dimana seorang manajer dalam melakukan executive coaching dari waktu ke waktu memiliki peningkatan
perilaku kepemimpinan atau dikatakan dari waktu ke waktu memiliki dampak positif. Hal ini sesuai temuan dan sejajar dengan literatur yang
berkembang yang menjelaskan efek positifnya executive coaching terhadap self-efficacy, peningkatan self-rated sebagai pemimpin. Dalam penelitian
tersebut pada akhir program para manajer peringkat efektifitas menjadi lebih baik, memberikan bukti bahwa terjadi perubahan positip dalam pertumbuhan
diri dan membentuk persepsi orang lain. Berbagai penelitian tentang executive coaching menunjukkan bahwa
MSF dapat diberikan melalui coaching yang sifatnya umum tanpa memerhatikan tipe kepemimpinan dari coach. Sementara itu, media coaching
yang banyak dilakukan adalah dengan tatap muka memiliki keterbatasan dalam hal penentuan waktu pertemuan antara coach dan coachee.
Keterbatasan coaching dengan tatap muka menyebabkan tidak cepatnya pengambilan keputusan atas persoalan-persoalan yang dialami oleh coachee.
Penelitian terkini Filsenger et al., 2014 mengusulkan penggunaan short message service SMS dan surel untuk mengatasi keterbatasan tersebut.
Hakikat dari coaching itu sendiri bukan pada media komunikasi, tetapi pada substansi dari coaching dan cara berkomunikasi.
Fenomena internal yang terjadi dalam
perusahaan bahwa kepemimpinan para kepala cabang menggunakan tipe kepemimpinan
transaksional hal ini disebabkan tujuan setiap kepala penjualan dan tenaga penjualan memeroleh target yang telah ditentukan. Telah disadari bahwa tipe
kepemimpinan tersebut memiliki dampak terhadap situasi kerja, stress para tenaga penjualan yang akhirnya memengaruhi turn over karyawan. Dampak
lebih lanjut pada efektivitas waktu, biaya karena dengan tenaga penjualan
16 yang baru harus dilakukan pelatihan, adaptasi kerja dan budaya perusahaan.
Menyadari hal tersebut maka beberapa tahun terakhir sudah dilakukan bentuk pelatihan, workshop, seminar dan proses implementasi terhadap pola tipe
kepemimpinan transformasional kepada seluruh level pimpinan. Untuk menunjang peningkatan kinerja, bagian sumber daya manusia telah
mengembangkan penilaian kinerja dengan pola multisource feedback. Meski memiliki dampak pada peningkatan kinerja dan perilaku karyawan, namun
belum sesuai apa yang diharapkan, oleh karena itu pengembangan yang dilakukan perusahaan yaitu dengan menerapkan executive coaching disemua
lini, termasuk pada bagian pemasaran dan penjualan. Berkaitan dengan fenomena eksternal dan internal tersebut, maka riset
ini bertujuan memberi dukungan empiris bahwa intervensi executive coaching dalam tipe kepemimpinan meningkatkan taktik pengaruh proaktif,
khususnya tipe kepemimpinan transformasional dan transaksional.
1.2 Identifikasi Gap Penelitian