Model Spasial Indeks Restorasi Lanskap Hutan Tropis Terdegradasi Daerah Aliran Sungai Batang Toru, Sumatera Utara
MODEL SPASIAL INDEKS RESTORASI
LANSKAP HUTAN TROPIS TERDEGRADASI
DAERAH ALIRAN SUNGAI BATANG TORU SUMATERA UTARA
SAMSURI
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul Model Spasial
Indeks Restorasi Lanskap Hutan Tropis Terdegradasi Daerah Aliran Sungai
Batang Toru Sumatera Utara adalah benar-benar merupakan karya saya sendiri
dan belum pernah diajukan dalam bentuk apapun kepada Perguruan Tinggi
manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan
maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam Daftar Pustaka.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada
Institut Pertanian Bogor.
Bogor, Agustus 2014
Samsuri
NIM E161090021
RINGKASAN
SAMSURI. Model Spasial Indeks Restorasi Lanskap Hutan Tropis Terdegradasi
Daerah Aliran Sungai Batang Toru, Sumatera Utara. Dibimbing oleh I NENGAH
SURATI JAYA, CECEP KUSMANA, dan KUKUH MURTILAKSONO
Restorasi lanskap hutan adalah kegiatan untuk mengembalikan lanskap hutan
mendekati bentuk lanskap hutan seperti sebelumnya. Untuk menentukan lanskap
hutan terdegradasi yang harus direstorasi perlu disusun kriteria dan indikator
penentunya.
Degradasi lanskap hutan secara ekologis diindikasikan oleh
keberlangsungan aliran materi dalam ekosistem hutan. Salah satu faktor yang
mempengaruhi kelancaran aliran materi dalam ekosistem hutan adalah tingkat
fragmentasi dan tingkat konektivitas hutan. Restorasi lanskap hutan juga harus
mendapat dukungan dari masyarakat di dalam dan di sekitar hutan. Tingkat
kemungkinan partisipasi masyarakat menjadi salah satu faktor penting dalam
menentukan keberhasilan restorasi lanskap hutan.
Penelitian ini bertujuan untuk membangun indeks degradasi hutan, indeks
fragmentasi hutan, indeks konektivitas hutan, indeks degradasi lahan, dan indeks
restorasi lanskap hutan yang terdegradasi di DAS Batang Toru. Analisis spasial
menggunakan ArcGIS 9.3 dilakukan untuk mendapatkan model indeks degradasi
hutan, indeks fragmentasi hutan, indeks konektivitas hutan, dan indeks restorasi
lanskap hutan yang terdegradasi. ERDAS Imagine versi 9.1 digunakan untuk
menentukan tipe penutupan lahan berdasarkan citra satelit landsat tahun liputan
1989, 2000 dan 2013. Tipe tutupan lahan hasil interpretasi citra satelit dianalisis
dengan FRAGSTAT versi 3.3 untuk mendapatkan metrik lanskap.
Indeks restorasi lanskap hutan menyatakan tingkat prioritas restorasi di suatu
lanskap hutan. Indeks restorasi dinyatakan dalam rentang angka 0 – 1, yang berarti
semakin mendekati nilai 1 prioritas akan semakin tinggi dan sebaliknya semakin
mendekati nilai 0 prioritas restorasi semakin menurun. Indeks restorasi dibangun
menggunakan 4 faktor yaitu indeks kerusakan hutan, indeks fragmentasi hutan,
indeks konektivitas hutan dan indeks degradasi lahan.
Faktor kondisi ekologis lanskap hutan diindikasikan oleh kondisi tegakan
hutan yaitu nilai indeks keanekaragaman jenis, luas bidang dasar dan kerapatan
tegakan. Kerapatan tegakan diduga menggunakan nilai NDVI dan MSAVI yang
diperoleh dengan pengolahan citra landsat.
Kerapatan tegakan selanjutnya
digunakan untuk menentukan indeks degradasi hutan. Faktor fragmentasi lanskap
hutan ditentukan menggunakan nilai metrik lanskap yaitu nilai indeks proximity, path
density, area dan indeks contiguity. Faktor konektivitas lanskap hutan dibangun
menggunakan nilai matrik lanskap yaitu metrik connectan, dan radius of gyration.
Indeks degradasi lahan dibangun dengan menggunakan faktor karakteristik fisik
tanah, kimia tanah dan dampak kerusakan (erosi).
Indeks degradasi hutan dibangun menggunakan model regresi sederhana
berdasarkan peubah NDVI dan MSAVI. Model penduga indeks kerusakan hutan
yang disusun adalah y1 = 0,938 – 0,600 x1 + 0,049 x2, dimana x1 adalah nilai NDVI
dan x2 adalah nilai MSAVI. Nilai koefisien determinasi model indeks degradasi
hutan tersebut mencapai 88,49 %. Berdasarkan nilai indeks degradasi hutan, sub
DAS Puli memiliki indeks degradasi sedang sampai tinggi paling luas. Sub DAS Puli
dengan indeks degradasi hutan tinggi relatif luas areanya harus mendapatkan
prioritas penanganan jika dilaksanakan restorasi.
Model indeks fragmentasi lanskap hutan adalah y2 = 0,999 + 1,983 10-5 x3 +
0,004 x4 – 1,111 10-5 x5 - 0,675 x6; dimana x3 adalah area, x4 adalah path density, x5
adalah proximity dan x6 adalah contiguity, dengan nilai koefisien determinasi sebesar
93,58 %. Penelitian menunjukkan tingkat fragmentasi meningkat dari periode 19892013. Indeks fragmentasi lanskap hutan tinggi sebagian besar ditemukan di bagian
hilir DAS Batang Toru. Fragmentasi menyebabkan turunnya konektivitas habitat
hidupan liar. Oleh karena itu, kegiatan restorasi direkomendasikan untuk dimulai
dari lanskap hutan dengan tingkat fragmentasi lebih tinggi, karena lanskap hutan
dengan indeks fragmentasi tinggi umumnya mendapatkan gangguan lebih tinggi
sehingga harus mendapatkan prioritas dalam restorasi lanskap hutan.
Indeks konektivitas ditentukan menggunakan persamaan y3 = -0,009 + 0,286
x6 + 3,059 10-5 x7; dimana x6 adalah radius of gyration dan x7 adalah connectan,
dengan nilai koefisien determinasi model sebesar 90,00 %. Indeks konektivitas
lanskap hutan Batang Toru cenderung menurun dalam kurun waktu 1989-2013.
Berdasarkan nilai indeks konektivitas, sub DAS Batang Toru Hilir memiliki indeks
konektivitas lebih rendah dibandingkan dengan sub DAS Puli dan Sarula. Sebagai
habitat hidupan liar, indeks konektivitas lanskap hutan Batang Toru harus dipelihara
dan dikembalikan melalui restorasi dan atau rehabilitasi hutan yang terdegradasi.
Lanskap hutan terdegradasi dengan indeks konektivitas yang rendah harus
mendapatkan prioritas restorasi.
Indeks degradasi lahan ditentukan oleh sub faktor bobot isi, tekstur tanah, C
organik dan tipe erosi. Peta indeks degradasi lahan menunjukkan bahwa persentase
luas indeks degradasi lahan di landscape DAS Batang Toru terdiri atas tingkat
degradasi lahan sangat rendah (29,21 %), tingkat degradasi lahan rendah (21,35 %)
tingkat degradasi lahan sedang (30,17 %), tingkat degradasi lahan tinggi (16,49 %)
dan tingkat degradasi lahan sangat tinggi (2,78 %). Lahan dengan tipe tutupan lahan
hutan dan kebun campuran lebih rendah tingkat degradasi lahannya. Lahan dengan
tutupan lahan pertanian lahan memiliki luas tingkat degradasi lahan tinggi dan sangat
tinggi paling luas. Indeks degradasi lahan tinggi dan sangat tinggi terluas berada di
sub DAS Batang Toru Hilir. Tingginya aktifitas manusia di bagian hilir DAS Batang
Toru memicu terjadinya degradasi lahan.
Empat indeks faktor digunakan untuk membangun model indeks prioritas
restorasi lanskap hutan. Analisis PCA menghasilkan 6 model yaitu (1) model dengan
menggunakan 3 faktor indeks (2) model menggunakan 2 faktor indeks, dan (3) model
menggunakan 1 faktor indeks. Uji validasi yang dilakukan menunjukkan keenam
model valid berdasarkan uji Zmean. Uji akurasi menghasilkan 2 model yang memiliki
akurasi relatif tinggi dibandingkan dengan yang lainnya yaitu model yang
menggunakan dua variabel yaitu (1) Z3= 0,547 y2 + 0,453 y4, dan (2) z4= 0,491 y3 +
0,509 y4. Uji lanjutan yaitu akurasi Kappa menunjukkan model 4 lebih baik
dibanding dengan model 3, sehingga model 3 digunakan untuk membuat peta indeks
restorasi.
Model spasial indeks restorasi tersebut digunakan untuk membuat peta
prioritas restorasi lanskap hutan yang terdegradasi di DAS Batang Toru. Peta indeks
restorasi menunjukkan sub DAS Puli memiliki indeks restorasi kelas sedang dan
tinggi relatif lebih luas dibandingkan dengan sub DAS lainnya. Sub DAS Puli
seharusnya menjadi tapak prioritas dibandingkan dengan ketiga sub DAS lainnya
jika kegiatan restorasi lanskap DAS Batang Toru dilaksanakan.
Kata kunci: fragmentasi, konektivitas, fragstat, ekosistem hutan
SUMMARY
SAMSURI. Restoration Index Model of Degraded Tropical Forest Landscape in
Batang Toru Watershed, North Sumatera. Supervised by I NENGAH SURATI
JAYA, CECEP KUSMANA, and KUKUH MURTILAKSONO
Forest landscape restoration is an activity that aims in restoring the forest
landscape until it close to the original forest landscape. In order to determine which
degraded forest landscape requiring a restoration, a criteria and indicator must first
be established. Socio-economic and ecological criteria are used to determine
restoration priorities. The forest landscape degradation was ecologically determined
by the material flow continuity within the forest ecosystem. One of the factors that
influenced the smooth flow of material within the forest ecosystem is the degree of
forest connectivity and fragmentation. The forest landscape restoration should also
be supported by the community inside and adjacent to the forest. The probability
degree of community participation is one of the important factors in determining the
success of forest landscape restoration.
The objective of this study is to formulate a forest degradation index, forest
fragmentation index, forest connectivity index, forest degradation index, and
degraded forest landscape restoration index in Batang Toru watershed. A spatial
analysis using ArcGIS 9.3 was performed to develop model of forest degradation
index, forest fragmentation index, and degraded forest landscape restoration index.
ERDAS Imagine versi 9.1 was used to determine land cover type based on Landsat
satellite imagery in 1989, 2000 and 2013. Land cover type resulted from the satellite
imagery was analyzed by FRAGSTAT version 3.3 to obtain landscape metrics.
The forest landscape restoration index expressed the restoration priority level
in certain forest landscape. The restoration index is expressed in number ranging
from 0 to 1, which means that the closer the number is to 1, the priority will be
higher and vice versa the closer the number is to 0 the restoration priority will be
lower. The restoration index was formulated using 4 factors, namely forest
degradation index, forest fragmentation index, forest connectivity index and land
degradation index.
The ecological condition of forest landscape was indicated by the forest
stand condition that were diversity index value, the basal area, and stand density.
Stand density was predicted using NDVI and MSAVI values obtained from
processing the Landsat imagery. Stand density was further used to determine forest
degradation index. Forest landscape connectivity factor was formulated using
landscape metric values, namely connectan metrics and the radius of gyration. Forest
landscape fragmentation factor was determined using landscape metric values,
namely proximity index value, patch density, area and contiguity index. Land
degradation index was formulated using soil physical characteristics, soil chemical
characteristics, and degradation (erosion) impact in the field.
Forest degradation index was formulated using a simple regression model
based on NDVI and MSAVI variables. The model of forest degradation index is y1 =
0,938 – 0,600 x1 + 0,049 x2, where x1 is the NDVI value and x2 is a MSAVI value.
The coefficient of determination of forest degradation index model reached 88,49%.
Based on forest degradation index, Puli sub-watershed has the widest medium to
high degradation index. Puli sub-watershed with a relatively wide extent of high
forest degradation index must be prioritized for restoration.
The model of landscape forest fragmentation index is y2 = 0,999 +
0,00001983 x3 + 0,004 x4 – 0,00001111 x5 - 0,675 x6; where x3 is area, x4 is patch
density, x5 is proximity and x6 is contiguity, with a coefficient of determination of
93,58 %. The study indicated that the fragmentation degree has increased during the
period 1989-2013. High fragmentation index of forest landscape was mostly found in
the downstream part of Batang Toru watershed. Fragmentation has caused the
decline in the wildlife habitat connectivity. Hence, it is recommended to start the
restoration activity from forest landscape with high fragmentation level, because
forest landscape with high fragmentation index is generally more disturbed so that it
should be prioritized for forest landscape restoration.
The model of forest landscape connectivity index is y3 = -0,009 + 0,286 x6 +
0,00003059 x7; where x6 is the radius of gyration and x7 is connectan, with a
coefficient of determination model of 90,00 %. The forest landscape connectivity
index of Batang Toru tends to decline during the period 1989-2013. Based on the
connectivity index, Batang Toru Hilir sub-watershed has lower connectivity index
than Puli and Sarula sub-watersheds. As a wildlife habitat, the forest landscape
connectivity index of Batang Toru must be conserved and restored through
restoration and or rehabilitation of the degraded forest. Degraded forest landscape
with low connectivity index must be prioritized for restoration.
Land degradation index was determined by soil bulk density, soil texture, C
organic and erosion type. The land degradation index map indicated that the
percentage of land degradation level in Batang Toru watershed landscape is
comprising of very low land degradation level (29,21 %), low land degradation level
(21,35 %), medium land degradation level (30,17 %), high land degradation level
(16,49 %) and very high land degradation level (2,78 %). Land with forest and
mixed garden cover type has lower land degradation level. Dryland agriculture type
in the relatively steep to steep slope has been experiencing erosion and landslide. The
highest extent of high and very high land degradation level is located in Batang Toru
Hilir sub-watershed. High human activity in the downstream part of Batang Toru
watershed has triggered land degradation.
Four factor indices above were used to develop a model of forest landscape
restoration priority index. PCA analysis produced 6 models, namely (1) model that
used 3 index factors (2) model that used 2 index factors, and (3) model that used 1
index factor. A validation test indicated that the six models are valid based on Zmean
test. Accuracy test produced 2 models with relatively high accuracy than the other
models, that is model that used two variables, namely (1) Z3= 0,547 y2 + 0,453 y4,
and (2) z4= 0,491 y3 + 0,509 y4. Further test, namely Kappa accuracy test, indicated
that model 4 is better than model 3, thus model 3 was used to create a restoration
index map.
A spatial model of restoration index was used to create a restoration priority
map of degraded forest landscape in Batang Toru watershed. The restoration index
map indicated that Puli sub-watershed has a relatively higher extent of medium and
high restoration index than the other sub-watersheds. Puli sub-watershed should be
given a priority over the other three sub-watersheds in the landscape restoration of
Batang Toru watershed.
Keywords: fragmentation, connectivity, fragstat, forest ecosystem
© Hak cipta milik IPBTahun 2014
Hak cipta dilindungi undang-undang
Dilarang mengutip sebagian atau/seluruh karya tulis tanpa menyebutkan sumber.
Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya
ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah.
Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebahagian atau seluruh karya tulis
dalam bentuk apapun tanpa ijin IPB
MODEL SPASIAL INDEKS RESTORASI
LANSKAP HUTAN TROPIS TERDEGRADASI
DAERAH ALIRAN SUNGAI BATANG TORU SUMATERA UTARA
SAMSURI
Disertasi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Doktor
pada
Mayor Ilmu Pengelolaan Hutan
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014
Penguji pada Ujian Tertutup
: Dr. Ir. Irdika Mansur M.For.Sc
(Departemen Silvikultur Fakultas Kehutanan IPB)
Dr. Nining Puspaningsih
(Departemen Manajemen Hutan Fakultas Kehutanan IPB)
Penguji pada Ujian Terbuka
: Dr. Ir. Bedjo Santosa, MS
(Staf Ahli Menteri Kehutanan)
Prof. Dr. Ir. Lilik Budi Prasetyo, M.Agr
(Departemen Konservasi Sumberdaya
Ekowisata Fakultas Kehutanan IPB)
Hutan
dan
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadhirat Allah SWT atas segala
karunia-Nya sehingga disertasi dengan judul “Model Spasial Indeks Restorasi
Lanskap Hutan Tropis Terdegradasi Daerah Aliran Sungai Batang Toru Sumatera
Utara” dapat diselesaikan. Disertasi ini diajukan sebagai salah syarat untuk
menyelesaikan studi pada Program Doktor Sekolah Pascasarjana, Institut
Pertanian Bogor.
Penelitian dan disertasi dibiayai ini oleh Direktorat Jenderal Pendidikan
Tinggi Kementerian Pendidikan Nasional melalui program Ph D Grant SEAMEO
BIOTROP dan beasiswa BPPS, serta bantuan penelitian Rektor Universitas
Sumatera Utara. Bagian dari disertasi ini telah dipublikasikan pada Jurnal
Agriculture, Forestry and Fisheries dengan judul Connectivity and ecological
indicators analysis of tropical forest landscape in Batang Toru watershed –
Indonesia Volume 3(3): 147-154 tahun 2014, diterbitkan di Journal of Tropical
Forest Management dengan judul Fragmentation analysis of forest landscape in
Batang Toru watershed, North Sumatera Volume 20(2):77-85 tahun 2014, dan
Jurnal Hutan Tanaman dengan judul “Indeks degradasi lahan lanskap hutan
Daerah Aliran Sungai Batang Toru Sumatera Utara”.
Penulis menyampaikan terima kasih dan penghargaan kepada:
1.
Prof. Dr. Ir. I Nengah Surati Jaya, M.Agr selaku Ketua Komisi Pembimbing
yang dengan penuh kesabaran memberikan arahan, motivasi dan
pembelajaran yang diberikan kepada penulis secara langsung maupun tidak
langsung selama menempuh pendidikan
2. Prof. Dr. Ir. Cecep Kusmana, MS yang dengan kerelaan dan kesabarannya
menjadi mitra diskusi untuk membuka cakrawala berpikir lebih komprehensif
dalam ilmu pengelolaan hutan.
3. Prof. Dr. Ir. Kukuh Murtilaksono, MS yang memberikan jalan mudah bagi
penulis memahami ilmu tanah dan pengelolaan sumberdaya lahan.
4. Dr. Ir. Irdika Mansur, M.For.Sc, selaku penguji luar komisi pada ujian
tertutup atas komentar dan saran untuk perbaikan yang semakin memperkaya
disertasi ini dan membuat penulis lebih memahami konsep restorasi.
5. Dr. Nining Puspaningsih, selaku penguji luar komisi pada ujian tertutup atas
koreksi, komentar dan sarannya untuk perbaikan disertasi menjadi lebih baik.
6. Dr. Ir. Bedjo Santosa, MS selaku penguji luar komisi pada ujian terbuka yang
meluangkan waktu di tengah kesibukan yang luar biasa untuk memberikan
saran dan kritik sehingga desertasi ini menjadi lebih berbobot
7. Prof. Dr. Ir. Lilik Budi Prasetyo, M.Agr. selaku penguji luar komisi pada
ujian terbuka yang memberikan pencerahan luar biasa dalam memahami
ekologi lanskap dan analisis spasial lanskap
8. Seluruh penyelenggara dan pelaksana Sekolah Pascasarjana IPB , terutama
pengelola Mayor Ilmu Pengelolaan Hutan yang memberikan pelayanan
terbaiknya selama penyelesaian studi
9. SEAMEO BIOTROP yang memberikan hibah penelitian sehingga seluruh
rangkaian penelitian untuk penyusunan disertasi ini dapat diselesaikan
10. Rektor Universitas Sumatera Utara yang memberikan bantuan biaya studi dan
biaya penelitian.
11. Warga laboratorium laboratorium Remote Sensing dan GIS yang
menciptakan suasana di laboratorium sehingga nyaman dalam belajar dan
berdiskusi
12. Teman-teman IPH atas persahabatan dan kerjasamanya selama masa studi
dan setelahnya
13. Semua pihak yang telah memberikan dukungan sehingga penulisan disertasi
ini dapat diselesaikan
Mudah-mudah tulisan ini dapat bermanfaat bagi diri penulis maupun yang
membaca tulisan ini.
Bogor, Agustus 2014
Samsuri
xi
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN
xii
xiv
xv
1
1
1
1
2
5
7
7
9
10
10
11
11
13
13
16
2
3
.
4
5
6
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Tujuan Penelitian
Perumusan Masalah
Kerangka Pendekatan
Novelty Penelitian
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN
Tempat dan Waktu Penelitian
Iklim
Tipologi Fisik
Tipologi Sosial Ekonomi
Fungsi Kawasan
KARAKTERISTIK EKOLOGIS DAN DEGRADASI LANSKAP HUTAN
DAERAH ALIRAN SUNGAI BATANG TORU
Pendahuluan
Metode
Hasil dan Pembahasan
Simpulan
FRAGMENTASI LANSKAP HUTAN TROPIS DAERAH ALIRAN
SUNGAI BATANG TORU
Pendahuluan
Metode
Hasil dan Pembahasan
Simpulan
KONEKTIVITAS LANSKAP HUTAN TROPIS DAERAH ALIRAN
SUNGAI BATANG TORU
Pendahuluan
Metode
Hasil dan Pembahasan
Simpulan
DEGRADASI LAHAN LANSKAP HUTAN TROPIS DAERAH ALIRAN
SUNGAI BATANG TORU
Pendahuluan
Metode
Hasil dan Pembahasan
16
17
21
34
37
37
39
43
55
56
56
57
59
68
69
69
71
72
xii
DAFTAR ISI (lanjutan)
7
.
8
Simpulan
INDEKS RESTORASI LANSKAP HUTAN TROPIS TERDEGRADASI
DAERAH ALIRAN SUNGAI BATANG TORU
Pendahuluan
Metode
Hasil dan Pembahasan
Simpulan
PEMBAHASAN UMUM: PERENCANAAN RESTORASI LANSKAP
HUTAN TERDEGRADASI
Lanskap Hutan DAS Batang Toru
Implementasi Indeks Restorasi
Simpulan
Saran
84
86
86
87
90
105
106
106
108
110
111
112
123
137
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
RIWAYAT HIDUP
DAFTAR TABEL
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
Tipe Iklim Satuan Wilayah Pengelolaan (SWP) DAS Batang Toru
Curah hujan dan suhu rata-rata wilayah penelitian di DAS Batang Toru
Distribusi kelas lereng wilayah penelitian di DAS Batang Toru
Distribusi kelas ketinggian wilayah penelitian di DAS Batang Toru
Tingkat kekritisan lahan wilayah penelitian di DAS Batang Toru tahun 2013
Jumlah dan perkembangan penduduk wilayah penelitian di DAS Batang
Toru
Fungsi kawasan hutan wilayah penelitian di DAS Batang Toru
Skor sub faktor NDVI dan MSAVI
Indeks nilai penting lima jenis dominan pada tingkat pohon dan tiang pada
hutan di sub DAS Batang Toru Hilir
Indeks nilai penting lima jenis dominan pada tingkat pancang dan semai pada
hutan di sub DAS Batang Toru Hilir
Indeks nilai penting lima jenis dominan pada tingkat pohon dan tiang pada
hutan di sub DAS Puli
Indeks nilai penting lima jenis dominan pada tingkat pancang dan semai pada
hutan di sub DAS Puli
Indeks nilai penting lima jenis dominan pada tingkat pohon dan tiang pada
hutan di sub DAS Sarula
Indeks nilai penting lima jenis dominan pada tingkat pancang dan semai pada
hutan di sub DAS Sarula
Nilai indeks keanekaragaman jenis hutan sub DAS Batang Toru Hilir
Nilai indeks keanekaragaman jenis hutan sub DAS Sarula
Nilai indeks keanekaragaman jenis hutan sub DAS Puli
11
11
12
12
13
14
14
21
23
23
24
25
24
26
26
27
27
xii
xiii
DAFTAR TABEL (lanjutan)
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
30
31
32
33
34
35
36
37
38
39
40
41
42
43
44
45
Nilai frekuensi Raunkaier masing-masing DAS Batang Toru
Regresi linear antara kerapatan pohon dengan NDVI (x1) dan MSAVI (x2)
Sebaran luas kelas indeks degradasi hutan pada lanskap DAS Batang Toru
Skor masing-masing kelas sub faktor indeks fragmentasi
Distribusi tipe tutupan lahan berdasarkan interpretasi citra landsat tahun 1989,
2001, 2013
Perubahan tipe tutupan lahan lainnya di DAS Batang Toru periode 1989-2013
Korelasi Pearson antara indeks fragmentasi dengan jarak terhadap jalan, jarak
terhadap sungai, kelerengan dan elevasi
Metriks lanskap yang digunakan dalam analisis spasial konektivitas lanskap
hutan
Distribusi luas tingkat konektivitas hutan di setiap sub DAS Batang Toru tahun
2013
Korelasi Pearson antara indeks konektivitas dengan jarak indeks
keanekaragaman jenis, jarak terhadap jalan, jarak terhadap sungai, eleveasi dan
kelerengan
Skor dan indikator sifat fisik dan kimia tanah dalam degradasi lahan
Tipe unit lahan wilayah penelitian di DAS Batang Toru
Kisaran nilai indeks degradasi lahan dan tingkat degradasi lahan
Nilai bobot isi (bulk density) C organic tanah pada setiap tipe tutupan lahan
pada sub DAS Batang Toru Hilir
Nilai bobot isi (bulk density) C organic tanah pada setiap tipe tutupan lahan
pada sub DAS Puli
Nilai bobot isi (bulk density) dan C organic tanah pada setiap tipe tutupan lahan
di sub DAS Sarula
Sebaran luas tingkat degradasi lahan berdasarkan wilayah sub daerah aliran
sungai
Luas penutupan lahan di sub DAS Batang Toru Hilir, Puli dan Sarula
Nilai bobot isi dan C organik berdasarkan tipe tutupan lahan di DAS Batang
Toru
Indeks degradasi lahan di sub DAS Puli, Sarula dan Batang Toru Hilir
berdasarkan tipe tutupan lahan
Sebaran jumlah contoh tanah berdasarkan tekstur tanah dan tingkat degradasi
lahan
Kelas kerapatan vegetasi sebagai data uji akurasi
Variabel dan indikator kemungkinan tingkat partisipasi masyarakat dalam
restorasi
Hasil uji beda nilai tengah persamaan indeks restorasi
Akurasi persamaan indeks restorasi yang dikelompokkan ke dalam 5 kelas dan
3 kelas
Sebaran luas indeks restorasi lanskap hutan pada setiap sub DAS di DAS
Batang Toru berdasarkan persamaan eq. 3.
Sebaran tingkat fragmentasi berdasarkan fungsi kawasan
Distribusi tingkat konektivitas hutan berdasarkan fungsi kawasan hutan
Sumatera Utara
28
32
33
42
43
44
48
57
61
65
73
74
74
74
75
76
78
80
82
83
84
88
89
93
93
94
98
98
xiv
DAFTAR TABEL (lanjutan)
46
47
48
49
50
51
Distribusi tingkat degradasi lahan berdasarkan fungsi kawasan hutan Sumatera
Utara
Luas kelas indeks restorasi berdasarkan fungsi kawasan
Luas kelas indeks restorasi tutupan lahan hutan berdasarkan fungsi kawasan
Sebaran persepsi masyarakat terhadap pelaksanaan restorasi berdasarkan lama
tinggal
Persepsi restorasi berdasarkan kelas umur
Sebaran persepsi masyarakat terhadap rencana restorasi lanskap di DAS Batang
Toru
99
99
99
102
103
103
DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
Pengaruh fragmentasi hutan dan pentingnya dilakukan restorasi
Kerangka pemikiran penelitian
Lokasi penelitan di wilayah DAS Batang Toru, Sumatera Utara
Fungsi kawasan wilayah penelitian di DAS Batang Toru Sumatera Utara
Bentuk plot contoh lapangan
Sebaran plot lapangan di DAS Batang Toru
Kebun campuran yang sudah mendekati kondisi hutan alam di sub DAS Puli
Kondisi penutupan hutan lebat (a) sedang (b) dan jarang (c) di sub DAS Sarula
Penyebaran jenis-jenis pohon di lanskap hutan hujan tropika di DAS Batang
Toru
Struktur horisontal tegakan hutan diameter 10 cm ke atas di sub DAS Batang
Toru Hilir
Struktur horisontal tegakan hutan diameter 10 cm ke atas di sub DAS Sarula
Struktur horisontal tegakan hutan diameter 10 cm ke atas di sub DAS Puli
Struktur vertikal tegakan hutan diameter 10 cm ke atas dsub DAS Batang Toru
Hilir
Struktur vertikal tegakan hutan diameter 10 cm ke atas di sub DAS Sarula
Struktur vertikal tegakan hutan diameter 10 cm ke atas di sub DAS Puli
Peta indeks degradasi hutan lanskap hutan DAS Batang Toru
Kecenderungan pola lanskap hutan (a) dan struktur lanskap hutan DAS Batang
Toru (b)
Patch density hutan (a), contiguity index (b), dan proximity index (c) masingmasing sub DAS di Batang Toru Hilir
Peta indeks fragmentasi lanskap hutan tahun 2013
Korelasi antara indeks fragmentasi lanskap hutan dan jarak terhadap jalan utama
di sub DAS Batang Toru Hilir (a), Sarula (b) dan Puli (c)
Korelasi antara indeks fragmentasi lanskap hutan dan jarak terhadap sungai di
sub DAS Batang Toru Hilir (a), Sarula (b) dan Puli (c)
Hubungan antara indeks fragmentasi lanskap hutan dan kelerengan di sub DAS
Batang Toru Hilir (a), Puli (b) dan Sarula (c)
Hubungan antara indeks fragmentasi lanskap hutan dan elevasi di sub DAS
Batang Toru Hilir (a), Puli (b) dan Sarula (c)
3
8
10
15
17
18
22
22
28
29
30
30
30
31
31
35
45
46
49
50
51
52
53
xiv
xv
DAFTAR GAMBAR (lanjutan)
24 Hubungan antara luas area indeks FLH tinggi dan sedang dengan jarak terhadap
jalan utama
25 Hubungan antara luas area indeks FLH tinggi dan sedang dengan jarak terhadap
sungai
26 Nilai metrik lanskap radius of gyration (a) dan connectan (b) dari tahun 1989 –
2013
27 Peta indeks konektivitas lanskap hutan DAS Batang Toru tahun 1989
28 Peta indeks konektivitas lanskap hutan DAS Batang Toru tahun 2013
29 Korelasi antara konektivitas hutan dan indeks keanekaragaman jenis vegetasi di
DAS Batang Toru
30 Indeks konektivitas dan jarak terhadap jalan utama di sub DAS Batang Toru
Hilir (a), Sarula (b) dan Puli (c)
31 Diagram pencar indeks konektivitas dan jarak terhadap sungai besar di sub DAS
Batang Toru Hilir (a), Sarula (b) dan Puli (c)
32 Diagram pencar indeks konektivitas dan elevasi di sub DAS Batang Toru Hilir
(a), Sarula (b) dan Puli (c)
33 Diagram pencar indeks konektivitas dan kelas lereng (masing-masing kelas
memiliki rentang 5 %) di sub DAS Batang Toru Hilir (a), Puli (b), dan Sarula (c)
DAS
34 Peta indeks degradasi lahan di sub DAS Batang Toru Hilir, Sarula dan Puli,
Sumatera Utara
35 Peta tutupan lahan tahun 2013 di sub DAS Batang Toru Hilir, Sarula dan Puli,
Sumatera Utara
36 Tipe erosi yang terjadi di lokasi penelitian (a) erosi lembar, (b) erosi alur, c)
erosi parit, dan longsor
37 Peta indeks restorasi persamaan 3 dikelompokan menjadi 5 kelas
38 Peta indeks restorasi persamaan 3 dikelompokan menjadi 3 kelas
39 Peta indeks restorasi dan peta fragmentasi lanskap hutan
40 Kondisi lapangan pada area kelas indeks restorasi rendah
41 Kondisi lapangan pada area kelas indeks restorasi sedang
42 Kondisi lapangan pada area kelas indeks restorasi tinggi
43 Sebaran responden menurut jenis kelamin dan tingkat pendidikan
44 Korelasi antara persepsi restorasi dan pengetahuan masyarakat terhadap adanya
kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan
45 Korelasi antara persepsi restorasi dan pengetahuan masyarakat lokasi kegiatan
rehabilitasi hutan dan lahan
46 Proses restorasi lahan terdegradasi dan fungsi kawasan
54
54
60
62
63
64
66
67
67
68
77
79
81
95
96
97
100
100
100
101
103
103
109
DAFTAR LAMPIRAN
1
2
3
4
Jenis-jenis vegetasi yang ditemukan pada kegiatan inventarisasi vegetasi
Hasil uji Z
Hasil uji akurasi overall dan Kappa 5 kelas indeks restorasi
Hasil uji akurasi overall dan Kappa 3 kelas indeks restorasi
124
129
130
133
1
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Indonesia merupakan negara kepulauan beriklim tropis yang memiliki
hutan hujan tropis. Hutan hujan tropis memiliki keanekaragaman hayati yang
tinggi. Keanekaragaman hayati hutan hujan tropis Indonesia mengandung
kekayaan flora dan fauna yang sangat besar. Bagian terbesar kekayaan hutan
yang telah dikelola dan dimanfaatkan adalah hasil hutan kayu dan hasil hutan
bukan kayu. Namun demikian, pengelolaan hutan yang telah dilakukan
menimbulkan banyak permasalahan diantaranya kerusakan hutan dan
terfragmentasinya hutan. Kerusakan dan fragmentasi hutan menurunkan mutu
dan produktivitas ekosistem hutan.
Perkembangan jumlah penduduk yang tinggi menuntut pemenuhan
kebutuhan akan pangan dan lahan. Kondisi ini memicu terjadinya pembukaan
lahan hutan, baik untuk dikonversi menjadi tanaman pangan maupun untuk
pemukiman serta budidaya lainnya. Deforestasi di wilayah hutan hujan tropis
berakibat pada terjadinya kekritisan sumberdaya hayati global. Kehilangan
keanekaragaman hayati yang sangat signifikan juga berdampak pada terjadinya
kemiskinan di kehidupan masyarakat di dalam dan sekitar hutan terdegradasi
(Lamb et al. 2005). Ketergantungan manusia akan fungsi hutan seperti fungsi
lingkungan, pengatur tata air dan fungsi perlindungan hutan lainnya sangat besar.
Keberlangsungan dan keberlanjutan fungsi ekosistem juga harus tetap terjaga
untuk mendukung kehidupan manusia.
Kerusakan ekosistem berakibat pada menurunnya kualitas dan kuantitas
fungsi-fungsi ekosistem. Rusaknya ekosistem hutan mengurangi kemampuan
hutan dalam menyerap gas utama penyebab efek rumah kaca. Indonesia telah
berkomitmen untuk berperan aktif dalam penurunan emisi karbon melalui
mekanisme penurunan Emisi dari Deforestasi dan Pengrusakan Hutan atau
Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation (REDD) yang
selanjutnya berkembang menjadi REDD++. Pengurangan emisi melalui
pencegahan perusakan hutan, dan penanaman kembali hutan-hutan yang telah
rusak. Pencegahan kerusakan hutan dan perbaikan hutan juga mampu
mengembalikan fungsi hutan sebagai ekosistem.
Perbaikan hutan bertujuan untuk mengembalikan fungsi ekosistem hutan
mendekati seperti sebelum mengalami kerusakan. Pendekatan restorasi dapat
digunakan untuk mengembalikan fungsi ekosistem hutan. Restorasi merupakan
kegiatan untuk mengembalikan kondisi ekosistem menyerupai keadaan alaminya
baik komposisi dan bentang lahannya (lanskap). Restorasi maupun reforestasi
telah dilakukan untuk mendapatkan fungsi konservasi keanekaragaman hayati dan
stabilitas ekosistem. Namun demikian, kegiatan ini belum menunjukkan hasil
yang maksimal, karena salah satunya disebabkan oleh perencanaan yang belum
sempurna.
Perencanaan rehabilitasi dan restorasi sangat penting dalam menentukan
strategi pelaksanaan, mengingat luasnya kerusakan ekosistem. Kondisi ini
menuntut pemilihan prioritas rehabilitasi dan restorasi yang dapat mengembalikan
hubungan keterkaitan (konektivitas) antara ekosistem yang terpisahkan, sehingga
secara fungsional ekosistem hutan lebih kompak. Tapak dengan kondisi yang
2
memiliki peluang terbesar untuk segera terjadi konektivitas antar beberapa patch
(bagian yang terpisah) dapat diprioritaskan sebagai tapak restorasi.
Perumusan Masalah
Degradasi hutan dan deforestasi menyebabkan fragmentasi dan menurunkan
keanekaragaman hayati. Degradasi hutan dan deforestasi telah meningkat di
beberapa lanskap hutan tropis dan hanya menyisakan 42% tutupan hutan. Sebesar
18% diantaranya adalah hutan alam asli. Hutan yang tersisa merupakan hutan
terpisah dan menjadi blok-blok yang rusak. Kondisi ini menyebabkan perubahan
lanskap hutan (ITTO/IUCN 2005). Lanskap hutan yang terdegradasi dan
terfragmentasi di Indonesia cukup luas. Degradasi hutan dan perubahan tutupan
hutan skala besar dimulai sejak awal tahun 1970-an, yaitu ketika perusahaan
pengusahaan hutan mulai beroperasi. Pada periode tahun 1970 hingga 1990-an,
laju kerusakan hutan diperkirakan antara 0,6 sampai 1,2 juta ha per tahun, laju
kerusakan hutan selama periode 1986 – 1997 sekitar 1,7 juta ha per tahun dan
mengalami peningkatan tajam sampai lebih dari 2 juta ha/tahun (FWI/GFW
2001). Kementerian Kehutanan tahun 2005 memprediksi kerusakan hutan seluas
2,83 juta ha per tahun dalam kurun waktu 1997-2000. Bahkan Indonesia berada
di urutan ke-8 tingkat kerusakan hutannya dari sepuluh negara dengan luas hutan
alam terbesar dunia di tahun 2007 (FAO 2011).
Deforestasi merupakan salah satu faktor penyebab terjadinya fragmentasi
hutan dan kerusakan hutan. Sebagaimana diilustrasikan pada Gambar 1,
fragmentasi dan kerusakan hutan tersebut telah mengurangi luas hutan,
menimbulkan edge forest dan meningkatkan isolasi hutan. Hal ini berdampak
pada penurunan produktivitas hutan dalam menghasilkan jasa ekosistem serta
menyebabkan perubahan proses-proses dalam ekosistem hutan, yang memicu
penurunan populasi dan produktivitas ekosistem itu sendiri.
Hutan mengalami deforestasi sebesar 1,7 % pada kurun waktu 1990-2000,
walaupun deforestasi juga turun menjadi 0,5 % dalam kurun waktu 2000-2010.
Deforestasi Indonesia lebih tinggi dibanding dengan rata-rata deforestasi negaranegara Asia Tenggara yang berada pada angka 1 % periode 1990-2000 dan 0,4 %
dalam kurun waktu 2000-2010. Hutan yang tersisa di pulau Sumatera juga
mengalami tekanan deforestasi. Deforestasi di Sumatera diperkirakan sebesar
6.508.525 ha atau sekitar 28 % pada kurun waktu 1985-1997 (FWI/GFW 2002).
Sementara itu, Margono (2012) menyatakan hutan Sumatera berkurang 70 % pada
periode 1990-2000 dan berkurang sebesar 28 % pada periode 2000-2010.
Deforestasi memicu terjadinya perubahan iklim global karena menurunnya daya
serap hutan terhadap emisi karbon. Besarnya kandungan karbon yang tidak
terserap menimbulkan kenaikan temperatur dan pergeseran musim. Salah satu
dampaknya adalah kebakaran hutan dan naiknya permukaan air laut. Kebakaran
hutan di Indonesia yang sangat luas terjadi pada tahun 1982 sebesar 3,2 juta ha
terbakar, 2,7 juta ha diantaranya hutan hujan tropis. Demikian juga pada awal
tahun 1994 terjadi kebakaran hutan seluas 9.765.000 ha (FWI/GFW 2002).
Deforestasi juga menjadi salah satu pemicu peningkatan temperatur rata-rata
tahunan Indonesia yang diperkirakan sebesar 0,3o C sejak tahun 1990 yang terjadi
konsisten sepanjang tahun pada semua musim (Boer dan Fakih 2004).
3
Deforestasi
Fragmentasi hutan
Kerusakan hutan dan lahan
Pengurangan luas
hutan
Penurunan populasi dan
produktivitas
Menimbulkan
tepian hutan
(forest edge)
Meningkatkan isolasi
hutan
Perubahan proses-proses
dalam ekosistem
Kehilangan keanekaragaman hayati
Pemulihan (RESTORASI)
Gambar 1
Kerangka pemikiran penelitian pentingnya dilakukan restorasi
(dimodifikasi dari Franklin et al. 2006)
Deforestasi merupakan salah satu faktor pemicu terjadinya degradasi
lahan. FAO (2008) menyatakan luas degradasi lahan di Indonesia sebesar 16%
dari total luas lahan atau sebesar 31.370.634 ha. Angka ini lebih kecil dibanding
dengan persentase luas lahan terdegradasi Asia Pasifik sebesar 22,26 % dari luas
lahan. Sedangkan menurut Kementerian Kehutanan (2010) luas lahan kritis
Indonesia tahun 2010 adalah 81.664.295 ha lebih luas dibanding lahan kritis
tahun 2006 sebesar 77.806.881 ha. Dari luasan tersebut, pada tahun 2006 sebesar
5.218.629 ha lahan kritis berada di Sumatera Utara, lebih besar dibanding tahun
2010 yang hanya seluas 2.753.597 ha.
Degradasi lahan menjadi pemicu terjadinya bencana alam banjir, dan tanah
longsor. Kerugian yang ditimbulkan bencana sangat besar, baik pada saat
terjadinya banjir maupun setelah kejadian banjir untuk kegiatan pemulihan. Data
yang dirilis BNPB (2010) menyatakan pada tahun 2006, 2007 dan 2010 telah
terjadi banjir dan tanah longsor di Sumatera yang menyebabkan ribuan penduduk
mengungsi dan puluhan korban jiwa. Hal ini akibat berkurangnya luas tutupan
hutan di Sumatera Utara. Sumatera Utara yang memiliki luas wilayah sebesar
4
7.168.000 hektar setengahnya atau sekitar 3.675.918 hektar merupakan kawasan
hutan. Namun luas wilayah hutan ini tidak dijaga kelestariannya dan sekitar
890.506 hektar sedang dalam kondisi rusak.
Pulau Sumatera masih memiliki kawasan hutan tersisa yang potensial
untuk menyimpan dan melindungi biodiversitas. Namun keberadaannya terancam
oleh kondisi hutan yang terpisah dan tidak kompak. Salah satu lokasi sisa hutan
Sumatera yang masih menyimpan warisan kekayaan keanekaragaman hayati
tinggi adalah hutan Batang Toru. Lokasi ini mendapatkan sorotan dunia
internasional karena merupakan habitat hidup satwa langka orang utan, tapir,
harimau dan berbagai jenis kayu komersial. Kawasan ini juga mendapatkan
tekanan berupa adanya pemanfaatan sumberdaya alam kayu dan tambang mineral.
Keterbukaan akses yang tidak diimbangi dengan pengawasan yang efektif
memicu kecenderungan alih fungsi lahan, sehingga memisahkan kawasan hutan
yang ada menjadi areal areal kecil yang tidak kompak.
Kawasan hutan Batang Toru ini merupakan habitat bagi setidak-tidaknya
67 jenis mamalia, 287 jenis burung, 110 jenis herpetofauna dan 688 jenis
tumbuhan. Hutan Batang Toru termasuk ke dalam kawasan DAS Batang Toru
yang memiliki 10 sub DAS berfungsi penting sebagai penyangga dan pengatur
tata air di 3 kabupaten yaitu Tapanuli Utara, Tapanuli Tengah dan Tapanuli
Selatan. Selain itu DAS ini sebagai sumber energi bagi PLTA Sipansihaporas dan
2 Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro di Aek Raisan. Akibat deforestasi
kawasan hutan Batang Toru, terjadi peningkatan luas lahan kritis yaitu seluas
13.000 hektar pada tahun 2005 dan 17.000 hektar pada tahun 2009 (Kaprawi dan
Perbatakesuma 2011). Deforestasi hutan Sumatera juga telah memecah hutan
Batang Toru menjadi 2 (dua) blok utama hutan alam, yaitu Blok Hutan Batang
Toru Barat – Blok Hutan Adian Ginjang dan Blok Hutan Batang Toru Timur
Deforestasi dan degradasi hutan Batang Toru menurunkan luas hutan
alam sekitar 1,17 % per tahun pada periode 1994 - 2009, dimana pada tahun 2009
tutupan hutan alam sekitar 151.000 hektar atau 61% dari total kawasan Batang
Toru, menurun jika dibanding luas hutan alam tahun 1994 sekitar 162.000 hektar
(KIKS 2011). Tingkat deforestasi tersebut lebih tinggi dibandingkan dengan
tingkat deforestasi negara-negara Asia Tenggara sebesar 0,4 %. Kondisi ini
mengancam keberadaan ekosistem di lanskap hutan Batang Toru, maka sangat
penting mendapatkan kembali fungsi lanskap hutan Batang Toru sebagai
penyangga ekosistem melalui kegiatan pengembalian lanskap hutan.
Pengembalian lanskap hutan dapat memberikan hasil yang optimal jika dilakukan
sesuai dengan karakteristik ekosistem maupun gangguan yang terjadi.
Karakteristik ekosistem sangat kompleks sehingga memerlukan penyederhanaan
yang dapat mewakiliki ekosistem secara keseluruhan. Salah satu pendekatan yang
digunakan adalah pemodelan. Oleh karenanya perlu didesain model yang
menyatakan indeks yang dapat dijadikan standar dalam perencanaan kegiatan
pengembalian fungsi hutan (restorasi). Indeks tersebut dinamakan indeks restorasi
yang memiliki nilai berkisar 0 – 1. Indeks restorasi menyatakan tingkat prioritas
suatu tapak atau lahan harus direstorasi terlebih dahulu dibandingkan dengan
tapak yang lainnya. Nilai indeks restorasi 1 menunjukkan suatu tapak atau lahan
memiliki prioritas paling tinggi untuk direstorasi, sedangkan indeks restorasi 0
menunjukkan suatu tapak atau lahan tidak memerlukan restorasi.
5
Untuk pembangunan model harus diawali dengan beberapa pertanyaan
penting dalam penelitian yaitu :
a. Mengapa hutan di lanskap DAS Batang Toru mengalami kerusakan dan
fragmentasi ?
b. Mengapa terjadi perubahan tingkat fragmentasi hutan di lanskap hutan
Batang Toru dalam periode 20 tahun terakhir?
c. Mengapa terjadi perubahan tingkat konektivitas hutan di lanskap hutan
Batang Toru dalam periode 20 tahun terakhir?
d. Mengapa sebaran spasial tingkat fragmentasi dan konektivitas hutan di
kawasan hutan DAS Batang Toru berbeda?
e. Mengapa terjadi degradasi lahan di lanskap DAS Batang Toru yang
terdeforestasi?
f. Mengapa lokasi dimulainya sebuah kegiatan restorasi lanskap hutan
Batang Toru harus ditentukan ?
Kerangka Pendekatan
Kegiatan manusia dalam pengembangan budidaya pertanian, penebangan
hutan alam dan konversi lahan telah mengarah ke terjadinya fragmentasi hutan
alam, memperkecil kekompakan luas hutan alam dan meningkatkan keterpisahan
beberapa patch hutan terhadap kelompok hutannya. Kondisi ini menghasilkan
perubahan lanskap, dan mengancam komunitas di dalamnya yang sensitif
terhadap semakin mengecilnya habitat yang kompak (Nikolaki 2004). Kondisi
hutan alam yang tersisa mengalami kerusakan dan terfragmentasi dalam luasan
yang kecil sehingga tidak akan mampu lagi menghasilkan fungsi yang optimal.
Fungsi hutan dapat dikembalikan melalui kegiatan restorasi pada tapak-tapak
hutan yang mengalami kerusakan. Upaya pengembalian fungsi hutan telah
dilakukan untuk mengkonservasi dan mengelola kembali hutan yang telah
terdegradasi.
Hutan yang ada tidak kompak tetapi sebagian besar terpisah dalam luasan
yang relatif kecil atau yang disebut juga dengan patches. Kondisi yang demikian
berdampak pada tidak berfungsinya hutan tersebut secara optimal. Fungsi
ekosistem tersebut dapat kembali maksimal, jika antar patch hutan terhubung
dengan luasan hutan yang lebih besar (core) dan kondisinya masih baik atau yang
disebut dengan konektivitas atau tingkat keterhubungan (connectivity) tinggi.
Kehilangan konektivitas alami dari sebuah ekosistem merupakan ancaman
terbesar dalam penyebaran hidupan liar dan kemampuan hidup serta konservasi
keanekaragaman hayati pada umumnya. Hal ini memerlukan perhatian lebih
serius terutama pada peningkatan konektivitas dalam perencanaan lanskap dan
konservasi habitat (Saura dan Poscual-Horta 2006). Pemeliharaan dan restorasi
konektivitas lanskap menjadi isu sentral dalam ekologi dan konservasi
keanekaragaman hayati (Saura dan Torne 2009), karena konektivitas lanskap
memfasilitasi pergerakan organisme, pertukaran genetik dan aliran material
ekologi yang lain (Crook dan Sanjayan 2006).
Mendesain kembali mosaik lanskap akan memberikan keuntungan lebih
besar dibanding hanya pada tapak tunggal terutama untuk konservasi
keanekaragaman hayati dan peningkatan fungsi ekologi. Hal ini dikarenakan
dalam suatu bentang lahan akan terjadi proses dimana keseimbangan ekosistem
terjaga. Keseimbangan ekosistem sulit tercapai jika pada awalnya berupa
6
hamparan hutan menjadi terpisah lokasinya, kecuali jika ada penghubung antara
patchnya atau memiliki konektivitas. Konektivitas lanskap (landscape
connectivity) didefinisikan sebagai tingkat suatu bentang lahan dalam
memfasilitasi atau merintangi pergerakan diantara sumberdaya dalam patch hutan
(Taylor et al. 1993). Hal ini merupakan kunci utama dalam konservasi
keanekaragaman hayati dan stabilitas serta integritas ekosistem alami (Taylor et
al. 1993; Clergeau dan Burel 1997; Collinge 1998; Raison et al. 2001; Crist et
al. 2005). Oleh karena itu sangat penting mempertimbangkan konektivitas
sebagai dasar dalam perencanaan konservasi dan analisis perubahan lanskap.
Upaya perbaikan hutan diharapkan dapat mengembalikan fungsi ekosistem
hutan, ketahanan ekologi dan ekonomi serta penghidupan masyarakat. Usahausaha tersebut telah banyak dilakukan pada tapak tertentu, meskipun secara
ekologi restorasi tapak belum dapat mengoptimalkan fungsi ekologisnya. Oleh
karenanya perlu didesain merestorasi hutan pada skala lanskap yang dapat
digunakan untuk melengkapi jaringan perlindungan yang ada, dan pada tingkatan
lanskap, restorasi keanekaragaman hayati dan produksi (penurunan kemiskinan)
dapat lebih mudah dicapai (Lamb et al. 2005).
Hutan yang terfragmentasi secara bersama-sama dengan penggunaan lahan
lainnya membentuk satu mosaik lanskap (Nikolaki 2004). Dalam kondisi ini,
restorasi hutan biasanya dikerjakan dengan berkonsentrasi pada tapak-tapak utama
yang dianggap penting. Keefektifan dalam mengkonservasi keanekaragaman
hayati dan merestorasi fungsi kunci ekologi yang bekerja pada skala lanskap
bergantung pada keterpisahan tapak yang direstorasi dan saling melengkapi satu
sama lainnya dalam sebuah mosaik lanskap (Lamb et al. 2005).
Restorasi bertujuan untuk mengembalikan fungsi hutan menyerupai atau
mendekati fungsi hutan sebelum terdegradasi. Restorasi selain berupaya
mengembalikan hutan menyerupai kondisi sebelumnya juga bertujuan untuk
mengembalikan bentuk lanskap mendekati bentuk lanskap sebelumnya atau yang
dikenal juga dengan sebutan Forest Lanskap Restoration (FLR). Dalam
melakukan kegiatan restorasi suatu lanskap hutan harus mempertimbangkan
karakteristik ekologi lanskapnya. Namun, restorasi hutan yang dilakukan
terkendala oleh keterbatasan biaya dan sumberdaya pendukung lainnya. Di sisi
lain luas area hutan yang terdegradasi sangat besar dan ketergantungan
masyarakat akan hutan juga sangat tinggi
Pencegahan dan penurunan degradasi hutan harus dilakukan untuk
mempertahankan fungsi ekosistem hutan. Berfungsinya kembali fungsi hutan
dapat dicirikan oleh dua aspek penting yakni (1) aspek biofisik lapangan (2) aspek
sosial ekonomi kemasyarakatan. Faktor-faktor biofisik secara struktural dan
fungsional menentukan keberlangsungan fungsi suatu ekosistem antara lain (1)
tingkat degradasi atau kerusakan hutan, (2) tingkat fragmentasi hutan, (3) tingkat
degradasi lahan, (4) tingkat konektivitas hutan serta (5) pola dan struktur
lanskap. Sedangkan faktor lain yang mempengaruhi fungsi ekosistem adalah
kondisi sosial ekonomi masyarakat sekitar hutan.
Faktor-faktor tersebut dapat menjadi indikator fungsi ekosistem hutan,
sehingga dapat digunakan untuk membangun model indeks restorasi untuk
perencanaan pengembalian lanskap hutan yang terdegradasi (Gambar 2). Model
ini akan membantu perencana dan pengelola hutan, karena perencana dan
pengelola hutan masih memerlukan perangkat yang dapat digunakan untuk
7
menentukan kekritisan lahan secara ekologi dan memilih patch hutan yang
potensial untuk meningkatkan konektivitas ekosistem hutan. Prinsip yang harus
dipertimbangkan untuk memilih perangkat tersebut adalah sederhana dan mudah
dalam menentukan hubungan (konektivitas) antar elemen dalam sebuah lanskap.
Hal ini dikarenakan konektivitas sangat penting dalam pengelolaan berbagai tipe
lanskap yang berbeda dan kepentingan konservasi.
Berkaitan dengan fungsi hutan sebagai ekosistem, maka batasan daerah
aliran sungai ataupun lanskap dianggap lebih mewakili unit penilaian kerusakan.
Tingkat lanskap atau daerah aliran sungai diasosiasikan dengan fungsi ekosistem
(keanekaragaman hayati, penyediaan air dan fungsi lain) sehingga proses
perencanaan dan implementasinya diletakkan pada tingkat wilayah daerah aliran
sungai.
Novelty Penelitian
Beberapa penelitian perencanaan restorasi menunjukkan penentuan tapak
restorasi ekosistem secara umum masih berdasarkan pada kondisi tapak per tapak,
belum mempertimbangan keterkaitan dan fungsionalitas ekosistem. Improvisasi
penelitian perencanaan restorasi menghasilkan kebaharuan penelitian yaitu
menentukan indeks restorasi lanskap hutan sebagai standar dalam perencanaan
kegiatan pengembalian fungsi hutan (restorasi). Penelitian yang dilakukan ini
memiliki kebaharuan pada (1) fokus (focus), penelitian yang dilakukan berfokus
pada kajian tentang indeks restorasi lanskap hutan yang terdegradasi (2) terdepan
di bidang ilmu (advance), penelitian didasari oleh teori ekologi lanskap dan
analisis spasial untuk menentukan prioritas restorasi lanskap hutan yang
terdegradasi (3) ilmiah (scholar), penelitian menggunakan pendekatan analisis
spasial kuantitatif untuk menghasilkan model terbaik. Model dibangun secara
empiris, terukur dan dievaluasi secara kuantitatif.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini dilakukan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang
muncul dalam rumusan masalah. Tujuan utama penelitian ini bertujuan untuk
mendapatkan model indeks restorasi lanskap hutan tropis yang terdegradasi.
Untuk mendapatkan model indeks restorasi lanskap tersebut, maka ada beberapa
tujuan khusus yang harus dicapai yaitu :
1. Membangun indeks kerusakan hutan lanskap hutan DAS Batang Toru
2. Membangun indeks fragmentasi lanskap hutan DAS Batang Toru
3. Membangun indeks konektivitas lanskap hutan DAS Batang Toru
4. Membangun indeks degradasi lahan lanskap hutan DAS Batang Toru
5. Membangun model spasial indeks restorasi lanskap hutan yang
terdegradasi di DAS Batang Toru
8
Kerusakan hutan dan lahan
Perbaikan
kerusakan
Penurunan emisi
(REDD++)
Biodiversity
Pembangunan model
LANSKAP HUTAN TROPIS TERDEGRADASI
DAERAH ALIRAN SUNGAI BATANG TORU SUMATERA UTARA
SAMSURI
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul Model Spasial
Indeks Restorasi Lanskap Hutan Tropis Terdegradasi Daerah Aliran Sungai
Batang Toru Sumatera Utara adalah benar-benar merupakan karya saya sendiri
dan belum pernah diajukan dalam bentuk apapun kepada Perguruan Tinggi
manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan
maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam Daftar Pustaka.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada
Institut Pertanian Bogor.
Bogor, Agustus 2014
Samsuri
NIM E161090021
RINGKASAN
SAMSURI. Model Spasial Indeks Restorasi Lanskap Hutan Tropis Terdegradasi
Daerah Aliran Sungai Batang Toru, Sumatera Utara. Dibimbing oleh I NENGAH
SURATI JAYA, CECEP KUSMANA, dan KUKUH MURTILAKSONO
Restorasi lanskap hutan adalah kegiatan untuk mengembalikan lanskap hutan
mendekati bentuk lanskap hutan seperti sebelumnya. Untuk menentukan lanskap
hutan terdegradasi yang harus direstorasi perlu disusun kriteria dan indikator
penentunya.
Degradasi lanskap hutan secara ekologis diindikasikan oleh
keberlangsungan aliran materi dalam ekosistem hutan. Salah satu faktor yang
mempengaruhi kelancaran aliran materi dalam ekosistem hutan adalah tingkat
fragmentasi dan tingkat konektivitas hutan. Restorasi lanskap hutan juga harus
mendapat dukungan dari masyarakat di dalam dan di sekitar hutan. Tingkat
kemungkinan partisipasi masyarakat menjadi salah satu faktor penting dalam
menentukan keberhasilan restorasi lanskap hutan.
Penelitian ini bertujuan untuk membangun indeks degradasi hutan, indeks
fragmentasi hutan, indeks konektivitas hutan, indeks degradasi lahan, dan indeks
restorasi lanskap hutan yang terdegradasi di DAS Batang Toru. Analisis spasial
menggunakan ArcGIS 9.3 dilakukan untuk mendapatkan model indeks degradasi
hutan, indeks fragmentasi hutan, indeks konektivitas hutan, dan indeks restorasi
lanskap hutan yang terdegradasi. ERDAS Imagine versi 9.1 digunakan untuk
menentukan tipe penutupan lahan berdasarkan citra satelit landsat tahun liputan
1989, 2000 dan 2013. Tipe tutupan lahan hasil interpretasi citra satelit dianalisis
dengan FRAGSTAT versi 3.3 untuk mendapatkan metrik lanskap.
Indeks restorasi lanskap hutan menyatakan tingkat prioritas restorasi di suatu
lanskap hutan. Indeks restorasi dinyatakan dalam rentang angka 0 – 1, yang berarti
semakin mendekati nilai 1 prioritas akan semakin tinggi dan sebaliknya semakin
mendekati nilai 0 prioritas restorasi semakin menurun. Indeks restorasi dibangun
menggunakan 4 faktor yaitu indeks kerusakan hutan, indeks fragmentasi hutan,
indeks konektivitas hutan dan indeks degradasi lahan.
Faktor kondisi ekologis lanskap hutan diindikasikan oleh kondisi tegakan
hutan yaitu nilai indeks keanekaragaman jenis, luas bidang dasar dan kerapatan
tegakan. Kerapatan tegakan diduga menggunakan nilai NDVI dan MSAVI yang
diperoleh dengan pengolahan citra landsat.
Kerapatan tegakan selanjutnya
digunakan untuk menentukan indeks degradasi hutan. Faktor fragmentasi lanskap
hutan ditentukan menggunakan nilai metrik lanskap yaitu nilai indeks proximity, path
density, area dan indeks contiguity. Faktor konektivitas lanskap hutan dibangun
menggunakan nilai matrik lanskap yaitu metrik connectan, dan radius of gyration.
Indeks degradasi lahan dibangun dengan menggunakan faktor karakteristik fisik
tanah, kimia tanah dan dampak kerusakan (erosi).
Indeks degradasi hutan dibangun menggunakan model regresi sederhana
berdasarkan peubah NDVI dan MSAVI. Model penduga indeks kerusakan hutan
yang disusun adalah y1 = 0,938 – 0,600 x1 + 0,049 x2, dimana x1 adalah nilai NDVI
dan x2 adalah nilai MSAVI. Nilai koefisien determinasi model indeks degradasi
hutan tersebut mencapai 88,49 %. Berdasarkan nilai indeks degradasi hutan, sub
DAS Puli memiliki indeks degradasi sedang sampai tinggi paling luas. Sub DAS Puli
dengan indeks degradasi hutan tinggi relatif luas areanya harus mendapatkan
prioritas penanganan jika dilaksanakan restorasi.
Model indeks fragmentasi lanskap hutan adalah y2 = 0,999 + 1,983 10-5 x3 +
0,004 x4 – 1,111 10-5 x5 - 0,675 x6; dimana x3 adalah area, x4 adalah path density, x5
adalah proximity dan x6 adalah contiguity, dengan nilai koefisien determinasi sebesar
93,58 %. Penelitian menunjukkan tingkat fragmentasi meningkat dari periode 19892013. Indeks fragmentasi lanskap hutan tinggi sebagian besar ditemukan di bagian
hilir DAS Batang Toru. Fragmentasi menyebabkan turunnya konektivitas habitat
hidupan liar. Oleh karena itu, kegiatan restorasi direkomendasikan untuk dimulai
dari lanskap hutan dengan tingkat fragmentasi lebih tinggi, karena lanskap hutan
dengan indeks fragmentasi tinggi umumnya mendapatkan gangguan lebih tinggi
sehingga harus mendapatkan prioritas dalam restorasi lanskap hutan.
Indeks konektivitas ditentukan menggunakan persamaan y3 = -0,009 + 0,286
x6 + 3,059 10-5 x7; dimana x6 adalah radius of gyration dan x7 adalah connectan,
dengan nilai koefisien determinasi model sebesar 90,00 %. Indeks konektivitas
lanskap hutan Batang Toru cenderung menurun dalam kurun waktu 1989-2013.
Berdasarkan nilai indeks konektivitas, sub DAS Batang Toru Hilir memiliki indeks
konektivitas lebih rendah dibandingkan dengan sub DAS Puli dan Sarula. Sebagai
habitat hidupan liar, indeks konektivitas lanskap hutan Batang Toru harus dipelihara
dan dikembalikan melalui restorasi dan atau rehabilitasi hutan yang terdegradasi.
Lanskap hutan terdegradasi dengan indeks konektivitas yang rendah harus
mendapatkan prioritas restorasi.
Indeks degradasi lahan ditentukan oleh sub faktor bobot isi, tekstur tanah, C
organik dan tipe erosi. Peta indeks degradasi lahan menunjukkan bahwa persentase
luas indeks degradasi lahan di landscape DAS Batang Toru terdiri atas tingkat
degradasi lahan sangat rendah (29,21 %), tingkat degradasi lahan rendah (21,35 %)
tingkat degradasi lahan sedang (30,17 %), tingkat degradasi lahan tinggi (16,49 %)
dan tingkat degradasi lahan sangat tinggi (2,78 %). Lahan dengan tipe tutupan lahan
hutan dan kebun campuran lebih rendah tingkat degradasi lahannya. Lahan dengan
tutupan lahan pertanian lahan memiliki luas tingkat degradasi lahan tinggi dan sangat
tinggi paling luas. Indeks degradasi lahan tinggi dan sangat tinggi terluas berada di
sub DAS Batang Toru Hilir. Tingginya aktifitas manusia di bagian hilir DAS Batang
Toru memicu terjadinya degradasi lahan.
Empat indeks faktor digunakan untuk membangun model indeks prioritas
restorasi lanskap hutan. Analisis PCA menghasilkan 6 model yaitu (1) model dengan
menggunakan 3 faktor indeks (2) model menggunakan 2 faktor indeks, dan (3) model
menggunakan 1 faktor indeks. Uji validasi yang dilakukan menunjukkan keenam
model valid berdasarkan uji Zmean. Uji akurasi menghasilkan 2 model yang memiliki
akurasi relatif tinggi dibandingkan dengan yang lainnya yaitu model yang
menggunakan dua variabel yaitu (1) Z3= 0,547 y2 + 0,453 y4, dan (2) z4= 0,491 y3 +
0,509 y4. Uji lanjutan yaitu akurasi Kappa menunjukkan model 4 lebih baik
dibanding dengan model 3, sehingga model 3 digunakan untuk membuat peta indeks
restorasi.
Model spasial indeks restorasi tersebut digunakan untuk membuat peta
prioritas restorasi lanskap hutan yang terdegradasi di DAS Batang Toru. Peta indeks
restorasi menunjukkan sub DAS Puli memiliki indeks restorasi kelas sedang dan
tinggi relatif lebih luas dibandingkan dengan sub DAS lainnya. Sub DAS Puli
seharusnya menjadi tapak prioritas dibandingkan dengan ketiga sub DAS lainnya
jika kegiatan restorasi lanskap DAS Batang Toru dilaksanakan.
Kata kunci: fragmentasi, konektivitas, fragstat, ekosistem hutan
SUMMARY
SAMSURI. Restoration Index Model of Degraded Tropical Forest Landscape in
Batang Toru Watershed, North Sumatera. Supervised by I NENGAH SURATI
JAYA, CECEP KUSMANA, and KUKUH MURTILAKSONO
Forest landscape restoration is an activity that aims in restoring the forest
landscape until it close to the original forest landscape. In order to determine which
degraded forest landscape requiring a restoration, a criteria and indicator must first
be established. Socio-economic and ecological criteria are used to determine
restoration priorities. The forest landscape degradation was ecologically determined
by the material flow continuity within the forest ecosystem. One of the factors that
influenced the smooth flow of material within the forest ecosystem is the degree of
forest connectivity and fragmentation. The forest landscape restoration should also
be supported by the community inside and adjacent to the forest. The probability
degree of community participation is one of the important factors in determining the
success of forest landscape restoration.
The objective of this study is to formulate a forest degradation index, forest
fragmentation index, forest connectivity index, forest degradation index, and
degraded forest landscape restoration index in Batang Toru watershed. A spatial
analysis using ArcGIS 9.3 was performed to develop model of forest degradation
index, forest fragmentation index, and degraded forest landscape restoration index.
ERDAS Imagine versi 9.1 was used to determine land cover type based on Landsat
satellite imagery in 1989, 2000 and 2013. Land cover type resulted from the satellite
imagery was analyzed by FRAGSTAT version 3.3 to obtain landscape metrics.
The forest landscape restoration index expressed the restoration priority level
in certain forest landscape. The restoration index is expressed in number ranging
from 0 to 1, which means that the closer the number is to 1, the priority will be
higher and vice versa the closer the number is to 0 the restoration priority will be
lower. The restoration index was formulated using 4 factors, namely forest
degradation index, forest fragmentation index, forest connectivity index and land
degradation index.
The ecological condition of forest landscape was indicated by the forest
stand condition that were diversity index value, the basal area, and stand density.
Stand density was predicted using NDVI and MSAVI values obtained from
processing the Landsat imagery. Stand density was further used to determine forest
degradation index. Forest landscape connectivity factor was formulated using
landscape metric values, namely connectan metrics and the radius of gyration. Forest
landscape fragmentation factor was determined using landscape metric values,
namely proximity index value, patch density, area and contiguity index. Land
degradation index was formulated using soil physical characteristics, soil chemical
characteristics, and degradation (erosion) impact in the field.
Forest degradation index was formulated using a simple regression model
based on NDVI and MSAVI variables. The model of forest degradation index is y1 =
0,938 – 0,600 x1 + 0,049 x2, where x1 is the NDVI value and x2 is a MSAVI value.
The coefficient of determination of forest degradation index model reached 88,49%.
Based on forest degradation index, Puli sub-watershed has the widest medium to
high degradation index. Puli sub-watershed with a relatively wide extent of high
forest degradation index must be prioritized for restoration.
The model of landscape forest fragmentation index is y2 = 0,999 +
0,00001983 x3 + 0,004 x4 – 0,00001111 x5 - 0,675 x6; where x3 is area, x4 is patch
density, x5 is proximity and x6 is contiguity, with a coefficient of determination of
93,58 %. The study indicated that the fragmentation degree has increased during the
period 1989-2013. High fragmentation index of forest landscape was mostly found in
the downstream part of Batang Toru watershed. Fragmentation has caused the
decline in the wildlife habitat connectivity. Hence, it is recommended to start the
restoration activity from forest landscape with high fragmentation level, because
forest landscape with high fragmentation index is generally more disturbed so that it
should be prioritized for forest landscape restoration.
The model of forest landscape connectivity index is y3 = -0,009 + 0,286 x6 +
0,00003059 x7; where x6 is the radius of gyration and x7 is connectan, with a
coefficient of determination model of 90,00 %. The forest landscape connectivity
index of Batang Toru tends to decline during the period 1989-2013. Based on the
connectivity index, Batang Toru Hilir sub-watershed has lower connectivity index
than Puli and Sarula sub-watersheds. As a wildlife habitat, the forest landscape
connectivity index of Batang Toru must be conserved and restored through
restoration and or rehabilitation of the degraded forest. Degraded forest landscape
with low connectivity index must be prioritized for restoration.
Land degradation index was determined by soil bulk density, soil texture, C
organic and erosion type. The land degradation index map indicated that the
percentage of land degradation level in Batang Toru watershed landscape is
comprising of very low land degradation level (29,21 %), low land degradation level
(21,35 %), medium land degradation level (30,17 %), high land degradation level
(16,49 %) and very high land degradation level (2,78 %). Land with forest and
mixed garden cover type has lower land degradation level. Dryland agriculture type
in the relatively steep to steep slope has been experiencing erosion and landslide. The
highest extent of high and very high land degradation level is located in Batang Toru
Hilir sub-watershed. High human activity in the downstream part of Batang Toru
watershed has triggered land degradation.
Four factor indices above were used to develop a model of forest landscape
restoration priority index. PCA analysis produced 6 models, namely (1) model that
used 3 index factors (2) model that used 2 index factors, and (3) model that used 1
index factor. A validation test indicated that the six models are valid based on Zmean
test. Accuracy test produced 2 models with relatively high accuracy than the other
models, that is model that used two variables, namely (1) Z3= 0,547 y2 + 0,453 y4,
and (2) z4= 0,491 y3 + 0,509 y4. Further test, namely Kappa accuracy test, indicated
that model 4 is better than model 3, thus model 3 was used to create a restoration
index map.
A spatial model of restoration index was used to create a restoration priority
map of degraded forest landscape in Batang Toru watershed. The restoration index
map indicated that Puli sub-watershed has a relatively higher extent of medium and
high restoration index than the other sub-watersheds. Puli sub-watershed should be
given a priority over the other three sub-watersheds in the landscape restoration of
Batang Toru watershed.
Keywords: fragmentation, connectivity, fragstat, forest ecosystem
© Hak cipta milik IPBTahun 2014
Hak cipta dilindungi undang-undang
Dilarang mengutip sebagian atau/seluruh karya tulis tanpa menyebutkan sumber.
Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya
ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah.
Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebahagian atau seluruh karya tulis
dalam bentuk apapun tanpa ijin IPB
MODEL SPASIAL INDEKS RESTORASI
LANSKAP HUTAN TROPIS TERDEGRADASI
DAERAH ALIRAN SUNGAI BATANG TORU SUMATERA UTARA
SAMSURI
Disertasi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Doktor
pada
Mayor Ilmu Pengelolaan Hutan
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014
Penguji pada Ujian Tertutup
: Dr. Ir. Irdika Mansur M.For.Sc
(Departemen Silvikultur Fakultas Kehutanan IPB)
Dr. Nining Puspaningsih
(Departemen Manajemen Hutan Fakultas Kehutanan IPB)
Penguji pada Ujian Terbuka
: Dr. Ir. Bedjo Santosa, MS
(Staf Ahli Menteri Kehutanan)
Prof. Dr. Ir. Lilik Budi Prasetyo, M.Agr
(Departemen Konservasi Sumberdaya
Ekowisata Fakultas Kehutanan IPB)
Hutan
dan
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadhirat Allah SWT atas segala
karunia-Nya sehingga disertasi dengan judul “Model Spasial Indeks Restorasi
Lanskap Hutan Tropis Terdegradasi Daerah Aliran Sungai Batang Toru Sumatera
Utara” dapat diselesaikan. Disertasi ini diajukan sebagai salah syarat untuk
menyelesaikan studi pada Program Doktor Sekolah Pascasarjana, Institut
Pertanian Bogor.
Penelitian dan disertasi dibiayai ini oleh Direktorat Jenderal Pendidikan
Tinggi Kementerian Pendidikan Nasional melalui program Ph D Grant SEAMEO
BIOTROP dan beasiswa BPPS, serta bantuan penelitian Rektor Universitas
Sumatera Utara. Bagian dari disertasi ini telah dipublikasikan pada Jurnal
Agriculture, Forestry and Fisheries dengan judul Connectivity and ecological
indicators analysis of tropical forest landscape in Batang Toru watershed –
Indonesia Volume 3(3): 147-154 tahun 2014, diterbitkan di Journal of Tropical
Forest Management dengan judul Fragmentation analysis of forest landscape in
Batang Toru watershed, North Sumatera Volume 20(2):77-85 tahun 2014, dan
Jurnal Hutan Tanaman dengan judul “Indeks degradasi lahan lanskap hutan
Daerah Aliran Sungai Batang Toru Sumatera Utara”.
Penulis menyampaikan terima kasih dan penghargaan kepada:
1.
Prof. Dr. Ir. I Nengah Surati Jaya, M.Agr selaku Ketua Komisi Pembimbing
yang dengan penuh kesabaran memberikan arahan, motivasi dan
pembelajaran yang diberikan kepada penulis secara langsung maupun tidak
langsung selama menempuh pendidikan
2. Prof. Dr. Ir. Cecep Kusmana, MS yang dengan kerelaan dan kesabarannya
menjadi mitra diskusi untuk membuka cakrawala berpikir lebih komprehensif
dalam ilmu pengelolaan hutan.
3. Prof. Dr. Ir. Kukuh Murtilaksono, MS yang memberikan jalan mudah bagi
penulis memahami ilmu tanah dan pengelolaan sumberdaya lahan.
4. Dr. Ir. Irdika Mansur, M.For.Sc, selaku penguji luar komisi pada ujian
tertutup atas komentar dan saran untuk perbaikan yang semakin memperkaya
disertasi ini dan membuat penulis lebih memahami konsep restorasi.
5. Dr. Nining Puspaningsih, selaku penguji luar komisi pada ujian tertutup atas
koreksi, komentar dan sarannya untuk perbaikan disertasi menjadi lebih baik.
6. Dr. Ir. Bedjo Santosa, MS selaku penguji luar komisi pada ujian terbuka yang
meluangkan waktu di tengah kesibukan yang luar biasa untuk memberikan
saran dan kritik sehingga desertasi ini menjadi lebih berbobot
7. Prof. Dr. Ir. Lilik Budi Prasetyo, M.Agr. selaku penguji luar komisi pada
ujian terbuka yang memberikan pencerahan luar biasa dalam memahami
ekologi lanskap dan analisis spasial lanskap
8. Seluruh penyelenggara dan pelaksana Sekolah Pascasarjana IPB , terutama
pengelola Mayor Ilmu Pengelolaan Hutan yang memberikan pelayanan
terbaiknya selama penyelesaian studi
9. SEAMEO BIOTROP yang memberikan hibah penelitian sehingga seluruh
rangkaian penelitian untuk penyusunan disertasi ini dapat diselesaikan
10. Rektor Universitas Sumatera Utara yang memberikan bantuan biaya studi dan
biaya penelitian.
11. Warga laboratorium laboratorium Remote Sensing dan GIS yang
menciptakan suasana di laboratorium sehingga nyaman dalam belajar dan
berdiskusi
12. Teman-teman IPH atas persahabatan dan kerjasamanya selama masa studi
dan setelahnya
13. Semua pihak yang telah memberikan dukungan sehingga penulisan disertasi
ini dapat diselesaikan
Mudah-mudah tulisan ini dapat bermanfaat bagi diri penulis maupun yang
membaca tulisan ini.
Bogor, Agustus 2014
Samsuri
xi
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN
xii
xiv
xv
1
1
1
1
2
5
7
7
9
10
10
11
11
13
13
16
2
3
.
4
5
6
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Tujuan Penelitian
Perumusan Masalah
Kerangka Pendekatan
Novelty Penelitian
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN
Tempat dan Waktu Penelitian
Iklim
Tipologi Fisik
Tipologi Sosial Ekonomi
Fungsi Kawasan
KARAKTERISTIK EKOLOGIS DAN DEGRADASI LANSKAP HUTAN
DAERAH ALIRAN SUNGAI BATANG TORU
Pendahuluan
Metode
Hasil dan Pembahasan
Simpulan
FRAGMENTASI LANSKAP HUTAN TROPIS DAERAH ALIRAN
SUNGAI BATANG TORU
Pendahuluan
Metode
Hasil dan Pembahasan
Simpulan
KONEKTIVITAS LANSKAP HUTAN TROPIS DAERAH ALIRAN
SUNGAI BATANG TORU
Pendahuluan
Metode
Hasil dan Pembahasan
Simpulan
DEGRADASI LAHAN LANSKAP HUTAN TROPIS DAERAH ALIRAN
SUNGAI BATANG TORU
Pendahuluan
Metode
Hasil dan Pembahasan
16
17
21
34
37
37
39
43
55
56
56
57
59
68
69
69
71
72
xii
DAFTAR ISI (lanjutan)
7
.
8
Simpulan
INDEKS RESTORASI LANSKAP HUTAN TROPIS TERDEGRADASI
DAERAH ALIRAN SUNGAI BATANG TORU
Pendahuluan
Metode
Hasil dan Pembahasan
Simpulan
PEMBAHASAN UMUM: PERENCANAAN RESTORASI LANSKAP
HUTAN TERDEGRADASI
Lanskap Hutan DAS Batang Toru
Implementasi Indeks Restorasi
Simpulan
Saran
84
86
86
87
90
105
106
106
108
110
111
112
123
137
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
RIWAYAT HIDUP
DAFTAR TABEL
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
Tipe Iklim Satuan Wilayah Pengelolaan (SWP) DAS Batang Toru
Curah hujan dan suhu rata-rata wilayah penelitian di DAS Batang Toru
Distribusi kelas lereng wilayah penelitian di DAS Batang Toru
Distribusi kelas ketinggian wilayah penelitian di DAS Batang Toru
Tingkat kekritisan lahan wilayah penelitian di DAS Batang Toru tahun 2013
Jumlah dan perkembangan penduduk wilayah penelitian di DAS Batang
Toru
Fungsi kawasan hutan wilayah penelitian di DAS Batang Toru
Skor sub faktor NDVI dan MSAVI
Indeks nilai penting lima jenis dominan pada tingkat pohon dan tiang pada
hutan di sub DAS Batang Toru Hilir
Indeks nilai penting lima jenis dominan pada tingkat pancang dan semai pada
hutan di sub DAS Batang Toru Hilir
Indeks nilai penting lima jenis dominan pada tingkat pohon dan tiang pada
hutan di sub DAS Puli
Indeks nilai penting lima jenis dominan pada tingkat pancang dan semai pada
hutan di sub DAS Puli
Indeks nilai penting lima jenis dominan pada tingkat pohon dan tiang pada
hutan di sub DAS Sarula
Indeks nilai penting lima jenis dominan pada tingkat pancang dan semai pada
hutan di sub DAS Sarula
Nilai indeks keanekaragaman jenis hutan sub DAS Batang Toru Hilir
Nilai indeks keanekaragaman jenis hutan sub DAS Sarula
Nilai indeks keanekaragaman jenis hutan sub DAS Puli
11
11
12
12
13
14
14
21
23
23
24
25
24
26
26
27
27
xii
xiii
DAFTAR TABEL (lanjutan)
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
30
31
32
33
34
35
36
37
38
39
40
41
42
43
44
45
Nilai frekuensi Raunkaier masing-masing DAS Batang Toru
Regresi linear antara kerapatan pohon dengan NDVI (x1) dan MSAVI (x2)
Sebaran luas kelas indeks degradasi hutan pada lanskap DAS Batang Toru
Skor masing-masing kelas sub faktor indeks fragmentasi
Distribusi tipe tutupan lahan berdasarkan interpretasi citra landsat tahun 1989,
2001, 2013
Perubahan tipe tutupan lahan lainnya di DAS Batang Toru periode 1989-2013
Korelasi Pearson antara indeks fragmentasi dengan jarak terhadap jalan, jarak
terhadap sungai, kelerengan dan elevasi
Metriks lanskap yang digunakan dalam analisis spasial konektivitas lanskap
hutan
Distribusi luas tingkat konektivitas hutan di setiap sub DAS Batang Toru tahun
2013
Korelasi Pearson antara indeks konektivitas dengan jarak indeks
keanekaragaman jenis, jarak terhadap jalan, jarak terhadap sungai, eleveasi dan
kelerengan
Skor dan indikator sifat fisik dan kimia tanah dalam degradasi lahan
Tipe unit lahan wilayah penelitian di DAS Batang Toru
Kisaran nilai indeks degradasi lahan dan tingkat degradasi lahan
Nilai bobot isi (bulk density) C organic tanah pada setiap tipe tutupan lahan
pada sub DAS Batang Toru Hilir
Nilai bobot isi (bulk density) C organic tanah pada setiap tipe tutupan lahan
pada sub DAS Puli
Nilai bobot isi (bulk density) dan C organic tanah pada setiap tipe tutupan lahan
di sub DAS Sarula
Sebaran luas tingkat degradasi lahan berdasarkan wilayah sub daerah aliran
sungai
Luas penutupan lahan di sub DAS Batang Toru Hilir, Puli dan Sarula
Nilai bobot isi dan C organik berdasarkan tipe tutupan lahan di DAS Batang
Toru
Indeks degradasi lahan di sub DAS Puli, Sarula dan Batang Toru Hilir
berdasarkan tipe tutupan lahan
Sebaran jumlah contoh tanah berdasarkan tekstur tanah dan tingkat degradasi
lahan
Kelas kerapatan vegetasi sebagai data uji akurasi
Variabel dan indikator kemungkinan tingkat partisipasi masyarakat dalam
restorasi
Hasil uji beda nilai tengah persamaan indeks restorasi
Akurasi persamaan indeks restorasi yang dikelompokkan ke dalam 5 kelas dan
3 kelas
Sebaran luas indeks restorasi lanskap hutan pada setiap sub DAS di DAS
Batang Toru berdasarkan persamaan eq. 3.
Sebaran tingkat fragmentasi berdasarkan fungsi kawasan
Distribusi tingkat konektivitas hutan berdasarkan fungsi kawasan hutan
Sumatera Utara
28
32
33
42
43
44
48
57
61
65
73
74
74
74
75
76
78
80
82
83
84
88
89
93
93
94
98
98
xiv
DAFTAR TABEL (lanjutan)
46
47
48
49
50
51
Distribusi tingkat degradasi lahan berdasarkan fungsi kawasan hutan Sumatera
Utara
Luas kelas indeks restorasi berdasarkan fungsi kawasan
Luas kelas indeks restorasi tutupan lahan hutan berdasarkan fungsi kawasan
Sebaran persepsi masyarakat terhadap pelaksanaan restorasi berdasarkan lama
tinggal
Persepsi restorasi berdasarkan kelas umur
Sebaran persepsi masyarakat terhadap rencana restorasi lanskap di DAS Batang
Toru
99
99
99
102
103
103
DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
Pengaruh fragmentasi hutan dan pentingnya dilakukan restorasi
Kerangka pemikiran penelitian
Lokasi penelitan di wilayah DAS Batang Toru, Sumatera Utara
Fungsi kawasan wilayah penelitian di DAS Batang Toru Sumatera Utara
Bentuk plot contoh lapangan
Sebaran plot lapangan di DAS Batang Toru
Kebun campuran yang sudah mendekati kondisi hutan alam di sub DAS Puli
Kondisi penutupan hutan lebat (a) sedang (b) dan jarang (c) di sub DAS Sarula
Penyebaran jenis-jenis pohon di lanskap hutan hujan tropika di DAS Batang
Toru
Struktur horisontal tegakan hutan diameter 10 cm ke atas di sub DAS Batang
Toru Hilir
Struktur horisontal tegakan hutan diameter 10 cm ke atas di sub DAS Sarula
Struktur horisontal tegakan hutan diameter 10 cm ke atas di sub DAS Puli
Struktur vertikal tegakan hutan diameter 10 cm ke atas dsub DAS Batang Toru
Hilir
Struktur vertikal tegakan hutan diameter 10 cm ke atas di sub DAS Sarula
Struktur vertikal tegakan hutan diameter 10 cm ke atas di sub DAS Puli
Peta indeks degradasi hutan lanskap hutan DAS Batang Toru
Kecenderungan pola lanskap hutan (a) dan struktur lanskap hutan DAS Batang
Toru (b)
Patch density hutan (a), contiguity index (b), dan proximity index (c) masingmasing sub DAS di Batang Toru Hilir
Peta indeks fragmentasi lanskap hutan tahun 2013
Korelasi antara indeks fragmentasi lanskap hutan dan jarak terhadap jalan utama
di sub DAS Batang Toru Hilir (a), Sarula (b) dan Puli (c)
Korelasi antara indeks fragmentasi lanskap hutan dan jarak terhadap sungai di
sub DAS Batang Toru Hilir (a), Sarula (b) dan Puli (c)
Hubungan antara indeks fragmentasi lanskap hutan dan kelerengan di sub DAS
Batang Toru Hilir (a), Puli (b) dan Sarula (c)
Hubungan antara indeks fragmentasi lanskap hutan dan elevasi di sub DAS
Batang Toru Hilir (a), Puli (b) dan Sarula (c)
3
8
10
15
17
18
22
22
28
29
30
30
30
31
31
35
45
46
49
50
51
52
53
xiv
xv
DAFTAR GAMBAR (lanjutan)
24 Hubungan antara luas area indeks FLH tinggi dan sedang dengan jarak terhadap
jalan utama
25 Hubungan antara luas area indeks FLH tinggi dan sedang dengan jarak terhadap
sungai
26 Nilai metrik lanskap radius of gyration (a) dan connectan (b) dari tahun 1989 –
2013
27 Peta indeks konektivitas lanskap hutan DAS Batang Toru tahun 1989
28 Peta indeks konektivitas lanskap hutan DAS Batang Toru tahun 2013
29 Korelasi antara konektivitas hutan dan indeks keanekaragaman jenis vegetasi di
DAS Batang Toru
30 Indeks konektivitas dan jarak terhadap jalan utama di sub DAS Batang Toru
Hilir (a), Sarula (b) dan Puli (c)
31 Diagram pencar indeks konektivitas dan jarak terhadap sungai besar di sub DAS
Batang Toru Hilir (a), Sarula (b) dan Puli (c)
32 Diagram pencar indeks konektivitas dan elevasi di sub DAS Batang Toru Hilir
(a), Sarula (b) dan Puli (c)
33 Diagram pencar indeks konektivitas dan kelas lereng (masing-masing kelas
memiliki rentang 5 %) di sub DAS Batang Toru Hilir (a), Puli (b), dan Sarula (c)
DAS
34 Peta indeks degradasi lahan di sub DAS Batang Toru Hilir, Sarula dan Puli,
Sumatera Utara
35 Peta tutupan lahan tahun 2013 di sub DAS Batang Toru Hilir, Sarula dan Puli,
Sumatera Utara
36 Tipe erosi yang terjadi di lokasi penelitian (a) erosi lembar, (b) erosi alur, c)
erosi parit, dan longsor
37 Peta indeks restorasi persamaan 3 dikelompokan menjadi 5 kelas
38 Peta indeks restorasi persamaan 3 dikelompokan menjadi 3 kelas
39 Peta indeks restorasi dan peta fragmentasi lanskap hutan
40 Kondisi lapangan pada area kelas indeks restorasi rendah
41 Kondisi lapangan pada area kelas indeks restorasi sedang
42 Kondisi lapangan pada area kelas indeks restorasi tinggi
43 Sebaran responden menurut jenis kelamin dan tingkat pendidikan
44 Korelasi antara persepsi restorasi dan pengetahuan masyarakat terhadap adanya
kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan
45 Korelasi antara persepsi restorasi dan pengetahuan masyarakat lokasi kegiatan
rehabilitasi hutan dan lahan
46 Proses restorasi lahan terdegradasi dan fungsi kawasan
54
54
60
62
63
64
66
67
67
68
77
79
81
95
96
97
100
100
100
101
103
103
109
DAFTAR LAMPIRAN
1
2
3
4
Jenis-jenis vegetasi yang ditemukan pada kegiatan inventarisasi vegetasi
Hasil uji Z
Hasil uji akurasi overall dan Kappa 5 kelas indeks restorasi
Hasil uji akurasi overall dan Kappa 3 kelas indeks restorasi
124
129
130
133
1
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Indonesia merupakan negara kepulauan beriklim tropis yang memiliki
hutan hujan tropis. Hutan hujan tropis memiliki keanekaragaman hayati yang
tinggi. Keanekaragaman hayati hutan hujan tropis Indonesia mengandung
kekayaan flora dan fauna yang sangat besar. Bagian terbesar kekayaan hutan
yang telah dikelola dan dimanfaatkan adalah hasil hutan kayu dan hasil hutan
bukan kayu. Namun demikian, pengelolaan hutan yang telah dilakukan
menimbulkan banyak permasalahan diantaranya kerusakan hutan dan
terfragmentasinya hutan. Kerusakan dan fragmentasi hutan menurunkan mutu
dan produktivitas ekosistem hutan.
Perkembangan jumlah penduduk yang tinggi menuntut pemenuhan
kebutuhan akan pangan dan lahan. Kondisi ini memicu terjadinya pembukaan
lahan hutan, baik untuk dikonversi menjadi tanaman pangan maupun untuk
pemukiman serta budidaya lainnya. Deforestasi di wilayah hutan hujan tropis
berakibat pada terjadinya kekritisan sumberdaya hayati global. Kehilangan
keanekaragaman hayati yang sangat signifikan juga berdampak pada terjadinya
kemiskinan di kehidupan masyarakat di dalam dan sekitar hutan terdegradasi
(Lamb et al. 2005). Ketergantungan manusia akan fungsi hutan seperti fungsi
lingkungan, pengatur tata air dan fungsi perlindungan hutan lainnya sangat besar.
Keberlangsungan dan keberlanjutan fungsi ekosistem juga harus tetap terjaga
untuk mendukung kehidupan manusia.
Kerusakan ekosistem berakibat pada menurunnya kualitas dan kuantitas
fungsi-fungsi ekosistem. Rusaknya ekosistem hutan mengurangi kemampuan
hutan dalam menyerap gas utama penyebab efek rumah kaca. Indonesia telah
berkomitmen untuk berperan aktif dalam penurunan emisi karbon melalui
mekanisme penurunan Emisi dari Deforestasi dan Pengrusakan Hutan atau
Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation (REDD) yang
selanjutnya berkembang menjadi REDD++. Pengurangan emisi melalui
pencegahan perusakan hutan, dan penanaman kembali hutan-hutan yang telah
rusak. Pencegahan kerusakan hutan dan perbaikan hutan juga mampu
mengembalikan fungsi hutan sebagai ekosistem.
Perbaikan hutan bertujuan untuk mengembalikan fungsi ekosistem hutan
mendekati seperti sebelum mengalami kerusakan. Pendekatan restorasi dapat
digunakan untuk mengembalikan fungsi ekosistem hutan. Restorasi merupakan
kegiatan untuk mengembalikan kondisi ekosistem menyerupai keadaan alaminya
baik komposisi dan bentang lahannya (lanskap). Restorasi maupun reforestasi
telah dilakukan untuk mendapatkan fungsi konservasi keanekaragaman hayati dan
stabilitas ekosistem. Namun demikian, kegiatan ini belum menunjukkan hasil
yang maksimal, karena salah satunya disebabkan oleh perencanaan yang belum
sempurna.
Perencanaan rehabilitasi dan restorasi sangat penting dalam menentukan
strategi pelaksanaan, mengingat luasnya kerusakan ekosistem. Kondisi ini
menuntut pemilihan prioritas rehabilitasi dan restorasi yang dapat mengembalikan
hubungan keterkaitan (konektivitas) antara ekosistem yang terpisahkan, sehingga
secara fungsional ekosistem hutan lebih kompak. Tapak dengan kondisi yang
2
memiliki peluang terbesar untuk segera terjadi konektivitas antar beberapa patch
(bagian yang terpisah) dapat diprioritaskan sebagai tapak restorasi.
Perumusan Masalah
Degradasi hutan dan deforestasi menyebabkan fragmentasi dan menurunkan
keanekaragaman hayati. Degradasi hutan dan deforestasi telah meningkat di
beberapa lanskap hutan tropis dan hanya menyisakan 42% tutupan hutan. Sebesar
18% diantaranya adalah hutan alam asli. Hutan yang tersisa merupakan hutan
terpisah dan menjadi blok-blok yang rusak. Kondisi ini menyebabkan perubahan
lanskap hutan (ITTO/IUCN 2005). Lanskap hutan yang terdegradasi dan
terfragmentasi di Indonesia cukup luas. Degradasi hutan dan perubahan tutupan
hutan skala besar dimulai sejak awal tahun 1970-an, yaitu ketika perusahaan
pengusahaan hutan mulai beroperasi. Pada periode tahun 1970 hingga 1990-an,
laju kerusakan hutan diperkirakan antara 0,6 sampai 1,2 juta ha per tahun, laju
kerusakan hutan selama periode 1986 – 1997 sekitar 1,7 juta ha per tahun dan
mengalami peningkatan tajam sampai lebih dari 2 juta ha/tahun (FWI/GFW
2001). Kementerian Kehutanan tahun 2005 memprediksi kerusakan hutan seluas
2,83 juta ha per tahun dalam kurun waktu 1997-2000. Bahkan Indonesia berada
di urutan ke-8 tingkat kerusakan hutannya dari sepuluh negara dengan luas hutan
alam terbesar dunia di tahun 2007 (FAO 2011).
Deforestasi merupakan salah satu faktor penyebab terjadinya fragmentasi
hutan dan kerusakan hutan. Sebagaimana diilustrasikan pada Gambar 1,
fragmentasi dan kerusakan hutan tersebut telah mengurangi luas hutan,
menimbulkan edge forest dan meningkatkan isolasi hutan. Hal ini berdampak
pada penurunan produktivitas hutan dalam menghasilkan jasa ekosistem serta
menyebabkan perubahan proses-proses dalam ekosistem hutan, yang memicu
penurunan populasi dan produktivitas ekosistem itu sendiri.
Hutan mengalami deforestasi sebesar 1,7 % pada kurun waktu 1990-2000,
walaupun deforestasi juga turun menjadi 0,5 % dalam kurun waktu 2000-2010.
Deforestasi Indonesia lebih tinggi dibanding dengan rata-rata deforestasi negaranegara Asia Tenggara yang berada pada angka 1 % periode 1990-2000 dan 0,4 %
dalam kurun waktu 2000-2010. Hutan yang tersisa di pulau Sumatera juga
mengalami tekanan deforestasi. Deforestasi di Sumatera diperkirakan sebesar
6.508.525 ha atau sekitar 28 % pada kurun waktu 1985-1997 (FWI/GFW 2002).
Sementara itu, Margono (2012) menyatakan hutan Sumatera berkurang 70 % pada
periode 1990-2000 dan berkurang sebesar 28 % pada periode 2000-2010.
Deforestasi memicu terjadinya perubahan iklim global karena menurunnya daya
serap hutan terhadap emisi karbon. Besarnya kandungan karbon yang tidak
terserap menimbulkan kenaikan temperatur dan pergeseran musim. Salah satu
dampaknya adalah kebakaran hutan dan naiknya permukaan air laut. Kebakaran
hutan di Indonesia yang sangat luas terjadi pada tahun 1982 sebesar 3,2 juta ha
terbakar, 2,7 juta ha diantaranya hutan hujan tropis. Demikian juga pada awal
tahun 1994 terjadi kebakaran hutan seluas 9.765.000 ha (FWI/GFW 2002).
Deforestasi juga menjadi salah satu pemicu peningkatan temperatur rata-rata
tahunan Indonesia yang diperkirakan sebesar 0,3o C sejak tahun 1990 yang terjadi
konsisten sepanjang tahun pada semua musim (Boer dan Fakih 2004).
3
Deforestasi
Fragmentasi hutan
Kerusakan hutan dan lahan
Pengurangan luas
hutan
Penurunan populasi dan
produktivitas
Menimbulkan
tepian hutan
(forest edge)
Meningkatkan isolasi
hutan
Perubahan proses-proses
dalam ekosistem
Kehilangan keanekaragaman hayati
Pemulihan (RESTORASI)
Gambar 1
Kerangka pemikiran penelitian pentingnya dilakukan restorasi
(dimodifikasi dari Franklin et al. 2006)
Deforestasi merupakan salah satu faktor pemicu terjadinya degradasi
lahan. FAO (2008) menyatakan luas degradasi lahan di Indonesia sebesar 16%
dari total luas lahan atau sebesar 31.370.634 ha. Angka ini lebih kecil dibanding
dengan persentase luas lahan terdegradasi Asia Pasifik sebesar 22,26 % dari luas
lahan. Sedangkan menurut Kementerian Kehutanan (2010) luas lahan kritis
Indonesia tahun 2010 adalah 81.664.295 ha lebih luas dibanding lahan kritis
tahun 2006 sebesar 77.806.881 ha. Dari luasan tersebut, pada tahun 2006 sebesar
5.218.629 ha lahan kritis berada di Sumatera Utara, lebih besar dibanding tahun
2010 yang hanya seluas 2.753.597 ha.
Degradasi lahan menjadi pemicu terjadinya bencana alam banjir, dan tanah
longsor. Kerugian yang ditimbulkan bencana sangat besar, baik pada saat
terjadinya banjir maupun setelah kejadian banjir untuk kegiatan pemulihan. Data
yang dirilis BNPB (2010) menyatakan pada tahun 2006, 2007 dan 2010 telah
terjadi banjir dan tanah longsor di Sumatera yang menyebabkan ribuan penduduk
mengungsi dan puluhan korban jiwa. Hal ini akibat berkurangnya luas tutupan
hutan di Sumatera Utara. Sumatera Utara yang memiliki luas wilayah sebesar
4
7.168.000 hektar setengahnya atau sekitar 3.675.918 hektar merupakan kawasan
hutan. Namun luas wilayah hutan ini tidak dijaga kelestariannya dan sekitar
890.506 hektar sedang dalam kondisi rusak.
Pulau Sumatera masih memiliki kawasan hutan tersisa yang potensial
untuk menyimpan dan melindungi biodiversitas. Namun keberadaannya terancam
oleh kondisi hutan yang terpisah dan tidak kompak. Salah satu lokasi sisa hutan
Sumatera yang masih menyimpan warisan kekayaan keanekaragaman hayati
tinggi adalah hutan Batang Toru. Lokasi ini mendapatkan sorotan dunia
internasional karena merupakan habitat hidup satwa langka orang utan, tapir,
harimau dan berbagai jenis kayu komersial. Kawasan ini juga mendapatkan
tekanan berupa adanya pemanfaatan sumberdaya alam kayu dan tambang mineral.
Keterbukaan akses yang tidak diimbangi dengan pengawasan yang efektif
memicu kecenderungan alih fungsi lahan, sehingga memisahkan kawasan hutan
yang ada menjadi areal areal kecil yang tidak kompak.
Kawasan hutan Batang Toru ini merupakan habitat bagi setidak-tidaknya
67 jenis mamalia, 287 jenis burung, 110 jenis herpetofauna dan 688 jenis
tumbuhan. Hutan Batang Toru termasuk ke dalam kawasan DAS Batang Toru
yang memiliki 10 sub DAS berfungsi penting sebagai penyangga dan pengatur
tata air di 3 kabupaten yaitu Tapanuli Utara, Tapanuli Tengah dan Tapanuli
Selatan. Selain itu DAS ini sebagai sumber energi bagi PLTA Sipansihaporas dan
2 Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro di Aek Raisan. Akibat deforestasi
kawasan hutan Batang Toru, terjadi peningkatan luas lahan kritis yaitu seluas
13.000 hektar pada tahun 2005 dan 17.000 hektar pada tahun 2009 (Kaprawi dan
Perbatakesuma 2011). Deforestasi hutan Sumatera juga telah memecah hutan
Batang Toru menjadi 2 (dua) blok utama hutan alam, yaitu Blok Hutan Batang
Toru Barat – Blok Hutan Adian Ginjang dan Blok Hutan Batang Toru Timur
Deforestasi dan degradasi hutan Batang Toru menurunkan luas hutan
alam sekitar 1,17 % per tahun pada periode 1994 - 2009, dimana pada tahun 2009
tutupan hutan alam sekitar 151.000 hektar atau 61% dari total kawasan Batang
Toru, menurun jika dibanding luas hutan alam tahun 1994 sekitar 162.000 hektar
(KIKS 2011). Tingkat deforestasi tersebut lebih tinggi dibandingkan dengan
tingkat deforestasi negara-negara Asia Tenggara sebesar 0,4 %. Kondisi ini
mengancam keberadaan ekosistem di lanskap hutan Batang Toru, maka sangat
penting mendapatkan kembali fungsi lanskap hutan Batang Toru sebagai
penyangga ekosistem melalui kegiatan pengembalian lanskap hutan.
Pengembalian lanskap hutan dapat memberikan hasil yang optimal jika dilakukan
sesuai dengan karakteristik ekosistem maupun gangguan yang terjadi.
Karakteristik ekosistem sangat kompleks sehingga memerlukan penyederhanaan
yang dapat mewakiliki ekosistem secara keseluruhan. Salah satu pendekatan yang
digunakan adalah pemodelan. Oleh karenanya perlu didesain model yang
menyatakan indeks yang dapat dijadikan standar dalam perencanaan kegiatan
pengembalian fungsi hutan (restorasi). Indeks tersebut dinamakan indeks restorasi
yang memiliki nilai berkisar 0 – 1. Indeks restorasi menyatakan tingkat prioritas
suatu tapak atau lahan harus direstorasi terlebih dahulu dibandingkan dengan
tapak yang lainnya. Nilai indeks restorasi 1 menunjukkan suatu tapak atau lahan
memiliki prioritas paling tinggi untuk direstorasi, sedangkan indeks restorasi 0
menunjukkan suatu tapak atau lahan tidak memerlukan restorasi.
5
Untuk pembangunan model harus diawali dengan beberapa pertanyaan
penting dalam penelitian yaitu :
a. Mengapa hutan di lanskap DAS Batang Toru mengalami kerusakan dan
fragmentasi ?
b. Mengapa terjadi perubahan tingkat fragmentasi hutan di lanskap hutan
Batang Toru dalam periode 20 tahun terakhir?
c. Mengapa terjadi perubahan tingkat konektivitas hutan di lanskap hutan
Batang Toru dalam periode 20 tahun terakhir?
d. Mengapa sebaran spasial tingkat fragmentasi dan konektivitas hutan di
kawasan hutan DAS Batang Toru berbeda?
e. Mengapa terjadi degradasi lahan di lanskap DAS Batang Toru yang
terdeforestasi?
f. Mengapa lokasi dimulainya sebuah kegiatan restorasi lanskap hutan
Batang Toru harus ditentukan ?
Kerangka Pendekatan
Kegiatan manusia dalam pengembangan budidaya pertanian, penebangan
hutan alam dan konversi lahan telah mengarah ke terjadinya fragmentasi hutan
alam, memperkecil kekompakan luas hutan alam dan meningkatkan keterpisahan
beberapa patch hutan terhadap kelompok hutannya. Kondisi ini menghasilkan
perubahan lanskap, dan mengancam komunitas di dalamnya yang sensitif
terhadap semakin mengecilnya habitat yang kompak (Nikolaki 2004). Kondisi
hutan alam yang tersisa mengalami kerusakan dan terfragmentasi dalam luasan
yang kecil sehingga tidak akan mampu lagi menghasilkan fungsi yang optimal.
Fungsi hutan dapat dikembalikan melalui kegiatan restorasi pada tapak-tapak
hutan yang mengalami kerusakan. Upaya pengembalian fungsi hutan telah
dilakukan untuk mengkonservasi dan mengelola kembali hutan yang telah
terdegradasi.
Hutan yang ada tidak kompak tetapi sebagian besar terpisah dalam luasan
yang relatif kecil atau yang disebut juga dengan patches. Kondisi yang demikian
berdampak pada tidak berfungsinya hutan tersebut secara optimal. Fungsi
ekosistem tersebut dapat kembali maksimal, jika antar patch hutan terhubung
dengan luasan hutan yang lebih besar (core) dan kondisinya masih baik atau yang
disebut dengan konektivitas atau tingkat keterhubungan (connectivity) tinggi.
Kehilangan konektivitas alami dari sebuah ekosistem merupakan ancaman
terbesar dalam penyebaran hidupan liar dan kemampuan hidup serta konservasi
keanekaragaman hayati pada umumnya. Hal ini memerlukan perhatian lebih
serius terutama pada peningkatan konektivitas dalam perencanaan lanskap dan
konservasi habitat (Saura dan Poscual-Horta 2006). Pemeliharaan dan restorasi
konektivitas lanskap menjadi isu sentral dalam ekologi dan konservasi
keanekaragaman hayati (Saura dan Torne 2009), karena konektivitas lanskap
memfasilitasi pergerakan organisme, pertukaran genetik dan aliran material
ekologi yang lain (Crook dan Sanjayan 2006).
Mendesain kembali mosaik lanskap akan memberikan keuntungan lebih
besar dibanding hanya pada tapak tunggal terutama untuk konservasi
keanekaragaman hayati dan peningkatan fungsi ekologi. Hal ini dikarenakan
dalam suatu bentang lahan akan terjadi proses dimana keseimbangan ekosistem
terjaga. Keseimbangan ekosistem sulit tercapai jika pada awalnya berupa
6
hamparan hutan menjadi terpisah lokasinya, kecuali jika ada penghubung antara
patchnya atau memiliki konektivitas. Konektivitas lanskap (landscape
connectivity) didefinisikan sebagai tingkat suatu bentang lahan dalam
memfasilitasi atau merintangi pergerakan diantara sumberdaya dalam patch hutan
(Taylor et al. 1993). Hal ini merupakan kunci utama dalam konservasi
keanekaragaman hayati dan stabilitas serta integritas ekosistem alami (Taylor et
al. 1993; Clergeau dan Burel 1997; Collinge 1998; Raison et al. 2001; Crist et
al. 2005). Oleh karena itu sangat penting mempertimbangkan konektivitas
sebagai dasar dalam perencanaan konservasi dan analisis perubahan lanskap.
Upaya perbaikan hutan diharapkan dapat mengembalikan fungsi ekosistem
hutan, ketahanan ekologi dan ekonomi serta penghidupan masyarakat. Usahausaha tersebut telah banyak dilakukan pada tapak tertentu, meskipun secara
ekologi restorasi tapak belum dapat mengoptimalkan fungsi ekologisnya. Oleh
karenanya perlu didesain merestorasi hutan pada skala lanskap yang dapat
digunakan untuk melengkapi jaringan perlindungan yang ada, dan pada tingkatan
lanskap, restorasi keanekaragaman hayati dan produksi (penurunan kemiskinan)
dapat lebih mudah dicapai (Lamb et al. 2005).
Hutan yang terfragmentasi secara bersama-sama dengan penggunaan lahan
lainnya membentuk satu mosaik lanskap (Nikolaki 2004). Dalam kondisi ini,
restorasi hutan biasanya dikerjakan dengan berkonsentrasi pada tapak-tapak utama
yang dianggap penting. Keefektifan dalam mengkonservasi keanekaragaman
hayati dan merestorasi fungsi kunci ekologi yang bekerja pada skala lanskap
bergantung pada keterpisahan tapak yang direstorasi dan saling melengkapi satu
sama lainnya dalam sebuah mosaik lanskap (Lamb et al. 2005).
Restorasi bertujuan untuk mengembalikan fungsi hutan menyerupai atau
mendekati fungsi hutan sebelum terdegradasi. Restorasi selain berupaya
mengembalikan hutan menyerupai kondisi sebelumnya juga bertujuan untuk
mengembalikan bentuk lanskap mendekati bentuk lanskap sebelumnya atau yang
dikenal juga dengan sebutan Forest Lanskap Restoration (FLR). Dalam
melakukan kegiatan restorasi suatu lanskap hutan harus mempertimbangkan
karakteristik ekologi lanskapnya. Namun, restorasi hutan yang dilakukan
terkendala oleh keterbatasan biaya dan sumberdaya pendukung lainnya. Di sisi
lain luas area hutan yang terdegradasi sangat besar dan ketergantungan
masyarakat akan hutan juga sangat tinggi
Pencegahan dan penurunan degradasi hutan harus dilakukan untuk
mempertahankan fungsi ekosistem hutan. Berfungsinya kembali fungsi hutan
dapat dicirikan oleh dua aspek penting yakni (1) aspek biofisik lapangan (2) aspek
sosial ekonomi kemasyarakatan. Faktor-faktor biofisik secara struktural dan
fungsional menentukan keberlangsungan fungsi suatu ekosistem antara lain (1)
tingkat degradasi atau kerusakan hutan, (2) tingkat fragmentasi hutan, (3) tingkat
degradasi lahan, (4) tingkat konektivitas hutan serta (5) pola dan struktur
lanskap. Sedangkan faktor lain yang mempengaruhi fungsi ekosistem adalah
kondisi sosial ekonomi masyarakat sekitar hutan.
Faktor-faktor tersebut dapat menjadi indikator fungsi ekosistem hutan,
sehingga dapat digunakan untuk membangun model indeks restorasi untuk
perencanaan pengembalian lanskap hutan yang terdegradasi (Gambar 2). Model
ini akan membantu perencana dan pengelola hutan, karena perencana dan
pengelola hutan masih memerlukan perangkat yang dapat digunakan untuk
7
menentukan kekritisan lahan secara ekologi dan memilih patch hutan yang
potensial untuk meningkatkan konektivitas ekosistem hutan. Prinsip yang harus
dipertimbangkan untuk memilih perangkat tersebut adalah sederhana dan mudah
dalam menentukan hubungan (konektivitas) antar elemen dalam sebuah lanskap.
Hal ini dikarenakan konektivitas sangat penting dalam pengelolaan berbagai tipe
lanskap yang berbeda dan kepentingan konservasi.
Berkaitan dengan fungsi hutan sebagai ekosistem, maka batasan daerah
aliran sungai ataupun lanskap dianggap lebih mewakili unit penilaian kerusakan.
Tingkat lanskap atau daerah aliran sungai diasosiasikan dengan fungsi ekosistem
(keanekaragaman hayati, penyediaan air dan fungsi lain) sehingga proses
perencanaan dan implementasinya diletakkan pada tingkat wilayah daerah aliran
sungai.
Novelty Penelitian
Beberapa penelitian perencanaan restorasi menunjukkan penentuan tapak
restorasi ekosistem secara umum masih berdasarkan pada kondisi tapak per tapak,
belum mempertimbangan keterkaitan dan fungsionalitas ekosistem. Improvisasi
penelitian perencanaan restorasi menghasilkan kebaharuan penelitian yaitu
menentukan indeks restorasi lanskap hutan sebagai standar dalam perencanaan
kegiatan pengembalian fungsi hutan (restorasi). Penelitian yang dilakukan ini
memiliki kebaharuan pada (1) fokus (focus), penelitian yang dilakukan berfokus
pada kajian tentang indeks restorasi lanskap hutan yang terdegradasi (2) terdepan
di bidang ilmu (advance), penelitian didasari oleh teori ekologi lanskap dan
analisis spasial untuk menentukan prioritas restorasi lanskap hutan yang
terdegradasi (3) ilmiah (scholar), penelitian menggunakan pendekatan analisis
spasial kuantitatif untuk menghasilkan model terbaik. Model dibangun secara
empiris, terukur dan dievaluasi secara kuantitatif.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini dilakukan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang
muncul dalam rumusan masalah. Tujuan utama penelitian ini bertujuan untuk
mendapatkan model indeks restorasi lanskap hutan tropis yang terdegradasi.
Untuk mendapatkan model indeks restorasi lanskap tersebut, maka ada beberapa
tujuan khusus yang harus dicapai yaitu :
1. Membangun indeks kerusakan hutan lanskap hutan DAS Batang Toru
2. Membangun indeks fragmentasi lanskap hutan DAS Batang Toru
3. Membangun indeks konektivitas lanskap hutan DAS Batang Toru
4. Membangun indeks degradasi lahan lanskap hutan DAS Batang Toru
5. Membangun model spasial indeks restorasi lanskap hutan yang
terdegradasi di DAS Batang Toru
8
Kerusakan hutan dan lahan
Perbaikan
kerusakan
Penurunan emisi
(REDD++)
Biodiversity
Pembangunan model