BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Hubungan Islam dan politik di pandang bukan saja bersifat organis atau  tidak  bisa  dipisahkan,  tapi  juga  secara  struktural  di  ikat  oleh  sistem
religius  Islam  yang  formal.  Menguatnya  revivalisme  agama  dalam  kancah politik menepis sinyalemen Samuel Hungtington tentang political decay –-
bahwa  pembangunan  politik  itu  biasanya  ditandai  dengan  proses rasionalisasi kekuasaan.
1
Salah  satu  pangkal  pembicaraan  yang  tak  pernah  habis  dibahas adalah  relasi  agama  dan  politik.  Tarik  menarik  antara  keduanya
menghasilkan  ketegangan  dinamik  yang  tidak  jarang  melahirkan  benturan. Bagi  penganut aliran  mekanik-holistik,  Islam  dianggap  bukan  saja  sebagai
gugusan  dogma-dogma  agama  yang  bersifat  kaku  saja, tapi  juga  dipahami sebagai sistem politik, pandangan hidup dan penafsiran sejarah. Islam juga
di pahami mempunyai watak omnipresent hadir di mana-mana. Islam  hadir  dihadirkan?  di  ranah  politik  yang  seharusnya  netral
dan  hampa  dari  kepentingan  kelompok  manapun.  Bagi  penganut  militan premis  ini  bisa  jadi  mendorongnya  untuk  memaksakan  lewat  jalan
kekerasan.  Ketika  agama  ditampilkan  melalui  cara  yang  menghalalkan
1
Burhanudian.  “Carut  Marut  Wajah  Teknis”.  Artikel  di  akses  tanggal  18  Januari  2009, dari http:carur.marutpolitikislam.html
1
kekerasan,  maka  tersibaklah  wajah Tuhan  yang  menyeringai  seram,  penuh dendam.  Sontak  A.N  Wilson  tertawa  melihat  orang  yang  tak  mau
menggubris tesisnya bahwa agama lebih kejam daripada candu. Atas nama Tuhan,  FPI  membakar,  merusak,  bahkan  menjarah  kafe-kafe.  Atas  nama
Tuhan,  kedua  belah  pihak  yang  bertikai  di  Ambon  saling  menghunuskan pedang, mencari celah dari lemahnya keadaan darurat sipil, untuk menikam
lawan. Tapi, di  atas  segalanya,  relasi  agama  dan  politik,  dalam diskursus
modern  hingga  detik  ini  belum  juga  tuntas.  Lebih-lebih  Islam  yang  oleh penganutnya dilihat memiliki pesona sebagai agama yang syamil, kamil dan
mutakamil .  Ilmuwan  sekelas  Robert  N.  Bellah  dengan  civil  religion,  dan
Jose  Casanova  dengan  public  religion  pun  coba  menengahi  pandangan “ekstrem”  bahwa  agama  berkutat  pada  wilayah  private,  sementara  ruang
publik harus secularized. Persoalan  yang  sering  kali  diperdebatkan  tentunya  adalah  apakah
Islam dan politik  tak bisa di pisahkan atau memang antara  agama Islam harus  dipisahkan  dari  persoalan  politik.  Akan  tetapi, persoalan  sebenarnya
bukan  terletak  pada  perdebatan  apakah  Islam dan  politik  harus dipisahkan atau  tidak  di  pisahkan.  Dan  karena  sebagian  besar  pemikir  dan  praktisi
politik  Islam  terpaku  pada  soal  di  pisahkan  atau  tidak  bisa  boleh  di pisahkannya Islam dari persoalan-persoalan keduniawian, pemikiran politik
Islam sulit beranjak pada tataran atau artikulasi yang lebih baru.
Hampir  seluruh  artikulasi  pemikiran  politik  Islam tidak  lepas  dari pemikiran bahwa 1 Islam dan politik  itu tidak bisa dipisahkan; 2 Islam
dan  politik  itu  bisa  di  pisahkan;  dan  3  Islam  dan  politik  mempunyai keterkaitan  yang erat, akan tetapi bentuk hubungannya tidak bersifat legal-
formalistik,  tetapi  substansialistik.  Dan  bentuk  ketiga  ini  hampir  di  miliki oleh  pemikir  Islam  moderat  seperti  Nurkholis  Majid,  Amin  Rais  dan
sebagian pemikiran Islam lainnya. Pada masa awalnya, Islam dipahami  secara sederhana. Komunitas
awal  masyarakat  Islam  berada  langsung  dalam  bimbingan    Nabi Muhammad  SAW  dan  para  khalifah.  Mereka  hampir  tidak  pernah  terjadi
keributan  dan  perbedaan  pendapat.  Kemudian  setelah  terjadi  penyebaran futuhat pemikiran Islam berkembang dan begitu banyak interpretasi  yang
dilakukan oleh beberapa kelompok yang merasa dirinya mampu dan berhak untuk  melakukannya.  Perkembangan  pertama  dan  paling  dominan  dalam
Islam  adalah  masalah  teologi.  Namun  pemikiran  teologi  ini  bukan  murni karena  masalah  teologi  tapi  karena  politik.
2
Pemikiran  politik  yang berkaitan  atau  mempunyai  hubungan  erat  dengan  teologi  kemudian
berkembang  berbarengan  dengan  perkembangan  Islam  dan  akulturasi kebudayaan dengan helenisme.
Persoalan  penting  antara  bidang  agama  dan  bidang  politik  atau bidang  kehidupan  duniawi  mana  pun  ialah  bahwa  dari  segi  etis,
khususnya  segi  tujuan  yang  merupakan  jawaban  atau  pertanyaan  untuk
2
Harun Nasution, Islam Ditinjau Dari Berbagai Apeknya. Jakarta: UI Press, 1985.h.88
apa  tidak  dibenarkan  lepas  dari  pertimbangan  nilai-nilai  keagamaan.  Atas dasar  adanya  pertimbangan  nilai-nilai  keagamaan  itu  diharapkan  tumbuh
kegiatan politik bermoral tinggi atau berakhlak mulia.  Inilah makna bahwa politik tidak dapat di pisahkan dari agama. Tetapi dalam hal susunan formal
atau  strukturnya  serta  segi-segi  praktis  dan  teknisnya,  politik  adalah wewenang  manusia,  melalui  pemikiran  rasionalnya  yang  dapat  dipandang
sebagian  suatu  jenis  ijtihad.  Dalam  hal  inilah  politik  dapat dibedakan  dari agama.  Maka  dalam  segi  struktural  dan  prosedural politik  itu, Dunia  Islam
sepanjang sejarahnya, mengenal berbagai variasi dari masa ke masa dan dari kawasan  ke  kawasan,  tanpa  satu  pun  dari  variasi  itu  dipandang  secara
doktrinal paling absah kecuali masa kekhalifahan Rasyidah.
3
Hubungan  antara  agama  dan  politik  yang  tidak  terpisahkan  itu dengan  jelas  sekali  terwujud  dalam  masyarakat  Madinah.  Muhammad
S.A.W. selama sekitar sepuluh tahun di kota hijrah  itu telah tampil sebagai seorang  penerima  berita  suci  sebagai  Nabi  dan  seorang  pemimpin
masyarakat  politik  sebagai  Kepala  Negara.  Dalam  menjalankan  peran sebagai  seorang  Nabi,  beliau  adalah  seorang  tokoh  yang  tidak  boleh
dibantah, karena mengemban tugas suci dengan mandat dan wewenang suci. Sedangkan dalam menjalankan peran sebagai seorang kepala negara, beliau
melakukan  musyawarah  --sesuai  dengan  perintah  Allah--  yang  dalam musyawarah  itu  beliau  tidak  jarang  mengambil  pendapat  orang  lain  dan
meninggalkan  pendapat  pribadi.  Sebab  dalam  hal  peran  sebagai  kepala
3
Nurkholis  Majid.  “Islam  dan  Politik  Suatu  Tinjauan  Atas  Prinsip-Prinsip  Hukum  dan Keadilan”.
Artikel diakses
pada tanggal
20 Januari
2009, dari
httpislamdanpolktik.prinsip.nurkholis.html
negara  atau  pemimpin  masyarakat  itu  pada  dasarnya  beliau  melakukan ijtihad.  Jika  dalam  kenyataan  hasil  ijtihad  beliau  hampir  selamanya
merupakan yang terbaik di antara para anggota masyarakat beliau, maka hal itu  harus  diterangkan  sebagai  akibat  logis  segi  keunggulan  kemampuan
pribadi  beliau  selaku  seorang  manusia.  Dan  pengakuan  memang  banyak diberikan  orang,  baik  dari  kalangan  Islam  maupun  bukan  Islam,  bahwa
beliau adalah seorang  jenius. Gabungan  antara  kesucian dan  kesempurnaan tugas kenabian di satu pihak dan kemampuan pribadi yang sangat unggul di
pihak lain telah membuat Nabi Muhammad saw. seorang tokoh yang paling berhasil dalam sejarah umat manusia.
Sebagaimana  Rasulullah  membangun  negara  Madinah,  menarik kita  mengkonklusikan  pemikiran  Ahmadiyah  dalam  peran  agama  dengan
politik  sebab  secara  teori  Ahmadiyah  lahir  diakibatkan  banyaknya kemerosotan agama dalam hal ini Islam dalam pentas kekuatan politik yang
di tandai hancurnya kekhalifahan Turki Ustmani. Gerakan pembaharuan dengan segala variannya muncul sejak masa
kekhalifahan  Utsman  bin  Affan  ketika  menerapkan  kebijakan  nepotisme dalam  pemerintahannya.  Ketika  itu  muncul  beberapa  golongan  yang  tidak
menyetujui  kebijakan  Utsman,  ditambah  lagi  terjadinya  pertentangan kelompok  Ali  yang  kurang  mendukung  kekuasaan  Utsman.  Puncaknya
terjadi pada masa khalifah Ali bin Abi Thalib, dengan kemunculan golongan khawarij golongan yang keluar dari jama’ah.
Dalam  konteks  politik,  kemunculan  sektarianisme  merupakan akumulasi  kekecewaan  terhadap  kebijakan  penguasa.  Pada  masa  Bani
Umayyah,  kelompok  pendukung  Ali  disebut  sebagai  golongan  Syi’ah diposisikan  sebagai  opasisi  penguasa  Umayyah.  Konflik  yang  sengit  antar
firqah kian  mengemuka  pada  masa  kekuasaan  Abbasyiah  dengan
kemunculan golongan Mu’tazilah  yang bercorak rasionalistik. Golongan ini vis  a  vis
berhadapan  dengan  faham  yang  disokong  oleh  penguasa,  yaitu Ahiussunah wal Jama’ah. Di samping itu hadir pula kalangan inkarussunah
yang berhadapan dengan ahiussunah dengan pencetus Ahmad bin Hanbal. Kehadiran  Ahmadiyah  merupakan  reaksi  yang  hampir  mirip
dengan kehadiran
golongan-golongan keagamaan  pada  awal-awal
perkembangan  Islam.  Sebagai  gerakan  pembaharuan  menurut  versi Ahmadiyah, Ahmadiyah  lahir karena kekecewaan terhadap penguasa India
yang berada dibawah imperialisme Inggris. Perkembangan Ahmadiyah dalam kontek sosial politik keagamaan
telah  menjadi  polemik  berkepanjangan.  Ahmadiyah  didirikan  oleh  Hazrat Mirza  Ghulam  Ahmad  Al-Qadiani,  Mujadid abad  14  Hijriah  yang  bergelar
Almasih dan Mahdi, berdasarkan ilham dari Allah SWT. yang beliau terima pada tanggal 1 Desember 1888. Pada saat ini Ahmadiyah tersebar di seluruh
dunia, bahkan di Indonesia. Setelah pendiri Gerakan Ahmadiyah wafat 26 Mei 1908, Gerakan
Ahmadiyah  dipimpin  oleh  Shadr  Anjuman  Ahmadiyah  yang  diketuai  oleh Maulvi Hakim Nuruddin. Setelah beliau wafat pada tanggal 13 Maret 1914,
Shadr  Anjuman  Ahmadiyah  dipimpin  oleh  Mirza  Bashiruddin  Mahmud Ahmad, putra pendiri Gerakan Ahmadiyah. Beberapa saat setelah ia terpilih,
timbullah  perbedaan  pendapat  yang  penting  dan  mendasar.  Karena pengakuannya  sebagai  perwujudan  Imam  Mahdi  bahkan  Ahmad  yang
tercantum dalam Qur’an Suci 61:6, maka terjadi friksi di tubuh Ahmadiyah. Pendapat tersebut yang menyebabkan terjadinya perpecahan dalam
Ahmadiyah. Mereka yang setuju terhadap pendapat tersebut  dikenal sebagai
Ahmadiyah  Qadian,  karena  pusatnya  di  Qadian,  India  tetapi  setelah
Pakistan dan  India merdeka pindah  ke Rabwah  sampai sekarang, meskipun Khalifahnya berada di Inggris. Kemudian mereka menyebut dirinya sebagai
Jemaat Ahmadiyah. Sedangkan  mereka  yang  tak  setuju  terhadap  pendapat  tersebut
tergabung  dalam  Ahmadiyah  Anjuman  Isya’ati  Islam  Ahmadiyah, Gerakan  Penyiaran  Islam  yang  berpusat  di  Lahore  dan  dikenal  sebagai
Ahmadiyah Lahore yang pada saat itu dipimpin oleh Maulana Muhammad
Ali,  M.A.,  LL.B.,  sekretaris  Almarhum  Hazrat  Mirza  Ghulam  Ahmad. Menurut Ahmadiyah Lahore, Hazrat Mirza Ghulam Ahmad bukanlah Nabi,
dia  adalah  seorang  Mujaddid.  Ahmad  dalam  Al-Qur’an  adalah  Nabi  suci Muhammad  saw.  dan  kaum  Muslimin  yang  tidak  bai’at  kepada  beliau
tidaklah kafir. Faham  Ahmadiyah  Anjuman  Isya’ati  Islam  atau  Ahmadiyah
Lahore  masuk  ke  Indonesia  pada  tahun  1924  dengan  perantaraan  dua muballigh,  Mirza  Wali  Ahmad  Baig  dan  Maulana  Ahmad.  Berkat  rahmat
Allah,  pada  tanggal  10  Desember  1928  Gerakan  Ahmadiyah  Indonesia sentrum  Lahore  didirikan  oleh  Bapak  R.Ng.H.Minhadjurrahman
Djajasugita dkk.  yang mendapat Badan Hukum Nomor 1
X
tanggal 30 April 1930.
Dalam melaksanakan aktivitas dakwahnya, GAI telah menerbitkan puluhan judul buku-buku agama dalam bahasa Belanda, Jawa dan Indonesia
serta  majalah-majalah.  Di  samping  itu  telah  pula  melahirkan  Yayasan Perguruan  Islam  Republik  Indonesia  PIRI  di  Yogyakarta  dan  di  berbagai
daerah,  yang menyelenggarakan pendidikan sekolah mulai tingkat Taman Kanak-kanak sampai perguruan Tinggi
Nama Ahmadiyah berasal dari nama sifat Rasulullah saw. -- Ahmad yang  terpuji.  Yakni  yang  menggambarkan  suatu  keindahankelembutan.
Zaman  sekarang  ini  adalah  zaman  penyebar-luasan  amanat  yang  diemban Rasulullah saw. dan merupakan zaman penyiaran sanjungan pujian terhadap
Allah Taala. Era penampakkan sifat Ahmadiyah Rasulullah saw. Kondisi Islam di India pada saat di jajah oleh Imperialisme Inggris
benar-benar  menyedihkan.  Di  satu  sisi  gerakan  Kristenisasi  sedang  gencar- gencarnya berjalan di India dan menarik ratusan ribu orang masuk ke dalam
agama  Kristen  dan  di  sisi  lain  serangan-serangan  pihak  Hindu  terhadap Islam, Al-Quran dan terhadap wujud suci Nabi Muhammad Mustafa saw.
Kondisi  inilah  yang  banyak  mewarnai  kehidupan  awal  daripada Hz.Mirza  Ghulam  Ahmad.  Beliau  banyak  menelaah  literatur-literatur  yang
berkaitan  dengan  agama-agama  tersebut.  Beliau  secara  personal  banyak
terlibat dalam upaya-upaya untuk membela Islam dari serangan-serangan di kedua arah tersebut. Disamping itu beliau sendiri mengalami perkembangan
rohaniah.  Konteks  berdirinya  Ahmadiyah  tidak  terlepas  dari  pergolakan politik  di  India.  Oleh  karena  itu,  Ahmadiyah  bukan  saja  sebuah  spektrum
gerakan  pembaharuan  keagamaan  yang  banyak  disinyalir  oleh  orang, melainkan sebagai sebuah gerakan politik yang mengatasnamakan agama.
Tipologi  gerakan  politik  Islam,  atau  setidak-tidaknyya  di kategorikan  sebagai  sebuah  gerakan  politik,  menurut  Din  Syamsuddin
mengandung  dua  dimensi,  pertama:  bahwa  kulturisasi  Islam  harus ditransformasikan ke dalam dunia politik atau domain politisasi; dan kedua:
adanya  upaya  totalisasi  ajaran  Islam  yang  terdiri  tidak  hanya  dari  sistem ibadah  tapi  juga  prinsip-prinsip  aqidah,  syari’ah,  dan  jalan  hidup  sehingga
tidak memisahkan antara yang sakral dan yang profan.
4
Berdasarkan  asumsi  di  atas,  gerakan  Ahmadiyah  telah  memasuki gerakan  politik  Islam,  atau  organisasi  keagamaan  yang  memiliki  agenda
besar  dalam  skala  nasional  bahkan  internasional.  Selain  penafsiran  yang dilakukan  oleh  Din  Dyamsuddin,  Ahmadiyah  dapat  di  golongkan  sebagai
gerakan politik karena meliputi dua hal yaitu adanya sosialisasi ajaran  yang dilakukan  secara massif untuk menarik anggota Jemaat sebanyak mungkin.
Gerakan perekrutmen di upayakan melalui jalan dakwah, penyebaran brosur, buku  pamflet,  pendirian  Yayasan  Perguruan  Islam  Republik  Indonesia
PIRI  di  Yogyakarta  dan  di  berbagai  daerah,  yang  menyelenggarakan
4
Din Syamsuddin, Islam dan Politik Era Orde Baru, Ciputat: Logos,, h. 153
pendidikan  sekolah  mulai  tingkat  Taman  Kanak-kanak  sampai  perguruan Tinggi.
5
Kedua,  Ahmadiyah  menjalankan  aktivitas  sosial  yang  memiliki implikasi politis terhadap kemapanan agama-agama samawi, terutama Islam.
Gejolak  yang  ditimbulkan  dari  gerakan  Ahmadiyah  mendatang  dialektika epistemologis  yang  mengerucut  pada  pertentangan  ideologis  the  clash  of
ideology.  Perspektif  ini  diambil  dari  konsep  Samuel  Huntington  yang melihat  pertentangan  kapitalisme  dan  Islam  sebagai  tipologi  pertentangan
ideo-politik berskala global.
6
Berdasarkan  pandangan  di  atas  maka  diajukan  judul  penelitian
sebagai berikut: Islam dan Politik dalam Perspektif Ahmadiyah.
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah