Nonidentity Thinking dalam ‘Negative Dialectics’

2.3. Nonidentity Thinking dalam ‘Negative Dialectics’

Dialektika negatif ialah pemikiran 'nonidentitas' yang Adorno sering juga menyebutnya sebagai 'kritik imanen' atau 'metode imanen'. Konsep 'kritik imanen' yang dilontarkan Adorno ini mengacu pada metode mengkritik sebuah konsep, teori atau situasi, dengan cara mengevaluasi secara kritis atas istilah itu sendiri, dan menyoroti kontradiksi yang terkandung di dalamnya. Metode ini sesuai definisi aslinya, lebih imanen dan bukan transenden: kritik yang berasal dari dalam istilah atau konsep itu sendiri (Held, 1980).

Pemikiran Adorno tentang Dialektika Negatif ini dibahas oleh Goenawan Mohamad (2002: 13-28) lewat salah satu kritik sastranya dalam buku “Eksotopi. Tentang Kekuasaan, Tubuh, dan Identitas”. Di dalamnya Mohamad (2002) melakukan kritik sastra pada salah satu karya sastra Jepang dalam bentuk prosa tua Jepang yang disebut hizakurige yang berarti “bepergian dengan jalan kaki, dan bukan dengan naik kuda, dan sebab itu merupakan darmawisata orang yang kurang mampu”. Yang terkenal ialah cerita Seiyou Douchuu Hizakurige yang ditulis oleh Kanagaki Robun dan terbit di tahun 1870. Cerita ini berkisah dua orang yang bepergian dengan kapal api, yakni Yaji dan Kita, yang berangkat menuju London untuk menonton Pekan Raya Dunia. Selama perjalanan, mereka sempat mengunjungi pelbagai tempat dan negeri. Dalam proses itu sesuatu pun tumbuh, yaitu sesuatu yang “merupakan sebuah pandangan yang secara radikal sudah diinternalisasikan dan diperhalus mengenai bangsa, dan akhirnya, ras, yang merasuk ke dalam diri sendiri dan orang lain”. Secara tidak langsung ini berbicara mengenai Nihonjin-ron, atau wacana tentang “ke-Jepang-an”. “Suez tak punya rumput maupun pepohonan”, demikianlah Robun melukiskan pelabuhan Afrika yang dikunjungi kedua tokoh ceritanya. “Rumah tak banyak dan saling berjauhan, terbuat dari lumpur dan batu kecil. Orang di sini berkulit hitam, dan tentu saja kotor.” Yang terpapar di sini adalah sebuah perbandingan, bahkan kontras, antara negeri yang punya rumput dan yang tidak, antara lanskap yang banyak rumahnya dan yang tidak, antara orang yang berkulit hitam dan bukan, antara ia yang bersih Pemikiran Adorno tentang Dialektika Negatif ini dibahas oleh Goenawan Mohamad (2002: 13-28) lewat salah satu kritik sastranya dalam buku “Eksotopi. Tentang Kekuasaan, Tubuh, dan Identitas”. Di dalamnya Mohamad (2002) melakukan kritik sastra pada salah satu karya sastra Jepang dalam bentuk prosa tua Jepang yang disebut hizakurige yang berarti “bepergian dengan jalan kaki, dan bukan dengan naik kuda, dan sebab itu merupakan darmawisata orang yang kurang mampu”. Yang terkenal ialah cerita Seiyou Douchuu Hizakurige yang ditulis oleh Kanagaki Robun dan terbit di tahun 1870. Cerita ini berkisah dua orang yang bepergian dengan kapal api, yakni Yaji dan Kita, yang berangkat menuju London untuk menonton Pekan Raya Dunia. Selama perjalanan, mereka sempat mengunjungi pelbagai tempat dan negeri. Dalam proses itu sesuatu pun tumbuh, yaitu sesuatu yang “merupakan sebuah pandangan yang secara radikal sudah diinternalisasikan dan diperhalus mengenai bangsa, dan akhirnya, ras, yang merasuk ke dalam diri sendiri dan orang lain”. Secara tidak langsung ini berbicara mengenai Nihonjin-ron, atau wacana tentang “ke-Jepang-an”. “Suez tak punya rumput maupun pepohonan”, demikianlah Robun melukiskan pelabuhan Afrika yang dikunjungi kedua tokoh ceritanya. “Rumah tak banyak dan saling berjauhan, terbuat dari lumpur dan batu kecil. Orang di sini berkulit hitam, dan tentu saja kotor.” Yang terpapar di sini adalah sebuah perbandingan, bahkan kontras, antara negeri yang punya rumput dan yang tidak, antara lanskap yang banyak rumahnya dan yang tidak, antara orang yang berkulit hitam dan bukan, antara ia yang bersih

Buck-Morss (1977; dalam Mohamad, 2002) menjelaskan bahwa nama, sebagaimana berkembang dalam tafsir Adorno (dari pemikiran Walter Benjamin) adalah sebuah cara menangkap kembali pengetahuan kita yang konkrit tentang yang partikular. Nama merupakan tempat membebaskan diri dari apa yang disebut Adorno sebagai “dorongan hati untuk mengklasifikasikan”.

Mohamad (2002) kemudian menjelaskan dengan contoh, yakni seperti di keraton Surakarta dan Yogyakarta, setiap kereta kerajaan, setiap merangkat gamelan, setiap bilah keris, bahkan setiap lonceng tanda waktu, “mempunyai” nama tersendiri, seakan-akan mereka adalah manusia-manusia penghuni lama kompleks bangunan kerajaan itu. Di sana tersirat anggapan bahwa, misalnya, Gamelan Kiyai Guntur Madu tidak bisa dipertukarkan dengan seperangkat gamelan lain, dan Keris Nagasasra tidak bisa digantikan dengan sebilah keris yang lain. Apa yang terjadi di pasar, ketika semua benda direduksikan hanya jadi penubuhan nilai-tukar, dan menjadi jenis dan satuan, tidak berlaku di sini. Nama masih memegang peran pokok. Ia jadi sarana manusia untuk menebus kembali apa yang unik yang dihilangkan oleh klasifikasi dan pertukaran.

Menurut Mohamad (2002), dalam hubungan itulah Adorno berbicara tentang “nonidentitas”. Pengertian ini bukan saja sebuah tanda perlawanan terhadap pandangan dunia Hegel yang meletakkan apa yang konkrit dalam status yang rendah dalam tatanan pengetahuan, sebuah pendangan yang dengan sikap yang tenang dan anggun melikuidasi yang partikular dari percatuaran. Menurut Adorno (1974; dalam Mohamad, 2002), pengertian “nonidentitas” juga hendak menjawab apa yang dengan pedih dialami manusia dalam abad ke-20, yakni ancaman sebuah totalitas yang didominasi oleh kuantifikasi, sebuah kesatuan yang tak bersahabat kepada perbedaan kualitatif. Perlawanan terhadap sikap yang hendak melebur yang partikular (sebagai “nonidentitas”) di dalam sebuah Menurut Mohamad (2002), dalam hubungan itulah Adorno berbicara tentang “nonidentitas”. Pengertian ini bukan saja sebuah tanda perlawanan terhadap pandangan dunia Hegel yang meletakkan apa yang konkrit dalam status yang rendah dalam tatanan pengetahuan, sebuah pendangan yang dengan sikap yang tenang dan anggun melikuidasi yang partikular dari percatuaran. Menurut Adorno (1974; dalam Mohamad, 2002), pengertian “nonidentitas” juga hendak menjawab apa yang dengan pedih dialami manusia dalam abad ke-20, yakni ancaman sebuah totalitas yang didominasi oleh kuantifikasi, sebuah kesatuan yang tak bersahabat kepada perbedaan kualitatif. Perlawanan terhadap sikap yang hendak melebur yang partikular (sebagai “nonidentitas”) di dalam sebuah

Menurut Adorno (1973), “What we differentiate will appear divergent, dissonant, negative for just as long as the structure of our consciousness obliges it to strive for unity: as long as its demand for totality will

be its measure for whatever is not identical with it.” Yakni, apa yang kita bedakan, akan tampil menyimpang, sumbang, negatif, selama struktur kesadaran kita mengharuskannya untuk bergerak ke arah kesatuan, yaitu sepanjang tuntutannya untuk membangun totalitas akan jadi ukuran atas apa saja yang tidak identik dengan dirinya.”

Mohamad (2002) menjelaskan dalam pemikiran Adorno ini, setiap pengalaman merupakan permainan bersama antara “identitas” dan “nonidentitas”. Lalu sifat negatif di dalamnya itulah yang menjadi penting dari “nonidentitas”, yakni tidak akan ada “nonidentitas” yang “menyimpang” itu seandainya tidak ada desakan untuk membangun identitas yang tunggal.