Pengantar Analisis Sesanti yang Menggunakan Leksikon Binatang Ternak

BAB V ANALISIS MAKNA METAFORIS SESANTI BAHASA BIMA

A. Pengantar

Penelitian ini mencoba melihat keterhubungan antara bahasa dan budaya. Melalui bahasa inilah fenomena budaya dapat terungkap. Bahasanya merujuk pada sesanti peribahasa dan makna metaforanya. Dikatakan sebuah sesanti memiliki nilai metafora apabila ada unsur yang dibandingkan sumber dan yang membandingkan sasaran, di mana keduanya dihubungkan oleh kesamaan atau perbandingan secara eksplesit. Sebaliknya, budaya yang dimaksud lebih ditekankan pada latar belakang budaya masyarakat Bima yang mempengaruhi terbentuknya sesanti. Data yang dianalisis sebanyak tiga puluh satu data sesanti yang menggunakan leksikon binatang. Untuk lebih mempermudah sistematisasi analisis dan pemaknaan, data sesanti tersebut dikelompokkan berdasarkan kategori leksikon binatang yang digunakan sebagai acuan pemetaforaannya, baik dalam hubungan persamaan ataupun pengiasan. Leksikon-leksikon binatang tersebut dibagi menjadi enam, yaitu leksikon binatang ternak, leksikon binatang piaraan, leksikon binatang unggas, leksikon binatang jenis ikan, leksikon binatang reptilia, dan leksikon binatang buruan. Sehubungan dengan itu, pada bagian ini akan diuraikan berturut-turut tentang latar belakang budaya Bima yang mempengaruhi pembentukan sesanti, serta interpretasi makna tanda dan proses pembentukan konsep metafora pada sesanti berdasarkan jenis binatang yang digunakannya. Selain itu, relasi asosiasi antara ranah sumber dan ranah sasaran juga dipaparkan pada bagian ini .

B. Analisis Sesanti yang Menggunakan Leksikon Binatang Ternak

Sesanti yang menggunakan leksikon binatang ternak, yang dianalisis dalam penelitian ini ada sepuluh buah, yaitu sesanti nomor 3, 4, 5, 6, 7, 8, 15, 20, 21, dan 22. Adapun binatang ternak dimaksud meliputi: kuda, kerbau, sapi, dan kambing. Berikut ini akan dipaparkan latar belakang yang mempengaruhi terciptanya sesanti-sesanti tersebut serta interpretasi makna tanda dan proses pembentukan konsep metaforanya. 1. Latar Belakang Budaya Bima yang Mempengaruhi Pembentukan Sesanti yang Menggunakan Leksikon Binatang Ternak Seperti yang dijelaskan pada bagian sebelumnya Bab IV, selain mata pencaharian pokok masyarakat Bima yang berasal dari pertanian, mereka juga sangat akrab dengan binatang-binatang ternak. Hal tersebut sangat berpengaruh pada munculnya sesanti-sesanti yang menggunakan leksikon binatang ternak karena memang sudah lekat dengan kehidupan mereka. Binatang ternak yang paling digandrungi untuk dikembangbiakkan pada masyarakat tradisional Bima adalah kerbau, sapi, kuda, dan kambing. Akan tetapi yang sangat dominan adalah kerbau dan sapi. Karena kerbau dan sapi biasanya dimanfaatkan untuk membajak sawah dan diambil susu perahnya. Bahkan, orang Bima zaman dahulu baru dikatakan kaya apabila sawahnya luas dan memiliki banyak kerbau. Masyarakat Bima dahulu, beternak kerbau, sapi dan kuda dengan cara dilepas di padang rumput dan di hutan-hutan tanpa dimasukkan dalam kandang. Kecuali kuda yang digunakan sebagai pacuan. Beternak dengan cara seperti ini dalam bahasa Bima disebut so atau nta’a di hori. Ternak-ternak tersebut diberi tanda seperti stempel dan dibuatkan parangga atau penentuan areal penggembalaan, biasanya hewan ternak akan dikunjungi atau ditinjau setiap dua kali dalam sebulan. Jika suatu saat pemiliknya ingin mengecek atau menjual ternaknya, pemilik ternak tersebut akan bersuara yang sudah dikenal oleh binatang ternaknya, anehnya binatang-binatang tersebut tidak pernah keliru untuk mendekati tuannya. Oleh karena itu, di Pulau Sumbawa dikenal dengan susu kuda liar sumbawa, maksudnya adalah susu dari kuda yang diternak dengan cara di lepas di hutan. Menurut penelitian susu kuda liar ini memiliki kandungan gizi dan manfaat yang lebih banyak dibandingkan dengan susu kuda yang diternak dengan cara dikandangkan, karena kuda liar memakan segala yang ada di hutan. Cara beternak semacam itu sekarang sudah banyak ditinggalkan oleh masyarakat Bima, kecuali bagi mereka yang tinggal di daerah pegunungan. Bagi masyarakat Bima, jara ‘kuda’ adalah sejarah panjang. Lebih dari lima abad, jejak kuda tertoreh terkait erat dengan kisah kesultanan di Bima. Menurut Hj. Siti Maryam Salahudin, keturunan Sultan Bima jara ‘kuda’ adalah bagian penting perjalanan agama Islam di Bima. Kala itu abad ke 17 Masehi, para penyebar Islam datang ke daerah tersebut bersama pasukan berkuda. Mereka menyebarkan ajaran Islam. Sejak itulah jara ‘kuda’ menjadi tumpuan masyarakat Bima. Dalam sejarahnya, kuda juga dipakai sebagai tunggangan perang untuk pasukan kuda atau kavaleri yang cukup tangguh. Hal ini didukung oleh banyaknya populasi kuda di daerah ini dan juga keahlian masyarakatnya menunggang kuda. Ketika era kolonialisme berakhir, kuda berubah fungsi menjadi hewan ternak, transportasi dan binatang pacu. Dalam bahasa Bima, pacuan kuda disebut pacuo jara, tradisi leluhur yang hingga kini tidak pudar. Oleh karena itu, tidak heran jika leksikon jara ‘kuda’ banyak digunakan sebagai sumber acuan pemetaforaan dalam sesanti bahasa Bima. Binatang ternak selanjutnya adalah kambing. Secara umum masyarakat Bima kurang berminat untuk beternak kambing karena tidak bisa dimanfaatkan untuk membantu pekerjaan disawah. Biasanya masyarakat Bima mempunyai beberapa ekor kambing untuk dipelihara sebagai pengisi waktu luang ketika tidak sibuk dengan pekerjaan di sawah. 2. Interpretasi Makna Tanda dan Proses Pembentukan Konsep Metafora pada Sesanti yang Menggunakan Leksikon Binatang Ternak 3 Jara monca aina fonti, lalo ba edamu pali ma [j r m nc ʌ ʌ ͻ ʌ æn f nti, ℓ ℓ ʌ ͻ ʌ ͻ b ed mu p ℓi m ʌ ʌ ʌ ʌ ‘kuda kuning jangan senang, langsung karena melihat2:T lapangan yang kalau kalula, malanta labo didula labomu k ℓ w k ℓuℓ , m ℓ nt ℓ ʌ ʌ ʌ ʌ ʌ ʌ ʌ ʌb ͻ diduℓ ℓ ʌ ʌb mu] ͻ luas, kain yang putih bersama dibawa pulang bersamamu’ ‘Kuda kuning jangan terlalu bersemangat karena melihat padang luas, kain kafan yang dibawa pulang bersamamu’ Ditinjau dari segi metafora sebagai tanda bahasa, ditemukan bahwa kemunculan makna metaforis dalam sesanti nomor 3 berfokus pada kata “ kuda kuning”, “bersemangat”, “padang luas” dan “kain kafan”. Berikut ini teknik interpretasi yang diterapkan. Tabel 5.1. Alur Analisis Makna Metaforis ”Kuda kuning jangan terlalu bersemangat karena melihat padang luas, kain kafan yang dibawa pulang bersamamu” Data 3. Ranah Sumber Ranah Sasaran Kuda kuning jangan terlalu bersemangat karena melihat padang luas, kain kafan yang dibawa pulang bersamamu Kuda kuning KM: [muda] [pacuan] [warna mencolok] Bersemangat KM: [bergerak ke sana kemari] [menunjukkan kebolehan] Padang luas KM: [tanah lapang] [arena pacuan] Kain kafan yang dibawa KM: [dibungkus kain kafan] Oarang yang terlalu senang karena mendapatkan kebebasan hidup Orang KM: [manusia] [senang kebebasan] Senang KM: [puas dan lega] [bebas] Dunia KM: [tempat kehidupan] Meninggal dunia KM: [akhir kehidupan dunia] [dibungkus kain kafan] Perbandingan dan Pengalihan Konsep Sifat kuda pacuan ketika dilepas dipetakan dengan sifat orang yang mendapat kebebasan Interpretasi terhadap tanda “kuda kuning jangan terlalu bersemangat karena melihat padang luas, kain kafan yang dibawa pulang bersamamu” mengakibatkan munculnya KM: kuda pacuan yang terlalu senang dan bersemangat di arena pacuan, karena jarang dilepas, sehingga pada akhirnya akan memiliki makna metaforis manusia jangan yang terlalu senang karena mendapatkan kebebasan hidup di dunia, karena ketika meninggal dunia hanya kain kafan yang di bawa; sebagai akibat dari adanya relasi asosiatif dengan KM tanda “kuda kuning jangan terlalu bersemangat karena melihat padang luas, kain kafan yang dibawa pulang bersamamu”. Jara monca ‘kuda kuning’ pada data nomor 3 adalah lambang keindahan. Masyarakat Bima sangat menyukai kuda berwarna kuning. Warna kuning adalah warna yang menonjol sehingga kalau beberapa kuda dideretkan, warna itulah yang menarik perhatian. Jara monca ‘kuda kuning’ biasanya akan merasa senang dan bergaya kalau dilepas di padang luas atau di arena pacuan. Dia akan menunjukkan kebolehan untuk berlari sekencang-kencangnya. Jara monca ‘kuda kuning’ adalah metafora manusia yang terlalu senang karena mendapatkan kebebasan hidup. Masyarakat Bima, jika ingin menasehati orang, tidak hanya dilakukan secara langsung, tetapi juga dilakukan secara tidak langsung, yaitu melalui kiasan metafora. Metafora jara monca ‘kuda kuning’ digunakan karena objek yang menjadi sasaran nasehat atau teguran mempunyai kesamaan dengan perilaku kuda. Perilaku fonti ‘bersemangat, bergaya, atau membanggakan diri’ dimiliki oleh kuda pacuan. Perilaku itu menjadi sifat dan ciri kuda pacuan karena dia jarang dilepas. Begitu melihat pali makalau kalula ‘lapangan luas’, kuda pacuan biasanya akan bergerak-gerak dan melompat ke sana ke mari. Kuda ingin menunjukkan kebolehannya bahwa dia lebih hebat, lebih perkasa daripada kuda lainnya. Perilaku semacam itu terdapat pada manusia yang mendapatkan kebebasan hidup yang kadang-kadang berbuat sekehendak hati tanpa menghiraukan norma-norma yang berlaku. Klausa malanta labo didula labomu ‘kain putih kasar yang dibawa pulang’ berarti ‘kain kafan yang akan dibawa mati’ dan kemudian dapat juga berarti ‘kalau mati kita hanya membawa selembar kain’. Maka klausa itu merupakan peringatan agar seseorang tidak lupa diri dengan kebebasannya dalam hidup. Sesanti ini biasanya ditujukan kepada anak-anak muda di Bima. Orang muda yang terlalu bebas dalam hidupnya harus diberikan peringatan agar perilakunya menjadi baik. Orang yang suka dengan kebebasan biasanya hanya orang muda. Makna itu sesuai dengan kata jara monca yang mengacu pada kuda pacuan. Kuda pacuan adalah kuda muda dan hanya kuda muda yang dapat bergerak dengan lincah ketika di lepaskan dari kandangnya. Dalam hal ini kuda diperbandingkan dengan orang muda dan pali makalau kalula ‘lapangan luas’ diperbandingkan dengan ‘dunia atau kehidupan’. Orang muda akan lupa diri karena mendapat kebebasan hidup di dunia yang indah. Di balik keindahan dunia atau kehidupan ada kematian, yaitu tertera pada klausa malanta labo didula labomu ‘kain putih kasar yang dibawa pulang’. Pembandingan antara ranah sumber dan ranah sasaran dalam sesanti 3 tidak ditunjukkan oleh pemarkah apa pun. Walaupun demikian, jika ditelusuri makna metaforisnya secara seksama ada relasi asosiatif kesamaan sifat antarkeduanya. Dengan demikian berdasarkan interpretasi nonmetaforis, dapat ditentukan bahwa ranah sumber, yang sifatnya konkret, dalam sesanti ini adalah “kuda kuning jangan terlalu bersemangat karena melihat padang luas, kain kafan yang dibawa pulang bersamamu”. Sedangkan berdasarkan interpretasi metaforis dengan memperhatikan konteks budaya masyarakat Bima pengalaman keseharian pada saat itu, dapat ditentukan ranah sasaran, yang sifatnya lebih abstrak dalam sesanti ini adalah orang yang terlalu senang karena mendapatkan kebebasan hidup di dunia karena ketika meninggal dunia hanya kain kafan yang di bawa. Dalam penentuan makna metaforis sesanti ini, dibutuhkan pemerian KM ranah sumber dan juga ranah sasaran. Adapun dalam analisis ini konteks budaya masyarakat Bima sangat berpengaruh dalam penentuan komponen makna. 4 Arujiki jimba, wati loa diraka ba mbe’e [ rujiki jimb , wati ℓ ʌ ʌ ͻʌ dirak ʌ b mbeqe] ʌ ‘rejeki domba tidak bisa didapat oleh kambing’ ‘Rejeki domba tidak didapat oleh kambing’ Ditinjau dari segi metafora sebagai tanda bahasa, ditemukan bahwa kemunculan makna metaforis dalam sesanti nomor 4 berfokus pada kata “rejeki”, “domba”, “tidak didapat” dan “kambing”. Berikut ini teknik interpretasi yang diterapkan. Tabel 5.2. Alur Analisis Makna Metaforis “Rejeki domba tidak didapat oleh kambing” Data 4 Ranah Sumber Ranah Sasaran Rejeki domba tidak didapat oleh kambing Rejeki KM: [pemberian Allah] Domba KM: [kambing] Masing-masing manusia telah ditentukan rejekinya oleh Allah untuk dimilikinya KM: [pemberian dan ketentuan Allah] Manusia KM: [makhluk berakal budi] [berbulu tebal] Tidak didapat KM: [tidak diperoleh] Kambing KM: [binatang pemakan rumput] [tanduk bergeronggang] [diternak] [diambil daging, dan susu] KM: [tidak tertukar] Manusia lain KM: [makhluk berakal budi] Perbandingan dan Pengalihan Konsep Rejeki yang diterima oleh domba dan kambing dipetakan ketetapan Allah pada manusia. Tanda “Rejeki domba tidak didapat oleh kambing” merupakan gambaran atas ”seseorang yang tidak puas dengan dirinya sendiri dan selalu iri hati terhadap apa yang diperoleh orang lain, karena itu dia tidak mensyukuri pemberian dan ketentuan Allah, dengan kata lain, setiap manusia telah ditentukan rejekinya oleh Allah”. Leksikon jimba ‘domba’ dan mbeqe ‘kambing’ dalam konteks ini adalah metafora manusia. Kata jimba ‘domba’ dan mbeqe ‘kambing’ mewakili manusia. Penggunaan kedua kata itu dirasakan lebih halus dan efektif daripada menggunakan si A atau si B artinya, seseorang yang dinasehati tidak terlalu merasa kecewa karena kata yang digunakan berkaitan dengan binatang. Domba dan kambing adalah binatang yang dekat manusia. Kalau seandainya kata lain yang digunakan, misalnya lako ‘anjing’ dan bote ‘monyet’, orang yang menjadi sasaran sesanti tersebut akan tersinggung karena dianggap penghinaan. Sesanti ini digunakan untuk menasehati orang yang tidak puas dengan keadaan dirinya. Keadaan dirinya selalu dibandingkan dengan orang lain, misalnya ada tetangganya yang mendapat hasil panen padi yang berlimpah, orang itu lalu menyesali dirinya “mengapa dia tidak mendapat hasil panen seperti tetangganya”. Sesanti ini mengandung nasehat atau pesan yang bersifat didaktis, berintikan ajaran moral dan agama yang mengandung nilai filosofis yang tinggi, yang diberikan oleh orang tua kepada anaknya atau kepada yang lebih muda agar siap menghadapi berbagai corak kehidupan duniawi. Masyarakat Bima memandang rezeki itu berasal dari Allah dan setiap manusia memiliki rezeki masing-masing. Realitas kehidupan yang berakar pada kebenaran hakiki percaya pada Allah menjadi konsep yang sangat diyakini dan diwujudkan dalam sikap dan tindakan mereka. Hal ini tidaklah mengherankan karena mayoritas masyarakat Bima memeluk agama Islam dan konsep kehidupan, baik pendidikan, etika pergaulan hidup, perkawinan, maupun segala bentuk tradisi dan adat istiadat disesuaikan dengan ajaran Islam. Berdasarkan analisis komponen makna unsur metaforis data 4 interpretasi nonmetaforis dapat ditentukan bahwa ranah sumber, yang sifatnya konkret, dalam sesanti ini adalah “rejeki domba tidak didapat oleh kambing”. Sedangkan berdasarkan interpretasi metaforis dengan memperhatikan konteks budaya masyarakat Bima pengalaman keseharian pada saat itu, dapat ditentukan ranah sasaran, yang sifatnya lebih abstrak dalam sesanti ini adalah jangan iri hati, masing-masing manusia telah ditentukan rejekinya oleh Allah untuk dimilikinya. 5 Weli sahe ade diwu [w ℓi ɛ s he de diwu] ʌ ʌ ‘beli kerbau dalam lubuk’ ‘Membeli kerbau di dalam lubuk’ Ditinjau dari segi metafora sebagai tanda bahasa, ditemukan bahwa kemunculan makna metaforis dalam sesanti nomor 5 berfokus pada kata “kerbau” dan “lubuk”. Berikut ini teknik interpretasi yang diterapkan. Tabel 5.3. Alur Analisis Makna Metaforis “Membeli kerbau di dalam lubuk” Data 5 Ranah Sumber Ranah Sasaran Membeli kerbau di dalam lubuk Kerbau KM: [binatang ternak] [suka berkubang] Lubuk KM: [bagian yang dalam di sungai, danau] Membeli sesuatu yang tidak jelas keberadaannya KM: [sesuatu] KM: [tidak tampak] Perbandingan dan Pengalihan Konsep Kerbau yang sedang berendam dipetakan sesuatu yang tidak tampak Teknik interpretasi berdasarkan asosiasi diterapkan pada tanada bahasa “membeli kerbau dalam lubuk” mengakibatkan munculnya aspek KM: membeli kerbau yang sedang berendam di tempat yang dalam, memunculkan makna metaforis berhati-hatilah membeli sesuatu yang tidak tampak atau berhati-hatilah melakukan sesuatu yang tidak jelas. Jual beli kerbau dalam masyarakat Bima biasanya dilakukan secara terbuka. Kerbau harus dilihat ukuran dan warnanya, serta tanda-tanda kepemilikan. Apabila proses jual beli kerbau atau hewan lainnya tidak dilakukan secara terbuka, hal itu disebut weli sahe ade diwu. Sahe ‘kerbau’ yang berendam dalam diwu ‘lubuk’ biasanya tidak dapat dilihat atau dikenali. Bisa saja kerbau milik si Ali diakui oleh si Ahmad sebagai pemiliknya. Sahe ade diwu ‘kerbau dalam lubuk’ adalah kiasan ‘sesuatu yang tidak jelas’. Kerbau yang dibeli itu tidak dapat dikenal dan belum tentu ada. Sesanti itu mengajak untuk berpikir kritis agar kita mengenal dengan baik segala sesuatu yang dilakukan. Menurut informan sesanti itu bukan hanya berlaku dalam hal berjual-beli hewan saja, melainkan juga berlaku untuk masalah sosial lainnya, misalnya dalam hal melamar gadis. Seorang pemuda yang ingin melamar seorang gadis, terlebih dahulu dia harus mengenal gadis yang akan dilamar, yaitu bagaimana wajahnya, postur tubuhnya dan keturunannya. Kalau sudah mengenal ihwal gadis itu, barulah utusan keluarga pemuda itu datang ke rumah si gadis. Segala sesuatu yang akan dilakukan harus dilihat dahulu kebenarannya. Jangan sampai membeli barang atau melakukan sesuatu tanpa mengetahui substansinya. Tindakan yang ceroboh hanya akan menimbulkan masalah baru yang dapat merugikan. Berdasarkan interpretasi nonmetaforis, dapat ditentukan bahwa ranah sumber, yang sifatnya konkret, dalam sesanti ini adalah “membeli kerbau di dalam lubuk”. Sedangkan berdasarkan interpretasi metaforis dengan memperhatikan konteks budaya masyarakat Bima pengalaman keseharian pada saat itu, dapat ditentukan ranah sasaran, yang sifatnya lebih abstrak dalam sesanti ini adalah sikap kehati-hatian terhadap sesuatu yang tidak jelas keberadaannya. 6 Aina mori bune sahe ra jara [æn m ri bun s he r j r ] ʌ ͻ ɛ ʌ ʌ ʌ ʌ ‘jangan hidup seperti kerbau dan kuda’ ‘Jangan hidup seperti kerbau dan kuda’ Ditinjau dari segi metafora sebagai tanda bahasa, ditemukan bahwa kemunculan makna metaforis dalam sesanti nomor 6 berfokus pada kata “kerbau” dan “kuda”. Berikut ini teknik interpretasi yang diterapkan. Tabel 5.4. Alur Analisis Makna Metaforis “Jangan hidup seperti kerbau dan kuda” Data 6 Ranah Sumber Ranah Sasaran Jangan hidup seperti kerbau dan kuda Kerbau KM: [binatang ternak] [suka berkubang] Kuda KM: [binatang] [penarik kendaraan] Orang yang bodoh dan liar KM: [bodoh] [dungu] KM: [liar sulit dikendalikan] [menyukai kebebasan] Perbandingan dan Pengalihan Konsep Sifat kerbau yang bodoh dan sifat kuda yang liar dipetakan pada sifat manusia Tanda “jangan hidup seperti kerbau dan kuda” merupakan gambaran atas ”seseorang yang hidup bodoh dan liar”, yaitu membandingkan manusia dengan sahe ‘kerbau’ dan jara ‘kuda’. Artinya, manusia dan binatang itu berbeda. Binatang itu bodoh, tidak mempunyai akal sehingga dia hidup hanya mengikuti hawa nafsu saja, yaitu makan dan berkembang biak. Manusia hidup harus memiliki perencanaan, melakukan amal sholeh dan memikirkan kelangsungan hidupnya, karena hanya hewanlah yang tidak melakukan hal tersebut. Manusia harus selalu berjuang untuk mendapatkan segala hal yang diinginkan. Pengalaman orang Bima dengan kedua binatang tersebut menjadi sumber untuk memahami hal-hal yang abstrak. Timbulnya sesanti aina mori bune sahe ra jara ‘jangan hidup seperti kerbau dan kuda’ merupakan akibat pengalaman pencipta sesanti melihat sifat buruk kedua binatang tersebut. Pengalaman ini kemudian digunakan untuk menggambarkan suatu konsep abstrak tentang orang bodoh dan liar. Pembandingan antara ranah sumber dan ranah target dalam sesanti tersebut ditunjukkan oleh hadirnya pemarkah kata bune ‘seperti’. Berdasarkan interpretasi nonmetaforis, dapat ditentukan bahwa ranah sumber, yang sifatnya konkret, dalam sesanti ini adalah “jangan hidup seperti kerbau dan kuda”. Sedangkan berdasarkan interpretasi metaforis, dengan memperhatikan konteks budaya masyarakat Bima pengalaman keseharian dapat ditentukan ranah sasaran yang sifatnya lebih abstrak dalam sesanti ini adalah orang bodoh dan liar. 7 Nente-si jara nenti weha-pu rante-na, [n nt si j r n nti w pu r nt n , ɛ ɛ ʌ ʌ ɛ ɛʌ ʌ ɛ ʌ ‘menunggang-kalau kuda pegang ambillah rantai-3:T, ita dou taho nenti nggahi sampu’u ita d u t h n nti ͻ ʌ ͻ ɛ ŋg hi s mpuqu ʌ ʌ ] 2:T manusia pegang perkataan sepatah’ ‘Kalau menunggang kuda pegang kekangnya, manusia pegang perkataanny Ditinjau dari segi metafora sebagai tanda bahasa, ditemukan bahwa kemunculan makna metaforis dalam sesanti nomor 7 berfokus pada kata “kuda”, “kekang”, manusia” dan “perkataan”. Berikut ini teknik interpretasi yang diterapkan. Tabel 5.5. Alur Analisis Makna Metaforis “Kalau menunggang kuda pegang kekangnya, manusia pegang perkataannya” data 7 Ranah Sumber Ranah Sasaran Kalau menunggang kuda pegang kekangnya, manusia pegang perkataannya Kuda KM: [binatang] [penarik kendaraan] Kekang KM: [besi bergerigi yang dipasang pada mulut kuda] [kendali] Manusia KM: [makhluk berakal budi] Kebebasan kuda dibatasi oleh tali, kebebasan manusia dibatasi oleh perkataan KM: [binatang] [penarik kendaraan] KM: [segala sesuatu yang dipakai untuk mencegah perbuatan yang kurang baik] KM: [manusia] Perkataan KM: [suatu yang dikatakan] KM: [perkataan] [tingkah laku] Perbandingan dan Pengalihan Konsep Tali kekang pada kuda dipetakan pada batas kebebasan manusia Proses interpretasi tanda dalam sesanti ini, referentanda bahasa “Kalau menunggang kuda pegang kekangnya, manusia pegang perkataannya” telah mengalami proses interpretasi berdasarkan asosiasi, yang artinya bahwa sifataspek KM yang dimiliki tanda tersebut diasosiasikan dengan “kebebasan kuda dibatasi oleh tali kekangnya, kebebasan manusia dibatasi oleh perkataannya” Pada sesanti nomor 7 terjadi dua perbandingan, yakni antara jara ‘kuda’ dan manusia yang sama-sama memiliki alat pengendali. Kalau kuda memiliki pengendali berupa tali, yang berarti hanya bisa bergerak sepanjang tali yang diikatkan padanya, sedangkan manusia alat pengendalinya adalah ucapan atau perkataan. Maknanya, jika binatang bisa patuh kepada pengembalanya selama digiring dengan tali, sedang manusia tidak demikian, namun cukuplah ucapannya yang menjadi pegangan untuk bisa dipercaya orang. Kalau antara perkataan dan perbuatannya sudah seimbang, maka ia sudah bisa dipegang omongannya. Jadi, sesanti ini mengambarkan tentang ketidakleluasaan manusia dalam berbuat semena-mena karena ia diawasi oleh kata-kata yang pernah diucapkannya, seperti tidak bebasnya seekor kuda yang dibatasi geraknya oleh tali yang menjeratnya. Berdasarkan interpretasi nonmetaforis, dapat ditentukan bahwa ranah sumber, yang sifatnya konkret, dalam sesanti ini adalah “kalau menunggang kuda pegang kekangnya, manusia pegang perkataannya”. Sedangkan berdasarkan interpretasi metaforis dengan memperhatikan konteks budaya masyarakat Bima pengalaman keseharian, dapat ditentukan ranah sasaran, yang sifatnya lebih abstrak dalam sesanti ini adalah kuda dikendalikan oleh tali sedangkan manusia dikendalikan oleh perkataannya. Dalam penentuan makna metaforis sesanti tersebut, dibutuhkan pemerian KM ranah sumber dan juga ranah target. Adapun dalam analisis ini konteks budaya masyarakat Bima sangat berpengaruh dalam penentuan komponen makna tersebut. 8 Hori co’o bune sahe ra capi [h ri c q ͻ ͻ ͻ bun ɛ s h r c pi] ʌ ɛ ʌ ʌ ‘dilepas dibiarkan seperti kerbau dan sapi’ ‘Dilepas dan dibiarkan seperti kerbau dan sapi’ Ditinjau dari segi metafora sebagai tanda bahasa, ditemukan bahwa kemunculan makna metaforis dalam sesanti nomor 8 berfokus pada kata “dilepas”, “dibiarkan” dan “kerbau dan sapi”. Berikut ini teknik interpretasi yang diterapkan. Tabel 5.6. Alur Analisis Makna unsur Metaforis “Dilepas dan dibiarkan seperti kerbau dan sapi” Data 8 Ranah Sumber Ranah Sasaran Dilepas dan dibiarkan seperti kerbau dan sapi Dilepas KM: [tidak tertambat] Orang yang hidup bebas dan mandiri KM: [dapat bergerak kemana-mana] Dibiarkan KM: [tidak dipelihara baik-baik] Kerbau dan sapi KM: [hewan yang diternak dengan cara dilepas di hutan] KM: [tidak bergantung pada orang lain] Manusia KM: [makhluk yang berakal budi] Perbandingan dan Pengalihan Konsep Kerbau dan sapi yang diternak secara liar dipetakan pada kemandirian Proses interpretasi tanda dalam sesanti ini, referentanda bahasa “dilepas dan dibiarkan seperti kerbau dan sapi” telah mengalami proses interpretasi berdasarkan asosiasi, yang artinya bahwa sifataspek KM yang dimiliki tanda tersebut diasosiasikan dengan karakter “orang yang hidup bebas dan mandiri”. Terciptanya ungkapan bijak hori co’o bune sahe ra capi ‘dilepas dan dibiarkan seperti kerbau dan sapi’ sangat dipengaruhi oleh budaya dan pengalaman sehari-hari masyarakat Bima yang biasa beternak kerbau dan sapi dengan cara dilepas di padang rumput dan di hutan-hutan tanpa dimasukkan dalam kandang. Sehingga binatang-binatang tersebut mencari makanannya sendiri. Pengalaman tersebut kemudian digunakan untuk menggambarkan suatu konsep baru tentang orang yang hidup mandiri tidak tergantung pada orang lain. Pembandingan antara ranah sumber dan ranah target dalam sesanti tersebut ditunjukkan oleh hadirnya pemarkah kata bune ‘seperti’. Berdasarkan interpretasi nonmetaforis, dapat ditentukan bahwa ranah sumber, yang sifatnya konkret, dalam perumpamaan ini adalah “dilepas dan dibiarkan seperti kerbau dan sapi”. Sedangkan berdasarkan interpretasi metaforis dengan memperhatikan konteks budaya masyarakat Bima pengalaman keseharian, dapat ditentukan ranah sasaran, yang sifatnya lebih abstrak dalam sesanti ini adalah karakter “orang yang hidup mandiri”. Dalam penentuan makna metaforis sesanti ini, dibutuhkan pemerian KM ranah sumber dan juga ranah target. Adapun dalam analisis ini konteks budaya masyarakat Bima sangat berpengaruh dalam penentuan komponen makna. 15 Mapu keto sahe [m pu k t s h ] ʌ ɛ ͻ ʌ ɛ ‘lemas ekor kerbau’ ‘Lemas ekor kerbau’ Ditinjau dari segi metafora sebagai tanda bahasa, ditemukan bahwa kemunculan makna metaforis dalam sesanti nomor 15 berfokus pada kata “lemas” dan “ekor kerbau”. Berikut ini teknik interpretasi yang diterapkan. Tabel 5.7. Alur Analisis Makna Metaforis “Lemas ekor kerbau” Data 15 Ranah Sumber Ranah Sasaran Lemas ekor kerbau Lemas KM: [mudah dilentukkan] Ekor kerbau KM: [bagian tubuh binatang paling belakang] Orang yang sifatnya berubah-ubah KM: [sifat] KM: [kadang lembek kadang keras] Perbandingan dan Pengalihan Konsep Sifat ekor kerbau dipetakan pada sifat manusia Ditinjau dari segi metafora sebagai tanda bahasa, ditemukan bahwa dalam sesanti ini tanda bahasa “lemas ekor kerbau” telah melewati teknik interpretasi berdasarkan asosiasi, yang artinya bahwa KM yang dimiliki tanda bahasa tersebut, yakni, bagian tubuh kerbau paling belakang yang kadang-kadang lemas kadang- kadang keras, diasosiasikan dengan sifat seseorang yang berubah-ubah. Sesanti nomor 15 merupakan metafora yang terbentuk dari gabungan kata mapu ‘lemas’ dan keto sahe ‘ekor kerbau’. Ekor kerbau pada waktu tertentu, kalau dipegang, akan terasa lemas, tapi pada waktu tertentu dapat menjadi keras. Metafora ini terbentuk dari adanya persamaan sifat. Ekor kerbau yang bisa lembek dan bisa keras disamakan dengan sifat manusia yang bisa keras dan lunak. Orang Bima disebut mapu keto sahe jika pada awalnya memperlihatkan sikap lunak, tetapi lama-kelamaan menjadi keras. Perubahan dari sikap lunak kemudian menjadi keras mengandung makna ‘berubah-ubah’ yang kemudian berarti ‘sulit diatur’. Orang yang mempunyai sifat seperti itu sulit diraba kemauannya. Pada awalnya tampak lunak tetapi kemudian berubah lagi sehingga kita tidak tahu bagaimana memperlakukannya. Dengan demikian sesanti itu digunakan untuk menasehati orang yang suka berubah-ubah sikapnya. Perubahan sikap itu membuat orang lain sulit untuk memahami kemauannya. Berdasarkan interpretasi nonmetaforis, dapat ditentukan bahwa ranah sumber, yang sifatnya konkret, dalam perumpamaan ini adalah “lemas ekor kerbau”. Sedangkan berdasarkan interpretasi metaforis dengan memperhatikan konteks budaya masyarakat Bima pengalaman keseharian, dapat ditentukan ranah sasaran, yang sifatnya lebih abstrak dalam sesanti ini adalah sifat seseorang yang berubah-ubah. 20 Sajana sia sa copu, mbai sahe sabua [s j n si s c pu, mb i s h s bu ] ʌ ʌ ʌ ʌ ʌ ͻ ʌ ʌ ɛ ʌ ʌ ‘sayangkan garam satu jumput busuk kerbau seekor ‘Sayangkan garam sejumput, busuk kerbau seekor’ Ditinjau dari segi metafora sebagai tanda bahasa, ditemukan bahwa kemunculan makna metaforis dalam sesanti nomor 20 berfokus pada kata “garam”, “busuk” dan “kerbau”. Berikut ini teknik interpretasi yang diterapkan. Tabel 5.8. Alur Analisis Makna Metaforis “Sayangkan garam sejumput, busuk kerbau seekor” Data 20 Ranah Sumber Ranah Sasaran Sayangkan garam sejumput, busuk kerbau seekor Garam KM: [bumbu dapur yang rasanya asin] [zat untuk mengawetkan daging] Busuk KM: [rusak dan berbau tidak sedap] Kerbau KM: [binatang ternak untuk dimakan dagingnya] Karena takut rugi sedikit, akhirnya rugi banyak KM: [sesuatu yang harganya murah] KM: [merugi] KM: [sesuatu yang besar dan mahal] Perbandingan dan Pengalihan Konsep Dendeng daging kerbau yang tidak diberi garam dipetakan pada tindakan manusia Interpretasi terhadap tanda “sayangkan garam sejumput, busuk kerbau seekor” mengakibatkan munculnya KM: merasa sayang untuk memberi garam pada dendeng kerbau, akhirnya satu ekor kerbau busuk, sehingga pada akhirnya akan memiliki makna metaforis ‘tidak mau rugi sedikit, akhirnya merugi lebih besar’, sebagai akibat dari adanya relasi asosiatif dengan KM tanda “sayangkan garam sejumput, busuk kerbau seekor”. Sahe ‘kerbau’ bagi masyarakat Bima, selain dimanfaatkan untuk membantu pekerjaan di sawah, juga disembilih untuk dimakan dagingnya, terutama pada acara-acara hajatan. Terciptanya sesanti sajana sia sa copu, mbai sahe sabua ‘sayangkan garam sejumput, busuk kerbau seekor’ ini dilatar belakangi oleh pengalaman masyarakat Bima ketika ingin mengawetkan daging kerbau, yaitu dengan cara dibuat dendeng. Teknik pembuatan dendeng daging kerbau pada masyarakat Bima masih menggunakan cara-cara tradisional, yaitu dengan memberi garam saja sebelum dijemur agar tidak busuk tanpa bumbu- bumbu tambahan. Hal ini dilakukan untuk mendapatkan cita rasa dendeng kerbau yang khas sehingga bisa diolah menjadi berbagai masakan khas Bima. Apabila dalam pembuatan dendeng merasa sayang untuk memberi garam, maka dendeng daging tersebut akan membusuk. Pengalam ini kemudian digunakan untuk menggambarkan suatu konsep baru tentang orang yang takut merugi sedikit, akhirnya malah merugi lebih banyak. Berdasarkan interpretasi nonmetaforis, dapat ditentukan bahwa ranah sumber, yang sifatnya konkret, dalam sesanti ini adalah “sayangkan garam sejumput, busuk kerbau seekor”. Sedangkan berdasarkan interpretasi metaforis dengan memperhatikan konteks budaya masyarakat Bima pengalaman keseharian, dapat ditentukan ranah sasaran, yang sifatnya lebih abstrak dalam sesanti ini tidak mau rugi sedikit, akhirnya malah merugi lebih besar. 21 Bune mbe’e ade sampa [bun mbeqe de s mp ] ɛ ʌ ʌ ʌ ‘seperti kambing dalam sampan’ ‘Bagai kambing dalam sampan’ Ditinjau dari segi metafora sebagai tanda bahasa, ditemukan bahwa kemunculan makna metaforis dalam sesanti nomor 21 berfokus pada kata “kambing”, dan “sampan”. Berikut ini teknik interpretasi yang diterapkan. Tabel 5.9. Analisis komponen makna unsur metaforis tentang “Bagai kambing dalam sampan” Data 21 Ranah Sumber Ranah Sasaran Bagai kambing dalam sampan Kambing KM: [binatang ternak] [takut kena air] Sampan KM: [perahu kecil] Seorang yang dalam keadaan ketakutan dan tidak mampu menyelamatkan diri Manusia KM: [makhluk berakal budi] [berada dalam ketakutan] KM: [tempat berbahaya] [tidak bisa menyelamatkan diri] Perbandingan dan Pengalihan Konsep Sifat kambing yang berada di sampan dipetakan pada ketakutan manusia Untuk lebih jelasnya, perhatikan uraian berikut. Sesanti bune mbe’e dei sampa ‘bagai kambing dalam sampan’ digunakan sebagai sarana pemetaforaan yang menggambarkan kemiripan sifat seseorang yang berda di tempat yang berbahaya seperti mbe’e ‘kambing’ yang berada dalam sampan. Teknik interpretasi berdasarkan asosiasi diterapkan pada referen mbe’e ‘kambing’ yang memiliki aspek KM: binatang ternak yang takut dengan air, dia berada dalam sampan di tengah sungai, memiliki kemiripan dengan kondisi “seseorang yang ketakutan” yang memiliki aspek KM: orang yang sangat ketakutan, sedang dia tidak bisa menyelamatkan diri. Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya beternak mbe’e ‘kambing’ bagi masyarakat Bima hanyalah untuk mengisi waktu luang ketika tidak sibuk dengan pekerjaan di sawah. Biasanya kambing dilepas di siang hari dan dikandangkan di bawah rumah panggung pada malam hari. Binatang ini terkanal dengan binatang yang takut dengan air. Tapi menurut pengamatan peneliti ketika berada di lapangan binatang ini tidak takut dengan air, karena banyak peternak kambing yang memandikan kambing-kambing tersebut. Terciptanya sesanti nomor 21 merupakan akibat pengalaman masyarakat Bima ketika melihat ketakutan kambing yang berada dalam sampan digunakan untuk menggambarkan suatu konsep baru tentang orang yang ketakutan karena berada ditempat yang berbahaya, sedang dia tidak bisa menyelamatkan diri. Kondisi ini sebagai jalan untuk mencari gambaran konkret tentang apa yang terjadi pada benda yang dijadikan referensi dalam metafora tersebut. Pembandingan antara ranah sumber dan ranah target dalam sesanti tersebut ditunjukkan oleh hadirnya pemarkah kata bune ‘bagai’. Berdasarkan interpretasi nonmetaforis, dapat ditentukan bahwa ranah sumber, yang sifatnya konkret, dalam sesanti ini adalah “bagai kambing dalam sampan”. Sedangkan berdasarkan interpretasi metaforis dengan memperhatikan konteks budaya masyarakat Bima pengalaman keseharian, dapat ditentukan ranah sasaran, yang sifatnya lebih abstrak dalam sesanti ini adalak keadaan orang yang ketakutan, sedang dia tidak bisa menyelamatkan diri. 22 Bune ma-reke kere mbe’e [bun m -reke kere mbeqe] ɛ ʌ ‘seperti menghitung bulu kambing’ ‘Bagai menghitung bulu kambing’ Ditinjau dari segi metafora sebagai tanda bahasa, ditemukan bahwa kemunculan makna metaforis dalam sesanti nomor 20 berfokus pada seluruh kalimat tersebut. Berikut ini teknik interpretasi yang diterapkan. Tabel 5.10. Alur Analisis Makna Metaforis “Bagai menghitung bulu kambing” Data 22 Ranah Sumber Ranah Sasaran Bagai menghitung bulu kambing Menghitung KM: [mencari jumlahnya] Bulu Kambing KM: [rambut pendek yang menutupi seluruh tubuh kambing] Melakukan pekerjaan yang sangat sulit atau sia-sia KM: [melakukan aktivitas] KM: [sesuatu yang sulit] Perbandingan dan Pengalihan Konsep Aktivitas menghitung bulu kambing dipetakan pada melakukan pekerjaan yang sulit Teknik interpretasi berdasarkan asosiasi diterapkan pada tanda bahasa “bagai menghitung bulu kambing” mengakibatkan munculnya aspek KM: menghitung bulu-bulu kambing, memunculkan makna metaforis melakukan suatu pekerjaan yang sangat sulit. Makna tersebut mengacu pada tubuh kambing yang dilapisi bulu-bulu lurus dan kasar yang menyelimuti dari kepala hingga ekor, yang tentunya jumlah bulu tersebut sangatlah banyak sehingga sukar untuk dihitung, oleh karena itu penggunaan leksikon mbe’e ‘kambing’ dalam sesanti tersebut memiliki peranan sebagai perlambangansimbol pekerjaan yang sukar dikerjakan. Terciptanya sesanti bune ma-reke kere mbe’e ‘bagai menghitung bulu kambing’ tersebut berdasarkan pengalaman masyarakat Bima dengan alam lingkungannya yang kemudian digunakan untuk menggambarkan suatu konsep abstrak tentang suatu pekerjaan yang sulit untuk dikerjakan. Pembandingan antara ranah sumber dan ranah target dalam sesanti tersebut ditunjukkan oleh hadirnya pemarkah kata bune ‘seperti’. Berdasarkan interpretasi nonmetaforis, dapat ditentukan bahwa ranah sumber, yang sifatnya konkret, dalam perumpamaan ini adalah “bagai menghitung bulu kambing”. Sedangkan berdasarkan interpretasi metaforis dengan memperhatikan konteks budaya masyarakat Bima pengalaman keseharian, dapat ditentukan ranah sasaran, yang sifatnya lebih abstrak dalam sesanti ini adalah “melakukan pekerjaan yang sangat sulit dan sia-sia”.

C. Analisis Sesanti yang Menggunakan Leksikon Binatang Piaraan