Penentuan batas waktu berlakunya Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan untuk menjamin kredit tersebut
dilakukan oleh menteri yang berwenang di bidang pertanahan setelah mengadakan koordinasi dan konsultasi dengan Menteri
Keuangan, Gubernur Bank Indonesia dan pejabat lain yang terkait. Ketentuan pelaksanaan dari Pasal 15 ayat 5 Undang-Undang Hak
Tanggungan tersebut adalah Peraturan Menteri Negara AgrariaKepala Badan Pertanahan Nasional nomor 4 tahun 1996
tentang penetapan batas waktu penggunaan Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan untuk menjamin pelunasan Kredit
Tertentu tanggal 8 Mei 1996.
3. Isi Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan
Namanya surat kuasa membebankan hak tanggungan, semestinya isinya merupakan kewenangan-kewenangan yang
berkaitan dengan melaksanakan pembebanan hak tanggungan. Sebelum lahirnya Undang-Undang Hak Tanggungan, pemberian
kuasa untuk memasang hipotik seringkali diberikan dalam suatu akta tersendiri, tetapi di dalamnya memuat juga kuasa untuk
menjual. Seringkali di dalam akta surat kuasa memasang hipotik dicantumkan :
“1. Klausula pembukuan Boeken clausule atau bahwa bank berhak menetapkan sendiri jumlah tagihannya kepada
dan biaya-biaya yang harus dibayar oleh debitor, satu dan lain, dengan tidak mengurangi hak debitor untuk,
bilamana hasil penjualan persil melebihi dari jumlah
yang terhutang oleh debitor, menuntut kembali kelebihan itu dari bank ;
2. Janji pengosongan persil dalam eksekusi ; 3. Janji bahwa jika terjadi pengosongan melalui alat negara
semua ongkos dipikul oleh debitor ; 4.
Janji kuasa untuk memperpanjang hak atas tanah jaminan kalau jangka waktu berlakunya hak atas tanah
yang menjadi jaminan habis”.
24
Hal demikian dengan berpegang pada asas kebebasan berkontrak pada prinsipnya memang tidak terlarang dan karenanya
dibenarkan oleh undang-undang vide Pasal 1320 jo Pasal 1337 KUH Perdata. Ketentuan Pasal 15 ayat 1 huruf a yang
menyatakan : “Surat kuasa membebankan hak tanggungan tidak memuat
kuasa untuk melakukan perbuatan hukum lain daripada membebankan hak tanggungan”.
Dengan demikian terlihat bahwa ada sedikit penyimpanan dari praktek yang selama ini berjalan, menghendaki agar kuasa
membebankan hak tanggungam dibuat dalam suatu akta khusus hanya memuat suatu kewenangan membebankan hak tanggungan
saja. Namun demikian logisnya ketentuan, pasal tersebut harus diartikan secara longgar yaitu kuasa untuk membebankan hak
tanggungan bisa meliputi juga perbuatan-perbuatan lain yang berkaitan dengan tindakan memberikan hak tanggungan. Mestinya
pasal tersebut tidak boleh ditafsirkan, bahwa kuasa membebankan hak tanggungan hanya boleh berisi perbuatan membebankan hak
24
J Satrio., op. cit., Hal. 178
tanggungan dalam arti sempit. Jadi, yang dilarang adalah memasukkan kewenangan-kewenangan lain yang tidak ada
kaitannya langsung dengan tindakan membebankan hak tanggungan.
25
D. HAK TANGGUNGAN SEBAGAI LEMBAGA JAMINAN