C. Analisis Sesanti yang Menggunakan Leksikon Binatang Piaraan
Sesanti yang menggunakan leksikon binatang piaraan, yang dianalisis dalam penelitian ini hanya satu buah, yaitu sesanti nomor 2. Adapun binatang piaraan
dimaksud adalah kucing dan anjing. Berikut ini akan dipaparkan latar belakang terciptanya sesanti tersebut serta interpretasi makna tanda dan proses pembentukan
konsep metaforanya.
1. Latar Belakang Budaya Bima yang Mempengaruhi Pembentukan Sesanti yang Menggunakan Leksikon Binatang Piaraan
Dalam masyarakat Bima, ngao ‘kucing’ melambangkan kebaikan atau kesucian, karena Nabi Muhammad juga sangat menyayangi binatang tersebut. Sebaliknya
kata lako ‘anjing’ melambangkan sesuatu yang kotor. Masyarakat Bima tidak begitu senang memelihara anjing, karena lako ‘anjing’ menurut budaya Bima
melambangkan sesuatu yang kotor atau najis. Lambang itu terbentuk dari mitos- mitos yang berkembang dalam agama Islam. Mitos itu didukung oleh orang-orang
Bima yang taat beragama. Hidupnya mitos tentang binatang anjing di tengah- tengah masyarakat Bima berkaitan dengan musibah meletusnya gunung Tambora.
Berdasarkan wawancara dengan informan, isi mitos tersebut secara ringkas adalah: Dikisahkan, musibah meletusnya gunung Tambora bermula dari orang
Arab bernama Said Idrus. Dia singgah di Negeri Tambora dalam perjalanan berniaga. Suatu hari, Said Idrus berjalan-jalan dan berpesiar di negeri yang besar
itu sampai waktu sholat dhuhur tiba, kemudian ia masuk masjid untuk melaksanakan sholat. Di dalam masjid itu dia menemukan anjing. Ia pun
menyuruh mengusir anjing itu ke luar masjid. Bahkan, ia juga menyuruh memukulnya. Orang yang menjaga anjing itu pun marah. Si penjaga anjing itu
pun berkata. “Raja kami yang empunya anjing ini”.
“Baik, siapapun yang punya anjing ini, ini adalah masjid, Allah SWT yang empunya rumah ini. Siapapun yang memasukkan anjing di dalam masjid, orang
itu kafir,’’ papar Said Idrus. Orang yang menjaga anjing itu pun pergi mengadu kepada Raja Tambora. Kepada
sang Raja dia berkata: “Ada seorang tuan-tuan Arab mengatakan orang Tambora kafir, sebab ada anjing
dalam masjid”. Mendengar perkataan itu, Raja Tambora pun marah. Ia menyuruh
memotong anjing dan kambing. Orang Arab itu diundang makan di istana. Tuan Said Idrus pun datang ke istana Raja Tambora bersama para pejabat istana.
Setelah orang-orang Tambora duduk, hidangan nasi ditaruh ke hadapan orang banyak. Satu hidangan yang berisi daging anjing ditaruh di hadapan Tuan Said
Idrus. Hidangan lain berisi daging kambing ditaruh di hadapan orang-orang Tambora dan raja. Semua orang pun makan. Usai makan, Raja Tambora pun
bertanya kepada Tuan Said Idrus. “Hai Arab Sebagaimana engkau katakan apakah anjing itu haram?”
“Ya, haram” sahut Tuan Said Idrus. “Jikalau engkau katakan haram, mengapa tadi engkau makan anjing itu?” kata
Raja Tambora lagi.
“Bukannya anjing yang saya makan tadi. Saya makan daging kambing” sahut Said Idrus.
Said Idrus mendebat, ia yakin raja telah salah menukar makanan. Mendapati penentangan seperti ini, raja murka dan meminta pengawal membunuh Said Idrus.
“Bawa orang Arab ini, dan bunuh’’ titah Sang Raja. Orang-orang istana itu pun memegang tangan Said Idrus. Dia dibawa naik
ke Gunung Tambora. Setibanya di sana, para suruhan Raja Tambora menikam Tuan Said Idrus dengan tombak. Ternyata, dia tidak mempan dan tak termakan
senjata tajam. Orang-orang itu pun mengambil kayu, ada pula yang mengambil batu. Ada yang melempar, ada yang memukul Tuan Said. Akhirnya tuan Said pun
meninggal dunia kepalanya pecah, darah berhamburan. Orang-orang itu mengatakan, Tuan Said sudah mati. Tubuhnya dimasukkan ke dalam goa. Orang
suruhan Raja Tambora pulang hendak menyampaikan peristiwa itu kepada raja mereka.
Kemudian di antara negeri dan gunung Tambora, tampak nyala api, tempat Tuan Said dibunuh. Api itu makin membesar, kayu, batu, bumi semuanya
menyala. Api itu pun mengejar orang-orang yang membunuh Tuan Said. Mereka berlari hendak masuk ke negeri Tambora, tapi api malah lebih dulu sampai di
negeri itu. Gemparlah segala isi Tambora. Masing-masing mencari kehidupan dirinya sendiri. Atas kebesaran Allah SWT, ke mana pun orang Tambora lari, api
mengejarnya. Tidak ada orang Tambora yang bisa lepas dari kejaran api. Orang lari ke laut, api pun mengejar ke laut. Sampai lautan Tambora pun menyala.
Paparan di atas adalah mitos yang menggambarkan terjadinya letusan gunung Tambora yang terjadi pada 11 April 1815, kedahsyatan letusan gunung
Tambora tersebut terasa hingga tahun 1817. Bencana itu menyebabkan sekitar 150.000 orang menemui ajalnya. Seluruh penduduk pulau Sumbawa musnah.
Kerugian miliaran rupiah berupa padi yang rusak dan kehancuran lainnya. Berdasarkan ilmu pengetahuan, letusan gunung Tambora adalah letusan
gunung barapi biasa, tetapi mitos yang hidup di tengah masyarakat Bima menyebutkan, musibah tersebut merupakan kemarahan Allah SWT atas perilaku
rakyat Tambora yang membunuh Tuan Said Idrus.
2. Interpretasi Makna Tanda dan Proses Pembentukan Konsep Metafora pada Sesanti yang Menggunakan Leksikon Binatang Piaraan
2 Bune ngao labo lako mpanggana [bun
ɛ ŋ
ℓ ʌͻ
ʌb ℓ k mp ͻ ʌ ͻ
ʌŋg n ] ʌ ʌ
‘seperti kucing dengan anjing bertengkar3:T’ ‘Seperti kucing dengan anjing bertengkarnya’
Ditinjau dari segi metafora sebagai tanda bahasa, ditemukan bahwa kemunculan makna metaforis dalam sesanti nomor 2 berfokus pada kata
“kucing” dan “anjing”. Berikut ini teknik interpretasi yang diterapkan. Tabel 5.11. Alur Analisis Makna Metaforis
“Seperti kucing dengan anjing bertengkarnya” Data 2
Ranah Sumber Ranah Sasaran
Seperti kucing dengan anjing bertengkarnya
Kucing
KM:
Dua orang yang selalu bertengkar
Manusia
KM:
[binatang peliharaan]
[musuh anjing]
Anjing
KM: [binatang peliharaan]
[musuh kucing] [makhluk berakal budi]
[suka bertengkar]
Manusia
KM: [makhluk berakal budi]
[suka bertengkar]
Perbandingan dan Pengalihan Konsep
Sifat kucing ketika bertemu dengan anjing dipetakan pada sifat manusia
Proses interpretasi tanda dalam sesanti ini, referentanda bahasa “seperti kucing dan anjing bertengkarnya” telah mengalami proses interpretasi
berdasarkan asosiasi, yang artinya bahwa sifataspek KM yang dimiliki tanda tersebut diasosiasikan dengan karakter “dua orang yang selalu bertengkar”.
Dalam sesanti 2 di atas tampak jelas ada dua jenis binatang peliharaan yang dikontraskan, yakni ngao ‘kucing’ dan lako ‘anjing’. Kedua binatang itu
menjadi lambang permusuhan, di mana pun dan kapan pun anjing bertemu dengan kucing pasti akan bertengkar, entah karena saling berebut makanan atau hanya
berpapasan. Kata ngao dan lako merupakan metafora yang digunakan oleh masyarakat
Bima untuk menggambarkan orang yang selalu bertengkar atau bermusuhan yang sulit didamaikan. Artinya orang-orang itu mempunyai sifat yang bertolak
belakang sehingga sulit disatukan pendapat mereka. Kalau mereka bertemu, sering terjadi perdebatan atau pertengkaran, seperti sifat ngao ‘kucing’ dan lako ‘anjing’.
Pembandingan antara ranah sumber dan ranah target dalam sesanti
tersebut ditunjukkan oleh hadirnya pemarkah kata bune ‘seperti’. Berdasarkan
interpretasi nonmetaforis, dapat ditentukan bahwa ranah sumber, yang sifatnya konkret, dalam perumpamaan ini adalah “seperti kucing dengan anjing
bertengkarnya”. Sedangkan berdasarkan interpretasi metaforis dengan memperhatikan konteks budaya masyarakat Bima pengalaman keseharian pada
saat itu, dapat ditentukan ranah sasaran, yang sifatnya lebih abstrak dalam sesanti ini adalah dua orang yang selalu bermusuhan.
Sesanti ini digunakan untuk menasehati dua orang atau kelompok yang tidak pernah bisa akur selama hayatnya. Ada atau tidaknya masalah yang
melatarbelakangi pertengkaran mereka tidak menjadi pertimbangan. Dalam benak mereka hanya ada api permusuhan. Permusuhan timbul karena tidak adanya sikap
saling menghargai dan menghormati perasaan orang lain. Sifat yang bertolak belakang membuat mereka sulit untuk rukun dan menjalin hubungan yang akrab
dan harmonis. Kalau ada orang yang melihat mereka sedang bertengkar, orang yang melihat mereka itu akan mengatakan Bune ngao labo lako mpanggana.
D. Analisis Sesanti yang Menggunakan Leksikon Binatang Unggas