Analisis Sesanti yang Menggunakan Leksikon Binatang Reptilia

Pembandingan antara ranah sumber dan ranah target dalam sesanti tersebut ditunjukkan oleh hadirnya pemarkah kata bune ‘seperti’. Berdasarkan interpretasi nonmetaforis, dapat ditentukan bahwa ranah sumber, yang sifatnya konkret, dalam perumpamaan ini adalah “seperti belut pulang ke lumpur ”. Sedangkan berdasarkan interpretasi metaforis dengan memperhatikan konteks budaya masyarakat Bima pengalaman keseharian, dapat ditentukan ranah sasaran, yang sifatnya lebih abstrak dalam sesanti ini adalah “seorang perantau yang kembali ke kampung halamannya dan tidak merantau lagi”.

F. Analisis Sesanti yang Menggunakan Leksikon Binatang Reptilia

Sesanti yang menggunakan leksikon binatang reptilia yang dianalisis dalam penelitian ini ada tiga buah, yaitu sesanti nomor 14, 23, dan 25. Adapun binatang reptilia dimaksud adalah ular dan pecet. Berikut ini akan dipaparkan latar belakang budaya yang mempengaruhi terciptanya sesanti-sesanti tersebut serta interpretasi makna tanda dan proses pembentukan konsep metaforanya. 1. Latar Belakang Budaya Bima yang Mempengaruhi Pembentukan Sesanti yang Menggunakan Leksikon Binatang Reptilia Dalam kajian ini, leksikon binatang reptilia yang digunakan dalam sesanti bahasa Bima adalah sawa ‘ular’ dan linta ‘pacet’. Kedua jenis binatang ini banyak ditemui di daerah Bima. Berbeda dengan lintah yang sehari-hari hidup di air, seperti di tambak-tambak ikan, sawah, danau, dan sungai. Sedangkan pacet binatang yang tergabung dalam filum Annelida subkelas Hirudinea ini sehari-harinya melekat pada daun atau batang pohon di luar air. Sawa ‘ular’ merupakan salah satu reptil yang paling sukses berkembang di dunia. Di gunung , hutan , gurun , dataran rendah , lahan pertanian, lingkungan pemukiman , sampai ke lautan , dapat ditemukan ular. Adanya Hadits yang meganjurkan untuk membunuh ‘ular hitam yang masukberada di dalam rumah’, bagaimanapun juga turut berpengaruh dan menjadikan kebanyakan orang Bima merasa benci dan takut kepada ular. Meskipun sesungguhnya ketakutan itu kurang beralasan, atau lebih disebabkan oleh kurangnya pengetahuan tentang sifat-sifat dan bahaya yang mungkin ditimbulkan oleh ular, karena ular ada yang ber bisa memiliki racun, namun banyak pula yang tidak, bahkan ular dapat membantu manusia untuk mengontrol populasi tikus di sawah dan kebun. Di wilayah Kabupaten Bima bagian timur, ada sebuah pulau kecil tepatnya di Kecamatan Wera desa Pai. Pulau ini disebut pulau Ular, karena pulau ini hanya dihuni oleh sekelompok ular-ular jinak yang tidak mengganggu penduduk. Yang menarik sebenarnya bukan karena banyaknya ular atau tidak adanya manusia yang mau tinggal di pulau yang kirakira seluas 500 m2 ini, tetapi lebih karena ular-ular ini berbeda dengan umumnya ular yang ada di Daerah Bima. Ular-ular ini jinak mencari makanan di dalam laut dan beristirahat di atas pulau di antara celah-celah bebatuan atau bergelantungan pada tebing-tebing terjal. Dalam legenda, pulau Ular merupakan jelmaan dari kapal Portugis yang terdampar di perairan Wera. Ular-ular tersebut adalah jelmaan para penumpang dan ABK Kapal. Sedangkan dua pohon Kamboja yang tumbuh di kedua sisi pulau itu merupakan jelmaan dari tiang-tiang kapal portugis. Gambar 5.27. Pulau Ular Gambar 5.28. Ular-Ular yang Jinak di Pulau Ular Deskripsi di atas, menggambarkan sawa ‘ular’ dan linta ‘pacet’ adalah binatang yang sangat dekat dengan kehidupan masyarakat Bima. Karena itu, kedua binatang tersebut turut berpengaruh dalam penciptaan sesanti bahasa Bima. 2. Interpretasi Makna Tanda dan Proses Pembentukan Konsep Metafora pada Sesanti yang Menggunakan Leksikon Binatang Reptilia 14 Mu-nduku-si sawa aina dimbalakai dana, aina [mundukusi s w in ʌ ʌ ʌ ʌ dimb ℓ k i d n , in ʌ ʌ ʌ ʌ ʌ ʌ ʌ ‘kalau memukul ular jangan sampai bergaris tanah, jangan dimpokakai wobo, pala sawa na made. dimp k k i wobo, p l ͻ ʌ ʌ ʌ ʌ s w n m d ] ʌ ʌ ʌ ʌ ɛ sampai dipatahkan cambuk, tetapi ular yang mati’ ‘Kalau memukul ular jangan sampai berbekas pada tanah, jangan mematahkan cambuk, tetapi ularnya yang akan mati’ Ditinjau dari segi metafora sebagai tanda bahasa, ditemukan bahwa kemunculan makna metaforis dalam sesanti nomor 14 berfokus pada kata “ular”, “tanah”, “mematahkan”, dan “cambuk”. Berikut ini teknik interpretasi yang diterapkan. Tabel 5.29. Alur Analisis Makna Metaforis “Kalau memukul ular jangan sampai berbekas pada tanah, jangan mematahkan cambuk, tetapi ularnya yang akan mati” Data 14 Ranah Sumber Ranah Sasaran Kalau memukul ular jangan sampai berbekas pada tanah, jangan mematahkan cambuk, tetapi ularnya yang akan mati Ular KM: [binatang melata] [tubuhnya agak bulat memanjang] Tanah KM: [permukaan bumi] Mematahkan KM: [memutuskan] Cambuk KM: [alat untuk melecut binatang] Kehatia-hatian dalam menegakkan hukum, jangan korbankan orang yang diadili ataupun hukum KM: [orang yang bersalah] KM: [tempat manusia tinggal] KM: [mencederai] [mengorbankan] KM: [hukum] Perbandingan dan Pengalihan Konsep Aktivitas memukul ular dipetakan pada kehati-hatian dalam hukum Interpretasi terhadap tanda “kalau memukul ular jangan sampai berbekas pada tanah, jangan mematahkan cambuk, tetapi ularnya yang akan mati” mengakibatkan munculnya KM: kalau memukul ular, ularnya yang dipukul sampai mati, jangan sampai mengenai tanah dan cambuknya patah, hingga pada akhirnya akan memiliki makna metaforis seorang hakim atau pemimmpin harus berhati-hati dalam menegakkan hukum, jangan mengorbankan orang yang diadili ataupun hukum itu sendiri; sebagai akibat dari adanya relasi asosiatif dengan KM tanda “Kalau memukul ular jangan sampai berbekas pada tanah, jangan mematahkan cambuk, tetapi ularnya yang akan mati” Ungkapan ini diawali dengan kata mundukusi ‘kalau memukul’. Memukul dalam konteks ini adalah menggunakan cambuk. Kalau cambuk dipukulkan pada ular, jangan sampai mengenai tanah dan jangan sampai cambuk yang patah. Artinya, hanya ular yang kena pukul, sedangkan tanah dan cambuk harus tetap utuh. Jika tidak hati-hati akibatnya bisa tidak menguntungkan, jika cambuk mengenai tanah dan patah, ular tidak mati dan terlepas dari kejaran. Ular adalah metafora orang yang bersalah, cambuk adalah metafora hukum, dan tanah adalah wadah tempat manusia tinggal. Sesanti ini ditujukan pada penegak hukum agar berhati-hati dalam menegakkan hukum. Penegakan hukum yang baik adalah yang menjaga hak-hak pihak yang bermasalah dan hukum itu sendiri. Jangan sampai salah satu dari keduanya dikorbankan untuk kepentingan tertentu. Pengalaman orang Bima dengan alam lingkungannya menjadi sumber untuk memahami ide atau hal-hal yang abstrak atau yang bersifat kontekstual. Timbulnya sesanti Mu-nduku-si sawa aina dimbalakai dana, aina dimpokakai wobo, pala sawa na made merupakan akibat pengalaman pencipta sesanti melihat orang yang memukul ular. Pengalaman ini kemudian digunakan untuk menggambarkan suatu konsep abstrak tentang seorang hakim atau pemimpin harus berhati-hati dalam menyelesaikan perkara. Kondisi ini sebagai jalan untuk mencari gambaran konkret tentang apa yang terjadi pada sesuatu yang dijadikan referansi dalam metafora tersebut. Berdasarkan interpretasi nonmetaforis, dapat ditentukan bahwa ranah sumber, yang sifatnya konkret, dalam sesanti 14 adalah “Kalau memukul ular jangan sampai berbekas pada tanah, jangan mematahkan cambuk, tetapi ularnya yang akan mati”. Sedangkan berdasarkan interpretasi metaforis dengan memperhatikan konteks budaya masyarakat Bima pengalaman keseharian, dapat ditentukan ranah sasaran, yang sifatnya lebih abstrak dalam sesanti ini adalah “tegakkanlah hukum dengan seadil-adilnya, jangan korbankan orang yang diadili ataupun hukum itu sendiri”. 23 Linta ma-ne’e ndadi sawa [ℓint m -neqe nd di s w ] ʌ ʌ ʌ ʌ ʌ ‘lintah ingin jadi ular’ ‘Pacet hendak menjadi ular’ Ditinjau dari segi metafora sebagai tanda bahasa, ditemukan bahwa kemunculan makna metaforis dalam sesanti nomor 23 berfokus pada kata “pacet”, dan “ular”. Berikut ini teknik interpretasi yang diterapkan. Tabel 5.30. Alur Analisis Makna Metaforis “Pacet hendak menjadi ular” Data 23 Ranah Sumber Ranah Sasaran Pacet hendak menjadi ular Pacet KM: [binatang pengisap darah] [badan langsing mengecil ke depan] Ular KM: [binatang melata] [tubuhnya agak bulat memanjang, jauh lebih besar dari pada pacet] Orang miskin berlagak seperti orang kaya KM: [orang miskin] KM: [orang kaya] Perbandingan dan Pengalihan Konsep Pacet dipetakan pada orang miskin dan ular dipetakan pada orang kaya Proses interpretasi terhadap tanda “pacet hendak menjadi ular” mengakibatkan munculnya KM: pacet binatang kecil ingin menjadi ular yang jauh lebih besar, sehingga pada akhirnya akan memiliki makna metaforis ‘orang miskin yang berlagak seperti orang kaya’. Ungkapan linta ma-ne’e ndadi sawa ‘pacet hendak menjadi ular’ ini digunakan untuk menggambarkan seseorang yang miskin tapi berlagak seperti orang kaya. Linta ‘pacet’ adalah binatang kecil pengisap darah yang biasa bergaya ketika berjalan, kadang berjalan seperti ulat jengkol dan kadang bisa memipihkan tubuhnya sampai sekecil benang. Gaya pacet berjalan inilah yang digunakan masyarakat Bima untuk menggambarkan suatu konsep abstrak tentang orang miskin yang berlagak seperti layaknya orang kaya. Berdasarkan interpretasi nonmetaforis, dapat ditentukan bahwa ranah sumber, yang sifatnya konkret, dalam perumpamaan ini adalah “pacet hendak menjadi ular”. Sedangkan berdasarkan interpretasi metaforis dengan memperhatikan konteks budaya masyarakat Bima pengalaman keseharian, dapat ditentukan ranah sasaran, yang sifatnya lebih abstrak dalam sesanti ini adalah karakter “orang miskin yang berlagak seperti orang kaya”. 25 Aina ma-sapa si sawa [æn ʌ m -s p si s w ] ʌ ʌ ʌ ʌ ʌ ‘jangan melangkahi ular’ ‘Jangan melangkahi ular’ Ditinjau dari segi metafora sebagai tanda bahasa, ditemukan bahwa kemunculan makna metaforis dalam sesanti nomor 25 berfokus pada kata “melangkahi ”, dan “ular”. Berikut ini teknik interpretasi yang diterapkan. Tabel 5.32. Alur Analisis Makna Metaforis “Jangan melangkahi ular” Data 25 Ranah Sumber Ranah Sasaran Jangan melangkahi ular Melangkahi KM: [melewati] Ular KM: [binatang berbisa] Melakukan sesuatu yang sangat berbahaya KM: [melakukan aktivitas] KM: [berbahaya] Perbandingan dan Pengalihan Konsep Melangkahi ular dipetakan pada tindakan berbahaya Ditinjau dari segi metafora sebagai tanda bahasa, ditemukan bahwa dalam sesanti ini referentanda bahasa “jangan melangkahi ular” telah mengalami proses interpretasi berdasarkan asosiasi, yang artinya bahwa kandungan sifat KM yang dimiliki tanda tersebut, yaitu: melangkahi binatang berbisa yang dapat menyebabkan kematian, diasosiasikan dengan “melakukan suatu yang sangat berbahaya”. Timbulnya ekspresi bijak bune ma-sapa si sawa ‘jangan melangkahi ular’ merupakan akibat pengalaman pencipta sesanti melihat sawa ‘ular’ yang mematuk manusia dengan bisanya, jika bisa racun tidak cepat-cepat dikeluarkan dapat berakibat pada kematian. Pengalaman ini kemudian digunakan untuk menggambarkan suatu konsep abstrak tentang orang yang melakukan suatu yang sangat berbahaya. Berdasarkan interpretasi nonmetaforis, dapat ditentukan bahwa ranah sumber, yang sifatnya konkret, dalam perumpamaan ini adalah “jangan melangkahi ular”. Sedangkan berdasarkan interpretasi metaforis dengan memperhatikan konteks budaya masyarakat Bima pengalaman keseharian, dapat ditentukan ranah sasaran, yang sifatnya lebih abstrak dalam sesanti ini adalah “orang yang melakukan sesuatu yang sangat berbahaya ”.

G. Analisis Sesanti yang Menggunakan Leksikon Binatang Buruan