Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Perempuan Bali dalam Ritual Subak D 902009009 BAB I

Bab Satu

Pendahuluan

Pagi menjelang siang hari itu, di satu petak sawah di sebuah desa
di kawasan Jatiluwih, Kecamatan Penebel Kabupaten Tabanan-Bali
beberapa wisatawan asing bergegas turun dari mobil menuju kubu
(kandang) seekor sapi yang tengah makan rumput. Para wisatawan
yang berasal dari Eropa bergantian foto bersama dengan latar belakang
panorama sawah bertingkat dan Gunung Batukaru. Para wisatawan
juga mengabadikan aktivitas penduduk di lahan pertanian mereka.
Wilayah Jatiluwih mempunyai bentangan sawah yang sangat luas
sehingga hampir sepanjang mata memandang seluruh desa dipenuhi
hamparan sawah bertingkat. Petani yang lalu lalang membawa
cangkul, sabit dan piranti untuk sembahyang di pura sawah (pura
subak) juga menjadi objek yang tidak kalah menariknya bagi wisatawan. Semua yang disuguhkan oleh kawasan ini merupakan sebuah
karisma Desa Jatiluwih, Desa Mengesta dan beberapa desa lain di
sekitarnya. Inilah yang menjadi pertimbangan areal bercocok tanam ini
diusulkan sebagai salah satu Kawasan Budaya Dunia (world cultural
heritage) ke UNESCO. Walaupun areal sawah garapan di desa ini
relatif sempit (hanya berkisar 303 hektar) tetapi wilayah ini cukup

berkontribusi terhadap Kabupaten Tabanan sebagai Lumbung Beras
Provinsi Bali.
Dari beberapa cerita penduduk setempat tradisi agraris dan
harmonisasi yang ada pada wilayah ini adalah manifestasi dari ajaran
Hindu di Bali yang tertuang dalam Tri Hita Karana yaitu hubungan
1

Perempuan Bali dalam Ritual Subak

harmonis antar tiga komponen yaitu Tuhan, manusia, dan lingkungan
(alam). Ada juga cerita (mitos) mengenai tradisi agraris yang diyakini
oleh masyarakat desa di wilayah ini adalah ketika suatu saat terjadi
kemarau panjang di seputar wilayah Pura Batukaru, sehingga rakyat
sampai harus masuk hutan untuk mencari makanan. Pada saat berada
di hutan beberapa dari mereka seolah mendapat mimpi gaib, ternyata
di wilayah itu ada padi yang sedang menguning yang ditunggui oleh
seorang kakek. Kemudian kakek ini memberikan beberapa benih
padinya untuk ditanam petani di lahan pertaniannya. Sejak saat itu
secara turun-temurun petani di wilayah ini selalu mengikuti pola
tanam yang disarankan oleh kakek itu yaitu pada musim hujan harus

menanam secara kertamasa (tanam padi lokal merah atau putih
serentak), dan pada musim kemarau (gadon) petani boleh menanam
padi unggul. Kebiasaan ini kemudian dituangkan dalam awig-awig
yang sampai saat ini menjadi acuan subak dalam melakukan pola
tanam. Konon pernah ada pelanggaran pada pola bercocok tanam,
maka terjadilah kegagalan panen dan serangan hama tikus maupun
wereng secara meluas. Selain itu sanksi bagi yang melakukan pelanggaran adalah sanksi melakukan upacara di pura subak 1 .
Pengalaman pribadi saya sebagai orang Bali dari Kabupaten
Tabanan, memang merasakan hal yang sama seperti yang dirasakan
oleh para turis yang berkunjung ke kawasan Jatiluwih tersebut. Sering
timbul pertanyaan dalam benak saya bagaimana cara masyarakat di
sekitar wilayah ini menjaga lingkungan dan tradisi mereka secara
berkelanjutan, dan bagaimana mereka menjaga harmonisasi antara
kepentingan pelestarian alam serta tuntutan gemerincing dolar yang
seolah dijanjikan oleh para turis yang datang silih berganti. Pertanyaan-pertanyaan ini memang tidak pernah terjawab. Saya dan mungkin
juga masyarakat Bali umumnya hanya turut merasa bangga dan puas
karena sering mendengar pujian akan keasrian wilayah Jatiluwih ini.
Sampai pada suatu saat keingintahuan saya akan keberhasilan masyarakat wilayah ini untuk tetap bertahan dengan tradisi terusik ketika
perdebatan tentang Bali yang sedang dalam persimpangan akhir-akhir
1 Sanksi ritual yang dilakukan sampai menghabiskan biaya Rp. 3.000.000 (tiga juta

rupiah) (Kompas, 5 Februari 2011)

2

Pendahuluan

ini menjadi topik utama dalam berita surat kabar daerah, Bali Post.
Menurut beberapa berita tersebut Bali saat ini sedang mengalami
permasalahan serius dalam beberapa hal seperti: pengangguran, masih
terseok-seoknya sektor pertanian, dan semakin meluasnya alih fungsi
lahan pertanian. Di samping itu ketegangan antara Desa Adat dan
semakin melebarnya filosofi keagamaan terutama Agama Hindu.
Masalah-masalah ini menjadi perhatian para pemegang kebijakan,
pemuka agama dan pemerhati Bali.
Berkaitan dengan hal tersebut maka pada bulan Nopember 2009
diadakan seminar tentang Revitalisasi Bali melalui Revitalisasi Pertanian. Seminar ini sebenarnya menunjukkan bahwa kegalauan pemerintah, praktisi dan pemerhati Bali terhadap kondisi Bali yang terkenal
sukses sebagai daerah tujuan wisata dunia, tetapi ternyata rapuh dalam
menjamin kesejahteraan masyarakatnya yang sebagian besar masih
bergelut di sektor pertanian. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian
Wiguna (2008), hampir 75% penduduk Bali masih menggantungkan

kehidupan di sektor pertanian, dan sebagian besar dari petani tersebar
di daerah perdesaan.
Situasi paradoksal yang memenuhi benak saya yaitu di satu sisi
ada wilayah di Bali Utara (kawasan Jatiluwih) yang masih mampu
memadukan kehidupannya sebagai petani dan daerah tujuan wisata
alam dengan harmonis, sedangkan di sisi lain ternyata ada fenomena
petani di kawasan Bali Selatan terhimpit gemerincing dolar pariwisata.
Bertitik tolak dari ilustrasi yang dimuat pada Kompas (2011) maka
keberhasilan kawasan Jatiluwih sebagai salah satu wilayah yang tetap
menjaga keharmonisan antara pertanian dengan pariwisata adalah
adanya organisasi tradisional subak. Subak merupakan salah satu
kearifan lokal yang masih eksis di beberapa wilayah di Bali adalah
organisasi pembagian air di areal sawah secara tradisional. Organisasi
subak memiliki 4 (empat) elemen seperti lahan pertanian (sawah),
sumber air, anggota subak dan pura subak (water temple). Jadi dalam
setiap organisasi subak keempat elemen tersebut akan selalu ada dan
merupakan syarat mutlak sebuah organisasi subak. Menurut hasil
survey yang dilakukan oleh Wiguna (2008) subak sampai saat ini masih

3


Perempuan Bali dalam Ritual Subak

dipercaya dan diinginkan oleh hampir 70% masyarakat Bali untuk
tetap eksis. Di samping itu pemerhati subak seperti Pitana (1993),
Windia (2002), Sutawan (2003), meyakini bahwa melestarikan subak
merupakan salah satu cara untuk tetap menjaga pelestarian pertanian
dan lingkungan dalam rangka pencapaian ketahanan pangan dan hayati
khususnya di daerah Bali. Keyakinan ini berdasarkan alasan elemenelemen dalam organisasi subak seperti adanya lahan pertanian, adanya
anggota subak, masih berfungsinya pembagian air, dan kegiatankegiatan ritual di pura subak juga masih berfungsi dengan baik.
Penelitian-penelitian tentang subak sudah banyak dilakukan baik
oleh peneliti Bali maupun peneliti dari luar negeri. Peneliti Bali yang
peduli dengan keberadaan subak di antaranya adalah Sirtha (1996)
yang meneliti subak dari sisi hukum dan perubahan sosial. Penekanan
pada penelitian ini masih pada sisi hukum, walaupun secara umum
akhirnya disimpulkan bahwa subak merupakan konsep pertanian
religius’. Karena dalam tulisan ini Sirtha juga memaparkan tentang
intensifnya ritual yang dilakukan oleh subak Panaraga Bali sebagai unit
amatan. Akan tetapi bagaimana konsep religius yang dikemukannya
berlangsung pada subak belum secara eksplisit dijelaskan, sehingga

ritual religius yang menyita waktu dan biaya tersebut tidak mendapat
penekanan dalam tulisan ini.
Windia (2010) dalam orasi ilmiahnya yang mengemukakan
sebagian hasil penelitiannya tentang transformasi teknologi yang
dialami subak karena adanya kebijakan pemerintahan melalui Dinas
Pekerjaan Umum untuk memberikan sarana irigasi teknis kepada
subak. Dari hasil penelitian ini akhirnya hanya disinggung bagaimana
konflik pembagian air mulai sering terjadi akibat kebijakan pemerintah
tersebut. Walaupun pada kesimpulan tulisannya, Windia (2002)
menyatakan bahwa subak adalah sesuatu yang bersifat dinamis
sehingga terbuka terhadap teknologi. Jadi pada tulisan ini disebutkan
bahwa ada beberapa elemen subak yang berperan dalam keberlanjutan
subak di Bali, akan tetapi belum ditemukan bahwa ada satu elemen
yang berperan penting dan justru menjadi spirit ketahanan pangan dan
ketahanan hayati di Bali.

4

Pendahuluan


Peneliti Bali berikutnya adalah Sutawan (2008) merangkum
hasil-hasil penelitian dan kajiannya tentang perubahan manajemen
subak dari waktu ke waktu, kemudian fleksibilitas dalam penentuan
keanggotaan dan tantangan pelestarian subak ke depan. Akan tetapi
tulisan ini belum secara eksplisit menyebutkan bahwa ritual yang
dilakukan dalam subak merupakan sesuatu yang penting untuk
keberlanjutan subak.
Tulisan dari seorang peneliti asing yaitu Lansing (1987) yang
meneliti tentang keterkaitan antara satu pura subak di suatu areal
subak tertentu dengan pura subak di daerah lainnya ternyata memiliki
ikatan dan jejaring yang sangat kuat dan mampu mempersatukan subak
di seluruh Bali. Penekanan pada tulisannya yaitu bagaimana pura subak
berperan dalam menjaga jaringan antara subak di Bali. Namun
penekanan pada penelitian Lansing (1987) adalah pemeliharaan
jejaring antar subak sehingga dengan kekuatan jaringan, subak diyakini
tetap mampu bertahan. Namun tulisan tersebut juga belum secara tegas
menyatakan bahwa ada ritual religius terkait dengan pura subak yang
berperan dalam menjamin ketahanan pangan dan ketahanan hayati
pada setiap organisasi subak.
Peneliti lainnya adalah Yuliana (2010) yang meneliti tentang

proses transformasi pertanian moderen ke pertanian organik di Subak
Wongaya Betan. Dalam penelitian ini penulis hanya memaparkan
tentang proses transformasi yang terjadi, tanpa melihat ada apa di balik
kesuksesan transformasi yang terjadi. Dari hasil-hasil penelitian
tersebut secara umum subak ternyata masih diinginkan untuk berperan
dalam proses pembangunan di Bali. Pembangunan Bali berarti pembangunan yang mampu mensejahterakan masyarakat Bali secara keseluruhan, menjaga stabilitas Bali dari konflik-konflik adat, agama dan
etnik. Di samping itu beberapa pemerhati subak termasuk pemerintah
masih meyakini bahwa mengajegkan 2 subak merupakan salah satu cara
untuk menyelamatkan budaya Bali dari pengaruh globalisasi pariwisata.

2

Ajeg: mempertahankan sesuatu berlangsung secara berkelanjutan

5

Perempuan Bali dalam Ritual Subak

Seperti disebutkan oleh Geertz (1983) bahwa Bali adalah salah
satu daerah selain Jawa yang memiliki lahan yang subur. Sehingga

kalau keunggulan tersebut dapat dimanfaatkan dengan baik maka Bali
sebenarnya tidak akan mengalami permasalahan seperti saat ini.
Walaupun pariwisata merupakan satu harapan untuk meningkatkan
pendapatan daerah dan sebagai penyerap tenaga kerja, akan tetapi pada
kenyataannya sektor ini lebih banyak bermanfaat bagi masyarakat luar
(asing). Pemerataan hasil dari industri pariwisata bagi masyarakat Bali
masih mengalami ketimpangan. Hal ini disebabkan pada kenyataannya
banyak posisi penting dalam industri pariwisata dikuasai oleh
masyarakat luar, sedangkan putra-putri daerah hanya menempati posisi
bawahan, sehingga dari sisi upah mereka mendapatkan gaji yang lebih
rendah. Situasi seperti ini tentu saja tidak menguntungkan bagi
kesejahteraan masyarakat secara umum, sehingga perlu mendapat
penekanan dan jalan keluar dari pemegang kebijakan di Bali.
Demikan juga dengan analisa Howe (2005) memaparkan dengan
sangat jelas bahwa telah terjadi permasalahan dalam pelaksanaan
keagamaan dan perubahan sosial di Bali akibat dari pembangunan
ekonomi di bidang pariwisata. Apalagi setelah terjadinya bom Bali pada
akhir tahun 2002. Kejadian tersebut menyebabkan seluruh dunia
terkejut dan terguncang apalagi Bali sebagai daerah yang langsung
merasakan dampak dari adanya bom Bali. Pada saat perekonomian dari

sektor pariwisata mengalami penurunan akibat adanya serangan bom,
ternyata sektor pertanian muncul sebagai penyangga perekonomian
Bali. Dari realitas ini sebenarnya sudah terlihat bagaimana sektor
pertanian akan sangat ideal apabila digunakan sebagai penyangga
industri pariwisata di Bali. Di samping itu berdasarkan pada kekuatan
budaya pertanian yang melekat pada budaya Hindu di Bali, maka
sangatlah relevan apabila sektor pertanian dibangun sejalan dengan
sektor pariwisata.
Apalagi kalau kita menyimak pernyataan Susilo Bambang
Yudoyono pada awal terpilihnya sebagai presiden, maka pertanian
sebagai ujung tombak dalam menyikapi isu-isu ketahanan pangan.
Prioritas 100 hari kepemimpinan beliau adalah mencapai ketahanan

6

Pendahuluan

pangan (food security) bagi seluruh rakyat Indonesia 3 . Dalam pelaksanaannya maka area ketahanan pangan yang dimaksudkan meliputi
empat dimensi yaitu: (1) penyediaan pangan; (2) akses masyarakat
miskin dalam penyediaan pangan; (3) stabilitas harga; (4) kemanfaatan

(utility).
Untuk mencapai prioritas tersebut maka blue print (rencana
pelaksanaan) telah dibuat yaitu mendorong pemberdayaan petani
sebagai ujung tombak penghasil pangan terutama beras. Dalam blue
print tersebut disebutkan bahwa salah satu elemen lokal yang mesti
dipertahankan untuk tujuan tersebut adalah Kearifan Lokal (Local
Wisdom) (Sujono, 2009). Hal ini didukung oleh pendapat seorang
pengamat pertanian Arifin (2009) bahwa pengembangan kearifan lokal
memang sudah saatnya digalakkan. Salah satu pertimbangan untuk
mendorong pemanfaatan kearifan lokal dalam usaha pencapaian ketahanan pangan adalah karena Indonesia merupakan negara pluralistik
baik dari sisi pulau, etnik, suku, adat, agama, dan budaya, yang secara
otomatis akan memiliki kearifan lokal yang khas di masing-masing
daerah dan komunitas.
Bali sebagai salah satu daerah di Indonesia memiliki nilai kearifan lokal yang unik dan masih banyak dipraktikkan di daerah survei.
Malahan kearifan lokal masih lebih mampu memberdayakan masyarakat dibandingkan dengan cara-cara modern yang dianjurkan pemerintah. Lebih lanjut ditambahkan bahwa praktik-praktik kearifan lokal
tersebut biasanya lebih banyak dipraktikkan dalam pengelolaan lahan
pertanian, oleh karena bagi masyarakat di perdesaan hampir 80% mata
pencaharian pokok mereka adalah bertani (Arifin 2009).
Jadi Bali dengan kearifan lokal subak sebagai ujung tombak
pelestari pertanian, dan konsep ketahanan pangan yang dicanangkan
pemerintah yang berbasis kearifan lokal, merupakan suatu wacana
yang saling mendukung dalam mewujudkan pembangunan berkelanjutan. Apalagi dengan ciri khas budaya Bali yang sangat terikat dengan
kepercayaan agama Hindu, maka di Bali kegiatan-kegiatan ritual ke3 Sujono (2009) Ketua Lembaga Survey pada wawancara MetroTV tanggal 11
Nopember 2009.

7

Perempuan Bali dalam Ritual Subak

agamaan memang melekat dalam budaya Bali (Geertz, 1979). Di sisi
lain dalam mengimplementasikan Agama Hindu masyarakat Bali akan
melakukannya melalui kegiatan ritual yang telah diatur dalam
Kalender (penanggalan Bali) yang disusun berdasarkan hari baik
(pawekon). Menurut Geertz (1992) masyarakat yang sudah terikat dan
merasa nyaman melaksanakan sesuatu yang diyakini akan menganggap
bahwa hal yang dilakukan adalah benar dan akan menjadi sebuah
tatanan yang dapat dipahami bersama dan dilaksanakan tanpa rasa
keterpaksaan. Semua implementasi keagamaan tersebut dilakukan
melalui ritual oleh anggota subak.
Dari hasil wawancara dengan anggota subak kawasan Jatiluwih
yaitu di Banjar Wongaya Betan, Desa Mengesta, Kabupaten Tabanan
ternyata setiap satu kali musim tanam (sekitar 6 bulan) anggota subak
tersebut akan melaksanakan ritual Agama lebih kurang 10 kali. Dari 10
kali ini ada ritual yang dilakukan oleh kelompok, dan ada juga ritual
yang dilakukan secara pribadi. Dalam areal satu subak saja memiliki
beberapa tempat suci yang menjadi sungsungan (areal persembahyangan) misalnya seperti Pura Bedugul, Pura Ulun Carik, Pura Ulun
Suwi, Pura Sad Kahyangan (lihat: Geertz, 1983). Dalam pelaksanaan
ritual tersebut biasanya lebih banyak dipersiapkan dan dilaksanakan
oleh anggota subak perempuan. Anggota subak laki-laki hanya bertugas mempersiapkan tempat untuk melakukan upacara, setelah itu yang
bertanggung jawab terhadap jalannya upacara adalah kaum perempuan. Kaum perempuan selain sebagai pelaksana ritual pada lahan
pertanian, ternyata juga memiliki peran dalam aktivitas fisik di lahan
pertanian. Perempuan melakukan aktivitas di lahan pertanian mulai
pembibitan, penanaman, pemeliharaan, panen bahkan sampai memasarkan produk pertanian tersebut. Dari kenyataan tersebut maka peran
perempuan sebagai pelaksana sebagian besar kegiatan pertanian dengan
peran perempuan sebagai pelaksana ritual di lahan pertanian adalah
saling terkait.
Dari penjelasan di atas, telah terbentuk situasi paradoksal antara
tujuan pemerintah untuk mencapai ketahanan pangan dan ketahanan
hayati melalui revitalisasi kearifan lokal dengan melestarikan pertanian

8

Pendahuluan

(melalui subak). Di sisi lain terjadi pengaruh globalisasi yang seolah
menggerus kearifan lokal masyarakat maka timbul pertanyaan bagaimana kearifan lokal (subak) mampu sebagai penjamin tercapainya ketahanan pangan dan ketahanan hayati? Untuk menjelaskan secara
kualitatif maka pertanyaan-pertanyaan empirisnya adalah; 1) bagaimana petani di Subak Wongaya Betan menjaga ketahanan pangan dan
ketahanan hayati di wilayahnya; 2) bagaimana aktivitas anggota subak
perempuan dalam pelaksanaan ritual subak; 3) bagaimana kearifan
lokal berperan sebagai modal dalam mempertahankan ketahanan
pangan dan ketahanan hayati untuk menunjang pembangunan berkelanjutan.
Pertanyaan-pertanyaan di atas menjadi acuan untuk menggambarkan peran subak dalam proses pelaksanaan pertanian organik di
Subak Wongaya Betan menuju ketahanan pangan dan ketahanan
hayati, serta menjelaskan bagaimana proses ritual di lahan pertanian
mampu menjadi spirit dalam setiap kegiatan subak untuk pencapaian
ketahanan pangan dan katahanan hayati dalam rangka pelaksanaan
pembangunan berkelanjutan.
Hasil Penelitian dalam bentuk disertasi ini akan menyajikan
tahapan dan proses pada bab-bab yang disusun dengan pengorganisasian yang berbeda. Diawali dengan pemaparan beberapa kerangka teoritis pada bab dua, yang bertujuan untuk memberikan beberapa penyatuan pemahaman terhadap pemikiran-pemikiran peneliti terdahulu.
Pemikiran-pemikiran tersebut akan terkait dengan aspek yang menjadi
penekanan pada tulisan ini yaitu pemahaman tentang kearifan lokal
(local wisdom), ritual, modal sosial, ketahanan pangan (food security)
dan ketahanan hayati (biosecurity), dan subak.
Bab tiga, memuat pemaparan tentang metodologi penelitian yang
berisikan tentang penjelasan metode penelitian, unit amatan, unit
analisa. Selain itu pada bab ini juga saya sisipkan pengalaman saya
meneliti secara kualitatif di daerah sendiri (backyard reseach) yang
memberikan saya pengalaman berharga dengan segala kesulitan dan
kemudahan yang saya rasakan.

9

Perempuan Bali dalam Ritual Subak

Bab-bab empiris akan saya uraikan satu per satu dari bab empat
yang mengulas tentang unit amatan penelitian yaitu Subak Wongaya
Betan yang selanjutnya akan saya singkat menjadi SWB. SWB ini
merupakan salah satu subak yang terletak di daerah kawasan budaya
dunia (culture heritage) Catur Angga Batukaru, yang merupakan
kawasan suci sebagai identitas umat Hindu di Bali. SWB selain berhasil
menjaga kelestarian lingkungan dan lahan pertaniannya, mereka juga
berhasil menjadi pelopor pelaksana padi organik di wilayah ini dengan
memperoleh sertifikat SNI (Sertifikat Nasional Indonesia), sehingga
produk berasnya sudah mampu dipasarkan ke seluruh Indonesia.
Bagian ini juga akan memuat perkembangan subak dari zaman
Kerajaan, zaman Kolonial, zaman Orde Lama, zaman Orde Baru dan
zaman Reformasi.
Bab lima, secara umum akan menjelaskan bagaimana SWB berada dalam kondisi sulit akibat adanya program revolusi hijau. Kemudian dilanjutkan dengan uraian tentang bagaimana mereka keluar dari
kemelut sisi negatif revolusi hijau, sampai kemudian bangkit dengan
memenangkan pergulatan dengan meraih sertifikat organik. Pada bab
ini juga diungkap elemen-elemen yang berperan dalam perjuangan
menuju sertifikat organik seperti peran aktor sebagai inovator perubahan ke pertanian organik, peran perempuan, keteguhan pada
pelaksanaan ritual, keyakinan terhadap agama Hindu dan peran filosofi
Tri Hita Karana yang dianut oleh SWB, dan juga peran pemerintah
sebagai mitra subak dalam melaksanakan pembangunan di bidang
pertanian.
Bab enam khusus menceritakan tentang peran perempuan dalam
pelaksanaan ritual yang menjadi salah satu ciri khas subak di Bali.
Ritual menjadi penting karena adanya elemen pura subak yang menjadi
landasan dilakukannya ritual dan juga keyakinan anggota subak sebagai
umat Hindu yang harus selalu melaksanakan filosofi Tri Hita Karana.
Pada bab ini diungkap bahwa kekuatan ritual sangat kuat mengikat
anggota subak, sehingga dituangkan dalam awig-awig subak (aturan
subak) yang mengikat baik secara internal maupun eksternal. Ritual
Ngusaba Nini dan Nangluk Merana yang merupakan dua dari sekian

10

Pendahuluan

jenis ritual yang dilaksanakan subak akan diuraikan pada bab ini. Jenis
ritual yang pertama sangat kuat mengimplementasikan rasa syukur
kepada Tuhan karena produksi beras berhasil dan melimpah (Ngusaba
Nini), sedangkan Nangluk Merana sangat kuat mengimlementasikan
penghormatan terhadap lingkungan termasuk hama tikus yang
dikendalikan dengan cara ritual. Di sini terlihat bagaimana nilai-nilai
kearifan lokal masih melekat pada masyarakat subak di Bali.
Bab tujuh adalah bab empiris yang menguraikan tentang keterkaitan antara nilai-nilai kearifan lokal yang dianut oleh SWB dengan
konsep ketahanan pangan dan ketahanan hayati yang menjadi salah
satu kebijakan pemerintah dalam bidang pertanian melalui UU No 7
tahun 1996 dan UU No 4 tahun 2006.
Bab delapan adalah pemaparan sintesa dari berbagai temuan di
lapangan yang telah tertuang dalam bab-bab empiris. Pada bab ini akan
dijelaskan tentang keterkaitan antara elemen-elemen subak dengan
ketahanan pangan dan hayati, faktor-faktor penguat seperti agama
Hindu dengan filisofi Tri Hita Karana. Kemudian konsep suci dan leteh
yang berkaitan dengan kepercayaan pencegahan pencemaran di areal
pertanian. Pada bab ini juga akan dikaitkan dengan adanya hukum
karma pala dan reinkarnasi yang dipercaya dapat dijadikan sebagai
buffer (penyangga) untuk selalu berbuat berdasarkan etika dan menghindarkan diri dari perbuatan yang melanggar ajaran agama Hindu.
Kekuatan-kekuatan ini ternyata menjadi suatu spirit bagi subak untuk
tetap mempertahankan lahan pertanian dalam rangka menjamin ketahanan pangan dan ketahanan hayati di Bali. Bagian ini juga membahas posisi sumberdaya perempuan dalam beraktivitas baik di lahan
pertanian dan dalam pelaksanaan ritual, sehingga isu-isu kesenjangan
gender dapat digali melalui pendekatan budaya.
Bab sembilan adalah bab kesimpulan yang merupakan bab
terakhir dari rangkaian disertasi ini. Penyajian bab ini lebih diarahkan
pada kontribusi teoritis dari penemuan-penemuan lapangan, yang
diharapkan dapat bermanfaat bagi pencapaian ketahanan pangan dan
ketahanan hayati dalam rangka pembangunan pertanian berkelanjutan.

11