Khilafah Islamiyah Perspektif Ahmadiyah

(1)

KHILAFAH ISLAMIYAH PERSPEKTIF

AHMADIYAH

Oleh :

AHMAD HUDORI

NIM: 204033203106

JURUSAN PEMIKIRAN POLITIK ISLAM

FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT

UIN SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA


(2)

KHILAFAH ISLAMIYAH PERSPEKTIF AHMADIYAH Skripsi

Diajukan kepada Fakultas Ushuluddin dan Filsafat untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Sosial (S. Sos)

Oleh: Ahmad Hudori NIM. 204033203106

Pembimbing

Drs. Agus Nugraha, M. Si NIP. 150 262 447

PROGRAM STUDI PEMIKIRAN POLITIK ISLAM FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA 1430 H/2009 M


(3)

Pengesahan Panitia Ujian

Skripsi berjudul “KHILAFAH ISLAMIYAH PERSPEKTIF AHMADIYAH”, telah diujikan dalam sidang munaqosyah Fakultas Ushuluddin dan Filsafat Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 02 Maret 2009. Skripsi ini telah ditetapkan sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Sosial (S. Sos) pada Program Studi Pemikiran Politik Islam.

Jakarta, 02 Maret 2009 Sidang Munaqosyah

Ketua Merangkap Anggota Sekretaris Merangkap Anggota

Drs. Harun Rasyid, M.A Drs. Rifqi Muchtar, M.A

NIP. 150 232 921 NIP. 150 282 120

Anggota,

Penguji I, Penguji II,

Dr. Sirajuddin Aly, MA. Dr. Yusron Rozak, MA.

NIP. 150 318 684 NIP. 150 216 359

Pembimbing,

Drs. Agus Nugraha, M. Si NIP. 150 299 478


(4)

LEMBAR PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa:

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar Strata-1 di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Ciputat, 02 Maret 2009


(5)

KATA PENGANTAR

Tiada kata yang pantas untuk pertama kali diucapkan selain untaian kata syukur kehadirat Illahi Rabbi – Allah SWT – , atas semua kasih sayangNya, cinta, dan limpahan rahmatNya. Shalawat dan salam senantiasa tercurah kepada junjungan kita yang agung pula, yang telah memberi banyak pelajaran hidup kepada kita, Rosulullah Muhammad SAW, keluarga, sahabat, dan pengikutnya. Amin.

Rasa syukur tak henti-hentinya penulis panjatkan pada sang Robbi, Jika air mata ini harus tertumpah; jika raga ini harus tersungkur, dan jika jiwa ini harus berhimpun, maka semua itu adalah ungkapan rasa syukur yang mendalam kepada Sang Pemilik Ilmu Pengetahuan atas terselesaikannya skripsi yang penulis beri judul “Khilafah Islamiyah Perspektif Ahmadiyah” Sebagai sebuah karya, rasanya skripsi ini akan tidak memiliki makna apa-apa apabila di dalamnya tidak merajut untaian terima kasih kepada seluruh pihak yang telah membantu penyelesaian penulisan skripsi ini. Adapun ucapan terimakasih saya haturkan sebesar-besarnya kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Komarudin Hidayat, MA selaku Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Bapak Dr. Amin Nurdin, MA selaku Dekan Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Bapak Drs. Agus Darmaji, M.Fils dan Ibu Dra. Wiwi Sajaroh, M. Ag selaku Ketua dan Sekretaris Program Studi Pemikiran Politik Islam Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.


(6)

4. Bapak Drs. Harun Rasyid, M.A dan Drs. Rifqi Muchtar, M.A selaku Ketua dan Sekretaris Program Non Reguler Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

5. Bapak Drs.Agus Nugraha,M.Si selaku Dosen Pembimbing atas semua dedikasi dan perhatiannya dalam memberikan masukan dan arahan selama penulis menyelesaikan skripsi ini.

6. Seluruh dosen dan staff pengajar pada Program Studi Pemikiran Politik Islam (PPI) yang telah sangat banyak mentransformasikan ilmu dan intelektualitas selama penulis duduk di bangku perkuliahan. 7. Sebesar-besarnya kebanggaan penulis persembahkan kepada orang tua,

Ayahanda, H. Achfas HM dan Ibundaku (Alm) Hj. Rodemah yang telah melahirkanku dan mengorbanakan hidupnya untuk membesarkan penulis sehingga menjadi orang berguna bagi diri sendiri dan mudah-mudah bagi agama dan negara. Dan Ibu Hj. Syamsiyah yang selama ini telah memberikan motivasi kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

8. Kepada kak. Nurjanah, Kak. Nurmala Sari. Yang telah memberi dukungan dan moril. dan kepada abangku Wahid Hilmi, Lukman Hakim, M. Khoirul Anam. Kepada bang. Ardi dan kak. Anis yang tak ada hentinya memberikan nasihat dan dukungan semoga Allah meberikan balasan yang setimpal kepada seluruh keluarga kenanga. Amiiiiiiiiiiiiiiiin……..

9. Seluruh jajaran, staff, dan petugas di Perpustakaan Utama UIN Jakarta, Perpustakaan Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, Perpustakaan Freedom


(7)

Institute, dan Perpustakaan Nasional Replublik Indonesia, yang banyak memberikan kemudahan penulis dalam mengakses seluruh literatur. 10.kepada seluruh keluarga besar KH. Syamsul Marif yang telah

mendoakan penulis untuk selalu bersabar dalam menghadapi segala cobaan.

11.Kepada kekasihku SYARIFAH-AHMAD, untukmu cinta, doa dan sayang,kaulah yang akan selalu memberikan inspirasi, motivasi, dan semangat kepada penulis untuk selalu tenang dalam menghadapi bahtera kehidupan. Semoga cinta kita menjadi yang sejati dan hakiki dimata Allah SWT. Amiiin….

12.Kepada seluruh teman-teman kelas PPI Angkatan 2004, Tsani, Sofian,Pojess, Iskak, Mucin Alatas yang telah membantu dalam tim suksek dalam selesainya skripsi ini , Yusuf Fadli, Zulfikar, Indra, Rei, Isti, Buhari, Tohid, Sa’di, Aziz, Fadil, Galo, Iin Solihin, Asep, Awe, Surono, dan lain-lain. Keyakinan dan kesungguhan merekalah yang menjadi sumber inspirasi penulis.

13.Kepada teman satu kostan, Tsani, Sofian, Iskak, Ahmad. Terimakasih atas tranformasi pengalaman, ilmu pengetahuan, perubahan sudut pandang, kebersamaan dan banyak hal lain yang tidak dapat penulis temukan sebelumnya.

14.Teman-teman alumni El-Masyhar 2004, yang telah memberikan masukan, terutama Haidar Ali. Dan warnet El-Tajir makasih banget atas internet geratisan, semoga rame terus. Amiin.


(8)

15.Tentunnya banyak pihak lain yang tidak dapat disebutkan satu-persatu disini, yang telah memotivasi dan meberi membantuan dalam penyelesaian penulisan skripsi ini dan selama penulis menempuh perkuliahan.

16.Sepinya suasana malam, cinta, gemintang, rembulan, lampu-lampu jalan, hembusan angin, dan balutan semesta malam yang selalu setia menemani penulis selama menjalani perkuliahan di Fakultas Ushuluddin dan Filsafat.

Akhirnya kesempurnaan hanyalah milik-Nya, dan kita sebagai manusia sangat tidak layak untuk mengakui kesempurnaan itu. Begitu pula skripsi ini, yang tak luput dari kesalahan dan kekurangan. Penulis berharap dari ketidaksempurnaan itu, akan hadir kebaikan untuk semua.

Ciputat, 02 Maret2009


(9)

DAFTAR ISI

LEMBAR PERSETUJUAN ... i

LEMBAR PENGESAHAN ... ii

LEMBAR PERNYATAAN ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR ISI ... vii

BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang ……….. 1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ……… 10

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ………. 11

D. Metode Penelitian ………. 12

E. Sistematika Penulisan ……… 12

BAB II KERANGKA TEORI ISLAM DAN POLITIK A. Pengertian Politik ……… 13

B. Islam dan Politik ……… 17

C. Sistim Politik Islam ……… 22

D. Polemik Tentang Relasi Islam dan Politik ……… 26

BAB III . HISTOGRAFI AHMADIYAH A. Sejarah Awal Berdirinya Ahmadiyah ……… 29

B. Tokoh-Tokoh Ahmadiyah ... 32

C. Doktrin-Doktrin Ahmadiyah ……….. 39

D. Perkembangan Ahmadiyah di Indonesia ……… 49


(10)

BAB IV. RELASI ISLAM DAN POLITIK PERSPEKTIF AHMADIAH A. Paradigma Islam dan Politik ……….. 54 B. Pemikiran Politik Islam Perspektif Ahmadiyah …………. 57 C. Relasi Islam dan Politik dalam Negara menurut Ahmadiyah 69 BAB V. PENUTUP

A. Kesimpulan ……… 73

B. Saran ……….. 75


(11)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Hubungan Islam dan politik di pandang bukan saja bersifat organis atau tidak bisa dipisahkan, tapi juga secara struktural di ikat oleh sistem religius Islam yang formal. Menguatnya revivalisme agama dalam kancah politik menepis sinyalemen Samuel Hungtington tentang political decay –-bahwa pembangunan politik itu biasanya ditandai dengan proses rasionalisasi kekuasaan. 1

Salah satu pangkal pembicaraan yang tak pernah habis dibahas adalah relasi agama dan politik. Tarik menarik antara keduanya menghasilkan ketegangan dinamik yang tidak jarang melahirkan benturan. Bagi penganut aliran mekanik-holistik, Islam dianggap bukan saja sebagai gugusan dogma-dogma agama yang bersifat kaku saja, tapi juga dipahami sebagai sistem politik, pandangan hidup dan penafsiran sejarah. Islam juga di pahami mempunyai watak omnipresent (hadir di mana-mana).

Islam hadir (dihadirkan?) di ranah politik yang seharusnya netral dan hampa dari kepentingan kelompok manapun. Bagi penganut militan premis ini bisa jadi mendorongnya untuk memaksakan lewat jalan kekerasan. Ketika agama ditampilkan melalui cara yang menghalalkan

1

Burhanudian. “Carut Marut Wajah Teknis”. Artikel di akses tanggal 18 Januari 2009, dari http://carur.marut/politikislam.html


(12)

kekerasan, maka tersibaklah wajah Tuhan yang menyeringai seram, penuh dendam. Sontak A.N Wilson tertawa melihat orang yang tak mau menggubris tesisnya bahwa agama lebih kejam daripada candu. Atas nama Tuhan, FPI membakar, merusak, bahkan menjarah kafe-kafe. Atas nama Tuhan, kedua belah pihak yang bertikai di Ambon saling menghunuskan pedang, mencari celah dari lemahnya keadaan darurat sipil, untuk menikam lawan.

Tapi, di atas segalanya, relasi agama dan politik, dalam diskursus modern hingga detik ini belum juga tuntas. Lebih-lebih Islam yang oleh penganutnya dilihat memiliki pesona sebagai agama yang syamil, kamil dan

mutakamil. Ilmuwan sekelas Robert N. Bellah dengan civil religion, dan Jose Casanova dengan public religion pun coba menengahi pandangan “ekstrem” bahwa agama berkutat pada wilayah private, sementara ruang publik harus secularized.

Persoalan yang sering kali diperdebatkan tentunya adalah apakah Islam dan politik tak bisa di pisahkan atau memang antara agama (Islam) harus dipisahkan dari persoalan politik. Akan tetapi, persoalan sebenarnya bukan terletak pada perdebatan apakah Islam dan politik harus dipisahkan atau tidak di pisahkan. Dan karena sebagian besar pemikir dan praktisi politik Islam terpaku pada soal di pisahkan atau tidak bisa (boleh) di pisahkannya Islam dari persoalan-persoalan keduniawian, pemikiran politik Islam sulit beranjak pada tataran atau artikulasi yang lebih baru.


(13)

Hampir seluruh artikulasi pemikiran politik Islam tidak lepas dari pemikiran bahwa (1) Islam dan politik itu tidak bisa dipisahkan; (2) Islam dan politik itu bisa di pisahkan; dan (3) Islam dan politik mempunyai keterkaitan yang erat, akan tetapi bentuk hubungannya tidak bersifat legal-formalistik, tetapi substansialistik. Dan bentuk ketiga ini hampir di miliki oleh pemikir Islam moderat seperti Nurkholis Majid, Amin Rais dan sebagian pemikiran Islam lainnya.

Pada masa awalnya, Islam dipahami secara sederhana. Komunitas awal masyarakat Islam berada langsung dalam bimbingan Nabi Muhammad SAW dan para khalifah. Mereka hampir tidak pernah terjadi keributan dan perbedaan pendapat. Kemudian setelah terjadi penyebaran (futuhat) pemikiran Islam berkembang dan begitu banyak interpretasi yang dilakukan oleh beberapa kelompok yang merasa dirinya mampu dan berhak untuk melakukannya. Perkembangan pertama dan paling dominan dalam Islam adalah masalah teologi. Namun pemikiran teologi ini bukan murni karena masalah teologi tapi karena politik.2 Pemikiran politik yang berkaitan atau mempunyai hubungan erat dengan teologi kemudian berkembang berbarengan dengan perkembangan Islam dan akulturasi kebudayaan dengan helenisme.

Persoalan penting antara bidang agama dan bidang politik (atau bidang kehidupan "duniawi" mana pun) ialah bahwa dari segi etis, khususnya segi tujuan yang merupakan jawaban atau pertanyaan "untuk

2


(14)

apa" tidak dibenarkan lepas dari pertimbangan nilai-nilai keagamaan. Atas dasar adanya pertimbangan nilai-nilai keagamaan itu diharapkan tumbuh kegiatan politik bermoral tinggi atau berakhlak mulia. Inilah makna bahwa politik tidak dapat di pisahkan dari agama. Tetapi dalam hal susunan formal atau strukturnya serta segi-segi praktis dan teknisnya, politik adalah wewenang manusia, melalui pemikiran rasionalnya (yang dapat dipandang sebagian suatu jenis ijtihad). Dalam hal inilah politik dapat dibedakan dari agama. Maka dalam segi struktural dan prosedural politik itu, Dunia Islam sepanjang sejarahnya, mengenal berbagai variasi dari masa ke masa dan dari kawasan ke kawasan, tanpa satu pun dari variasi itu dipandang secara doktrinal paling absah (kecuali masa kekhalifahan Rasyidah).3

Hubungan antara agama dan politik yang tidak terpisahkan itu dengan jelas sekali terwujud dalam masyarakat Madinah. Muhammad S.A.W. selama sekitar sepuluh tahun di kota hijrah itu telah tampil sebagai seorang penerima berita suci (sebagai Nabi) dan seorang pemimpin masyarakat politik (sebagai Kepala Negara). Dalam menjalankan peran sebagai seorang Nabi, beliau adalah seorang tokoh yang tidak boleh dibantah, karena mengemban tugas suci dengan mandat dan wewenang suci. Sedangkan dalam menjalankan peran sebagai seorang kepala negara, beliau melakukan musyawarah --sesuai dengan perintah Allah-- yang dalam musyawarah itu beliau tidak jarang mengambil pendapat orang lain dan meninggalkan pendapat pribadi. Sebab dalam hal peran sebagai kepala

3

Nurkholis Majid. “Islam dan Politik Suatu Tinjauan Atas Prinsip-Prinsip Hukum dan Keadilan”. Artikel diakses pada tanggal 20 Januari 2009, dari http//islamdanpolktik.prinsip.nurkholis.html


(15)

negara atau pemimpin masyarakat itu pada dasarnya beliau melakukan ijtihad. Jika dalam kenyataan hasil ijtihad beliau hampir selamanya merupakan yang terbaik di antara para anggota masyarakat beliau, maka hal itu harus diterangkan sebagai akibat logis segi keunggulan kemampuan pribadi beliau selaku seorang manusia. Dan pengakuan memang banyak diberikan orang, baik dari kalangan Islam maupun bukan Islam, bahwa beliau adalah seorang jenius. Gabungan antara kesucian dan kesempurnaan tugas kenabian di satu pihak dan kemampuan pribadi yang sangat unggul di pihak lain telah membuat Nabi Muhammad saw. seorang tokoh yang paling berhasil dalam sejarah umat manusia.

Sebagaimana Rasulullah membangun negara Madinah, menarik kita mengkonklusikan pemikiran Ahmadiyah dalam peran agama dengan politik sebab secara teori Ahmadiyah lahir diakibatkan banyaknya kemerosotan agama dalam hal ini Islam dalam pentas kekuatan politik yang di tandai hancurnya kekhalifahan Turki Ustmani.

Gerakan pembaharuan dengan segala variannya muncul sejak masa kekhalifahan Utsman bin Affan ketika menerapkan kebijakan nepotisme dalam pemerintahannya. Ketika itu muncul beberapa golongan yang tidak menyetujui kebijakan Utsman, ditambah lagi terjadinya pertentangan kelompok Ali yang kurang mendukung kekuasaan Utsman. Puncaknya terjadi pada masa khalifah Ali bin Abi Thalib, dengan kemunculan golongan khawarij (golongan yang keluar dari jama’ah).


(16)

Dalam konteks politik, kemunculan sektarianisme merupakan akumulasi kekecewaan terhadap kebijakan penguasa. Pada masa Bani Umayyah, kelompok pendukung Ali disebut sebagai golongan Syi’ah diposisikan sebagai opasisi penguasa Umayyah. Konflik yang sengit antar

firqah kian mengemuka pada masa kekuasaan Abbasyiah dengan

kemunculan golongan Mu’tazilah yang bercorak rasionalistik. Golongan ini

vis a vis berhadapan dengan faham yang disokong oleh penguasa, yaitu Ahiussunah wal Jama’ah. Di samping itu hadir pula kalangan inkarussunah yang berhadapan dengan ahiussunah dengan pencetus Ahmad bin Hanbal.

Kehadiran Ahmadiyah merupakan reaksi yang hampir mirip dengan kehadiran golongan-golongan keagamaan pada awal-awal perkembangan Islam. Sebagai gerakan pembaharuan (menurut versi Ahmadiyah), Ahmadiyah lahir karena kekecewaan terhadap penguasa India yang berada dibawah imperialisme Inggris.

Perkembangan Ahmadiyah dalam kontek sosial politik keagamaan telah menjadi polemik berkepanjangan. Ahmadiyah didirikan oleh Hazrat Mirza Ghulam Ahmad Al-Qadiani, Mujadid abad 14 Hijriah yang bergelar Almasih dan Mahdi, berdasarkan ilham dari Allah SWT. yang beliau terima pada tanggal 1 Desember 1888. Pada saat ini Ahmadiyah tersebar di seluruh dunia, bahkan di Indonesia.

Setelah pendiri Gerakan Ahmadiyah wafat (26 Mei 1908), Gerakan Ahmadiyah dipimpin oleh Shadr Anjuman Ahmadiyah yang diketuai oleh Maulvi Hakim Nuruddin. Setelah beliau wafat pada tanggal 13 Maret 1914,


(17)

Shadr Anjuman Ahmadiyah dipimpin oleh Mirza Bashiruddin Mahmud Ahmad, putra pendiri Gerakan Ahmadiyah. Beberapa saat setelah ia terpilih, timbullah perbedaan pendapat yang penting dan mendasar. Karena pengakuannya sebagai perwujudan Imam Mahdi bahkan Ahmad yang tercantum dalam Qur’an Suci 61:6, maka terjadi friksi di tubuh Ahmadiyah.

Pendapat tersebut yang menyebabkan terjadinya perpecahan dalam Ahmadiyah. Mereka yang setuju terhadap pendapat tersebut dikenal sebagai Ahmadiyah Qadian, karena pusatnya di Qadian, India tetapi setelah Pakistan dan India merdeka pindah ke Rabwah sampai sekarang, meskipun Khalifahnya berada di Inggris. Kemudian mereka menyebut dirinya sebagai Jemaat Ahmadiyah.

Sedangkan mereka yang tak setuju terhadap pendapat tersebut tergabung dalam Ahmadiyah Anjuman Isya’ati Islam (Ahmadiyah, Gerakan Penyiaran Islam) yang berpusat di Lahore dan dikenal sebagai Ahmadiyah Lahore yang pada saat itu dipimpin oleh Maulana Muhammad Ali, M.A., LL.B., sekretaris Almarhum Hazrat Mirza Ghulam Ahmad. Menurut Ahmadiyah Lahore, Hazrat Mirza Ghulam Ahmad bukanlah Nabi, dia adalah seorang Mujaddid. Ahmad dalam Al-Qur’an adalah Nabi suci Muhammad saw. dan kaum Muslimin yang tidak bai’at kepada beliau tidaklah kafir.

Faham Ahmadiyah Anjuman Isya’ati Islam atau Ahmadiyah Lahore masuk ke Indonesia pada tahun 1924 dengan perantaraan dua muballigh, Mirza Wali Ahmad Baig dan Maulana Ahmad. Berkat rahmat


(18)

Allah, pada tanggal 10 Desember 1928 Gerakan Ahmadiyah Indonesia (sentrum Lahore) didirikan oleh Bapak R.Ng.H.Minhadjurrahman Djajasugita dkk. yang mendapat Badan Hukum Nomor 1X tanggal 30 April 1930.

Dalam melaksanakan aktivitas dakwahnya, GAI telah menerbitkan puluhan judul buku-buku agama dalam bahasa Belanda, Jawa dan Indonesia serta majalah-majalah. Di samping itu telah pula melahirkan Yayasan Perguruan Islam Republik Indonesia (PIRI) di Yogyakarta dan di berbagai daerah, yang menyelenggarakan pendidikan (sekolah) mulai tingkat Taman Kanak-kanak sampai perguruan Tinggi

Nama Ahmadiyah berasal dari nama sifat Rasulullah saw. -- Ahmad

(yang terpuji). Yakni yang menggambarkan suatu keindahan/kelembutan. Zaman sekarang ini adalah zaman penyebar-luasan amanat yang diemban Rasulullah saw. dan merupakan zaman penyiaran sanjungan pujian terhadap Allah Ta'ala. Era penampakkan sifat Ahmadiyah Rasulullah saw.

Kondisi Islam di India pada saat di jajah oleh Imperialisme Inggris benar-benar menyedihkan. Di satu sisi gerakan Kristenisasi sedang gencar-gencarnya berjalan di India dan menarik ratusan ribu orang masuk ke dalam agama Kristen dan di sisi lain serangan-serangan pihak Hindu terhadap Islam, Al-Quran dan terhadap wujud suci Nabi Muhammad Mustafa saw.

Kondisi inilah yang banyak mewarnai kehidupan awal daripada Hz.Mirza Ghulam Ahmad. Beliau banyak menelaah literatur-literatur yang berkaitan dengan agama-agama tersebut. Beliau secara personal banyak


(19)

terlibat dalam upaya-upaya untuk membela Islam dari serangan-serangan di kedua arah tersebut. Disamping itu beliau sendiri mengalami perkembangan rohaniah. Konteks berdirinya Ahmadiyah tidak terlepas dari pergolakan politik di India. Oleh karena itu, Ahmadiyah bukan saja sebuah spektrum gerakan pembaharuan keagamaan yang banyak disinyalir oleh orang, melainkan sebagai sebuah gerakan politik yang mengatasnamakan agama.

Tipologi gerakan politik Islam, atau setidak-tidaknyya di kategorikan sebagai sebuah gerakan politik, menurut Din Syamsuddin mengandung dua dimensi, pertama: bahwa kulturisasi Islam harus ditransformasikan ke dalam dunia politik atau domain politisasi; dan kedua: adanya upaya totalisasi ajaran Islam yang terdiri tidak hanya dari sistem ibadah tapi juga prinsip-prinsip aqidah, syari’ah, dan jalan hidup sehingga tidak memisahkan antara yang sakral dan yang profan.4

Berdasarkan asumsi di atas, gerakan Ahmadiyah telah memasuki gerakan politik Islam, atau organisasi keagamaan yang memiliki agenda besar dalam skala nasional bahkan internasional. Selain penafsiran yang dilakukan oleh Din Dyamsuddin, Ahmadiyah dapat di golongkan sebagai gerakan politik karena meliputi dua hal yaitu adanya sosialisasi ajaran yang dilakukan secara massif untuk menarik anggota Jemaat sebanyak mungkin. Gerakan perekrutmen di upayakan melalui jalan dakwah, penyebaran brosur, buku pamflet, pendirian Yayasan Perguruan Islam Republik Indonesia (PIRI) di Yogyakarta dan di berbagai daerah, yang menyelenggarakan

4


(20)

pendidikan (sekolah) mulai tingkat Taman Kanak-kanak sampai perguruan Tinggi.5

Kedua, Ahmadiyah menjalankan aktivitas sosial yang memiliki implikasi politis terhadap kemapanan agama-agama samawi, terutama Islam. Gejolak yang ditimbulkan dari gerakan Ahmadiyah mendatang dialektika epistemologis yang mengerucut pada pertentangan ideologis (the clash of ideology). Perspektif ini diambil dari konsep Samuel Huntington yang melihat pertentangan kapitalisme dan Islam sebagai tipologi pertentangan ideo-politik berskala global.6

Berdasarkan pandangan di atas maka diajukan judul penelitian sebagai berikut: Islam dan Politik dalam Perspektif Ahmadiyah.

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah

Mengingat kompleksitasnya permasalahan yang akan dibahas khususnya mengenai Ahmadiyah, maka penulis membatasi permasalahannya mengenai relasi Islam dan Politik menurut perspektif Ahmadiyah.

Dari pembatasan tersebut penulis merumuskan permasalahan : a. Bagaimana relasi Islam dan politik dari pandangan Ahmadiyah? b. Bagaimana Ahmadiyah bermetamorfosis menjadi sebuah gerakan

politik?

c. Apa yang melatarbelakang kelahiran Ahmadiyah di India?

5

Ahmad Shultoni, Gerakan Ahmadiyah Indonesia, (Yogyakarta: LkiS, 1999), h. 26

6


(21)

d. Bagaimana perkembangan Ahmadiyah di Indonesia pra dan pasca kemerdekaan?

e. Bagaimana polemik yang muncul di tengah konstelasi kehidupan sosial-politik di Indonesia terhadap keberadaan Ahmadiyah

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian a. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah :

1. Untuk mengetahui pandangan Ahmadiyah tentang relasi Islam dan politik.

2. Untuk mengetahui paradigma politik Islam Ahmadiyah.

3. Untuk mengetahui prkembangan gerakan Ahmadiyah di Indonesia sebagai gerakan politik keagamaan.

b. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan oleh penulis agar memberikan manfaat, antara lain :

1. Bagi Penulis, diharapkan hasil penelitian ini dapat memberikan perspektif yang baru dalam pengembangan ilmu politik kontemporer khususnya tentang hubungan Islam dan Politik

2. Bagi. Kaum agamawan, diharapkan penelitian ini menjadi khazanah yang mampu mendialogkan perbedaan keyakinan sebagai sesuatu yang tidak terelakkan dalam kehidupan bernegara.


(22)

3. Bagi ilmuwan politik Islam, diharapkan hasil penulisan ini memberikan nuansa baru dalam memahami perkembangan Ahmadiyah pada pespektif ilmu politik Islam.

D. Metode Penelitian

Dalam membahas skripsi ini, penulis menggunakan metode penelitian kepustakaan (Library Research), yaitu penulis berusaha memperoleh data-data dan informasi melalui literature-literatur kepustakaan, majalah-majalah maupun artikel-artikel yang berhubungan dengan masalah tersebut. Dalam pengolahan data ini penulis menggunakan metode deskripsi analisis.

E. Sistematika Penulisan

Dalam sistematika penulisan ini, agar lebih terarah dan terperinci terbagi kedalam bab-bab dalam tiap sub-babnya dijelaskan secara global.

Di dalam bab I yang diawali dengan pendahuluan, ini terdiri atas latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, metode penelitian serta sistematika penelitian.

Di dalam bab II terdiri dari pengertian politik, relasi Islam dan politik serta sistem politik Islam

Di dalam bab III terdiri dari sejarah berdirinya Ahmadiyah, profil Mirza Gulam Ahmad dan doktrin-doktrin Ahmadiyah, Perkembangan Ahmadiyah di Indonesia dan Perbedaan Aliran Ahmadiyah Qodian dan Lahore


(23)

Di dalam bab IV terdiri dari paradigma Islam dan politik, paradigma politik Islam Ahmadiyah dan relasi Islam dan politik menurut Ahmadiyah


(24)

BAB II KERANGKA TEORI : ISLAM DAN POLITIK

Pengertian Politik

Pada umumnya dapat dikatakan bahwa politik (politics) adalah bermacam-macam kegiatan dalam suatu sistem politik (negara) yang menyangkut proses menentukan tujuan-tujuan itu.7 Pengambilan keputusan (decision making) mengenai apakah yang menjadi tujuan dari sistem politik itu menyangkut seleksi antara beberapa alternatif dan penyusunan skala prioritas dari tujuan-tujuan yang telah dipilih itu.

Untuk melaksanakan tujuan-tujuan itu perlu ditentukan kebijaksanaan-kebijaksanaan umum (public policies) yang menyangkut pengaturan dan pembagian (distribution) atau alokasi (allocation) dari sumber-sumber dan resources yang ada.

Untuk melaksanakan kebijaksanaan-kebijaksanaan itu, perlu dimiliki kekuasaan (power) dan kewenangan (authority), yang akan dipakai baik untuk membina kerja sama maupun untuk meyelesaikan konflik yang mungkin timbul dalam proses ini. Cara-cara yang dipakainya dapat bersifat persuasif (meyakinkan) dan jika perlu bersifat paksaan (coercion). Tanpa unsur paksaan kebijaksanaan ini hanya merupakan perumusan keinginan (statement of intent) belaka.

7

Miriam Budiarjo. Dasar-Dasar Ilmu Politik.(Jakarta:PTGramedia Pustaka


(25)

Politik selalu menyangkut tujuan-tujuan dari seluruh masyarakat (public goals), dan bukan tujuan pribadi seseorang (private goals). Lagipula politik menyangkut kegiatan berbagai-bagi kelompok termasuk partai politik dan kegiatan orang seorang (individu). Perbedaan-perbedaan dalam definisi yang kita jumpai, disebabkan karena setiap sarjana meneropong hanya satu aspek atau unsur dari politik saja. Unsur itu diperlakukannya sebagai konsep pokok, yang dipakainya untuk meneropong unsur-unsur lainnya. Dari uraian di atas teranglah bahwa konsep-konsep pokok itu adalah: Pertama, Negara (state), Kedua, Kekuasaan (power), Ketiga, Pengambilan keputusan (decisionmaking), Keempat, Kebijaksanaan (policy,beleid) Kelima, Pembagian (distribution) atau alokasi (allocation).8

Sedangkan kata politik itu sendiri dan diambil dari bahasa Yunani atau Latin “politicos” yang berarti “relating to citizen”.keduanya berasal dari kata polis yang berarti kota. Dalam kamus besar bahasa Indonesia mengeartikan kata politik sebagai pengetahuan mengenai ketatnegaraan atau kenegara (seperti sistem pemerintahan, dasar pemerintahan). Atau juga, segala urusan dan tindakan kebijaksanaan siasat dan sebagainya mengenai pemerintahan.9

Sedangkan Ramlan Surbakti mengartikan politik yaitu: Pertama, politik ialah usaha-usaha yang ditempuh warga negara untuk membicarakan dan mewujudkan kebaikan bersama. Kedua, politik ialah segala hal yang berakaitan dengan penyelenggaraan negara dan pemerintahan. Ketiga, politik

8

Miriam Budiarjo. Dasar-Dasar Ilmu Politik.h 9

9


(26)

sebagai segala kegiatan yang diarahkan untuk mencari dan mempertahankan kekuasaan dalam masyarakat. Keempat, politik sebagai kegiatan yang berkaitan dengan perumusan dan pelaksanaan kebijakan umum. Kelima,

politik sebagai konflik dalam rangka mencari dan/atau mempertahankan sumber-sumber yang dianggap penting.10

David Easton mengatakan : politik adalah keseluruhan dari interaksi-interaksi yang mengatur pembagian nilai-nilai secara autoratif (berdasarkan wewenang) untuk dan atas nama masyarakat. Sedangkan Al Ghazali memakai kata siyasah

(politik) lebih luas dari pada makna politik dalam pengertian yang lebih popular sekarang. Siyasah atau politik diartikan dengan segala hal ihwal, seperti memperbaiki kehidupan makhluk Tuhan dan menunjukkan ke jalan yang benar yang menyelamatkan mereka di dunia dan akhirat.11

Selain kata politik, dalam masyarakat Indonesia dikenal pula kata

siyasah yang berasal dari bahasa Arab. Pemakaian kata siyasah jauh lebih tua dari perkataan yang memiliki arti senada politik. Namun kepopuleran dan keluasan pemakaiannya tidak mengimbangi perkataan sesudahnya itu. Siyasah

pada awalnya hanya mengandung arti muslihat dan segala macam usaha serta ikhtiar untuk mencapai sesuatau atau menyelesaikan suatu perkara. Tetapi pada akhirnya cenderung mengandung arti kenegaraan sebagai halnya perkataan politik.

10

Ramlan Surbakti. Memhami Ilmu Politik,(Jakarta: PT Gramedia Widiasarana Indonesia,1992). cet.I.h. 1-2

11

Maftuhin, Prinsip Moral dalam Politik Islam (Kajian Terhadap Pemikiran al-Gazali),(Skripsi S1, FUF UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,2005),h.17


(27)

Siyasah berasal dari bahasa Arab yang merupakan masdar dari kata

sasayasusu yang mengandung arti kepemimpinan. Pelakunya disebut sa’is

berarti pemimpin yang menangani urusan rakyatnya yang mendatangkan kemaslahatan bagi mereka. Jadi siyasah adalah ilmu memerintah, yaitu kewajiban menangani sesuatu yang mendatangkan kemaslahatan. Dia harus dipegang oleh orang yang mengerti betul tentang dasar-dasar pengetahuan dan peraturan-peraturan dalam negara.12

Dalam perbendaharaan bahasa Indonesia kata siyasah mempunyai arti yang berbeda dengan siasat. Siyasah mempunyai arti politik, sedangkan

siasat artinya adalah kebijaksanaan atau kecerdikan dalam menyampaikan suatu maksud atau untuk memperoleh sesuatu. Jadi perbedaan mendasar antara siyasah. Siasat diartikan segala macam muslihat di dalam berbagai lapangan, yang biasa disebut “taktik”, sedangkan siyasah mempunyai arti yang terbatas, ialah soal kenegaraan yang dinamika”politik”.

Dari penjelasan diatas sangat jelas bahwa politik atau siyasah merupakan pola kenegaraan yang didalamnya terdapat seperangkat pengaturan sosial dalam masyarakat.

Islam dan Politik

Dalam sejarah agama-agama, pertautan antara politik dan agama muncul pada politik para raja dan pemimpin untuk melanggengkan kekuasaan

12


(28)

mereka. Mereka menafsirkan dalil dan doktrin agama-agama sesuai dengan kemauan mereka dengan tujuan untuk melindungi kepentingan politik mereka. Dalam sejarah Islam, politisasi agama sudah berlangsung sejak awal perkembangan Islam. Para raja dan khalifah berusaha melanggengkan kekuasaan mereka dengan berbagai cara: menafsirkan secara politis dalil al-Qur’an dan Hadits sesuai kepentingan para penguasa. Diantaranya adalah ayat yang berbunyi “Taatlah kepada Allah dan para penguasa di antara kalian”. Para penguasa menafsirkan ayat ini bahwa para penguasa harus dipatuhi apa dan bagaimana pun cara mereka memimpin. Ayat ini kemudian oleh para kritikus disebut “ayat al-umara” (ayat para penguasa).

Watt menggambarkan hubungan agama dan politik dalam Islam dalam bukunya “Islamic Political Thought”. Pertama, gagasan keagamaan menjadi semacam kerangka ideologis ketika terlibat dalam bermacam aktivitas, sehingga aktivitas yang dilakukan memperoleh arti penting.Kedua, agama dapat menentukan bentuk-bentuk motif Islam aktivitas yang akan dilakukan. Adanya signifikansi agama dalam politik, diakui oleh Watt bukan karena agama memberikan penjelasan yang sifatnya terinci terhadap semua hal,tetapi karena agama memberikan berbagai tujuan umum kepada manusia dalam kehiduan dan membantunya memusatkan kekuatan untuk mencapai berbagai tujuan tersebut.

Robert N Bellah menyatakan bahwa masyarakat Islam klasik adalah modern secara politis. Tidak lagi dipersoalkan, demikian ia menegaskan dalam bukunya “Beyond Belief”, bahwa di bawah Nabi masyarakat Arab telah


(29)

membuat lompatan jauh ke depan dalam kecanggihan sosial dalam kapasitas politik.Demikian juga tidak terlalu mengherankan, jika umat Islam menjadikan sejarah politik Islam dalam periode Nabi sebagai model ideal yang senantiasa diidamkan sepanjang sejarah Pemikiran politik Islam seperti juga pemikiran Islam dan gerakan Islam pada umumnya dapat dilihat sebagai hasil dari kelanjutan dan perubahan yang berlangsung dalam sejarah Islam.13

Di Indonesia, istilah Islam politik sering kali dilawankan dengan Islam kultural. Islam politik secara umum dapat dipahami sebagai Islam yang ditampilkan sebagai basis ideologi yang kemudian dalam bentuk partai politik, atau Islam yang berusaha diwujudkan dalam kelembagaan politik resmi (eksekutif dan legislative). Sedangkan Islam kultural merujuk pada Islam yang hanya bergerak di bidang dakwah, pendidkan, seni dan sebagainya tanpa sama sekali terlibat dalam politik.

Islam dan politik pertama kali digulirkan oleh kalangan Barat yang menguasai berbagai negeri Islam, yang mengatakan bahwa Islam adalah agama bukan negara. Di Indonesia, istilah Islam politik seringkali dilawankan dengan Islam kultural. Islam politik secara umum dapat dipahami sebagai yang ditampilkan sebagai basis ideologi yang kemudian dalam bentuk partai politik, atau Islam yang berusaha diwujudkan dalam kelembagaan politik resmi (eksekutif dan legislative). Sedangkan Islam kultural merujuk pada Islam yang hanya bergerak di bidang dakwah, pendidikan, seni dan sebagainya tanpa sama sekali terlibat dalam politik.

13

Irfan Indris. “Paradigma Pemikiran Politik Islam Modern” artikel di akses pada tanggal 22 Januari 2009, dari http://cetak.fajar.co.id/news.php?newsid=84233


(30)

Islam berasal dari kata salam yang berarti tunduk atau berserah diri pada Allah, atau menerima semua peraturan Tuhan sebagai petunjuk bagi kehidupan seseorang, taat sepenuh hati, akan keadaan noda dan cela.14

Menurut Hasan al-Banna seperti yang dikutip oleh Yusuf Qardhawy mengatakan Islam adalah sesuatu yang syumul (menyeluruh), mencakup semua aspek kehidupan dengan syariat dan pengarahannya. Islam menata kehidupan manusia sejak dia dilahirkan sampai meninggal dunia. Bahkan sebelum ia dilahirkan dan sesudah meninggal dunia.15 Selain itu Islam menata kehidupan individual, kehidupan keluarga, kehidupan sosial dan politik, mulai beristinja sampai kepada pemerintahan.

Hasan Al-Banna juga menyatakan bahwa ada perbedaan yang mendasar antara kepartaian dan politik. Keduanya mungkin bisa bersatu dan mungkin bisa berseteru. Ketika Hasan al-Banna berbicara tentang politik praktis pada kesempatan ini, maka yang dikehendaki adalah politik secara umum. Yakin melihat persoalan-persoalan umat, baik internal maupun eksternal yang sama sekali tidak terkait dengan hizhiyah (kepartaian). Ini yang pertama.

Kedua, Takala orang-orang nonmuslim awam tentang Islam, oleh urusan dan kokohnya Islam yang menancap di dalam jiwa para pengikutnya, atau kesiapan berkorban dengan harta dan jiwa demi tegaknya, maka mereka tidak berusaha untuk melukai jiwa-jiwa kaum muslimin dengan menodai

14

IAIN Syarif Hidayatillah, Ensiklopedi Islam, (Jakarta: Jambatan, 1992), h. 445

15

Yusuf Qardhawy, Fikih Negara: Ijtihad Baru Seputar Sistem Demokrasi Multi Partai dan Keterlibatan Wanita di Dewan Perwakilan Partisipasi dalam Pemerintahan Sekuler, terj, Syafril Halim, (Jakarta: Rabbani Press, 1997), h.18


(31)

nama Islam, syariat, dan undang-undangnya. Namun mereka berusaha membatasi substansi makna Islam pada lingkup sempit yang menghilangkan semua sisi kekuatan operasional yang ada di dalamya. Kendati setelah itu yang tersisa bagi kaum muslimnin adalah kulit luar dari bentuk dan performa yang sama sekali tidak berguna.16

Sedangkan menurut Moh. Mufid, M.Si, ada dua pandangan berbeda yang mengkaji masalah legitimasi dalam politik, yaitu: pertama, Barat (Eropa) dengan ciri skularistiknya berpendapat bahwa pengakuan terhadap suatu pemerintahan adalah pengakuan yang berasal dari rakyat. Artinya, ketika seseorang dalam sebuah pemilihan umum secara mayoritas memperoleh suara terbanyak, maka sejak itu pula ia berhak memperoleh tampuk kekuasaan.

Kedua, legitimasi kepemimpinan/kekuasaan dalam perspekitf

pemikiran politik Islam berbeda dengan Barat. Bagi kelompok ini legitimasi berasal dari dua sumber, yaitu Tuhan dan manusia. Yang pertama menjadi keyakinan syiah, bahwa kepemimpinan itu berasal; dari Tuhan, karenanya mempunyai sifat dan fungsi keagamaan dan ditransmisikan lewat keturunan Nabi Muhammad lewat jalur Ali bin Abi Thalib. Yang kedua merupakan preferensi Sunni yang memandang bahwa kepemimpinan merupakan hasil kesepakatan masyarakat (ijma’) melalui para elit.17

Moh.Mufid,M.Si juga memandang hubungan agama dan politik (negara) dengan tiga paradigma. Yaitu : Pertama, paradigma integrative,

16

Hasan Al Banna. Risalah Pergerakan Ikhwanul Muslimin. Terj. Anis Matta, LC.et.all (Surakarta:Era Intermedia, 1999). h.70

17


(32)

kedua, paradigma simbiotik, dan ketiga,paradigma instrumental. 18 Dalam paradigma pertama dan kedua hubungan agama dan politik (negara) merupakan hubungan kemitraan yang saling membutuhkan antara keduanya tidak dapat dipisahkan, dalam pengembangan dan eksistensi suatu negara, agama sering dijadikan faktor penentu yang paling dominan. Karenya, baik keberadaan agama maupun politik (negara) dalam prakteknya saling melengkapi kebutuhan satu salam lain. Sementara dalam paradigma yang terakhir, agama hanya sebatas menjadi pelengkap kebutuhan suatu negara begitupun juga sebaliknya.

Maka mereka berusaha memberikan pemahaman kepada kaum muslimin bahwa Islam adalah sesuatu, sementara masalah sosial adalah sesuatu yang lain. Islam adalah sesuatu dan perundang-undangan adalah sesuatu yang lain. Islam adalah sesuatu dan masalah-masalah ekonomi sesuatu yang lain, yang tidak ada hubunganya sama sekali. Islam adalah sesuatu dan peradaban bukan bagian darinya. Islam adalah sesuatu yang harus berada pada jarak yang jauh dari politik.

Maka Islam dan politik itu, pada dasarnya tidak terpisahkan. Islam tidak pernah memisahkan antara kegiatan profan dan sakral. Seperti halnya al-Ghazali yang telah menghubungkan ilmu politik secara erat dengan agama. Karena pegangan dari semua ilmu itu ialah ajaran kitab-kitab suci yang diturunkan Tuhan kepada para Nabi dan ucapan-ucapan yang ditinggalkan oleh orang-orang yang suci.

18


(33)

C. Sistem Politik Islam

Berbicara tentang sistem politik islam, para pengamat Islam telah menulis sejumlah buku tentang teori politik islam dalam beberapa topik, seperti : sistem pemerintahan, hubungan pemerintah dengan rakyat dan jenis kekuasaan dalam islam (batasan dan tugas-tugas).19

Agaknya sudah merupakan kebiasaan orang-orang tertentu untuk agak menyamakan Islam dengan salah satu sistem kehidupan tertentu atau sistem kehidupan lainnya yang dewasa ini tengah menjadi wacana kontemporer. Ada yang mengatakan bahwa Islam adalah sebuah demokrasi, dan yang mereka maksudkan dengan ini adalah bahwa tidak ada perbedaan antara Islam dengan demokrasi yang kini tengah naik daun di barat. Beberapa orang lainnya menyatakan bahwa komunisme tidak lain merupakan versi lain dari Islam yanag telah direvisi dan sangatlah cocok bagi kaum muslim untuk meniru eksperimen-eksperimen komunis soviet rusia. Yang lainnya lagi membisikan bahwa Islam mengandung unsur-unsur kediktatoran dan kita harus membangun kembali adat “taat kepada amir (pemimpin)”.20

Seorang orientalis terkemuka, V. Fitzgerald dalam bukunya Mohamedian Law, mengatakan bahwa Islam bukanlah semata agama (a

religion), namun juga merupakan sebuah sistem politik (a political sistem).

Meskipun pada dekade-dekade terakhir ada beberapa kalangan dari umat

19

Empan Supandi. Islam dan Politik (Kajian Tentang Pemikiran Politik Al Ghazali.”,(Skripsi SI Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, Universitas Islam Negeri,Jakarta,, 2006),h.16-26

20

Abu A’la Al Maududi. Hukum dan Konstitusi Sistem Politik Islam. terj. Drs.Asep Hikmat (Bandung : Mizan,1995). Cet.IV. h.144


(34)

Islam yang mengklaim sebagai kalangan modernis, yang berusaha memisahkan kedua sisi itu, namun seluruh gagasan pemikiran Islam dibangun atas fundamen bahwa kedua sisi itu saling bergandengan dengan selaras dan tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lain.

Pernyataan tersebut diperkuat oleh Joseph Schacht, seorang orientalis lainnya, yang berpendapat bahwa Islam lebih dari sekedar agama, ia mencerminkan teori-teori perundang-undangan dan politik. Dalam ungkapan yang lebih sederhana Islam merupakan sistem peradaban yang lengkap, yang mencakup agama dan negara secara bersamaan. Dengan demikian, seperti yang di kemukakan oleh H. A. R. Gibb, jelaslah bahwa Islam bukanlah sekedar kepercayaan agama individual, namun ia meniscayakan berdirinya suatu bangunan masyarakat yang independen. Ia mempunyai metode tersendiri dalam sistem kepemerintahan, perundang-undangan dan institusi.

Pendapat dari para orientalis tersebut diperkuat oleh fakta-fakta sejarah. Misalnya sistem politik yang dibangun oleh Rasulullah SAW bersama kaum Mukmin di Madinah jika dilihat dari segi praksis dan diukur dengan variabel-variabel sistem politik modern, maka dapat dikatakan bahwa sistem itu adalah sistem politik par excellence, tetapi juga tidak disangkal jika

dikatakan sebagai sistem relegius, karena dilihat dari tujuan-tujuan dan motif-motif dan fundamental maknawi tempat sistem itu berpijak.

Sebagai sebuah sistem politik dalam perjalanan sejarahnya Islam diwarnai dengan dinamika pemikiran politik, seperti halnya perjalanan sejarah pemikiran politik agama-agama lain. Pemikiran politik Yahudi,


(35)

Kristen, dan juga Islam tidak terlepas dari unsur kesejarahannya. Teori-teori politik tidak muncul begitu saja tetapi merupakan satu rangkaian proses dengan fenomena dan kejadian kesejarahan yang dikaji dan diteorisasi secara sistematis. Teori-teori politik yang muncul di Barat sebagaimana telah dimunculkan oleh Hocker, Hobbes, Locke, dan Rousseou merupakan kecenderungan-kecenderungan politik mereka dan perhatian mereka terhadap relasi nilai dan kekuasaan, agama dan kekuasaan, ideologi dan kekuasaan, kepentingan dan kekuasaan, yang sangat menonjol terjadi di zamannya, di negara-negara mereka atau di negara-negara yang menjadi perhatian mereka.

Mustafa Muhammad dalam bukunya Rekonstruksi Pemikiran

Menuju Gerakan Islam, mengatakan bahwasanya sistem politik Islam adalah

suatu sistem yang bertolak dari kaidah-kaidah umum, yakin kebebasan, kesetaraan, keadilan, dan supremasi hukum. Juga konsistensi terhadap pemilihan pemimpin, dan bahwa pemerintah adalah pelaksana hukum dan perundang-undangan, pelindung agama dan bertanggung jawab terhadap rakyat. Di antara rakyat adalah memberi nasihat, mengevaluasi, memecat dan menggantinya, jika diperlukan. Sistem politik harus ditegakkan di atas prinsip syura, dan syura menjadi sesuatu yang harus ditegakkan oleh penguasa.21

Abu A’la al-Maududi mengatakan bahwasanya sistem politik Islam merupakan suatu sistem yang berlandaskan akidah, karena akidah merupakan suatu sistem yang berlandaskan akidah, karena akidah merupakan suatu sistem

21

Mustafa Muhamad, Rekonstruksi Pemikiran Menuju Gerakan Islam Modern, (Solo: Era Intermedia,2000), cet ke-1, h. 47


(36)

politik Islam yang ditegakan oleh rasul. Aspek-aspek lain berkisar disekelilingnya. Akidah inilah yang menjadi landasan pijakan dan paradigma teori politik Islam. akidah juga merupakan dasar undang-undang politik Islam yang telah melahirkan bentuk ketahanan politik dan hukum ciptaan manusia, baik secara individu (ijtihad fardli) maupun kelompok (ijtihad jam’I). Namun seseorang tidak mempunyai otoritas dalam memeaksakan kehendaknya yang menginginkan ijtihadnya diikuti dan dipatuhi. Pembuatan hukum Islam mutlak menjadi hak Allah, dan tidak ada campur tangan manusia.22

Dari keterangan di atas dapat disimpulkan bahwasannya al-Maududi dalam menjelaskan tentang sistem politik Islam adalah suatu sistem yang bermuara pada ketentuan (undang-undang)yang terdapat dalam al-Qur’an.

Al-Nabani mengatakan bahwasannya sistem politik Islam adalah sistem yang membicarakan tentang kekhalifahan dan konsep-konsep pemerintahannya. Konsep pemerintahan Islam adalah sistem ”khilafah”, yang mempuyai pola yang unik yang berbeda dari pola pemerintahan lainnya. Syariat yang diterapkan untuk mewujudkan pemerintahan. Pengaturan urusan rakyat dan hubungan luar negerinya, berasal dari Allah Swt. Syariat tersebut bukan dari rakyat, bukan dari beberapa orang, atau seseorang. Sedangkan ciri-ciri khas khliafah yang menurut as-Sanhuri, ialah prinsip kesatuan umat.

22

Abul A’la al-Mandudi, Politik Alternatif: Suatu Perspekif Islam, (terjemahan), (Jakarta:Gema Insani Press, 1994), Cet. Ke-11, h. 35


(37)

D.

Polemik Tentang Relasi Agama dalam Konteks

Negara-Bangsa

Perdebatan antara relasi agama dalam konteks negara adalah sebuah perdebatan panjang yang melelahkan. Diskursus politik kontemporer pun tidak terlepaskan dari perdebatan tersebut, antara pihak yang memisahkan agama dari politik, dan menjadikan agama sebagai jiwa spiritual penentu aturan moral kemasyarakatan dan konstitusi.

Ada golongan yang memandang agama sebagai sebuah ajaran yang bersifat universal, sehingga konteks kehidupan politik harus dijiwai oleh nilai-nilai agama. Golongan ini disebut dengan formalisme yakin sebuah aliran yang berpandangan Islam harus menjadi landasan kehidupan bernegara, Islam menjadi basis konstitusional negara. Praktek-praktek dalam konteks ketatanegaraan harus dijiwai oleh nilai-nilai Islam. Tidak ada tempat buat faham sekulerisme. Tokoh-tokoh yang mengusung tema besar ini adalah M.Natsir dari Masyumi.

Ada juga golongan yang memandang bahwa agama harus dipisahkan dari negara. Alasannya sederhana, bahwa wilayah agama adalah wilayah private (pribadi) karena menyangkut keyakinan akan nilai-nilai supranatural. Sedangkan wilayah negara adalah domain publik yang membutuhkan kesepakatan bersama berlandaskan rasionalitas, kemakmuran, dan keadilan. Perbedaan wilayah publik dan privat menjadi keharusan adanya pemisahan yang tegas yang cenderung bersifat sekularistik.


(38)

Golongan lain adalah menjadi penengah di antara kedua arus besar tersebut yang bercorak nilai substansialistik. Artinya, golongan kedua ini membutuhkan ajaran agama sebagai asas moralitas dan etika dalam konteks politik kenegaraan. Biarpun tidak dilegalkan secara formal, namun nilai-nilai agama melandasi setiap keputusan hukum, Undang-undang, bahkan ideologi negara.

Dalam sejarah pembentukan negara modern Indonesia, polemik seputar kedudukan agama dalam sistem politik kenegaraan terjadi antara Soekarno yang mewakili kaum nasionalis dengan Natsir dari golongan agama.23 Perdebatan itu muncul sekitar tahun 1930.

Berbicara singkat tentang hubungan Islam dan negara, Natsir mengatakan bahwa agama lain dijamin hidupnya dalam suatu negara Islam. Ia berseru kepada golongan kebangsaan agar kembali ke dalam lingkungan Islam, apalagi karena bagian terbesar mereka adalah orang Islam.24 Ia meragukan adanya jaminan perlindungan terhadap Islam dalam suatu negara yang pemerintahannya dipegang oleh negara yang netral atau dibawah kendali non-Muslim.

Sedangkan soekarno menekankan bahwa landasan kebangsaan berdasarkan pada nasionalisme yang luas yang meliputi semua golongan Islam, kristen, Hindu, Buddha dengan berasaskan konstitusi modern legar-formal, bukan berasaskan kepada ajaran agama Islam. Rujukan Soekarno adalah berdirinya negara modern Turki dengan Kemal Attaturk yang menjadi

23

Perdebatan panjang tersebut dapat dilihat dalam karya Deliar Noer, Gerakan Moderen Islam di Indonesia 1990-1942, (Jakarta: LP3ES, 1995), h. 296-311

24


(39)

pioner. Soekarno mengganggap tidak ada ijma’ ulama yang mengenai persatuan agama dengan negara, dan ada juga yang mengatakan agama dan negara terpisah karena memiliki dimensi yang berbeda.25

Zaid Sakhir menjelaskan posisi agama dalam negara dengan argumentasi apakah Islam sebuah agama atau ideologi.26 Sebaggai sebuah agama Islam meliputi aspek keyakinan, peribadatan, moralitas, aturan kemasyarakatan, dan aspek-espek yang lainnya dalam skala yang lebih luas. Namun di sisi lain, sebagai salah satu agama terbesar di dunia, Islam dikatakan sebagai sebuah ideologi apabila menghadirkan teori yang dapat diterpakan yang bersifat lengkap dan universal bagi umat manusia. Ia berkata:

Islam is indeed an ideology as it presents a “complete and universally applicable theory of man and society.” However, the relevant realm of action and thought for an ideology is the political, as Scruton points out. This limitation to the political realm marks where Islam parts with ideology. Islam is not simply concerned with man’s political condition; it is also concerned with his spiritual condition, and at the heart of the Islamic call is a normative program for spiritual salvation.27

Secara umum hubungan antara Islam dan Negara serta politik dapat dibedakan kepada tiga golongan: Pertama, golongan formalistik yaitu golongan yang ingin menjadikan Islam sebagai sebuah konstitusi resmi Negara, tidak sebatas jargon tetapi ditempatkan sebagai aturan hukum tertinggi dalam sistem ketatanegaraan. Golongan Hizbut Tahrir, M. Natsir, dan tokoh-tokoh Masyumi lain; Kedua, golongan substansialistik, bagi golongan ini yang terpenting bukan menjadikan agama sebagai legal-formal dalam konteks Negara, melainkan sebuah upaya gerakan –meminjam istilah Quraish

25

Deliar Noer, Gerakan Moderen Islam di Indonesia,.h. 303

26

Zaid Sakhir, Islam: Religion or Ideology?, Zaituna Institute terbit 25 Juli 2006, h. 2

27


(40)

Syihab “membumikan Al-Qur’an”—kulturisasi nilai-nilai keIslaman yang tertanam kuat di tengah masyarakat. Tokoh penganjur utama adalah Gus Dur, Amien Rais, NU, Muhammadiyah, Cak Nur; dan ketiga, golongan fundamentalis, yaitu yang mengidolakan kondisi Madinah sebagai bentuk Negara ideal dalam struktur Negara bangsa modern. Kebanyakan golongan ini lebih bergerak di bawah tanah seperti NII atau juga Ahmadiyah.


(41)

BAB III

HISTOGRAFI AHMADIYAH

Sejarah Berdirinya Ahmadiyah

Jemaat Ahmadiyah adalah gerakan Islam yang di dirikan oleh Mirza Gulam Ahmad pada tahun 1889 M bertepatan dengan tahun 1306 H. Ahmadiyah adalah sebutan singkat dari Jemaat Ahmadiyah. Jemaat berarti kumpulan individu yang bersatu padu dan bekerja untuk suatu program bersama. Ahmadiyah adalah nama dari Islam, jadi Ahmadiyah adalah suatu perkumpulan, himpunan atau organisasi yang bersatu padu dan bekerja untuk suatu program yang sama, yaitu Islam. Ahmadiyah diambil dari salah satu nama Rosulullah yang diinformasikan kepada Nabi Isa a.s dalam Surat As-Shaf ayat enam yang menyatakan bahwa akan datang seorang Nabi dan Rosul yang bernama Ahmad.

Kemunculan Ahmadiyah di India merupakan salah satu bagian dari peristiwa sejarah dalam Islam yang tidak terlepas dari konteks sosial pada saat itu. Kemunduran dunia Islam yang ditandai oleh runtuhnya kerajaan Ustmani 1683. Sementara di Barat perkembangan ilmu pengetahuan dan industri semakin berkembang pesat, yang ditandai dengan berbagai macam penemuan yang antara lain ditemukannya alat tranportasi dengan menggunakan tenaga uap pada tahun 1902 M dan penemuan-penemuan yang lainnya. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi tersebut menyebabkan Barat semakin melebarkan kekuasaan kolonialnya kedunia yang pernah dikuasai oleh Islam.


(42)

Seperti Inggris dapat menjajah India dan Mesir, Prancis dapat menguasai Afrika Utara, dan bangsa-bangsa Barat lainya menduduki bekas Imperium Islam.

Kerajaan Islam yang menguasai anak benua India adalah kerajaan Mughal (1526-1858 M) yang saat itu sedang menuju kehancuran. Hal ini disebabkan oleh beberapa hal. Pertama, melemahnya pemerintahan karena dekadensi moral dan polah hidup mewah para pejabat pemerintah pasca

Aungrazeb. Kedua, adanya pemberontakan yang dilakukan secara terus

menerus oleh golongan Hindu dan Sikh di India. Walaupun India berada dalam wilayah kekuasaan kerajaan Islam Mughal, tetapi mayoritas penduduknya masih beragama Hindu, sebagain lain beragama Kristen, Budha, Sikh. Tercatat telah terjadi pemberontakan Sikh yang dipimpin Guru Tgh Bahdur dan Guru Gobin Singh. Golongan Rajput juga mengadakan pemberontakan dibawah pimpinan raja Udaipur, sedangkan golongan Maratah di pimpin Sivaji dan anaknya yang bernama Sambaji. Pada masa pemerintahan raja Bahdur Syah juga terjadi pemberontakan dari golongan Sikh dibawah pimpinan Bandah yang berhasil merampas kota Sadhaura di sebelah utara Delhi, dan mengadakan perampasan serta pembunuhan terhadap penduduk yang beragama Islam di kota Sirhind. Selain itu golongan Maratah yang dipimpin Raji Rao dapat merampas sebagian daerah Gujarat tahun 1732 M.

Ketiga, adanya campur tangan Inggris yang datang ke India sejak Abad ke 15, terutama setelah pecahnya revolusi India yang terkenal dengan pemberontakan Munity 1857 M. Pemberontakan ini berakhir dengan kemenangan East India


(43)

Company, dimana Inggris menjadikan India sebagai salah satu keoloninya yang terpenting di dunia. Dengan runtuhnya kerajaan Mughal di India maka secara otomatis runtuh pula kekuasaa Islam dan inilah periode kemerosotan ummat Islam. Secara otomatis dengan berkuasanya Inggris di India maka sistem pemerintahannya pun berganti dan masuknya kebudayaan Eropa kedalam India.

Pada masa India berada dalam kekuasaan Inggris terjadi gerakan misi-misi Kristenisasi yang terjadi hal ini bukan hanya di India akan tetapi di seluruh dunia yang dilakukan sejak tahun 1804 M, khususnya ketika British and Foreign Society terbentuk.28 Kelompok Kristen menetapkan pada tahun 1813-1815 M sebagai The Great Century of World Evangelization (Abad Agung Penginjilan Dunia), dimana anak benua India merupakan sebuah sasaran yang dijadikan sebuah proyek besar bagi gerakan penginjilan atau kristenisasi, sehingga jutaan orang masuk kedalam agama Kristen melalui gerakan missionaris Kristen. Ketika terjadi pergerakan Kristenisasi di India kondisi umat Islam semakin mengalami kemunduran, kelompok Neo-Hindu bermunculan, diantara yang paling militan dan agresif adalah sekte Arya Samaj merupakan gerakan yang ingin mengembalikan kemurnian agama Hindu dan menampilkan sebagai suatu kebanggaan nasional India, menentang pemahaman-pemahaman Hindu Brahma yang ortodoks dan sering melancarkan serangan besar-besaran terhadap ajaran Kristen dan Islam.

28


(44)

Gerakan ini sudah berkembang dari tahun 1819 M yang dipimpin oleh Swami Dayananda Saraswati yang diberi gelar Hindu Luther oleh para penentangnya.

Kondisi umat Islam India pada saat itu, mengalami dekadensi moral dan sekaligus kemunduran dari segi intelektualitas. Sering terjadi perpecahan dalam diri umat Islam sendiri disebabkan oleh perbedaan-perbedaan pandangan. Di tengah keadaan sosial dan politik India seperti di atas tadi Ahmadiyah di lahirkan dengan berorientasi pada pembaharuan pemikiran dan juga sebagai protes terhadap gerakan kaum misionaris Kristen dan juga sebagai protes terhadap paham rasionalis dan westernisasi yang dibawah oleh Sayyid Ahmad Khan yang merupakan pelopor menerapkan ide-ide pembaharuan demi kemajuan umat Islam di India dengan Aligarh-nya. Pusatnya ialah Muhammedan Anglo Oriental Colloge yang kemudian menjadi Universitas di India.

Orientasi kelahiran Ahmadiyah adalah pembaharuan pemikiran ummat Islam. Pendiri Ahmadiyah Mirza Gulam Ahmad merasa memiliki tanggung jawab besar yang harus dia pikul untuk memajukan Islam dengan memberikan interpretasi baru terhadap ayat-ayat Al-Qur’an sesuai dengan zamannya, dengan menulis kitab yang dijadikan rujukan utama setelah Al-Qur’an nomor dua yaitu Tadzkirah.

Tokoh-tokoh Ahmadiyah

Mengingat aliran bernama Ahmadiyah ini telah memunculkan kontroversi tidak saja di Anak Benua (India-Pakistan), bahkan di Afrika dan


(45)

Eropa, tetapi juga di berbagai belahan dunia lainnya termasuk Indonesia, maka menelisik tokoh sekaligus pendirinya jelas sangat penting. Dari perspektif historis, gerakan Ahmadiyah didirikan oleh Mirza Ghulam Ahmad pada paruh akhir tahun abad ke-19 M. jauh hari sebelum terjadi pemisahaan Anak Benua yang sekarang menjadi Pakistan.

Mirza Ghulam Ahmad lahir pada saat shubuh, bertepatan pada hari Jum’at tanggal 13 Februari 1835 M yang dalam kalender Islam tepat pada 14 Syawal 1250 H di Qadian India.29 Qodian adalah sebuah desa yang terletak di distrik Gurdaspur Punjab India, Jaraknya 100 km disebelah Timur laut kota Lahore. Asal usul kata Qadian berasal dari nenek moyang Mirza Gulam Ahmad yang bernama Mirza Hadi Beg yang diangkat sebagai qadhi (hakim) maka tempat itu disebut Islampur Qadhi yang dalam perkembangan selanjutnya hanya terkenal dengan Qadhi berubah manjadi Qadian ini karena logat daerah tersebut.

Mirza Gulam Ahmad ayahnya bernama Mirza Ghulam Murtadha yang meninggal pada tahun 1876, merupakan seorang tabib yang sangat terkenal. Ibunya bernama Ciraagh Bibi, sedangkan kakeknya adalah Mirza Atha Muhammad bin Mirza Gul Muhammad adalah keturunan Haji Barlas.30 Yang berasal dari keluarga Moghul. Haji Barlas adalah raja kawasan Qesh yang merupakan paman Amir Tughlak. Ketika penyerangan terjadi Haji Barlas sekeluarga terpaksa mengungsi ke Khurasan dan Samarkhan yang kemudian

29

A. Nahdi, Sejemput Riwayat dan Mukjizat Pendiri Ahmadiya., (Jakarta: Raja Pena, 2001).h. 4

30

Basyiruddim Mahmud Ahmad, Riwayat Hidup Mirza Ghulam Ahmad, terj. Malik Aziz Ahmad Khan. (Parung: Jamaah Ahmadiyah Indonesia, 1995).h. 2.


(46)

menetap disana. Pada tahun 1503 M seseorang keturunan Haji Barlas yang bernama Mirza Hadi Beg beserta 200 pengikutnya hijrah dari Khurasan ke daerah Gurdashpur di Punjab yang letaknya 70 mil sebelah Timur Lahore sekitar kawasan sungai Bias dengan mendirikan perkampungan yang bernama Islampur.

Dalam bidang pendidikan Mirza Ghulam Ahmad tidak pernah menerima pendidikan formal karena dengan situasi sosial dan poltik pada saat itu di Qadian belum ada sekolah formal. Ia mulai mendapat pendidikan ketika berusia 6-7 itu pun belajar atas keinginan dari ayahnya untuk memberikan pendidikan kepada anaknya dengan memanggil seorang guru bernama Fazal Ilahi untuk belajar membaca Al-Quran, serta beberapa kitab bahasa Parsi yang bermuatan pendidikan agama Islam.31 Ketika dia berusia 10 Tahun ayahnya mempekerjakan seorang guru yang bernama Fazal Ahmad untuk mengajar nahwu dan sharaf.32 Pada saat ia berumur 17 tahun ayahnya kembali memanggil seorang guru bernama Gul Ali Syah untuk memberikan pengajaran kepada Mirza Ghulam Ahmad dengan pelajaran Ilmu Mantiq (Logika). Ilmu tentang pengobatan ia pelajari sendiri kepada ayahnya langsung.

Pada masa ia telah menyelesaikan pendidikan non-formal, dan stabilnya politik dalam negeri India dengan ditandai tidak adanya pemberontakan-pemberontakan menentang kolonialisme Inggris, banyak warga yang ingin memperbaiki kehidupan khususnya dalam bidang ekonomi dengan bekerja kepada kolonilisme Inggris, demikian juga kelurga Mirza

31

A. Fajar Kurniawan, Teologi Kenabian Ahmadiyah, (Jakarta : RM Books, 2006).h.39

32

skripsi lihatIhsan Ilahi Zakir, A-Qadaniyah dan I’tiqadnya,terj. Asmuni Dalam Mengapa Ahmadiyah dilarang.(Jakarta: Darul Falah, 2006).h. 152.


(47)

Ghulam Ahmad yang dari semula sudah bekerja untuk pemerintah Inggris di India maka anaknya pun Mirza Ghulam Ahmad pada usia 29 tahun dia bekerja pada pemerintahan Inggris di kantor Bupati Sailkot. Setelah empat tahun bekerja dia dipanggil ayahnya kembali ke kampung halaman untuk menekuni pekerjaan dalam bidang pertanian. Akan tetapi tidak lama dia menggeluti bidang pertanian, merasa tidak cocok dengan apa yang dia kerjakan. Mirza Ghulam Ahmad menghabiskan waktunya dengan mengkaji Al-Quran, menelaah buku, mengajar, dan berdiskusi tentang agama.33

Pada tahun 1875, Mirza Ghulam Ahmad merasakan kesedihan dengan melihat golongan Hindu, Nasrani, Sikh, dan golongan lainnya yang melancarkan serangan kepada Islam. Mirza Ghulam Ahmad melakukan

Mujahadah atau menjalani disiplin asketis dengan melakukan puasa selama 6

bulan berturut-turut. Tujuannya adalah untuk bertawajjuh kepada Allah dengan media puasa, sholat tahajjud, dan semakin mendalami ajaran Islam.

Dengan memiliki modal dan kekuatan hati Mirza Ghulam Ahmad dapat memberikan jawaban dan sanggahan terhadap argumentasi kelompok lain yang mendiskreditkan Islam. Kemudian hasil buah pikirannya ia publikasikan dalam bentuk artikel di media massa. Puncaknya pada tahun 1880 M, Ghulam Ahmad banyak menulis karyanya lebih dari 86 karya ilmiah yang telah ia ciptakan.

Ketika dia berusaha semakin mendalami ajaran Islam, dia dihadapkan pada kesedihan dengan meninggalnya ayahnya pada tahun 1876 M. akan

33


(48)

tetapi hal itu tidak mengurangi produktifitas dalam menulis sebuah gagasan. Karya Mirza Ghulam Ahmad yang sangat monumental adalah Barahin

Ahmadiayah yang berisikan tentang penjelasan keunggulan ajaran ummat

Islam dibanding dengan ajaran-ajaran agama-agama lainnya. Dengan buku itu maka terjadi pro-kontra dalam kalangan umat beragama India. Tidak seperti halnya di kalangan non-muslim yang menimbulkan berbagai polemik dan perbedaan sengit, akan tetapi dikalangan umat Islam sendiri kehadiran buku tersebut disambut dengan suka cita, karena telah dianggap membela ajaran Islam dari serangan serangan yang selama ini dilancarkan oleh berbagai pihak, khususnya dari kalangan neo-Hindu (Arya samaj dan Brahma Samaj), dan Nasrani. Salah seorang ulama ahli hadist ternama, Maulvi Muhammad Husain Batalwi, menulis dalam bukunya Isyaat as Sunnah jilid VII, no 6-10, halaman 169-170 dan Swanah Fazl Umar Jilid I, Halaman 20:

Menurut pandangan kami, Pada zaman sekarang dan sesuai dengan kondisi yang berlaku buku ini adalah sedemikian rupa yang mana sampai saat ini tidak ada bandingannya telah ditulis dalam Islam, dan tidak ada kabar di masa mendatang karena Allah lah yang lebih mengetahui kejadian setelah ini. Penulisannya pun dalam hal memberi bantuan terhadap Islam dari segi harta, jiwa, tulisan maupun lisan, dan langkah-langkahnya adalah sangat teguh dan kokoh karenanya, sangat sedikit sekali diketemukan contoh seperti dirinya biarpun dari kalangan umat Islam terdahulu.34

Dengan terbitnya buku Barahin Ahmadiyah yang didalamnya ada pendakwaan Ghulan Ahmad sebagai Mujahid abad ke 14 M. berdasarkan ilham-ilham yang diterimanya, maka pada tahun 1883 banyak dari kalangan umat Islam yang berkeinginan untuk melakukan bai’at (janji setia) menjadi

34

Asep Burhanuddin, Ghulam Ahmad: Jihad Tanpa Kekerasan. (Jogjakarta: Lkis 2005).h. 36


(49)

muridnya, tetapi Ghulam Ahmad sendiri menolak dengan alasan belum mendapatkan ilham (Mandat) dari Allah untuk menerima bai’at dari orang-orang. Selanjutnya, berdasarkan ilham yang sudah ia terima pada tahun 1888 M untuk pengambilan bai’at, maka pada tanggal 23 Maret 1889 M. Sebanyak 40 orang melakukan bai’at pertama di tangan Ghulam Ahmad yang dilaksanakan di rumah Mia Ahmad Jaan, Ludhiana, India.35

Setelah Mirza Ghulam Ahmad mangkat pada 26 Mei 1908, maka estafet gerakan Ahmadiyah dilanjutkan oleh pengikut setianya, Maulana Hakim Nuruddin yang dianggap sebagai khalifah Masih I (1908-1914).9

Sebelum kematiannya pada tanggal 13 Maret 1914 ia mengangkat anak sulung Mirza Ghulam Ahmad yakni Hazrat Basyiruddin Mahmud Ahmad sebagai khalifah Masih II (1914-1965). Pada masa kekhalifahannya dimulai penyebaran Ahmadiyah ke Indonesia yang dibawa oleh tiga pemuda asal Minangkabau yaitu Ahmad Nurdin, Abubakar Ayub, Zaini Dahlan.

Segera ketiga pemuda itu mendapati bahwa sumber dari Ahmadiyah adalah dari Qadian, dan sekalipun ditentang dan dilarang oleh Anjuman Isyaati Islam (Ahmadiyah Lahore), ketiga pemuda itu pergi ke Qadian, pusat Jemaat Ahmadiyah yang didirikan oleh Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad a.s., Masih Mau’ud. Bukan hal yang aneh ketiga pemuda itu segera baiat di tangan Hadhrat Khalifah Masih II r.a.. Hadhrat Haji Mirza Basyruddin Mahmud Ahmad r.a., peristiwa baiat ketiga pemuda itu akan mengubah wajah masyarakat Islam Indonesia di masa yang akan datang.

35

Asep Burhanuddin, Ghulam Ahmad: Jihad Tanpa Kekerasan ,h. 37

9


(50)

Ketiga pemuda Indonesia itu melanjutkan studi mereka di Madrasah Ahmadiyah. Tidak lama kemudian mereka merasa perlu membagi berkat karunia Tuhan yang telah mereka terima itu dengan rekan-rekan mereka di Sumatera Tawalib. Mereka mengundang rekan-rekan pelajar mereka di Sumatera Tawalib untuk belajar di Qadian. Tidak lama kemudian duapuluh tiga orang pemuda Indonesia dari Sumatera Tawalib bergabung dengan ketiga pemuda Indonesia yang terdahulu, untuk melanjutkan studi juga baiat masuk ke dalam Jemaat Ahmadiyah.

Dua tahun setelah orang indonesia yang pertama baiat ke dalam Ahmadiyah, Hadhrat Khalifatul Masih II r.a. pergi ke Inggris untuk menghadiri Seminar Agama-agama di Wembley, kemudian mengadakan kunjungan di Eropa. Setelah Hadhrat Khalifah kembali dari lawatan ke barat, para pelajar Indonesia menginginkan sekali agar negara mereka, Indonesia, mendapatkan karunia dari Hadhrat Masih Mau’ud a.s. melalui khalifahnya. Para pelajar kemudian mengundang Hadhrat Khalifatul Masih II r.a. dalam suatu jamuan teh, yang didalamnya (alm) Haji Mahmud – juru bicara para pelajar indonesia – menyampaikan sambutan dalam Bahasa Arab, mengungkapkan harapan mereka bahwa sebagaimana Hadhrat Khalifatul Masih II r.a. telah mengunjungi barat, mereka mengharapkan Hadhrat Khalifatul Masih II r.a. berkenan mengunjungi ke timur, yaitu ke Indonesia. Hadhrat Khalifatul Masih II r.a menjawab dalam Bahasa Arab bahwa mereka jangan khawatir dan berduka cita, karena itu adalah tanda-tanda ornag-orang tidak beriman. Dan Hadhrat Khalifatul Masih II r.a meyakinkan mereka


(51)

bahwa karena Hadhrat Masih Mau’ud r.a adalah Zulqarnain (yang memiliki dua tanduk), satu mengarah ke barat dan yang lain mengarah ke timur, maka pesan Hadhrat Masih r.a juga meyakinkan mereka bahwa meskipun beliau sendiri tidak dapat mengunjungi Indonesia, beliau akan mengirim wakil beliau ke Indonesia. Kemudian, (alm) Maulana Rahmat II r.a. dikirim sebagai muballigh ke Indonesia sebagai pemenuhannya. Pada hari yang dibasahi hujan, pertengahan musim panas tahun 1925, Hadhrat Khalifatul Masih II r.a, Hadhrat Haji Mirza Basyiruddin Mahmud Ahmad r.a. memimpin pelepasan (alm) Maulana Rahmat Ali r.a. berangkat ke Indonesia. Pondasi perkembangan Ahmadiyah di Indonesia telah diletakkan.

Kemudian kekhalifahan berpindah kepada Mirza Nasir Ahmad, khalifah ketiga (1965 – 2003), sebagai khalifah III. Pada khalifah ketiga inilah yang pertma kali berkunjung ke Indonesia dan diterima langsung oleh Presiden Abdurrahman Wahid pada waktu itu. Setelah itu kekuasaan beralih ke tangan Mirza Masroor Ahmad (2003 – sekarang).

Saat itulah dinyatakan sebagai peletak batu pertama berdirinya organisasi al-Jamaah al-Islamiyah Ahmadiyah (Jamaah Islam Ahmadiyah).

Doktrin-Doktrin Ahmadiyah

1. Masalah Kenabian

Ahmadiyah secara teologis, memiliki banyak doktrin yang dijadikan landasan dalam keyakinan para pengikutnya. Akan tetapi doktrin-doktrin Ahmadiyah bukanlah doktrin pokok dalam ajaran tersebut. Beberapa


(52)

doktrin Ahmadiyah yang dianggap tidak paralel dengan umat Islam pada umumnya, termasuk pemahaman para ulama. Doktrin-doktrin yang dikategorikan sebagai doktrin terpenting di kalangan Ahmadiyah, antara lain yaitu tentang kenabian, al-Mahdi dan al-Masih, Wahyu, khilafah, dan jihad. Untuk lebih jelasnya, berikut penulis akan uraikan.

Masalah Kenabian

Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, bahwa telah terjadi perpecahan di dalam tubuh Ahmadiyah sehingga terbentuk dua kubu yaitu Ahmadiyah Qadian dan Ahmadiyah Lahore akibat beberapa perbedaan pandangan tentang doktrin yang mereka anut. Salah satu dari doktrin tersebut adalah mengenal pendakwaan Mirza Ghulam Ahmad sebagai Nabi. Maka ketika berbicara mengenai kenabian, akan terlihat jelas perbedaan argumen yang dikumandangkan oleh masing-masing kelompok tersebut.

Sedangkan istilah nabi sendiri berasal dari kata naba’ yang berarti membawa kabar gaib, juga berarti ramalan tentang peristiwa yang akan terjadi. Sedangkan menurut Ahmadiyah, istilah nabi secara syar’i hanya diterapkan kepada manusia pilihan Allah dan ia diutus untuk menyampaikan perintah Allah kepada manusia. Ia juga disebut rasul (utusan Allah). Dengan demikian, semua nabi adalah rasul dengan kata lain, nabi dan rasul adalah satu, tidak berbeda. Mengenai nabi dan rasul, golongan Ahmadiyah Lahore memberi penjelasan berbeda, bahwa semua nabi itu utusan Allah dan semua nabi adalah rasul. Bedanya, kata nabi


(53)

hanya diterapkan kepada manusia, sedangkan kata rasul selain diterapkan kepada manusia juga diterapkan kepada malaikat. Dasar yang dipakai oleh kelompok ini adalah firman Allah surat al-Hajj (22):”Allah memilih para utusan dari kalangan Malaikat dan dari manusia”.

Adapun menurut pandangan Ahmadiyah Qadian tentang kenabian, bahwa kenabian itu terus menerus berlangsung hingga hari kiamat. Ahmadiyah sangat tidak setuju kepada pendapat, bahwa setelah Nabi Muhammad Saw. tidak ada lagi. Menurut Ahmadiyah Qadian, bahwa Nabi Muhammad Saw merupakan nabi penutup yang membawa syari’at. Akan tetapi bukan penutup nabi-nabi yang tidak membawa syari’at. Maka dari itu tetap terbuka di utusnya nabi yang tidak membawa syari’at setelah Nabi Muhammad Saw, atau dengan perkataan lain sesudah pengangkatan Nabi Muhammad Saw sebagai Nabi, Tuhan tetap mengangkat terus nabi-nabi.

2. Masalah al-Mahdi dan al-Masih

Mengenai doktrin ini, antara Ahmadiyah Lahore maupun Ahmadiyah Qadian sama sekali tidak ada perbedaan. Menurut Ahmadiyah, doktrin tentang Mahdi tidak dapat dipisahkan dari masalah kedatangan Isa al-Masih di akhir zaman. Hal itu karena al-Mahdi dan al-al-Masih adalah satu tokoh, satu pribadi yang kedatangannya telah dijanjikan Tuhan. Ia ditugaskan untuk membunuh Dajjal dan mematahkan tiang salib, yakni mematahkan argumen-argumen agama Nasrani dengan dalil-dalil atau


(54)

bukti-bukti yang meyakinkan serta menujukkan kepada para pemeluknya tentang kebenaran Islam. Selain itu, ia ditugaskan untuk menegakkan kembali syari’at Nabi Muhammad Saw, sesudah umatnya mengalami kemerosotan dalam kehidupan beragama.

Mengenai kedatangan al-Mahdi dan al-Masih yang dijanjikan, mereka menggunakan sabda Nabi Saw. Sebagai dasar, yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Ibnu Bukair, dari al-Laits dari Yunus, dari Ibnu Syihab, dari Nafi’ Maulana Abi Qatadah al-Anshari, dari Abu Hurairah, bahwa kata-kata imamukum minkum menunjukan seseorang di antara umat Islam sendiri. Artinya, bukan seorang imam yang datang dari luar umat Islam, misalnya dari Bani Israil. Dengan demikian, al-Masih yang akan datang di akhir zaman itu bukanlah Nabi Isa a.s yang telah wafat, melainkan seorang muslim yang mempunyai perangai atau sifat-sifat seperti nabi Isa a.s dalam pandangan Ahmadiyah, al-Masih yng dijanjikan itu adalah Mirza Ghulam Ahmad dari Qadian.

Menurut Ahmadiyah, hadis tentang turunnya Masih (Nuzul al-Masih) tidak dapat dipahami secara harfiah, tetapi harus di pahami secara kiasan. Alasan yang mereka gunakan adalah: Pertama, Sabda Nabi Saw secara lahiriah ditunjukan kepada sahabatnya, akan tetapi secara hakikat ia ditunjukan kepada umat Islam zaman akhir; kedua, Nabi a.s tidak dapat digolongkan ke dalam kata antum (kaum umat Muhammad). Sebab, (a) Nabi Isa memang bukan umat Muhammad; (b) Nabi Isa adalah Imam Bani


(55)

Israil; (c) Nabi Isa sudah wafat; (d) Orang yang sudah wafat tidak akan bangkit lagi ke dunia sebelum hari kiamat datang.

Sedangkan Ahmadiyah Lahore berpendapat bahwa sendainya Nabi Isa benar-benar akan dibangkitkan kembali maka hal itu berarti membongkar segel penutup kenabian. Ini merusak dasar akidah Islamiyah bahwa Nabi Muhammad Saw adalah penutup para nabi. Sementara jika kedatangan al-Masih bukan sebagai nabi, melainkan sebagai umat, maka hal itu berarti menrunkan derajat Nabi Isa a.s dari derajat nabi menjadi umat biasa.

3. Masalah Wahyu

Wahyu menurut Ahmadiyah ialah pembucaraan Allah dengan hamba-Nya dalam bentuk lafadz-lafadz, yang terdengar oleh orang-orang yang menerimanya.

Ia berpendapat bahwa wahyu Allah yang dimaksud dalam al-Qur’an adalah kenyataan yang universal. Wahyu Allah tidak hanya diturunkan kepada para nabi dan utusan Allah saja, tetapi dikaruniakan juga kepada semua umat manusia, dan bahkan dikaruniakan kepada semua ciptaan-Nya. Seorang propagandis Ahmadiyah Qadian dari Sialkot, Nazir Ahmad, menjelaskan bahwa wahyu yang terputus sesudah Rasulullah adalah wahyu tasyri atau wahyu syari’at, bukan wahyu mutlak. Selanjutnya ia menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan wahyu terakhir


(56)

ini tidak dikhususkan hnya untuk para nabi saja, akan tetapi diberikan juga kepada selain mereka.

Dalam menggunakan istilah wahyu dan ilham, Mirza Ghulam Ahmad semula mengakui bahwa petunjuk yang diterimanya dari Tuhan sebagai ilham, kemudian oleh para pengikutnya dinyatakan sebagai wahyu. Pernyataan seperti itu tidak dibantah sama sekali oleh Ghukam Ahmad, bhakan ia mengakui kebenarannya. Dengan demikian, Ahmadiyah tidak membedakan antara ilham dan wahyu.

4. Masalah Khilafah

Pemahaman terhadap konsep khilafah dikalangan dua kubu Ahmadiyah, Lahore dan Qadian, sama-sama mendasarkan pada ayat al-Qur’an, akan tetapi memiliki perbedaan dalam tingkat pemahaman. Menurut Mirza Basyiruddin Mahmud Ahmad yang beraliran Ahmadiyah Qadian, perkataan khilafah (pengganti), di dalam al-Qur’an digunakan dalam tiga pengertian:

Pertama, khalifah dipergunakan untuk nabi-nabi yang seakan-akan

menjadi pengganti Allah di dunia. Misalnya Nabi Adam disebut khalifah dan Nabi Daud disebutkan juga sebagai khalifah.

Kedua, khalifah diartikan sebagai kaum yang datang kemudian. Dalam pengertian ini dartikan sebagai pengganti nabi, dipilih oleh


(57)

kaumnya sendiri. Sebagai contoh adalah khalifah Abu Bakar yang menggantikan Nabi Muhammad Saw.

Ketiga, khalifah dipergunakan untuk para pengganti nabi karena mereka mengikuti jejak para nabi sebelum mereka. Khalifah-khalifah semacam itu dapat diangkat oleh Tuhan sendiri. Khalifah yang berpangkat nabi ini adalah pembantu bagi nabi yang ada sebelumnya atau pada masanya. Umpamanya Nabi Harun adalah khalifah bagi Nabi Musa.

Dari ketiga pengertian khalifah di atas, diambil suatu kesimpulan bahwa khalifah hanyalah pemimpin-pemimpin rohani. Aliran Ahmadiyah Qadian menjelaskan bahwa tidak semua nabi dan rasul yang disebutkan di dalam Al-Qur’an menjabat sebagai pemimpin ruhani sekaligus pemimpin pemerintahan. Di antara sekian banyak nabi dan rasul yang disebutkan dalam al-Qur’an hanya beberapa orang saja yang menjadi pemimpin rohani dan sekaligus pemimpin pemerintahan.

Berbeda dengan pandangan Ahmadiyah aliran Qadian, Ahmadiyah aliran Lahore menyatakan bahwa ada dua macam khalifah:

1. Khalifah yang sesuai dengan makna khalifah dalam Al-Qur’an (Q.S. An Nur:55). Dalam ayat tersebut dijelaskam bahwa umat Islam adalah umat yang akan memimpin peradaban di muka bumi, karena itu dibutuhkan sistem kekhalifahan untuk membangun pemerintahan tersebut. Nabi Muhammad Saw adalah khalifah pertama yang kemudian dilanjutkan oleh para sahabatnya khulafaur rasyiddin..


(58)

2. Khalifah yang dimaknai sebagai mujaddid dan para tokoh spiritual yang mendirikan sebuah organisasi atau komunitas terstruktur yang akan meneruskan syariat.

Dikalangan aliran Ahmadiyah pun terjadi perbedaan pendapat mengenai posisi setelah Ghulam Ahmad meninggal. Menurut Ahmadiyah Qadian setelah Ghulam Ahmad meninggal, maka berdirilah sistem khilafah dalam Ahmadiyah yang dikenal dengan khalifah Al Masih.

Doktrin khalifah Al Masih ini didasarkan dan dimotivasi oleh wasiat Ghulam Ahmad mengenai keharusan adanya khalifah yang menggantikannya.36

Sedangkan aliran Ahmadiyah Lahore dengan dasar Al Qur’an surat An Nur ayat 55 dan wasiat dari Ghulam Ahmad sebagai landasannya, bahwa setelah kekhalifahan Ghulam Ahmad, maka berakhir sudah sistem khilafah dalam Ahmadiyah. Setelah kepemimpinan Ghulam Ahmad tampuk kepemimpinan dan keputusan tertinggi berada di tangan Sadr Anjuman Ahmadiyah. Sementara dengan sangat diplomatis aliran ini mengatakan bahwa seandainya masih dibutuhkan khalifah, maka tidak wajib ditaati karena khalifah hanya berfungsi sebagai penerima baiat saja, sementara tanggung jawab kepemimpinan tetap berada di tangan Pusat Anjuman Ahmadiyah dan keputusannya wajib ditaati. Menurut Aliran Ahmadiyah Lahore bahwa setelah khilafah rasyidah dan termasuk setelah

36


(1)

dalam al-Qur’an hanya beberapa orang saja yang menjadi pemimpin rohani dan sekaligus pemimpin pemerintahan.

Pengertian Jihad menurut Ahmadiyah, Lahore maupun Qadian adalah mencurahkan segala kesanggupan dalam menghadapi pertempuran, menyampaikan pesan. Kebenaran atau dengan kata lain jihad adalah tidak menahan apapun, mengarahkan segala daya dengan memaksakan diri dalam mencapai suatu tujuan.

Bagi Ahmadiyah, sistem khilafah yang harus berdiri itu adalah Khilafah Ala Minhajin Nuhuwwah, maka itu artinya kekhalifahan ini

coraknya adalah agamis, bukan politis. Tetapi memiliki implikasi politis ketika bersinggungan dengan sistem pemerintahan.

Ahmadiyah dalam strategi perjuangan meraih kekuasaan didapat dengan dua cara: pertama, pendekatan kooperatif kepada penguasa atau tidak melakukan serangan ke pihak lawan dan kedua, melalui legitimasi wahyu. Sedangkan hubungan Islam dan politik dalam pandangan Ahmadiyah terletak pada sistem khilafah ala minhaajin Nubuwah dan sistem imamah (kepemimpinan) yang bersifat otokratis.

Saran

Adapun saran-saran ang diajukan adalah sebagai berikut:

Hendaknya bagi kalangan agamawan berusaha menemukan kata dialog dalam mensikapi perbedaan keyakinan yang berurat akar, dicarikan solusi setiap permasalahan dengan Ahmadiyah.


(2)

Bagi kalangan sarjana politik Islam, diharapkan dapat mengembangkan lebih jauh tentang politik Islam dalam pandangan Ahmadiyah agar menjadi bahan dialog dalam membangun peradaban yang saling menghargai perbedaan

bagi pemerintah, diharapkan hasil penelitian ini dapat menjadi bahan referensi guna menjembatani perbedaan teologis yang sulit dipertemukan.


(3)

Daftar Pustaka

Alhadar, Abdullah Hasan. Ahmadiyah Telanjang Bulat di Panggung Sejarah, Bandung: PT. Alma’arif, Cetakan Pertama 1980

Aziz, Abdul Ghaffar. Islam Politik Pro dan Kontra. Jakarta: Pustaka Firdaus,1993 Banna, Hasan Al. Risalah Pergreakan Ikhwanul Muslimin. Terj. Anis Matta,

LC.et.all. Surakarta:Era Intermedia, 1999

Bashiruddin M.A., Apakah Ahmadiyah itu? Terjemah Abdul wahid H.A.Djakarta Djemaah Ahmadiyah Indonesia, 1963

Bashiruddin, Mahmud Ahmad, Apakah Ahmadiyah itu?, Jakarta, Djemaat Ahmadiyah Indonesia, 1963

Bashiruddin, Mahmud Ahmad, Riwayat Hidup Mirza Ghulam Ahmad, terj. Malik Aziz Ahmad khan. Parung: Jamaah Ahmadiyah Indonesia,1995 Budiarjo, Miriam. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka

Utama, 2006

Burhanuddin, Asep. Ghulam Ahmad: Jihad Tanpa Kekerasan. Jogjakarta: Lkis, 2005

Burhanuddin, “Carut Marut Wajah Teknis”. Artikel di akses tanggal 18 Januari 2009, dari http://carur.marut/politikislam.html

Chinioti, Asy-Syekh Manzhur Ahmad. Al-Qadiani wa Mu’taqaduhu, Pakistan,1958

Huntington, Samuel. Benturan Peradaban, Yogyakarta:Penerbit Qalam, 2004 IAIN Syarif Hidayatullah, Ensiklopedi Islam. Jakarta: Jambatan, 1992 Indris, Irfan. “Paradigma Pemikiran Politik Islam Modern” artikel di akses pada

tanggal 22 Januari 2009, dari http:// detak.fajar.co.id/ newa.php? Newsid=84233

Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pusaka, 1998 Khaldun, Ibnu. Muqaddimah. Jakarta: Pustaka Firdaus,2002


(4)

Maftuhin, “Prinsip Moral dalam Politik Islam (Kajian Terhadap Pemikiran Al-Gazahli)”. Skripsi SI, Fakultas Ushuluddin dan Filsafat Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2005

Mahally, Abdul Halim. Benarkah Ahmadiyah Sesat. Jakarta: Cahaya Kirana Rajasa, 2006

Majid, Nurkholis. “Islam dan Politik Suatu Tinjauan Atas Prinsip-Prinsip Hukum dan Keadilan”. Artikel diakses pada tanggal 20 Januari 2009, dari http//islamdanpolitik.prinsip.nurkholis.html

Maududi, Abu A’la Al-, Politik Alternatif: Suatu Perspektif Islam. Jakarta: Gema Insani Press, 1994

Maududi, Abu A’la Al-, Hukum dan Konstitusi Sistem Politik Islam. Terj. Drs. Asep Hikmat. Bandung:Mirza,1995

Mufid, Moh. M.Si. Politik Dalam Perspekitf Islam. Jakarta: UIN Press,2004 Muhammad, Mustafa. Rekonstruksi Pemikiran Menuju Gerakan Islam Modern

Solo: Era Intermedia,2000

Nahdi, A. Sejemput Riwayat dan Mukjizat Pendiri Ahmadiyah., Jakarta: Raja Pena, 2001

Nasution, Harun. Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya. Jakarta: UI Press, 1985 Noer, Deliar. Gerakan Modren Islam di Indonesia 1990-1942, Jakarta: LP3ES 1995

Qardhawy, Yusuf, Fikih Negara: Ijitihad Baru Seputar Sistem Demokrasi Multi Partai dan Keterlibatan Wanita di Dewan Perwakilan Partisipasi dalam Pemerintahan Sekuler, terj, Syarif Halim. Jakarta: Rabbani Press,1997 Raziq, Ali Abd ar-. Islam Dasar-Dasar Pemerintahan: Kajian Khilafah dan

Pemerintahan Dalam Islam. Yogyakarta: Jendela, 2002 Sakhir, Zai., Islam: Religelion or Ideology. Zaituna Institute: 2006

Salus,Ali As-. Imamah dan Khilafah: Dalam Tinjauan Syar’I. Jakarta: Gema insani Press, 1997

Shultoni, Ahmad. Gerakan Ahmadiyah Indonesia, Yogyakarta: LkiS, 1999 Soekarno, Di Bawa Bendera Revolusi Jilid I, Jakarta: PT. Djambatan


(5)

Surbakti, Ramlan. Memahami Ilmu Politik Jakarta: PT Gramedia Widiasarana Indonesia, 1992

Syamsuddin, Din. Islam dan Politik Era Orde Baru. Ciputat: Logos,

Zulkarnain, Iskandar. Gerakan Ahmadiyah di Indonesia. Yogyakarta: Penerbit LkiS, 2005


(6)