interpretasi nonmetaforis, dapat ditentukan bahwa ranah sumber, yang sifatnya konkret, dalam perumpamaan ini adalah “seperti kucing dengan anjing
bertengkarnya”. Sedangkan berdasarkan interpretasi metaforis dengan memperhatikan konteks budaya masyarakat Bima pengalaman keseharian pada
saat itu, dapat ditentukan ranah sasaran, yang sifatnya lebih abstrak dalam sesanti ini adalah dua orang yang selalu bermusuhan.
Sesanti ini digunakan untuk menasehati dua orang atau kelompok yang tidak pernah bisa akur selama hayatnya. Ada atau tidaknya masalah yang
melatarbelakangi pertengkaran mereka tidak menjadi pertimbangan. Dalam benak mereka hanya ada api permusuhan. Permusuhan timbul karena tidak adanya sikap
saling menghargai dan menghormati perasaan orang lain. Sifat yang bertolak belakang membuat mereka sulit untuk rukun dan menjalin hubungan yang akrab
dan harmonis. Kalau ada orang yang melihat mereka sedang bertengkar, orang yang melihat mereka itu akan mengatakan Bune ngao labo lako mpanggana.
D. Analisis Sesanti yang Menggunakan Leksikon Binatang Unggas
Sesanti yang menggunakan leksikon binatang unggas, yang dianalisis dalam penelitian ini ada sebelas buah, yaitu sesanti nomor 9, 10, 12, 16, 17, 18,
24, 27, 29, 30, dan 31. Adapun binatang unggas dimaksud meliputi: burung, bangau, dan ayam. Berikut ini akan dipaparkan latar belakang terciptanya
sesanti-sesanti tersebut serta interpretasi makna tanda dan proses pembentukan konsep metaforanya.
1. Latar Belakang Budaya Bima yang Mempengaruhi Pembentukan Sesanti yang Menggunakan Leksikon Binatang Unggas
Jenis binatang unggas yang terdapat dalam sesanti adalah ayam, bangau, dan burung. Sejak ribuan tahun lalu ayam telah dekat dengan peradaban manusia.
Ayam menjadi santapan, penanda waktu, sarana ritual, sampai simbol populer. Kata janga ‘ayam’ merupakan kata yang sangat lekat dalam kehidupan
masyarakat Bima, oleh sebab itu sesanti bahasa Bima banyak memanfaatkan leksikon janga ‘ayam’ sebagai sumber acuannya. Janga ‘ayam’ sudah dikenal
sejak zaman kerajaan Bima. Pada saat itu, ayam merupakan salah satu jenis persembahan untuk kerajaan sebagai upeti dari masyarakat setempat.
Keharusan menyerahkan upeti menyebabkan ayam selalu diternakkan oleh warga kampung
dan menyebabkan ayam tetap terjaga kelestariannya. Di samping itu, orang Bima memiliki kepercayaan, firasat, alamat atau pertanda dari ayam ini, yaitu:
1 Bila ayam betina beradu dibawah kolong rumah, maka itu pertanda bahwa yang empunya rumah akan kedatangan tamu;
2 Bila ayam betina berkotek di waktu malam, maka itu pertanda akan ada kerabat yang akan meninggal. Karenanya harus disembelih, tidak boleh
dibiarkan bertelur karena dapat membawa sial atau celaka; 3 Bila ayam memakai jambul, maka itu pertanda ayam tersebut tidak baik
dipelihara karena bisa membawa sial; 4 Bila ayam berbulu kelabu, maka ayam tersebut juga tidak baik untuk
dipelihara karena dianggap ayam pembawa sial, dan 5 Bila ayam jantan berkokok seperti menyuarakan ‘pelihara aku’ maka ayam
tersebut baik untuk dipelihara karena dianggap pembawa rezeki.
Berkaitan dengan janga ‘ayam’ dalam masyarakat Bima ada sebuah permainan tradisional yang disebut dengan “songko janga” terdiri dua kata yaitu
songko dan janga. Arti sebenarnya dari kata songko adalah songkok ‘kopiah’. Tetapi dalam permainan ini artinya bukan songkok, melainkan “ditutup”
diselubung dengan tembe ‘sarung’. Dalam permainan ini, menggunakan sangkar ayam dalam keadaan tertutup. Di dalamnya ada seorang pelaku yang berperan
sebagai seekor ayam untuk ditebak namanya oleh pihak lawan regu lawan. Jadi Mpa’a Songko Janga sebenarnya adalah jenis permainan adu tebak nama lawan
bermain yang disimbolkan sebagai seekor ayam jantan dalam sangkar tertutup. Binatang unggas selanjutnya adalah bangau. Jenis burung yang badannya
berukuran besar, berkaki panjang, berleher panjang dan mempunyai paruh yang besar, kuat dan tebal ini sering dijumpai di daerah beriklim hangat. Di daerah
Bima bangau banyak dijumpai di areal persawahan, danau atau di laut. Makanannya berupa
katak ,
ikan ,
serangga ,
cacing ,
burung kecil dan
mamalia kecil
dari lahan basah
dan pantai. Burung bangau hidup berkelompok dan jika jumlahnya cukup dapat membentuk kawanan yang besar. Sarangnya dibangun di
atas tanah. Bergantung pada spesies, jumlah telur antara 1 butir hingga 4 butir. Masa pengeraman telur sekitar 30 hari. Anak burung yang baru menetas tidak
bisa terbang, tetapi langsung bisa berjalan mengikuti induknya mencari makanan ke sana kemari. Kesetiaan pada tempat bersarang menjadikan burung bangau
sering dijadikan simbol pembawa kebahagiaan di dalam banyak kebudayaan
dan mitologi
.
Dalam sesanti bahasa Bima juga ditemukan binatang jenis unggas nasi ‘burung’ sebagai acuannya. Binatang ini banyak jenisnya, ada yang diternak untuk
dimanfaatkan daging dan telurnya, ada yang dipelihara karena merdu suaranya, ada pula jenis burung liar, misalnya kari’i ‘burung pipit’. Kari’i ‘burung pipit’
adalah sekelompok burung kecil pemakan biji-bijian yang menyebar di wilayah tropis. Kari’i ‘burung pipit’ senang berkelompok, dan sering terlihat bergerak dan
mencari makanan dalam gerombolan yang cukup besar. Dalam kelompok dan jumlah yang banyak kari’i ‘burung pipit’ merupakan hama tanaman padi dan
musuh para petani Bima. masyarat Bima biasanya menghalau serangan burung pipit dengan orang-orangan sawah, dalam bahasa Bima disebut dengan sedahu
. Sarang burung pipit terbuat dari rumput-rumputan yang dianyam
membentuk bulatan besar serupa bola tertutup, tempat menyimpan 4-10 butir telurnya
yang berwarna keputih-putihan. Beberapa spesies juga memiliki pohon tenggeran tempat burung-burung ini melewatkan malam secara bersama-sama.
2. Interpretasi Makna Tanda dan Proses Pembentukan Konsep Metafora pada Sesanti yang Menggunakan Leksikon Binatang Unggas
16 Bune janga ma ntolu ese wawo jompa [bun ja
ɛ ŋ m nt ℓu ese w wo j mp ]
ʌ ʌ
ͻ ʌ
ͻ ʌ
‘seperti ayam yang bertelur di atas lumbung’ ‘Seperti ayam bertelur di lumbung’
Ditinjau dari segi metafora sebagai tanda bahasa, ditemukan bahwa kemunculan makna metaforis dalam sesanti nomor 16 berfokus pada kata
“ayam”, dan “lumbung”. Berikut ini teknik interpretasi yang diterapkan.
Tabel 5.12. Alur Analisis Makna Metaforis “Seperti ayam bertelur di lumbung” Data 16
Ranah Sumber Ranah Sasaran
Seperti ayam bertelur di lumbung
Ayam
KM: [binatang piaraan]
[suka makan padi]
Lumbung
KM: [tempan menyimpan hasil pertanian]
Orang yang hidup senang dan mewah
Manusia
KM: [makhluk berakal budi]
KM: [semua kebutuan tersedia]
Perbandingan dan Pengalihan Konsep
Ayam yang berada di lumbung dipetakan pada kehidupan mewah
Dalam sesanti ini, referentanda bahasa “seperti ayam bertelur di lumbung” yang memiliki KM: ayam yang bertelur di tempat yang penuh dengan
makanan kesukaannya padi, telah mengalami proses interpretasi berdasarkan asosiasi, yang artinya bahwa sifataspek KM yang dimiliki tanda tersebut
diasosiasikan dengan orang yang hidup senang dan mewah. Penggunaan leksikon janga ‘ayam’ pada sesanti nomor 16 berdasarkan
pengalaman pencipta sesanti yang melihat kebiasaan ayam yang sangat menyukai beras atau padi. Sehingga apabila seekor ayam berada di jompa ‘lumbung’, ia
akan dapat memakan padi dalam lumbung tersebut sampai puas. Mengacu pada kebiasaan tersebut janga ‘ayam’ digunakan sebagai penggambaran suatu konsep
baru tentang orang yang hidup senang dan mewah. Pembandingan antara ranah sumber dan ranah target dalam sesanti
tersebut ditunjukkan oleh hadirnya pemarkah kata bune ‘seperti’. Berdasarkan
interpretasi nonmetaforis, dapat ditentukan bahwa ranah sumber, yang sifatnya konkret, dalam perumpamaan ini adalah “seperti ayam bertelur di lumbung”.
Sedangkan berdasarkan interpretasi metaforis dengan memperhatikan konteks budaya masyarakat Bima pengalaman keseharian, dapat ditentukan ranah
sasaran, yang sifatnya lebih abstrak dalam sesanti ini adalah “orang yang hidup senang dan mewah”.
17 Bune janga di tando saninu [bun j
ɛ ʌŋ
ʌ di tʌndͻ sʌninu] ‘seperti ayam PREP-di depan cermin’
‘Seperti ayam di depan cermin’
Ditinjau dari segi metafora sebagai tanda bahasa, ditemukan bahwa kemunculan makna metaforis dalam sesanti nomor 17 berfokus pada kata
“ayam”, dan “cermin”. Berikut ini teknik interpretasi yang diterapkan. Tabel 5.13. Alur Analisis Makna Metaforis
“Seperti ayam di depan cermin” Data 17
Ranah Sumber Ranah Sasaran
Seperti ayam di depan cermin Ayam
KM: [binatang dipelihara]
Cermin
KM: [kaca yang dapat memperlihatkan
bayangan benda yang diletakkan di depannya]
Orang yang asing dengan bayangannya sendiri
KM: [manusia berakal budi]
KM: [bayangannya sendiri]
Perbandingan dan Pengalihan Konsep
Ayam yang melabrak bayangannya sendiri dipetakan pada sifat manusia
Ditinjau dari segi metafora sebagai tanda bahasa, ditemukan bahwa dalam sesanti ini tanda bahasa “seperti ayam di depan cermin” telah melewati teknik
interpretasi berdasarkan asosiasi, yang artinya bahwa KM yang dimiliki tanda bahasa tersebut diasosiasikan dengan karakter seseorang yang asing dengan
bayangannya sendiri. Leksikon janga ‘ayam’ pada sesanti nomor 17 digunakan sebagai sarana
acuan metafora yang menggambarkan kemiripan sifat seseorang yang asing dengan kebudayaan, agama, keluarga, adat-istiadat atau tradisi tempat ia
dilahirkan dan dibesarkan, sehingga ia merasa aneh bahkan melawan kebudayaan dan peradaban tersebut, yang sebenarnya adalah “bayangannya” sendiri. Dengan
demikian, orang seperti itu mirip dengan perilaku ayam yang melabrak bayangannya sendiri ketika berdiri di depan cermin atau kaca karena disangka
musuh atau bayangan dari ayam yang lain. Pembandingan antara ranah sumber dan ranah target dalam sesanti
tersebut ditunjukkan oleh hadirnya pemarkah kata bune ‘seperti’. Berdasarkan
interpretasi nonmetaforis, dapat ditentukan bahwa ranah sumber, yang sifatnya konkret, dalam perumpamaan ini adalah “seperti ayam di depan cermin”.
Sedangkan berdasarkan interpretasi metaforis dengan memperhatikan konteks budaya masyarakat Bima pengalaman keseharian, dapat ditentukan ranah
sasaran, yang sifatnya lebih abstrak dalam sesanti ini adalah karakter “orang yang asing dengan bayangannya sendiri”.
18 Ma-gogu-ra bune janga ma noto sia, coro-coro ka-male weki
[m ʌgͻgur bun j
ʌ ɛ
ʌŋ m n t si c r -c r k m ℓ ʌ
ʌ ͻ ͻ
ʌ ͻ ͻ ͻ ͻ
ʌ ʌ ɛ w ki]
ɛ ‘2:T-lesu-lah seperti ayam yang mematuk garam, pura-pura melesukan diri’
‘Sakitlah kamu seperti ayam yang memakan garam, pura-pura lemas’
Ditinjau dari segi metafora sebagai tanda bahasa, ditemukan bahwa kemunculan makna metaforis dalam sesanti nomor 18 berfokus pada kata
“ayam”, “garam” dan “lemas”. Berikut ini teknik interpretasi yang diterapkan. Tabel 5.14. Alur Analisis Makna Metaforis “Sakitlah kamu
seperti ayam yang memakan garam, pura-pura lemas” Data 18
Ranah Sumber Ranah Sasaran
Sakitlah kamu seperti ayam yang memakan garam, pura-pura lemas
Ayam
KM: [binatang piaraan]
[makan biji-bijian]
Garam
KM: [bumbu dapur yang rasanya asin]
Lemas
KM: [tidak berdaya]
Orang yang berpura-pura sakit karena kesalahan yang disengaja
diketahui orang lain
KM: [manusia berakal budi]
KM: [melakukan kesalahan dengan
sengaja]
KM: [pura-pura sakit]
Perbandingan dan Pengalihan Konsep
Ayam yang lemas karena makan garam dipetakan pada sifat manusia Ditinjau dari segi metafora sebagai tanda bahasa, ditemukan bahwa dalam
sesanti ini referentanda bahasa “sakitlah kamu seperti ayam yang memakan garam, pura-pura lemas” telah mengalami proses interpretasi berdasarkan asosiasi,
yang artinya bahwa kandungan sifat KM yang dimiliki tanda tersebut, yaitu: ayam yang lemas karena makan makanan yang asing garam seakan-akan dia
pura-pura sakit, diasosiasikan dengan karakter seseorang yang berpura-pura sakit agar terbebas dari kesalahan yang telah diperbuat.
Janga ‘ayam’ yang makan garam biasanya akan sakit layu dan layunya itu seakan-akan dibuat-buat. Kata coro-coro berarti ‘pura-pura’. Ayam yang
memakan garam sebenarnya tidak benar-benar sakit, tetapi hanya layu karena ada makanan asing yang masuk dalam tubuhnya. Tingkah laku ayam yang makan sia
‘garam’ agak aneh, yaitu coro-coro kamale weki ‘berpura-pura layu’. Dalam proses menahan rasa asin itu ayam biasanya akan diam seperti sedang menderita
gogu ‘sakit’. Kalau rasa asin itu hilang, ayam akan kembali sehat dan berlari-lari seperti biasanya.
Perilaku ayam seperti pada sesanti di atas dibandingkan dengan orang yang membuat suatu kesalahan dan kesalahan itu dilakukan dengan sengaja.
Begitu kesalahan itu diketahui orang lain, orang itu kemudian berpura-pura sakit, tidak bergairah untuk melakukan sesuatu. Kepura-puraan itu dilakukan agar orang
lain tidak memperhatikan kesalahan yang dibuatnya. Artinya, seseorang yang sedang sakit tidak akan diganggu orang lain dengan pertanyaan-pertanyaan yang
berkaitan dengan kesalahan yang pernah dibuatnya. Kalau orang lain sudah melupakan kesalahannya, orang itu akan kembali beraktivitas lagi. Perilaku
semacam itu adalah suatu cara agar kesalahannya tidak dibesar-besarkan oleh orang disekitarnya sehingga terhindarlah dia dari perasaan malu.
Pembandingan antara ranah sumber dan ranah target dalam sesanti
tersebut ditunjukkan oleh hadirnya pemarkah kata bune ‘seperti’. Berdasarkan
interpretasi nonmetaforis, dapat ditentukan bahwa ranah sumber, yang sifatnya konkret, dalam perumpamaan ini adalah “sakitlah kamu seperti ayam yang
memakan garam, pura-pura lemas”. Sedangkan berdasarkan interpretasi metaforis dengan memperhatikan konteks budaya masyarakat Bima pengalaman
keseharian, dapat ditentukan ranah sasaran, yang sifatnya lebih abstrak dalam sesanti ini adalah orang yang berpura-pura sakit agar terbebas dari kesalahan.
9 Dou musu Ruma-na bune nasi ade kuru-na [dou musu rum n
ʌ ʌ bun n si de kurun ]
ɛ ʌ
ʌ ʌ
‘manusia lawan Tuhan3:T bagaikan burung didalam sangkar3:T’ ‘Manusia melawan Tuhannya bagaikan burung di sangkar
Ditinjau dari segi metafora sebagai tanda bahasa, ditemukan bahwa kemunculan makna metaforis dalam sesanti nomor 9 berfokus pada kata
“burung”, dan “sangkar”. Berikut ini teknik interpretasi yang diterapkan.
Tabel 5.15. Alur Analisis Makna Metaforis “Manusia melawan tuhannya bagaikan burung di sangkarnya” Data 9
Ranah Sumber Ranah Sasaran
Manusia melawan tuhannya bagaikan burung di sangkarnya
Burung
KM: [binatang]
[bersayap dan berbulu]
Sangkar
KM: [terkunggkung]
Sehebat dan sekuat apapun manusia tidak akan bisa melawan kekuasaan
Tuhan Manusia
KM: [hamba]
[tunduk pada kuasa Tuhan]
Tuhan
KM: [pencipta manusia]
[tidak bisa keluar] [mempunyai kekuasaaan terhadap
manusia]
Perbandingan dan Pengalihan Konsep
Burung dalam sangkar dipetakan pada sifat manusia
Interpretasi terhadap tanda “manusia melawan tuhannya bagaikan burung di sangkarnya” mengakibatkan munculnya KM: sekuat apapun seekor burung
tidak akan bisa keluar dari sangkarnya, sehingga pada akhirnya akan memiliki makna metaforis ‘sehebat dan sekuat apapun manusia tidak akan bisa melawan
kekuasaan Tuhannya. Sesanti nomor 9 ini menggunakan perbandingan dou musu Ruma-na
‘manusia melawan Tuhannya’ yang kemudian diambil acuan pemetaforaannya seperti nasi ade kuru ‘burung dalam sangkar’. Ungkapan ini mengiaskan manusia
mirip dengan burung, sementara kekuasaan Tuhan mirip seperti sangkar. Bagaimanapun kuat dan hebatnya manusia, ia tidak akan pernah bisa melawan
kekuasaan Tuhan, sebagaimana layaknya seekor burung yang berada dalam sangkar. Jadi, sesanti ini memberikan perumpamaan tentang sesungguhnya hidup
manusia itu berada dalam genggaman atau kekuasaan Tuhan. Pembandingan antara ranah sumber dan ranah target dalam sesanti
tersebut ditunjukkan oleh hadirnya pemarkah kata bune ‘bagaikan’. Berdasarkan
interpretasi nonmetaforis, dapat ditentukan bahwa ranah sumber, yang sifatnya konkret, dalam perumpamaan ini adalah “manusia melawan Tuhannya bagaikan
burung di sangkarnya”. Sedangkan berdasarkan interpretasi metaforis dengan
memperhatikan konteks budaya masyarakat Bima pengalaman keseharian, dapat ditentukan ranah sasaran, yang sifatnya lebih abstrak dalam sesanti ini adalah
karakter “sehebat dan sekuat apapun manusia tidak akan bisa melawan kekuasaan tuhan”.
Dalam penentuan makna metaforis pada sesanti ini, dibutuhkan pemerian KM ranah sumber dan juga ranah target. Adapun dalam analisis ini konteks
budaya masyarakat Bima sangat berpengaruh dalam penentuan komponen makna.
10 Sa-ese-ese kaina ngemo bango, cumpu kaina mbali jampa [s -ese-ese k in
ʌ ʌ ʌ ŋ mo b
ɛ ʌŋ , cumpu
ͻ k in mb ℓi j mp
ʌ ʌ ʌ
ʌ ʌ
‘setinggi-tinggi terbang bangau, berakhir bercampur kembali mundur di ndano
di nd n ] ʌ ͻ
PREP-di danau’ ‘Setinggi-tinggi bangau terbang akhirnya ke danau juga’
Ditinjau dari segi metafora sebagai tanda bahasa, ditemukan bahwa kemunculan makna metaforis dalam sesanti nomor 10 berfokus pada kata
“bangau”, “terbang” dan “danau”. Berikut ini teknik interpretasi yang diterapkan.
Tabel 5.16. Alur Analisis Makna Metaforis “Setinggi-tinggi bangau terbang akhirnya ke danau juga” Data 10
Ranah Sumber Ranah Sasaran
Setinggi-tinggi bangau terbang akhirnya ke danau juga
Bangau
KM: [unggas paruh panjang]
[hidup di tempat berair]
Terbang
KM: [melayang di udara]
Sejauh manapun orang merantau akhirnya akan kembali
Manusia
KM: [makhluk berakal budi]
KM: [merantau]
Danau
KM: [genangan air yang luas]
KM: [kampung halaman]
Perbandingan dan Pengalihan Konsep
Tindakan bangau dipetakan pada pola rantau masyarakat Bima
Proses interpretasi tanda dalam sesanti ini, referentanda bahasa “setinggi- tinggi bangau terbang akhirnya ke danau juga” telah mengalami proses
interpretasi berdasarkan asosiasi, yang artinya bahwa sifataspek KM yang dimiliki tanda tersebut diasosiasikan dengan “sejauh manapun orang merantau
akhirnya akan kembali”. Kata bango ‘bangau’ dalam sesanti ini adalah metafora yang
menggambarkan manusia yang pergi jauh merantau. Satwa burung bangau yang banyak terdapat di daerah Bima telah menjadi inspirasi dan pelajaran berharga
bagi masyarakat Bima. Burung yang juga termasuk burung imigran tersebut selalu terbang jauh setiap pergantian musim dari belahan bumi utara ke selatan atau
sebaliknya, namun ndano ‘danau’ selalu menjadi tempat tujuan. Selain di danau dan laut, bangau juga banyak ditemui di areal persawahan daerah Bima. Burung
bangau sudah menjadi simbol bagi pola rantau masyarakat Bima. Ini membuktikan betapa pola hidup masyarakat Bima sangat menyatu dengan alam.
Ungkapan sa-ese-ese kaina ngemo bango, cumpu kaina mbali jampa di ndano
‘setinggi-tinggi bangau terbang akhirnya ke danau juga’ benar-benar diaplikasikan masyarakat Bima dengan konsep merantau bukan pindah kampung halaman.
Menurut informan, pola rantau orang Bima adalah temporer sementara, mereka
pergi merantau karena misi tertentu, yakni untuk penempaan jiwa, pencerdasan diri, pendidikan, kedinasan, dan mengadu nasib. Namun seiring perkembangan
zaman, sekarang banyak juga orang Bima yang menetap di daerah rantau sampai akhir hayatnya.
Berdasarkan interpretasi nonmetaforis, dapat ditentukan bahwa ranah sumber, yang sifatnya konkret, dalam sesanti ini adalah “setinggi-tinggi bangau
terbang akhirnya ke danau juga”. Sedangkan berdasarkan interpretasi metaforis dengan memperhatikan konteks budaya masyarakat Bima pengalaman
keseharian, dapat ditentukan ranah sasaran, yang sifatnya lebih abstrak dalam sesanti ini adalah “sejauh manapun orang merantau akhirnya akan kembali”.
Dalam penentuan makna metaforis sesanti ini, dibutuhkan pemerian KM ranah sumber dan juga ranah target. Adapun dalam analisis ini konteks budaya
masyarakat Bima sangat berpengaruh dalam penentuan komponen makna.
12 Bango made ba karefa [b
ʌŋ m d ͻ
ʌ ɛ b k r f ] ʌ ʌ ɛ ʌ
‘bangau mati oleh katak’ ‘Bangau mati oleh katak’
Ditinjau dari segi metafora sebagai tanda bahasa, ditemukan bahwa kemunculan makna metaforis dalam sesanti nomor 12 berfokus pada kata
“bangau”, dan “katak”. Berikut ini teknik interpretasi yang diterapkan. Tabel 5.17. Alur Analisis Makna Metaforis
“Bangau mati oleh katak” Data 12
Ranah Sumber Ranah Sasaran
Bangau mati oleh katak Sesuatu yang disukai bisa
Bangau
KM: [unggas paruh panjang]
[hidup di tempat berair]
Katak
KM: [makanan bangau]
mendatangkan petaka karena keserakahan
KM: [keserakahan]
KM: [sesuatu yang disukai]
Perbandingan dan Pengalihan Konsep
Bangau yang mati karena katak dipetakan pada sifat manusia
Interpretasi terhadap tanda “bangau mati oleh katak” mengakibatkan munculnya KM: bangau mati karena menelan beberapa ekor katak sekaligus,
sehingga pada akhirnya akan memiliki makna metaforis “sesuatu yang disukai kadang-kadang mendatangkan petaka pada diri sendiri karena keserakahan”.
Untuk memaknai metafora pada sesanti nomor 12 di atas mungkin agak sulit diterima akal mengenai katak bisa membunuh bangau, karena yang kita tahu
bahwa katak itu adalah salah satu makanan favorit burung bangau. Akan tetapi, berangkat dari ketidaklogisan itulah makna metaforis dari ungkapan tersebut bisa
ditemukan. Artinya, menjadi sangat mungkin bangau mati ketika ia memakan atau menelan beberapa ekor katak sekaligus sehingga membuat tenggorokannya
tersumbat dan akhirnya berakibat pada kematian. Semua itu bisa terjadi gara-gara sifat serakah burung bangau itu sendiri.
Timbulnya sesanti bango made ba karefa ‘bangau mati oleh katak’ akibat pengalaman pencipta sesanti melihat bango ‘bangau’ yang mati karena
tenggorokannya tersumbat oleh karefa ‘katak’. Pengalaman ini kemudian digunakan untuk menggambarkan suatu konsep baru tentang sesuatu yang disukai
kadang-kadang bisa membahayakan diri sendiri. Kondisi ini sebagai jalan untuk mencari gambaran konkret tentang apa yang terjadi pada benda yang dijadikan
referensi dalam metafora. Berdasarkan interpretasi nonmetaforis, dapat ditentukan bahwa ranah
sumber, yang sifatnya konkret, dalam sesanti ini adalah “bangau mati oleh katak”. Sedangkan berdasarkan interpretasi metaforis dengan memperhatikan
konteks budaya masyarakat Bima pengalaman keseharian, dapat ditentukan ranah sasaran, yang sifatnya lebih abstrak dalam sesanti ini adalah “sesuatu yang
disukai kadang-kadang membahayakan dirinya sendiri”.
24 Pehe pada janga ade dolu [pehe p
ʌd j ʌ ʌŋ de d ℓu]
ʌ ʌ ͻ
‘menerka ayam dalam telur’ ‘menerka ayam di dalam telur’
Ditinjau dari segi metafora sebagai tanda bahasa, ditemukan bahwa kemunculan makna metaforis dalam sesanti nomor 24 berfokus pada kata “ayam
di dalam telur”. Berikut ini teknik interpretasi yang diterapkan.
Tabel 5.18. Alur Analisis Makna Metaforis “Menerka ayam di dalam telur” Data 24
Ranah Sumber Ranah Sasaran
Menerka ayam di dalam telur Memastikan sesuatu yang mustahil
ditentukan
Ayam dalam telur
KM: [ayam belum menetas]
KM: [sesuatu yang tidak tampak]
Perbandingan dan Pengalihan Konsep
Ayam dalam telur dipetakan pada sesuatu yang tidak tampak
Teknik interpretasi berdasarkan asosiasi diterapkan pada tanada bahasa “menerka ayam di dalam telur” mengakibatkan munculnya aspek KM: menduga
ayam yang masih berada dalam telur, mengakibatkan munculnya makna metaforis ‘memastikan sesuatu yang mustahil ditentukan karena tidak bisa dilihat’.
Ana janga ‘anak ayam’ yang masih berada dalam dolu ‘telur’ mustahil bisa diketahui sebelumnya, apakah setelah menetas nanti akan menjadi ayam betina
atau jantan, bulunya berwarna hitam atau putih. Pada saat sekarang, hal tersebut sangat mungkin dilakukan dengan peralatan canggih, akan tetapi pada waktu
diciptakannya sesanti, hal itu mustahil dilakukan. Untuk mengetahui apakah telur ayam berkualitas baik atau buruk, masyarakat Bima biasanya meneropongnya
dengan menggunakan kertas tebal yang digulung. Pengalaman pencipta sesanti yang melihat keadaan ayam dalam telur inilah kemudian menggunakannya untuk
menggambarkan suatu konsep abstrak tentang “memastikan sesuatu yang mustahil bisa ditentukan”.
Berdasarkan interpretasi nonmetaforis, dapat ditentukan bahwa ranah sumber, yang sifatnya konkret, dalam sesanti ini adalah “menerka ayam di dalam
telur”. Sedangkan berdasarkan interpretasi metaforis dengan memperhatikan konteks budaya masyarakat Bima pengalaman keseharian, dapat ditentukan
ranah sasaran, yang sifatnya lebih abstrak dalam sesanti ini adalah karakter “memastikan sesuatu yang mustahil ditentukan”.
27 Bune ana janga ma-mada ina-na [bun n j
ɛ ʌ ʌ ʌŋ m -m d in -n ]
ʌ ʌ ʌ ʌ ʌ ʌ
‘seperti anak ayam mati induk-3:T’ ‘Seperti anak ayam kehilangan induk’
Ditinjau dari segi metafora sebagai tanda bahasa, ditemukan bahwa kemunculan makna metaforis dalam sesanti nomor 27 berfokus pada kata “anak
ayam”, dan “induk”. Berikut ini teknik interpretasi yang diterapkan.
Tabel 5.19. Alur Analisis Makna Metaforis “Seperti anak ayam kehilangan induk” Data 27
Ranah Sumber Ranah Sasaran
Seperti anak ayam kehilangan induk
Anak ayam
KM: [keturunan ayam]
Induk KM:
[ibu] Terpecah belah karena kehilangan
tumpuan harapan atau pemimpin
KM: [suatu kelompok yang kebingungan
dan terpecah belah] KM:
[pemimpin]
Perbandingan dan Pengalihan Konsep
Anak ayam yang kehilangan induk dipetakan pada sifat suatu kelompok Proses interpretasi tanda dalam sesanti ini, referentanda bahasa “seperti
anak ayam kehilangan induk” telah mengalami proses interpretasi berdasarkan asosiasi, yang artinya bahwa sifataspek KM yang dimiliki tanda tersebut
diasosiasikan dengan “suatu keadaan yang terpecah belah karena kehilangan tumpuan harapan atau pemimpin”.
Terciptanya ungkapan bijak bune ana janga ma-mada ina-na ‘seperti anak ayam kehilangan induk’ sangat dipengaruhi oleh budaya dan pengalaman sehari-
hari masyarakat Bima yang biasa memelihara ayam. Mereka hafal betul dengan tingkah polah ayam, misalnya ana janga ‘anak ayam’ yang kehilangan induknya
akan bertetiak-teriak kebingungan. Pengalaman ini, kemudian digunakan untuk menggambarkan suatu konsep abstrak tentang situasi di mana sebuah kelompok
kehilangan pemimpinnya sehingga bingung dan tidak tahu harus melakukan apa. Pembandingan antara ranah sumber dan ranah target dalam sesanti
tersebut ditunjukkan oleh hadirnya pemarkah kata bune ‘seperti’. Berdasarkan
interpretasi nonmetaforis, dapat ditentukan bahwa ranah sumber, yang sifatnya konkret, dalam perumpamaan ini adalah “seperti anak ayam kehilangan induk”.
Sedangkan berdasarkan interpretasi metaforis dengan memperhatikan konteks budaya masyarakat Bima pengalaman keseharian, dapat ditentukan ranah
sasaran, yang sifatnya lebih abstrak dalam sesanti ini adalah suatu keadaan yang “terpecah belah karena kehilangan tumpuan harapan atau pemimpin”.
29 Sabua kuru dua mbua nasi [s bu kuru du mbu n si]
ʌ ʌ ʌ
ʌ ʌ ‘satu sangkar dua ekor burung’
‘Satu sangkar dua burung’ Ditinjau dari segi metafora sebagai tanda bahasa, ditemukan bahwa
kemunculan makna metaforis dalam sesanti nomor 29 berfokus pada kata “satu sangkar”, dan “dua burung”. Berikut ini teknik interpretasi yang diterapkan.
Tabel 5.20. Alur Analisis Makna Metaforis “Satu sangkar dua burung” Data 29
Ranah Sumber Ranah Sasaran
Satu sangkar dua burung
Satu sangkar
KM: [satu tempat untuk mengurung burung]
Dua burung
KM: [dua binatang bersayap]
[bisa terbang]
Dua orang perempuan sama-sama menghendaki seorang lelaki
KM: [seorang laki-laki]
KM: [dua orang wanita]
Perbandingan dan Pengalihan Konsep
Dua burung dalam sangkar dipetakan pada dua orang perempuan yang menghendaki sati laki-laki
Proses interpretasi terhadap tanda “satu sangkar dua burung” mengakibatkan munculnya KM: satu kurungan dihuni oleh dua burung, sehingga
pada akhirnya akan memiliki makna metaforis dua orang perempuan yang sama- sama menghendaki seorang laki-laki, sebagai akibat dari adanya relasi asosiatif
dengan KM “satu sangkar dua burung”. Pengalaman orang Bima dengan alam lingkungannya menjadi sumber
untuk memahami ide atau hal-hal yang abstrak atau yang bersifat kontekstual. Timbulnya sesanti sabua kuru dua mbua nasi ‘satu sangkar dua burung’
merupakan akibat pengalaman pencipta sesanti melihat nasi ‘burung’ yang berada dalam satu sangkar. Pengalaman ini kemudian digunakan untuk menggambarkan
suatu konsep abstrak tentang dua orang perempuan yang sama-sama menghendaki
seorang laki-laki. Kondisi ini sebagai jalan untuk mencari gambaran konkret tentang apa yang terjadi pada benda yang dijadikan referansi dalam metafora
tersebut. Berdasarkan interpretasi nonmetaforis, dapat ditentukan bahwa ranah
sumber, yang sifatnya konkret, dalam sesanti ini adalah “satu sangkar dua burung”. Sedangkan berdasarkan interpretasi metaforis dengan memperhatikan
konteks budaya masyarakat Bima pengalaman keseharian, dapat ditentukan ranah sasaran, yang sifatnya lebih abstrak dalam sesanti ini adalah “dua orang
perempuan yang sama-sama menghendaki seorang laki-laki”.
30 Bune janga ma-tio nggalu [bun j
ɛ ʌŋ m -ti
ʌ ʌ ͻ
ŋg ℓu] ʌ
‘seperti ayam melihat musang] ‘Seperti ayam melihat musang’
Ditinjau dari segi metafora sebagai tanda bahasa, ditemukan bahwa kemunculan makna metaforis dalam sesanti nomor 30 berfokus pada kata
“ayam”, dan “musang”. Berikut ini teknik interpretasi yang diterapkan.
Tabel 5.21. Alur Analisis Makna Metaforis “Seperti ayam melihat musang” Data 30
Ranah Sumber Ranah Sasaran
Seperti ayam melihat musang Orang yang ketakutan dan
kehilangan akal
Ayam
KM: [binatang jenis unggas biasa dipelihara]
Musang
KM: [binatang mirip kucing]
[suka makan ayam] KM:
[manusia] [punya rasa takut]
KM: [musuh]
[pemangsa yang buas]
Perbandingan dan Pengalihan Konsep
Perilaku ayam yang bertemu musang dipetakan pada sifat manusia
Interpretasi terhadap tanda “seperti ayam melihat musang” mengakibatkan munculnya KM: ayam yang ketakutan karena melihat musang, yaitu binatang
yang biasa memakan ayam. Selanjutnya KM tersebut memiliki makna metaforis orang yang sangat ketakutan dan kehilangan akal.
Dalam sesanti nomor 30 ini menggunakan leksikon binatang janga ‘ayam’ dan nggalu ‘musang’. Nggalu ‘musang’ adalah hewan yang suka
memangsa ayam, oleh karena itu, apabila seekor ayam bertemu dengan musang pasti akan ketakutan dan lari tunggang langgang. Pengalaman pencipta sesanti
yang melihat tingkah laku ayam inilah kemudian digunakan untuk menggambarkan suatu konsep baru tentang kondisi seseorang yang sangat
ketakutan dan kehilangan akal. Pembandingan antara ranah sumber dan ranah target dalam sesanti
tersebut ditunjukkan oleh hadirnya pemarkah kata bune ‘seperti’. Berdasarkan
interpretasi nonmetaforis, dapat ditentukan bahwa ranah sumber, yang sifatnya konkret, dalam perumpamaan ini adalah “seperti ayam melihat musang”.
Sedangkan berdasarkan interpretasi metaforis dengan memperhatikan konteks budaya masyarakat Bima pengalaman keseharian, dapat ditentukan ranah
sasaran, yang sifatnya lebih abstrak dalam sesanti ini adalah keadaan “seseorang yang ketakutan dan kehilangan akal ”.
31 Kone kari’i ra kanggia ka wara mena uma-na [k n k riqi r k
ͻ ɛ ʌ ʌ
ʌŋgi k w r m n um n ] ʌ
ʌ ʌ ʌ ɛ ʌ ʌ ʌ
‘kendati burung pipit dan semut saja ada semua rumah-3:T’ ‘Burung pipit dan semut saja memiliki rumah’
Ditinjau dari segi metafora sebagai tanda bahasa, ditemukan bahwa kemunculan makna metaforis dalam sesanti nomor 31 berfokus pada kata
“burung pipit”, “semut” dan “rumah”. Berikut ini teknik interpretasi yang diterapkan.
Tabel 5.22. Alur Analisis Makna Metaforis “Burung pipit dan semut saja memiliki rumah” Data 31
Ranah Sumber Ranah Sasaran
Burung pipit dan semut saja memiliki rumah
Burung Pipit
KM: [burung kecil]
Semut
KM: [serangga kecil]
Rumah
KM: [tempat tinggal]
Binatang yang kecil dan lemah saja mempunyai tempat tinggal
KM: [binatang kecil dan lemah]
KM: [binatang kecil dan lemah]
KM: [tempat tinggal]
Perbandingan dan Pengalihan Konsep
Semangat kerja burung pipit dan semut dipetakan pada sifat manusia
Proses interpretasi terhadap tanda “burung pipit dan semut saja memiliki rumah” mengakibatkan munculnya KM: burung pipit dan semut mempunyai
tempat tinggal, sehingga pada akhirnya akan memiliki makna metaforis dua binatang kecil dan lemah saja bisa mempunyai tempat tinggal, sebagai akibat dari
adanya relasi asosiatif dengan KM “burung pipit dan semut saja memiliki rumah”. Ungkapan metaforis kone kari’i ra kanggia ka wara mena uma-na
‘burung dan semut saja memiliki rumah’ ini digunakan untuk menyindir seseorang yang malas bekerja agar mau berusaha. Jangan sampai kalah dengan kedua
binatang kecil dan lemah, yaitu kari’i ‘burung’ dan kanggia ‘semut’. Kari’i ‘burung’ dan kanggia ‘semut’ adalah simbol sesuatu yang kecil dan binatang yang
tidak berakal, tapi berurusaha membuat rumah sebagai tempat berlindung keluarganya. Yang harus diteladani dari kehidupan semut adalah kerukunan,
gotong royong, semangat kerja, dan kerjasama antara satu dengan yang lainnya. Dalam tradisi Bima, penyediaan rumah menjadi tanggung jawab suami.
Rumah juga merupakan mahar bagi perempuan, dan akan menjadi hak milik istri. Selama menjadi suami-istri, rumah ditempati bersama, dan jika terjadi perceraian,
rumah ini tetap menjadi milik istri. Bagi orang yang memulai hidup baru, usaha pertama yang harus diperjuangkan adalah memiliki rumah sebagai tempat
memulai dan merencanakan semua kegiatan yang mendukung kelangsungan hidupnya.
Berdasarkan pada pengalaman di atas, masyarakat Bima menciptakan
sesanti dengan menggunakan leksikon kari’i ‘burung’ dan kanggia ‘semut’ sebagai acuannya untuk menggambarkan suatu konsep baru tentang dua binatang
kecil dan lemah saja bisa mempunyai tempat tinggal. Kondisi ini sebagai jalan untuk mencari gambaran konkret tentang apa yang terjadi pada benda yang
dijadikan referansi dalam metafora tersebut. Berdasarkan interpretasi nonmetaforis, dapat ditentukan bahwa ranah
sumber, yang sifatnya konkret, dalam sesanti ini adalah “burung pipit dan semut saja memiliki rumah”. Sedangkan berdasarkan interpretasi metaforis dengan
memperhatikan konteks budaya masyarakat Bima pengalaman keseharian, dapat ditentukan ranah sasaran, yang sifatnya lebih abstrak dalam sesanti ini adalah
“binatang yang kecil dan lemah saja bisa mempunyai tempat tinggal”.
E. Analisis Sesanti yang Menggunakan Leksikon Binatang Jenis Ikan