Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Kepemimpinan dalam Executive Coaching dan Dampaknya terhadap Taktik Pengaruh Proaktif D 922011002 BAB I

(1)

1

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Menurut Ray Williams sebagai Presiden International Coach Federation (National Post, 4 April 2007) mengungkapkan bahwa business coaching adalah profesi yang memiliki pertumbuhan berada pada urutan kedua tercepat di dunia setelah teknologi informasi. Hal ini didorong oleh banyak kepemimpinan tidak efektif yang telah memberikan kontribusi terhadap permintaan untuk executive coaching. Hal tersebut ditunjukkan dengan fakta bahwa pengeluaran tahunan untuk business coaching di Amerika Serikat telah mencapai satu juta dollar (Harvard Business Review, November 2004). Sementara itu pemakaian business coaching di Inggris telah tersebar luas dan diperoleh data bahwa 88% perusahaan sudah menggunakan coaching di dalam organisasinya (University of Bristol Newsletter 2005).

Adapun pertumbuhan organisasi dengan menggunakan coaching telah dilakukan juga oleh Institute Management Australia dimana 70% dari perusahaan yang menjadi anggotanya telah memekerjakan para coach untuk melakukan business coaching (Inside Business Channel 2, Juli 2006). Data yang ada menyatakan bahwa terdapat 40.000 orang di Amerika Serikat yang telah bekerja sebagai business coach atau life coach. Selain itu juga, pasaran dari business coaching senilai 2,4 juta dollar dan kini bertumbuh 18% pertahunnya (Market Data Report 2007).

Business Coaching ini berdampak pada percepatan pengembangan karier bagi para eksekutif. de Geus dan Senge (1997) menyatakan bahwa kemampuan eksekutif yang telah menggunakan coaching berkemampuan untuk belajar lebih cepat dan membawa dampak keunggulan kompetitif yang berkelanjutan. Lingkungan organisasi yang berkembang pesat dan didukung


(2)

2

dengan coaching mampu mendorong para eksekutif untuk dapat mengambil keputusan yang strategis dan mengelola sumber daya organisasi sesuai tantangan dan kebutuhan organisasi.

Smith dan Sandstrom (1999) menegaskan bahwa coaching adalah alat strategis untuk meningkatkan fleksibilitas perilaku dan membantu para eksekutif untuk mengidentifikasi tantangan, merenungkan dan mengambil tindakan yang tepat untuk kepentingan organisasi. Hal serupa juga dinyatakan Warrenfeltz (2000) bahwa keberadaan coaching mampu mendorong organisasi untuk lebih efisien dan efektif dalam pengelolaan sumber daya manusia.

Fenomena executive coaching juga didukung hasil riset empiris di bidang tersebut yang mengalami perkembangan yang pesat (Filipezak, 1998; Kilburg, 1996; Quick dan Macik-Frey, 2004; Feldman dan Lankau, 2005; Nieminen et al., 2013). Perkembangan literatur executive coaching di bidang konsultasi manajemen, pelatihan dan pengembangan, serta konsultasi psikologi juga mengalami peningkatan (Kampa-Kokesch dan Anderson, 2001). Adapun Joo (2005) menyatakan bahwa riset executive coaching

berelasi dengan mentoring, kesuksesan karir, balikan (feedback) 360 derajat, serta pelatihan dan pembelajaran. Dalam kerangka konseptualnya, Joo (2005) menyajikan anteseden dari keberhasilan executive coaching adalah karakteristik coach, karakteristik coachee dan dukungan organisasi. Anteseden tersebut mengikuti proses pendekatan, hubungan dan penerimaan

feedback dari coaching sehingga menghasilkan outcome berupa self-awareness dan pembelajaran. Hasil akhirnya adalah kesuksesan individual dan organisasi. Riset lain oleh Bono et al. (2009) memberi bukti empiris bahwa psikologi dalam executive coaching berperan penting dalam perubahan perilaku manager sebagai sumber daya manusia di organisasi.

Dalam domain pengembangan sumber daya manusia, Feldman dan Lankau (2005) menggambarkan karakteristik yang membedakan executive coaching dengan intervensi pengembangan pimpinan yang lain yaitu: terformalisasi, jangka pendek sampai menengah, hubungan satu demi satu


(3)

3 dengan seorang konsultan yang berfokus pada penyediaan pimpinan yang mau melakukan feedback tentang perilaku kinerja dan peningkatan efektivitasnya dalam pekerjaan, serta organisasinya. Feedback yang bersumber dari banyak pihak disebut sebagai multisource feedback (MSF).

Penilaian kinerja karyawan dalam perusahaan biasanya dilakukan oleh atasan langsung dan/atau tak langsung yang disebut sebagai penilaian kinerja karyawan single-source feedback. Penilaian seperti ini memiliki banyak kelemahan dan bias, karena sangat tergantung selera pimpinan terhadap bawahannya. Oleh karena itu, kini mulai dikembangkan penilaian kinerja model 360 derajat. Pengembangan manajemen sumber daya manusia untuk penilaian kinerja karyawan dengan umpan balik 360 derajat telah dikenal sebagai umpan balik multisumber atau penilaian multisumber. Umpan balik 360 derajat memiliki berbagai nama: umpan balik dari banyak penilai (multi-rater feedback), penilaian dari bawah ke atas (upward appraisal), umpan balik rekan sekerja (co-worker feedback), penilaian multi perspektif (multiperspective ratings), umpan balik satu lingkaran penuh ( full-circle feedback). Angka 360 menunjukan 360 derajat dalam suatu lingkaran dengan figur individual di pusat lingkaran.

Penilaian kinerja karyawan yang menggunakan umpan balik 360 derajat dilakukan oleh karyawan sendiri, kelompok “peer”, bawahan dan atasan. Dalam beberapa kasus umpan balik 360 derajat ini, penilaian kinerja diri dilakukan dari sumber eksternal seperti pelanggan dan pemasok atau pemangku kepentingan lainnya. Proses ini melibatkan pihak luar perusahaan seperti konsumen, klien dan penjual. Proses ini pun memiliki keterlibatan dan kredibilitas tinggi dari karyawan dalam memengaruhi peningkatan perilaku, kinerja dan komunikasi. Pola ini memberi karyawan kesempatan untuk mengetahui bagaimana mereka dinilai orang lain, termasuk untuk melihat ketrampilan dan perilakunya.

Dari studi yang dilakukan Walker and Smither (1999) selama lima tahun menyatakan bahwa antara satu hingga dua tahun pertama tidak adanya


(4)

4

perbaikan signifikan dalam hal peningkatan kinerja, karena masing– masing masih bersikap subyektif. Namun setelah proses berlangsung selama tiga tahun maka mulai tampak ada peningkatan kinerja. Selain itu studi yang dilakukan Reilly et al. (1996) menunjukkan adanya peningkatan kinerja di bidang administrasi pada tahun-tahun pertama dan berlangsung terus setelah dua tahun berikutnya. Menurut (Maylett dan Riboldi, 2007) model 360 derajat ini dapat digunakan untuk memprediksi kinerja karyawan yang sifatnya berkesinambungan, sehingga MSF memiliki keunggulan dibandingkan dengan single-source feedback.

Penelitian di bidang MSF berkembang sangat pesat pada beberapa dekade terakhir yaitu dalam hal pengembangan, penilaian dan pengambilan keputusan personil (Antonioni, 1996; Brutus dan Derayeh, 2002; Burtus et al., 2006; Hedge et al., 2001; Waldman et al., 1998). Dalam konteks perkembangan pemimpin, proses MSF yang pertama mencakup pengumpulan nilai oleh pemimpin supervisor, rekan sejawat, laporan langsung, dan diri sendiri, dan kedua, berbagi hasil dengan pemimpin untuk memfasilitasi pembelajaran dan kemajuan (Dalessio, 1998). Riset empiris menunjukkan bahwa pengaruh MSF terhadap efektivitas pemimpin masih inkonklusif atau masih sulit diinterpretasikan (Hezlett, 2008; McCharty dan Garavan, 2006), namun perubahan yang dilakukan oleh pemimpin setelah menerima MSF adalah positif, meski nilai perubahannya masih kecil karena hanya beberapa pemimpin memiliki kesadaran untuk berubah setelah menerima feedback.

Hal- hal yang berpotensi menjadi penyebab tidak optimalnya MSF dalam meningkatkan perubahan perilaku pemimpin adalah desain riset, masih adanya kelemahan dalam hal instrumen MSF, salah langkah dalam implementasinya, dan faktor substantif dalam pengembangan model teoritis. Nieminen et al. (2013) menggunakan executive coaching sebagai komplemen dari tujuan MSF dengan membantu pemimpin untuk mengembangkan tujuan dan mengikuti aksi pengembangan yang tepat. Hasil riset Nieminen et al.


(5)

5 (2013) menunjukkan bahwa ada hubungan positif antara MSF terhadap efektivitas manajer sebagai pimpinan. Multisource feedback dengan feedback workshop memiliki nilai lebih kecil dibanding feedback workshop yang dikombinasi dengan executive coaching. Namun demikian, riset Nieminen et al. (2013) belum mempertimbangkan tipe kepemimpinan dalam executive coaching seperti yang diulas oleh Hezlett (2008). Nieminen et al. (2013) memberikan bukti empiris yang sama bahwa executive coaching dengan MSF dalam workshop meningkatkan kinerja individual coachee. Dalam penelitian Kochanowski et al. (2010) diketahui bahwa hasilnya konsisten dengan hasil dari studi kuasi-eksperimental oleh Smither et al. (2003). Efek dari intervensi umpan balik memiliki pengaruh terhadap taktik pengaruh proaktif. Masey (2010) menjelaskan bahwa taktik pengaruh proaktif adalah upaya oleh seorang manajer pemasaran kepada agen untuk melakukan kepatuhan atau kerja sama dalam mencapai target dan keefektifan manajer ditentukan sebagian oleh tingkat pengaruh informal mereka di dalam organisasi. Taktik pengaruh proaktif yang biasa dilakukan manajer pemasaran di Indonesia yaitu taktik pengaruh proaktif yang meliputi rational persuasion, inspirational appeal, collaboration, dan consultation. Dampak dari intervensi umpan balik hanya ditemukan untuk collaboration dan

consultation.

Dalam percobaan lapangan oleh Seifert dan Yukl (2005) dan Seifert et al. (2003) diketahui tidak adanya efek signifikan yang ditemukan untuk persuasi rasional dan taktik ini juga tidak terpengaruh oleh sebuah intervensi umpan balik dalam dua percobaan di lapangan sebelumnya. Persuasi rasional adalah taktik pengaruh proaktif yang paling sering digunakan para manajer (Yukl, 2009), dan mungkin kurang rentan terhadap perubahan daripada taktik yang lain. Sedangkan hasil untuk inspirasional juga tidak memiliki signifikansi. Sayangnya, kemampuan generalisasi pada kesimpulan penelitian–penelitian tersebut (Nieminen et al., 2013; Kochanowski et al., 2010) masih terbatas karena tipe kepemimpinan coach yang terlibat executive coaching belum diteliti.


(6)

6

Tipe kepemimpinan memegang peranan penting dalam suatu organisasi. Perbedaan tipe perilaku pemimpin akan menyebabkan dampak

feedback pun menjadi berbeda (Kochanowski et al., 2010). Hubungan antara perilaku dan keterampilan kepemimpinan berdampak positif terhadap efektivitas organisasi. Hal ini terkait erat dengan nilai-nilai, norma -norma perilaku, dan praktik kerja (Denison dan Mishra, 1995; Denison et al., 2003). Penggunaan feedback terhadap perubahan perilaku dengan mempertimbang-kan tipe kepemimpinan berpotensi meningkatmempertimbang-kan kinerja individual dan dampak selanjutnya dapat meningkatkan kinerja organisasi.

Tipe kepemimpinan yang efektif dan sering diteliti secara mendalam yaitu tipe kepemimpinan transformasional. Tipe Kepemimpinan transformasional merupakan kemampuan seorang pemimpin dalam bekerja dengan dan atau melalui orang lain untuk mentransformasikan secara optimal sumber daya organisasi dalam rangka mencapai tujuan yang bermakna sesuai dengan target capaian yang telah ditetapkan. Sumber daya organisasi yang dimaksud yaitu sumber daya manusia seperti pimpinan, staf, bawahan, tenaga ahli, dan lain-lain. Berkaitan dengan tipe kepemimpinan transformasional ini, Leithwood et al. (1999) mengemukakan bahwa kepemimpinan transfor-masional menggiring sumber daya manusia yang dipimpin ke arah tumbuhnya sensitivitas pembinaan dan pengembangan organisasi, pengembangam visi secara bersama, pendistribusian kewenangan kepemimpinan, dan membangun kultur organisasi yang menjadi keharusan dalam skema restrukturisasi organisasi. Cheung dan Wong (2010) dalam penelitiannya menemukan bahwa adanya hubungan positif antara tipe kepemimpinan transformasional dan kreativitas karyawan yang hasilnya berupa konsisten dengan temuan penelitian Shin dan Zhou (2003). Mereka berpendapat bahwa para pemimpin peduli terhadap kebutuhan karyawan dan keinginan berhubungan dengan kegiatan sosial yang pada akhirnya memengaruhi kekuatan ide generasi. Kepemimpinan transformasional diprediksikan mampu mendorong terciptanya efektifitas organisasi. Tipe kepemimpinan transformasional menggambarkan adanya tingkat kemampuan


(7)

7 pemimpin untuk mengubah mentalitas dan perilaku pengikut menjadi lebih baik.

Kepemimpinan transformasional memiliki makna dan orientasi masa depan (future oriented) diantaranya kebutuhan menanamkan budaya inovasi dan kreatifitas dalam meningkatkan meningkatkan mutu dan eksistensi pengembangan organisasi ke depan. Hal ini penting karena kondisi persaingan yang dihadapi organisasi masa kini menuntut terciptanya organisasi yang berkualitas, produktif, serta profesional dalam menapaki masa depan dengan segala tantangan yang ada. Kepemimpinan transformasional menurut Avilio dan Bernard M. Bass (2005) memiliki karakteristik yang membedakan dengan tipe kepemimpinan yang lainnya seperti charisma yaitu memberikan visi dan misi yang masuk akal, menimbulkan kebanggaan, menimbulkan rasa hormat dan percaya. Karakteristik lainnya adalah inspiration yang merupakan cara mengomunikasikan harapan yang tinggi, menggunakan simbol untuk memfokuskan upaya, mengekspresikan tujuan penting dengan cara yang sederhana. Selanjutnya karakteristik lainnya yaitu intellectual stimulation, yaitu bagaimana meningkatkan intelegensi, rasionalitas, dan pemecahan masalah secara teliti. Terakhir adalah karakter individualized consideration

yaitu memberikan perhatian pribadi, melakukan pelatihan dan konsultasi kepada setiap bawahan secara individual. Tipe kepemimpinan semacam ini akan mampu membawa kesadaran pengikut (followers) dengan memunculkan ide–ide produktif, hubungan yang sinergikal, kebertanggungjawaban, kepedulian edukasional, cita-cita bersama, dan nilai– nilai moral.

Aplikasi tipe kepemimpinan transformasional pada banyak organisasi sangat ideal. Melalui tipe kepemimpinan seperti itu, segala potensi organisasi dapat ditransformasikan menjadi aktual dalam kerangka mencapai tujuan lembaga. Melihat kesejatian tipe kepemimpinan transformasional ini, setiap pemimpin harus menjadi basis pemimpin dalam melakukan transformasi


(8)

8

tugas kesehariaannya. Kepemimpinan transformasional pada prinsipnya mengubah budaya organisasi. Gundersen et al. (2012) dalam risetnya menemukan bahwa tipe kepemimpinan transformasional di lingkungan kerja yang dinamis memberikan dampak kinerja yang efektif bagi karyawan dan efektifitas bagi organisasi.

Cunningham dan Cordeiro (2006) dalam hal kepemimpinan mendasarkan pada tipe kepemimpinan transformasional menyebutkan empat hal penting yang perlu mendapat perhatian pemimpin untuk mewujudkan tujuan kinerja organisasi secara efektif yaitu: (1) Membuat visi yang ideal, menarik dan dapat dicapai, pemimpin perlu mengkaji data dan informasi organisasi yang tersedia serta memelajari kebutuhan lingkungan internal dan trend perkembangan lingkungan eksternal; (2) Merumuskan visi untuk mendapatkan visi yang benar-benar ideal. Pemimpin mengkaji kembali kekuatan dan kelemahan internal organisasi serta memprediksi kemungkinan masa depan yang ideal yang bisa dicapai dalam kurun waktu antara 5 – 10 tahun; (3) Mengomunikasikan visi yang pada dasarnya adalah konsep impian masa depan yang penuh makna bahkan misteri. Oleh karena itu visi harus disebarluaskan kepada pihak-pihak yang bekepentingan dalam organisasi. Hal ini dimaksudkan supaya pesan-pesan inti yang terkandung didalamnya dapat dipahami dan dirasakan sebagai kebutuhan bersama, serta menjadi simbol kebanggaan dalam menggerakkan roda organisasi; (4) Deployment

dapat diartikan sebagai bentuk upaya menerjemahkan dan menyebarluaskan visi ke dalam realita dengan cara membangun budaya kerja yang kondusif.

Deployment dalam konteks ini juga dapat berarti mencegah kecenderungan penyebaran perkembangan kearah yang tidak diinginkan. Tipe kepemimpinan tersebut banyak diimplemtasikan dalam kepemimpinan yang berkaitan dengan edukasi dan admistratif, dan memiliki ciri–ciri yang dimiliki kepemimpinan transformasionl.

Implementasi tipe kepemimpinan transformasional dalam organisasi memang perlu diterapkan seperti dalam jabatan kepala cabang, kepala


(9)

9 penjualan, kepala bengkel ataupun kepala departemen dan yang lain-lain. Model kepemimpinan ini memang perlu diterapkan sebagai salah satu solusi krisis kepemimpinan, terutama dalam bidang yang mengarah kepada tujuan masa depan yang lebih baik. Adapun alasan–alasan mengapa pentingnya penerapan model kepemimpinan transformasional bagi suatu organisasi yaitu: (1) secara signifikan meningkatkan kinerja organisasi, (2) secara positif dihubungkan dengan orientasi pemasaran jangka panjang dan kepuasan pelanggan, (3) membangkitkan komitmen yang lebih tinggi para anggotanya terhadap organisasi, (4) meningkatkan kepercayaan pekerja dalam manajemen dan perilaku keseharian organisasi, (5) meningkatkan kepuasan pekerja melalui pekerjaan dan pemimpin, serta (6) mengurangi stress para pekerja dan meningkatkan kesejahteraan.

Sedangkan menurut Bycio et al. (1995) kepemimpinan transaksional adalah tipe kepemimpinan dengan pemimpin yang perhatiannya berfokus pada transaksi interpersonal antara pemimpin dengan karyawan yang melibatkan hubungan pertukaran. Pertukaran tersebut didasarkan pada kesepakatan mengenai klasifikasi sasaran, standar kerja, penugasan kerja, dan penghargaan. Burns (1978) memaparkan bahwa kepemimpinan transaksional merupakan hubungan antara pemimpin dengan bawahan didasarkan pada serangkaian aktivitas tawar menawar antar keduanya. Karakteristik kepemimpinan transaksional adalah contingent reward dan management by-exception. Tipe kepemimpinan ini juga dianggap sangat tepat untuk dipergunakan dalam situasi atau tuntutan yang sifatnya target, seperti layaknya pada bidang penjualan.

Pandangan kepemimpinan transformasional sebagai model kepemimpinan dalam organisasi yang paling ideal, pada kenyataannya praktek-praktek kepemimpinan di organisasi sangat ditentukan oleh atau bergantung pada konteksnya (Leithwood dan Jantzi, 2005), seperti karakteristik dan kemampuan pengikut, kondisi organisasi, dan kebijakan lembaga (Bottery, 2001; Fosket & Lumby, 2003; Hallinger, Taraseina, and


(10)

10

Miller, 1994). Hal ini juga ditegaskan oleh Goddart (2003) bahwa setiap situasi yang berbeda membutuhkan tipe kepemimpinan yang berbeda.

Penelitian Rasool (2010) menggunakan true experimental design

yang secara empiris mengevaluasi keefektifan pelatihan kepemimpinan transformasional. Aspek simbol dan emosi pada kepemimpinan telah memberi ketertarikan yang besar untuk penelitian sejak 1980-an. Teori kepemimpinan transformasional dipengaruhi oleh hasil kerja Burns (1978) dan penelitian Bass (1985) yang menerangkan akan pentingnya aspek kepemimpinan. Riset empiris menemukan bahwa pemimpin transformasional meningkatkan motivasi (Bogler, 2001), kepuasan kerja, dan komitmen (Koh, 1990). Kepemimpinan transformasional muncul sebagai pendekatan yang efektif dalam tatanan organisasi (Leithwood 1994).

Penggunaan MSF dari berbagai sumber telah menjadi metode yang populer bagi pengembangan kepemimpinan selama 10 tahun terakhir, dan kini telah digunakan secara luas dalam organisasi besar (London & Smither, dalam Yukl, 2006; Zentis, 2007). Senada dengan hal ini, Atwater dan Brett (2006) menyebutkan bahwa metode MSF dapat menjadi metode yang bermanfaat untuk meningkatkan efektivitas perilaku pemimpin dan pada akhirnya memengaruhi sikap karyawan secara positif.

Penelitian lain tentang penggunaan metode MSF terkait dengan kepemimpinan menyatakan bahwa metode tersebut mampu menunjukkan perubahan perilaku yang positif dan meningkatkan kesadaran diri (Atwater dan Brett, 2006), meningkatkan perilaku kepemimpinan individu secara efektif (Smither et al., 2005), membuat perubahan positif pada sikap dan kelekatan karyawan (Atwater dan Brett, 2006), meningkatkan kesadaran individu untuk merubah perilakunya selama proses pengembangan serta meningkatkan kepuasan kerja karyawan (Zentis, 2007).

Riset yang dilakukan oleh Turner (Nangalia, 2006) menyampaikan bahwa diidentifikasi manfaat dari executive coaching sebagai suatu strategi kepemimpinan, yaitu perhatian yang berkelanjutan, pemikiran yang meluas


(11)

11 melalui dialog, kesadaran diri, tanggung jawab personal untuk berkembang dan pembelajaran cepat. Selain itu individu yang terikat dalam hubungan

coaching dapat memiliki perspektif yang segar pada tantangan dan peluang pribadi, meraih keterampilan berpikir dan pembuatan keputusan, mencapai efektivitas pribadi dan peningkatan kepercayaan diri dalam melaksanakan pekerjaan dan peran dalam hidupnya.

Studi Parker et al., (2006) menyatakan bahwa executive coaching

dapat meningkatkan pengembangan pada 3 (tiga) wilayah kompetensi, yaitu perilaku kepemimpinan sebesar 82%, membangun tim sebesar 41% dan mengembangkan staf sebesar 36%. Dalam tataran mekanisme, executive coaching dapat dilakukan melalui interaksi orang per orang yaitu orang yang akan dikembangkan kepemimpinannya dengan seorang coach melalui sesi

coaching berdasarkan data dari perspektif stakeholders (dapat melalui 360

assessment) yang didasarkan pada sikap kesaling percayaan dan menghargai. Laurie (2005) menyatakan dalam executive coaching menggunakan teknik deduktif untuk meningkatkan kemampuan dan tujuan individu secara khusus yang ingin diraihnya. Menghargai seorang coach merupakan sikap timbal balik yang harus dilakukan antara coach dan coachee sehingga membantu proses coaching. Pekerjaan seorang pemimpin adalah mendapatkan hasil dengan memanfaatkan orang lain dalam mengelola sumber daya manusia. Pemimpin memiliki kepentingan dengan cara meningkatkan pengetahuan, keterampilan, kinerja para stafnya. Adapun proses pemberdayaan tersebut terletak pada kolaborasi yang berdasarkan pada tiga komponen yaitu bantuan teknis, dukungan pribadi, dan tantangan individu, yang disatukan dalam emosi, antara pimpinan sebagai coach dan staf sebagai coachee. Sehubungan coaching merupakan ikatan antar personal, maka ikatan tersebut harus ada apabila coaching diharapkan untuk memberikan dampak positif bagi karyawan yang merupakan aset perusahaan. Berdasarkan uraian tersebut di atas dapat diartikan bahwa kepemimpinan transformasional yang berkualitas dapat membantu pelaksanaan coaching


(12)

12

yang diharapkan memberikan dampak yang signifikan terhadap peningkatan kinerja karyawan dalam perusahaan. Pada prinsipnya pendekatan kepemimpinan transformasional menunjukkan tingkat kepedulian pemimpin untuk melakukan transformasi dan memengaruhi tindakan yang dilakukan serta pendekatan yang dilakukan oleh pemimpin. Hal ini berdampak pada setiap aspek kapabilitas dan pengalaman kepemimpinan, termasuk kemampuan pribadi untuk berubah, strategi perubahan yang dikembangkan, tipe kepemimpinan dan keputusan, pola komunikasi, serta respon pribadi.

Transformasi pengembangan sumber daya manusia yang lain adalah dalam hal penggunaan behavioral feedback yang semula single feedback

menjadi multisource feedback. Secara empiris, masih sedikit hasil riset yang menyatakan bahwa metode tersebut efektif (Kochanowski et al., 2010). Hasil riset empiris menunjukkan metode tersebut secara umum lemah dan inkonsisten (Smither et al., 2005; Yukl dan Seifert 2005). Metode yang digunakan sebagai behavioral feedback masih banyak yang sifatnya tunggal yaitu dari bawahan saja (Atwater et al., 2000; Van Dierendonck, et al., 2007) yang berdampak lebih kecil terhadap perubahan perilaku bawahan. Perkembangan berikutnya dalam praktik tidak lagi menggunakan single feedback melainkan menggunakan MSF dalam executive coaching, sehingga hal ini menarik untuk diteliti lebih intensif.

Media coaching saat ini mengalami perubahan yang signifikan seiring dengan kemajuan teknologi komunikasi yang mengalami perkembangan yang luar biasa. Meluasnya penggunaan internet telah mengubah perilaku masyarakat secara mendalam dan banyak aspek kehidupan yang ditentukan oleh internet, terutama dalam kehidupan dan aktivitas berorganisasi. Dalam pelaksanaan coaching terhadap sumber daya manusia yang berkesinambungan, para praktisi mulai mengeksplorasi manfaat dari media modern berbasis perkembangan teknologi komunikasi dalam penerapannya. Survei Sherpa (2012) menunjukkan bahwa pada tahun 2012, hanya 41% pembinaan dilakukan tatap muka, 31% pembinaan disampaikan melalui


(13)

13 telepon, 14% dengan bantuan webcam dan skype, 11% dalam bentuk e-mail

dan 3% konferensi video. Sebuah tren yang sedang berkembang terhadap

coaching secara virtual juga terdapat di Cina (Bresser, 2013). International Coaching Federation (ICF) Global Coaching Study menunjukkan bahwa pada tahun 2012 di Amerika Utara, coaching melalui telepon bahkan telah menjadi metode yang paling disukai, sedangkan di Eropa Barat hanya 9% yang belum menggunakan media online (ICF, 2012). Namun demikian,

coaching melalui media modern tampaknya menjadi fenomena yang berkembang (Grant dan Zackon, 2004; ICF, 2007) dan diperkirakan terus ada peningkatan dalam penggunaannya (Frazee, 2008).

E-Coaching adalah istilah yang sering digunakan bergantian dengan

virtual coaching, jarak coaching, coaching online, dan coaching jarak jauh. Clutterbuck dan Hussein (2010) misalnya mengacu pada e-coaching sebagai hubungan perkembangan antara coach dan coachee, yang dimediasi melalui

e-mail dan dapat dilengkapi dengan media lainnya. Definisi alternatif menganggap e-coaching sebagai hubungan teknologi dalam mediasi antara

coach dan coachee dengan tujuan memfasilitasi pertumbuhan coachee (Hernez-Broome, 2010).

Di antara modalitas teknologi yang digunakan untuk menyampaikan

coaching jarak jauh yaitu penggunaan telepon dianggap paling sering digunakan (Berry, 2005; Grant & Zackon 2004; Poepsel, 2011), dan dampak positifnya terhadap kinerja telah didukung oleh bukti empiris (Ghods, 2009; Filsinger et al., 2014). Beberapa penelitian lain menunjukkan media coaching

baik yang dilakukan dengan tatap muka langsung, maupun coaching melalui media telepon memberi hasil terhadap peningkatan kinerja (Nieminen et al., 2013; Kochnowski et al., 2010).

Kelemahan penggunaan media telepon adalah coachee memiliki keterbatasan dalam menangkap dan mendokumentasi materi yang diberikan

coach. Kelemahan tersebut dapat ditanggulangi dengan media elektronik lainnya yaitu short message service (SMS) dan surel karena materi dapat


(14)

14

dibaca berulang, lebih mudah dipahami dan dapat diinternalisasi lebih mendalam. Riset terkini yaitu Ghods dan Boyce (2013) dan Filsinger et al., (2014) memberi bukti empiris bahwa selain media telpon, modalitas

coaching berbasis teks berbantuan perangkat virtual seperti skype, teleconference, surel, SMS, whats app mulai banyak digunakan. Sehubungan dengan modalitas coaching berbasis teks, penelitian menghasilkan temuan menggembirakan yaitu adanya dampak positif dari peran coaching terhadap kinerja (Poepsel, 2011; Wang, 2000). Penelitian McLaughlin (2013) menyarankan bahwa penggunaan modalitas berbasis teks berbantuan perangkat virtual dalam coaching diperlukan penelitian dan penerapan yang semakin mendalam karena dapat sebanding dan bisa lebih kuat dari coaching

tatap muka.

Telah ada sejumlah riset tentang executive coaching maupun

multisource feedback menggunakan metode eksperimen yang merupakan satu metode yang menguji hubungan kausalitas antar variabel (Shadish et al., 2002). Namun demikian, kebanyakan metode eksperimen dalam executive coaching didesain menggunakan single-group pre-post design dengan pengukuran purwauji (pretest) dan purnauji (posttest) pada satu kelompok eksperimental saja, seperti pada penelitian oleh Bailey dan Fletcher (2002), Hazucha et al. (1993), Luthans dan Peterson (2003). Penggunaan satu kelompok eksperimental tersebut memiliki kelemahan yaitu sulit untuk diinterpretasikan hasilnya karena tidak ada kelompok kontrol sebagai pembanding kelompok eksperimen. Hanya sedikit penelitian yang menggunakan true field experiment dengan kelompok kontrol dan randomisasi pada kelompok eksperimen seperti halnya penelitian oleh Atwater et al. (2000); Seifert dan Yukl (2005); Seifert et al., (2003); Van Direndonck et al., (2007).

Nieminen et al. (2013) menggunakan kelompok kontrol dan kelompok eksperimen dengan quasi-experimental design pada manajer menengah instansi pemerintahan. Satu kelompok kontrol menerima workshop


(15)

15 dan satu kelompok eksperimen menerima workshop dan executive coaching

selama lima belas bulan. Variabel dependen dalam riset Neiminen et al. (2013) tersebut adalah perubahan peringkat multisource feedback dan peringkat keefektifan kepemimpinan, dimana seorang manajer dalam melakukan executive coaching dari waktu ke waktu memiliki peningkatan perilaku kepemimpinan atau dikatakan dari waktu ke waktu memiliki dampak positif. Hal ini sesuai temuan dan sejajar dengan literatur yang berkembang yang menjelaskan efek positifnya executive coaching terhadap

self-efficacy, peningkatan self-rated sebagai pemimpin. Dalam penelitian tersebut pada akhir program para manajer peringkat efektifitas menjadi lebih baik, memberikan bukti bahwa terjadi perubahan positip dalam pertumbuhan diri dan membentuk persepsi orang lain.

Berbagai penelitian tentang executive coaching menunjukkan bahwa MSF dapat diberikan melalui coaching yang sifatnya umum tanpa memerhatikan tipe kepemimpinan dari coach. Sementara itu, media coaching

yang banyak dilakukan adalah dengan tatap muka memiliki keterbatasan dalam hal penentuan waktu pertemuan antara coach dan coachee. Keterbatasan coaching dengan tatap muka menyebabkan tidak cepatnya pengambilan keputusan atas persoalan-persoalan yang dialami oleh coachee. Penelitian terkini (Filsenger et al., 2014) mengusulkan penggunaan short message service (SMS) dan surel untuk mengatasi keterbatasan tersebut. Hakikat dari coaching itu sendiri bukan pada media komunikasi, tetapi pada substansi dari coaching dan cara berkomunikasi.

Fenomena internal yang terjadi dalam perusahaan bahwa kepemimpinan para kepala cabang menggunakan tipe kepemimpinan transaksional hal ini disebabkan tujuan setiap kepala penjualan dan tenaga penjualan memeroleh target yang telah ditentukan. Telah disadari bahwa tipe kepemimpinan tersebut memiliki dampak terhadap situasi kerja, stress para tenaga penjualan yang akhirnya memengaruhi turn over karyawan. Dampak lebih lanjut pada efektivitas waktu, biaya karena dengan tenaga penjualan


(16)

16

yang baru harus dilakukan pelatihan, adaptasi kerja dan budaya perusahaan. Menyadari hal tersebut maka beberapa tahun terakhir sudah dilakukan bentuk pelatihan, workshop, seminar dan proses implementasi terhadap pola tipe kepemimpinan transformasional kepada seluruh level pimpinan. Untuk menunjang peningkatan kinerja, bagian sumber daya manusia telah mengembangkan penilaian kinerja dengan pola multisource feedback. Meski memiliki dampak pada peningkatan kinerja dan perilaku karyawan, namun belum sesuai apa yang diharapkan, oleh karena itu pengembangan yang dilakukan perusahaan yaitu dengan menerapkan executive coaching disemua lini, termasuk pada bagian pemasaran dan penjualan.

Berkaitan dengan fenomena eksternal dan internal tersebut, maka riset ini bertujuan memberi dukungan empiris bahwa intervensi executive coaching dalam tipe kepemimpinan meningkatkan taktik pengaruh proaktif, khususnya tipe kepemimpinan transformasional dan transaksional.

1.2 Identifikasi Gap Penelitian

Pengembangan sumber daya manusia secara praktik di perusahaan- perusahaan menggunakan berbagai metode antara lain training, on the job training, presentasi, mentoring, konseling, coaching, rotasi, single/ multisource feedback, kenaikan rank/pangkat, jabatan dan assessment center. Bentuk-bentuk pengembangan ini merupakan transformasi dari praktik pengembangan sumber daya manusia, bahkan sering dalam praktiknya dilakukan secara paralel sesuai dengan kebutuhan pimpinan untuk mempercepat pengembangan karyawan.

Dalam praktek di perusahaan masih banyak yang menggunakan metode behavioral feedback sifatnya tunggal yaitu dari bawahan saja (Atwater et al., 2000; Van Dierendonck et al., 2007) dan berdampak lebih kecil terhadap perubahan perilaku bawahan. Perkembangan berikutnya dalam praktik adalah penggunaan, multisource feedback pada executive coaching


(17)

17 Penelitian executive coaching dan MSF terkini adalah Niemenin et al. (2013) dan hasil penelitian menunjukkan peningkatan efektifitas manajer sebagai pemimpin dalam berkinerja. Namun, Neiminen et al. (2013) belum mempertimbangkan tipe kepemimpinan. Neiminen tidak meneliti tentang kaitanya executive coaching dengan tipe kepemimpinan, khususnya tipe kepemimpinan transformasional dan transaksional.

Media coaching yang selama ini dilakukan dengan tatap muka dan media telepon memberi hasil meningkatkan kinerja karyawan dan organisasi (Nieminen et al., 2013; Kochanowski et al., 2010). Riset terkini yaitu Ghods dan Boyce (2013) dan Filsinger et al. (2014) memberi bukti empiris bahwa

executive coaching bisa dilakukan berbantuan perangkat virtual antara lain

skype, teleconference, surel, short message service (SMS), whats app dan berbagai media virtual lainnya.

Pengembangan penelitian selanjutnya oleh Filsinger (2014) dapat dikombinasi dengan celah penelitian dari Nieminen et al. (2013) dan Kochanowski et al. (2010) yang belum mempertimbangkan tipe kepemimpinan dalam executive coaching. Pengembangan penelitian ini adalah dengan menggunakan e-coaching dalam bentuk surel yang mempertimbangkan tipe kepemimpinan coach dalam executive coaching.

Sedangkan dalam pengukuran kinerja para tenaga penjualan diukur dengan produktivitas, sehingga perilaku yang terjadi adalah berdasarkan hasil yang berdampak pada perilaku para tenaga penjualan yaitu asal mendapatkan SPK (Surat Pesanan Kendaraan). Akibatnya, para tenaga penjualan mementingkan output dan mengabaikan strategi penjualan yang harusnya sesuai dengan nilai-nilai yang ditanamkan perusahaan. Tugas para kepala penjualan memastikan mereka melakukan peran tenaga penjualan sesuai koridor yang sudah dimiliki perusahaan, sehingga kepala penjualan memiliki tanggungjawab untuk membantu para tenaga penjualan melakukan tugasnya dengan benar.

Dalam dunia penjualan, terjadi proses pemodelan (modeling), yaitu perilaku kepemimpinan atasan akan ditiru oleh bawahan. Supaya proses


(18)

18

pemodelan terjadi dengan baik maka penilaian kepala penjualan akan menggunakan taktik pengaruh proaktif, yaitu rational persuasion, inspirational appeals, consultation, dan collaboration.

Riset tentang executive coaching maupun multisource feedback yang menggunakan metode eksperimen biasanya pengujian dengan menghubungankan kausalitas antar variabel (Shadish et al., 2002). Namun demikian, kebanyakan metode eksperimen dalam executive coaching

didesain menggunakan single-group pre-post design dengan pengukuran purwauji (pretest) dan purnauji (posttest) pada satu kelompok eksperimental saja, seperti halnya pada penelitian oleh Bailey dan Fletcher, 2002; Haruscha, Hezlett dan Schneider 1993; Luthans dan Peterson 2003). Hanya sedikit penelitian yang menggunakan true field experiment dengan kelompok kontrol dan randomisasi pada kelompok eksperimen, misalnya oleh Atwater et al., 2000; Seifert dan Yukl, 2005; Seifert et al., 2003; Van Direndonck et al., 2007). Nieminen et al. (2013) menggunakan kelompok kontrol dan kelompok eksperimen dengan quasi-experimental design pada manajer menengah instansi pemerintahan. Adapun penelitian ini menggunakan true field experiment dengan kelompok kontrol dan randomisasi pada kelompok eksperimen.

1.3 Rumusan Masalah

Berangkat dari gap penelitian, maka fokus yang menjadi persoalan dalam riset ini adalah bahwa “efektifitas pemberian executive coaching

ditentukan oleh tipe kepemimpinan”. Fokus persoalan penelitian yang telah dirumuskan dalam penelitian ini yang memberikan arahan bagi peneliti untuk persoalan penelitian tersebut melalui pendekatan yang dilakukan dengan merumuskan beberapa pertanyaan penelitian berikut ini:

1. Apakah ada perbedaan pengaruh antara tipe kepemimpinan transformasional dan tipe kepemimpinan transaksional terhadap taktik pengaruh proaktif subjek?


(19)

19 2. Apakah penerapan executive coaching dapat meningkatkan taktik

pengaruh proaktif subjek pada tipe kepemimpinan transformasional? 3. Apakah penerapan executive coaching dapat meningkatkan taktik

pengaruh proaktif subjek pada tipe kepemimpinan transaksional?

4. Apakah ada perbedaan taktik pengaruh proaktif antara tipe kepemimpinan tranformasional dibandingkan dengan tipe kepemimpinan transaksional dalam penerapan executive coaching?

1.4 Tujuan Penelitian

Tujuan yang dirumuskan dalam studi ini tidak terlepas dari persoalan penelitian dan pertanyaan penelitian yang telah dirumuskan. Mengacu pada kedua rumusan tersebut, maka dapat dirumuskan pula tujuan yang hendak dicapai dari penelitian ini, yaitu:

1. Menguji perbedaan pengaruh antara tipe kepemimpinan transformasional dan tipe kepemimpinan transaksional terhadap taktik pengaruh proaktif subjek.

2. Menguji penerapan executive coaching untuk meningkatkan taktik pengaruh proaktif subjek pada tipe kepemimpinan transformasional. 3. Menguji penerapan executive coaching untuk meningkatkan taktik

pengaruh proaktif subjek pada tipe kepemimpinan transaksional.

4. Menguji perbedaan taktik pengaruh proaktif antara tipe kepemimpinan tranformasional dibandingkan dengan tipe kepemimpinan transaksional dalam penerapan executive coaching.

1.5. Manfaat Penelitian 1.5.1 Manfaat Teoritis

Penelitian ini mengembangkan dan mengusulkan model executive coaching yang mempertimbangkan tipe kepemimpinan yang tepat untuk memaksimalkan kinerja berupa taktik pengaruh proaktif. Pengembangan tersebut dapat melengkapi gap penelitian terdahulu. Penelitian ini


(20)

20

menggunakan self-rating dan pengukuran dari pimpinan serta peer sebagai pengukur kinerja dalam bentuk taktik pengaruh proaktif. Penelitian ini menggunakan metode field experiment dengan pre-post design untuk menjawab kelemahan metode penelitian tentang executive coaching. Metode eksperimen memiliki keunggulan dalam menguji hubungan kausal. Oleh karena penelitian sebelumnya menggunakan desain eksperimen semu (quasi experiment) dengan durasi waktu panjang (longitudinal) maka terdapat beberapa potensi gangguan yang muncul. Salah satu gangguan yang terjadi adalah adanya mortalitas pada partisipan yang menyebabkan partisipan yang menyelesaikan tahap eksperimen tidak lengkap. Penelitian ini mengusulkan penggunaan desain eksperimen lapangan (field experiment) sebagai kontribusi metodologisnya. Penggunaan desain eksperimen lapangan memiliki keunggulan yaitu lebih terkendalinya subjek dalam menerima manipulasi.

Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi perusahaan dalam mengembangkan metode executive coaching dan tipe kepemimpinan yang tepat sehingga dapat meningkatkan kualitas sumber daya manusia dan kinerja organisasi secara menyeluruh.

1.5.2 Manfaat Manajerial

Hasil penelitian ini bermanfaat bagi perusahaan dalam mengembang-kan metode virtual executive coaching dan tipe kepemimpinan yang tepat sehingga dapat meningkatkan kualitas sumber daya manusia dan kinerja organisasi secara menyeluruh. Peningkatan produktivitas penjualan diukur dari tingginya nilai penjualan dan juga diukur pada kualitas kepemimpinan kepala cabang yang berdampak pada perilaku kepala penjualan.


(1)

15 dan satu kelompok eksperimen menerima workshop dan executive coaching selama lima belas bulan. Variabel dependen dalam riset Neiminen et al. (2013) tersebut adalah perubahan peringkat multisource feedback dan peringkat keefektifan kepemimpinan, dimana seorang manajer dalam melakukan executive coaching dari waktu ke waktu memiliki peningkatan perilaku kepemimpinan atau dikatakan dari waktu ke waktu memiliki dampak positif. Hal ini sesuai temuan dan sejajar dengan literatur yang berkembang yang menjelaskan efek positifnya executive coaching terhadap self-efficacy, peningkatan self-rated sebagai pemimpin. Dalam penelitian tersebut pada akhir program para manajer peringkat efektifitas menjadi lebih baik, memberikan bukti bahwa terjadi perubahan positip dalam pertumbuhan diri dan membentuk persepsi orang lain.

Berbagai penelitian tentang executive coaching menunjukkan bahwa MSF dapat diberikan melalui coaching yang sifatnya umum tanpa memerhatikan tipe kepemimpinan dari coach. Sementara itu, media coaching yang banyak dilakukan adalah dengan tatap muka memiliki keterbatasan dalam hal penentuan waktu pertemuan antara coach dan coachee. Keterbatasan coaching dengan tatap muka menyebabkan tidak cepatnya pengambilan keputusan atas persoalan-persoalan yang dialami oleh coachee. Penelitian terkini (Filsenger et al., 2014) mengusulkan penggunaan short message service (SMS) dan surel untuk mengatasi keterbatasan tersebut. Hakikat dari coaching itu sendiri bukan pada media komunikasi, tetapi pada substansi dari coaching dan cara berkomunikasi.

Fenomena internal yang terjadi dalam perusahaan bahwa kepemimpinan para kepala cabang menggunakan tipe kepemimpinan transaksional hal ini disebabkan tujuan setiap kepala penjualan dan tenaga penjualan memeroleh target yang telah ditentukan. Telah disadari bahwa tipe kepemimpinan tersebut memiliki dampak terhadap situasi kerja, stress para tenaga penjualan yang akhirnya memengaruhi turn over karyawan. Dampak lebih lanjut pada efektivitas waktu, biaya karena dengan tenaga penjualan


(2)

16

yang baru harus dilakukan pelatihan, adaptasi kerja dan budaya perusahaan. Menyadari hal tersebut maka beberapa tahun terakhir sudah dilakukan bentuk pelatihan, workshop, seminar dan proses implementasi terhadap pola tipe kepemimpinan transformasional kepada seluruh level pimpinan. Untuk menunjang peningkatan kinerja, bagian sumber daya manusia telah mengembangkan penilaian kinerja dengan pola multisource feedback. Meski memiliki dampak pada peningkatan kinerja dan perilaku karyawan, namun belum sesuai apa yang diharapkan, oleh karena itu pengembangan yang dilakukan perusahaan yaitu dengan menerapkan executive coaching disemua lini, termasuk pada bagian pemasaran dan penjualan.

Berkaitan dengan fenomena eksternal dan internal tersebut, maka riset ini bertujuan memberi dukungan empiris bahwa intervensi executive coaching dalam tipe kepemimpinan meningkatkan taktik pengaruh proaktif, khususnya tipe kepemimpinan transformasional dan transaksional.

1.2 Identifikasi Gap Penelitian

Pengembangan sumber daya manusia secara praktik di perusahaan- perusahaan menggunakan berbagai metode antara lain training, on the job training, presentasi, mentoring, konseling, coaching, rotasi, single/ multisource feedback, kenaikan rank/pangkat, jabatan dan assessment center. Bentuk-bentuk pengembangan ini merupakan transformasi dari praktik pengembangan sumber daya manusia, bahkan sering dalam praktiknya dilakukan secara paralel sesuai dengan kebutuhan pimpinan untuk mempercepat pengembangan karyawan.

Dalam praktek di perusahaan masih banyak yang menggunakan metode behavioral feedback sifatnya tunggal yaitu dari bawahan saja (Atwater et al., 2000; Van Dierendonck et al., 2007) dan berdampak lebih kecil terhadap perubahan perilaku bawahan. Perkembangan berikutnya dalam praktik adalah penggunaan, multisource feedback pada executive coaching yang menjadi menarik untuk diteliti lebih intensif.


(3)

17 Penelitian executive coaching dan MSF terkini adalah Niemenin et al. (2013) dan hasil penelitian menunjukkan peningkatan efektifitas manajer sebagai pemimpin dalam berkinerja. Namun, Neiminen et al. (2013) belum mempertimbangkan tipe kepemimpinan. Neiminen tidak meneliti tentang kaitanya executive coaching dengan tipe kepemimpinan, khususnya tipe kepemimpinan transformasional dan transaksional.

Media coaching yang selama ini dilakukan dengan tatap muka dan media telepon memberi hasil meningkatkan kinerja karyawan dan organisasi (Nieminen et al., 2013; Kochanowski et al., 2010). Riset terkini yaitu Ghods dan Boyce (2013) dan Filsinger et al. (2014) memberi bukti empiris bahwa executive coaching bisa dilakukan berbantuan perangkat virtual antara lain skype, teleconference, surel, short message service (SMS), whats app dan berbagai media virtual lainnya.

Pengembangan penelitian selanjutnya oleh Filsinger (2014) dapat dikombinasi dengan celah penelitian dari Nieminen et al. (2013) dan Kochanowski et al. (2010) yang belum mempertimbangkan tipe kepemimpinan dalam executive coaching. Pengembangan penelitian ini adalah dengan menggunakan e-coaching dalam bentuk surel yang mempertimbangkan tipe kepemimpinan coach dalam executive coaching.

Sedangkan dalam pengukuran kinerja para tenaga penjualan diukur dengan produktivitas, sehingga perilaku yang terjadi adalah berdasarkan hasil yang berdampak pada perilaku para tenaga penjualan yaitu asal mendapatkan SPK (Surat Pesanan Kendaraan). Akibatnya, para tenaga penjualan mementingkan output dan mengabaikan strategi penjualan yang harusnya sesuai dengan nilai-nilai yang ditanamkan perusahaan. Tugas para kepala penjualan memastikan mereka melakukan peran tenaga penjualan sesuai koridor yang sudah dimiliki perusahaan, sehingga kepala penjualan memiliki tanggungjawab untuk membantu para tenaga penjualan melakukan tugasnya dengan benar.

Dalam dunia penjualan, terjadi proses pemodelan (modeling), yaitu perilaku kepemimpinan atasan akan ditiru oleh bawahan. Supaya proses


(4)

18

pemodelan terjadi dengan baik maka penilaian kepala penjualan akan menggunakan taktik pengaruh proaktif, yaitu rational persuasion, inspirational appeals, consultation, dan collaboration.

Riset tentang executive coaching maupun multisource feedback yang menggunakan metode eksperimen biasanya pengujian dengan menghubungankan kausalitas antar variabel (Shadish et al., 2002). Namun demikian, kebanyakan metode eksperimen dalam executive coaching didesain menggunakan single-group pre-post design dengan pengukuran purwauji (pretest) dan purnauji (posttest) pada satu kelompok eksperimental saja, seperti halnya pada penelitian oleh Bailey dan Fletcher, 2002; Haruscha, Hezlett dan Schneider 1993; Luthans dan Peterson 2003). Hanya sedikit penelitian yang menggunakan true field experiment dengan kelompok kontrol dan randomisasi pada kelompok eksperimen, misalnya oleh Atwater et al., 2000; Seifert dan Yukl, 2005; Seifert et al., 2003; Van Direndonck et al., 2007). Nieminen et al. (2013) menggunakan kelompok kontrol dan kelompok eksperimen dengan quasi-experimental design pada manajer menengah instansi pemerintahan. Adapun penelitian ini menggunakan true field experiment dengan kelompok kontrol dan randomisasi pada kelompok eksperimen.

1.3 Rumusan Masalah

Berangkat dari gap penelitian, maka fokus yang menjadi persoalan dalam riset ini adalah bahwa “efektifitas pemberian executive coaching ditentukan oleh tipe kepemimpinan”. Fokus persoalan penelitian yang telah dirumuskan dalam penelitian ini yang memberikan arahan bagi peneliti untuk persoalan penelitian tersebut melalui pendekatan yang dilakukan dengan merumuskan beberapa pertanyaan penelitian berikut ini:

1. Apakah ada perbedaan pengaruh antara tipe kepemimpinan transformasional dan tipe kepemimpinan transaksional terhadap taktik pengaruh proaktif subjek?


(5)

19 2. Apakah penerapan executive coaching dapat meningkatkan taktik

pengaruh proaktif subjek pada tipe kepemimpinan transformasional? 3. Apakah penerapan executive coaching dapat meningkatkan taktik

pengaruh proaktif subjek pada tipe kepemimpinan transaksional?

4. Apakah ada perbedaan taktik pengaruh proaktif antara tipe kepemimpinan tranformasional dibandingkan dengan tipe kepemimpinan transaksional dalam penerapan executive coaching?

1.4 Tujuan Penelitian

Tujuan yang dirumuskan dalam studi ini tidak terlepas dari persoalan penelitian dan pertanyaan penelitian yang telah dirumuskan. Mengacu pada kedua rumusan tersebut, maka dapat dirumuskan pula tujuan yang hendak dicapai dari penelitian ini, yaitu:

1. Menguji perbedaan pengaruh antara tipe kepemimpinan transformasional dan tipe kepemimpinan transaksional terhadap taktik pengaruh proaktif subjek.

2. Menguji penerapan executive coaching untuk meningkatkan taktik pengaruh proaktif subjek pada tipe kepemimpinan transformasional. 3. Menguji penerapan executive coaching untuk meningkatkan taktik

pengaruh proaktif subjek pada tipe kepemimpinan transaksional.

4. Menguji perbedaan taktik pengaruh proaktif antara tipe kepemimpinan tranformasional dibandingkan dengan tipe kepemimpinan transaksional dalam penerapan executive coaching.

1.5. Manfaat Penelitian 1.5.1 Manfaat Teoritis

Penelitian ini mengembangkan dan mengusulkan model executive coaching yang mempertimbangkan tipe kepemimpinan yang tepat untuk memaksimalkan kinerja berupa taktik pengaruh proaktif. Pengembangan tersebut dapat melengkapi gap penelitian terdahulu. Penelitian ini


(6)

20

menggunakan self-rating dan pengukuran dari pimpinan serta peer sebagai pengukur kinerja dalam bentuk taktik pengaruh proaktif. Penelitian ini menggunakan metode field experiment dengan pre-post design untuk menjawab kelemahan metode penelitian tentang executive coaching. Metode eksperimen memiliki keunggulan dalam menguji hubungan kausal. Oleh karena penelitian sebelumnya menggunakan desain eksperimen semu (quasi experiment) dengan durasi waktu panjang (longitudinal) maka terdapat beberapa potensi gangguan yang muncul. Salah satu gangguan yang terjadi adalah adanya mortalitas pada partisipan yang menyebabkan partisipan yang menyelesaikan tahap eksperimen tidak lengkap. Penelitian ini mengusulkan penggunaan desain eksperimen lapangan (field experiment) sebagai kontribusi metodologisnya. Penggunaan desain eksperimen lapangan memiliki keunggulan yaitu lebih terkendalinya subjek dalam menerima manipulasi.

Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi perusahaan dalam mengembangkan metode executive coaching dan tipe kepemimpinan yang tepat sehingga dapat meningkatkan kualitas sumber daya manusia dan kinerja organisasi secara menyeluruh.

1.5.2 Manfaat Manajerial

Hasil penelitian ini bermanfaat bagi perusahaan dalam mengembang-kan metode virtual executive coaching dan tipe kepemimpinan yang tepat sehingga dapat meningkatkan kualitas sumber daya manusia dan kinerja organisasi secara menyeluruh. Peningkatan produktivitas penjualan diukur dari tingginya nilai penjualan dan juga diukur pada kualitas kepemimpinan kepala cabang yang berdampak pada perilaku kepala penjualan.


Dokumen yang terkait

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Esuriun orang Bati D 902008103 BAB I

1 3 22

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Parasit Pembangunan D 902007008 BAB I

0 0 25

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Perempuan Bali dalam Ritual Subak D 902009009 BAB I

0 0 11

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Kepemimpinan dalam Executive Coaching dan Dampaknya terhadap Taktik Pengaruh Proaktif D 922011002 BAB V

0 0 22

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Kepemimpinan dalam Executive Coaching dan Dampaknya terhadap Taktik Pengaruh Proaktif D 922011002 BAB IV

0 1 40

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Kepemimpinan dalam Executive Coaching dan Dampaknya terhadap Taktik Pengaruh Proaktif D 922011002 BAB III

0 0 16

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Kepemimpinan dalam Executive Coaching dan Dampaknya terhadap Taktik Pengaruh Proaktif

0 0 9

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Kepemimpinan dalam Executive Coaching dan Dampaknya terhadap Taktik Pengaruh Proaktif

1 2 23

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Kepemimpinan dalam Executive Coaching dan Dampaknya terhadap Taktik Pengaruh Proaktif D 922011002 BAB VI

0 0 6

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Kepemimpinan dalam Executive Coaching dan Dampaknya terhadap Taktik Pengaruh Proaktif D 922011002 BAB II

0 0 28