sesanti dengan menggunakan leksikon kari’i ‘burung’ dan kanggia ‘semut’ sebagai acuannya untuk menggambarkan suatu konsep baru tentang dua binatang
kecil dan lemah saja bisa mempunyai tempat tinggal. Kondisi ini sebagai jalan untuk mencari gambaran konkret tentang apa yang terjadi pada benda yang
dijadikan referansi dalam metafora tersebut. Berdasarkan interpretasi nonmetaforis, dapat ditentukan bahwa ranah
sumber, yang sifatnya konkret, dalam sesanti ini adalah “burung pipit dan semut saja memiliki rumah”. Sedangkan berdasarkan interpretasi metaforis dengan
memperhatikan konteks budaya masyarakat Bima pengalaman keseharian, dapat ditentukan ranah sasaran, yang sifatnya lebih abstrak dalam sesanti ini adalah
“binatang yang kecil dan lemah saja bisa mempunyai tempat tinggal”.
E. Analisis Sesanti yang Menggunakan Leksikon Binatang Jenis Ikan
Sesanti yang menggunakan leksikon binatang jenis ikan, yang dianalisis dalam penelitian ini ada empat buah, yaitu sesanti nomor 1, 11, 13, dan 26. Adapun
binatang jenis ikan dimaksud meliputi: ikan gabus, ikan lele, dan belut. Berikut ini akan dipaparkan latar belakang terciptanya sesanti-sesanti tersebut serta
interpretasi makna tanda dan proses pembentukan konsep metaforanya.
1. Latar Belakang Budaya Bima yang Mempengaruhi Pembentukan Sesanti yang Menggunakan Leksikon Binatang Jenis Ikan
Dalam kajian ini, binatang jenis ikan yang digunakan sebagai acuan dalam sesanti bahasa Bima adalah jenis ikan air tawar yang banyak ditemui di areal persawahan,
sungai, dan danau. Jenis ikan dimaksud adalah sanggilo ‘ikan gabus’, uta simbu ‘ikan lele’, dan lindu ‘belut’. Ketiga jenis ikan tersebut tidak diternak dan hidup
secara liar. Ikan-ikan tersebut sangat digemari oleh mayoritas masyarakat Bima karena rasanya yang lebih lezat dibandingkan dengan jenis-jenis ikan laut atau ikan
yang diternak. Setiap musim hujan jumlah ikan-ikan tersebut melimpah, biasanya, masyarakat Bima mengadakan tradisi nggilo uta ‘suluh ikan’ yang diadakan pada
malam hari. Kebiasaan ini turun temurun dilakukan oleh para nelayan dalam menyambung hidupnya. Namun bagi sebagian besar masyarakat Bima, nggilo uta
merupakann sebuah tradisi yang ditunggu-tunggu sebagai ajang silaturrahim dan kebersamaan. Kadang-kadang tradisi ini juga khusus diadakan bagi masyarakat
Bima rantau yang tengah mudik dikampung halaman Dana Mbojo. Deskripsi di atas mengambarkan kedekatan sanggilo ‘ikan gabus’, uta
simbu ‘ikan lele’, dan lindu ‘belut’ dengan masyarakat Bima, maka tidak heran jika ketiga jenis ikan air tawar tersebut dijadikan sumber acuan dalam pembentukan
sesanti bahasa Bima.
2. Interpretasi Makna Tanda dan Proses Pembentukan Konsep Metafora pada Sesanti yang Menggunakan Leksikon Binatang Jenis Ikan
1 Aina kani ilmu sanggilo, na-nono-ku ana ndai-na [æn k ni iℓmu s
ʌ ʌ
ʌŋgiℓ n n n ku n nd in ] ͻ
ʌ ͻ ͻ ʌ ʌ
ʌ ʌ ‘jangan ikut ilmu ikan gabus, 3:T-minum-PAST anak sendiri-3:T’
‘Jangan mengikuti ilmu ikan gabus, dia akan memakan anaknya sendiri’ Ditinjau dari segi metafora sebagai tanda bahasa, ditemukan bahwa
kemunculan makna metaforis dalam sesanti nomor 1 berfokus pada kata “ikan gabus”, “memakan” dan “anaknya sendiri”. Berikut ini teknik interpretasi yang
diterapkan.
Tabel 5.23. Alur Analisis Makna Metaforis “Jangan mengikuti ilmu ikan gabus, dia akan memakan anaknya sendiri” Data 1
Ranah Sumber Ranah Sasaran
Jangan mengikuti ilmu ikan gabus, dia akan memakan anaknya sendiri
Ikan gabus
KM: [ikan yang hidup di air tawar]
[kanibal]
Memakan
KM: [memasukkan sesuatu ke mulut dan
menelannya]
Anaknya sendiri
KM: [keturunan yang kedua]
Orang yang melakukan perbuatan memalukan asusila pada
keluarganya sendiri Orang
KM: [manusia]
[buruk perbuatannya]
KM: Melakukan perbuatan yang
memalukanaib
KM: Keluarga
Perbandingan dan Pengalihan Konsep
Sifat ikan gabus yang suka memakan anaknya sendiri dipetakan pada sifat orang yang berbuat asusila pada keluarganya sendiri
Untuk lebih jelasnya, perhatikan uraian berikut. Leksikon sanggilo ‘ikan gabus’ pada sesanti di atas digunakan sebagai sarana pemetaforaan yang
menggambarkan kemiripan sifat seseorang yang mempunyai sifat jelek seperti ikan sanggilo. Teknik interpretasi berdasarkan asosiasi diterapkan pada referen
sanggilo ‘ikan gabus’ yang memiliki aspek KM: jenis ikan yang memakan anaknya sendiri memiliki kemiripan dengan “orang yang buruk perbuatannya”
yang memiliki aspek KM: orang yang membuat maluaib pada keluarganya sendiri.
Pengalaman orang Bima dengan alam lingkungannya menjadi sumber untuk memahami ide atau hal-hal yang abstrak atau yang bersifat kontekstual.
Timbulnya sesanti Aina kani ilmu sanggilo, nanonoku ana ndaina merupakan akibat pengalaman pencipta sesanti melihat sanggilo ‘ikan gabus’ yang memakan
anaknya sendiri. Pengalaman ini digunakan untuk menggambarkan suatu konsep baru tentang orang yang suka berbuat hal memalukan asusila pada keluarganya
sendiri, yaitu orang yang seharusnya dilindungi. Kondisi ini sebagai jalan untuk mencari gambaran konkret tentang apa yang terjadi pada benda yang dijadikan
referansi dalam metafora tersebut. Sanggilo ‘ikan gabus’ banyak ditemukan di daerah Bima, biasanya ikan ini
hidup di danau, rawa-rawa, sungai, saluran-saluran air hingga ke sawah-sawah. Ikan gabus merupakan jenis ikan predator, ia akan makan apa saja. Mulai dari
kodok, udang, belut, ikan kecil, bahkan kadang-kadang tikus pun ditangkapnya. Selain untuk dikonsumsi dagingnya, keberadaan ikan gabus sangat membantu
masyarakat Bima, khususnya bagi para petani untuk memusnahkan hama, misalnya: sawah yang banyak di huni oleh hama keong, sering kali berujung
dengan gagal panen, akibat dari ulah keong yang sering memakan padi, terutama di usia muda. Namun beberapa petani menemukan cara yang cukup mudah dan
sangat membantu, yaitu, dengan mengembang biakkan ikan gabus di sawah- sawah yang sedang di garapnya, dengan demikian keong-keong yang banyak
merugikan petani sedikit demi sedikit akan berkurang. Berdasarkan interpretasi nonmetaforis, dapat ditentukan bahwa ranah
sumber, yang sifatnya konkret, dalam sesanti ini adalah ini adalah “Jangan
mengikuti ilmu ikan gabus, dia akan memakan anaknya sendiri”. Sedangkan berdasarkan interpretasi metaforis, dengan memperhatikan konteks budaya
masyarakat Bima pengalaman keseharian pada saat itu dapat ditentukan ranah sasaran, yang sifatnya lebih abstrak dalam sesanti ini adalah orang yang suka
membuat maluaib asusila pada keluarganya sendiri. 11 Bune lindu mabu dei macompo
[bun lindu m bu dei m c mp ] ɛ
ʌ ʌ ͻ
ͻ ‘seperti belut jatuh di dalam lumpur’
‘Seperti belut jatuh ke lumpur’
Ditinjau dari segi metafora sebagai tanda bahasa, ditemukan bahwa kemunculan makna metaforis dalam sesanti nomor 11 berfokus pada kata
“belut”, dan “lumpur”. Berikut ini teknik interpretasi yang diterapkan.
Tabel 5.24. Alur Analisis Makna Metaforis “Seperti belut jatuh ke lumpur” Data 11
Ranah Sumber Ranah Sasaran
Seperti belut jatuh ke lumpur Belut
KM: [ikan yang bentuknya seperti ular]
[kulit licin] [hidup di lumpur]
Lumpur
KM: [tanah lunak berair]
Orang yang sangat senang karena dapat kembali ke tempat asalnya
KM: [manusia]
[punya perasaan senang]
KM: [tempat asal]
Perbandingan dan Pengalihan Konsep
Belut yang jatuh ke lumpur dipetakan pada sifat manusia
Proses interpretasi terhadap tanda “seperti belut jatuh ke lumpur” mengakibatkan munculnya KM: [ikan yang bentuknya seperti ular], [kulit licin]
dan [hidup di lumpur], sehingga pada akhirnya akan memiliki makna metaforis orang yang sangat senang karena dapat kembali ke tempat asalnya, sebagai akibat
dari adanya relasi asosiatif dengan KM “seperti belut jatuh ke lumpur”. Sesanti nomor 11 ini menggunakan leksikon lindu ‘belut’ sebagai acuan
pemetaforaannya. Lindu ‘belut’ banyak ditemui di daerah Bima, terutama di araeal persawahan. Walaupun belut hidup berkubang lumpur tetapi tubuhnya tetap licin
dan bersih sama sekali, tidak terpengaruh oleh kotornya lumpur. Rupanya manusia perlu merenung dan belajar dari perilaku belut ini, sehingga manusia minimal
dapat terhindar dari pengaruh buruk kehidupan duniawi. Namun dalam pembentukan sesanti ini, tidak berdasarkan pada nilai filosofis tentang belut
tersebut, tapi berdasarkan pada pengalaman masyarakat Bima melihat kesenangan belut ketika dijatuhkan ke lumpur. Pengalaman tersebut kemudian digunakan
untuk menggambarkan suatu konsep baru tentang orang yang senang karena dapat kembali ke tempat asalnya. Kondisi ini sebagai jalan untuk mencari gambaran
konkret tentang apa yang terjadi pada benda yang dijadikan referansi dalam metafora tersebut.
Pembandingan antara ranah sumber dan ranah target dalam sesanti
tersebut ditunjukkan oleh hadirnya pemarkah kata bune ‘seperti’. Berdasarkan
interpretasi nonmetaforis, dapat ditentukan bahwa ranah sumber, yang sifatnya konkret, dalam perumpamaan ini adalah “seperti belut jatuh ke lumpur”.
Sedangkan berdasarkan interpretasi metaforis dengan memperhatikan konteks
budaya masyarakat Bima pengalaman keseharian, dapat ditentukan ranah sasaran, yang sifatnya lebih abstrak dalam sesanti ini adalah “orang yang sangat
senang karena dapat kembali ke tempat asalnya”.
13 Aina eda-mu to’i uta simbu ma mbisa [æn ed mu t qi ut simbu m mbis ]
ʌ ʌ
ͻ ʌ
ʌ ʌ
‘jangan melihat2:T meremehkan ikan lele yang pingsan’ ‘Jangan kamu melihat dan meremehkan ikan lele yang pingsan’
Ditinjau dari segi metafora sebagai tanda bahasa, ditemukan bahwa kemunculan makna metaforis dalam sesanti nomor 13 berfokus pada kata “ikan
lele”, dan “pingsan”. Berikut ini teknik interpretasi yang diterapkan.
Tabel 5.25. Alur Analisis Makna Metaforis “Jangan kamu melihat dan meremehkan ikan lele yang pingsan” Data 13
Ranah Sumber Ranah Sasaran
Jangan kamu melihat dan meremehkan ikan lele yang pingsan
Ikan lele
KM: [jenis ikan]
[memiliki sengatan yang menyakitkan] [kuat bertahan hidup]
Pingsan
KM: [tidak sadar]
[tidak ingat] Jangan meremehkan hal yang sepele,
karena boleh jadi hal itu akan mendatangkan bahaya besar
KM: [hal yang sepele]
KM: [kelihatannya tidak berbahaya]
Perbandingan dan Pengalihan Konsep
Ikan lele yang pingsan dipetakan pada sesuatu yang sepele
Interpretasi terhadap tanda “Jangan kamu melihat dan meremehkan ikan lele yang pingsan” mengakibatkan munculnya KM: ikan lele yang sedang pingsan
masih bisa menyengat, sehingga pada akhirnya akan memiliki makna metaforis ‘jangan meremehkan hal yang sepele, karena boleh jadi hal itu akan
mendatangkan bahaya besar’ Uta simbu ‘ikan lele’ adalah ikan yang hidup di air tawar. Yang dimaksud
uta simbu pada sesanti nomor 13 di atas adalah ikan lele lokal daerah Bima yang memiliki sengatan menyakitkan pada duri samping kanan dan kiri dekat
kepalanya. Badan uta simbu ‘ikan lele’ lokal biasanya lebih kecil dan kurus, tidak seperti lele jumbo yang diternakkan. Simbu ‘lele’ biasanya agak kuat bertahan
hidup meskipun hanya pada lumpur, sehingga ketika sudah ditangkap ia biasanya tidak langsung mati, namun ia hanya mbisa ‘pingsan’ dulu. Pada saat ia pingsan
ini jangan coba-coba untuk menyetuhnya secara sembarangan, karena bisa jadi ia masih bisa menyengat.
Terciptanya ungkapan aina eda-mu to’i uta simbu ma mbisa ‘jangan kamu melihat dan meremehkan ikan lele yang pingsan’ ini akibat pengalaman pencipta
sesanti yang melihat ikan lele yang pingsan tapi masih bisa menyengat. Pengalaman ini kemudian digunakan untuk menggambarkan suatu konsep abstrak
tentang peringatan agar jangan meremehkan hal yang sepele, karena boleh jadi hal itu akan mendatangkan bahaya besar.
Berdasarkan interpretasi nonmetaforis, dapat ditentukan bahwa ranah sumber, yang sifatnya konkret, dalam perumpamaan ini adalah “jangan kamu
melihat dan meremehkan ikan lele yang pingsan”. Sedangkan berdasarkan
interpretasi metaforis dengan memperhatikan konteks budaya masyarakat Bima pengalaman keseharian, dapat ditentukan ranah sasaran, yang sifatnya lebih
abstrak dalam sesanti ini adalah peringatan agar “jangan meremehkan hal yang sepele, karena boleh jadi hal itu akan mendatangkan bahaya besar”.
26 Bune lindu ma-dula dei macompo [bun lindu m -duℓ dei m c mp ]
ɛ ʌ
ʌ ʌ ͻ
ͻ ‘seperti belut pulang ke lumpur’
‘Seperti belut pulang ke lumpur’
Ditinjau dari segi metafora sebagai tanda bahasa, ditemukan bahwa kemunculan makna metaforis dalam sesanti nomor 26 berfokus pada kata
“belut”, dan “lumpur”. Berikut ini teknik interpretasi yang diterapkan. Tabel 5.26. Alur Analisis Makna Metaforis
“Seperti belut pulang ke lumpur” Data 26
Ranah Sumber Ranah Sasaran
Seperti belut pulang ke lumpur
Belut
KM: [ikan yang bentuknya seperti ular]
[hidup di lumpur]
Lumpur
KM: [tanah lunak berair]
Seorang perantau yang kembali ke kampung halamannya dan tidak
merantau lagi
KM: [manusia yang
pergi merantau]
KM: [tempat asal]
[kampung halaman]
Perbandingan dan Pengalihan Konsep
Sifat belut dipetakan pada sifat manusia yang kembali ke kampung halaman
Proses interpretasi terhadap tanda “seperti belut pulang ke lumpur” mengakibatkan munculnya KM: [ikan yang bentuknya seperti ular] dan [hidup di
lumpur], sehingga pada akhirnya akan memiliki makna metaforis orang perantau yang kembali ke kampung halamannya dan tidak merantau lagi, sebagai akibat
dari adanya relasi asosiatif dengan KM “seperti belut pulang ke lumpur”. Sebagaimana telah disebutkan pada sesanti sebelumnya, yaitu data 11,
sesanti nomor 26 ini juga menggunakan leksikon lindu ‘belut’ sebagai acuan pemetaforaannya. Namun demikian makna yang terkandung di dalamnya
berkaitan dengan sesanti nomor 10. Sudah menjadi tradisi orang Bima untuk merantau ke luar daerahnya
terutama ke pulau Jawa dan Sulawesi. Hampir setiap tahun banyak putera puteri Bima menuju kota-kota besar untuk menuntut ilmu atau mengadu nasib. Bagi para
perantau, senyaman apapun kehidupan di tanah orang, suatu saat akan merasa rindu pada kampung halaman. Karena materi tidak akan bisa menggantikan
maupun mengisi kekosongan dan kesepian batin sebagaimana yang didapatkan di kampung halaman, bahkan ada pepatah yang mengatakan “hujan emas di negeri
orang lebih baik hujan batu dinegeri sendiri”. Sesanti ini timbul berdasarkan pada pengalaman masyarakat Bima melihat
kesenangan belut ketika pulang kembali ke lumpur. Pengalaman tersebut kemudian digunakan untuk menggambarkan suatu konsep baru tentang orang yang
senang karena dapat kembali ke kampung halamannya dan tidak pergi merantau lagi. Kondisi ini sebagai jalan untuk mencari gambaran konkret tentang apa yang
terjadi pada benda yang dijadikan referansi dalam metafora tersebut.
Pembandingan antara ranah sumber dan ranah target dalam sesanti
tersebut ditunjukkan oleh hadirnya pemarkah kata bune ‘seperti’. Berdasarkan
interpretasi nonmetaforis, dapat ditentukan bahwa ranah sumber, yang sifatnya konkret, dalam perumpamaan ini adalah “seperti belut pulang ke lumpur ”.
Sedangkan berdasarkan interpretasi metaforis dengan memperhatikan konteks budaya masyarakat Bima pengalaman keseharian, dapat ditentukan ranah
sasaran, yang sifatnya lebih abstrak dalam sesanti ini adalah “seorang perantau yang kembali ke kampung halamannya dan tidak merantau lagi”.
F. Analisis Sesanti yang Menggunakan Leksikon Binatang Reptilia