Suku Toraja

2.7. Suku Toraja

Orang Toraja merupakan penduduk yang mendiami dataran tinggi di sebelah Utara Propinsi Sulawesi Selatan di mana sungai Sadan mengalir. Daerah hulu Sungai Sadan ini pada masa kini tercakup dalam satu kabupaten, yaitu Kabupaten Tana Toraja. Dataran tinggi ini terdiri dari beberapa gunung antara lain gunung Sunaji di Kecamatan Mengkendek dan gunung Telendoliandona di Kecamatan Rinding Allo. Selain itu dataran tinggi ini juga terdiri dari tanah-tanah berbukit karang dengan ketinggian antara 1300 m sampai dengan 1600 m dari permukaan laut. Adanya pegunungan serta bukit-bukit yang tinggi ini, konon menyebabkan terisolasinya Tana Toraja pada masa lalu dari daerah sekitar (Thomas, 1988).

Kabupaten Tana Toraja merupakan salah satu kabupaten diantara 23 kabupaten dan kotamadya yang ada di Propinsi Sulawesi Selatan. Kabupaten ini

terdiri dari 65 desa serta 9 kecamatan. Luas wilayahnya adalah 3630,12 km 2 (Thomas, 1988). Sumber lain menyebutkan sejak tahun 1957, Kabupaten Tana

Toraja terdiri dari 9 kecamatan dan 83 desa, beberapa diantaranya sebenarnya adalah kumpulan dari rumah-rumah yang tersebar (Parinding & Achjadi, 1988).

Gambar 2.4. Indonesia dan Sulawesi. Peta digambar oleh J. Akerman (Adams, 2006)

Orang Toraja merupakan turunan dari ras Proto-Melayu yang diperkirakan sudah terlebih dahulu menghuni pulau Sulawesi bagian tengah dan selatan (Pakan, 1977: 23-25; Mills, 1975: 20-25; dalam Thomas, 1988). Ras Proto-Melayu ini diperkirakan melakukan migrasi dari semenanjung Malaya menuju ke pulau Sumatra, Kalimantan dan Sulawesi.

Istilah atau sebutan Toraja bukan berasal dari penduduk Toraja sendiri. Istilah Toraja berasal dan berkembang dari kata Bugis to yang berarti orang dan kata riaya yang berarti gunung atau dataran tinggi. Istilah ini diadopsi oleh Kruyt dan Adriani untuk menyebut orang-orang yang mendiami dataran tinggi sekitar Danau Poso di daerah Sulawesi Tengah dan Selatan. Di daerah-daerah tersebut Adriani dan Kruyt untuk pertama kalinya memulai menyebarkan agama Kristen pada tahun 1892. Nama Toraja dipakai oleh kedua misionaris yang juga ahli-ahli linguistik ini untuk menyebut orang-orang animisme yang mendiami dataran tinggi Sulawesi Tengah dan Selatan. Lebih lanjut, atas dasar perbedaan bahasa serta kebudayaan yang ada, Adriani dan Kruyt mengklasifikasikan penduduk

Toraja ke dalam tiga kelompok, yaitu (1) kelompok Toraja Barat, (2) kelompok Toraja Timur, (3) kelompok Toraja Selatan (Pakan, 1977:30; dalam Thomas, 1988). Kelompok yang terakhir yaitu kelompok Toraja Selatan juga meliputi kelompok orang Toraja Sa’dan yang sekarang mendiami Kabupaten Tana Toraja. (Thomas, 1988).

Klasifikasi Adrian dan Kruyt kemudian dikembangkan lebih lanjut oleh Kennedy (1953) dan Nooy-Palm (1974). Menurut Kennedy, kelompok Toraja Barat dan Kelompok Toraja Timur menurut klasifikasi Adriani dankruyt termasuk dalam kelompok Toraja, sedangkan kelompok Toraja bagian Selatan disebut Kelompok Sa’dang (Pakan, 1978:33; dalam Thomas 1988). Nama Sa’dang merupakan nama sungai yang mengalir di daerah dataran tinggi bagian Utara propinsi Sulawesi Selatan. Dengan demikian istilah Sa’dang, yang oleh Nooy Palm disebut Sadan, merupakan istilah yang dalam klasifikasi Adriani dan Kruyt mengacu kepada kelompok Toraja Selatan dan dalam klasifikasi Kennedy mengacu kepada kelompok Sa’dang (Thomas, 1988).

Sebenarnya pemakaian istilah Toraja sebagai satu identitas yang mengacu kepada satu suku bangsa baru terbentuk beberapa puluh tahun lalu saat masuknya pemerintah Belanda ke daerah Tana Toraja. Oleh mereka istilah Toraja dipergunakan untuk menyebut orang-orang yang tinggal di sekitar Kabupaten Tana Toraja. Sebelum itu, Orang Toraja sendiri bila mengidentifikasi diri sendiri di dalam wilayah Tana Toraja menyebut dirinya menurut asal lembang atau desanya. Misalnya orang yang berdesa asal Pangalla akan menyebut dirinya sebagai to pangalla yang artinya orang Pangalla (Ichromi, 1974:3; dalam Thomas, 1988). Pada masa kini Orang Toraja secara sadar menamakan dirinya Orang Toraja (tanpa pembatasan kata selatan) dan menganggap diri mereka sebagai suatu kesatuan suku bangsa Toraja (Pakan, 1978:38; dalam Thomas, 1988).

Masyarakat Toraja adalah masyarakat agraris dan mayoritas masih tradisional. Hasil pokoknya adalah beras. Sampai abad ini, beras menjadi dasar kekuasan dengan memungkinkan pemiliknya untuk melaksanakan kehidupan ritual untuk tingkat yang diperlukan untuk mempertahankan status. Semua sawah masih berada di tangan privat. Defisit tahunan dalam produksi padi menyebabkan pemerintah mengembangkan intensifikasi pertanian yang menganjurkan Masyarakat Toraja adalah masyarakat agraris dan mayoritas masih tradisional. Hasil pokoknya adalah beras. Sampai abad ini, beras menjadi dasar kekuasan dengan memungkinkan pemiliknya untuk melaksanakan kehidupan ritual untuk tingkat yang diperlukan untuk mempertahankan status. Semua sawah masih berada di tangan privat. Defisit tahunan dalam produksi padi menyebabkan pemerintah mengembangkan intensifikasi pertanian yang menganjurkan