Lingkungan Sosial Pengarang
B. Lingkungan Sosial Pengarang
Menjadi hebat dengan popularitas sebagai pengarang, bukanlah hal yang secara tiba-tiba diperoleh Ahmad Fuadi, penulis novel best seller Negeri Lima Menara dan juga sudah di filmkan. Tanpa disadari, dunia kepenulisan itu sudah tertanam secara perlahan sejak kanak-kanak melalui kebiasaan ibunya.
Fuadi terlahir di Maninjau, 30 Desember 1972. Dari tiga orang bersaudara, ia tertua laki-laki, sementara dua adiknya perempuan, tentulah Fuadi yang sangat diharapkan ibunya masuk sekolah agama. Ibunya sangat ingin anak laki satu- satunya itu menjadi seorang ustadz. Masa kecilnya, hingga usia 4 tahun, banyak dihabiskan di Salingka Danau Maninjau. Setelah itu, ibunya pindah ke Manggopoh karena diangkat menjadi guru di SD Manggopoh. Fuadi mengikuti ibunya, sekolah disana hanya sampai kelas I SD. Kemudian ia berpindah beberapa kali karena mengikuti ibunya yang juga pindah mengajar. Setelah SD I Manggopoh, Fuadi masuk di SD Koto Baru, kemudian Maninjau Balai Akad, sampai kelas 6. Belum sempat ujian akhir, ibunya pindah lagi ke Padang Lua, iapun turut pindah, mengenyam bangku sekolah SD I Padang Lua. Tamat SD, Fuadi melanjutkan ke MTs Padangpanjang.
Fuadi beruntung, meski berasal dari keluarga sederhana, dimana ibunya Suhasni, adalah guru SD, ayahnya M.Faried Sulthani mengajar di Madrasah, tetapi keluarga besar mereka sangat gemar membaca. Ayah dan ibunya terbiasa memberi hadiah buku. Sementara kakeknya Buya Sutan Mansur memiliki pesantren kecil dengan ruangan khusus berisi buku-buku. Fuadi diberi kebebasan membaca buku di sana. Dalam perjalanannya , ia kemudian menyukai buku-buku Fuadi beruntung, meski berasal dari keluarga sederhana, dimana ibunya Suhasni, adalah guru SD, ayahnya M.Faried Sulthani mengajar di Madrasah, tetapi keluarga besar mereka sangat gemar membaca. Ayah dan ibunya terbiasa memberi hadiah buku. Sementara kakeknya Buya Sutan Mansur memiliki pesantren kecil dengan ruangan khusus berisi buku-buku. Fuadi diberi kebebasan membaca buku di sana. Dalam perjalanannya , ia kemudian menyukai buku-buku
Ketika SD, setiap hari Fuadi kecil menyaksikan Amak (panggilan untuk ibunya) menulis buku harian, lengkap dengan daftar belanjaan dan hutang piutang. Melihat itu, ia berpikir, mungkin menarik juga kalau dilakukan. Makanya kemudian ia mulai menulis diari, mengikuti kebiasaan sang Amak.
Ternyata ketika di perguruan tinggi, Hubungan Internasional Universitas Pajajaran bandung, kegemaran itu terus berlanjut, bergabung dengan majalah kampus, Saat yang bersamaan, ia juga harus menulis untuk biaya kuliah karena ayahnya meninggal. Dalam semester dua kuliah, tahun 1993 itulah ia menulis untuk mencari uang supaya bisa membiayai kuliah, membayar uang kos dan membelanjai kebutuhan sehari-hari. Mulailah ia menulis opini di berbagai koran, diantaranya Republika, Pikiran Rakyat, bahkan menulis di harian Singgalang.
Tamat kuliah, iapun bergabung dengan Tempo menjadi wartawan, tahun 1998. Sayangnya, tengah asyiknya menikmati dunia kewartawanan itu, hanya setahun, Fuadi memperoleh beasiswa Fulbright ke Amerika untuk kuliah S2 di School of Media and Publik Affairs, George Washington University. Iapun mengambil cuti dari Tempo, tapi tetap bertugas sebagai koresponden di Amerika selama 3 tahun. Dari sana ia tetap membuat reportase khusus dan melaporkan sejumlah peristiwa penting untuk Tempo. Paling fenomenal adalah peristiwa 11 September 2001, runtuhnya gedung WTC dari Pentagon, White House dan Capitol Hill .
Selama bertugas menjadi wartawan, Fuadi memang lebih terkonsentrasi menulis liputan dan laporan. Ia sama sekali tak pernah menulis cerpen apalagi novel. Namun pada 2007, muncul dalam dirinya sebuah kesadaran baru untuk mengamalkan nasehat kiyainya di Gontor.