Pandangan Dunia Pengarang dalam Novel Negeri Lima Menara

D. Pandangan Dunia Pengarang dalam Novel Negeri Lima Menara

Dari pengkajian unsur intrinsik ini akan dapat menemukan tokoh problematik dalam novel tersebut. Tokoh problematik yang terdapat dalam novel akan memunculkan adanya pandangan dunia pengarang. Melalui tokoh problematik inilah pandangan dunia pengarang akan terlihat dari pemberian solusi-solusi yang diberikan oleh pengarang kepada tokoh problematik dalam usahanya untuk mengatasi masalah yang sedang dihadapi.

Tokoh problematik dalam novel Negeri Lima Menara adalah tokoh yang bernama Alif Fikri. Alif ditentukan sebagai tokoh problematik karena Alif merupakan tokoh yang mempunyai masalah paling banyak dalam cerita Tokoh problematik dalam novel Negeri Lima Menara adalah tokoh yang bernama Alif Fikri. Alif ditentukan sebagai tokoh problematik karena Alif merupakan tokoh yang mempunyai masalah paling banyak dalam cerita

Pandangan dunia yang ditampilkan pengarang lewat tokoh problematik (problematic hero) merupakan suatu struktur global yang bermakna. Pandangan dunia ini bukan semata-mata fakta empiris yang bersifat langsung, tetapi merupakan suatu gagasan, aspirasi dan perasaan yang dapat mempersatukan suatu kelompok sosial masyarakat. Pandangan dunia itu memperoleh bentuk konkret di dalam karya sastra. Pandangan dunia bukan fakta. Pandangan dunia tidak memiliki eksistensi objektif, tetapi merupakan ekspresi teoritis dari kondisi dan kepentingan suatu golongan masyarakat tertentu. Hal-hal tersebut di atas dimaksudkan untuk menjembatani fakta estetik. (Goldmann dalam Fananie, 2000:118). Adapun fakta estetik dibaginya menjadi dua tataran hubungan yang meliputi:

a. Hubungan antara pandangan dunia sebagai suatu realitas yang dialami dan alam ciptaan pengarang.

b. Hubungan alam ciptaan dengan alat sastra tertentu seperti diksi, sintaksis, dan style yang merupakan hubungan struktur cerita yang dipergunakan pengarang dalam ciptaannya.

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa pandangan dunia terbentuk atas dua aspek yaitu (1) hubungan antara konteks sosial dalam novel dengan konteks sosial kehidupan nyata, (2) hubungan latar sosial budaya pengarang dengan novel yang dihasilkannya.

Dalam kisah ini tokoh utama yaitu Alif Fikri, adalah seorang anak laki- laki yang bercita-cita setelah lulus dari Madrasah Sanawiyah (setingkat SMP) ingin melanjutkan sekolahnya ke SMA guna menggapai cita-cita menjadi seperti Habibie. Keinginan tersebut terhalang oleh keinginan orang tua (dalam hal ini diwakili Amak) yang menginginkan anaknya memiliki bekal agama yang kuat dan ingin menyekolahkan Alif Fikri ke Pondok Pesantren Madani di Jawa. Problematika tersebut digambarkan dalam kutipan berikut;

”Bagiku , tiga tahun di madrasah tsanawiyah rasanya sudah cukup untuk mempersiapkan dasar ilmu agama. Kini saatnya aku mendalami ilmu non agama.Tidak madrasah lagi. Aku ingin kuliah di UI, ITB, dan terus ke Jerman seperti Pak Habibie. Kala itu aku menganggap Habibie adalah seperti profesi tersendiri.” (Negeri Lima Menara hal. 8)

“Amak ingin anak laki-lakiku menjadi seorang pemimpin agama yang hebat dengan pengetahuan yang luas. Seperti buya hamka yang sekampung dengan kita itu. Melakukan amar ma’ruf nahi munkar, mengajak orang kepada kebaikan dan meninggalkan kemungkaran,” kata amak pelan-pelan (Negeri Lima Menara, hal:8)

Berdasarkan kutipan novel diatas, pengarang menciptakan problematika dalam novel sesuai dengan apa yang pengarang alami sendiri, hal ini dibuktikan dengan jawaban pengarang ketika ditanya oleh Andi F Noya dalam sebuah acara bincang-bincang. Pengarang menerangkan alasannya masuk pondok pesantren dan ihwal penulisan novel Negeri Lima Menara ini. Berikut ini adalah kutipan hasil wawancara tersebut;

Andy F Noya : “Fuadi bisa cerita? Ini buku tentang apa sih?” Ahmad Fuadi : “Ini adalah sebuah kenangan, bang. Bahwa saya itu

awalnya masuk pesantren itu dipaksa sama ibu saya, kemudian setelah berjalan bertahun-tahun dan setelah tamat malah berpikir, betapa beruntungnya saya dikirim ke pesantren, sangat inspiratif, membuat saya punya pegangan dalam hidup, dan saya pikir kalau ini hanya saya simpan sendiri kayaknya mubadzir, kenapa tidak dituliskan? mudah-mudahan

Hal ini menandakan bahwa cerita Negeri Lima Menara awalnya berdasarkan atau terinspirasi dari pengalaman pengarang sendiri, pengalaman- pengalaman pribadi tersebut diceritakan kembali dalam bentuk novel atau fiksi yang sudah mengalami pengembangan dalam proses penciptaannya. Hal ini dapat diketahui dari struktur sosial yang ada di dalam novel tersebut ternyata mirip dengan struktur sosial asli yang dimiliki penulis atau pengarang Negeri Lima Menara . Struktur tersebut salah satunya adalah lingkungan sosial pondok pesantren dalam novel adalah gambaran lingkungan pondok pesantren modern Gontor Ponorogo tempat di mana pengarang mengeyam pendidikannya. Selain lingkungan, tokoh-tokoh yang ada di dalam cerita tersebut juga terinspirasi dari tokoh dalam kehidupan nyata pengarang, tokoh tersebut diwakili oleh Amak, Sahibul Menara yaitu Baso, Dulmajid, Atang, Raja Said dan Alif. Beberapa tokoh-tokoh tersebut sempat dihadirkan oleh Andy F Noya dalam acara Kick Andy, hal ini membuktikan bahwa pengarang memiliki inspirasi berdasarkan kenyataan yang penulis alami sendiri dalam penciptaan karyanya. Masing-masing tokoh dalam cerita tersebut menceritakan kembali pengalaman mereka masuk pondok pesantren.

Novel Negeri Lima Menara, merupakan cerminan dari masyarakat itu sendiri. Tokoh-tokoh yang dimunculkan dalam novel tersebut merupakan bagian dari diri Alif Fikri yang tiada lain adalah si pengarang itu sendiri. Di samping itu, penggambaran budaya lokal (Minang) sangat begitu kental dan detail dijelaskan. Selanjutnya budaya pesantren yang merupakan bagian dari masa kecil tokoh aku juga menjadi salah satu setting utama dalam menggambarkan dan memperkaya

Dalam kisah, Alif Fikri yang pada mulanya bercita-cita ingin menjadi seperti Habibie, terpaksa menuruti keinginan Amak/ibunya yaitu sekolah di pesantren. Sikap untuk menuruti kehendak orang tua khususnya keinginan Ibu merupakan sikap yang menggambarkan latar belakang budaya Minangkabau yang merupakan latar belakang budaya penulis (Ahmad Fuadi). Hal tersebut dapat diketahui dari biografi pengarang yang terlahir di Maninjau Sumatera Barat. Pengaruh tersebut terlihat dari struktur cerita yang banyak menyebutkan tokoh Amak inspirasi dibanding dengan tokoh Ayah. Hal ini disebut Matrelinial dimana Ibu merupakan pemegang kuasa atas keputusan keluarga, hal ini berlaku di adat istiadat Minangkabau, hal ini pulalah yang tergambar dari tokoh Alif Fikri yang sangat patuh kepada orang tua khususnya keinginan Amak-nya. Hal ini dapat diketahui dari kutipan sebagai berikut.

“Bagiku, tiga tahun di madrasah tsanawiyah rasanya sudah cukup untuk mempersiapkan dasar ilmu agama. Kini saatnya aku mendalami ilmu non agama. Tidak madrasah lagi. Aku ingin kuliah di UI, ITB, dan terus ke Jerman seperti Pak Habibie. Kala itu aku menganggap Habibie adalah seperti profesi tersendiri.” (Negeri Lima Menara hal. 8)

“Jadi Amak minta dengan sangat waang tidak masuk SMA. Bukan karena uang tapi supaya ada bibit unggul yang masuk madrasah aliyah.”

“Tapi Amak, ambo tidak berbakat dengan ilmu agama. Ambo ingin menjadi insinyur dan ahli ekonomi.” Tangkis Alif.

“Menjadi pemimpin agama lebih mulia daripada jadi insinyur, Nak.” Kata Amak .

“Tapi aku tidak ingin ... ” “Waang anak pandai dan berbakat. Waang akan jadi pemimpin umat yang

besar. Apalagi waang punya darah ulama dari dua kakekmu.” “Tapi aku tidak mau.” Kata Alif. (Negeri Lima Menara hal. 8-9)

Sementara itu, dalam biografi pengarang diceritakan pula kisah pengarang yang terpaksa masuk pondok pesantren. Biografi tersebut diketahui dari narasi yang dibacakan dalam acara kick Andy dan pengakuan pengarang sendiri, berikut kutipannya;

NAR : “pada awalnya Ahmad Fuadi tidak mau sekolah di pesantren, terlebih lagi yang letaknya jauh dari tanah kelahirannya, namun dorongan sang ibulah yang membuatnya masuk sekolah agama ini, maka merantaulah ia menuntut ilmu, dari Maninjau Sumatera, menuju Pondok Modern Gontor, Jawa Timur”.

AF : “awalnya itu saya masuk pesantren itu terpaksa, tapi lama-lama kemudian setelah lulus, saya merasa sangat banyak mendapat pelajaran hidup dan waktu lulus itulah saya bilang mudah-mudahan nanti ada kesempatan saya menulis novel, bukan novel waktu itu malahan, buku tentang pesantren”. (Kick Andy, lampiran)

Selanjutnya, dalam Negeri Lima Menara banyak menceritakan unsur pendidikan pesantren yang tidak banyak diketahui orang, hal ini merupakan misi dari pengarang yang ingin mengangkat bahwa sekolah/mengenyam pendidikan pesantren bukanlah sesuatu yang dianggap salah. Kegelisahan tersebut dituangkan dalam kisah sukses meraih impian dari tokoh Alif Fikri yang mengenyam pendidikan pesantren. Ahmad Fuadi sendiri sebagai penulis mengenyam pendidikan di pesantren modern Gontor sejak 1988 hingga 1992, berbekal ijazah pondok, Fuadi mendaftar kuliah di Jurusan Hubungan Internasional Universitas Padjadjaran Bandung. Melalui serangkaian tes, akhirnya Fuadi berhasil masuk perguruan tinggi. Bahkan berbekal kemampuan berbahasa, disiplin menulis, membawa Fuadi melanglang berbagai negara dengan beasiswa yang dia dapatkan hingga 8 (delapan) kali. Hal ini diutarakan dalam artikel dari majalah Nova

Ironinya, meski mengantongi restu bunda dan jago berbahasa asing, langkah Fuadi menuju bangku kuliah tidaklah mudah. “Saat itu, ijazah Ironinya, meski mengantongi restu bunda dan jago berbahasa asing, langkah Fuadi menuju bangku kuliah tidaklah mudah. “Saat itu, ijazah

Meski masih ingin anaknya seperti ‘Buya’, sang Ibu akhirnya merestui anaknya itu masuk universitas umum selulus dari pesantren (1992). Dengan bekal yang dimilikinya, Fuadi memilih kuliah jurusan Hubungan Internasional. “Dari Gontor saya sudah punya bekal bahasa asing yang aktif, Inggris dan Arab, juga cara berpikir yang sangat global. Soalnya di Gontor teman-teman sekolah saya banyak yang dari luar negeri. Dari Australia, Thailand, Singapura, bahkan dari Amerika dan Afrika.” (lampiran 2, artikel Ahmad Fuadi Ingin Berbagi Mimpi 2 oleh Anastasia Sibarani)

Selanjutnya, dalam kutipan novel dijelaskan bagaimana gambaran umum siswa yang membuat tokoh utama terkagum-kagum dengan sistem pendidikan di pesantren. Hal ini yang ingin diungkapkan penulis, dalam menggambarkan bagaimana suasana kehidupan di Pondok Madani. Para santri begitu giat belajar. Setiap waktu mereka manfaatkan untuk belajar. Tidak ada waktu untuk berleha- leha.

“Belum pernah dalam hidupku melihat orang belajar bersama dalam jumlah yang banyak di satu tempat. Di PM, orang belajar di setiap sudut dan waktu. Kami sanggup membaca buku sambil berjalan, sambil bersepeda, sambil antri mandi, sambil antri makan, sambil makan bahkan sambil mengantuk. Animo belajar ini semakin menggila begitu masa ujian datang. Kami mendesak diri melampau limit normal untuk menemukan limit baru yang jauh lebih tinggi.”

“Aku merasakan PM sengaja mengajarkan candu. Candu ini ditawarkan siang malam, sedemikian rupa sehingga semua murid jatuh menyerah kepadanya. Kami telah ketagihan. Kami candu belajar. Dan imtihan atau ujian adalah pesta merayakan candu itu.” (Negeri Lima Menara, hal. 200)

Sebagian besar masyarakat masih memandang bahwa menyekolahkan anaknya di pesantren hanyalah jalan terakhir dan menciptakan pemuka-pemuka Sebagian besar masyarakat masih memandang bahwa menyekolahkan anaknya di pesantren hanyalah jalan terakhir dan menciptakan pemuka-pemuka

Penanya : Bagaimana seorang Ahmad Fuadi melihat pendidikan di Indonesia?

Ahmad Fuadi : Menurut saya konten sudah beragam dengan bermacam mutu. Tapi, kita mendeteksi antara sinkronisasi otak dan hati, maka akhirnya korupsi. Padahal seharusnya, pendidikan adalah pemberdayaan karakter manusia, manusia yang berdaya dan bermanfaat. Jadi, menurut saya kita harus memperbaiki dari usia dini dan pembekalan karakter sejak awal. Untungnya, pembekalan karakter kini telah masuk dalam kurikulum. Itu yang menurut saya paling penting. (Lampiran 2, artikel Ahmad Fuadi: Man Jadda Wa Jadda & Kepercayaan Pada Tekad adalah Kunci Utama! )

“Pak Etek punya banyak teman di Mesir yang lulusan Pondok Madani di Jawa Timur. Mereka pintar-pintar, bahasa Inggris dan bahasa Arabnya fasih. Di Madani itu mereka tinggal di asrama dan diajar disiplin untuk bisa bahasa asing setiap hari. Kalau tertarik mungkin sekolah ke sana bisa jadi pertimbangan…” (Negeri Lima Menara, hal. 12).

Berdasarkan analisis mengenai permasalahan yang dihadapi oleh tokoh problematik dan solusi-solusi yang diberikan oleh pengarang pada tokoh problematik di atas, maka dapat disimpulkan bahwa padangan dunia pengarang dalam novel Negeri Lima Menara karya Adalah yaitu pengarang mempunyai kegelisahan mengenai dunia pendidikan khususnya pesantren dan pengarang berusaha untuk menolak pandangan bahwa pesantren hanya mencetak ustadz. Lebih dari itu pengarang ingin mengungkapkan kepada pembaca bahwa pesantren adalah lembaga pendidikan yang tidak hanya memberikan pendidikan formal, namun juga membekali Berdasarkan analisis mengenai permasalahan yang dihadapi oleh tokoh problematik dan solusi-solusi yang diberikan oleh pengarang pada tokoh problematik di atas, maka dapat disimpulkan bahwa padangan dunia pengarang dalam novel Negeri Lima Menara karya Adalah yaitu pengarang mempunyai kegelisahan mengenai dunia pendidikan khususnya pesantren dan pengarang berusaha untuk menolak pandangan bahwa pesantren hanya mencetak ustadz. Lebih dari itu pengarang ingin mengungkapkan kepada pembaca bahwa pesantren adalah lembaga pendidikan yang tidak hanya memberikan pendidikan formal, namun juga membekali