Penjualan Agunan Secara Lelang Tanpa Persetujuan Pemberi Hak Tanggungan Diikuti Gugatan Perbuatan Melawan Hukum (Studi Putusan Nomor 348/ PDT.G/ 2009/PN.TNG)

(1)

PENJUALAN AGUNAN SECARA LELANG TANPA PERSETUJUAN PEMBERI HAK TANGGUNGAN DIIKUTI GUGATAN PERBUATAN

MELAWAN HUKUM

(STUDI PUTUSAN NOMOR 348/PDT.G/2009/PN.TNG)

SKRIPSI

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan Memenuhi Syarat-Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Universitas Sumatera Utara

OLEH :

FLAMING VRETIG SAMUEL BLESSRY SIAHAAN NIM : 080200246

DEPARTEMEN HUKUM KEPERDATAAN/ BW

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(2)

PENJUALAN AGUNAN SECARA LELANG TANPA PERSETUJUAN PEMBERI HAK TANGGUNGAN DIIKUTI GUGATAN PERBUATAN

MELAWAN HUKUM

(STUDI PUTUSAN NOMOR 348/PDT.G/2009/PN.TNG)

SKRIPSI

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-Tugas Dan Memenuhi Syarat-Syarat Untuk Mencapai Gelar Sarjana Hukum Universitas Sumatera Utara

Oleh :

FLAMING VRETIG SAMUEL BLESSRY SIAHAAN NIM : 080200246

Disetujui Oleh

Ketua Departemen Hukum Perdata

(Dr. Hasim Purba, SH. M.Hum) NIP. 196603031985081001

Pembimbing I Pembimbing II

(M. HAYAT, SH) (MALEM GINTING, SH.M.Hum.) NIP. 195008081980021001 NIP.195707151983031002

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(3)

(4)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas berkat dan rahmatNya yang telah memberikan kekuatan lahir dan bathin kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini guna melengkapi persyaratan yang diperlukan untuk memperoleh gelar sarjana hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Untuk memenuhi kewajiban tersebut maka disusunlah skripsi ini yang berjudul “PENJUALAN AGUNAN SECARA LELANG TANPA PERSETUJUAN PEMBERI HAK TANGGUNGAN DIIKUTI GUGATAN PERBUATAN MELAWAN HUKUM (STUDI PUTUSAN NOMOR 348/ PDT.G/ 2009/PN.TNG)”.

Penulis menyadari bahwa tulisan ini masih jauh dari kesempurnaan, namun dengan lapang hati penulis selalu menerima kritik, saran maupun masukan yang bersifat mendidik dan membangun dari berbagai pihak.

Dalam kesempatan ini, penulis menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Bapak Rektor Universitas Sumatera Utara, Prof.Dr. Syahril Pasaribu, DTMH,MSc (CTM),Sp.A(K).

2. Bapak Prof. Dr. Runtung,SH.M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas SumateraUtara.

3. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, SH.M.Hum, selaku Pembantu Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.


(5)

4. Bapak Syafruddin Hasibuan, SH.MH.DFM, selaku Pembantu Dekan II Fakultas Hukum Sumatera Utara.

5. Bapak Muhammad Husni.SH.MH, selaku Pembantu Dekan III Fakultas Hukum Sumatera Utara.

6. Bapak Dr.Hasyim Purba,SH.M.Hum, selaku Ketua Departeman Hukum Keperdataan Fakultas Hukum Sumatera Utara.

7. Bapak Syamsul Rizal,SH.M.Hum, selaku Ketua Program Kekhususan Perdata BW Fakultas Hukum Sumatera Utara.

8. Bapak M.HAYAT,SH.MH, selaku Dosen Pembimbing I yang telah banyak memberikan arahan dan bimbingan bagi penulis.

9. Bapak Malem Ginting SH.MHum, selaku Dosen Pembimbing II yang telah banyak memberikan arahan dan bimbingan bagi penulis.

10. Ibu Idha Apriliana Sembiring SH, M.Hum., selaku Dosen Wali.

11. Bapak dan Ibu Dosen serta seluruh Staf di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

12. Teristimewa penulis ucapkan untuk Tercinta Ayahanda Avrits Siahaan SH.MH, dan Ibunda Dra. Dewi Lasmawati Tinambunan yang merupakan orangtua dari penulis yang telah memberikan dukungan yang sangat berarti,dorongan dan dukungan doa baik secara moril maupun materil kepada penulis dari awal sampai akhir skripsi ini

13. Terima kasih yang tulus kepada adik-adik yang sangat penulis sayang, Windhika Ester Prildia Siahaan, Euni Retri Mendena Siahaan, Helsa Yunita Tinambunan yang telah memberikan dukungan yang sangat


(6)

berarti, dukungan doa, pengertian yang sangat mendalam dan dorongan kepada penlis untuk menyelesaikan skripsi ini.

14. Terima kasih penulis ucapkan kepada opung tercinta (Alm) S.Tinambunan (Op.Bayu doli) dan R.Marbun (Op.Bayu boru), Tinur Siahaan, Keluarga Besar Tinambunan dan Keluarga Besar Siahaan yang telah memberikan dukungan yang tak terhingga didalam doa dan dukungan yang sangat berarti kepada penulis.

15. Yang terkasih buat rekan - rekan penulis : Sepstian Tarigan, Paulus Herdianto Manurung, Robless Arnold, Wanseptember Situmorang, Hendro Chandra, Immanuel Pardede, Brury Prisma, Juna Kaban, Marhara Tambunan, dan seluruh mahasiswa stambuk 2008, dan juga kepada Para rekan – rekan GMKI (Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia), serta kepada bang Rawan Jati, dan bang Henry Sitorus. yang telah mendukung dalam doa dan moril meskipun tidak saya sebutkan satu per- satu.

Akhir kata penulis memohon maaf apabila ada kesalahan atau kesilapan yang pernah penulis perbuat dahulu. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis maupun pihak-pihak yang memerlukannya.

Medan, Juli 2012 Penulis,

FLAMING V. S. B SIAHAAN NIM : 080200246


(7)

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... iv

ABSTRAKSI ... vi

BAB I : PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Permasalahan ... 5

C. Tujuan Penulisan ... 6

D. Manfaat Penulisan ... 6

E. Metode Penelitian ... 7

F. Keaslian Penulisan ... 10

G. Sistematika Penulisan ... 10

BAB II : TINJAUAN UMUM TENTANG HAK TANGGUNGAN ... 12

A. Pemberian Hak Tanggungan dan Ruang Lingkupnya ... 12

B. Objek Hak Tanggungan ... 35

C. Sertifikat Hak Tanggungan Dan Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan ... 41

BAB III : PELELANGAN SECARA PROSEDURAL ... 45

A. Pengertian, Fungsi Dan Klasifikasi Lelang ... 45

B. Tata Cara Penawaran Lelang Serta Pembayarannya ... 51


(8)

BAB IV : PELAKSANAAN PENJUALAN OBJEK HAK

TANGGUNGAN MELALUI LELANG ... 70

A. Proses Peralihan Hak Atas Suatu Objek Agunan Kepada Pembeli Lelang...70

B. Penjualan Lelang Tanpa Diketahui Pemilik Objek Agunan Dapat Dikategorikan Perbuatan Melawan Hukum...76

C. Proses Penjualan Objek Agunan Melalui Lelang Tanpa Persetujuan Pemberi Hak Tanggungan Dapat Diajukan Sebagai Perbuatan Melawan Hukum ... 100

D. Kasus Posisi Atas Putusan Pengadilan Negeri Nomor : 348/PDT. G/2009/PN. TNG ... 106

E. Tanggapan ... 123

BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN ... 126

A. Kesimpulan ... 126

B. Saran ... 127

DAFTAR PUSTAKA ... viii


(9)

PENJUALAN AGUNAN SECARA LELANG TANPA PERSETUJUAN PEMBERI HAK TANGGUNGAN DIIKUTI GUGATAN PERBUATAN MELAWAN HUKUM (STUDI PUTUSAN NOMOR 348/PDT.G/2009/PN.TNG)

*) M.HAYAT, SH, MH.

**) MALEM GINTING SH, MHum.

***) FLAMING V S B SIAHAAN

ABSTRAKSI

Dalam kehidupan masyarakat, masyarakat sering menggunakan agunan sebagai cara untuk memperoleh suatu barang, Agunan dalam kamus bahasa Indonesia ialah “ jaminan atau juga tanggungan’’ jaminan berarti adanya sesuatu yang bisa menjadikan pegangan bagi kreditur ketika debitur ingin memperoleh suatu barang yang diinginkan, sebelum melunasi barang tersebut, maka debitur harus memberikan jaminannya,

Dalam hal lelang telah diperintahkan oleh Ketua Pengadilan Negeri, maka lelang tersebut hanya dapat ditangguhkan oleh Ketua Pengadilan Negeri dan tidak dapat ditangguhkan dengan alasan apapun oleh pejabat instansi lain, karena lelang yang diperintahkan oleh Ketua Pengadilan Negeri dan dilaksanakan oleh Kantor Lelang Negara adalah dalam rangka eksekusi, dan bukan merupakan putusan dari kantor lelang Negara. Penjualan (lelang) benda tetap harus diumumkan dua kali dengan berselang lima belas hari diharian yang terbit di kota itu atau kota yang berdekatan dengan objek yang akan dilelang (Pasal 200 (7) HIR, Pasal 217 RBg).

Pelaksanaan lelang terhadap aset – aset berupa tanah dan bangunan sebagaimana dalam sertifikat hak milik yang menjadi jaminan di PT. Bank Negara Indonesia dianggap oleh pemberi hak tanggungan merupakan perbuatan yang bertentangan dengan hukum, karena disamping telah melanggar hak –hak selaku Debitur juga tanpa alasan yang sah melakukan proses pelelangan secara sepihak yang dianggap oleh pemberi hak tanggungan telah mengakibatkan kerugian bagi Debitur baik secara moril maupun secara materil. .

Pelaksanaan lelang terhadap aset – aset yang dijaminkan oleh Pemberi Hak Tanggungan di PT. Bank Negara Indonesia pada awalnya adalah berdasarkan perjanjian kredit dalam rangka penjaminan hutang yang pada gilirannya tidak dapat dipenuhi pembayaran kewajibannya sebagaimana yang telah diperjanjikan dan terjadi kredit macet sehingga untuk memperoleh pembayaran atas hutang pemberi hak tanggungan dilakukan pelelangan umum. Penjualan objek hak tanggungan berupa tanah dan bangunan secara lelang memerlukan persyaratan – persyaratan sebagaimana yang ditentukan dalam


(10)

Undang – Undang agar dalam pelaksanaannya tidak menimbulkan kerugian bagi para pihak yang mengikat perjanjian.

Dalam hal Debitur mengingkari perjanjian yang telah diperbuat sebelumnya, maka mempunyai dampak terhadap objek hak tanggungan yang akan dilakukan penjualan dengan cara pelelangan umum, dan dalam hal ini berkaitan dengan siapakah yang berhak melakukan penjualannya serta apakah diperlukan persetujuan dari pemberi hak tanggungan .

Pihak Debitur yang merasa dirugikan akan melakukan gugatan ke Pengadilan Negeri atas penjualan objek hak tanggungan yang dianggap oleh Debitur sebagai perbuatan melawan hukum, akan tetapi apakah masih diperlukan persetujuan dari pemberi hak tanggungan bilamana akan dilakukan penjualan terhadap objek hak tanggungan, jika ada hak yang diberikan Undang – Undang bagi pemegang hak tanggungan untuk melakukan penjualan objek hak tanggungan, maka tidak ada terjadi perbuatan melawan hukum dan gugatan dimaksud tidak berkekuatan hukum.

Kata Kunci : 1) Lelang

2) Hak Tanggungan

3) Perbuatan Melawan Hukum

*) Dosen Pembimbing I, Fakultas Hukum USU. **) Dosen Pembimbing II, Fakultas Hukum USU. ***) Mahasiswa Fakultas Hukum USU.


(11)

PENJUALAN AGUNAN SECARA LELANG TANPA PERSETUJUAN PEMBERI HAK TANGGUNGAN DIIKUTI GUGATAN PERBUATAN MELAWAN HUKUM (STUDI PUTUSAN NOMOR 348/PDT.G/2009/PN.TNG)

*) M.HAYAT, SH, MH.

**) MALEM GINTING SH, MHum.

***) FLAMING V S B SIAHAAN

ABSTRAKSI

Dalam kehidupan masyarakat, masyarakat sering menggunakan agunan sebagai cara untuk memperoleh suatu barang, Agunan dalam kamus bahasa Indonesia ialah “ jaminan atau juga tanggungan’’ jaminan berarti adanya sesuatu yang bisa menjadikan pegangan bagi kreditur ketika debitur ingin memperoleh suatu barang yang diinginkan, sebelum melunasi barang tersebut, maka debitur harus memberikan jaminannya,

Dalam hal lelang telah diperintahkan oleh Ketua Pengadilan Negeri, maka lelang tersebut hanya dapat ditangguhkan oleh Ketua Pengadilan Negeri dan tidak dapat ditangguhkan dengan alasan apapun oleh pejabat instansi lain, karena lelang yang diperintahkan oleh Ketua Pengadilan Negeri dan dilaksanakan oleh Kantor Lelang Negara adalah dalam rangka eksekusi, dan bukan merupakan putusan dari kantor lelang Negara. Penjualan (lelang) benda tetap harus diumumkan dua kali dengan berselang lima belas hari diharian yang terbit di kota itu atau kota yang berdekatan dengan objek yang akan dilelang (Pasal 200 (7) HIR, Pasal 217 RBg).

Pelaksanaan lelang terhadap aset – aset berupa tanah dan bangunan sebagaimana dalam sertifikat hak milik yang menjadi jaminan di PT. Bank Negara Indonesia dianggap oleh pemberi hak tanggungan merupakan perbuatan yang bertentangan dengan hukum, karena disamping telah melanggar hak –hak selaku Debitur juga tanpa alasan yang sah melakukan proses pelelangan secara sepihak yang dianggap oleh pemberi hak tanggungan telah mengakibatkan kerugian bagi Debitur baik secara moril maupun secara materil. .

Pelaksanaan lelang terhadap aset – aset yang dijaminkan oleh Pemberi Hak Tanggungan di PT. Bank Negara Indonesia pada awalnya adalah berdasarkan perjanjian kredit dalam rangka penjaminan hutang yang pada gilirannya tidak dapat dipenuhi pembayaran kewajibannya sebagaimana yang telah diperjanjikan dan terjadi kredit macet sehingga untuk memperoleh pembayaran atas hutang pemberi hak tanggungan dilakukan pelelangan umum. Penjualan objek hak tanggungan berupa tanah dan bangunan secara lelang memerlukan persyaratan – persyaratan sebagaimana yang ditentukan dalam


(12)

Undang – Undang agar dalam pelaksanaannya tidak menimbulkan kerugian bagi para pihak yang mengikat perjanjian.

Dalam hal Debitur mengingkari perjanjian yang telah diperbuat sebelumnya, maka mempunyai dampak terhadap objek hak tanggungan yang akan dilakukan penjualan dengan cara pelelangan umum, dan dalam hal ini berkaitan dengan siapakah yang berhak melakukan penjualannya serta apakah diperlukan persetujuan dari pemberi hak tanggungan .

Pihak Debitur yang merasa dirugikan akan melakukan gugatan ke Pengadilan Negeri atas penjualan objek hak tanggungan yang dianggap oleh Debitur sebagai perbuatan melawan hukum, akan tetapi apakah masih diperlukan persetujuan dari pemberi hak tanggungan bilamana akan dilakukan penjualan terhadap objek hak tanggungan, jika ada hak yang diberikan Undang – Undang bagi pemegang hak tanggungan untuk melakukan penjualan objek hak tanggungan, maka tidak ada terjadi perbuatan melawan hukum dan gugatan dimaksud tidak berkekuatan hukum.

Kata Kunci : 1) Lelang

2) Hak Tanggungan

3) Perbuatan Melawan Hukum

*) Dosen Pembimbing I, Fakultas Hukum USU. **) Dosen Pembimbing II, Fakultas Hukum USU. ***) Mahasiswa Fakultas Hukum USU.


(13)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Dalam kehidupan di masyarakat, setiap orang membutuhkan uang untuk berbagai kepentingannya termasuk dengan cara mendapatkan fasilitas kredit dari bank tertentu. Pemberian fasilitas kredit oleh pihak kreditur kepada debitur tentu harus melalui berbagai persyaratanya diantaranya ada perjanjian kredit dan ada jaminan yang diberikan atas utang dari Debitur.

Masalah perkreditan erat kaitannya dengan lembaga jaminan yang akan menjamin pengembalian kredit kepada pemberi kredit secara cepat dan pasti. Oleh karena itu sudah seharusnya jika pemberi dan penerima kredit serta pihak yang lain yang terkait mendapatkan perlindungan hukum melalui suatu lembaga hak jaminan yang kuat dan memberikan kepastian hukum bagi semua pihak yang berkepentingan.

Pasal 1131 Kitab Undang – Undang Hukum Perdata menyatakan bahwa : ” Segala kebendaan si berhutang, baik yang bergerak maupun yang tak bergerak, baik yang sudah ada maupun baru akan ada di kemudian hari, menjadi tanggungan untuk segala perikatan perseorangan”.1

Dengan demikian, pada saat seseorang berhutang atau debitur maka dengan sendirinya atau bagi hukum telah terjadi pemberian jaminan dari debitur kepada setiap krediturnya atas segala harta kekayaan debitur itu.

1

R.Subekti & R.Tjitrosudibio,Kitab Undang -Undang Hukum Perdata, (Jakarta, Pradnya Paramitha,2001), h. 291.


(14)

Permasalahan akan timbul apabila terdapat lebih dari satu Kreditur dan ternyata Debitur cidera janji terhadap salah satu atau beberapa Kreditur ini. Tentu saja masing – masing Kreditur merasa mempunyai hak terhadap harta kekayaan Debitur itu sebagai jaminan pengembalian masing – masing piutangnya. Pasal 1132 KUHPerdata menyatakan bahwa harta Kekayaan Debitur itu menjadi jaminan secara bersama – sama bagi semua Kreditur yang memberi uang kepada Debitur yang bersangkutan.2

Alasan – alasan yang ditentukan oleh Undang – Undang itu diatur dalam Pasal 1133 KUHPerdata. Pasal – Pasal 1133 KUHPerdata itu bahwa hak untuk didahulukan bagi seorang Kreditur tertentu terhadap Kreditur lain timbul dari hak istimewa, gadai, dan hipotik. Karena itu, para Kreditur lain yang tidak mempunyai kedudukan untuk didahulukan berdasarkan alasan – alasan yang ditentukan oleh Undang – Undang, mempunyai kedudukan yang sama dan hak mereka untuk memperoleh pembagian dari hasil penjualan harta kekayaan

Kemudian hasil dari penjualan benda – benda yang menjadi kekayaan Debitur itu dibagi kepada semua Krediturnya secara seimbang atau propersonal menurut perbandingan besarnya piutang masing – masing. Namun Pasal 1132 KUHPerdata itu memberikan indikasi bahwa diantara para Kreditur itu dapat didahulukan kedudukannya terhadap Kreditur lain apabila ada alasan – alasan yang sah untuk didahulukan itu. Alasan – alasan sah yang dimaksud itu ialah alasan – alasan yang ditemukan oleh Undang – Undang.

2


(15)

Debitur apabila debitur cedera janji adalah berimbang secara proporsional menurut besarnya masing – masing piutang.

Undang – Undang nomor 5 tahun 1960 Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria atau disingkat UUPA melalui Pasal 51 telah menyediakan lembaga jaminan dapat dibebankan pada hak atas tanah, yaitu hak tanggungan sebagai pengganti hipotik dan credietverband. Akan tetapi selama ini hak tanggungan tersebut belum berfungsi sebagaimana seharusnya karena belum ada Undang – Undang yang mengaturnya secara lengkap. Berdasarkan aturan peralihan Pasal 57 UUPA, selama Undang – Undang mengenai hak tanggungan belum terbentuk maka masih diberlakukan ketentuan hukum dalam buku II KUHPerdata.

Setelah melewati rentang waktu lebih dari 35 tahun sejak diamanatkan pasal 51 UUPA akhirnya terwujudlah Undang – Undang yang diharapkan dapat mengamankan kegiatan perkreditan dalam upaya memenuhi kebutuhan dana untuk menunjang kegiatan pembangunan, yaitu Undang – Undang Nomor 4 Tahun 1960 tentang Hak Tanggungan atas tanah beserta benda – benda yang berkaitan dengan tanah, yang diundangkan dan diberlakukan pada tanggal 09 April 1996, dan tulisan ini akan disingkat dengan Undang – Undang Hak Tanggungan. Dengan telah diundangkannya Undang – Undang Hak Tanggungan tersebut terwujudlah sudah unifikasi hukum nasional, yang ada dibidang hak jaminan atas tanah. Namun dalam pelaksanaanya tentu permasalahan yang timbul. Dalam tulisan ini secara khusus akan dibahas masalah pelaksanaan eksekusi hak tanggungan melalui penjualan dimuka umum atau lelang.


(16)

Pelaksanaan lelang terhadap aset-aset berupa tanah dan bangunan sebagaimana dalam Sertifikat Hak Milik yang menjadi jaminan di PT. Bank Negara Indonesia dianggap oleh pemberi hak tanggungan merupakan perbuatan yang bertentangan dengan hukum, karena disamping telah melanggar hak – hak selaku Debitur juga tanpa alasan yang sah melakukan proses pelelangan secara sepihak yang dianggap oleh pemberi hak tanggungan telah mengakibatkan kerugian bagi Debitur baik secara moril maupun secara materil.

Pelaksanaan lelang terhadap aset – aset yang dijaminkan oleh Pemberi Hak Tanggungan di PT. Bank Negara Indonesia pada awalnya adalah berdasarkan perjanjian kredit dalam rangka penjaminan hutang yang pada gilirannya tidak dapat dipenuhi pembayaran kewajibannya sebagaimana yang telah diperjanjikan dan terjadi kredit macet sehingga untuk memperoleh pembayaran atas hutang pemberi hak tanggungan dilakukan pelelangan umum.

Penjualan objek hak tanggungan berupa tanah dan bangunan secara lelang memerlukan persyaratan – persyaratan sebagaimana yang ditentukan dalam Undang – Undang agar dalam pelaksanaannya tidak menimbulkan kerugian bagi para pihak yang mengikat perjanjian.

Dalam hal Debitur mengingkari perjanjian yang telah diperbuat sebelumnya, maka mempunyai dampak terhadap objek hak tanggungan yang akan dilakukan penjualan dengan cara pelelangan umum, dan dalam hal ini berkaitan dengan siapakah yang berhak melakukan penjualannya serta apakah diperlukan persetujuan dari pemberi hak tanggungan.


(17)

Pihak Debitur yang merasa dirugikan akan melakukan gugatan ke Pengadilan Negeri atas penjualan objek hak tanggungan yang dianggap oleh Debitur sebagai perbuatan melawan hukum, akan tetapi apakah masih diperlukan persetujuan dari pemberi hak tanggungan bilamana akan dilakukan penjualan terhadap objek hak tanggungan, jika ada hak yang diberikan Undang – Undang bagi pemegang hak tanggungan untuk melakukan penjualan objek hak tanggungan, maka tidak ada terjadi perbuatan melawan hukum dan gugatan dimaksud tidak berkekuatan hukum.

B. Permasalahan

Perumusan masalah merupakan awal dari segenap proses ilmiah, tanpa ada masalah tidak akan ada penelitian ilmiah. Masalah adalah ibarat jantung dari setiap rencana penelitian ilmiah makin tegas dan terarah perumusan masalahnya.3

1. Bagaimanakah proses peralihan hak atas suatu objek agunan kepada pembeli lelang?

Makin jelas pula arah dan pelaksanaan penelitian. Maka sesuai dengan judul skripsi penulis, maka dalam hal ini penulis merumuskan pokok permasalahan sebagai berikut :

2. Apakah penjualan lelang tanpa diketahui pemilik objek agunan dapat dikategorikan perbuatan melawan hukum?

3. Bagaimana proses penjualan objek agunan melalui lelang tanpa persetujuan pemberi Hak Tanggungan dapat diajukan sebagai perbuatan melawan hukum?

3

Wasty Soemanto,Pedoman Teknis Penulisan Skripsi,(Jakarta, Bumi Aksara, 1994),


(18)

C. Tujuan Penulisan

Tujuan penulisan selamanya mengacu pada masalah yang telah dirumuskan. Apabila rumusan masalah menyangkut hubungan antara variabel, maka rumusan tujuan penelitiannya hendaknya berupaya mencari penemuan tantang ada dan tidaknya hubungan antara variabel yang dimaksud. Tujuan penulisan ialah apa yang secara langsung dan spesifik yang akan dicapai dengan penelitian yang dilakukan bertolak dari masalahnya.4

a. Untuk mengetahui cara terjadinya perpindahan hak kepada pembeli lelang atas suatu objek agunan

Maka sesuai dengan permasalahan di atas, maka yang menjadi tujuan yang akan dicapai dari penulisan skripsi ini adalah:

b. Untuk mengetahui penjualan lelang tanpa diketahui pemilik objek agunan dapat dikategorikan perbuatan melawan hukum

c. Untuk mengetahui penjualan objek agunan secara lelang tanpa persetujuan pemberi hak tanggungan dapat diajukan sebagai perbuatan melawan hukum.

D. Manfaat Penulisan

Dari hasil penulisan ini diharapkan dapat memberikan manfaat, antara lain:

1. Manfaat Teoritis

Penulisan skripsi ini diharapkan dapat memperkaya khasanah ilmu hukum serta dapat memberikan sumbangan pemikiran guna membangun

4


(19)

argumentasi ilmiah terhadap penerapan penjualan agunan secara lelang tanpa persetujuan pemberi hak tanggungan dalam gugatan perbuatan melawan hukum.

2. Manfaat Praktis

Penulisan skripsi ini juga diharapkan dapat memberikan tambahan pengetahuan, sumbangan pemikiran bagi masyarakat luas tentang penjualan agunan secara lelang tanpa persetujuan pemberi hak tanggungan dapat diajukan sebagai perbuatan melawan hukum. Penulisan skripsi ini dapat menjadi salah satu jawaban yang tepat terhadap persoalan peningkatan latihan berpikir dan bekerja ilmiah di kalangan mahasiswa. Melalui penulisan skripsi ini, penulis secara terbimbing mampu belajar menyusun konsep rencana penelitian, melakukan pengumpulan data, mengolah data, menarik kesimpulan serta menuliskan laporan karya ilmiah dengan sebaik – baiknya. Oleh karena itu penulisan skripsi ini merupakan tugas yang penting bagi penulis.5

E. Metode Penulisan

Dalam hal ini, apa yang penulis kemukakan dalam tulisan ini merupakan pangambilan bahan tidak terlepas dari media cetak dan media elektronik mengingat tulisan ini kerap diaktualisasikan melalui media cetak dan media elektronik.

Adapun penelitian yang digunakan oleh penulis dapat diuraikan sebagai berikut:

5


(20)

1. Studi Kepustakaan

Jenis penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini disesuaikan dengan permasalahan yang diangkat di dalamnya. Dengan demikian, penelitian yang dilaksanakan adalah penelitian hukum normatif, yaitu penelitian yang menganalisa hukum yang tertulis.

2. Data dan Sumber Data

Dalam menyusun skripsi ini, data dan sumber data yang digunakan adalah bahan hukum primer, sekunder dan tersier.

Bahan hukum primer, yaitu bahan hukum yang terdiri dari peraturan perundang-undangan di bidang hukum yang mengikat, antara lain Undang-Undang No. 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan dan Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1996 Tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Tanggungan, dan Hak Pakai Atas Tanah.

Bahan hukum sekunder, yaitu bahan hukum yang memberikan penjelasan terhadap bahan hukum primer, yaitu hasil karya para ahli hukum berupa buku-buku, pendapat-pendapat para sarjana yang berhubungan dengan skripsi ini.

Bahan hukum tersier atau bahan hukum penunjang, yaitu bahan hukum yang memberikan petunjuk atau penjelasan bermakna terhadap bahan hukum primer dan/ atau bahan hukum sekunder, yaitu kamus hukum dan lain - lain serta bahan – bahan sekunder dan tersier di luar bidang hukum yang relevan dan dapat di pergunakan untuk melengkapi data yang diperlukan dalam penelitian.6

3. Teknik Pengumpulan Data

6

Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, (Jakarta, Rajawali Pers, 1990). h. 41.


(21)

Untuk melengkapi penulisan skripsi ini agar tujuan dapat lebih terarah dan dapat dipertanggungjawabkan, penulis menggunakan metode penelitian hukum normatif. Dengan pengumpulan data secara studi pustaka (Library Reseach).

Penulis menggunakan suatu penelitian kepustakaan (Library Reseach). Dalam hal ini penelitian hukum dilakukan dengan cara penelitian kepustakaan atau disebut dengan penelitian normatif yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder belaka yang lebih dikenal dengan nama dan bahan acuan dalam bidang hukum atau bahan rujukan bidang hukum.

Metode Library Reseach adalah mempelajari sumber-sumber atau bahan-bahan tertulis yang dapat dijadikan bahan-bahan dalam penulisan skripsi ini. Berupa rujukan beberapa buku.

4. Analisis Data

Penelitian yang dilakukan oleh penulis dalam skripsi ini termasuk ke dalam tipe penelitian hukum normatif. Pengolahan data pada hakekatnya merupakan kegiatan untuk melakukan analisa terhadap permasalahan yang akan dibahas. Analisa data dilakukan dengan:

a. Mengumpulkan bahan-bahan hukum yang relevan dengan permasalahan yang diteliti.

b. Memilih kaidah-kaidah hukum atau doktrin yang sesuai dengan penelitian.

c. Mensistematisasikan kaidah-kaidah hukum, asas atau doktrin.

d. Menjelaskan hubungan-hubungan antara berbagai konsep, pasal atau doktrin yang ada.


(22)

F. Keaslian Penulisan

Berdasarkan hasil pemeriksaan yang diperoleh dari perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, judul skripsi ini belum pernah dikemukakan dan permasalahan yang diajukan juga belum pernah diteliti. Oleh karena itu, penulisan skripsi dapat dikatakan masih original sehingga keabsahannya dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Dengan demikian penulisan skripsi ini merupakan penulisan yang pertama dan asli adanya. Penulisan skripsi ini dibuat berdasarkan hasil pemikiran dan juga referensi buku-buku, peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan hak tanggungan, serta informasi yang diperoleh dari media cetak dan elektronik.

G. Sistematika Penulisan

Dalam menghasilkan karya ilmiah yang baik, maka pembahasannya harus diuraikan secara sistematis. Untuk mempermudah penulisan skripsi ini maka diperlukan adanya sistematika penulisan yang teratur dan terbagi dalam bab perbab yang saling berangkaian satu sama lain.

Adapun yang merupakan sistematika skripsi ini adalah sebagai berikut: BAB I : Berisikan Pendahuluan yang menggambarkan hal-hal yang

bersifat umum dalam Latar Belakang, Permasalahan, Tujuan Penulisan, Manfaat Penulisan, Metode Penelitian, Keaslian Penulisan dan Sistematika Penulisan.

BAB II : Di dalam bab ini dikemukakan tentang Pemberian Hak Tanggungan Serta Ruang Lingkupnya, Objek Hak


(23)

Tanggungan Dan Sertifikat Hak Tanggungan Serta Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan.

BAB III : Di dalam bab ini menguraikan tentang Pengertian, Fungsi Dan Klasifikasi Lelang, Tata Cara Penawaran Dan Pembayaran Lelang, Dan Aspek – Aspek Hukum Yang Timbul Dalam Pelelangan.

BAB IV : Di dalam bab ini membahas Proses Peralihan Hak Atas Suatu Objek Agunan Kepada Pembeli Lelang, Penjualan Lelang Tanpa Diketahui Pemilik Objek Agunan Dapat Dikategorikan Perbuatan Melawan Hukum, Proses Penjualan Objek Agunan Melalui Lelang Tanpa Persetujuan Pemberi Hak Tanggungan Dapat Diajukan Sebagai Perbuatan Melawan Hukum, Kasus Posisi Atas Putusan Pengadilan Negeri Nomor : 348/PDT.G/2009/PN.TNG Dan Tanggapan.

BAB V : Bab ini berisikan kesimpulan dan saran seluruh rangkaian bab-bab sebelumnya. Dalam bab ini berisikan kesimpulan dan saran yang dibuat berdasarkan uraian skripsi ini, kemudian dilengkapi saran yang mungkin bermanfaat dimasa datang.


(24)

BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG HAK TANGGUNGAN

A. Pemberian Hak Tanggungan dan Ruang Lingkupnya

Pemberian Hak Tanggungan adalah orang perseorangan atau badan hukum yang mempunyai kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum terhadap Objek Hak Tanggungan yang bersangkutan. Pemberian Hak Tanggungan didahului dengan janji untuk memberikan Hak Tanggungan sebagai jaminan pelunasan utang tertentu, yang dituangkan didalam dan merupakan bagian tak terpisahkan dari perjanjian utang – piutang yang bersangkutan atau perjanjian lainnya yang menimbulkan utang tersebut. Pemberian Hak Tanggungan dilakukan dengan pembuatan Akta Pemberian.7 Hak Tanggungan harus dibuat dalam suatu Akte Notaris, agar mempunyai kekuatan terhadap pihak ketiga, dan Hak Tanggungan harus didaftarkan pada pengurusan pembalikkan nama sesuai dengan Peraturan Perundang – Undangan yang berlaku.8

Pemberian Hak Tanggungan dilakukan bersamaan dengan permohonan pendaftaran hak atas tanah yang bersangkutan. Undang – Undang Hak

Apabila Objek Hak Tanggungan berupa Hak Atas tanah yang berasal dari konversi hak lama yang telah memenuhi syarat untuk didaftarkan, akan tetapi pendaftarannya belum dilakukan.

7

Mahkamah Agung RI,Pedoman Teknis Administrasi Dan Teknis Peradilan Perdata Umum Dan Perdata Khusus,Buku II Edisi 2007& 2008,(Jakarta,IKAHI,2008). h. 90.

8


(25)

Tanggungan Nomor 4 Tahun 1996, Pada pasal 1 ayat 1 memberikan defenisi Hak Tanggungan sebagai berikut :

" Hak Tanggungan atas tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah, yang selanjutnya disebut Hak Tanggungan, adalah hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu, untuk pelunasan utang tertentu terhadap Kreditur-Kreditur lain."9

Ada beberapa unsur pokok dari Hak Tanggungan yang terdapat dalam defenisi Hak Tanggungan tersebut. Unsur – Unsur Pokok itu ialah :

1. Hak tanggungan adalah hak jaminan 2. Untuk pelunasan utang

3. Objek hak tanggungan adalah hak atas tanah sesuai Undang – Undang Pokok Agraria.

4. Hak Tanggungan dapat di bebankan atas tanahnya (Hak Atas Tanah) saja, dan dapat pula dibebankan benda – benda lain yang merupakan satu- kesatuan dengan tanah itu.

5. Utang yang dijamin haruslah suatu utang yang tertentu.

6. Memberikan kedudukan yang diutamakan kepada Kreditur terhadap Kreditur – Kreditur yang lain.

Dalam Unsur pokok hak tanggungan, maka ada juga pembebanan hak tanggungan pada hak atas tanah harus dilakukan melalui akta yang dibuat oleh dan dihadapan PPAT. Hak-hak atas tanah yang dapat diletakkan hak

9

Pengadilan Sumatera Selatan,Himpunan Undang – Undang Yang berkaitan dengan UU Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak tanggungan, 1997. h. 2 & 3.


(26)

Tanggungan di atasnya adalah: hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, hak pakai, dan hak milik atas satuan rumah susun.

Dokumen yang diperlukan untuk pendaftaran Hak Tanggungan: 1. Surat pengantar dari Pejabat Pembuat Akte Tanah

2. Surat permohonan pendaftaran

3. Identitas pemberi dan pemegang Hak Tanggungan 4. Sertifikat asli Hak Atas Tanah

5. Lembar ke-2 Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT)

6. Salinan Akta Pemberian Hak Tanggungan (untuk lampiran Sertifikat Hak Tanggungan)

7. Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan (SKMHT) apabila dilakukan melalui kuasa.

Hak Tanggungan dapat beralih atau dialihkan karena adanya cessie, subrogasi, pewarisan, atau penggabungan serta peleburan perseroan. Dokumen yang diperlukan untuk pendaftaran peralihan Hak Tanggungan:

1. Sertifikat asli Hak Tanggungan

2. Akta cessie atau Akta Otentik yang menyatakan adanya cessie

3. Akta subrogasi atau Akta Otentik yang menyatakan adanya subrogasi 4. Bukti pewarisan

5. Bukti penggabungan atau peleburan perseroan 6. Identitas pemohon

Hak Tanggungan sebagai pengganti bentuk Grosse Akta Berdasarkan Pasal 29, Hak Tanggungan merupakan pengganti bentuk grosse akta yang disebut dalam


(27)

Pasal 224 HIR. Pasal ini dengan tegas mengatakan, dengan diundangkannya Undang-Undang No. 4 Tahun 1996, tidak berlaku lagi :

1. Credietverband St. 1908 – 542 jo. St. 1909 – 586 sebagaimana diubah dengan St. 1937 – 190 jo. St. 1937 – 191

2. Ketentuan hipotek yang diatur dalam Buku II, Bab XXI KUHPerdata (Pasal 1162 – 1232), sepanjang jaminannya mengenai hak atas tanah.10

Untuk menjelaskan eksekusi Hak Tanggungan, perlu diketahui lebih dahulu tata cara atau proses yuridis dan administrasif melekatnya titel eksekutorial pada Hak Tanggungan.

1. Tahap Pertama; Perjanjian Kredit dengan Klausul Pemberian Hak Tanggungan

Tahap awal, pengikatan perjanjian kredit atau perjanjian utang :

a. Dalam salah satu Pasalnya, disepakati janji Debitur memberikan Hak Tanggungan sebagai jaminan pelunasan utang. Dengan demikian, perjanjian kredit yang berisi janji debitur memberikan Hak Tanggungan, merupakan :

Perjanjian pokok (basic agreement, principal agreement), yang berfungsi sebagai dokumen pertama untuk membuktikan adanya perjanjian utang :

10

M.Yahya Harahap,Ruang Lingkup Permasalahan Eksekusi Bidang Perdata, (Jakarta, Sinar Grafika, 2007). h. 188.


(28)

1) Perjanjian pokok (basic agreement,Principal agreement), yang berfungsi sebagai dokumen pertama untuk membuktikan adanya perjanjian hutang.

2) Menurut Pasal 10 ayat (1), eksistensi janji memberikan Hak Tanggungan dalam perjanjian utang (kredit) merupakan bagian tak terpisahkan dari janji pemberian hak tanggungan.

3) Perjanjian hak tanggungan bersifat accessoir dengan perjanjian pokok.

Hak Tanggungan tidak bisa berdiri sendiri, tetapi merupakan ikutan dari perjanjian pokok yakni perjanjian yang memberi jaminan atas pelunasan utang yang disebut dalam perjanjian pokok.

b. Bentuk perjanjian pokok yang berisi Pemberian Hak Tanggungan

Menurut penjelasan Pasal 10 ayat (1) :

1) Dapat berbentuk akta di bawah tangan (onderhandse akte) 2) Dengan kata autentik (authentieke akte).

c. Pembuatannya dapat di dalam maupun di luar negeri

1) Tidak disyaratkan validitas atau keabsahannya harus dibuat di dalam negeri

2) Tetap sah dibuat diluar negeri


(29)

1) Dapat orang perseorangan (natural person) ; 2) Bisa badan hukum (legal entity) ;

3) Dapat orang atau badan hukum asing dengan syarat kredit yang bersangkutan dipergunakan untuk pembangunan di wilayah NKRI.11

2. Pembuatan Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT)

Akta pemberian Hak Tanggungan adalah Akta PPAT yang berisi pemberian hak tanggungan kepada Kreditur tertentu sebagai jaminan untuk pelunasan piutangnya.

Tata cara Pembuatan Akta Pemberian Hak Tanggungan :

a. Pemberian Hak Tanggungan dilakukan dengan pembuatan Akta Pemberian Hak Tanggungan ;

1) Jadi berbentuk akta yang disebut Akta Pemberian Hak Tanggungan ; 2) Dibuat oleh Pejabat Pembuat Akte Tanah ;

3) Akta Pemberian Hak Tanggungan berfungsi sebagai bukti tentang Pemberian Hak Tanggungan yang berkedudukan sebagai dokumen perjanjian kedua, melengkapi dokumen perjanjian utang (perjanjian pokok).

11


(30)

b. Isi dan format

Diatur dalam Pasal 11 Undang - Undang Hak Tanggungan yang menentukan :

1) Yang wajib dicantumkan dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan :

a) Nama dan identitas Pemegang dan Pemberi Hak Tanggungan b) Domisili pihak – pihak

c) Penunjukan secara jelas utang yang dijamin d) Nilai tanggungan

e) Uraian yang jelas mengenai objek Hak Tanggungan

Pencantuman elemen ini dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan :

(1) Bersifat kumulatif, oleh karena itu harus lengkap dicantumkan,

(2) Lalai mencantumkan salah satu di antaranya, mengakibatkan Akta Pemberian Hak Tanggungan batal demi hukum (Penjelasan Pasal 11 ayat (1) ).

2) Janji yang dapat dicantumkan dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan

Dalam Pasal 11 ayat (2), terdapat sejumlah klausul yang dapat dicantumkan dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan antara lain :

a) Janji yang membatasi kewenangan Pemberi Hak Tanggungan untuk :


(31)

(2) Mengubah bentuk tata susunan Objek Hak Tanggungan

b) Janji yang memberi kewenangan kepada Penerima Hak Tanggungan :

(1) Mengelola objek berdasarkan penetapan Pengadilan Negeri;

(2) Menyelamatkan objek Hak Tanggungan dalam rangka eksekusi (mencegah hapus atau dibatalkan hak atas objek Hak Tanggungan) ; (3) Pemegang Hak Tanggungan pertama mempunyai hak untuk menjual atau

kekuasaan sendiri (eigenmachtige verkoop) ;

(4) Janji Pemberi Hak Tanggungan akan mengosongkan objek Hak Tanggungan pada saat eksekusi Hak Tanggungan.12

3. Pendaftaran Pemberian Hak Tanggungan

Mengenai pendaftaran Pemberian Hak Tanggungan diatur dalam Pasal 13:

a. Pendaftaran Merupakan Syarat Imperatif

1) Wajib mendaftarkan pada kantor Pertanahan (KP), 2) Menurut penjelasan Pasal 13 ayat (1) :

a) Pendaftaran merupakan asas publisitas ;

b) Serta sekaligus merupakan syarat mutlak untuk lahirnya dan mengikatnya Hak Tanggungan kepada pihak ketiga ;

12


(32)

b. Kewajiban Pejabat Pembuat Akte Tanah sebagai pembuat Akta Pemberian Hak Tanggungan

Berdasarkan Pasal 13 ayat (2), Pejabat Pembuat Akte Tanah yang bertindak membuat Akta Pemberian Hak Tanggungan :

1) Wajib mengirimkan Akte Pemberian Hak Tanggungan (meliputi surat – surat bukti yang berkaitan dengan Objek Hak Tanggungan dan identitas para pihak, sertifikat hak atas tanah) yang diperlukan kepada Kantor Pertanahan ;

2) Pengiriman selambat – lambatnya 7 hari kerja dari tanggal penandatanganan Akte Pemberian Hak Tanggungan ;

3) Cara pengiriman menurut Penjelasan Pasal 13 ayat (2) :

a) Melalui petugas Pejabat Pembuat Akte Tanah, atau b) Melalui pos tercatat.

Pada prinsipnya Pejabat Pembuat Akte Tanah wajib menggunakan cara yang paling baik dan aman sesuai dengan kondisi dan fasilitas yang ada di daerah yang bersangkutan.

4) Pejabat Pembuat Akte Tanah yang lalai memenuhi kewajiban tersebut diancam dengan sanksi administratif :

a) Teguran lisan/tulisan b) Pemberhentian sementara


(33)

c) Pemberhentian dari jabatan.

c. Kewajiban Kantor Pendaftaran Tanah (KPT)

Kewajiban Kantor Pertanahan diatur dalam Pasal 13 ayat (3) :

1) Mendaftarkan Hak Tanggungan

2) Untuk itu Kantor Pendaftaran Tanah membuat Buku Tanah Hak Tanggungan (BTHT)

3) Mencatat dalam Buku Tanah Hak Tanggungan atas tanah yang menjadi objek hak tanggungan

4) Serta menyalin catatan tersebut pada sertifikat hak atas tanah yang bersangkutan

5) Tanggal Buku Tanah Hak Tanggungan menurut pasal 13 ayat (4) dan (5) adalah

a) Tanggal hari ketujuh (ke- 7) setelah penerimaan secara lengkap surat – surat yang diperlukan bagi pendaftaran ;

b) Jika hari ke – 7 jatuh pada hari libur, Buku Tanah Hak Tanggungan diberi tanggal pada hari kerja berikutnya

6) Dengan demikian efektifnya Hak Tanggungan terhitung dari tanggal Buku Tanah Hak Tanggungan (filling date),

7) Asas openbar dan perlindungan hukum (legal protection), terhitung dari tanggal penerimaan pendaftaran


(34)

4. Pembuatan Sertifikat Hak Tanggungan

Penerbitan Sertifikat Hak Tanggungan diatur dalam Pasal 14 Undang – Undang Hak Tanggungan :

a. Yang menerbitkan Sertifikat Hak Tanggungan :

1) Kantor Pertanahan

2) Caranya, mencantumkan Irah – Irah dengan kata – kata: ”Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” karena kekuatannya sama dengan surat putusan Hakim.13 Dan juga dipakai untuk surat – surat yang mempunyai kekuatan eksekutorial, atau surat yang dimohonkan fiat eksekusinya atau exequtor kepada Ketua Pengadilan Negeri.14

b. Fungsi Sertifikat Hak Tanggungan :

1) Menjadi bukti Hak Tanggungan

2) Menjadi landasan kekuatan eksekutorial (executoriale kracht)

3) Kekuatan eksekutorialnya sama dengan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.

c. Tindakan Kantor Pertanahan Selanjutnya :

1) Mengembalikan sertifikat tanah yang berisi catatan Pemberian Hak Tanggungan kepada Pemegang hak tanah

13

K.Wantjik Saleh,Hukum Acara Perdata RBG/HIR,(Jakarta,Ghalia Indonesia, 2002), h. 62.

14


(35)

2) Memberikan sertifikat Hak Tanggungan kepada kreditor.15

Dalam Penjelasan Umum Undang-undang Hak Tanggungan No. 4 Tahun 1996 angka 3, dikemukakan bahwa sebagai lembaga hak jaminan atas tanah yang kuat, Maka Hak Tanggungan memiliki ciri-ciri sebagai berikut :

1. Droit de preferent

Artinya memberikan kedudukan yang diutamakan atau mendahului kepada pemegangnya (Pasal 1 angka 1 dan Pasal 20 ayat 1). Apabila Debitur cidera janji, Kreditur pemegang hak tanggungan berhak untuk menjual objek yang dijadikan jaminan melalui pelelangan umum menurut peraturan hukumyang berlaku dan mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan tersebut, dengan hak mendahului kreditur daripada Kreditur – Kreditur lain yang bukan pemegang hak tanggungan atau Kreditur pemegang hak tanggungan dengan peringkat yang lebih rendah. Dan juga dalam hal ini pemegang hak tanggungan sebagai Kreditur memperoleh hak didahulukan dari Kreditur lainnya untuk memperoleh pembayaran piutangnya dari hasil penjualan (pencairan) objek jaminan kredit yang diikat dengan hak tanggungan tersebut. Kedudukan kreditur yang mempunyai hak didahulukan dari kreditur lain (Kreditur preferen) akan sangat menguntungkan kepada pihak yang bersangkutan dalam memperoleh pembayaran kembali (pelunasan) pinjaman uang yang diberikannya kepada Debitur yang cidera janji.16

2. Droit de suite

15

Ibid, h.191 - 192.

16


(36)

Artinya selalu mengikuti jaminan hutang dalam tangan siapapun objek tersebut berada (Pasal 7). Dalam Pasal 7 Undang – Undang Hak Tanggungan disebutkan bahwa hak tanggungan tetap mengikuti objeknya dalam tangan siapapun objek itu berada. Sifat ini merupakan salah satu jaminan khusus bagi kepentingan pemegang Hak Tanggungan. Meskipun objek dari hak tanggungan sudah berpindah tangan dan menjadi milik pihak lain, Kreditur masih tetap dapat menggunakan haknya melalui eksekusi, jika Debitur cidera janji.

3. Memenuhi asas spesialitas dan publisitas sehingga dapat mengikat pihak ketiga dan memberikan kepastian hukum kepada pihak-pihak yang berkepentingan

Berdasarkan hal tersebut maka sahnya pembebanan Hak Tanggungan disyaratkan wajib disebutkan dengan jelas piutang mana dan berapa jumlahnya yang dijamin serta benda-benda mana yang dijadikan jaminan (syarat spesialitas), dan wajib didaftarkan di Kantor Pertanahan sehingga terbuka untuk umum (syarat publisitas).

4. Mudah dan pasti pelaksanaan eksekusinya Salah satu ciri Hak Tanggungan yang kuat adalah mudah dan pasti dalam pelaksanaan eksekusinya jika debitur cidera janji

Meskipun secara umum ketentuan mengenai eksekusi telah diatur dalam hukum acara perdata yang berlaku, dipandang perlu untuk memasukkan secara khusus mengenai eksekusi hak tanggungan dalam Undang-undang ini, yaitu yang mengatur mengenai lembaga parate executie sebagaimana dimaksud dalam Pasal


(37)

224 HIR dan Pasal 258 Reglemen Hukum Acara untuk daerah luar Jawa dan Madura.

Hak Tanggungan juga memiliki sifat tidak dapat dibagi-bagi kecuali jika diperjanjikan dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT), seperti ditetapkan dalam Pasal 2 Undang – Undang Hak Tanggungan. Dengan sifatnya yang tidak dapat dibagi-bagi, maka Hak Tanggungan akan membebani secara utuh objek Hak tanggungan. Hal ini mengandung arti bahwa apabila hutang (kredit) yang dijamin pelunasannya dengan Hak Tanggungan baru dilunasi sebagian, maka Hak Tanggungan tetap membebani seluruh objek Hak Tanggungan.

Klausula “kecuali jika diperjanjikan dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan” dalam Pasal 2 Undang – Undang Hak Tanggungan, dicantumkan dengan maksud untuk menampung kebutuhan perkembangan dunia perbankan, khususnya kegiatan perkreditan. Dengan menggunakan klausula tersebut, sifat tidak dapat dibagi-bagi dari Hak Tanggungan dapat disimpangi, yaitu dengan memperjanjikan bahwa apabila Hak Tanggungan dibebankan pada beberapa hak atas tanah, maka pelunasan kredit yang dijamin dapat dilakukan dengan cara angsuran. Besarnya angsuran sama dengan nilai masing-masing hak atas tanah yang merupakan bagian dari Objek Hak Tanggungan, yang akan dibebaskan dari Hak Tanggungan tersebut. Dengan demikian setelah suatu angsuran dibayarkan, Hak Tanggungan hanya akan membebani sisa Objek Hak Tanggungan untuk menjamin sisa kredit yang belum dilunasi (Penjelasan Pasal 2 ayat (1) jo ayat (2) Undang – Undang Hak Tanggungan).


(38)

Sifat lain dari Hak Tanggungan adalah Hak Tanggungan merupakan accecoir dari perjanjian pokok, artinya bahwa perjanjian Hak Tanggungan bukan merupakan perjanjian yang berdiri sendiri, tetapi keberadaannya adalah karena adanya perjanjian lain yang disebut dengan perjanjian pokok. Perjanjian pokok bagi perjanjian Hak Tanggungan adalah perjanjian hutang piutang yang menimbulkan hutang yang dijamin itu. Hak Tanggungan terbagi atas Asas-asas, Ketentuan-ketentuan Pokok dan Masalah-masalah yang dihadapi Oleh Pihak Perbankan, suatu Kajian Mengenai Undang – Undang Hak Tanggungan, Hal ini sesuai dengan ketentuan yang tertuang dalam Butir 8 Penjelasan Umum Undang – Undang Hak Tanggungan yang memberikan penjelasan bahwa karena Hak Tanggungan menurut sifatnya merupakan ikatan atau accesoir pada suatu piutang tertentu, yang didasarkan pada suatu perjanjian hutang piutang atau perjanjian lain, maka kelahiran dan keberadaanya ditentukan oleh adanya piutang yang dijamin pelunasannya.

Ada beberapa asas dari hak tanggungan yang perlu dipahami dan membedakan hak tanggungan ini dari jenis dan bentuk jaminan hutang dan bahkan membedakannya dari hipotik yang digantikannya. Asas – asas tersebut diatur dalam berbagai Pasal dari Undang – Undang Hak Tanggungan:

5. Hak Tanggungan memberikan kedudukan yang diutamakan bagi Kreditur Pemegang Hak Tanggungan

Dari defenisi mengenai Hak Tanggungan sebagaimana dikemukakan dalam Pasal 1 ayat (1) Undang – Undang Hak Tanggungan, dapat diketahui bahwa Hak Tanggungan dapat memberikan kedudukan yang diutamakan kepada


(39)

Kreditur tertentu terhadap Kreditur – Kreditur lain. Kreditur tertentu yang dimaksud adalah yang memperoleh atau menjadikan pemegang Hak Tanggungan tersebut. Mengenai apa yang dimaksud dengan pengertian “ Kedudukan yang diutamakan kepada kreditur tertentu terhadap Kreditur - Kreditur lain”. Kreditur tertentu yang dimaksud ialah yang memperoleh atau menjadi Pemegang Hak Tanggungan tersebut. Mengenai apa yang dimaksud dengan pengertian “Kedudukan yang diutamakan kepada Kreditur tertentu terhadap Kreditur – Kreditur lain” tidak dijumpai dari penjelasan Pasal 1 tersebut tetapi, dijumpai di bagian lain yaitu di dalam Angka 4 penjelasan umum Undang – Undang Hak Tanggungan. Dijelaskan dalam penjelasan umum Undang – Undang Hak Tanggungan itu bahwa yang dimaksudkan dengan “memberikan kedudukan diutamakan kepada Kreditur tertentu terhadap Kreditur – Kreditur lainnya.

6. Bahwa jika Debitur cedera janji, Kreditur pemegang hak tanggungan berhak menjual melalui pelelangan umum tanah yang dijadikan jaminan menurut ketentuan Peraturan Perundangan yang bersangkutan, dengan hak mendahului dari pada Kreditur – Kreditur yang lain. Kedudukan yang diutamakan tersebut adalah barang tentu tidak mengurangi preference piutang – piutang Negara menurut ketentuan – ketentuan umum yang berlaku.

Asas ini adalah asas yang berlaku pula bagi hipotik yang telah digantikan oleh hak tanggungan sepanjang yang berkaitan dengan tanah. Dalam penjelasan diatas dapatlah diketahui bahwa hak Kreditur, yang menjadi hak pemegang tanggungan tersebut, sekalipun diutamakan terhadap hak tagihan kepada


(40)

Kreditur – Kreditur lain, tetapi tetaplah harus mengalah terhadap piutang – piutang Negara. Dengan kata lain, Hak Negara lebih utama dari hak Kreditur pemegang tanggungan.

7. Hak Tanggungan Tidak Dapat Dibagi – bagi.

Hak tanggungan mempunyai sifat tidak dapat dibagi – bagi yang ditentukan dalam Pasal 2 Undang – Undang Hak Tanggungan. Artinya, bahwa hak tanggungan memberikan secara utuh objek hak tanggungan dari setiap bagian dari padanya dan dilunasinya sebagian dari hutang yang dijamin tidak berarti terbebannya sebagai objek hak tanggungan dari beban hak tanggungan melainkan tanggungan tetap membebani objek hak tanggungan untuk sisa hutang yang belum dibayar. Asas ini diambil dari asas yang berlaku bagi Hipotik sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 1163 KUHPerdata. Menurut Pasal 2 ayat (1) jo Ayat (2) Undang – Undang Hak Tanggungan tidak dapat dibagi – baginya Hak Tanggungan dapat disimpan oleh para pihak apabila menginginkan hal yang demikian itu dengan memperjanjikannya dalam akta pemberian hak tanggungan. Namun, penyimpangan itu hanya dapat dilakukan sepanjang :

a. Hak Tanggungan itu dibebankan kepada beberapa hak atas tanah.

b. Pelunasan hutang yang dijamin dilakukan dengan cara angsuran yang besarnya sama dengan nilai masing – masing hak atas tanah yang merupakan bagian dari objek hak tanggungan yang akan dibebaskan dari hak tanggungan tersebut. Sehingga kemudian hak tanggungan itu hanya membebani sisa objek hak tanggungan untuk menjamin sisa hutang yang belum di lunasi.


(41)

8. Hak Tanggungan dapat dibebankan selain atas tanahnya juga berikut benda – benda yang berkaitan dengan tanah tersebut

Berdasarkan Pasal 4 ayat (4) Undang – Undang Hak Tanggungan, Hak Tanggungan dapat dibebankan bukan saja pada hak atas tanah yang menjadi Objek Hak Tanggungan tetapi juga berikut Hak Bangunan, tanaman dari hasil karya yang merupakan satu kesatuan dengan tanah tersebut. Bangunan, Tanaman dan hasil karya yang merupakan satu kesatuan dengan tanah tersebut adalah yang dimaksudkan oleh Undang – Undang Hak Tanggungan sebagai “benda – benda yang berkaitan dengan tanah”.

9. Hak Tanggungan dapat dibebankan juga benda – benda yang berkaitan dengan tanah yang baru akan ada dikemudian hari.

Hak Tanggungan dapat dibebankan pula atas benda – benda yang berkaitan dengan tanah sekalipun benda – benda tersebut belum ada tetapi baru akan nada dikemudian hari. Dalam pengertian “yang baru akan ada” ialah benda – benda yang pada saat hak tanggungan di bebankan belum ada sebagai bagian dari tanah yang dibebani hak tanggungan tersebut. Misalnya karena benda – benda tersebut baru ditanam atau baru dibangun kemudian setelah hak tanggungan itu dibebankan atas tanah tersebut. Berbeda dengan hipotik sebagaimana diatur dalam Pasal 1165 KUHPerdata bahwa setiap hipotik mengikuti juga segala apa yang menjadi satu dengan benda itu karena pertumbuhan atau pembangunan. Dengan kata lain tanpa harus diperjanjikan terlebih dahulu segala benda yang berkaitan dengan tanah yang baru akan nada


(42)

dikemudian hari demi hukum dan terbebani pula dengan hipotik yang telah dibebankan sebelumnya diatas hak atas tanah yang menjadi objek hipotik.

10. Perjanjian Hak Tanggungan adalah perjanjian Accessoir.

Perjanjian Hak Tanggungan bukan merupakan perjanjian yang berdiri sendiri. Keberadaannya adalah karena adanya perjanjian lain yang disebut perjanjian pokok. Perjanjian pokok bagi perjanjian hak tanggungan adalah perjanjian hutang piutang yang menimbulkan hutang yang dijamin. Dengan kata lain, Perjanjian Hak Tanggungan adalah suatu Perjanjian Accesoir. Dalam Butir 8 Penjelasan Umum Undang – Undang Hak Tanggungan ada yang dikemukakan hal yang demikian. Perjanjian Hak Tanggungan dikatakan sebagai Perjanjian Accesoir di dasarkan pada Pasal 10 ayat (1) dan Pasal 18 ayat (1) Undang – Undang Hak Tanggungan yaitu karena :

a. Pasal 10 ayat (1) menentukan bahwa perjanjian untuk memberikan Hak Tanggungan merupakan bagian yang tak terpisahkan dari bagian utang – piutang yang bersangkutan.

b. Pasal 18 ayat (1) huruf a menentukan bahwa hak tanggungan hapus karena hapusnya utang yang dijamin dengan hak tanggungan.

11. Tanggungan dapat dijadikan jaminan untuk hutang yang baru akan ada.

Menurut Pasal 3 Undang – Undang Hak Tanggungan. Hak Tanggungan dapat dijadikan jaminan untuk :


(43)

b. Hutang yang baru akan ada tetapi telah diperjanjikan sebelumnya dengan jumlah tertentu.

c. Hutang yang baru akan ada tetapi telah diperjanjikan sebelumnya, dengan jumlah yang pada saat permohonan eksekusi hak Tanggungan diajukan ditentukan berdasarkan perjanjian utang piutang atau perjanjian lain yang menimbulkan hubungan hutang piutang yang bersangkutan. Dengan demikian hutang yang dijamin dengan hak tanggungan dapat berupa hutang yang sudah ada maupun yang belum ada atau baru yang akan dikemudian hari, tetapi harus sudah diperjanjikan sebelumnya. Dapat dijadikannya hak tanggungan untuk menjamin utang yang baru akan ada dikemudian hari adalah untuk menampung timbulnya hutang sebagai akibat pembebanan bunga atas pinjaman pokok dan pembebanan atas ongkos – ongkos lain yang jumlahnya baru dapat ditentukan kemudian.

12. Hak Tanggungan dapat menjamin lebih dari 1 Hutang.

Pasal 3 ayat (2) Undang – Undang Hak Tanggungan menentukan bahwa Hak Tanggungan dapat diberikan untuk suatu hutang yang berasal dari suatu hubungan hukum, atau untuk suatu hutang atau lebih yang berasal dari beberapa hubungan hukum. Dengan adanya ketentuan tersebut tertampunglah ketentuan pemberian Hak tanggungan bagi kredit sindikasi perbankan, yang dalam hal itu seorang Debitur memperoleh kredit lebih dari satu Kreditur atau bank, tetapi berdasarkan syarat – syarat dan ketentuan - ketentuan yang sama dan dituangkan


(44)

hanya dalam 1 perjanjian kredit atau berdasarkan beberapa perjanjian kredit tetapi bagi semua Kreditur itu diberikan jaminan atau agunan tanah yang sama. 13. Hak Tanggungan mengikuti objeknya dalam tangan siapa pun objek

Hak tanggungan itu berada.

Pasal 7 Undang – Undang Hak Tanggungan menetapkan asas bahwa hak Tanggungan tetap mengikuti objeknya, dalam tangan siapa pun Objek hak Tanggungan tersebut berada. Dengan demikian, Hak Tanggungan tidak akan berakhir sekali pun objek hak tanggungan beralih kepada pihak lain oleh karena sebab apa pun juga. Berdasarkan asas ini, pemegang hak tanggungan akan selalu dapat melaksanakan haknya dalam tangan siapa pun benda itu berpindah. Ketentuan Pasal 7 Undang – Undang Hak Tanggungan itu merupakan perwujudan dari asas droit de suite.

14. Hak tanggungan hanya dapat diberikan atas tanah tertentu.

Asas ini menghendaki bahwa Hak Tanggungan hanya dapat dibebankan atas tanah yang bisa ditentukan secara spesifik. Di anutnya asas spesialitas oleh Hak Tanggungan ini dapat disimpulkan dari ketentuan Pasal 8 dan Pasal 11 ayat (1) huruf e Undang – Undang Hak Tanggungan. Pasal 8 Undang – Undang Hak Tanggungan menentukan bahwa pemberi hak tanggungan harus mempunyai kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum terhadap objek hak tanggungan yang bersangkutan dan kewenangan tersebut harus ada pada saat pendaftaran hak tanggungan dilakukan.

Ketentuan tersebut hanya mungkin terpenuhi apabila objek hak tanggungan telah ada dan telah tertentu pula tanah itu. Tanah yang mana.


(45)

Selanjutnya pula karena Pasal 11 ayat (1) huruf e menentukan bahwa di dalam akta pemberian hak tanggungan wajib dicantumkan uraian yang jelas mengenai objek hak tanggungan. Ketentuan ini tidak mungkin dilakukan apabila objek hak tanggungan belum ada dan belum diketahui ciri – cirinya. Kata – Kata “uraian yang jelas mengenai objek hak tanggungan” dalam Pasal 11 ayat (1) huruf e menunjukkan bahwa objek hak tanggungan harus secara spesifik dapat diuraikan dalam akta pemberian hak tanggungan yang bersangkutan.

15. Hak Tanggungan Wajib di daftarkan

Terhadap hak tanggungan berlaku asas publisitas atau asas keterbukaan. Hal ini diatur dalam Pasal 13 Undang – Undang Hak Tanggungan yang menyatakan bahwa pemberian hak tanggungan wajib didaftarkan pada kantor pertanahan. Pendaftaran pemberian Hak tanggungan yang merupakan syarat mutlak untuk akhirnya Hak Tanggungan tersebut dan mengikat terhadap pihak ketiga.

16. Hak Tanggungan dapat diberikan dengan disertai dengan janji – janji tertentu.

Menurut Pasal 11 Undang – Undang Hak Tanggungan ayat (2) Hak tanggungan dapat diberikan dengan disertai janji – janji tertentu. Janji – janji tersebut dicantumkan dalam akta pemberian Hak Tanggungan yang bersangkutan. Janji – janji yang disebutkan dalam Pasal 11 ayat (2) Undang – Undang Hak Tanggungan itu bersifat fakutatif dan tidak limitatif. Bersifat fakultatif karena janji – janji itu boleh dicantumkan atau tidak dicantumkan. Baik sebagian maupun seluruhnya. Bersifat tidak limitatif karena dapat pula


(46)

diperjanjikan janji – janji selain dari janji – janji yang telah disebutkan dalam Pasal 11 ayat (2) Undang – Undang Hak Tanggungan.

17. Objek Hak Tanggungan tidak boleh diperjanjikan untuk dimiliki sendiri oleh Pemegang Hak Tanggungan bila Debitur cedera janji

Menurut Pasal 12 Undang – Undang Hak Tanggungan, janji yang memberikan kewenangan kepada pemegang hak tanggungan untuk memiliki Objek Hak Tanggungan apabila Debitur cedera janji, adalah batal demi hukum. Dalam kedudukannya yang lemah dan sangat membutuhkan uang atau kredit, Debitur bisa saja terpaksa menerima janji dengan persyaratan yang berat dan merugikan baginya. Atas dasar pertimbangan itulah, pencantuman janji yang demikian itu dilarang.

Dari uraian mengenai ciri – ciri dan asas – asas hak tanggungan tersebut diatas, jelaslah bahwa Undang – Undang Hak Tanggungan berusaha untuk berikan perlindungan yang seimbang antara Debitur pemberi hak tanggungan dan Kreditur pemegang hak tanggungan. Dan diketahui juga bahwa hapusnya hak tanggungan karena :

a. Hapusnya hutang yang dijamin, sebagai konsekuensi sifat accessoir Hak Tanggungan.

b. Dilepaskannya Hak Tanggungan oleh Kreditur pemegangnya yang dibuktikan dengan pernyataan tertulis mengenai di lepaskannya Hak Tanggungan yang bersangkutan yang bersangkutan kepada pemberi Hak Tanggungan.


(47)

c. Pembersihan Hak Tanggungan yang bersangkutan berdasarkan penetapan peringkat oleh Ketua Pengadilan Negeri atas permohonan pembeli tanah yang dijadikan jaminan.

d. Hapusnya hak atas tanah yang dibebani Hak Tanggungan.

Hapusnya Hak Tanggungan karena hapusnya Hak atas tanah yang dijadikan jaminan, tidak menyebabkan hapusnya piutang kreditur tetap ada, tetapi tidak lagi mendapat jaminan secara preferent.17

B.

Objek Hak Tanggungan

Pada tanggal 24 September 1960 disahkan oleh Presiden Republik Indonesia Soekarno dan diundangkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 104 Tahun 1960 Undang – Undang No. 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok – Pokok Agraria, yang dikenal dengan nama singkatan resminyPeraturan Dasar Pokok- Pokok Agraria, disingkat UUPA.18

1. Hak Milik

Maka dengan adanya Peraturan Dasar Pokok - Pokok Agraria diketahui tentang Objek Hak Tanggungan menurut Pasal 4, disesuaikan terbatas dengan pasal 16 Peraturan Dasar Pokok - Pokok Agraria (Peraturan Dasar Pokok - Pokok Agraria No. 5 Tahun 1960). Sehubungan dengan itu, bertitik tolak dan merujuk kepada Pasal 16 Peraturan Dasar Pokok - Pokok Agraria tersebut, Hak yang dapat dijadikan Objek Hak Tanggungan terdiri dari :

2. Hak Guna Usaha

17

Kelompok Studi Hukum Bisnis Fakultas Hukum UNPAD,Seminar Hak Tanggungan atas tanah & benda – benda yang berkaitan dengan tanah, (Bandung, Citra Adytya Bakti, 1996). h. 32.

18


(48)

3. Hak Guna Bangunan 4. Hak Pakai19

Subjek Objek Hak Tanggungan dapat dibebani dengan lebih dari satu Hak Tanggungan guna menjamin pelunasan lebih dari satu hutang. Objek Hak Tanggungan telah dikembangkan oleh Undang – Undang No. 4 Tahun 1996 jika dibandingkan dengan Undang – Undang Pokok Agraria, baik objek hak atas tanah maupun dimungkinkannya berikut benda – benda lain seperti bangunan, tanaman, hasil karya dan lain – lain yang ada di atasnya.

20

Dan apabila suatu Objek Hak Tanggungan dibebani dengan lebih dari satu Hak Tanggungan, peringkat masing – masing Hak Tanggungan ditentukan menurut tanggal pendaftarannya Kantor Pertanahan. Hak Tanggungan tetap mengikuti objeknya dalam tangan siapapun objek tersebut berada.21

Dalam Hak Tanggungan dikenal adanya Syarat Objek Hak Tanggungan antara lain:

1. Asas publisitas

a. Tanah Objek Hak Tanggungan telah terdaftar pada Kantor pertanahan b. Tanah besertifikat

2. Asas transferability a. Dapat dipindahtangankan

b. Oleh karena itu, dapat segera direalisasikan pemenuhan pembayaran utang dengan jalan menjual objek Hak Tanggungan

19

Kartini Muljadi & Gunawan Widjaja,Hukum Harta Kekayaan Hak Tanggungan, (Jakarta,Kencana,2006).h.78.

20

Tampil Anshari Siregar,Undang – Undang Pokok Agraria dalam bagan,(Medan, KSHM, 2001). h. 253.

21


(49)

3. Asas certainability atau asas spesialitas (khusus).22

Dalam Objek Hak Tanggungan dikenal adanya tanah adat. Hal ini diatur dalam Pasal 10 ayat 3 dengan syarat :

.

1. Dokumen administrasi konversinya dari tanah adat : a. Sudah lengkap

b. Proses administrasi konversinya belum selesai dilaksanakan. 2. Semua syarat pendaftaran untuk memperoleh hak telah terpenuhi 3. Pemberian Hak Tanggungan harus dilakukan bersamaan dengan

permohonan pendaftaran.23

Dalam Objek Hak Tanggungan, dikenal pembeli Objek Hak Tangungan ,baik dalam suatu pelelangan umum atas perintah Ketua Pengadilan Negeri maupun dalam jual beli sukarela, dapat meminta kepada pemegang Hak Tanggungan agar benda yang dibelinya itu dapat dibersihkan dari segala beban Hak Tanggungan yang melebihi harga pembelian. Pembersihan Objek Hak Tanggungan dari beban Hak Tanggungan dilakukan dengan pernyataan tertulis dari pemegang Hak Tanggungan yang berisi dilepaskannya Hak Tanggungan yang membebani objek Hak Tanggungan yang melebihi harga pembelian.

Apabila objek Hak Tanggungan dibebani lebih dari satu Hak Tanggungan dan tidak terdapat kesepakatan diantara para pemegang Hak Tanggungan tersebut mengenai pembersihan Objek Hak Tanggungan dari beban yang melebihi pembeliannya. Pembeli benda tersebut dapat mengajukan permohonan kepada Ketua Pengadilan Negeri yang daerah hukumnya meliputi letak objek

22

Boedi Harsono. Op.Cit. h. 422.

23


(50)

Hak Tanggungan yang bersangkutan untuk menetapkan pembersihan itu dan sekaligus menetapkan ketentuan mengenai pembagian hasil penjualan lelang diantara para yang berpiutang dan peringkat mereka menurut Peraturan Perundang – Undangan yang berlaku.

Permohonan pembersihan Objek Hak Tanggungan dari Hak Tanggungan yang membebaninya tidak dapat dilakukan oleh pembeli benda tersebut, Apabila pembelian demikian itu dilakukan dengan jual – beli suka rela dan dalam akta pemberian Hak Tanggungan yang bersangkutan para pihak telah dengan tegas memperjanjikan bahwa objek hak tanggungan tidak akan dibersihkan dari beban Hak Tanggungan.

Dalam Objek Hak Tanggungan berkaitan erat juga dengan Penjualan objek Hak Tanggungan. Objek Hak Tanggungan harus melalui prosedur penjualan objek Hak Tanggungan melalui lelang dilaksanakan, pendaftaran hak atas tanah yang berasal dari lelang, dan juga hambatan-hambatan dalam pelaksanaannya. Penjualan objek hak tanggungan melalui lelang dilakukan oleh pihak KPKNL secara parate eksekusi menurut ketentuan Peraturan Menteri Keuangan No. 40/PMK.07/2006 tentang petunjuk pelaksanaan lelang, serta dari hasil pelaksanaan lelang tersebut dibuat Risalah Lelang sebagai alat bukti otentik mengenai berita acara pelaksanaan lelang. Dengan adanya lelang tersebut secara otomatis terjadi perubahan atau peralihan hak objek lelang yaitu berupa hak atas tanah kepada pemenang lelang.

Menurut Pasal 36 ayat (1) dan (2) PP No. 24 Tahun 1997 pemegang hak yang bersangkutan wajib mendaftarkan perubahan kepada Kantor Pertanahan.


(51)

Pemindahan hak melalui lelang menurut Pasal 41 (1) PP No. 24 Tahun 1997 menjelaskan bahwa peralihan hak melalui lelang hanya dapat didaftarkan jika dibuktikan dengan adanya Risalah Lelang yang dibuat oleh pejabat lelang.

Dalam Objek Hak Tanggungan juga dikenal Hak Pakai atas tanah Negara.Hak Pakai Atas Tanah Negara yang dimaksudkan adalah hak pakai yang diberikan kepada perseorangan dan badan – badan hukum selama jangka waktu tertentu, untuk keperluan pribadi dan usaha. Yang tidak termasuk hak pakai yang dapat dijadikan Objek Hak Tanggungan adalah Hak Pakai Instansi – Instansi Pemerintah, PEMDA, Badan – Badan Keagamaan, dan Sosial, serta Perwakilan Negara Asing, yang peruntukkannya tertentu dan menurut sifatnya tidak dapat dipindahtangankan.

Selain objek yang disebut diatas Undang – Undang Hak Tanggungan juga membuka kemungkinan untuk membebankan tanah berikut atau tidak berikut bangunan dan tanaman diatasnya. Hukum tanah nasional kita didasarkan pada hukum adat yang dalam hubungannya bangunan dan tanaman diatas sebidang tanah, menggunakan asas pemisahan horizontal. Menurut asas tersebut bangunan dan tanaman yang ada diatas tanah bukan merupakan bagian atas tanah yang bersangkutan. Oleh karena itu perbuatan hukum mengenai tanah tidak dengan sendirinya meliputi bangunan dan atau tanaman yang ada di atasnya. Dalam praktik tampak sering kali perbuatan hukum mengenai tanah dilakukan dengan mengikut sertakan bangunan diatasnya. Praktek tersebut dibenarkan oleh hukum, dengan syarat bahwa bangunan dan tanaman yang bersangkutan merupakan satu kesatuan dengan tanahnya (Bangunannya permanen dan


(52)

tanamannya tanaman keras) dan maksud mengikutsertakan bangunan dan atas tanaman tersebut diatas dinyatakan secara tegas oleh pihak – pihak yang bersangkutan.

Dalam praktek dikemukakan oleh Undang – Undang Hak Tanggungan dalam Pasal 4 ayat (3), tanpa mengganti asas pemisahan horizontal dengan asas perlekatan atau asas accessie. Diikutsertakannya bangunan dan atau tanaman tersebut tidak terjadi dengan sendirinya. Melainkan harus secara tegas dinyatakan oleh para pihak dalam akta pemberian hak tanggungan atas nama yang bersangkutan. Bangunan dan atau tanaman tersebut tidak terbatas pada yang sudah ada pada waktu hak tanggungan diperjanjikan, namun juga terhadap bangunan dan atau tanaman yang masih akan dibangun atau ditanam kemudian. Perluasan ini penting umtuk menjamin pelunasan kredit pembangunan, yang justru diperlukan untuk membangun bangunan atau menanam tanam – tanaman yang akan dijadikan jaminan.

Kemudian berdasarkan Pasal 4 ayat (5) Undang – Undang Hak Tanggungan dapat diikutsertakan juga bangunan dan atau tanaman milik pihak yang lain yang berada diatas tanah tersebut. Dalam hal demikian, pembebanannya dengan hak tanggungan hanya dapat dilakukan dengan penandatanganan pada akta pemberian hak tanggungan oleh pemiliknya atau yang diberikan kuasa untuk itu olehnya dengan otentik.24

24

Pengadilan Tinggi Sumatera Selatan, Op. Cit. h. 4.


(53)

Dari uraian mengenai Objek Hak Tanggungan sebagaimana hak tersebut diatas, dapat diketahui bahwa hak tanggungan hanya dapat dibebankan atas tanah dan benda – benda yang berkaitan dengan tanah.

C.

Sertifikat Hak Tanggungan Dan

Surat Kuasa

Membebankan Hak Tanggungan

Sertifikat Hak Tanggungan mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dan berlaku sebagai pengganti grosse acte hypothek sepanjang mengenai hak atas tanah.25

1. Hak atas tanah tersebut sesuai dengan ketentuan yang berlaku wajib di daftar dalam daftar umum.

Dua unsur mutlak yang harus dimiliki suatu hak atas tanah untuk dapat dijadikan jaminan hutang ialah :

Unsur ini berkaitan dengan kedudukan diutamakan atau preference yang diberikan kepada Kreditur pemegang hak tanggungan terhadapa Kreditur lainnya. Untuk itu harus ada catatan mengenai hak tanggungan tersebut pada buku tanah dan Sertifikat Hak Tanggungan yang dibebaninya sehingga setiap orang dapat mengetahuinya atau asas publisitas.

2. Hak tersebut menurut sifatnya harus dipindahtangankan.

Sehingga apabila diperlukan dapat segera dijual untuk membayar hutang yang dijamin pelunasannya. Kedua syarat tersebut secara tersirat dapat ditemukan dalam penjelasan umum angka lima Undang – Undang Hak Tanggungan dan kemudian dipertegas dalam penjelasan Pasal 4 ayat (1)

25


(54)

Undang–Undang Hak Tanggungan. Sehubungan dengan persyaratan tersebut, yang dapat dijadikan objek Hak Tanggungan adalah sebagaimana yang diatur dalam Pasal 4 Undang – Undang Hak Tanggungan yang dihubungkan dengan :

a. Hak milik

b. Hak Guna Usaha c. Hak Guna Bangunan

d. Hak Pakai Atas Tanah Negara yang menurut ketentuan yang berlaku wajib di daftarkan dan menurut sifatnya dapat dipindahtangankan

e. Rumah Susun dan Hak milik Satuan Rumah Susun yang didirikan diatas tanah hak pakai atas tanah negara

Apabila diperjanjikan, Sertifikat hak atas tanah yang telah dibubuhi catatan pembebanan Hak Tanggungan dikembalikan kepada pemegang hak atas tanah. Sertifikat Hak Tanggungan diserahkan kepada Pemegang Hak Tanggungan. Didalam pembuatan sertifikat Hak Tanggungan, maka perlu diketahui juga tentang hak atas tanah.Hak atas tanah yang berupa hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan yang dapat dijadikan Objek Hak Tanggungan ini ialah sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang Pokok Agraria yang menyatakan bahwa yang dapat dijadikan jaminan utang dengan dibebani hak tanggungan adalah hak milik, hak guna usaha dan hak guna bangunan (Pasal 25, 33, 39 UUPA).

Kebutuhan praktek menghendaki agar hak pakai juga dapat dibebani dengan hak jaminan atas tanah. Kebutuhan itu ternyata telah dipenuhi Undang – Undang Hak Tanggungan. Akan tetapi hanya Hak Pakai atas tanah negara saja


(55)

yang dapat dibebani dengan hak tanggungan, sedangkan hak pakai atas tanah hak milik masih akan diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.

Sertifikat Hak tanggungan terdiri atas salinan buku – buku Hak Tanggungan dan salinan Akta Pemberian Hak Tanggungan yang keduanya dibuat oleh Kepala Kantor Pertanahan dan dijilid jadi satu dalam sampul dokumen.26

”Yang menerbitkan Sertifikat Hak Tanggungan ialah oleh Kantor Pertanahan, dengan cara menggunakan Irah – Irah dengan kata – kata : ”Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.”

Penerbitan Sertifikat Hak Tanggungan yang diatur dalam Pasal 14 yaitu :

27

Dan juga fungsi Sertifikat Hak Tanggungan ialah menjadikan bukti Hak Tangggungan dan menjadi landasan kekuatan Titel Eksekutorial (Executoriale kracht).

Tugas Kantor Pertanahan juga untuk mengembalikan sertifikat tanah yang berisi catatan Pemberian Hak Tanggungan kepada pemegang hak tanah dan memberikan sertifikat Hak Tanggungan kepada Kreditur.

Dalam Pembahasan sertifikat Hak Tanggungan, maka dijelaskan tentang surat kuasa yang membebankan Hak tanggungan.Surat kuasa yang membebankan Hak tanggungan wajib dibuat dengan Akta Notaris atau Akta Pejabat Pembuat Akta Tanah dan memenuhi persyaratan:

1. Tidak memuat kuasa untuk melakukan perbuatan hukum lain yang membebankan Hak Tanggungan.

26

Boedi Harsono, Op. Cit. h. 447.

27


(56)

2. Tidak memuat kuasa substitusi

3. Mencantumkan secara jelas Objek Hak Tanggungan, jumlah utang dan nama serta identitas krediturnya, nama dan identitas Debitur apabila Debitur bukan pemberian Hak Tanggungan.28

Surat Kuasa untuk Membebankan Hak Tanggungan tidak dapat ditarik kembali atau tidak berakhir oleh sebab apapun juga kecuali karena kuasa tersebut telah dilaksanakan atau karena telah dilaksanakan atau karena telah habis jangka waktunya. Surat kuasa yang membebankan Hak Tanggungan mengenai Hak atas tanah yang sudah terdaftar wajib diikuti dengan pembuatan akta pemberian Hak Tanggungan selambat – lambatnya 1 (satu) bulan sesudah diberikan. Dan Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan mengenai Hak Tanggungan mengenai hak atas tanah yang belum terdaftar wajib diikuti dengan pembuatan Akta Pemberian Hak Tanggungan selambat – lambatnya 3 (tiga) bulan sesudah diberikan. Ketentuan ini tidak berlaku dalam hal Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan diberikan untuk menjamin kredit tertentu yang ditetapkan dalam peraturan perundang – undangan yang berlaku.

Surat kuasa membebankan Hak Tanggungan yang tidak diikuti dengan pembuatan Akta Pemberian Hak Tanggungan dalam waktu yang ditentukan atau waktu yang ditentukan menurut ketentuan yang batal demi hukum.

28


(57)

BAB III

PELELANGAN YANG DILAKUKAN SECARA PROSEDURAL A. Pengertian, Fungsi Dan Klasifikasi Lelang

1. Pengertian Lelang

Pengertian lelang di Indonesia dapat ditemukan dalam pasal 1 Vendu Reglement yang saat ini masih berlaku. Menurut pasal tersebut lelang adalah setiap penjualan barang di muka umum dengan cara penawaran harga naik – naik, turun – turun, dan atau tertulis melaui usaha mengumpulkan para peminat atau peserta lelang yang dipimpin oleh pejabat lelang atau Vendemeester.

Pengertian lelang yang lain adalah pada penjualan barang di muka umum, dengan penawaran harga secara lisan atau dengan penawaran harga secara tertulis, yang didahului dengan pengumuman lelang berdasarkan Perundang – Undangan yang berlaku,29

Pelelangan merupakan tahap akhir daripada Eksekusi yang dilakukan oleh PUPN. Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan Pelelangan menurut Pendapat beberapa Orang sarjana antara lain :

oleh karena itu pembelian barang dan pemborongan pekerjaan secara lelang seperti pada mekanisme APBN yang sering disebut dengan ” L.elang Tender ”.

Menurut Prof. Polderman : Lelang adalah alat untuk mengadakan perjanjian atau persetujuan yang menguntungkan bagi bagi si penjual dengan cara menghimpun para peminat sementara dari MTG Maulenberg, seorang ahli lelang Negera Belanda dari Departement of Marketing and Market Research

29


(58)

Aqcultural Univesity of Negeringen ” Antions are intermediary berneer buyers and sailers . Their main objective is price discovery ”.

Mr. Wennek dari Balai Lelang Ripper Boswelp and Company Swiss mengatakan :

”Auction is a system of selling to the public a number of individual iteme, one at a time commencing at a set time or a set day. The auctionser conducting the auction inrites offere of price for the item from the attenders ”.30

Pengertian Lelang Eksekusi oleh Pengadilan Negeri adalah lelang yang dilakukan untuk melaksanakan Putusan hakim Pengadilan dalam hal perkara perdata termasuklelang dalam rangka eksekusi grosse akte hipotik.

Sedangkan Lelang Eksekusi eks sitaan PUPN adalah Lelang Eksekusi dalam rangka penagihan piutang negara yang wajib dibayar oleh penanggung hutang kepada negara atau Badan – Badan Penanggung Hutang Negara, baik secara langsung atau tidak langsung dikuasai oleh negara berdasarkan suatu peraturan, perjanjian atau sebab apapun.

Dari Pengertian Lelang tersebut di atas dapat dikemukakan 2 hal penting, yaitu :

1. Pengertian Lelang adalah terbatas pada penjualan barang di muka umum. 2. Dalam Pengertian lelang harus memenuhi 5 unsur, yaitu :

a. Lelang dalam bentuk penjualan. Hipotik yang dijual melalui pelelangan berdasarkan grosse akta hipotik yang dilakukan oleh Pengadilan Negeri atau berdasarkan surat pernyataan bersama oleh PUPN, maka pembeli

30


(59)

tanah, tanah dan rumah tersebut, akan menerima benda yang dibelinya itu bebas dari semua beban, dan hipotik yang tidak terbayar dengan hasil lelang akan diperhitungkan agar dicoret oleh Ketua Pengadilan Negeri atau Kepala PUPN.31

b. Cara penawarannya dengan harga khusus dengan harga semakin naik atau semakin turun, atau secara tertulis tanpa memberi prioritas pada pihak manapun.

c. Pihak pembeli tidak dapat ditunjuk sebelumnya. d. Memenuhi unsur publisitas.

e. Dipimpin oleh juru lelang/Pejabat lelang yang diangkat oleh Menteri Keuangan.32

2. Fungsi Lelang

Sesuai dengan pengertian lelang tersebut di atas maka Lelang mempunyai 2 fungsi, yaitu Fungsi Privat dan Fungsi Publik.

Fungsi Privat terjadi karena lelang merupakan institusi pasar yang mempertemukan penjual dan pembeli, maka lelang berfungsi memperlancar arus lalu lintas perdagangan barang. Maka fungsi publik adalah :

a. Penanganan aset yang dimiliki atau dikuasi Negara untuk meningkatkan Efisiensi dan tertib administrasi dan pengelolaaannya.

b. Memberikan pelayanan penjualan barang yang bersifat cepat, aman, tertib dan mewujudkan harga yang wajar.

c. Mengumpulkan penerimaan Negara dalam bentuk Bea Lelang.

31

Varia peradilan, No. 46 Tahun 1989, Juli 1989, h. 124.

32

Retnowulan Sutantio,dkk,Pustaka Peradilan Perdata Tertulis,(Jakarta, Mahkamah Agung RI dan The Asia Foundation, 1994). h. 3.


(60)

Fungsi Publik lelang yang pertama berkaitan dengan kedudukan lelang dalam kerangka sistem Hukum Indonesia. Lelang sebagai sarana penjualan barang, diperlukan guna melangkapi sistem hukum yang telah dibuat terlebih dahulu (BW,HIR,Rbg). Penjualan barang secara lelang dirasakan sebagai alternatif yang tepat karena yang diperlukan adalah suatu sistem penjualan yang subur harus menguntungkan dan objektif, juga harus memenuhi rasa keadilan, keamanan, kecepatan, dan diharapkan dapat mewujudkan harga wajar serta menjamin adanya kepastian hukum.33

Fungsi publik lelang yang kedua terutama berhubungan dengan tindak lanjut dari barang – barang Negara yang dihapus atau tidak dimanfaatkan lagi dari pengelolaan atau penguasaan Negara yang karena sesuatu hal ingin dijual termasuk barang yang dikuasai Negara, asset BUMN atau BUMD, barang – barang yang tidak bertuan, barang temuan, dan sebagainya. Adil bila barang – barang yang dibeli dari uang rakyat yang dikumpulkan oleh Negara dalam bentuk pajak, retribusi, dan lain – lain dijual kembali kepada rakyat dengan cara penjualan yang terbuka, objektif, kompetitif, dan cepat serta aman. Untuk menjamin terciptanya penjualan yang adil, maka ditetapkanlah lelang sebagai sarana penjualan barang – barang Negara tersebut terakhir dengan Keputusan Presiden No. 16 tahun 1994.

Fungsi publik yang ketiga berkenan dengan penerimaan Negara berupa Bea Lelang yang dikenakan kepada penjual dan pembeli atas harga pokok lelang. Disamping itu lelang menghasilkan penerimaan Negara berupa uang miskin yang

33


(61)

dibebankan kepada pembeli lelang dan menjadi bagian dari penerimaan dana sosial Departemen Sosial.

3. Klasifikasi Lelang

Pasal 1 angka 2 dan 3 Keputusan Menteri Keuangan No. 450/KMK 01/2002, sebagaimana diubah dengan Peraturan Meneri Keuangan No. 40/PMK 07/ 2006 mengklasifikasikan lelang menjadi :

a. Lelang Eksekusi

Jenis lelang ini merupakan penjualan umum untuk melaksanakan atau mengeksekusi putusan atau penetapan Pengadilan atau dokumen yang dipersamakan dengan Putusan Pengadilan, seperti hipotik, Hak Tanggungan atau Jaminan fidusia.

Jenis atau bentuk lelang inilah yang dimaksud dalam Pasal 200 ayat 1 HIR / Pasal 215 RBG:

1) Penjualan di muka umum barang milik Tergugat yang disita Pengadilan Negeri.

2) Penjualan dilakukan Pengadilan Negeri melalui perantaraan Kantor Lelang.

Khusus lelang sitaan berdasarkan Putusan Pengadilan, disebut ”Lelang Eksekusi”. Termasuk juga ke dalamnya dokumen yang disamakan dengan Putusan Pengadilan yang berkekuatan hukum tetap, seperti Sertifikat Hak Tanggungan dan jaminan fidusia. Setiap penjualan umum yang dilakukan Pengadilan Negeri, disebut lelang eksekusi.


(62)

Syarat pokok yang melekat pada lelang eksekusi berdasarkan Pasal 200 ayat (1) HIR/RBG, eksekusi didahului dengan sitaan eksekusi (executoriale beslag,executory seizure). Dengan demikian, penjualan itu dilakukan terhadap barang tergugat yang telah diletakkan di bawah penyitaan (executoriale beslag, leggen op, to take seizure).

b. Lelang Non eksekusi

Jenis lelang ini merupakan penjualan umum di luar pelaksanaan Putusan atau Penetapan Pengadilan yang terdiri dari :

1) Lelang barang milik/dikuasai negara 2) Lelang sukarela atas barang milik swasta.

Sehubungan dengan klasifikasi di atas, yang akan dibicarakan dalam uraian lelang berikut ini, diarahkan pada bentuk Lelang Eksekusi.34

Mengingat Peraturan Pemerintah No 6 Tahun 2006 maupun Peraturan Menteri Keuangan No 96/PMK.06/2007 tidak diatur mengenai prosedur penjualan terhadap bongkaran, maka dalam proses penjualannya melalui lelang tidak diperlukan surat persetujuan penjualan dari pengelola barang sepanjang barang tersebut bukan kategori rekonstruksi/pembangunan kembali, melainkan renovasi/rehabilitasi. Untuk mendukung hal tersebut pemohon lelang harus melampirkan fotokopi DIPA yang memuat alokasi dana untuk renovasi/ rehabilitasi tersebut.

34


(1)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan

Dari uraian Bab-Bab terdahulu dalam penulisan skripsi ini dapat disimpulkan sebagai berikut :

1. Peralihan hak kepada pembeli lelang atas objek agunan yang diperoleh melalui lelang baru sempurna setelah dilakukan balik nama pada Kantor Pendaftaran yang bersangkutan, dan dalam hal ada hak tanggungan yang membebani tanah atau rumah yang akan dilelang, maka Badan Pertanahan Nasional (BPN) berkewajiban meroya (mencoret) nama yang tertera pada sertifikat tanah tersebut dan menggantinya menjadi nama pembeli (pemenang lelang).

2. Kewenangan Pejabat Lelang terhadap suatu barang agunan apabila debitur cidera janji, maka Pejabat Lelang dapat melakukan penjualan Objek Hak Tanggungan melalui pelelangan umum. Suatu pelelangan yang dilaksanakan tidak sesuai dengan ketentuan atau peraturan lelang yang berlaku saat ini, maka terhadap pelelangan tersebut, dapat dikatakan tidak berkekuatan hukum melalui proses gugatan yang diajukan kepada Pengadilan Negeri.

3. Dalam penjualan objek agunan secara lelang maka aset atau sertifikat pemberi hak tanggungan yang sudah diagunkan tidak diperkenankan dijual sendiri oleh pemberi Hak Tanggungan sepanjang tidak diperjanjikan dalam Akte Pengikatan, dan apabila Pemberi Hak


(2)

Tanggungan tidak melunasi kewajibannya memenuhi pembayaran atas hutangnya dan tidak mengindahkan peringatan – peringatan (somasi) yang diberi oleh Kantor Pelayanan Kekayaan Negara ataupun Balai Lelang, maka benda sertifikat yang diagunkan dapat dijual secara lelang, meskipun tanpa persetujuan Pemberi Hak Tanggungan. Dan juga gugatan perbuatan melawan hukum yang diajukan pemegang Hak Tanggungan yang tidak memenuhi peringatan yang diberikan pihak kreditur maka akan berakibat gugatan tersebut dinyatakan tidak berdasar hukum, karena perbuatan itu merupakan perbuatan wanprestasi dan gugatannya akan di tolak melalui Putusan Pengadilan Negeri.

B. Saran

Dari penjelasan-penjelasan yang diuraikan dalam Bab-Bab terdahulu dan kesimpulan seperti disebut diatas, penulis memberikan saran-saran sebagai berikut:

1. Untuk tercapainya suatu tujuan lelang sebaiknya pembeli lelang yang telah memenuhi syarat – syarat yang di sahkan Pejabat Lelang bersama Kreditur dan Debitur menghadap kepada Ketua Pengadilan Negeri untuk dilakukan pembayaran oleh pembeli lelang di hadapan Ketua Pengadilan Negeri. Selanjutnya, pembeli lelang, Kreditur dan Debitur menghadap Pejabat Pembuat Akte Tanah (PPAT) untuk membuat akta jual – beli dan melakukan balik nama atas sertifikat tanah.

2. Bagi Pembeli Lelang yang beritikad baik sudah seharusnya diberikan perlindungan, hal ini berguna bagi peserta lelang lainnya, di kemudian


(3)

hari agar tidak mempunyai keraguan atau menimbulkan kecemasan dalam mengikuti proses lelang terhadap suatu agunan yang akan dijual melalui pelelangan umum.

3. Pada umumnya, benda yang tidak bergerak (tanah/rumah) yang sertifikatnya dijadikan jaminan diagunkan selalu berada pada penguasaan tersita (ditempati Debitur), dan sebaliknya apabila tanah/rumah tersebut akan dikosongkan tetapi Debitur tidak bersedia mengosongkannya, maka kreditur dan Pejabat Lelang harus berani mengeluarkan Debitur tersebut secara paksa. Bahkan, dapat menggunakan bantuan Aparat Keamanan (Polisi) walaupun untuk hal itu tidak ada permohonan dari pemenang lelang, karena hal ini dapat dianggap merupakan salah satu bentuk pelayanan prima dari Kreditur dan pejabat lelang kepada pihak pemenang lelang.


(4)

DAFTAR PUSTAKA A. BUKU

Harahap, M.Yahya, 2005, Hukum Acara Perdata, Sinar Grafika, Jakarta. Harsono Boedi, 2007, Hukum Agraria Indonesia, Djambatan, Jakarta. Harahap, M.Yahya, 2007 ,Ruang Lingkup Permasalahan Eksekusi Bidang

Perdata, Sinar Grafika, Jakarta.

Kartini Muljadi & Gunawan Widjaja, 2006, Hukum Harta Kekayaan Hak Tanggungan, Kencana,Jakarta.

Kartono, SH, 1982, Kepailitan Dan Pengunduran Pembayaran. Pradnya Paramita, Jakarta.

Kelompok Studi Hukum Bisnis Fakultas Hukum Universitas Padjajaran, 1996, Seminar Hak Tanggungan Atas Tanah Dan Benda – Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah, Citra Adytya Bakti, Bandung.

Mahkamah Agung RI, 2008, Pedoman Teknis Administrasi Dan Teknis Peradilan Perdata Khusus, Buku II, Ikatan Hakim Indonesia IKAHI, Jakarta.

Mulyadi Kartini & Gunawan Wijaya, 2003, Perikatan Yang Lahir Dari Perjanjian, Raja Grafindo Persada, Jakarta.

Nasution A. Z, 2002, Hukum Perlindungan konsumen Suatu Pengantar, Cetakan Kedua, Diadit Media, Jakarta.

Panggabean HP, 1997, Himpunan Undang – Undang yang berkaitan dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996, Pengadilan Tinggi Sumatera Selatan, Palembang.


(5)

Purwaningsih Endang, 2010, Hukum Bisnis, Ghalia Indonesia, Bogor. Retnowulan, Sutantio dan Iskandar Oeripkartawinata, 1980, Hukum Acara

Perdata dalam Teori dan Praktek, Alumni, Bandung.

Saleh Wantjik, 2002, Hukum Acara Perdata dalam HIR/RBG, Ghalia Indonesia, Jakarta.

Siregar Tampil Anshari, 2001, Undang – Undang pokok Agraria dalam Bagan, KSHM, Medan.

Soemanty Wasty, 1994, Pedoman Teknik Penulisan Skripsi. Bumi Aksara, Jakarta.

Subekti, SH, 1985, Pokok – Pokok Hukum Perdata, Intermasa, Bandung. Subekti, SH, 1979, Hukum Perjanjian, Cetakan VI, Intermasa, Jakarta.

Sutantio Retnowulan, dkk, 1994, Pustaka Peradilan Hukum Perdata Tertulis, Mahkamah Agung RI dengan The Asia Foundation, Jakarta.

Subekti. R, 1995, Aneka perjanjian, Cetakan Kesepuluh, Citra Aditya Bakti, Bandung.

Soerjono Soekanto dan Sri mamudji, 1990, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Rajawali Pers, Jakarta.

B. PERUNDANG-UNDANGAN

Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan

Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 Tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Tanggungan Dan Hak Pakai Atas Tanah


(6)

C. MAJALAH

Majalah Varia Peradilan ( VP ). Dari beberapa Tahun penerbitan. IKAHI.

D. INTERNET