Lingkungan Sosial Novel Negeri Lima Menara

C. Lingkungan Sosial Novel Negeri Lima Menara

Latar sosial dalam novel Negeri Lima Menara ini lebih menggambarkan tentang serentetan aturan yang ketat, lingkungan belajar yang kondusif, dan keikhlasan yang selalu dipertontonkan di setiap sudut Pondok Madani. Para murid bukan hanya mendapatkan materi secara kering, tetapi mendapatkan ruh, spirit dalam berjuang mewujudkan cita-cita.

Secara tidak langsung kolaborasi latar ini mewujudkan suatu gambaran yang indah tentang Pondok Madani yang selama ini digambarkan ekstrem dan kuno, serta jauh dari perkembangan ilmu pengetahuan.

Pengarang memilih latar tersebut didasari kepentingan atas tema, alur, dan penokohan. Latar atau setting pada karya sasta Novel Negeri Lima Menara ini termasuk realitas objektif yaitu benar – benar dialami oleh pengarang dan pembaca mengetahui latar tempatnya. Di samping itu dengan mengetahui latar, pembaca mempunyai persepsi tentang peristiwa, walaupun pada akhirnya persepsi itu akan dibuyarkan oleh tindakan tokoh.

Novel ini diawali dengan latar sosial, yang membuat tokoh utama “Alif” terpaksa menerima tawaran amaknya untuk masuk ke Pondok Madani, sebuah Novel ini diawali dengan latar sosial, yang membuat tokoh utama “Alif” terpaksa menerima tawaran amaknya untuk masuk ke Pondok Madani, sebuah

“Amak ingin anak laki-lakiku menjadi seorang pemimpin agama yang hebat dengan pengetahuan yang luas. Seperti buya hamka yang sekampung dengan kita itu. Melakukan amar ma’ruf nahi munkar, mengajak orang kepada kebaikan dan meninggalkan kemungkaran,” kata amak pelan-pelan (Negeri Lima Menara, hal:8)

Harapan Amak ini juga dapat dilihat dalam kutipan novel berikut,

Setiap orang selalu dipengauhi oleh lingkungan, baik bacaan, keadaan sosial masyarakat, tokoh idola, dan teman. Kali ini mimpi ibunya adalah hal yang wajar karena mengingat daerah padang yang cukup kental dengan agama. Apalagi didukung oleh tokoh idola masyarakat indonesia yang menguasai hingga 6 bahasa asing dan mendapat gelar dari Universitas Al- Azhar tanpa mengikuti kelas reguler, ia adalah sang pembelajar yaitu Buya Hamka.( Negeri Lima Menara hal: 371)

Pembaca langsung dihadapkan dengan konflik batin antara Alif dan amaknya dalam mewujudkan sebuah impian. Antara kepatuhan terhadap orang tua atau bersikeras dalam mewujudkan impian. Hal ini tentu dapat terjadi dalam kehidupan anak-anak lainnya. Di satu sisi, pendidikan modern menganjurkan agar orang tua sebaiknya hanya menggiring anaknya untuk memaksimalkan potensi mereka, yang akhirnya anaklah yang memutuskan ingin masuk ke jurusan apa ia nanti. Akan tetapi, di satu sisi, seorang anak harus mendapatkan ridho dari Allah dan orang tuanya agar selamat dan diberi kemudahan dalam meraih cita-citanya. Suasana batin Alif ini digambarkan dalam kutipan dibawah ini,

“ bimbang dan ragu hilang timbul. Apakah perjalanan ini keputusan yang paling tepat? Bagaimana kalau aku tidak betah di tempat asing? Bagaimana kalu pondok itu seperti penjara? Bagaimana kalau gambaran “ bimbang dan ragu hilang timbul. Apakah perjalanan ini keputusan yang paling tepat? Bagaimana kalau aku tidak betah di tempat asing? Bagaimana kalu pondok itu seperti penjara? Bagaimana kalau gambaran

Perasaan Alif ini adalah hal yang wajar untuk ukuran seusianya. Digambarkan bahwa dari kecil ia sama sekali tidak pernah keluar dari kampung bahkan bersalaman dengan orang selain orang padang pun belum pernah.

Latar sosial inilah menggiring alur cerita bergerak, dari Maninjau ke pulau Jawa Timur tepatnya di Pondok Madani. Konflik yang selama ini terjadi antara amak dan alif diselesaikan dengan bergeraknya alur cerita novel ini. Alur merupakan pola pengembangan cerita yang terbentuk oleh hubungan sebab akibat. Sebabnya berasal dari impian amak untuk menjadikan Alif sebagai pemimpin agama dan akibatnya Alif sekarang tiba di Pondok Madani. Ini adalah salah satu bukti bahwa latar sangat penting dan mampu mempengaruhi unsur- unsur intinsik sebuah karya sastra. Terbukti dengan bergeraknya alur dari maninjau ke Pondok Madani. Penulis sangat ahli menggiring alur ke luar dengan mengawali latar sosial berupa konflik antar tokoh. Antara harapan dan cita-cita.

Setelah mengawali cerita dengan latar sosial, maka novel ini mulai menggambarkan latar tempat, alam sekitar PM dengan sedikit kolaborasi yang proporsional dengan latar waktu dan latar sosial.

“Jalan desa yang berdebu tiba-tiba melebar dan membentangkan pemandangan lapangan rumput hijau yang luas. Disekitarnya tampak pohon-pohon hijau yang luas. Disekitarnya tampak pohon-pohon hijau rindang dan pucuk-pucuk kelapa yang mencuat dan menari-nari dihembus angin. Di sebelah lapangan tampak sebuah komplek gedung bertingkat yang megah. Sebuah kubah besar bewarna gading mendominasi langit, didampingi sebuah menara yang tinggi menjulang. Di tengah kabut pagi, komplek ini seperti mengapung di udara” (Negeri Lima Menara, hal: 29)

Pondok Madani memiliki luas 15 hektar (Negeri Lima Menara, hal.:30) Pondok Madani memiliki sistem pendidikan 24 jam. Tujuan pendidikannya untuk menghasilkan manusia yang mandiri yang tangguh. Kegiatan pembelajaran diadakan di kelas, lapangan, masjid, dan tempat lainnya. Lalu Burhan salah satu tokoh dalam novel ini menunjukkan gedung utama, pertama Masjid Jami’ dua tingkat yang berkapasitas empat ribu orang dan kedua aula serba guna, tempat kegiatan penting berlangsung. Mulai dari pargelaran teater, musik, diskusi ilmiah, ucapan selamat datang pada siswa baru dan penyambutan tamu kehormatan.

Latar tempat itulah yang akan berinteraksi dengan para tokoh sehingga membentuk karakter tokoh. Pemaparan latar tempat ini menunjukkan betapa modernnya sebuah pondok. Bahkan mengalahkan sekolah umum. Hal ini tentu sangat menakjubkan. Dan ini bisa menjadi kelebihan Pondok Madani dibanding dengan sekolah umum lainnya. Latar tempat berupa fasilitas yang lengkap inilah salah satu pemicu berkembangnya kreativitas para santri. Bukan hanya latar tempat yang mempengaruhi karakter para tokoh, akan tetapi latar sosiallah yang berperan penting dalam pembentukan mental para tokoh.

Novel ini juga menggambarkan penerapan pendidikan yang holistik. Tidak ada pemisahan antara teori dan praktek.

“Pendidikan Pondok Madani tidak membedakan agama dan non agama. Semuanya berhubungan. Agama langsung dipraktekkan dalam kegiatan sehari-hari. Di Madani, agama adalah oksigen, dia ada di mana-mana,” jelas Burhan lancar. (Negeri Lima Menara, hal:35)

Novel ini secara tidak langsung menyinggung pola penerapan pendidikan bangsa ini yang cendeung memisahkan antara pelajaran agama dan non agama. Sehingga ada dikotomi yang cukup serius. Terbukti ketika guru biologi mengajarkan sebuah teori hanya sedikit yang mengkaitkannya dengan kebesaran Allah dan menjadikan Al-qur’an sebagai referensi. Sehingga wajar, jika cahaya agama tidak merasuk ke dalam generasi muda saat ini. Karena sekolah-sekolah bahkan universitas hanya membicarakan teori atau baru sebatas transfer knowleadge. Bukan pemindahan budaya dan pemahaman tentang kesadaran beragama.

Hari pertama masuk sekolah setiap murid di Pondok Madani hanya diberi satu kalimat motivasi yang di ambil dari pepatah arab yaitu “man jadda wajada” yang artinya barang siapa yang besungguh-sungguh maka ia akan mendapatkannya.

“MAN JADDA WAJADA” Teriak laki-laki muda bertubuh kurus itu lantang. Telunjuknya lurus

terancung tinggi ke udara, suaranya menggelegar, sorot matanya berkilat- kilat menerkam kami satu-persatu. (Negeri Lima Menara hal. : 40)

Pelajaran yang dapat dipetik adalah pendidikan harus memberikan ruh kepada siswa agar mereka dapat melakukan akselerasi dalam menempuh pendidikannya. Menanamkan motivasi dapat dijadikan sebagai salah satu cara untuk mewujudkan impian. Di Pondok Madani, mereka tidak hanya diajarkan dengan kata-kata belaka, tetapi mereka selalu dipertotonkan dengan aksi nyata oleh para ustadz yang mengajar di sana.

Latar sangat erat kaitannya dengan unsur fiksi yang lain dan bersifat timbal balik. Sifat-sifat latar dalam banyak hal akan mempengaruhi sifat-sifat tokoh. Latar di dalam novel Negeri Lima Menara ini merupakan kolaborasi antara latar waktu, latar sosial dan latar tempat karena para tokoh dominan berada di lingkungan pondok pesantren. Latar tempat inilah yang kemudian menimbulkan latar psikologis, yaitu berupa budaya disiplin, keseriusan dan kesungguhan inilah yang membentuk karakter para tokoh. .

Kekuatan latar dalam sebuah peristiwa fiksi, juga dapat memperkuat karakter tokoh-tokohnya. Tokoh-tokoh yang hidup dalam kultur Melayu, berbeda ke-khasannya dengan budaya Minang, Batak, Jawa, dll.

“Pondok Madani diberkati oleh energi yang membuat kami sangat menikmati belajar dan selalu ingin belajar berbagai macam ilmu. Lingkungannya membuat orang yang tidak belajar menjadi aneh. Belajar keras adalah gaya hidup yang fun, hebat dan selalu dikagumi. Karena itu cukup sulit menjadi pemalas di PM. (Negeri Lima Menara, hal:264)“

Kutipan latar sosial di atas adalah bukti, bahwa suatu latar mampu menciptakan seseorang yang awalnya malas menjadi rajin, itu semua karena hukum benar-benar di tegakkan. Mereka selalu dipertontonkan dengan keikhlasan, keteladan, dan semangat dalam meraih cita-cita. Hal itu dapat kita lihat dalam kutipan dibawah ini

“Belum pernah dalam hidupku melihat oang belajar bersama dalam jumlah yang banyak di suatu tempat. di PM orang belajar di setiap sudut dan waktu. Kami sanggup membaca sambil berjalan, sambil bersepeda, sambil antri mandi, sambil antri makan bahkan sambil mengantuk. Animo belajar ini semakin menggila begitu masa ujian datang. Kami mendesak diri melampau limit normal untuk menemukan limit baru yang lebih tinggi.” (Negeri Lima Menara hal:200)

Ini adalah bukti bahwa latar sosial memainkan peranan yang sangat penting dalam mempengaruhi unsur-unsur intrinsik yang lain. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa penulis sangat mahir dalam menceitakan dan mengatur tata letak latar sehingga mampu membangkitkan semangat para tokoh. Jika ada yang berbicara bahwa, tema novel ini adalah pendidikan. Ini dapat dibenarkan karena latar yang ada di dalam novel ini adalah pondok pesantren, yang di dalamnya terjadi kegiatan belajar mengajar.

Setelah mengamati secara mendalam ternyata Negeri Lima Menara membicarakan tentang semangat tokoh, meraih impian dalam keterbatasan. Dalam novel Negeri Lima Menara keterbatasan itu digambarkan.dalam kutipan novel sebagai berikut

“PM memang tidak dalam jalur PLN karena terisolir dari keramaian......karena itu, kalau mau sahirul lail yang terang, perlu membeli lampu semprong.”(Negeri Lima Menara, hal:198)

Novel Negeri Lima Menara. lebih banyak bercerita tentang latar sosial Pondok Madani, berupa aturan yang sangat ketat, disiplin, dan konsep belajar yang sedikit dipaksakan. Akhirnya mampu menciptakan tokoh yang kompeten di bidangnya. Di satu sisi ini bukanlah kekurangan karena penulis saat ini mempunyai cara pandang yang beda terhadap realitas yang ada. Saat ini, ada kecendrungan bahwa santri kebingungan dalam mencari pilihan hidupnya, sehingga banyak yang harus diarahkan orang tuanya. Dapat disimpulkan, Novel ini sedikit menyiratkan bagaimana sikap yang harus diambil oleh seorang anak ketika mendapatkan situasi dan kondisi seperti Alif. Pada akhirnya, novel ini Novel Negeri Lima Menara. lebih banyak bercerita tentang latar sosial Pondok Madani, berupa aturan yang sangat ketat, disiplin, dan konsep belajar yang sedikit dipaksakan. Akhirnya mampu menciptakan tokoh yang kompeten di bidangnya. Di satu sisi ini bukanlah kekurangan karena penulis saat ini mempunyai cara pandang yang beda terhadap realitas yang ada. Saat ini, ada kecendrungan bahwa santri kebingungan dalam mencari pilihan hidupnya, sehingga banyak yang harus diarahkan orang tuanya. Dapat disimpulkan, Novel ini sedikit menyiratkan bagaimana sikap yang harus diambil oleh seorang anak ketika mendapatkan situasi dan kondisi seperti Alif. Pada akhirnya, novel ini

Latar sosial ini juga menciptakan karakter tokoh yang tangguh dan berani bermimpi, contoh: latar tempat yang terbatas membuat mereka terbiasa mendengar berita dari VOA (Voice of America), artinya latar atau suasana belajar, keadaan di dalam novel itu secara langsung mempengaruhi dan membentuk karakter Alif misalnya suka bermimpi.

Jika kita berlanjut, untuk memahami amanat di dalam novel ini, pembaca juga akan menemukan ternyata latar belakang seseorang yang notabene lulusan lulusan pesantren ternyata mampu meraih mimpinya ke benua Amerika. Amanat novel ini juga memecahkan persepsi masyarakat terhadap anak-anak yang sekolah di lingkungan Pesantren. Latar tempat berupa pesantren berhubungan dengan amanat yang ingin disampaikan oleh pengarang bahwa pendidikan di pondok bukanlah tempat yang dapat menghambat generasi muda dalam meraih mimpinya.

Latar dalam novel ini mampu menyampaikan amanat kepada pembaca bahwa sebuah pesantren bukanlah sarang teroris, pesantren bukanlah tempat yang memberikan doktrin-doktrin ilmu, tanpa membuat /membentuk anak untuk berpikir kritis dan imajinatif. Hal itu dapat terlihat dalam

“pilihlah kegiatan berdasarkan minat dan bakatmu, sehingga bisa mengerjakannya dengan penuh kesenangan dan hasil bagus.” (Negeri Lima Menara , hal:161)

Pernyataan ini merupakan bukti bahwa pesantren memberikan kebebasan kepada santrinya berkreasi. Selain itu, penulis juga ingin menyampaikan bahwa Pernyataan ini merupakan bukti bahwa pesantren memberikan kebebasan kepada santrinya berkreasi. Selain itu, penulis juga ingin menyampaikan bahwa

Kemandirian dan kreativitas adalah modal awal dalam menghadapi tantangan zaman ke depan. Latar sosial di dalam Negeri Lima Menara mampu memenuhi harapan itu semua. Latar sosial berupa aturan yang super ketat dan disiplin ternyata terbukti mampu menciptakan keyakian pada setiap santri bahwa hidup harus di hadapi dengan sungguh-sungguh.

Suasana disiplin itu dapat dilihat dari cerita pada surat yang Alif kirimkan kepada ibunya yang diceritakan pada halaman 144 hingga 146, mulai dari pukul

04.00 – 22.00, mereka melakukan hal-hal yang positif walaupun awalnya suasana ini menggusarkan perasaan para tokoh-tokoh di Pondok Madani

“Hei, nanti dulu, kalian tetap dihukum. Di PM tidak ada kesalahan yang berlangsung tanpa dapat ganjaran?” hardik si Tyson” (Negeri Lima Menara hal.:67).

Kedisplinan tercermin dari cerita Alif dan teman-temannya yang terlambat menuju masjid dan mendapatkan hukuman walaupun baru dua hari mereka menjadi siswa Pondok Madani.

“kalian sekarang di Madani, tidak ada istilah terlambat sedikit 1 menit, atau 1 jam, terlambat adalah terlambat ini pelanggaran”. (Negeri Lima Menara hal.:66).

Baru dua hari mereka berada di Pondok Madani, hukum langsung diberlakukan. Artinya pendidikan di pondok tidak bertoleransi terhadap Baru dua hari mereka berada di Pondok Madani, hukum langsung diberlakukan. Artinya pendidikan di pondok tidak bertoleransi terhadap

Kondisi sosial inilah yang kemudian menciptakan karakter tokoh yang pantang menyerah. Membentuk pribadi yang mandiri. Salah satu bukti yang menunjukkan pendidikan di pondok adalah berdasarkan pernyataan Kiai Rais

“pilihlah kegiatan berdasarkan minat dan bakatmu, sehingga mengerjakannya dengan penuh kesenangan dan hasil bagus (Negeri Lima Menara hal:161,).

Ini menunjukkan latar sosial yang sangat toleran dan demokratis. Budaya inilah yang menciptakan pribadi-pribadi yang berani untuk berkreativitas bermimpi tidak ada paksaan ketika lulus harus menjadi ustadz. Yang tepatnya harus dilakukan adalah menyebarkan kebaikan dan memanfaatkan ilmu untuk kemasyarakatan orang banyak.