SESANTI BAHASA BIMA YANG MENGGUNAKAN LEKSIKON BINATANG (SEBUAH KAJIAN ETNOLINGUISTIK) - Diponegoro University | Institutional Repository (UNDIP-IR) BAB V PEMBAHASAN

(1)

A. Pengantar

Penelitian ini mencoba melihat keterhubungan antara bahasa dan budaya. Melalui bahasa inilah fenomena budaya dapat terungkap. Bahasanya merujuk pada sesanti (peribahasa) dan makna metaforanya. Dikatakan sebuah sesanti memiliki nilai metafora apabila ada unsur yang dibandingkan (sumber) dan yang membandingkan (sasaran), di mana keduanya dihubungkan oleh kesamaan atau perbandingan secara eksplesit. Sebaliknya, budaya yang dimaksud lebih ditekankan pada latar belakang budaya masyarakat Bima yang mempengaruhi terbentuknya sesanti.

Data yang dianalisis sebanyak tiga puluh satu data sesanti yang menggunakan leksikon binatang. Untuk lebih mempermudah sistematisasi analisis dan pemaknaan, data sesanti tersebut dikelompokkan berdasarkan kategori leksikon binatang yang digunakan sebagai acuan pemetaforaannya, baik dalam hubungan persamaan ataupun pengiasan. Leksikon-leksikon binatang tersebut dibagi menjadi enam, yaitu leksikon binatang ternak, leksikon binatang piaraan, leksikon binatang unggas, leksikon binatang jenis ikan, leksikon binatang reptilia, dan leksikon binatang buruan. Sehubungan dengan itu, pada bagian ini akan diuraikan berturut-turut tentang latar belakang budaya Bima yang mempengaruhi pembentukan sesanti, serta interpretasi makna tanda dan proses pembentukan konsep metafora pada sesanti berdasarkan jenis binatang yang digunakannya.


(2)

Selain itu, relasi asosiasi antara ranah sumber dan ranah sasaran juga dipaparkan pada bagian ini

.

B. Analisis Sesanti yang Menggunakan Leksikon Binatang Ternak

Sesanti yang menggunakan leksikon binatang ternak, yang dianalisis dalam penelitian ini ada sepuluh buah, yaitu sesanti nomor (3), (4), (5), (6), (7), (8), (15), (20), (21), dan (22). Adapun binatang ternak dimaksud meliputi: kuda, kerbau, sapi, dan kambing. Berikut ini akan dipaparkan latar belakang yang mempengaruhi terciptanya sesanti-sesanti tersebut serta interpretasi makna tanda dan proses pembentukan konsep metaforanya.

1. Latar Belakang Budaya Bima yang Mempengaruhi Pembentukan Sesanti yang Menggunakan Leksikon Binatang Ternak

Seperti yang dijelaskan pada bagian sebelumnya (Bab IV), selain mata pencaharian pokok masyarakat Bima yang berasal dari pertanian, mereka juga sangat akrab dengan binatang-binatang ternak. Hal tersebut sangat berpengaruh pada munculnya sesanti-sesanti yang menggunakan leksikon binatang ternak karena memang sudah lekat dengan kehidupan mereka. Binatang ternak yang paling digandrungi untuk dikembangbiakkan pada masyarakat tradisional Bima adalah kerbau, sapi, kuda, dan kambing. Akan tetapi yang sangat dominan adalah kerbau dan sapi. Karena kerbau dan sapi biasanya dimanfaatkan untuk membajak sawah dan diambil susu perahnya. Bahkan, orang Bima zaman dahulu baru dikatakan kaya apabila sawahnya luas dan memiliki banyak kerbau.


(3)

Masyarakat Bima dahulu, beternak kerbau, sapi dan kuda dengan cara dilepas di padang rumput dan di hutan-hutan tanpa dimasukkan dalam kandang. Kecuali kuda yang digunakan sebagai pacuan. Beternak dengan cara seperti ini dalam bahasa Bima disebut so atau nta’a di hori. Ternak-ternak tersebut diberi tanda seperti stempel dan dibuatkan parangga atau penentuan areal penggembalaan, biasanya hewan ternak akan dikunjungi atau ditinjau setiap dua kali dalam sebulan. Jika suatu saat pemiliknya ingin mengecek atau menjual ternaknya, pemilik ternak tersebut akan bersuara yang sudah dikenal oleh binatang ternaknya, anehnya binatang-binatang tersebut tidak pernah keliru untuk mendekati tuannya. Oleh karena itu, di Pulau Sumbawa dikenal dengan susu kuda liar sumbawa, maksudnya adalah susu dari kuda yang diternak dengan cara di lepas di hutan. Menurut penelitian susu kuda liar ini memiliki kandungan gizi dan manfaat yang lebih banyak dibandingkan dengan susu kuda yang diternak dengan cara dikandangkan, karena kuda liar memakan segala yang ada di hutan. Cara beternak semacam itu sekarang sudah banyak ditinggalkan oleh masyarakat Bima, kecuali bagi mereka yang tinggal di daerah pegunungan.

Bagi masyarakat Bima, jara ‘kuda’ adalah sejarah panjang. Lebih dari lima abad, jejak kuda tertoreh terkait erat dengan kisah kesultanan di Bima. Menurut Hj. Siti Maryam Salahudin, keturunan Sultan Bima jara ‘kuda’ adalah bagian penting perjalanan agama Islam di Bima. Kala itu abad ke 17 Masehi, para penyebar Islam datang ke daerah tersebut bersama pasukan berkuda. Mereka menyebarkan ajaran Islam. Sejak itulah jara ‘kuda’ menjadi tumpuan masyarakat Bima. Dalam sejarahnya, kuda juga dipakai sebagai tunggangan perang untuk


(4)

pasukan kuda atau kavaleri yang cukup tangguh. Hal ini didukung oleh banyaknya populasi kuda di daerah ini dan juga keahlian masyarakatnya menunggang kuda. Ketika era kolonialisme berakhir, kuda berubah fungsi menjadi hewan ternak, transportasi dan binatang pacu. Dalam bahasa Bima, pacuan kuda disebut pacuo jara, tradisi leluhur yang hingga kini tidak pudar. Oleh karena itu, tidak heran jika leksikon jara ‘kuda’ banyak digunakan sebagai sumber acuan pemetaforaan dalam sesanti bahasa Bima.

Binatang ternak selanjutnya adalah kambing. Secara umum masyarakat Bima kurang berminat untuk beternak kambing karena tidak bisa dimanfaatkan untuk membantu pekerjaan disawah. Biasanya masyarakat Bima mempunyai beberapa ekor kambing untuk dipelihara sebagai pengisi waktu luang ketika tidak sibuk dengan pekerjaan di sawah.

2. Interpretasi Makna Tanda dan Proses Pembentukan Konsep Metafora pada Sesanti yang Menggunakan Leksikon Binatang Ternak

(3) Jara monca aina fonti, lalo ba edamu pali ma [j r m nc ʌ ʌ ͻ ʌ æn f nti, ℓ ℓ ʌ ͻ ʌ ͻ b ed mu p ℓi mʌ ʌ ʌ ʌ

‘kuda kuning jangan senang, langsung karena melihat2:T lapangan yang kalau kalula, malanta labo didula labomu k ℓ w k ℓuℓ , m ℓ nt ℓʌ ʌ ʌ ʌ ʌ ʌ ʌ ʌb ͻ diduℓ ℓʌ ʌb mu]ͻ

luas, kain yangputih bersama dibawa pulang bersamamu’

‘Kuda kuning jangan terlalu bersemangat karena melihat padang luas, kain kafan yang dibawa pulang bersamamu’

Ditinjau dari segi metafora sebagai tanda bahasa, ditemukan bahwa kemunculan makna metaforis dalam sesanti nomor (3) berfokus pada kata “ kuda kuning”, “bersemangat”, “padang luas” dan “kain kafan”. Berikut ini teknik


(5)

interpretasi yang diterapkan.

Tabel 5.1. Alur Analisis Makna Metaforis ”Kuda kuning jangan terlalu bersemangat karena melihat padang luas, kain kafan yang dibawa pulang

bersamamu” Data (3).

Ranah Sumber Ranah Sasaran

Kuda kuning jangan terlalu bersemangat karena melihat padang luas, kain kafan yang dibawa pulang

bersamamu Kuda kuning KM: [muda] [pacuan] [warna mencolok] Bersemangat KM:

[bergerak ke sana kemari] [menunjukkan kebolehan]

Padang luas KM: [tanah lapang] [arena pacuan] Kain kafan yang dibawa

KM:

[dibungkus kain kafan]

Oarang yang terlalu senang karena mendapatkan kebebasan hidup

Orang KM: [manusia] [senang kebebasan] Senang KM: [puas dan lega]

[bebas] Dunia KM: [tempat kehidupan] Meninggal dunia KM:

[akhir kehidupan dunia] [dibungkus kain kafan]

Perbandingan dan Pengalihan Konsep

Sifat kuda pacuan ketika dilepas dipetakan dengan sifat orang yang mendapat kebebasan

Interpretasi terhadap tanda “kuda kuning jangan terlalu bersemangat karena melihat padang luas, kain kafan yang dibawa pulang bersamamu” mengakibatkan munculnya KM: kuda pacuan yang terlalu senang dan


(6)

bersemangat di arena pacuan, karena jarang dilepas, sehingga pada akhirnya akan memiliki makna metaforis manusia jangan yang terlalu senang karena mendapatkan kebebasan hidup di dunia, karena ketika meninggal dunia hanya kain kafan yang di bawa; sebagai akibat dari adanya relasi asosiatif dengan KM tanda “kuda kuning jangan terlalu bersemangat karena melihat padang luas, kain kafan yang dibawa pulang bersamamu”.

Jara monca ‘kuda kuning’ pada data nomor (3) adalah lambang keindahan. Masyarakat Bima sangat menyukai kuda berwarna kuning. Warna kuning adalah warna yang menonjol sehingga kalau beberapa kuda dideretkan, warna itulah yang menarik perhatian. Jara monca ‘kuda kuning’ biasanya akan merasa senang dan bergaya kalau dilepas di padang luas atau di arena pacuan. Dia akan menunjukkan kebolehan untuk berlari sekencang-kencangnya. Jara monca ‘kuda kuning’ adalah metafora manusia yang terlalu senang karena mendapatkan kebebasan hidup.

Masyarakat Bima, jika ingin menasehati orang, tidak hanya dilakukan secara langsung, tetapi juga dilakukan secara tidak langsung, yaitu melalui kiasan (metafora). Metafora jara monca ‘kuda kuning’ digunakan karena objek yang menjadi sasaran nasehat atau teguran mempunyai kesamaan dengan perilaku kuda. Perilaku fonti ‘bersemangat, bergaya, atau membanggakan diri’ dimiliki oleh kuda pacuan. Perilaku itu menjadi sifat dan ciri kuda pacuan karena dia jarang dilepas. Begitu melihat pali makalau kalula ‘lapangan luas’, kuda pacuan biasanya akan bergerak-gerak dan melompat ke sana ke mari. Kuda ingin menunjukkan kebolehannya bahwa dia lebih hebat, lebih perkasa daripada kuda lainnya. Perilaku semacam itu terdapat pada manusia yang mendapatkan


(7)

kebebasan hidup yang kadang-kadang berbuat sekehendak hati tanpa menghiraukan norma-norma yang berlaku.

Klausa malanta labo didula labomu ‘kain putih kasar yang dibawa pulang’ berarti ‘kain kafan yang akan dibawa mati’ dan kemudian dapat juga berarti ‘kalau mati kita hanya membawa selembar kain’. Maka klausa itu merupakan peringatan agar seseorang tidak lupa diri dengan kebebasannya dalam hidup. Sesanti ini biasanya ditujukan kepada anak-anak muda di Bima. Orang muda yang terlalu bebas dalam hidupnya harus diberikan peringatan agar perilakunya menjadi baik. Orang yang suka dengan kebebasan biasanya hanya orang muda. Makna itu sesuai dengan kata jara monca yang mengacu pada kuda pacuan. Kuda pacuan adalah kuda muda dan hanya kuda muda yang dapat bergerak dengan lincah ketika di lepaskan dari kandangnya. Dalam hal ini kuda diperbandingkan dengan orang muda dan pali makalau kalula ‘lapangan luas’ diperbandingkan dengan ‘dunia atau kehidupan’. Orang muda akan lupa diri karena mendapat kebebasan hidup di dunia yang indah. Di balik keindahan dunia atau kehidupan ada kematian, yaitu tertera pada klausa malanta labo didula labomu ‘kain putih kasar yang dibawa pulang’.

Pembandingan antara ranah sumber dan ranah sasaran dalam sesanti (3) tidak ditunjukkan oleh pemarkah apa pun. Walaupun demikian, jika ditelusuri makna metaforisnya secara seksama ada relasi asosiatif kesamaan sifat antarkeduanya. Dengan demikian berdasarkan interpretasi nonmetaforis, dapat ditentukan bahwa ranah sumber, yang sifatnya konkret, dalam sesanti ini adalah “kuda kuning jangan terlalu bersemangat karena melihat padang luas, kain kafan


(8)

yang dibawa pulang bersamamu”. Sedangkan berdasarkan interpretasi metaforis dengan memperhatikan konteks budaya masyarakat Bima (pengalaman keseharian pada saat itu), dapat ditentukan ranah sasaran, yang sifatnya lebih abstrak dalam sesanti ini adalah orang yang terlalu senang karena mendapatkan kebebasan hidup di dunia karena ketika meninggal dunia hanya kain kafan yang di bawa. Dalam penentuan makna metaforis sesanti ini, dibutuhkan pemerian KM ranah sumber dan juga ranah sasaran. Adapun dalam analisis ini konteks budaya masyarakat Bima sangat berpengaruh dalam penentuan komponen makna.

(4) Arujiki jimba, wati loa diraka ba mbe’e [ rujiki jimb , wati ℓʌ ʌ ͻʌ dirak ʌ b mbeqe]ʌ

‘rejeki domba tidak bisa didapat oleh kambing’ ‘Rejeki domba tidak didapat oleh kambing’

Ditinjau dari segi metafora sebagai tanda bahasa, ditemukan bahwa kemunculan makna metaforis dalam sesanti nomor (4) berfokus pada kata “rejeki”, “domba”, “tidak didapat” dan “kambing”. Berikut ini teknik interpretasi yang diterapkan.

Tabel 5.2. Alur Analisis Makna Metaforis “Rejeki domba tidak didapat oleh kambing” Data (4)

Ranah Sumber Ranah Sasaran

Rejeki domba tidak didapat oleh kambing

Rejeki KM: [pemberian Allah]

Domba KM: [kambing]

Masing-masing manusia telah ditentukan rejekinya oleh Allah

untuk dimilikinya

KM:

[pemberian dan ketentuan Allah] Manusia

KM:


(9)

[berbulu tebal] Tidak didapat

KM: [tidak diperoleh]

Kambing KM:

[binatang pemakan rumput] [tanduk bergeronggang]

[diternak]

[diambil daging, dan susu]

KM: [tidak tertukar]

Manusia lain KM:

[makhluk berakal budi]

Perbandingan dan Pengalihan Konsep

Rejeki yang diterima oleh domba dan kambing dipetakan ketetapan Allah pada manusia.

Tanda “Rejeki domba tidak didapat oleh kambing” merupakan gambaran atas ”seseorang yang tidak puas dengan dirinya sendiri dan selalu iri hati terhadap apa yang diperoleh orang lain, karena itu dia tidak mensyukuri pemberian dan ketentuan Allah, dengan kata lain, setiap manusia telah ditentukan rejekinya oleh Allah”.

Leksikon jimba ‘domba’ dan mbeqe ‘kambing’ dalam konteks ini adalah metafora manusia. Kata jimba ‘domba’ dan mbeqe ‘kambing’ mewakili manusia. Penggunaan kedua kata itu dirasakan lebih halus dan efektif daripada menggunakan si A atau si B artinya, seseorang yang dinasehati tidak terlalu merasa kecewa karena kata yang digunakan berkaitan dengan binatang. Domba dan kambing adalah binatang yang dekat manusia. Kalau seandainya kata lain


(10)

yang digunakan, misalnya lako ‘anjing’ dan bote ‘monyet’, orang yang menjadi sasaran sesanti tersebut akan tersinggung karena dianggap penghinaan.

Sesanti ini digunakan untuk menasehati orang yang tidak puas dengan keadaan dirinya. Keadaan dirinya selalu dibandingkan dengan orang lain, misalnya ada tetangganya yang mendapat hasil panen (padi) yang berlimpah, orang itu lalu menyesali dirinya “mengapa dia tidak mendapat hasil panen seperti tetangganya”. Sesanti ini mengandung nasehat atau pesan yang bersifat didaktis, berintikan ajaran moral dan agama yang mengandung nilai filosofis yang tinggi, yang diberikan oleh orang tua kepada anaknya atau kepada yang lebih muda agar siap menghadapi berbagai corak kehidupan duniawi.

Masyarakat Bima memandang rezeki itu berasal dari Allah dan setiap manusia memiliki rezeki masing-masing. Realitas kehidupan yang berakar pada kebenaran hakiki (percaya pada Allah) menjadi konsep yang sangat diyakini dan diwujudkan dalam sikap dan tindakan mereka. Hal ini tidaklah mengherankan karena mayoritas masyarakat Bima memeluk agama Islam dan konsep kehidupan, baik pendidikan, etika pergaulan hidup, perkawinan, maupun segala bentuk tradisi dan adat istiadat disesuaikan dengan ajaran Islam.

Berdasarkan analisis komponen makna unsur metaforis data (4) interpretasi nonmetaforis dapat ditentukan bahwa ranah sumber, yang sifatnya konkret, dalam sesanti ini adalah “rejeki domba tidak didapat oleh kambing”. Sedangkan berdasarkan interpretasi metaforis dengan memperhatikan konteks budaya masyarakat Bima (pengalaman keseharian pada saat itu), dapat ditentukan


(11)

ranah sasaran, yang sifatnya lebih abstrak dalam sesanti ini adalah jangan iri hati, masing-masing manusia telah ditentukan rejekinya oleh Allah untuk dimilikinya.

(5) Weli sahe ade diwu [w ℓi ɛ s he de diwu]ʌ ʌ

‘beli kerbau dalam lubuk’ ‘Membeli kerbau di dalam lubuk’

Ditinjau dari segi metafora sebagai tanda bahasa, ditemukan bahwa kemunculan makna metaforis dalam sesanti nomor (5) berfokus pada kata “kerbau” dan “lubuk”. Berikut ini teknik interpretasi yang diterapkan.

Tabel 5.3. Alur Analisis Makna Metaforis “Membeli kerbau di dalam lubuk” Data (5)

Ranah Sumber Ranah Sasaran

Membeli kerbau di dalam lubuk

Kerbau KM: [binatang ternak] [suka berkubang]

Lubuk KM:

[bagian yang dalam di sungai, danau]

Membeli sesuatu yang tidak jelas keberadaannya

KM: [sesuatu]

KM: [tidak tampak]

Perbandingan dan Pengalihan Konsep

Kerbau yang sedang berendam dipetakan sesuatu yang tidak tampak

Teknik interpretasi berdasarkan asosiasi diterapkan pada tanada bahasa “membeli kerbau dalam lubuk” mengakibatkan munculnya aspek (KM): membeli


(12)

kerbau yang sedang berendam di tempat yang dalam, memunculkan makna metaforis berhati-hatilah membeli sesuatu yang tidak tampak atau berhati-hatilah melakukan sesuatu yang tidak jelas.

Jual beli kerbau dalam masyarakat Bima biasanya dilakukan secara terbuka. Kerbau harus dilihat ukuran dan warnanya, serta tanda-tanda kepemilikan. Apabila proses jual beli kerbau atau hewan lainnya tidak dilakukan secara terbuka, hal itu disebut weli sahe ade diwu. Sahe ‘kerbau’ yang berendam dalam diwu ‘lubuk’ biasanya tidak dapat dilihat atau dikenali. Bisa saja kerbau milik si Ali diakui oleh si Ahmad sebagai pemiliknya. Sahe ade diwu ‘kerbau dalam lubuk’ adalah kiasan ‘sesuatu yang tidak jelas’. Kerbau yang dibeli itu tidak dapat dikenal dan belum tentu ada.

Sesanti itu mengajak untuk berpikir kritis agar kita mengenal dengan baik segala sesuatu yang dilakukan. Menurut informan sesanti itu bukan hanya berlaku dalam hal berjual-beli hewan saja, melainkan juga berlaku untuk masalah sosial lainnya, misalnya dalam hal melamar gadis. Seorang pemuda yang ingin melamar seorang gadis, terlebih dahulu dia harus mengenal gadis yang akan dilamar, yaitu bagaimana wajahnya, postur tubuhnya dan keturunannya. Kalau sudah mengenal ihwal gadis itu, barulah utusan keluarga pemuda itu datang ke rumah si gadis.

Segala sesuatu yang akan dilakukan harus dilihat dahulu kebenarannya. Jangan sampai membeli barang atau melakukan sesuatu tanpa mengetahui substansinya. Tindakan yang ceroboh hanya akan menimbulkan masalah baru yang dapat merugikan.


(13)

Berdasarkan interpretasi nonmetaforis, dapat ditentukan bahwa ranah sumber, yang sifatnya konkret, dalam sesanti ini adalah “membeli kerbau di dalam lubuk”. Sedangkan berdasarkan interpretasi metaforis dengan memperhatikan konteks budaya masyarakat Bima (pengalaman keseharian pada saat itu), dapat ditentukan ranah sasaran, yang sifatnya lebih abstrak dalam sesanti ini adalah sikap kehati-hatian terhadap sesuatu yang tidak jelas keberadaannya. (6) Aina mori bune sahe ra jara

[æn m ri bun s he r j r ]ʌ ͻ ɛ ʌ ʌ ʌ ʌ

‘jangan hidup seperti kerbau dan kuda’ ‘Jangan hidup seperti kerbau dan kuda’

Ditinjau dari segi metafora sebagai tanda bahasa, ditemukan bahwa kemunculan makna metaforis dalam sesanti nomor (6) berfokus pada kata “kerbau” dan “kuda”. Berikut ini teknik interpretasi yang diterapkan.

Tabel 5.4. Alur Analisis Makna Metaforis “Jangan hidup seperti kerbau dan kuda” Data (6)

Ranah Sumber Ranah Sasaran

Jangan hidup seperti kerbau dan kuda

Kerbau KM: [binatang ternak] [suka berkubang]

Kuda KM: [binatang] [penarik kendaraan]

Orang yang bodoh dan liar

KM: [bodoh] [dungu]

KM:

[liar sulit dikendalikan] [menyukai kebebasan]


(14)

Perbandingan dan Pengalihan Konsep

Sifat kerbau yang bodoh dan sifat kuda yang liar dipetakan pada sifat manusia

Tanda “jangan hidup seperti kerbau dan kuda” merupakan gambaran atas ”seseorang yang hidup bodoh dan liar”, yaitu membandingkan manusia dengan sahe ‘kerbau’ dan jara ‘kuda’. Artinya, manusia dan binatang itu berbeda. Binatang itu bodoh, tidak mempunyai akal sehingga dia hidup hanya mengikuti hawa nafsu saja, yaitu makan dan berkembang biak. Manusia hidup harus memiliki perencanaan, melakukan amal sholeh dan memikirkan kelangsungan hidupnya, karena hanya hewanlah yang tidak melakukan hal tersebut. Manusia harus selalu berjuang untuk mendapatkan segala hal yang diinginkan.

Pengalaman orang Bima dengan kedua binatang tersebut menjadi sumber untuk memahami hal-hal yang abstrak. Timbulnya sesanti aina mori bune sahe ra jara ‘jangan hidup seperti kerbau dan kuda’ merupakan akibat pengalaman pencipta sesanti melihat sifat buruk kedua binatang tersebut. Pengalaman ini kemudian digunakan untuk menggambarkan suatu konsep abstrak tentang orang bodoh dan liar.

Pembandingan antara ranah sumber dan ranah target dalam sesanti tersebut ditunjukkan oleh hadirnya pemarkah kata bune ‘seperti’. Berdasarkan interpretasi nonmetaforis, dapat ditentukan bahwa ranah sumber, yang sifatnya konkret, dalam sesanti ini adalah “jangan hidup seperti kerbau dan kuda”. Sedangkan berdasarkan interpretasi metaforis, dengan memperhatikan konteks


(15)

budaya masyarakat Bima (pengalaman keseharian) dapat ditentukan ranah sasaran yang sifatnya lebih abstrak dalam sesanti ini adalah orang bodoh dan liar.

(7) Nente-si jara nenti weha-pu rante-na, [n nt si j r n nti w pu r nt n ,ɛ ɛ ʌ ʌ ɛ ɛʌ ʌ ɛ ʌ

‘menunggang-kalau kuda pegang ambillah rantai-3:T, ita dou taho nenti nggahi sampu’u

ita d u t h n nti ͻ ʌ ͻ ɛ ŋg hi s mpuquʌ ʌ ] 2:T manusia pegang perkataan sepatah’

‘Kalau menunggang kuda pegang kekangnya, manusia pegang perkataanny Ditinjau dari segi metafora sebagai tanda bahasa, ditemukan bahwa kemunculan makna metaforis dalam sesanti nomor (7) berfokus pada kata “kuda”, “kekang”, manusia” dan “perkataan”. Berikut ini teknik interpretasi yang diterapkan.

Tabel 5.5. Alur Analisis Makna Metaforis “Kalau menunggang kuda pegang kekangnya, manusia pegang perkataannya” data (7)

Ranah Sumber Ranah Sasaran

Kalau menunggang kuda pegang kekangnya, manusia pegang

perkataannya Kuda

KM: [binatang] [penarik kendaraan]

Kekang KM:

[besi bergerigi yang dipasang pada mulut kuda]

[kendali] Manusia

KM:

[makhluk berakal budi]

Kebebasan kuda dibatasi oleh tali, kebebasan manusia dibatasi oleh

perkataan

KM: [binatang] [penarik kendaraan]

KM:

[segala sesuatu yang dipakai untuk mencegah perbuatan yang kurang baik]

KM: [manusia]


(16)

Perkataan KM:

[suatu yang dikatakan]

KM: [perkataan] [tingkah laku] Perbandingan dan Pengalihan Konsep

Tali kekang pada kuda dipetakan pada batas kebebasan manusia

Proses interpretasi tanda dalam sesanti ini, referen/tanda bahasa “Kalau menunggang kuda pegang kekangnya, manusia pegang perkataannya” telah mengalami proses interpretasi berdasarkan asosiasi, yang artinya bahwa sifat/aspek (KM) yang dimiliki tanda tersebut diasosiasikan dengan “kebebasan kuda dibatasi oleh tali kekangnya, kebebasan manusia dibatasi oleh perkataannya”

Pada sesanti nomor (7) terjadi dua perbandingan, yakni antara jara ‘kuda’ dan manusia yang sama-sama memiliki alat pengendali. Kalau kuda memiliki pengendali berupa tali, yang berarti hanya bisa bergerak sepanjang tali yang diikatkan padanya, sedangkan manusia alat pengendalinya adalah ucapan atau perkataan. Maknanya, jika binatang bisa patuh kepada pengembalanya selama digiring dengan tali, sedang manusia tidak demikian, namun cukuplah ucapannya yang menjadi pegangan untuk bisa dipercaya orang. Kalau antara perkataan dan perbuatannya sudah seimbang, maka ia sudah bisa dipegang omongannya. Jadi, sesanti ini mengambarkan tentang ketidakleluasaan manusia dalam berbuat semena-mena karena ia diawasi oleh kata-kata yang pernah diucapkannya, seperti tidak bebasnya seekor kuda yang dibatasi geraknya oleh tali yang menjeratnya.

Berdasarkan interpretasi nonmetaforis, dapat ditentukan bahwa ranah sumber, yang sifatnya konkret, dalam sesanti ini adalah “kalau menunggang kuda


(17)

pegang kekangnya, manusia pegang perkataannya”. Sedangkan berdasarkan interpretasi metaforis dengan memperhatikan konteks budaya masyarakat Bima (pengalaman keseharian), dapat ditentukan ranah sasaran, yang sifatnya lebih abstrak dalam sesanti ini adalah kuda dikendalikan oleh tali sedangkan manusia dikendalikan oleh perkataannya.

Dalam penentuan makna metaforis sesanti tersebut, dibutuhkan pemerian KM ranah sumber dan juga ranah target. Adapun dalam analisis ini konteks budaya masyarakat Bima sangat berpengaruh dalam penentuan komponen makna tersebut.

(8) Hori co’o bune sahe ra capi [h ri c q ͻ ͻ ͻ bunɛ s h r c pi]ʌ ɛ ʌ ʌ

‘dilepas dibiarkan seperti kerbau dan sapi’ ‘Dilepas dan dibiarkan seperti kerbau dan sapi’

Ditinjau dari segi metafora sebagai tanda bahasa, ditemukan bahwa kemunculan makna metaforis dalam sesanti nomor (8) berfokus pada kata “dilepas”, “dibiarkan” dan “kerbau dan sapi”. Berikut ini teknik interpretasi yang diterapkan.

Tabel 5.6. Alur Analisis Makna unsur Metaforis “Dilepas dan dibiarkan seperti kerbau dan sapi” Data (8)

Ranah Sumber Ranah Sasaran

Dilepas dan dibiarkan seperti kerbau dan sapi

Dilepas KM: [tidak tertambat]

Orang yang hidup bebas dan mandiri

KM:


(18)

Dibiarkan KM:

[tidak dipelihara baik-baik] Kerbau dan sapi

KM:

[hewan yang diternak dengan cara dilepas di hutan]

KM:

[tidak bergantung pada orang lain] Manusia

KM:

[makhluk yang berakal budi]

Perbandingan dan Pengalihan Konsep

Kerbau dan sapi yang diternak secara liar dipetakan pada kemandirian

Proses interpretasi tanda dalam sesanti ini, referen/tanda bahasa “dilepas dan dibiarkan seperti kerbau dan sapi” telah mengalami proses interpretasi berdasarkan asosiasi, yang artinya bahwa sifat/aspek (KM) yang dimiliki tanda tersebut diasosiasikan dengan karakter “orang yang hidup bebas dan mandiri”.

Terciptanya ungkapan bijak hori co’o bune sahe ra capi ‘dilepas dan dibiarkan seperti kerbau dan sapi’ sangat dipengaruhi oleh budaya dan pengalaman sehari-hari masyarakat Bima yang biasa beternak kerbau dan sapi dengan cara dilepas di padang rumput dan di hutan-hutan tanpa dimasukkan dalam kandang. Sehingga binatang-binatang tersebut mencari makanannya sendiri. Pengalaman tersebut kemudian digunakan untuk menggambarkan suatu konsep baru tentang orang yang hidup mandiri tidak tergantung pada orang lain.

Pembandingan antara ranah sumber dan ranah target dalam sesanti tersebut ditunjukkan oleh hadirnya pemarkah kata bune ‘seperti’. Berdasarkan interpretasi nonmetaforis, dapat ditentukan bahwa ranah sumber, yang sifatnya konkret, dalam perumpamaan ini adalah “dilepas dan dibiarkan seperti kerbau dan


(19)

sapi”. Sedangkan berdasarkan interpretasi metaforis dengan memperhatikan konteks budaya masyarakat Bima (pengalaman keseharian), dapat ditentukan ranah sasaran, yang sifatnya lebih abstrak dalam sesanti ini adalah karakter “orang yang hidup mandiri”.

Dalam penentuan makna metaforis sesanti ini, dibutuhkan pemerian KM ranah sumber dan juga ranah target. Adapun dalam analisis ini konteks budaya masyarakat Bima sangat berpengaruh dalam penentuan komponen makna.

(15) Mapu keto sahe [m pu k t s h ]ʌ ɛ ͻ ʌ ɛ

‘lemas ekor kerbau’ ‘Lemas ekor kerbau’

Ditinjau dari segi metafora sebagai tanda bahasa, ditemukan bahwa kemunculan makna metaforis dalam sesanti nomor (15) berfokus pada kata “lemas” dan “ekor kerbau”. Berikut ini teknik interpretasi yang diterapkan.

Tabel 5.7. Alur Analisis Makna Metaforis “Lemas ekor kerbau” Data (15)

Ranah Sumber Ranah Sasaran

Lemas ekor kerbau Lemas

KM:

[mudah dilentukkan] Ekor kerbau

KM:

[bagian tubuh binatang paling belakang]

Orang yang sifatnya berubah-ubah

KM: [sifat]

KM:


(20)

Perbandingan dan Pengalihan Konsep Sifat ekor kerbau dipetakan pada sifat manusia

Ditinjau dari segi metafora sebagai tanda bahasa, ditemukan bahwa dalam sesanti ini tanda bahasa “lemas ekor kerbau” telah melewati teknik interpretasi berdasarkan asosiasi, yang artinya bahwa KM yang dimiliki tanda bahasa tersebut, yakni, bagian tubuh kerbau paling belakang yang kadang lemas kadang-kadang keras, diasosiasikan dengan sifat seseorang yang berubah-ubah.

Sesanti nomor (15) merupakan metafora yang terbentuk dari gabungan kata mapu ‘lemas’ dan keto sahe ‘ekor kerbau’. Ekor kerbau pada waktu tertentu, kalau dipegang, akan terasa lemas, tapi pada waktu tertentu dapat menjadi keras. Metafora ini terbentuk dari adanya persamaan sifat. Ekor kerbau yang bisa lembek dan bisa keras disamakan dengan sifat manusia yang bisa keras dan lunak.

Orang Bima disebut mapu keto sahe jika pada awalnya memperlihatkan sikap lunak, tetapi lama-kelamaan menjadi keras. Perubahan dari sikap lunak kemudian menjadi keras mengandung makna ‘berubah-ubah’ yang kemudian berarti ‘sulit diatur’. Orang yang mempunyai sifat seperti itu sulit diraba kemauannya. Pada awalnya tampak lunak tetapi kemudian berubah lagi sehingga kita tidak tahu bagaimana memperlakukannya. Dengan demikian sesanti itu digunakan untuk menasehati orang yang suka berubah-ubah sikapnya. Perubahan sikap itu membuat orang lain sulit untuk memahami kemauannya.

Berdasarkan interpretasi nonmetaforis, dapat ditentukan bahwa ranah sumber, yang sifatnya konkret, dalam perumpamaan ini adalah “lemas ekor kerbau”. Sedangkan berdasarkan interpretasi metaforis dengan memperhatikan


(21)

konteks budaya masyarakat Bima (pengalaman keseharian), dapat ditentukan ranah sasaran, yang sifatnya lebih abstrak dalam sesanti ini adalah sifat seseorang yang berubah-ubah.

(20) Sajana sia sa copu, mbai sahe sabua [s j n si s c pu, mb i s h s bu ]ʌ ʌ ʌ ʌ ʌ ͻ ʌ ʌ ɛ ʌ ʌ

‘sayangkan garam satu jumput busuk kerbau seekor ‘Sayangkan garam sejumput, busuk kerbau seekor’

Ditinjau dari segi metafora sebagai tanda bahasa, ditemukan bahwa kemunculan makna metaforis dalam sesanti nomor (20) berfokus pada kata “garam”, “busuk” dan “kerbau”. Berikut ini teknik interpretasi yang diterapkan.

Tabel 5.8. Alur Analisis Makna Metaforis

“Sayangkan garam sejumput, busuk kerbau seekor” Data (20)

Ranah Sumber Ranah Sasaran

Sayangkan garam sejumput, busuk kerbau seekor

Garam KM:

[bumbu dapur yang rasanya asin] [zat untuk mengawetkan daging]

Busuk KM:

[rusak dan berbau tidak sedap] Kerbau

KM:

[binatang ternak untuk dimakan dagingnya]

Karena takut rugi sedikit, akhirnya rugi banyak

KM:

[sesuatu yang harganya murah]

KM: [merugi]

KM:

[sesuatu yang besar dan mahal]

Perbandingan dan Pengalihan Konsep

Dendeng daging kerbau yang tidak diberi garam dipetakan pada tindakan manusia


(22)

Interpretasi terhadap tanda “sayangkan garam sejumput, busuk kerbau seekor” mengakibatkan munculnya KM: merasa sayang untuk memberi garam pada dendeng kerbau, akhirnya satu ekor kerbau busuk, sehingga pada akhirnya akan memiliki makna metaforis ‘tidak mau rugi sedikit, akhirnya merugi lebih besar’, sebagai akibat dari adanya relasi asosiatif dengan KM tanda “sayangkan garam sejumput, busuk kerbau seekor”.

Sahe ‘kerbau’ bagi masyarakat Bima, selain dimanfaatkan untuk membantu pekerjaan di sawah, juga disembilih untuk dimakan dagingnya, terutama pada acara-acara hajatan. Terciptanya sesanti sajana sia sa copu, mbai sahe sabua ‘sayangkan garam sejumput, busuk kerbau seekor’ ini dilatar belakangi oleh pengalaman masyarakat Bima ketika ingin mengawetkan daging kerbau, yaitu dengan cara dibuat dendeng. Teknik pembuatan dendeng daging kerbau pada masyarakat Bima masih menggunakan cara-cara tradisional, yaitu dengan memberi garam saja sebelum dijemur agar tidak busuk tanpa bumbu-bumbu tambahan. Hal ini dilakukan untuk mendapatkan cita rasa dendeng kerbau yang khas sehingga bisa diolah menjadi berbagai masakan khas Bima. Apabila dalam pembuatan dendeng merasa sayang untuk memberi garam, maka dendeng daging tersebut akan membusuk. Pengalam ini kemudian digunakan untuk menggambarkan suatu konsep baru tentang orang yang takut merugi sedikit, akhirnya malah merugi lebih banyak.

Berdasarkan interpretasi nonmetaforis, dapat ditentukan bahwa ranah sumber, yang sifatnya konkret, dalam sesanti ini adalah “sayangkan garam sejumput, busuk kerbau seekor”. Sedangkan berdasarkan interpretasi metaforis


(23)

dengan memperhatikan konteks budaya masyarakat Bima (pengalaman keseharian), dapat ditentukan ranah sasaran, yang sifatnya lebih abstrak dalam sesanti ini tidak mau rugi sedikit, akhirnya malah merugi lebih besar.

(21) Bune mbe’e ade sampa [bun mbeqe de s mp ]ɛ ʌ ʌ ʌ

‘seperti kambing dalam sampan’ ‘Bagai kambing dalam sampan’

Ditinjau dari segi metafora sebagai tanda bahasa, ditemukan bahwa kemunculan makna metaforis dalam sesanti nomor (21) berfokus pada kata “kambing”, dan “sampan”. Berikut ini teknik interpretasi yang diterapkan.

Tabel 5.9. Analisis komponen makna unsur metaforis tentang “Bagai kambing dalam sampan” Data (21)

Ranah Sumber Ranah Sasaran

Bagai kambing dalam sampan

Kambing KM: [binatang ternak]

[takut kena air] Sampan

KM: [perahu kecil]

Seorang yang dalam keadaan ketakutan dan tidak mampu

menyelamatkan diri Manusia

KM:

[makhluk berakal budi] [berada dalam ketakutan]

KM:

[tempat berbahaya] [tidak bisa menyelamatkan diri]

Perbandingan dan Pengalihan Konsep


(24)

Untuk lebih jelasnya, perhatikan uraian berikut. Sesanti bune mbe’e dei sampa ‘bagai kambing dalam sampan’ digunakan sebagai sarana pemetaforaan yang menggambarkan kemiripan sifat seseorang yang berda di tempat yang berbahaya seperti mbe’e ‘kambing’ yang berada dalam sampan. Teknik interpretasi berdasarkan asosiasi diterapkan pada referen mbe’e ‘kambing’ yang memiliki aspek (KM): binatang ternak yang takut dengan air, dia berada dalam sampan di tengah sungai, memiliki kemiripan dengan kondisi “seseorang yang ketakutan” yang memiliki aspek (KM): orang yang sangat ketakutan, sedang dia tidak bisa menyelamatkan diri.

Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya beternak mbe’e ‘kambing’ bagi masyarakat Bima hanyalah untuk mengisi waktu luang ketika tidak sibuk dengan pekerjaan di sawah. Biasanya kambing dilepas di siang hari dan dikandangkan di bawah rumah panggung pada malam hari. Binatang ini terkanal dengan binatang yang takut dengan air. Tapi menurut pengamatan peneliti ketika berada di lapangan binatang ini tidak takut dengan air, karena banyak peternak kambing yang memandikan kambing-kambing tersebut.

Terciptanya sesanti nomor (21) merupakan akibat pengalaman masyarakat Bima ketika melihat ketakutan kambing yang berada dalam sampan digunakan untuk menggambarkan suatu konsep baru tentang orang yang ketakutan karena berada ditempat yang berbahaya, sedang dia tidak bisa menyelamatkan diri. Kondisi ini sebagai jalan untuk mencari gambaran konkret tentang apa yang terjadi pada benda yang dijadikan referensi dalam metafora tersebut.


(25)

tersebut ditunjukkan oleh hadirnya pemarkah kata bune ‘bagai’. Berdasarkan interpretasi nonmetaforis, dapat ditentukan bahwa ranah sumber, yang sifatnya konkret, dalam sesanti ini adalah “bagai kambing dalam sampan”. Sedangkan berdasarkan interpretasi metaforis dengan memperhatikan konteks budaya masyarakat Bima (pengalaman keseharian), dapat ditentukan ranah sasaran, yang sifatnya lebih abstrak dalam sesanti ini adalak keadaan orang yang ketakutan, sedang dia tidak bisa menyelamatkan diri.

(22) Bune ma-reke kere mbe’e [bun m -reke kere mbeqe]ɛ ʌ

‘seperti menghitung bulu kambing’ ‘Bagai menghitung bulu kambing’

Ditinjau dari segi metafora sebagai tanda bahasa, ditemukan bahwa kemunculan makna metaforis dalam sesanti nomor (20) berfokus pada seluruh kalimat tersebut. Berikut ini teknik interpretasi yang diterapkan.

Tabel 5.10. Alur Analisis Makna Metaforis “Bagai menghitung bulu kambing” Data (22)

Ranah Sumber Ranah Sasaran

Bagai menghitung bulu kambing

Menghitung KM:

[mencari jumlahnya] Bulu Kambing

KM:

[rambut pendek yang menutupi seluruh tubuh kambing]

Melakukan pekerjaan yang sangat sulit atau sia-sia

KM:

[melakukan aktivitas] KM:

[sesuatu yang sulit]


(26)

Aktivitas menghitung bulu kambing dipetakan pada melakukan pekerjaan yang sulit

Teknik interpretasi berdasarkan asosiasi diterapkan pada tanda bahasa “bagai menghitung bulu kambing” mengakibatkan munculnya aspek (KM): menghitung bulu-bulu kambing, memunculkan makna metaforis melakukan suatu pekerjaan yang sangat sulit. Makna tersebut mengacu pada tubuh kambing yang dilapisi bulu-bulu lurus dan kasar yang menyelimuti dari kepala hingga ekor, yang tentunya jumlah bulu tersebut sangatlah banyak sehingga sukar untuk dihitung, oleh karena itu penggunaan leksikon mbe’e ‘kambing’ dalam sesanti tersebut memiliki peranan sebagai perlambangan/simbol pekerjaan yang sukar dikerjakan.

Terciptanya sesanti bune ma-reke kere mbe’e ‘bagai menghitung bulu kambing’ tersebut berdasarkan pengalaman masyarakat Bima dengan alam lingkungannya yang kemudian digunakan untuk menggambarkan suatu konsep abstrak tentang suatu pekerjaan yang sulit untuk dikerjakan.

Pembandingan antara ranah sumber dan ranah target dalam sesanti tersebut ditunjukkan oleh hadirnya pemarkah kata bune ‘seperti’. Berdasarkan interpretasi nonmetaforis, dapat ditentukan bahwa ranah sumber, yang sifatnya konkret, dalam perumpamaan ini adalah “bagai menghitung bulu kambing”. Sedangkan berdasarkan interpretasi metaforis dengan memperhatikan konteks budaya masyarakat Bima (pengalaman keseharian), dapat ditentukan ranah sasaran, yang sifatnya lebih abstrak dalam sesanti ini adalah “melakukan pekerjaan yang sangat sulit dan sia-sia”.


(27)

C. Analisis Sesanti yang Menggunakan Leksikon Binatang Piaraan

Sesanti yang menggunakan leksikon binatang piaraan, yang dianalisis dalam penelitian ini hanya satu buah, yaitu sesanti nomor (2). Adapun binatang piaraan dimaksud adalah kucing dan anjing. Berikut ini akan dipaparkan latar belakang terciptanya sesanti tersebut serta interpretasi makna tanda dan proses pembentukan konsep metaforanya.

1. Latar Belakang Budaya Bima yang Mempengaruhi Pembentukan Sesanti yang Menggunakan Leksikon Binatang Piaraan

Dalam masyarakat Bima, ngao ‘kucing’ melambangkan kebaikan atau kesucian, karena Nabi Muhammad juga sangat menyayangi binatang tersebut. Sebaliknya kata lako ‘anjing’ melambangkan sesuatu yang kotor. Masyarakat Bima tidak begitu senang memelihara anjing, karena lako ‘anjing’ menurut budaya Bima melambangkan sesuatu yang kotor atau najis. Lambang itu terbentuk dari mitos-mitos yang berkembang dalam agama Islam. Mitos itu didukung oleh orang-orang Bima yang taat beragama. Hidupnya mitos tentang binatang anjing di tengah-tengah masyarakat Bima berkaitan dengan musibah meletusnya gunung Tambora. Berdasarkan wawancara dengan informan, isi mitos tersebut secara ringkas adalah: Dikisahkan, musibah meletusnya gunung Tambora bermula dari orang Arab bernama Said Idrus. Dia singgah di Negeri Tambora dalam perjalanan berniaga. Suatu hari, Said Idrus berjalan-jalan dan berpesiar di negeri yang besar itu sampai waktu sholat dhuhur tiba, kemudian ia masuk masjid untuk melaksanakan sholat. Di dalam masjid itu dia menemukan anjing. Ia pun


(28)

menyuruh mengusir anjing itu ke luar masjid. Bahkan, ia juga menyuruh memukulnya. Orang yang menjaga anjing itu pun marah. Si penjaga anjing itu pun berkata.

“Raja kami yang empunya anjing ini”.

“Baik, siapapun yang punya anjing ini, ini adalah masjid, Allah SWT yang empunya rumah ini. Siapapun yang memasukkan anjing di dalam masjid, orang itu kafir,’’ papar Said Idrus.

Orang yang menjaga anjing itu pun pergi mengadu kepada Raja Tambora. Kepada sang Raja dia berkata:

“Ada seorang tuan-tuan Arab mengatakan orang Tambora kafir, sebab ada anjing dalam masjid”.

Mendengar perkataan itu, Raja Tambora pun marah. Ia menyuruh memotong anjing dan kambing. Orang Arab itu diundang makan di istana. Tuan Said Idrus pun datang ke istana Raja Tambora bersama para pejabat istana. Setelah orang-orang Tambora duduk, hidangan nasi ditaruh ke hadapan orang banyak. Satu hidangan yang berisi daging anjing ditaruh di hadapan Tuan Said Idrus. Hidangan lain berisi daging kambing ditaruh di hadapan orang-orang Tambora dan raja. Semua orang pun makan. Usai makan, Raja Tambora pun bertanya kepada Tuan Said Idrus.

“Hai Arab! Sebagaimana engkau katakan apakah anjing itu haram?” “Ya, haram” sahut Tuan Said Idrus.

“Jikalau engkau katakan haram, mengapa tadi engkau makan anjing itu?” kata Raja Tambora lagi.


(29)

“Bukannya anjing yang saya makan tadi. Saya makan daging kambing” sahut Said Idrus.

Said Idrus mendebat, ia yakin raja telah salah menukar makanan. Mendapati penentangan seperti ini, raja murka dan meminta pengawal membunuh Said Idrus. “Bawa orang Arab ini, dan bunuh!’’ titah Sang Raja.

Orang-orang istana itu pun memegang tangan Said Idrus. Dia dibawa naik ke Gunung Tambora. Setibanya di sana, para suruhan Raja Tambora menikam Tuan Said Idrus dengan tombak. Ternyata, dia tidak mempan dan tak termakan senjata tajam. Orang-orang itu pun mengambil kayu, ada pula yang mengambil batu. Ada yang melempar, ada yang memukul Tuan Said. Akhirnya tuan Said pun meninggal dunia kepalanya pecah, darah berhamburan. Orang-orang itu mengatakan, Tuan Said sudah mati. Tubuhnya dimasukkan ke dalam goa. Orang suruhan Raja Tambora pulang hendak menyampaikan peristiwa itu kepada raja mereka.

Kemudian di antara negeri dan gunung Tambora, tampak nyala api, tempat Tuan Said dibunuh. Api itu makin membesar, kayu, batu, bumi semuanya menyala. Api itu pun mengejar orang-orang yang membunuh Tuan Said. Mereka berlari hendak masuk ke negeri Tambora, tapi api malah lebih dulu sampai di negeri itu. Gemparlah segala isi Tambora. Masing-masing mencari kehidupan dirinya sendiri. Atas kebesaran Allah SWT, ke mana pun orang Tambora lari, api mengejarnya. Tidak ada orang Tambora yang bisa lepas dari kejaran api. Orang lari ke laut, api pun mengejar ke laut. Sampai lautan Tambora pun menyala.


(30)

Paparan di atas adalah mitos yang menggambarkan terjadinya letusan gunung Tambora yang terjadi pada 11 April 1815, kedahsyatan letusan gunung Tambora tersebut terasa hingga tahun 1817. Bencana itu menyebabkan sekitar 150.000 orang menemui ajalnya. Seluruh penduduk pulau Sumbawa musnah. Kerugian miliaran rupiah berupa padi yang rusak dan kehancuran lainnya.

Berdasarkan ilmu pengetahuan, letusan gunung Tambora adalah letusan gunung barapi biasa, tetapi mitos yang hidup di tengah masyarakat Bima menyebutkan, musibah tersebut merupakan kemarahan Allah SWT atas perilaku rakyat Tambora yang membunuh Tuan Said Idrus.

2. Interpretasi Makna Tanda dan Proses Pembentukan Konsep Metafora pada Sesanti yang Menggunakan Leksikon Binatang Piaraan

(2) Bune ngao labo lako mpanggana [bun ɛ ŋʌͻ ℓʌb ℓ k mpͻ ʌ ͻ ʌŋgʌ ʌn ] ‘seperti kucing dengan anjing bertengkar3:T’ ‘Seperti kucing dengan anjing bertengkarnya’

Ditinjau dari segi metafora sebagai tanda bahasa, ditemukan bahwa kemunculan makna metaforis dalam sesanti nomor (2) berfokus pada kata “kucing” dan “anjing”. Berikut ini teknik interpretasi yang diterapkan.

Tabel 5.11. Alur Analisis Makna Metaforis “Seperti kucing dengan anjing bertengkarnya” Data (2)

Ranah Sumber Ranah Sasaran

Seperti kucing dengan anjing bertengkarnya

Kucing KM:

Dua orang yang selalu bertengkar

Manusia KM:


(31)

[binatang peliharaan] [musuh anjing]

Anjing KM:

[binatang peliharaan] [musuh kucing]

[makhluk berakal budi] [suka bertengkar]

Manusia KM:

[makhluk berakal budi] [suka bertengkar]

Perbandingan dan Pengalihan Konsep

Sifat kucing ketika bertemu dengan anjing dipetakan pada sifat manusia

Proses interpretasi tanda dalam sesanti ini, referen/tanda bahasa “seperti kucing dan anjing bertengkarnya” telah mengalami proses interpretasi berdasarkan asosiasi, yang artinya bahwa sifat/aspek (KM) yang dimiliki tanda tersebut diasosiasikan dengan karakter “dua orang yang selalu bertengkar”.

Dalam sesanti (2) di atas tampak jelas ada dua jenis binatang peliharaan yang dikontraskan, yakni ngao ‘kucing’ dan lako ‘anjing’. Kedua binatang itu menjadi lambang permusuhan, di mana pun dan kapan pun anjing bertemu dengan kucing pasti akan bertengkar, entah karena saling berebut makanan atau hanya berpapasan.

Kata ngao dan lako merupakan metafora yang digunakan oleh masyarakat Bima untuk menggambarkan orang yang selalu bertengkar atau bermusuhan yang sulit didamaikan. Artinya orang-orang itu mempunyai sifat yang bertolak belakang sehingga sulit disatukan pendapat mereka. Kalau mereka bertemu, sering terjadi perdebatan atau pertengkaran, seperti sifat ngao ‘kucing’ dan lako ‘anjing’.

Pembandingan antara ranah sumber dan ranah target dalam sesanti tersebut ditunjukkan oleh hadirnya pemarkah kata bune ‘seperti’. Berdasarkan


(32)

interpretasi nonmetaforis, dapat ditentukan bahwa ranah sumber, yang sifatnya konkret, dalam perumpamaan ini adalah “seperti kucing dengan anjing bertengkarnya”. Sedangkan berdasarkan interpretasi metaforis dengan memperhatikan konteks budaya masyarakat Bima (pengalaman keseharian pada saat itu), dapat ditentukan ranah sasaran, yang sifatnya lebih abstrak dalam sesanti ini adalah dua orang yang selalu bermusuhan.

Sesanti ini digunakan untuk menasehati dua orang atau kelompok yang tidak pernah bisa akur selama hayatnya. Ada atau tidaknya masalah yang melatarbelakangi pertengkaran mereka tidak menjadi pertimbangan. Dalam benak mereka hanya ada api permusuhan. Permusuhan timbul karena tidak adanya sikap saling menghargai dan menghormati perasaan orang lain. Sifat yang bertolak belakang membuat mereka sulit untuk rukun dan menjalin hubungan yang akrab dan harmonis. Kalau ada orang yang melihat mereka sedang bertengkar, orang yang melihat mereka itu akan mengatakan Bune ngao labo lako mpanggana.

D. Analisis Sesanti yang Menggunakan Leksikon Binatang Unggas

Sesanti yang menggunakan leksikon binatang unggas, yang dianalisis dalam penelitian ini ada sebelas buah, yaitu sesanti nomor (9), (10), (12), (16), (17), (18), (24), (27), (29), (30), dan (31). Adapun binatang unggas dimaksud meliputi: burung, bangau, dan ayam. Berikut ini akan dipaparkan latar belakang terciptanya sesanti-sesanti tersebut serta interpretasi makna tanda dan proses pembentukan konsep metaforanya.

1. Latar Belakang Budaya Bima yang Mempengaruhi Pembentukan Sesanti yang Menggunakan Leksikon Binatang Unggas


(33)

Jenis binatang unggas yang terdapat dalam sesanti adalah ayam, bangau, dan burung. Sejak ribuan tahun lalu ayam telah dekat dengan peradaban manusia. Ayam menjadi santapan, penanda waktu, sarana ritual, sampai simbol populer. Kata janga ‘ayam’ merupakan kata yang sangat lekat dalam kehidupan masyarakat Bima, oleh sebab itu sesanti bahasa Bima banyak memanfaatkan leksikon janga ‘ayam’ sebagai sumber acuannya. Janga ‘ayam’ sudah dikenal sejak zaman kerajaan Bima. Pada saat itu, ayam merupakan salah satu jenis persembahan untuk kerajaan sebagai upeti dari masyarakat setempat. Keharusan menyerahkan upeti menyebabkan ayam selalu diternakkan oleh warga kampung dan menyebabkan ayam tetap terjaga kelestariannya. Di samping itu, orang Bima memiliki kepercayaan, firasat, alamat atau pertanda dari ayam ini, yaitu:

1) Bila ayam betina beradu dibawah kolong rumah, maka itu pertanda bahwa yang empunya rumah akan kedatangan tamu;

2) Bila ayam betina berkotek di waktu malam, maka itu pertanda akan ada kerabat yang akan meninggal. Karenanya harus disembelih, tidak boleh dibiarkan bertelur karena dapat membawa sial atau celaka;

3) Bila ayam memakai jambul, maka itu pertanda ayam tersebut tidak baik dipelihara karena bisa membawa sial;

4) Bila ayam berbulu kelabu, maka ayam tersebut juga tidak baik untuk dipelihara karena dianggap ayam pembawa sial, dan

5) Bila ayam jantan berkokok seperti menyuarakan ‘pelihara aku’ maka ayam tersebut baik untuk dipelihara karena dianggap pembawa rezeki.


(34)

Berkaitan dengan janga ‘ayam’ dalam masyarakat Bima ada sebuah permainan tradisional yang disebut dengan “songko janga” terdiri dua kata yaitu songko dan janga. Arti sebenarnya dari kata songko adalah songkok ‘kopiah’. Tetapi dalam permainan ini artinya bukan songkok, melainkan “ditutup” (diselubung) dengan tembe ‘sarung’. Dalam permainan ini, menggunakan sangkar ayam dalam keadaan tertutup. Di dalamnya ada seorang pelaku yang berperan sebagai seekor ayam untuk ditebak namanya oleh pihak lawan (regu lawan). Jadi Mpa’a Songko Janga sebenarnya adalah jenis permainan adu tebak nama lawan bermain yang disimbolkan sebagai seekor ayam jantan dalam sangkar tertutup.

Binatang unggas selanjutnya adalah bangau. Jenis burung yang badannya berukuran besar, berkaki panjang, berleher panjang dan mempunyai paruh yang besar, kuat dan tebal ini sering dijumpai di daerah beriklim hangat. Di daerah Bima bangau banyak dijumpai di areal persawahan, danau atau di laut. Makanannya berupa katak, ikan, serangga, cacing, burung kecil dan mamalia kecil dari lahan basah dan pantai. Burung bangau hidup berkelompok dan jika jumlahnya cukup dapat membentuk kawanan yang besar. Sarangnya dibangun di atas tanah. Bergantung pada spesies, jumlah telur antara 1 butir hingga 4 butir. Masa pengeraman telur sekitar 30 hari. Anak burung yang baru menetas tidak bisa terbang, tetapi langsung bisa berjalan mengikuti induknya mencari makanan ke sana kemari. Kesetiaan pada tempat bersarang menjadikan burung bangau sering dijadikan simbol pembawa kebahagiaan di dalam banyak kebudayaan dan


(35)

Dalam sesanti bahasa Bima juga ditemukan binatang jenis unggas nasi ‘burung’ sebagai acuannya. Binatang ini banyak jenisnya, ada yang diternak untuk dimanfaatkan daging dan telurnya, ada yang dipelihara karena merdu suaranya, ada pula jenis burung liar, misalnya kari’i ‘burung pipit’. Kari’i ‘burung pipit’ adalah sekelompok burung kecil pemakan biji-bijian yang menyebar di wilayah tropis. Kari’i ‘burung pipit’ senang berkelompok, dan sering terlihat bergerak dan mencari makanan dalam gerombolan yang cukup besar. Dalam kelompok dan jumlah yang banyak kari’i ‘burung pipit’ merupakan hama tanaman padi dan musuh para petani Bima. masyarat Bima biasanya menghalau serangan burung pipit dengan orang-orangan sawah, dalam bahasa Bima disebut dengan sedahu.

Sarang burung pipit terbuat dari rumput-rumputan yang dianyam membentuk bulatan besar serupa bola tertutup, tempat menyimpan 4-10 butir

telurnya yang berwarna keputih-putihan. Beberapa spesies juga memiliki pohon tenggeran tempat burung-burung ini melewatkan malam secara bersama-sama.

2. Interpretasi Makna Tanda dan Proses Pembentukan Konsep Metafora pada Sesanti yang Menggunakan Leksikon Binatang Unggas

(16) Bune janga ma ntolu ese wawo jompa [bun jaɛ ŋ m nt ℓu ese w wo j mp ]ʌ ʌ ͻ ʌ ͻ ʌ

‘seperti ayam yang bertelur di atas lumbung’ ‘Seperti ayam bertelur di lumbung’

Ditinjau dari segi metafora sebagai tanda bahasa, ditemukan bahwa kemunculan makna metaforis dalam sesanti nomor (16) berfokus pada kata “ayam”, dan “lumbung”. Berikut ini teknik interpretasi yang diterapkan.


(36)

Tabel 5.12. Alur Analisis Makna Metaforis “Seperti ayam bertelur di lumbung” Data (16)

Ranah Sumber Ranah Sasaran

Seperti ayam bertelur di lumbung

Ayam KM: [binatang piaraan] [suka makan padi]

Lumbung KM:

[tempan menyimpan hasil pertanian]

Orang yang hidup senang dan mewah

Manusia KM:

[makhluk berakal budi]

KM:

[semua kebutuan tersedia]

Perbandingan dan Pengalihan Konsep

Ayam yang berada di lumbung dipetakan pada kehidupan mewah

Dalam sesanti ini, referen/tanda bahasa “seperti ayam bertelur di lumbung” yang memiliki KM: ayam yang bertelur di tempat yang penuh dengan makanan kesukaannya (padi), telah mengalami proses interpretasi berdasarkan asosiasi, yang artinya bahwa sifat/aspek (KM) yang dimiliki tanda tersebut diasosiasikan dengan orang yang hidup senang dan mewah.

Penggunaan leksikon janga ‘ayam’ pada sesanti nomor (16) berdasarkan pengalaman pencipta sesanti yang melihat kebiasaan ayam yang sangat menyukai beras atau padi. Sehingga apabila seekor ayam berada di jompa ‘lumbung’, ia akan dapat memakan padi dalam lumbung tersebut sampai puas. Mengacu pada kebiasaan tersebut janga ‘ayam’ digunakan sebagai penggambaran suatu konsep baru tentang orang yang hidup senang dan mewah.


(37)

tersebut ditunjukkan oleh hadirnya pemarkah kata bune ‘seperti’. Berdasarkan interpretasi nonmetaforis, dapat ditentukan bahwa ranah sumber, yang sifatnya konkret, dalam perumpamaan ini adalah “seperti ayam bertelur di lumbung”. Sedangkan berdasarkan interpretasi metaforis dengan memperhatikan konteks budaya masyarakat Bima (pengalaman keseharian), dapat ditentukan ranah sasaran, yang sifatnya lebih abstrak dalam sesanti ini adalah “orang yang hidup senang dan mewah”.

(17) Bune janga di tando saninu [bun jɛ ʌŋ ʌ di tʌndͻ sʌninu] ‘seperti ayam PREP-di depan cermin’ ‘Seperti ayam di depan cermin’

Ditinjau dari segi metafora sebagai tanda bahasa, ditemukan bahwa kemunculan makna metaforis dalam sesanti nomor (17) berfokus pada kata “ayam”, dan “cermin”. Berikut ini teknik interpretasi yang diterapkan.

Tabel 5.13. Alur Analisis Makna Metaforis “Seperti ayam di depan cermin” Data (17)

Ranah Sumber Ranah Sasaran

Seperti ayam di depan cermin Ayam

KM:

[binatang dipelihara] Cermin

KM:

[kaca yang dapat memperlihatkan bayangan benda yang diletakkan di

depannya]

Orang yang asing dengan bayangannya sendiri

KM:

[manusia berakal budi] KM:


(38)

Perbandingan dan Pengalihan Konsep

Ayam yang melabrak bayangannya sendiri dipetakan pada sifat manusia

Ditinjau dari segi metafora sebagai tanda bahasa, ditemukan bahwa dalam sesanti ini tanda bahasa “seperti ayam di depan cermin” telah melewati teknik interpretasi berdasarkan asosiasi, yang artinya bahwa KM yang dimiliki tanda bahasa tersebut diasosiasikan dengan karakter seseorang yang asing dengan bayangannya sendiri.

Leksikon janga ‘ayam’ pada sesanti nomor (17) digunakan sebagai sarana acuan metafora yang menggambarkan kemiripan sifat seseorang yang asing dengan kebudayaan, agama, keluarga, adat-istiadat atau tradisi tempat ia dilahirkan dan dibesarkan, sehingga ia merasa aneh bahkan melawan kebudayaan dan peradaban tersebut, yang sebenarnya adalah “bayangannya” sendiri. Dengan demikian, orang seperti itu mirip dengan perilaku ayam yang melabrak bayangannya sendiri ketika berdiri di depan cermin atau kaca karena disangka musuh atau bayangan dari ayam yang lain.

Pembandingan antara ranah sumber dan ranah target dalam sesanti tersebut ditunjukkan oleh hadirnya pemarkah kata bune ‘seperti’. Berdasarkan interpretasi nonmetaforis, dapat ditentukan bahwa ranah sumber, yang sifatnya konkret, dalam perumpamaan ini adalah “seperti ayam di depan cermin”. Sedangkan berdasarkan interpretasi metaforis dengan memperhatikan konteks budaya masyarakat Bima (pengalaman keseharian), dapat ditentukan ranah sasaran, yang sifatnya lebih abstrak dalam sesanti ini adalah karakter “orang yang asing dengan bayangannya sendiri”.


(39)

(18) Ma-gogu-ra bune janga ma noto sia, coro-coro ka-male weki [mʌgͻgurʌ bun jɛ ʌŋ m n t si c r -c r k m ℓʌ ʌ ͻ ͻ ʌ ͻ ͻ ͻ ͻ ʌ ʌ ɛ

w ki]ɛ

‘2:T-lesu-lah seperti ayam yang mematuk garam, pura-pura melesukan diri’ ‘Sakitlah kamu seperti ayam yang memakan garam, pura-pura lemas’

Ditinjau dari segi metafora sebagai tanda bahasa, ditemukan bahwa kemunculan makna metaforis dalam sesanti nomor (18) berfokus pada kata “ayam”, “garam” dan “lemas”. Berikut ini teknik interpretasi yang diterapkan.

Tabel 5.14. Alur Analisis Makna Metaforis “Sakitlah kamu seperti ayam yang memakan garam, pura-pura lemas” Data (18)

Ranah Sumber Ranah Sasaran

Sakitlah kamu seperti ayam yang memakan garam, pura-pura lemas

Ayam KM: [binatang piaraan] [makan biji-bijian]

Garam KM:

[bumbu dapur yang rasanya asin] Lemas

KM: [tidak berdaya]

Orang yang berpura-pura sakit karena kesalahan yang disengaja

diketahui orang lain KM:

[manusia berakal budi]

KM:

[melakukan kesalahan dengan sengaja]

KM: [pura-pura sakit] Perbandingan dan Pengalihan Konsep

Ayam yang lemas karena makan garam dipetakan pada sifat manusia

Ditinjau dari segi metafora sebagai tanda bahasa, ditemukan bahwa dalam sesanti ini referen/tanda bahasa “sakitlah kamu seperti ayam yang memakan garam, pura-pura lemas” telah mengalami proses interpretasi berdasarkan asosiasi,


(40)

yang artinya bahwa kandungan sifat (KM) yang dimiliki tanda tersebut, yaitu: ayam yang lemas karena makan makanan yang asing (garam) seakan-akan dia pura-pura sakit, diasosiasikan dengan karakter seseorang yang berpura-pura sakit agar terbebas dari kesalahan yang telah diperbuat.

Janga ‘ayam’ yang makan garam biasanya akan sakit (layu) dan layunya itu seakan-akan dibuat-buat. Kata coro-coro berarti ‘pura-pura’. Ayam yang memakan garam sebenarnya tidak benar-benar sakit, tetapi hanya layu karena ada makanan asing yang masuk dalam tubuhnya. Tingkah laku ayam yang makan sia ‘garam’ agak aneh, yaitu coro-coro kamale weki ‘berpura-pura layu’. Dalam proses menahan rasa asin itu ayam biasanya akan diam seperti sedang menderita gogu ‘sakit’. Kalau rasa asin itu hilang, ayam akan kembali sehat dan berlari-lari seperti biasanya.

Perilaku ayam seperti pada sesanti di atas dibandingkan dengan orang yang membuat suatu kesalahan dan kesalahan itu dilakukan dengan sengaja. Begitu kesalahan itu diketahui orang lain, orang itu kemudian berpura-pura sakit, tidak bergairah untuk melakukan sesuatu. Kepura-puraan itu dilakukan agar orang lain tidak memperhatikan kesalahan yang dibuatnya. Artinya, seseorang yang sedang sakit tidak akan diganggu orang lain dengan pertanyaan-pertanyaan yang berkaitan dengan kesalahan yang pernah dibuatnya. Kalau orang lain sudah melupakan kesalahannya, orang itu akan kembali beraktivitas lagi. Perilaku semacam itu adalah suatu cara agar kesalahannya tidak dibesar-besarkan oleh orang disekitarnya sehingga terhindarlah dia dari perasaan malu.


(41)

tersebut ditunjukkan oleh hadirnya pemarkah kata bune ‘seperti’. Berdasarkan interpretasi nonmetaforis, dapat ditentukan bahwa ranah sumber, yang sifatnya konkret, dalam perumpamaan ini adalah “sakitlah kamu seperti ayam yang memakan garam, pura-pura lemas”. Sedangkan berdasarkan interpretasi metaforis dengan memperhatikan konteks budaya masyarakat Bima (pengalaman keseharian), dapat ditentukan ranah sasaran, yang sifatnya lebih abstrak dalam sesanti ini adalah orang yang berpura-pura sakit agar terbebas dari kesalahan.

(9) Dou musu Ruma-na bune nasi ade kuru-na [dou musu rum n ʌ ʌ bun n si de kurun ]ɛ ʌ ʌ ʌ

‘manusia lawan Tuhan3:T bagaikan burung didalam sangkar3:T’ ‘Manusia melawan Tuhannya bagaikan burung di sangkar

Ditinjau dari segi metafora sebagai tanda bahasa, ditemukan bahwa kemunculan makna metaforis dalam sesanti nomor (9) berfokus pada kata “burung”, dan “sangkar”. Berikut ini teknik interpretasi yang diterapkan.

Tabel 5.15. Alur Analisis Makna Metaforis

“Manusia melawan tuhannya bagaikan burung di sangkarnya” Data (9)

Ranah Sumber Ranah Sasaran

Manusia melawan tuhannya bagaikan burung di sangkarnya

Burung KM: [binatang] [bersayap dan berbulu]

Sangkar KM: [terkunggkung]

Sehebat dan sekuat apapun manusia tidak akan bisa melawan kekuasaan

Tuhan Manusia

KM: [hamba]

[tunduk pada kuasa Tuhan] Tuhan

KM:


(42)

[tidak bisa keluar] [mempunyai kekuasaaan terhadap manusia]

Perbandingan dan Pengalihan Konsep Burung dalam sangkar dipetakan pada sifat manusia

Interpretasi terhadap tanda “manusia melawan tuhannya bagaikan burung di sangkarnya” mengakibatkan munculnya KM: sekuat apapun seekor burung tidak akan bisa keluar dari sangkarnya, sehingga pada akhirnya akan memiliki makna metaforis ‘sehebat dan sekuat apapun manusia tidak akan bisa melawan kekuasaan Tuhannya.

Sesanti nomor (9) ini menggunakan perbandingan dou musu Ruma-na ‘manusia melawan Tuhannya’ yang kemudian diambil acuan pemetaforaannya seperti nasi ade kuru ‘burung dalam sangkar’. Ungkapan ini mengiaskan manusia mirip dengan burung, sementara kekuasaan Tuhan mirip seperti sangkar. Bagaimanapun kuat dan hebatnya manusia, ia tidak akan pernah bisa melawan kekuasaan Tuhan, sebagaimana layaknya seekor burung yang berada dalam sangkar. Jadi, sesanti ini memberikan perumpamaan tentang sesungguhnya hidup manusia itu berada dalam genggaman atau kekuasaan Tuhan.

Pembandingan antara ranah sumber dan ranah target dalam sesanti tersebut ditunjukkan oleh hadirnya pemarkah kata bune ‘bagaikan’. Berdasarkan interpretasi nonmetaforis, dapat ditentukan bahwa ranah sumber, yang sifatnya konkret, dalam perumpamaan ini adalah “manusia melawan Tuhannya bagaikan burung di sangkarnya”. Sedangkan berdasarkan interpretasi metaforis dengan


(43)

memperhatikan konteks budaya masyarakat Bima (pengalaman keseharian), dapat ditentukan ranah sasaran, yang sifatnya lebih abstrak dalam sesanti ini adalah karakter “sehebat dan sekuat apapun manusia tidak akan bisa melawan kekuasaan tuhan”.

Dalam penentuan makna metaforis pada sesanti ini, dibutuhkan pemerian KM ranah sumber dan juga ranah target. Adapun dalam analisis ini konteks budaya masyarakat Bima sangat berpengaruh dalam penentuan komponen makna.

(10) Sa-ese-ese kaina ngemo bango, cumpu kaina mbali jampa [s -ese-ese k in ʌ ʌ ʌŋ mo bɛ ʌŋ , cumpuͻ k in mb ℓi j mpʌ ʌ ʌ ʌ ʌ

‘setinggi-tinggi terbang bangau, berakhir bercampur kembali mundur di ndano

di nd n ]ʌ ͻ

PREP-di danau’

‘Setinggi-tinggi bangau terbang akhirnya ke danau juga’

Ditinjau dari segi metafora sebagai tanda bahasa, ditemukan bahwa kemunculan makna metaforis dalam sesanti nomor (10) berfokus pada kata “bangau”, “terbang” dan “danau”. Berikut ini teknik interpretasi yang diterapkan.

Tabel 5.16. Alur Analisis Makna Metaforis

“Setinggi-tinggi bangau terbang akhirnya ke danau juga” Data (10)

Ranah Sumber Ranah Sasaran

Setinggi-tinggi bangau terbang akhirnya ke danau juga

Bangau KM:

[unggas paruh panjang] [hidup di tempat berair]

Terbang KM:

[melayang di udara]

Sejauh manapun orang merantau akhirnya akan kembali

Manusia KM:

[makhluk berakal budi]

KM: [merantau]


(44)

Danau KM:

[genangan air yang luas]

KM:

[kampung halaman]

Perbandingan dan Pengalihan Konsep

Tindakan bangau dipetakan pada pola rantau masyarakat Bima

Proses interpretasi tanda dalam sesanti ini, referen/tanda bahasa “setinggi-tinggi bangau terbang akhirnya ke danau juga” telah mengalami proses interpretasi berdasarkan asosiasi, yang artinya bahwa sifat/aspek (KM) yang dimiliki tanda tersebut diasosiasikan dengan “sejauh manapun orang merantau akhirnya akan kembali”.

Kata bango ‘bangau’ dalam sesanti ini adalah metafora yang menggambarkan manusia yang pergi jauh merantau. Satwa burung bangau yang banyak terdapat di daerah Bima telah menjadi inspirasi dan pelajaran berharga bagi masyarakat Bima. Burung yang juga termasuk burung imigran tersebut selalu terbang jauh setiap pergantian musim dari belahan bumi utara ke selatan atau sebaliknya, namun ndano ‘danau’ selalu menjadi tempat tujuan. Selain di danau dan laut, bangau juga banyak ditemui di areal persawahan daerah Bima. Burung bangau sudah menjadi simbol bagi pola rantau masyarakat Bima. Ini membuktikan betapa pola hidup masyarakat Bima sangat menyatu dengan alam. Ungkapan sa-ese-ese kaina ngemo bango, cumpu kaina mbali jampa di ndano ‘setinggi-tinggi bangau terbang akhirnya ke danau juga’ benar-benar diaplikasikan masyarakat Bima dengan konsep merantau bukan pindah kampung halaman. Menurut informan, pola rantau orang Bima adalah temporer (sementara), mereka


(45)

pergi merantau karena misi tertentu, yakni untuk penempaan jiwa, pencerdasan diri, pendidikan, kedinasan, dan mengadu nasib. Namun seiring perkembangan zaman, sekarang banyak juga orang Bima yang menetap di daerah rantau sampai akhir hayatnya.

Berdasarkan interpretasi nonmetaforis, dapat ditentukan bahwa ranah sumber, yang sifatnya konkret, dalam sesanti ini adalah “setinggi-tinggi bangau terbang akhirnya ke danau juga”. Sedangkan berdasarkan interpretasi metaforis dengan memperhatikan konteks budaya masyarakat Bima (pengalaman keseharian), dapat ditentukan ranah sasaran, yang sifatnya lebih abstrak dalam sesanti ini adalah “sejauh manapun orang merantau akhirnya akan kembali”.

Dalam penentuan makna metaforis sesanti ini, dibutuhkan pemerian KM ranah sumber dan juga ranah target. Adapun dalam analisis ini konteks budaya masyarakat Bima sangat berpengaruh dalam penentuan komponen makna.

(12) Bango made ba karefa [bʌŋ m d ͻ ʌ ɛb k r f ]ʌ ʌ ɛ ʌ

‘bangau mati oleh katak’ ‘Bangau mati oleh katak’

Ditinjau dari segi metafora sebagai tanda bahasa, ditemukan bahwa kemunculan makna metaforis dalam sesanti nomor (12) berfokus pada kata “bangau”, dan “katak”. Berikut ini teknik interpretasi yang diterapkan.

Tabel 5.17. Alur Analisis Makna Metaforis “Bangau mati oleh katak” Data (12)

Ranah Sumber Ranah Sasaran


(46)

Bangau KM:

[unggas paruh panjang] [hidup di tempat berair]

Katak KM: [makanan bangau]

mendatangkan petaka karena keserakahan

KM: [keserakahan]

KM:

[sesuatu yang disukai]

Perbandingan dan Pengalihan Konsep

Bangau yang mati karena katak dipetakan pada sifat manusia

Interpretasi terhadap tanda “bangau mati oleh katak” mengakibatkan munculnya KM: bangau mati karena menelan beberapa ekor katak sekaligus, sehingga pada akhirnya akan memiliki makna metaforis “sesuatu yang disukai kadang-kadang mendatangkan petaka pada diri sendiri karena keserakahan”.

Untuk memaknai metafora pada sesanti nomor (12) di atas mungkin agak sulit diterima akal mengenai katak bisa membunuh bangau, karena yang kita tahu bahwa katak itu adalah salah satu makanan favorit burung bangau. Akan tetapi, berangkat dari ketidaklogisan itulah makna metaforis dari ungkapan tersebut bisa ditemukan. Artinya, menjadi sangat mungkin bangau mati ketika ia memakan atau menelan beberapa ekor katak sekaligus sehingga membuat tenggorokannya tersumbat dan akhirnya berakibat pada kematian. Semua itu bisa terjadi gara-gara sifat serakah burung bangau itu sendiri.

Timbulnya sesanti bango made ba karefa ‘bangau mati oleh katak’ akibat pengalaman pencipta sesanti melihat bango ‘bangau’ yang mati karena


(47)

tenggorokannya tersumbat oleh karefa ‘katak’. Pengalaman ini kemudian digunakan untuk menggambarkan suatu konsep baru tentang sesuatu yang disukai kadang-kadang bisa membahayakan diri sendiri. Kondisi ini sebagai jalan untuk mencari gambaran konkret tentang apa yang terjadi pada benda yang dijadikan referensi dalam metafora.

Berdasarkan interpretasi nonmetaforis, dapat ditentukan bahwa ranah sumber, yang sifatnya konkret, dalam sesanti ini adalah “bangau mati oleh katak”. Sedangkan berdasarkan interpretasi metaforis dengan memperhatikan konteks budaya masyarakat Bima (pengalaman keseharian), dapat ditentukan ranah sasaran, yang sifatnya lebih abstrak dalam sesanti ini adalah “sesuatu yang disukai kadang-kadang membahayakan dirinya sendiri”.

(24) Pehe pada janga ade dolu [pehe pʌdʌ ʌ j ŋ de d ℓu]ʌ ʌ ͻ

‘menerka ayam dalam telur’ ‘menerka ayam di dalam telur’

Ditinjau dari segi metafora sebagai tanda bahasa, ditemukan bahwa kemunculan makna metaforis dalam sesanti nomor (24) berfokus pada kata “ayam di dalam telur”. Berikut ini teknik interpretasi yang diterapkan.

Tabel 5.18. Alur Analisis Makna Metaforis “Menerka ayam di dalam telur” Data (24)

Ranah Sumber Ranah Sasaran

Menerka ayam di dalam telur Memastikan sesuatu yang mustahil ditentukan


(48)

Ayam dalam telur KM:

[ayam belum menetas]

KM:

[sesuatu yang tidak tampak]

Perbandingan dan Pengalihan Konsep

Ayam dalam telur dipetakan pada sesuatu yang tidak tampak

Teknik interpretasi berdasarkan asosiasi diterapkan pada tanada bahasa “menerka ayam di dalam telur” mengakibatkan munculnya aspek (KM): menduga ayam yang masih berada dalam telur, mengakibatkan munculnya makna metaforis ‘memastikan sesuatu yang mustahil ditentukan karena tidak bisa dilihat’.

Ana janga ‘anak ayam’ yang masih berada dalam dolu ‘telur’ mustahil bisa diketahui sebelumnya, apakah setelah menetas nanti akan menjadi ayam betina atau jantan, bulunya berwarna hitam atau putih. Pada saat sekarang, hal tersebut sangat mungkin dilakukan dengan peralatan canggih, akan tetapi pada waktu diciptakannya sesanti, hal itu mustahil dilakukan. Untuk mengetahui apakah telur ayam berkualitas baik atau buruk, masyarakat Bima biasanya meneropongnya dengan menggunakan kertas tebal yang digulung. Pengalaman pencipta sesanti yang melihat keadaan ayam dalam telur inilah kemudian menggunakannya untuk menggambarkan suatu konsep abstrak tentang “memastikan sesuatu yang mustahil bisa ditentukan”.

Berdasarkan interpretasi nonmetaforis, dapat ditentukan bahwa ranah sumber, yang sifatnya konkret, dalam sesanti ini adalah “menerka ayam di dalam telur”. Sedangkan berdasarkan interpretasi metaforis dengan memperhatikan konteks budaya masyarakat Bima (pengalaman keseharian), dapat ditentukan


(49)

ranah sasaran, yang sifatnya lebih abstrak dalam sesanti ini adalah karakter “memastikan sesuatu yang mustahil ditentukan”.

(27) Bune ana janga ma-mada ina-na [bun n jɛ ʌ ʌ ʌŋ m -m d in -n ]ʌ ʌ ʌ ʌ ʌ ʌ

‘seperti anak ayam mati induk-3:T’ ‘Seperti anak ayam kehilangan induk’

Ditinjau dari segi metafora sebagai tanda bahasa, ditemukan bahwa kemunculan makna metaforis dalam sesanti nomor (27) berfokus pada kata “anak ayam”, dan “induk”. Berikut ini teknik interpretasi yang diterapkan.

Tabel 5.19. Alur Analisis Makna Metaforis “Seperti anak ayam kehilangan induk” Data (27)

Ranah Sumber Ranah Sasaran

Seperti anak ayam kehilangan induk Anak ayam

KM: [keturunan ayam]

Induk KM: [ibu]

Terpecah belah karena kehilangan tumpuan harapan atau pemimpin

KM:

[suatu kelompok yang kebingungan dan terpecah belah]

KM: [pemimpin]

Perbandingan dan Pengalihan Konsep

Anak ayam yang kehilangan induk dipetakan pada sifat suatu kelompok Proses interpretasi tanda dalam sesanti ini, referen/tanda bahasa “seperti anak ayam kehilangan induk” telah mengalami proses interpretasi berdasarkan asosiasi, yang artinya bahwa sifat/aspek (KM) yang dimiliki tanda tersebut


(50)

diasosiasikan dengan “suatu keadaan yang terpecah belah karena kehilangan tumpuan harapan atau pemimpin”.

Terciptanya ungkapan bijak bune ana janga ma-mada ina-na ‘seperti anak ayam kehilangan induk’ sangat dipengaruhi oleh budaya dan pengalaman sehari-hari masyarakat Bima yang biasa memelihara ayam. Mereka hafal betul dengan tingkah polah ayam, misalnya ana janga ‘anak ayam’ yang kehilangan induknya akan bertetiak-teriak kebingungan. Pengalaman ini, kemudian digunakan untuk menggambarkan suatu konsep abstrak tentang situasi di mana sebuah kelompok kehilangan pemimpinnya sehingga bingung dan tidak tahu harus melakukan apa.

Pembandingan antara ranah sumber dan ranah target dalam sesanti tersebut ditunjukkan oleh hadirnya pemarkah kata bune ‘seperti’. Berdasarkan interpretasi nonmetaforis, dapat ditentukan bahwa ranah sumber, yang sifatnya konkret, dalam perumpamaan ini adalah “seperti anak ayam kehilangan induk”. Sedangkan berdasarkan interpretasi metaforis dengan memperhatikan konteks budaya masyarakat Bima (pengalaman keseharian), dapat ditentukan ranah sasaran, yang sifatnya lebih abstrak dalam sesanti ini adalah suatu keadaan yang “terpecah belah karena kehilangan tumpuan harapan atau pemimpin”.

(29) Sabua kuru dua mbua nasi [s bu kuru du mbu n si]ʌ ʌ ʌ ʌ ʌ

‘satu sangkar dua ekor burung’ ‘Satu sangkar dua burung’

Ditinjau dari segi metafora sebagai tanda bahasa, ditemukan bahwa kemunculan makna metaforis dalam sesanti nomor (29) berfokus pada kata “satu sangkar”, dan “dua burung”. Berikut ini teknik interpretasi yang diterapkan.


(51)

Tabel 5.20. Alur Analisis Makna Metaforis “Satu sangkar dua burung” Data (29)

Ranah Sumber Ranah Sasaran

Satu sangkar dua burung

Satu sangkar KM:

[satu tempat untuk mengurung burung] Dua burung

KM:

[dua binatang bersayap] [bisa terbang]

Dua orang perempuan sama-sama menghendaki seorang lelaki

KM: [seorang laki-laki]

KM:

[dua orang wanita]

Perbandingan dan Pengalihan Konsep

Dua burung dalam sangkar dipetakan pada dua orang perempuan yang menghendaki sati laki-laki

Proses interpretasi terhadap tanda “satu sangkar dua burung” mengakibatkan munculnya KM: satu kurungan dihuni oleh dua burung, sehingga pada akhirnya akan memiliki makna metaforis dua orang perempuan yang sama-sama menghendaki seorang laki-laki, sebagai akibat dari adanya relasi asosiatif dengan KM “satu sangkar dua burung”.

Pengalaman orang Bima dengan alam lingkungannya menjadi sumber untuk memahami ide atau hal-hal yang abstrak atau yang bersifat kontekstual. Timbulnya sesanti sabua kuru dua mbua nasi ‘satu sangkar dua burung’ merupakan akibat pengalaman pencipta sesanti melihat nasi ‘burung’ yang berada dalam satu sangkar. Pengalaman ini kemudian digunakan untuk menggambarkan suatu konsep abstrak tentang dua orang perempuan yang sama-sama menghendaki


(1)

sifat ba edamu pali ma kalau kalula, malanta labo didul labomu

‘Kuda kuning jangan terlalu bersemangat, karena melihat padang luas, kain kafan yang dibawa pulang bersamamu’

senang karena

mendapatkan kebebasan hidup, ketika meninggal hanya kain kafan yang dibawa

(6) Aina mori bune sahe ra jara ‘Jangan hidup seperti kerbau dan kuda’

Orang yang bodoh dan liar

(15) Mapu keto sahe ‘Lemas ekor kerbau’

Orang yang sifatnya berubah-ubah

(2) Bune ngao labo lako mpanggana

‘Seperti kucing dengan anjing bertengkarnya’

Dua orang yang selalu bertengkar

(17) Bune janga di tando saninu ‘Seperti ayam di depan cermin’

Orang yang asing dengan dirinya sendiri (1) Aina kani ilmu sanggilo,

na-nono-ku ana ndai-na

‘Jangan mengikuti ilmu ikan gabus, dia akan memakan anaknya sendiri’

Orang yang melakukan perbuatan memalukan (asusila) pada

keluarganya sendiri (23) Linta ma-ne’e ndadi sawa

‘Pacet hendak menjadi ular’

Orang miskin berlagak seperti orang kaya (21) Bune mbe’e ade sampa

‘Bagai kambing dalam sampan’

Seorang yang dalam keadaan ketakutan dan tidak mampu

menyelamatkan diri (16) Bune janga ma ntolu ese

wawo jompa

‘Seperti ayam bertelur di atas lumbung padi’

Orang yang hidup senang dan mewah (27) Bune ana janga ma-mada

ina-na

‘Seperti anak ayam kehilangan induk’

Terpecah belah karena kehilangan tumpuan harapan atau pemimpin (30) Bune janga ma-tio nggalu

‘Seperti ayam melihat musang’

Orang yang ketakutan dan kehilangan akal (11) Bune lindu mabu dei

macompo

‘Seperti belut jatuh ke

Orang yang sangat senang karena dapat kembali ke tempat


(2)

lumpur’ asalnya (26) Bune lindu ma-dula dei

macompo

‘Seperti belut pulang ke lumpur’

Seorang perantau yang kembali ke kampung halamannya dan tidak merantau lagi

(22) Bune ma-reke kere mbe’e ‘Bagai menghitung bulu kambing’

Melakukan pekerjaan yang sangat sulit atau sia-sia

(18) Ma-gogu-ra bune janga ma noto sia, coro-coroka-male weki

‘Sakitlah kamu seperti ayam yang memakan garam, pura-pura lemas’

Orang yang berpura-pura sakit agar terbebas dari kesalahan yang telah diperbuat.

Menunjuk kan keadaan

(4) Arujiki jimba, wati loa diraka ba mbe’e

‘Rejeki domba tidak didapat oleh kambing’

Masing-masing manusia telah ditentukan

rejekinya oleh Allah untuk dimilikinya (8) Hori co’o bune sahe ra capi

‘Dilepas dan dibiarkan seperti kerbau dan sapi’

Orang yang hidup bebas dan mandiri

(20) Sajana sia sa copu, mbai sahe sabua

‘Sayangkan garam sejumput, busuk kerbau seekor’

Karena takut rugi sedikit, akhirnya rugi banyak

(9) Dou musu Ruma-na bune nasi ade kuru-na ‘Manusia melawan

Tuhannya bagaikan burung di sangkarnya’

Sehebat apapun manusia tidak akan bisa

menandingi Tuhan (31) Kone kari’i ra kanggia ka

wara mena uma-na ‘Burung pipit dan semut saja mempunyai rumah’

Orang yang kecil dan lemah dapat membuat tempat tinggal

Menunjuk kan aktivitas

(5) Weli saheade diwu

‘Membeli kerbau di dalam lubuk’

Membeli sesuatu yang tidak jelas

keberadaannya (7) Nente-si jara nenti weha-pu

rante-na, ita dou taho nenti nggahi sampu’u

‘Kalau menunggang kuda pegang kekangnya, manusia pegang perkataannya’

Kebebasan kuda dibatasi oleh tali, kebebasan manusia dibatasi oleh perkataannya


(3)

bango, cumpu kaina mbali jampa

Setinggi-tinggi bangau terbang akhirnya ke danau juga

merantau akhirnya akan kembali.

(12) Bango made ba karefa ‘Bangau mati oleh katak’

Hal yang disukai bisa mendatangkan petaka karena keserakahan. (24) Pehe pada janga ade

dolu

‘Menerka ayam di dalam telur’

Memastikan sesuatu yang mustahil ditentukan (29) Sabua kuru dua mbua nasi

‘Satu sangkar dua burung’

Dua orang perempuan sama-sama menghendaki seorang lelaki

(13) Aina eda-mu to’i uta simbu ma mbisa

‘Jangan kamu melihat dan meremehkan ikan lele yang pingsan’

Jangan meremehkan hal yang sepele, karena boleh jadi hal itu akan mendatangkan bahaya besar

(14) (14) Mu-nduku-si sawa aina dimbalakai dana, aina dimpokakai wobo, pala sawa na made

‘Kalau memukul ular jangan sampai berbekas pada tanah, jangan mematahkan cambuk, tetapi ularnya yang akan mati’

Kehati-hatian dalam menegakkan hukum, jangan korbankan orang yang diadili ataupun hukum itu sendiri

(19) Aina bune ngepa maju, cili tuta ka-ntea loki

‘Jangan seperti sembunyinya rusa,

sembunyikan kepala (tapi) kelihatan pantat’

Menyembunyikan satu kesalahan, kesalahan yang lain terbongkar

(25) Aina ma-sapa si sawa ‘Jangan melangkahi ular’

Melakukan sesuatu yang sangat berbahaya

(28) Ma-tei maju ma-rai ‘Mengajari rusa berlari’

Mengajari orang yang sudah pandai


(4)

Sifat adalah keadaan yang terlihat disekitar barang; keadaan yang sudah ada dari kodrat; tanda yang membedakan dengan sesuatu yang lain; watak yang telah ada sejak lahir (KBBI, 2005). Sesanti bahasa Bima yang menggambarkan sifat binatang yang dialihkan konsepnya dengan sifat manusia secara umum dicirikan dengan pemarkah bune ‘seperti, bagai’, namun ada juga beberapa sesanti yang mempunyai relevansi/kesamaan sifat antara ranah sumber dan ranag sasaran yang tidak ditunjukkan oleh pemarkan apa pun, misalnya pada data (15) berikut ini.

Data Ranah Sumber Ranah Sasaran

(15) Mapu keto sahe

‘Lemas ekor kerbau’ Orang yang sifatnya berubah-ubah

Makna metaforis dari sesanti (15) ini adalah ‘orang yang sifatnya berubah-ubah’. Keto sahe ‘ekor kerbau’ pada waktu tertentu, kalau dipegang akan terasa lemas, tapi pada waktu tertentu dapat menjadi keras. Demikian halnya dengan sifat manusia, kadang bisa keras dan lunak. Sifat ekor kerbau yang demikian itu diasosiasikan dengan sifat manusia. Terbentuknya metafora dalam sesanti ini karena adanya persamaan sifat antara keduanya.

2. Menunjukkan Keadaan

Menurut hierarki medan semantik ruang persepsi manusia yang paling jauh adalah keadaan (being). Keadaan dikatakan jauh karena ia memiliki konsep dari pengalaman manusia yang abstrak. Konsep abstrak itu meskipun ada tetapi


(5)

tidak dapat dihayati langsung oleh panca indera manusia. Keadaan adalah situasi apa yang dialami dan apa yang terjadi. Sesanti yang menggambarkan suatu keadaan dapat dilihat pada data (4) berikut ini.

Data Ranah Sumber Ranah Sasaran

(4) Arujiki jimba, wati loa diraka ba mbe’e

‘Rejeki domba tidak didapat oleh kambing’

Masing-masing manusia telah ditentukan rejekinya oleh Allah untuk dimilikinya

Sesanti di atas memiliki makna metaforis ‘masing-masing manusia telah ditentukan rejekinya oleh Allah untuk dimilikinya’. Pengalihan konsep dari ‘rejeki domba tidak didapat oleh kambing’ ke konsep baru ‘masing-masing manusia telah ditentukan rejekinya oleh Allah untuk dimilikinya’ memiliki titik kesamaan, yaitu nilai ‘keihlasan hati’. Keihlasan hati tidak dapat dilihat bentuknya oleh indera manusia tetapi secara konvensional dapat dipahami maknanya. Ia merupakan lambang kias yang harus diinterpretasikan maknanya.

3. Menunjukkan Aktivitas

Aktivitas adalah bermacam-macam perbuatan atau tindakan yang dilakukan (KBBI, 2005). Sesanti yang menggambarkan aktivitas manusia melalui konsep lain yang mempunyai relevansi/kesamaan makna dengan tindakan-tindakan dapat dilihat pada data (5) berikut ini.

Data Ranah Sumber Ranah Sasaran

(5) Weli saheade diwu

‘Membeli kerbau di dalam lubuk’

Membeli sesuatu yang tidak jelas keberadaannya


(6)

Hubungan antara ranah sumber dan ranah sasaran pada sesanti yang dapat dikelompokkan menunjukkan suatu aktivitas adalah sesanti yang mengandung makna adanya aktivitas. Misalnya pada sesanti (5), kata weli ‘membeli’ pada ranah sumber manunjukkan adanya aktivitas. Sedangkan pada ranah sasaran juga ditunjukkan oleh kata yang sama.