BAB IV. RELASI ISLAM DAN POLITIK PERSPEKTIF AHMADIAH A.
Paradigma Islam dan Politik ………………………………..   54 B.
Pemikiran  Politik Islam Perspektif  Ahmadiyah  ………….  57 C.
Relasi Islam dan Politik dalam Negara menurut Ahmadiyah  69
BAB V. PENUTUP A.
Kesimpulan …………………………………………………  73 B.
Saran ………………………………………………………..  75 LAMPIRAN-LAMPIRAN
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Hubungan Islam dan politik di pandang bukan saja bersifat organis atau  tidak  bisa  dipisahkan,  tapi  juga  secara  struktural  di  ikat  oleh  sistem
religius  Islam  yang  formal.  Menguatnya  revivalisme  agama  dalam  kancah politik menepis sinyalemen Samuel Hungtington tentang political decay –-
bahwa  pembangunan  politik  itu  biasanya  ditandai  dengan  proses rasionalisasi kekuasaan.
1
Salah  satu  pangkal  pembicaraan  yang  tak  pernah  habis  dibahas adalah  relasi  agama  dan  politik.  Tarik  menarik  antara  keduanya
menghasilkan  ketegangan  dinamik  yang  tidak  jarang  melahirkan  benturan. Bagi  penganut aliran  mekanik-holistik,  Islam  dianggap  bukan  saja  sebagai
gugusan  dogma-dogma  agama  yang  bersifat  kaku  saja, tapi  juga  dipahami sebagai sistem politik, pandangan hidup dan penafsiran sejarah. Islam juga
di pahami mempunyai watak omnipresent hadir di mana-mana. Islam  hadir  dihadirkan?  di  ranah  politik  yang  seharusnya  netral
dan  hampa  dari  kepentingan  kelompok  manapun.  Bagi  penganut  militan premis  ini  bisa  jadi  mendorongnya  untuk  memaksakan  lewat  jalan
kekerasan.  Ketika  agama  ditampilkan  melalui  cara  yang  menghalalkan
1
Burhanudian.  “Carut  Marut  Wajah  Teknis”.  Artikel  di  akses  tanggal  18  Januari  2009, dari http:carur.marutpolitikislam.html
1
kekerasan,  maka  tersibaklah  wajah Tuhan  yang  menyeringai  seram,  penuh dendam.  Sontak  A.N  Wilson  tertawa  melihat  orang  yang  tak  mau
menggubris tesisnya bahwa agama lebih kejam daripada candu. Atas nama Tuhan,  FPI  membakar,  merusak,  bahkan  menjarah  kafe-kafe.  Atas  nama
Tuhan,  kedua  belah  pihak  yang  bertikai  di  Ambon  saling  menghunuskan pedang, mencari celah dari lemahnya keadaan darurat sipil, untuk menikam
lawan. Tapi, di  atas  segalanya,  relasi  agama  dan  politik,  dalam diskursus
modern  hingga  detik  ini  belum  juga  tuntas.  Lebih-lebih  Islam  yang  oleh penganutnya dilihat memiliki pesona sebagai agama yang syamil, kamil dan
mutakamil .  Ilmuwan  sekelas  Robert  N.  Bellah  dengan  civil  religion,  dan
Jose  Casanova  dengan  public  religion  pun  coba  menengahi  pandangan “ekstrem”  bahwa  agama  berkutat  pada  wilayah  private,  sementara  ruang
publik harus secularized. Persoalan  yang  sering  kali  diperdebatkan  tentunya  adalah  apakah
Islam dan politik  tak bisa di pisahkan atau memang antara  agama Islam harus  dipisahkan  dari  persoalan  politik.  Akan  tetapi, persoalan  sebenarnya
bukan  terletak  pada  perdebatan  apakah  Islam dan  politik  harus dipisahkan atau  tidak  di  pisahkan.  Dan  karena  sebagian  besar  pemikir  dan  praktisi
politik  Islam  terpaku  pada  soal  di  pisahkan  atau  tidak  bisa  boleh  di pisahkannya Islam dari persoalan-persoalan keduniawian, pemikiran politik
Islam sulit beranjak pada tataran atau artikulasi yang lebih baru.
Hampir  seluruh  artikulasi  pemikiran  politik  Islam tidak  lepas  dari pemikiran bahwa 1 Islam dan politik  itu tidak bisa dipisahkan; 2 Islam
dan  politik  itu  bisa  di  pisahkan;  dan  3  Islam  dan  politik  mempunyai keterkaitan  yang erat, akan tetapi bentuk hubungannya tidak bersifat legal-
formalistik,  tetapi  substansialistik.  Dan  bentuk  ketiga  ini  hampir  di  miliki oleh  pemikir  Islam  moderat  seperti  Nurkholis  Majid,  Amin  Rais  dan
sebagian pemikiran Islam lainnya. Pada masa awalnya, Islam dipahami  secara sederhana. Komunitas
awal  masyarakat  Islam  berada  langsung  dalam  bimbingan    Nabi Muhammad  SAW  dan  para  khalifah.  Mereka  hampir  tidak  pernah  terjadi
keributan  dan  perbedaan  pendapat.  Kemudian  setelah  terjadi  penyebaran futuhat pemikiran Islam berkembang dan begitu banyak interpretasi  yang
dilakukan oleh beberapa kelompok yang merasa dirinya mampu dan berhak untuk  melakukannya.  Perkembangan  pertama  dan  paling  dominan  dalam
Islam  adalah  masalah  teologi.  Namun  pemikiran  teologi  ini  bukan  murni karena  masalah  teologi  tapi  karena  politik.
2
Pemikiran  politik  yang berkaitan  atau  mempunyai  hubungan  erat  dengan  teologi  kemudian
berkembang  berbarengan  dengan  perkembangan  Islam  dan  akulturasi kebudayaan dengan helenisme.
Persoalan  penting  antara  bidang  agama  dan  bidang  politik  atau bidang  kehidupan  duniawi  mana  pun  ialah  bahwa  dari  segi  etis,
khususnya  segi  tujuan  yang  merupakan  jawaban  atau  pertanyaan  untuk
2
Harun Nasution, Islam Ditinjau Dari Berbagai Apeknya. Jakarta: UI Press, 1985.h.88
apa  tidak  dibenarkan  lepas  dari  pertimbangan  nilai-nilai  keagamaan.  Atas dasar  adanya  pertimbangan  nilai-nilai  keagamaan  itu  diharapkan  tumbuh
kegiatan politik bermoral tinggi atau berakhlak mulia.  Inilah makna bahwa politik tidak dapat di pisahkan dari agama. Tetapi dalam hal susunan formal
atau  strukturnya  serta  segi-segi  praktis  dan  teknisnya,  politik  adalah wewenang  manusia,  melalui  pemikiran  rasionalnya  yang  dapat  dipandang
sebagian  suatu  jenis  ijtihad.  Dalam  hal  inilah  politik  dapat dibedakan  dari agama.  Maka  dalam  segi  struktural  dan  prosedural politik  itu, Dunia  Islam
sepanjang sejarahnya, mengenal berbagai variasi dari masa ke masa dan dari kawasan  ke  kawasan,  tanpa  satu  pun  dari  variasi  itu  dipandang  secara
doktrinal paling absah kecuali masa kekhalifahan Rasyidah.
3
Hubungan  antara  agama  dan  politik  yang  tidak  terpisahkan  itu dengan  jelas  sekali  terwujud  dalam  masyarakat  Madinah.  Muhammad
S.A.W. selama sekitar sepuluh tahun di kota hijrah  itu telah tampil sebagai seorang  penerima  berita  suci  sebagai  Nabi  dan  seorang  pemimpin
masyarakat  politik  sebagai  Kepala  Negara.  Dalam  menjalankan  peran sebagai  seorang  Nabi,  beliau  adalah  seorang  tokoh  yang  tidak  boleh
dibantah, karena mengemban tugas suci dengan mandat dan wewenang suci. Sedangkan dalam menjalankan peran sebagai seorang kepala negara, beliau
melakukan  musyawarah  --sesuai  dengan  perintah  Allah--  yang  dalam musyawarah  itu  beliau  tidak  jarang  mengambil  pendapat  orang  lain  dan
meninggalkan  pendapat  pribadi.  Sebab  dalam  hal  peran  sebagai  kepala
3
Nurkholis  Majid.  “Islam  dan  Politik  Suatu  Tinjauan  Atas  Prinsip-Prinsip  Hukum  dan Keadilan”.
Artikel diakses
pada tanggal
20 Januari
2009, dari
httpislamdanpolktik.prinsip.nurkholis.html
negara  atau  pemimpin  masyarakat  itu  pada  dasarnya  beliau  melakukan ijtihad.  Jika  dalam  kenyataan  hasil  ijtihad  beliau  hampir  selamanya
merupakan yang terbaik di antara para anggota masyarakat beliau, maka hal itu  harus  diterangkan  sebagai  akibat  logis  segi  keunggulan  kemampuan
pribadi  beliau  selaku  seorang  manusia.  Dan  pengakuan  memang  banyak diberikan  orang,  baik  dari  kalangan  Islam  maupun  bukan  Islam,  bahwa
beliau adalah seorang  jenius. Gabungan  antara  kesucian dan  kesempurnaan tugas kenabian di satu pihak dan kemampuan pribadi yang sangat unggul di
pihak lain telah membuat Nabi Muhammad saw. seorang tokoh yang paling berhasil dalam sejarah umat manusia.
Sebagaimana  Rasulullah  membangun  negara  Madinah,  menarik kita  mengkonklusikan  pemikiran  Ahmadiyah  dalam  peran  agama  dengan
politik  sebab  secara  teori  Ahmadiyah  lahir  diakibatkan  banyaknya kemerosotan agama dalam hal ini Islam dalam pentas kekuatan politik yang
di tandai hancurnya kekhalifahan Turki Ustmani. Gerakan pembaharuan dengan segala variannya muncul sejak masa
kekhalifahan  Utsman  bin  Affan  ketika  menerapkan  kebijakan  nepotisme dalam  pemerintahannya.  Ketika  itu  muncul  beberapa  golongan  yang  tidak
menyetujui  kebijakan  Utsman,  ditambah  lagi  terjadinya  pertentangan kelompok  Ali  yang  kurang  mendukung  kekuasaan  Utsman.  Puncaknya
terjadi pada masa khalifah Ali bin Abi Thalib, dengan kemunculan golongan khawarij golongan yang keluar dari jama’ah.
Dalam  konteks  politik,  kemunculan  sektarianisme  merupakan akumulasi  kekecewaan  terhadap  kebijakan  penguasa.  Pada  masa  Bani
Umayyah,  kelompok  pendukung  Ali  disebut  sebagai  golongan  Syi’ah diposisikan  sebagai  opasisi  penguasa  Umayyah.  Konflik  yang  sengit  antar
firqah kian  mengemuka  pada  masa  kekuasaan  Abbasyiah  dengan
kemunculan golongan Mu’tazilah  yang bercorak rasionalistik. Golongan ini vis  a  vis
berhadapan  dengan  faham  yang  disokong  oleh  penguasa,  yaitu Ahiussunah wal Jama’ah. Di samping itu hadir pula kalangan inkarussunah
yang berhadapan dengan ahiussunah dengan pencetus Ahmad bin Hanbal. Kehadiran  Ahmadiyah  merupakan  reaksi  yang  hampir  mirip
dengan kehadiran
golongan-golongan keagamaan  pada  awal-awal
perkembangan  Islam.  Sebagai  gerakan  pembaharuan  menurut  versi Ahmadiyah, Ahmadiyah  lahir karena kekecewaan terhadap penguasa India
yang berada dibawah imperialisme Inggris. Perkembangan Ahmadiyah dalam kontek sosial politik keagamaan
telah  menjadi  polemik  berkepanjangan.  Ahmadiyah  didirikan  oleh  Hazrat Mirza  Ghulam  Ahmad  Al-Qadiani,  Mujadid abad  14  Hijriah  yang  bergelar
Almasih dan Mahdi, berdasarkan ilham dari Allah SWT. yang beliau terima pada tanggal 1 Desember 1888. Pada saat ini Ahmadiyah tersebar di seluruh
dunia, bahkan di Indonesia. Setelah pendiri Gerakan Ahmadiyah wafat 26 Mei 1908, Gerakan
Ahmadiyah  dipimpin  oleh  Shadr  Anjuman  Ahmadiyah  yang  diketuai  oleh Maulvi Hakim Nuruddin. Setelah beliau wafat pada tanggal 13 Maret 1914,
Shadr  Anjuman  Ahmadiyah  dipimpin  oleh  Mirza  Bashiruddin  Mahmud Ahmad, putra pendiri Gerakan Ahmadiyah. Beberapa saat setelah ia terpilih,
timbullah  perbedaan  pendapat  yang  penting  dan  mendasar.  Karena pengakuannya  sebagai  perwujudan  Imam  Mahdi  bahkan  Ahmad  yang
tercantum dalam Qur’an Suci 61:6, maka terjadi friksi di tubuh Ahmadiyah. Pendapat tersebut yang menyebabkan terjadinya perpecahan dalam
Ahmadiyah. Mereka yang setuju terhadap pendapat tersebut  dikenal sebagai
Ahmadiyah  Qadian,  karena  pusatnya  di  Qadian,  India  tetapi  setelah
Pakistan dan  India merdeka pindah  ke Rabwah  sampai sekarang, meskipun Khalifahnya berada di Inggris. Kemudian mereka menyebut dirinya sebagai
Jemaat Ahmadiyah. Sedangkan  mereka  yang  tak  setuju  terhadap  pendapat  tersebut
tergabung  dalam  Ahmadiyah  Anjuman  Isya’ati  Islam  Ahmadiyah, Gerakan  Penyiaran  Islam  yang  berpusat  di  Lahore  dan  dikenal  sebagai
Ahmadiyah Lahore yang pada saat itu dipimpin oleh Maulana Muhammad
Ali,  M.A.,  LL.B.,  sekretaris  Almarhum  Hazrat  Mirza  Ghulam  Ahmad. Menurut Ahmadiyah Lahore, Hazrat Mirza Ghulam Ahmad bukanlah Nabi,
dia  adalah  seorang  Mujaddid.  Ahmad  dalam  Al-Qur’an  adalah  Nabi  suci Muhammad  saw.  dan  kaum  Muslimin  yang  tidak  bai’at  kepada  beliau
tidaklah kafir. Faham  Ahmadiyah  Anjuman  Isya’ati  Islam  atau  Ahmadiyah
Lahore  masuk  ke  Indonesia  pada  tahun  1924  dengan  perantaraan  dua muballigh,  Mirza  Wali  Ahmad  Baig  dan  Maulana  Ahmad.  Berkat  rahmat
Allah,  pada  tanggal  10  Desember  1928  Gerakan  Ahmadiyah  Indonesia sentrum  Lahore  didirikan  oleh  Bapak  R.Ng.H.Minhadjurrahman
Djajasugita dkk.  yang mendapat Badan Hukum Nomor 1
X
tanggal 30 April 1930.
Dalam melaksanakan aktivitas dakwahnya, GAI telah menerbitkan puluhan judul buku-buku agama dalam bahasa Belanda, Jawa dan Indonesia
serta  majalah-majalah.  Di  samping  itu  telah  pula  melahirkan  Yayasan Perguruan  Islam  Republik  Indonesia  PIRI  di  Yogyakarta  dan  di  berbagai
daerah,  yang menyelenggarakan pendidikan sekolah mulai tingkat Taman Kanak-kanak sampai perguruan Tinggi
Nama Ahmadiyah berasal dari nama sifat Rasulullah saw. -- Ahmad yang  terpuji.  Yakni  yang  menggambarkan  suatu  keindahankelembutan.
Zaman  sekarang  ini  adalah  zaman  penyebar-luasan  amanat  yang  diemban Rasulullah saw. dan merupakan zaman penyiaran sanjungan pujian terhadap
Allah Taala. Era penampakkan sifat Ahmadiyah Rasulullah saw. Kondisi Islam di India pada saat di jajah oleh Imperialisme Inggris
benar-benar  menyedihkan.  Di  satu  sisi  gerakan  Kristenisasi  sedang  gencar- gencarnya berjalan di India dan menarik ratusan ribu orang masuk ke dalam
agama  Kristen  dan  di  sisi  lain  serangan-serangan  pihak  Hindu  terhadap Islam, Al-Quran dan terhadap wujud suci Nabi Muhammad Mustafa saw.
Kondisi  inilah  yang  banyak  mewarnai  kehidupan  awal  daripada Hz.Mirza  Ghulam  Ahmad.  Beliau  banyak  menelaah  literatur-literatur  yang
berkaitan  dengan  agama-agama  tersebut.  Beliau  secara  personal  banyak
terlibat dalam upaya-upaya untuk membela Islam dari serangan-serangan di kedua arah tersebut. Disamping itu beliau sendiri mengalami perkembangan
rohaniah.  Konteks  berdirinya  Ahmadiyah  tidak  terlepas  dari  pergolakan politik  di  India.  Oleh  karena  itu,  Ahmadiyah  bukan  saja  sebuah  spektrum
gerakan  pembaharuan  keagamaan  yang  banyak  disinyalir  oleh  orang, melainkan sebagai sebuah gerakan politik yang mengatasnamakan agama.
Tipologi  gerakan  politik  Islam,  atau  setidak-tidaknyya  di kategorikan  sebagai  sebuah  gerakan  politik,  menurut  Din  Syamsuddin
mengandung  dua  dimensi,  pertama:  bahwa  kulturisasi  Islam  harus ditransformasikan ke dalam dunia politik atau domain politisasi; dan kedua:
adanya  upaya  totalisasi  ajaran  Islam  yang  terdiri  tidak  hanya  dari  sistem ibadah  tapi  juga  prinsip-prinsip  aqidah,  syari’ah,  dan  jalan  hidup  sehingga
tidak memisahkan antara yang sakral dan yang profan.
4
Berdasarkan  asumsi  di  atas,  gerakan  Ahmadiyah  telah  memasuki gerakan  politik  Islam,  atau  organisasi  keagamaan  yang  memiliki  agenda
besar  dalam  skala  nasional  bahkan  internasional.  Selain  penafsiran  yang dilakukan  oleh  Din  Dyamsuddin,  Ahmadiyah  dapat  di  golongkan  sebagai
gerakan politik karena meliputi dua hal yaitu adanya sosialisasi ajaran  yang dilakukan  secara massif untuk menarik anggota Jemaat sebanyak mungkin.
Gerakan perekrutmen di upayakan melalui jalan dakwah, penyebaran brosur, buku  pamflet,  pendirian  Yayasan  Perguruan  Islam  Republik  Indonesia
PIRI  di  Yogyakarta  dan  di  berbagai  daerah,  yang  menyelenggarakan
4
Din Syamsuddin, Islam dan Politik Era Orde Baru, Ciputat: Logos,, h. 153
pendidikan  sekolah  mulai  tingkat  Taman  Kanak-kanak  sampai  perguruan Tinggi.
5
Kedua,  Ahmadiyah  menjalankan  aktivitas  sosial  yang  memiliki implikasi politis terhadap kemapanan agama-agama samawi, terutama Islam.
Gejolak  yang  ditimbulkan  dari  gerakan  Ahmadiyah  mendatang  dialektika epistemologis  yang  mengerucut  pada  pertentangan  ideologis  the  clash  of
ideology.  Perspektif  ini  diambil  dari  konsep  Samuel  Huntington  yang melihat  pertentangan  kapitalisme  dan  Islam  sebagai  tipologi  pertentangan
ideo-politik berskala global.
6
Berdasarkan  pandangan  di  atas  maka  diajukan  judul  penelitian
sebagai berikut: Islam dan Politik dalam Perspektif Ahmadiyah.
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
Mengingat    kompleksitasnya  permasalahan  yang  akan  dibahas khususnya
mengenai Ahmadiyah,
maka penulis
membatasi permasalahannya  mengenai  relasi  Islam  dan  Politik  menurut  perspektif
Ahmadiyah. Dari pembatasan tersebut penulis merumuskan permasalahan :
a. Bagaimana  relasi Islam dan politik dari pandangan Ahmadiyah?
b. Bagaimana  Ahmadiyah  bermetamorfosis  menjadi  sebuah  gerakan
politik? c.
Apa yang melatarbelakang kelahiran Ahmadiyah di India?
5
Ahmad Shultoni, Gerakan Ahmadiyah Indonesia, Yogyakarta: LkiS, 1999, h. 26
6
Samuel Huntington, Benturan Peradaban, Yogyakarta: Penerbit Qalam, 2004, h. 68
d. Bagaimana  perkembangan  Ahmadiyah  di  Indonesia  pra  dan  pasca
kemerdekaan? e.
Bagaimana  polemik  yang  muncul  di  tengah  konstelasi  kehidupan sosial-politik di Indonesia terhadap keberadaan Ahmadiyah
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
a.   Tujuan Penelitian Adapun tujuan dari penelitian ini adalah :
1. Untuk mengetahui pandangan Ahmadiyah tentang relasi Islam dan
politik. 2.
Untuk mengetahui paradigma politik Islam Ahmadiyah. 3.
Untuk mengetahui prkembangan gerakan Ahmadiyah di Indonesia sebagai gerakan politik keagamaan.
b.  Manfaat Penelitian Hasil  penelitian  ini  diharapkan  oleh  penulis  agar  memberikan
manfaat, antara lain : 1.
Bagi  Penulis,  diharapkan  hasil  penelitian  ini  dapat  memberikan perspektif  yang  baru  dalam  pengembangan  ilmu  politik  kontemporer
khususnya tentang hubungan Islam dan Politik 2.
Bagi.  Kaum  agamawan,  diharapkan  penelitian  ini  menjadi  khazanah yang  mampu  mendialogkan  perbedaan  keyakinan  sebagai  sesuatu  yang
tidak terelakkan dalam kehidupan bernegara.
3. Bagi ilmuwan politik Islam, diharapkan hasil penulisan ini memberikan
nuansa baru dalam memahami perkembangan Ahmadiyah pada pespektif ilmu politik Islam.
D. Metode Penelitian
Dalam membahas skripsi ini, penulis menggunakan metode penelitian kepustakaan Library Research, yaitu penulis berusaha memperoleh data-data
dan  informasi  melalui  literature-literatur  kepustakaan,  majalah-majalah maupun  artikel-artikel  yang  berhubungan  dengan  masalah  tersebut.  Dalam
pengolahan data ini penulis menggunakan metode deskripsi analisis.
E. Sistematika Penulisan
Dalam  sistematika  penulisan  ini,  agar  lebih  terarah  dan  terperinci terbagi kedalam bab-bab dalam tiap sub-babnya dijelaskan secara global.
Di dalam bab I yang diawali dengan pendahuluan, ini terdiri atas latar belakang  masalah,  pembatasan  dan  perumusan  masalah,  tujuan  dan  manfaat
penelitian, metode penelitian serta sistematika penelitian. Di dalam bab II  terdiri dari pengertian politik, relasi Islam dan politik
serta sistem politik Islam Di  dalam  bab  III  terdiri  dari  sejarah  berdirinya  Ahmadiyah,  profil
Mirza  Gulam  Ahmad  dan  doktrin-doktrin  Ahmadiyah,  Perkembangan Ahmadiyah  di  Indonesia  dan  Perbedaan  Aliran  Ahmadiyah  Qodian  dan
Lahore
Di  dalam  bab  IV  terdiri  dari  paradigma  Islam  dan  politik,  paradigma politik Islam Ahmadiyah dan relasi Islam dan politik menurut Ahmadiyah
Dan dalam bab V terdiri dari Kesimpulan dan Saran
BAB II KERANGKA TEORI : ISLAM DAN POLITIK
Pengertian Politik
Pada  umumnya  dapat  dikatakan  bahwa  politik  politics  adalah bermacam-macam  kegiatan  dalam  suatu  sistem  politik  negara  yang
menyangkut  proses  menentukan  tujuan-tujuan  itu.
7
Pengambilan  keputusan decision  making  mengenai  apakah  yang  menjadi  tujuan  dari  sistem  politik
itu  menyangkut  seleksi  antara  beberapa  alternatif  dan  penyusunan  skala prioritas dari tujuan-tujuan yang telah dipilih itu.
Untuk melaksanakan
tujuan-tujuan itu
perlu ditentukan
kebijaksanaan-kebijaksanaan  umum  public  policies  yang  menyangkut pengaturan  dan  pembagian  distribution  atau  alokasi  allocation  dari
sumber-sumber dan resources yang ada. Untuk melaksanakan kebijaksanaan-kebijaksanaan itu, perlu dimiliki
kekuasaan power dan kewenangan authority, yang akan dipakai baik untuk membina  kerja  sama  maupun  untuk  meyelesaikan  konflik  yang  mungkin
timbul  dalam  proses  ini.  Cara-cara  yang  dipakainya  dapat  bersifat  persuasif meyakinkan dan jika perlu bersifat paksaan coercion. Tanpa unsur paksaan
kebijaksanaan ini hanya merupakan perumusan keinginan statement of intent belaka.
7
Miriam Budiarjo.
Dasar-Dasar Ilmu
Politik. Jakarta:PTGramedia
Pustaka Utama,2006.cet.20.h.8
13
Politik  selalu  menyangkut  tujuan-tujuan  dari  seluruh  masyarakat public  goals,  dan  bukan  tujuan  pribadi  seseorang  private goals.  Lagipula
politik  menyangkut  kegiatan  berbagai-bagi  kelompok  termasuk  partai  politik dan  kegiatan  orang  seorang  individu.  Perbedaan-perbedaan  dalam  definisi
yang  kita  jumpai,  disebabkan  karena  setiap  sarjana  meneropong  hanya  satu aspek atau unsur dari politik saja.  Unsur itu diperlakukannya sebagai  konsep
pokok,  yang  dipakainya  untuk  meneropong  unsur-unsur  lainnya.  Dari  uraian di  atas  teranglah  bahwa  konsep-konsep  pokok  itu  adalah:  Pertama,  Negara
state,  Kedua,  Kekuasaan  power,  Ketiga,  Pengambilan  keputusan decisionmaking, Keempat, Kebijaksanaan policy,beleid Kelima, Pembagian
distribution atau alokasi allocation.
8
Sedangkan  kata  politik  itu  sendiri  dan  diambil  dari  bahasa  Yunani atau Latin “politicos” yang berarti “relating to citizen”.keduanya berasal dari
kata  polis  yang  berarti  kota.  Dalam  kamus  besar  bahasa  Indonesia mengeartikan  kata  politik  sebagai  pengetahuan  mengenai  ketatnegaraan  atau
kenegara seperti sistem pemerintahan, dasar pemerintahan. Atau juga, segala urusan  dan  tindakan  kebijaksanaan  siasat  dan  sebagainya  mengenai
pemerintahan.
9
Sedangkan  Ramlan  Surbakti  mengartikan    politik  yaitu:  Pertama, politik  ialah  usaha-usaha  yang  ditempuh  warga  negara  untuk  membicarakan
dan  mewujudkan  kebaikan  bersama.  Kedua,  politik  ialah  segala  hal  yang berakaitan dengan penyelenggaraan  negara dan pemerintahan.  Ketiga, politik
8
Miriam Budiarjo. Dasar-Dasar Ilmu Politik.h 9
9
Kamus Besar Bahasa Indonesia,Jakarta: Balai Pusaka, 1998, h.125
sebagai  segala  kegiatan  yang  diarahkan  untuk  mencari  dan  mempertahankan kekuasaan  dalam  masyarakat.  Keempat,  politik  sebagai  kegiatan  yang
berkaitan  dengan  perumusan  dan  pelaksanaan  kebijakan  umum.  Kelima, politik  sebagai  konflik  dalam  rangka  mencari  danatau  mempertahankan
sumber-sumber yang dianggap penting.
10
David Easton mengatakan : politik adalah keseluruhan dari interaksi-interaksi yang mengatur pembagian nilai-nilai secara autoratif berdasarkan wewenang
untuk dan atas nama masyarakat. Sedangkan Al Ghazali memakai kata siyasah politik  lebih  luas  dari  pada  makna  politik  dalam  pengertian  yang  lebih
popular  sekarang.  Siyasah  atau  politik  diartikan  dengan  segala  hal  ihwal, seperti  memperbaiki  kehidupan  makhluk  Tuhan  dan  menunjukkan  ke  jalan
yang benar yang menyelamatkan mereka di dunia dan akhirat.
11
Selain  kata  politik,  dalam      masyarakat  Indonesia  dikenal  pula kata siyasah
yang berasal dari bahasa Arab. Pemakaian kata siyasah jauh lebih tua dari  perkataan  yang  memiliki  arti  senada  politik.  Namun  kepopuleran  dan
keluasan pemakaiannya tidak mengimbangi perkataan sesudahnya itu. Siyasah pada awalnya hanya mengandung arti muslihat dan segala macam usaha serta
ikhtiar  untuk  mencapai  sesuatau  atau  menyelesaikan  suatu  perkara.  Tetapi pada  akhirnya  cenderung  mengandung  arti  kenegaraan  sebagai  halnya
perkataan politik.
10
Ramlan  Surbakti.  Memhami  Ilmu  Politik,Jakarta:  PT  Gramedia  Widiasarana Indonesia,1992. cet.I.h. 1-2
11
Maftuhin, Prinsip Moral dalam Politik Islam Kajian Terhadap Pemikiran al- Gazali,Skripsi S1, FUF UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,2005,h.17
Siyasah berasal dari bahasa Arab  yang merupakan masdar dari kata
sasayasusu yang  mengandung  arti  kepemimpinan.  Pelakunya  disebut  sa’is
berarti  pemimpin  yang  menangani  urusan  rakyatnya  yang  mendatangkan kemaslahatan  bagi  mereka.  Jadi  siyasah  adalah  ilmu  memerintah,  yaitu
kewajiban  menangani  sesuatu  yang  mendatangkan  kemaslahatan.  Dia  harus dipegang oleh orang yang mengerti betul tentang dasar-dasar pengetahuan dan
peraturan-peraturan dalam negara.
12
Dalam  perbendaharaan  bahasa  Indonesia  kata  siyasah  mempunyai arti  yang  berbeda dengan  siasat.  Siyasah  mempunyai  arti  politik,  sedangkan
siasat artinya  adalah  kebijaksanaan  atau  kecerdikan  dalam  menyampaikan
suatu  maksud  atau  untuk  memperoleh  sesuatu.  Jadi  perbedaan  mendasar antara  siyasah.  Siasat  diartikan  segala  macam  muslihat  di  dalam  berbagai
lapangan,  yang  biasa  disebut  “taktik”,  sedangkan  siyasah  mempunyai  arti yang terbatas, ialah soal kenegaraan yang dinamika”politik”.
Dari penjelasan diatas sangat jelas bahwa politik atau siyasah merupakan pola kenegaraan  yang  didalamnya  terdapat  seperangkat  pengaturan  sosial  dalam
masyarakat.
Islam dan Politik
Dalam  sejarah  agama-agama,  pertautan  antara  politik  dan  agama muncul pada politik para raja dan pemimpin untuk melanggengkan kekuasaan
12
Maftuhin, Prinsip Moral dalam Politik Islam ,  h.22
mereka.  Mereka  menafsirkan  dalil  dan  doktrin  agama-agama  sesuai  dengan kemauan mereka dengan tujuan untuk melindungi kepentingan politik mereka.
Dalam sejarah Islam, politisasi agama sudah berlangsung sejak awal perkembangan  Islam.  Para  raja  dan  khalifah  berusaha  melanggengkan
kekuasaan  mereka  dengan  berbagai  cara:  menafsirkan  secara  politis  dalil  al- Qur’an dan Hadits sesuai kepentingan para penguasa. Diantaranya adalah ayat
yang  berbunyi  “Taatlah  kepada  Allah dan para penguasa di antara  kalian”. Para penguasa  menafsirkan  ayat  ini bahwa  para penguasa  harus  dipatuhi  apa
dan  bagaimana  pun  cara  mereka  memimpin.  Ayat  ini  kemudian  oleh  para kritikus disebut “ayat al-umara” ayat para penguasa.
Watt  menggambarkan  hubungan  agama  dan  politik  dalam  Islam dalam  bukunya  “Islamic  Political  Thought”.  Pertama,  gagasan  keagamaan
menjadi  semacam  kerangka  ideologis  ketika  terlibat  dalam  bermacam aktivitas,  sehingga  aktivitas  yang  dilakukan  memperoleh  arti  penting.Kedua,
agama  dapat  menentukan  bentuk-bentuk  motif  Islam  aktivitas  yang  akan dilakukan. Adanya  signifikansi agama dalam politik, diakui oleh Watt bukan
karena  agama  memberikan  penjelasan  yang  sifatnya  terinci  terhadap  semua hal,tetapi  karena  agama  memberikan  berbagai  tujuan  umum  kepada manusia
dalam  kehiduan  dan  membantunya  memusatkan  kekuatan  untuk  mencapai berbagai tujuan tersebut.
Robert N Bellah menyatakan bahwa masyarakat Islam klasik adalah modern secara politis. Tidak lagi dipersoalkan, demikian ia menegaskan dalam
bukunya  “Beyond  Belief”,  bahwa  di  bawah  Nabi  masyarakat  Arab  telah
membuat  lompatan  jauh  ke  depan dalam  kecanggihan  sosial  dalam kapasitas politik.Demikian  juga  tidak  terlalu  mengherankan,  jika  umat  Islam
menjadikan  sejarah  politik  Islam  dalam  periode  Nabi  sebagai  model  ideal yang  senantiasa  diidamkan  sepanjang  sejarah  Pemikiran  politik  Islam  seperti
juga pemikiran Islam dan gerakan Islam pada umumnya dapat dilihat sebagai hasil dari kelanjutan dan perubahan yang berlangsung dalam sejarah Islam.
13
Di  Indonesia,  istilah  Islam  politik  sering  kali  dilawankan  dengan Islam kultural. Islam  politik secara umum dapat dipahami sebagai Islam yang
ditampilkan sebagai basis ideologi yang kemudian dalam bentuk partai politik, atau  Islam  yang  berusaha  diwujudkan  dalam  kelembagaan  politik  resmi
eksekutif dan legislative. Sedangkan Islam kultural merujuk pada Islam yang hanya bergerak di bidang dakwah, pendidkan, seni dan sebagainya tanpa sama
sekali terlibat dalam politik. Islam  dan  politik  pertama  kali  digulirkan  oleh  kalangan  Barat  yang
menguasai  berbagai  negeri  Islam,  yang  mengatakan  bahwa  Islam  adalah agama bukan negara. Di Indonesia, istilah Islam politik seringkali dilawankan
dengan  Islam  kultural.  Islam  politik  secara  umum  dapat  dipahami  sebagai yang  ditampilkan  sebagai  basis  ideologi  yang  kemudian  dalam  bentuk partai
politik,  atau  Islam  yang  berusaha  diwujudkan  dalam  kelembagaan  politik resmi  eksekutif  dan  legislative.  Sedangkan  Islam  kultural  merujuk  pada
Islam  yang  hanya  bergerak  di  bidang  dakwah,  pendidikan,  seni  dan sebagainya tanpa sama sekali terlibat dalam politik.
13
Irfan  Indris. “Paradigma Pemikiran Politik  Islam Modern”  artikel di  akses pada tanggal 22 Januari 2009, dari http:cetak.fajar.co.idnews.php?newsid=84233
Islam berasal dari kata  salam  yang berarti tunduk atau berserah diri pada  Allah,  atau  menerima  semua  peraturan  Tuhan  sebagai  petunjuk  bagi
kehidupan seseorang, taat sepenuh hati, akan keadaan noda dan cela.
14
Menurut Hasan al-Banna seperti yang dikutip oleh Yusuf Qardhawy mengatakan  Islam  adalah  sesuatu  yang  syumul  menyeluruh,  mencakup
semua  aspek  kehidupan  dengan  syariat  dan  pengarahannya.  Islam  menata kehidupan  manusia  sejak  dia  dilahirkan  sampai  meninggal  dunia.  Bahkan
sebelum ia dilahirkan dan sesudah meninggal dunia.
15
Selain itu Islam menata kehidupan individual, kehidupan keluarga, kehidupan sosial dan politik, mulai
beristinja sampai kepada pemerintahan. Hasan  Al-Banna  juga  menyatakan  bahwa  ada  perbedaan  yang
mendasar  antara  kepartaian  dan  politik.  Keduanya  mungkin  bisa  bersatu  dan mungkin  bisa  berseteru.  Ketika  Hasan  al-Banna  berbicara  tentang  politik
praktis  pada  kesempatan  ini,  maka  yang  dikehendaki  adalah  politik  secara umum.  Yakin  melihat  persoalan-persoalan  umat,  baik  internal  maupun
eksternal yang sama sekali tidak terkait dengan hizhiyah kepartaian. Ini yang pertama.
Kedua, Takala  orang-orang  nonmuslim  awam  tentang  Islam,  oleh
urusan dan  kokohnya  Islam  yang menancap di dalam jiwa para pengikutnya, atau kesiapan berkorban dengan  harta dan jiwa demi tegaknya, maka mereka
tidak  berusaha  untuk  melukai  jiwa-jiwa  kaum  muslimin  dengan  menodai
14
IAIN Syarif Hidayatillah, Ensiklopedi Islam, Jakarta: Jambatan, 1992, h. 445
15
Yusuf Qardhawy, Fikih Negara: Ijtihad Baru Seputar Sistem Demokrasi Multi Partai dan Keterlibatan Wanita di Dewan  Perwakilan Partisipasi dalam  Pemerintahan Sekuler,
terj, Syafril Halim, Jakarta: Rabbani Press, 1997, h.18
nama  Islam,  syariat,  dan  undang-undangnya.  Namun  mereka  berusaha membatasi  substansi  makna  Islam  pada  lingkup  sempit  yang  menghilangkan
semua sisi kekuatan operasional yang ada di dalamya. Kendati setelah itu yang tersisa bagi kaum muslimnin adalah kulit luar dari bentuk dan performa yang
sama sekali tidak berguna.
16
Sedangkan menurut Moh. Mufid, M.Si, ada dua pandangan berbeda yang mengkaji masalah legitimasi dalam politik, yaitu: pertama, Barat Eropa
dengan  ciri  skularistiknya  berpendapat  bahwa  pengakuan  terhadap  suatu pemerintahan  adalah  pengakuan  yang  berasal  dari  rakyat.  Artinya,  ketika
seseorang dalam sebuah pemilihan umum secara mayoritas memperoleh suara terbanyak, maka sejak itu pula ia berhak memperoleh tampuk kekuasaan.
Kedua, legitimasi    kepemimpinankekuasaan  dalam  perspekitf
pemikiran  politik  Islam  berbeda  dengan  Barat.  Bagi  kelompok  ini  legitimasi berasal  dari  dua  sumber,  yaitu  Tuhan  dan  manusia.  Yang  pertama  menjadi
keyakinan  syiah,  bahwa  kepemimpinan  itu  berasal;  dari  Tuhan,  karenanya mempunyai  sifat  dan  fungsi  keagamaan  dan  ditransmisikan  lewat  keturunan
Nabi  Muhammad  lewat  jalur  Ali  bin  Abi  Thalib.  Yang  kedua  merupakan preferensi  Sunni  yang  memandang  bahwa  kepemimpinan  merupakan  hasil
kesepakatan masyarakat ijma’ melalui para elit.
17
Moh.Mufid,M.Si  juga  memandang  hubungan  agama  dan  politik negara  dengan  tiga  paradigma.  Yaitu  :  Pertama,  paradigma  integrative,
16
Hasan  Al  Banna.  Risalah  Pergerakan  Ikhwanul  Muslimin.  Terj.  Anis  Matta,  LC.et.all Surakarta:Era Intermedia, 1999. h.70
17
Moh. Mufid, M.Si, Politik Dalam Perspektif Islam, Jakarta: UIN Press,2004, h.10
kedua, paradigma  simbiotik,  dan  ketiga,paradigma  instrumental.
18
Dalam paradigma  pertama  dan  kedua  hubungan  agama  dan  politik  negara
merupakan  hubungan  kemitraan  yang  saling  membutuhkan  antara  keduanya tidak  dapat  dipisahkan,  dalam  pengembangan  dan  eksistensi  suatu  negara,
agama  sering  dijadikan  faktor  penentu  yang  paling  dominan.  Karenya,  baik keberadaan  agama  maupun  politik  negara  dalam  prakteknya  saling
melengkapi  kebutuhan  satu  salam  lain.  Sementara  dalam  paradigma  yang terakhir,  agama  hanya  sebatas  menjadi  pelengkap  kebutuhan  suatu  negara
begitupun juga sebaliknya. Maka  mereka  berusaha  memberikan  pemahaman  kepada  kaum
muslimin  bahwa  Islam  adalah  sesuatu,  sementara  masalah  sosial  adalah sesuatu  yang  lain.  Islam  adalah  sesuatu  dan  perundang-undangan  adalah
sesuatu yang lain. Islam adalah sesuatu dan masalah-masalah ekonomi sesuatu yang  lain,  yang tidak ada  hubunganya  sama  sekali. Islam adalah sesuatu dan
peradaban bukan bagian darinya. Islam adalah sesuatu yang harus berada pada jarak yang jauh dari politik.
Maka  Islam  dan  politik  itu,  pada  dasarnya  tidak  terpisahkan.  Islam tidak pernah memisahkan antara kegiatan profan dan sakral. Seperti halnya al-
Ghazali  yang  telah  menghubungkan  ilmu  politik  secara  erat  dengan  agama. Karena  pegangan  dari  semua  ilmu  itu  ialah  ajaran  kitab-kitab  suci  yang
diturunkan  Tuhan  kepada  para  Nabi  dan  ucapan-ucapan  yang  ditinggalkan oleh orang-orang yang suci.
18
Moh. Mufid, M.Si, Politik Dalam Perspektif Islam, h.44
C. Sistem Politik Islam
Berbicara  tentang  sistem  politik  islam,  para  pengamat  Islam  telah menulis  sejumlah  buku  tentang  teori  politik  islam  dalam  beberapa  topik,
seperti  :  sistem  pemerintahan,  hubungan  pemerintah  dengan  rakyat  dan  jenis kekuasaan  dalam islam batasan dan tugas-tugas.
19
Agaknya  sudah  merupakan  kebiasaan  orang-orang  tertentu    untuk agak  menyamakan  Islam  dengan  salah  satu  sistem  kehidupan  tertentu  atau
sistem  kehidupan  lainnya  yang  dewasa  ini  tengah  menjadi  wacana kontemporer.  Ada  yang  mengatakan  bahwa  Islam  adalah  sebuah  demokrasi,
dan  yang  mereka  maksudkan  dengan  ini  adalah  bahwa  tidak  ada  perbedaan antara Islam dengan demokrasi yang kini tengah naik daun di barat. Beberapa
orang lainnya menyatakan bahwa komunisme tidak lain merupakan versi lain dari Islam  yanag telah direvisi dan sangatlah cocok bagi kaum muslim untuk
meniru  eksperimen-eksperimen  komunis  soviet  rusia.  Yang  lainnya  lagi membisikan  bahwa  Islam    mengandung  unsur-unsur  kediktatoran  dan  kita
harus membangun kembali adat “taat kepada amir pemimpin”.
20
Seorang  orientalis  terkemuka,  V.  Fitzgerald  dalam  bukunya Mohamedian  Law,  mengatakan  bahwa  Islam  bukanlah  semata  agama  a
religion ,  namun  juga  merupakan  sebuah  sistem  politik  a  political  sistem.
Meskipun  pada  dekade-dekade  terakhir  ada  beberapa  kalangan  dari  umat
19
Empan  Supandi.  Islam  dan  Politik  Kajian  Tentang  Pemikiran  Politik  Al Ghazali.”,
Skripsi  SI  Fakultas  Ushuluddin  dan  Filsafat,  Universitas  Islam  Negeri,Jakarta,, 2006,h.16-26
20
Abu A’la Al Maududi. Hukum dan Konstitusi Sistem Politik Islam. terj. Drs.Asep Hikmat Bandung : Mizan,1995. Cet.IV. h.144
Islam  yang  mengklaim  sebagai  kalangan  modernis,  yang  berusaha memisahkan kedua sisi itu, namun seluruh gagasan pemikiran Islam dibangun
atas  fundamen bahwa  kedua  sisi  itu  saling  bergandengan  dengan  selaras  dan tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lain.
Pernyataan tersebut diperkuat oleh Joseph Schacht, seorang orientalis lainnya,  yang  berpendapat  bahwa  Islam  lebih  dari  sekedar  agama,  ia
mencerminkan teori-teori perundang-undangan dan politik.  Dalam ungkapan yang  lebih sederhana  Islam merupakan sistem peradaban  yang  lengkap,  yang
mencakup  agama  dan  negara  secara  bersamaan.   Dengan  demikian,  seperti yang  di  kemukakan  oleh   H.  A.  R.  Gibb,  jelaslah  bahwa  Islam  bukanlah
sekedar  kepercayaan  agama  individual,  namun  ia  meniscayakan  berdirinya suatu bangunan masyarakat yang independen. Ia mempunyai metode tersendiri
dalam sistem kepemerintahan, perundang-undangan dan institusi. Pendapat  dari  para  orientalis  tersebut  diperkuat  oleh  fakta-fakta
sejarah. Misalnya sistem politik yang dibangun oleh Rasulullah SAW bersama kaum  Mukmin  di  Madinah   jika  dilihat  dari  segi  praksis  dan  diukur  dengan
variabel-variabel  sistem  politik  modern,  maka  dapat dikatakan  bahwa  sistem itu  adalah  sistem  politik  par  excellence,  tetapi  juga  tidak  disangkal  jika
dikatakan sebagai sistem relegius, karena dilihat dari tujuan-tujuan dan motif- motif dan fundamental maknawi tempat sistem itu berpijak.
Sebagai  sebuah  sistem  politik  dalam  perjalanan  sejarahnya  Islam diwarnai  dengan  dinamika  pemikiran  politik,  seperti  halnya  perjalanan
sejarah  pemikiran  politik  agama-agama  lain.   Pemikiran  politik  Yahudi,
Kristen,  dan  juga  Islam  tidak  terlepas  dari  unsur  kesejarahannya.   Teori- teori  politik  tidak  muncul  begitu  saja  tetapi  merupakan  satu  rangkaian
proses  dengan  fenomena  dan  kejadian  kesejarahan  yang  dikaji  dan diteorisasi  secara  sistematis.   Teori-teori  politik  yang  muncul  di  Barat
sebagaimana  telah  dimunculkan  oleh  Hocker,  Hobbes,  Locke,  dan Rousseou  merupakan  kecenderungan-kecenderungan  politik  mereka  dan
perhatian  mereka  terhadap  relasi  nilai  dan  kekuasaan,  agama  dan kekuasaan,  ideologi  dan  kekuasaan,  kepentingan  dan  kekuasaan,  yang
sangat  menonjol  terjadi  di  zamannya,  di  negara-negara  mereka  atau  di negara-negara yang menjadi perhatian mereka.
Mustafa  Muhammad  dalam  bukunya  Rekonstruksi  Pemikiran Menuju  Gerakan  Islam,
mengatakan bahwasanya  sistem  politik  Islam  adalah suatu  sistem  yang  bertolak  dari  kaidah-kaidah  umum,  yakin  kebebasan,
kesetaraan,  keadilan,  dan  supremasi  hukum.  Juga  konsistensi  terhadap pemilihan  pemimpin,  dan  bahwa  pemerintah  adalah  pelaksana  hukum  dan
perundang-undangan,  pelindung  agama  dan  bertanggung  jawab  terhadap rakyat. Di antara rakyat adalah memberi nasihat, mengevaluasi, memecat dan
menggantinya, jika diperlukan. Sistem politik harus ditegakkan di atas prinsip syura, dan syura menjadi sesuatu yang harus ditegakkan oleh penguasa.
21
Abu  A’la  al-Maududi  mengatakan  bahwasanya  sistem  politik  Islam merupakan suatu sistem yang berlandaskan akidah, karena akidah merupakan
suatu sistem yang berlandaskan akidah, karena akidah merupakan suatu sistem
21
Mustafa  Muhamad, Rekonstruksi  Pemikiran Menuju Gerakan Islam Modern, Solo: Era Intermedia,2000, cet ke-1, h. 47
politik  Islam  yang  ditegakan  oleh  rasul.  Aspek-aspek  lain  berkisar disekelilingnya. Akidah  inilah  yang menjadi  landasan pijakan dan paradigma
teori politik Islam. akidah juga merupakan dasar undang-undang politik Islam yang telah melahirkan bentuk  ketahanan politik dan  hukum ciptaan manusia,
baik secara individu ijtihad fardli maupun kelompok ijtihad jam’I. Namun seseorang  tidak  mempunyai  otoritas  dalam  memeaksakan  kehendaknya  yang
menginginkan ijtihadnya diikuti dan dipatuhi. Pembuatan hukum Islam mutlak menjadi hak Allah, dan tidak ada campur tangan manusia.
22
Dari keterangan di atas dapat disimpulkan bahwasannya al-Maududi dalam  menjelaskan  tentang  sistem  politik  Islam  adalah  suatu  sistem  yang
bermuara pada ketentuan undang-undangyang terdapat dalam al-Qur’an. Al-Nabani  mengatakan  bahwasannya  sistem  politik  Islam  adalah
sistem  yang  membicarakan  tentang  kekhalifahan  dan  konsep-konsep pemerintahannya. Konsep pemerintahan Islam adalah sistem ”khilafah”, yang
mempuyai  pola  yang  unik  yang  berbeda  dari  pola  pemerintahan  lainnya. Syariat  yang diterapkan untuk mewujudkan pemerintahan. Pengaturan urusan
rakyat  dan  hubungan  luar  negerinya,  berasal  dari  Allah  Swt. Syariat  tersebut bukan dari rakyat, bukan dari beberapa orang, atau seseorang. Sedangkan ciri-
ciri khas khliafah yang menurut as-Sanhuri, ialah prinsip kesatuan umat.
22
Abul    A’la  al-Mandudi,  Politik  Alternatif:  Suatu  Perspekif  Islam,  terjemahan, Jakarta:Gema Insani Press, 1994, Cet. Ke-11, h. 35
D. Polemik Tentang Relasi Agama dalam Konteks Negara-
Bangsa
Perdebatan  antara  relasi  agama  dalam  konteks  negara  adalah  sebuah perdebatan  panjang  yang  melelahkan.  Diskursus  politik  kontemporer  pun
tidak  terlepaskan  dari  perdebatan  tersebut,  antara  pihak  yang  memisahkan agama  dari  politik,  dan  menjadikan  agama  sebagai  jiwa  spiritual  penentu
aturan moral kemasyarakatan dan konstitusi. Ada  golongan  yang  memandang  agama  sebagai  sebuah  ajaran  yang
bersifat universal, sehingga konteks kehidupan politik harus dijiwai oleh nilai- nilai  agama.  Golongan  ini  disebut  dengan  formalisme  yakin  sebuah  aliran
yang berpandangan Islam harus menjadi landasan kehidupan bernegara, Islam menjadi  basis  konstitusional  negara.  Praktek-praktek  dalam  konteks
ketatanegaraan  harus  dijiwai  oleh  nilai-nilai  Islam.  Tidak  ada  tempat  buat faham  sekulerisme.  Tokoh-tokoh  yang  mengusung  tema  besar  ini  adalah
M.Natsir dari Masyumi. Ada  juga  golongan  yang  memandang  bahwa  agama  harus  dipisahkan
dari  negara.  Alasannya  sederhana,  bahwa  wilayah  agama  adalah  wilayah private  pribadi  karena  menyangkut  keyakinan  akan  nilai-nilai  supranatural.
Sedangkan  wilayah  negara  adalah  domain  publik  yang  membutuhkan kesepakatan  bersama  berlandaskan  rasionalitas,  kemakmuran,  dan  keadilan.
Perbedaan  wilayah  publik  dan  privat  menjadi  keharusan  adanya  pemisahan yang tegas yang cenderung bersifat sekularistik.
Golongan  lain  adalah  menjadi  penengah  di  antara  kedua  arus  besar tersebut  yang  bercorak  nilai  substansialistik.  Artinya,    golongan  kedua  ini
membutuhkan  ajaran  agama  sebagai  asas  moralitas  dan  etika  dalam  konteks politik  kenegaraan. Biarpun tidak dilegalkan secara formal, namun  nilai-nilai
agama  melandasi  setiap  keputusan  hukum,  Undang-undang,  bahkan  ideologi negara.
Dalam  sejarah  pembentukan  negara  modern  Indonesia,  polemik seputar  kedudukan  agama  dalam  sistem  politik  kenegaraan  terjadi  antara
Soekarno  yang  mewakili  kaum  nasionalis  dengan  Natsir  dari  golongan agama.
23
Perdebatan itu muncul sekitar tahun 1930. Berbicara  singkat  tentang  hubungan  Islam  dan  negara,  Natsir
mengatakan bahwa agama lain dijamin hidupnya dalam suatu negara Islam. Ia berseru  kepada  golongan  kebangsaan  agar  kembali  ke  dalam  lingkungan
Islam,  apalagi  karena  bagian  terbesar  mereka  adalah  orang  Islam.
24
Ia meragukan  adanya  jaminan  perlindungan  terhadap  Islam  dalam  suatu negara
yang pemerintahannya dipegang oleh negara yang netral atau dibawah kendali non-Muslim.
Sedangkan  soekarno  menekankan  bahwa  landasan  kebangsaan berdasarkan  pada  nasionalisme  yang  luas  yang  meliputi  semua  golongan
Islam,  kristen,  Hindu,  Buddha  dengan  berasaskan  konstitusi  modern  legar- formal,  bukan  berasaskan  kepada  ajaran  agama  Islam.  Rujukan  Soekarno
adalah berdirinya negara modern Turki dengan Kemal Attaturk  yang menjadi
23
Perdebatan panjang tersebut dapat dilihat dalam karya Deliar Noer, Gerakan Moderen Islam di Indonesia 1990-1942,
Jakarta: LP3ES, 1995, h. 296-311
24
Deliar Noer, Gerakan Moderen Islam di Indonesia,.h. 299
pioner.  Soekarno  mengganggap  tidak  ada  ijma’  ulama  yang  mengenai persatuan  agama  dengan  negara,  dan  ada  juga  yang  mengatakan  agama  dan
negara terpisah karena memiliki dimensi yang berbeda.
25
Zaid  Sakhir  menjelaskan  posisi  agama  dalam  negara  dengan argumentasi  apakah  Islam  sebuah  agama  atau  ideologi.
26
Sebaggai  sebuah agama  Islam  meliputi  aspek  keyakinan,  peribadatan,  moralitas,  aturan
kemasyarakatan,  dan  aspek-espek  yang  lainnya  dalam  skala  yang  lebih  luas. Namun  di  sisi  lain,  sebagai  salah  satu  agama  terbesar  di  dunia,  Islam
dikatakan  sebagai  sebuah  ideologi  apabila  menghadirkan  teori  yang  dapat diterpakan yang bersifat lengkap dan universal bagi umat manusia. Ia berkata:
Islam  is  indeed  an  ideology  as  it  presents  a  “complete  and  universally applicable  theory  of  man  and  society.”  However,  the  relevant  realm  of
action and thought  for an  ideology  is the political, as Scruton points out. This  limitation  to  the  political  realm  marks  where  Islam  parts  with
ideology. Islam is not simply concerned with man’s political condition; it is  also  concerned  with  his  spiritual  condition,  and  at  the  heart  of  the
Islamic call is a normative program for spiritual salvation.
27
Secara umum hubungan antara  Islam dan Negara serta politik dapat dibedakan  kepada  tiga  golongan:  Pertama,  golongan  formalistik  yaitu
golongan  yang  ingin  menjadikan  Islam  sebagai  sebuah  konstitusi  resmi Negara,  tidak  sebatas  jargon  tetapi  ditempatkan  sebagai  aturan  hukum
tertinggi dalam sistem ketatanegaraan. Golongan Hizbut Tahrir, M. Natsir, dan tokoh-tokoh  Masyumi  lain;  Kedua,  golongan  substansialistik,  bagi  golongan
ini  yang  terpenting  bukan  menjadikan  agama  sebagai  legal-formal  dalam konteks Negara, melainkan sebuah upaya gerakan –meminjam istilah Quraish
25
Deliar Noer, Gerakan Moderen Islam di Indonesia,.h. 303
26
Zaid Sakhir, Islam: Religion or Ideology?, Zaituna Institute terbit 25 Juli 2006, h. 2
27
Zaid Sakhir, Islam: Religion or Ideology?, h. 4
Syihab  “membumikan  Al-Qur’an”—kulturisasi  nilai-nilai  keIslaman  yang tertanam kuat di tengah masyarakat. Tokoh penganjur utama adalah Gus Dur,
Amien  Rais,  NU,  Muhammadiyah,  Cak  Nur;  dan  ketiga,  golongan fundamentalis,  yaitu  yang  mengidolakan  kondisi  Madinah  sebagai  bentuk
Negara ideal dalam struktur Negara bangsa modern. Kebanyakan golongan ini lebih bergerak di bawah tanah seperti NII atau juga Ahmadiyah.
BAB III HISTOGRAFI AHMADIYAH
Sejarah Berdirinya Ahmadiyah
Jemaat  Ahmadiyah  adalah  gerakan  Islam  yang  di  dirikan  oleh  Mirza Gulam  Ahmad  pada  tahun  1889  M  bertepatan  dengan  tahun  1306  H.
Ahmadiyah  adalah  sebutan  singkat  dari  Jemaat  Ahmadiyah.  Jemaat  berarti kumpulan  individu  yang  bersatu  padu  dan  bekerja  untuk  suatu  program
bersama.  Ahmadiyah  adalah  nama  dari  Islam,  jadi  Ahmadiyah  adalah  suatu perkumpulan, himpunan atau organisasi  yang bersatu padu dan bekerja untuk
suatu  program  yang  sama,  yaitu  Islam.  Ahmadiyah  diambil  dari  salah  satu nama  Rosulullah  yang  diinformasikan  kepada  Nabi  Isa  a.s  dalam  Surat  As-
Shaf ayat enam yang menyatakan bahwa akan datang seorang Nabi dan Rosul yang bernama Ahmad.
Kemunculan  Ahmadiyah  di  India  merupakan  salah  satu  bagian  dari peristiwa sejarah dalam Islam yang tidak terlepas dari konteks sosial pada saat
itu. Kemunduran dunia Islam  yang ditandai oleh runtuhnya kerajaan Ustmani 1683.  Sementara  di  Barat  perkembangan  ilmu  pengetahuan  dan  industri
semakin berkembang pesat, yang ditandai dengan berbagai macam penemuan yang  antara  lain  ditemukannya  alat  tranportasi  dengan  menggunakan  tenaga
uap  pada  tahun  1902  M  dan  penemuan-penemuan  yang  lainnya.  Kemajuan ilmu  pengetahuan  dan  teknologi  tersebut  menyebabkan  Barat  semakin
melebarkan  kekuasaan  kolonialnya kedunia  yang  pernah dikuasai oleh Islam.
29
Seperti  Inggris  dapat  menjajah  India  dan  Mesir,  Prancis  dapat  menguasai Afrika  Utara,  dan  bangsa-bangsa  Barat  lainya  menduduki  bekas  Imperium
Islam. Kerajaan  Islam  yang  menguasai  anak  benua  India  adalah  kerajaan
Mughal  1526-1858  M  yang  saat  itu  sedang  menuju  kehancuran.  Hal  ini disebabkan  oleh  beberapa  hal.  Pertama,  melemahnya  pemerintahan  karena
dekadensi  moral  dan  polah  hidup  mewah  para  pejabat  pemerintah  pasca Aungrazeb
.  Kedua,  adanya  pemberontakan  yang  dilakukan  secara  terus menerus  oleh  golongan  Hindu  dan  Sikh  di  India.  Walaupun  India  berada
dalam  wilayah  kekuasaan  kerajaan  Islam  Mughal,  tetapi  mayoritas penduduknya masih beragama Hindu, sebagain lain beragama Kristen, Budha,
Sikh.  Tercatat  telah  terjadi  pemberontakan  Sikh  yang  dipimpin  Guru  Tgh Bahdur  dan  Guru  Gobin  Singh.  Golongan  Rajput  juga  mengadakan
pemberontakan dibawah pimpinan raja Udaipur, sedangkan golongan Maratah di pimpin Sivaji dan anaknya yang bernama Sambaji. Pada masa pemerintahan
raja  Bahdur  Syah  juga  terjadi  pemberontakan  dari  golongan  Sikh  dibawah pimpinan  Bandah  yang  berhasil  merampas  kota  Sadhaura  di  sebelah  utara
Delhi,  dan  mengadakan  perampasan  serta  pembunuhan  terhadap  penduduk yang  beragama  Islam  di  kota  Sirhind.  Selain  itu  golongan  Maratah  yang
dipimpin  Raji  Rao  dapat  merampas  sebagian  daerah  Gujarat  tahun  1732  M. Ketiga
, adanya campur tangan Inggris yang datang ke India sejak Abad ke 15, terutama setelah pecahnya revolusi India yang terkenal dengan pemberontakan
Munity 1857 M. Pemberontakan  ini berakhir dengan  kemenangan  East India
Company ,  dimana  Inggris  menjadikan  India  sebagai  salah  satu  keoloninya
yang  terpenting  di  dunia.  Dengan  runtuhnya  kerajaan  Mughal  di  India  maka secara  otomatis  runtuh  pula  kekuasaa  Islam  dan  inilah  periode  kemerosotan
ummat  Islam.  Secara  otomatis  dengan  berkuasanya  Inggris  di  India  maka sistem  pemerintahannya  pun  berganti  dan  masuknya  kebudayaan  Eropa
kedalam India. Pada masa India berada dalam kekuasaan Inggris terjadi gerakan misi-
misi  Kristenisasi  yang  terjadi  hal  ini  bukan  hanya  di  India  akan  tetapi  di seluruh  dunia  yang  dilakukan  sejak  tahun  1804 M,  khususnya  ketika  British
and  Foreign  Society terbentuk.
28
Kelompok  Kristen  menetapkan  pada  tahun 1813-1815  M  sebagai  The  Great  Century  of  World  Evangelization  Abad
Agung  Penginjilan  Dunia,  dimana  anak  benua  India  merupakan  sebuah sasaran  yang  dijadikan  sebuah  proyek  besar  bagi  gerakan  penginjilan  atau
kristenisasi,  sehingga  jutaan  orang  masuk  kedalam  agama  Kristen  melalui gerakan  missionaris  Kristen.  Ketika  terjadi  pergerakan  Kristenisasi  di  India
kondisi  umat  Islam  semakin  mengalami  kemunduran,  kelompok  Neo-Hindu bermunculan,  diantara  yang  paling  militan  dan  agresif  adalah  sekte  Arya
Samaj  merupakan  gerakan  yang  ingin  mengembalikan  kemurnian  agama Hindu dan menampilkan sebagai suatu kebanggaan nasional India, menentang
pemahaman-pemahaman  Hindu  Brahma  yang  ortodoks  dan  sering melancarkan  serangan  besar-besaran  terhadap  ajaran  Kristen  dan  Islam.
28
Husain bin Abu Bakar Al-Habsyi, Ahmadiyah Qadian dan kekafiran.hal. 45
Gerakan ini sudah berkembang dari tahun 1819 M yang dipimpin oleh Swami Dayananda Saraswati yang diberi gelar Hindu Luther oleh para penentangnya.
Kondisi  umat  Islam  India  pada  saat  itu,  mengalami  dekadensi  moral dan sekaligus  kemunduran dari segi  intelektualitas. Sering terjadi perpecahan
dalam  diri  umat  Islam  sendiri  disebabkan  oleh  perbedaan-perbedaan pandangan.    Di  tengah  keadaan  sosial  dan  politik  India  seperti  di  atas  tadi
Ahmadiyah di lahirkan dengan berorientasi pada pembaharuan pemikiran dan juga  sebagai  protes  terhadap  gerakan  kaum  misionaris  Kristen  dan  juga
sebagai protes terhadap paham rasionalis dan westernisasi yang dibawah oleh Sayyid  Ahmad  Khan  yang  merupakan  pelopor  menerapkan  ide-ide
pembaharuan  demi  kemajuan  umat  Islam  di  India  dengan  Aligarh-nya. Pusatnya ialah Muhammedan Anglo Oriental Colloge yang kemudian menjadi
Universitas di India. Orientasi kelahiran Ahmadiyah adalah pembaharuan pemikiran ummat
Islam.  Pendiri  Ahmadiyah  Mirza  Gulam  Ahmad  merasa  memiliki  tanggung jawab besar yang harus dia pikul untuk memajukan Islam dengan memberikan
interpretasi  baru  terhadap  ayat-ayat  Al-Qur’an  sesuai  dengan  zamannya, dengan menulis kitab yang dijadikan rujukan utama setelah Al-Qur’an nomor
dua yaitu Tadzkirah.
Tokoh-tokoh Ahmadiyah
Mengingat  aliran  bernama  Ahmadiyah  ini  telah  memunculkan kontroversi tidak saja di Anak Benua  India-Pakistan, bahkan di Afrika dan
Eropa, tetapi juga di berbagai belahan dunia lainnya termasuk Indonesia, maka menelisik  tokoh  sekaligus  pendirinya  jelas  sangat  penting.  Dari  perspektif
historis, gerakan Ahmadiyah didirikan oleh Mirza Ghulam Ahmad pada paruh akhir tahun abad ke-19 M. jauh hari sebelum terjadi pemisahaan Anak Benua
yang sekarang menjadi Pakistan. Mirza  Ghulam  Ahmad  lahir  pada  saat  shubuh,  bertepatan  pada  hari
Jum’at tanggal 13 Februari 1835 M yang dalam kalender Islam tepat pada 14 Syawal 1250 H di Qadian India.
29
Qodian adalah sebuah desa yang terletak di distrik  Gurdaspur  Punjab  India,  Jaraknya  100  km  disebelah  Timur  laut  kota
Lahore.  Asal  usul  kata  Qadian  berasal  dari  nenek  moyang  Mirza  Gulam Ahmad  yang bernama  Mirza  Hadi  Beg  yang  diangkat  sebagai  qadhi  hakim
maka  tempat  itu  disebut  Islampur  Qadhi  yang  dalam  perkembangan selanjutnya  hanya terkenal dengan Qadhi berubah manjadi Qadian  ini karena
logat daerah tersebut. Mirza Gulam Ahmad ayahnya bernama Mirza Ghulam Murtadha yang
meninggal  pada  tahun  1876,  merupakan  seorang  tabib  yang  sangat  terkenal. Ibunya  bernama  Ciraagh  Bibi,  sedangkan  kakeknya  adalah  Mirza  Atha
Muhammad bin Mirza Gul Muhammad adalah keturunan Haji Barlas.
30
Yang berasal  dari  keluarga  Moghul.  Haji  Barlas  adalah  raja  kawasan  Qesh  yang
merupakan  paman  Amir  Tughlak.  Ketika  penyerangan  terjadi  Haji  Barlas sekeluarga  terpaksa  mengungsi  ke  Khurasan  dan  Samarkhan  yang  kemudian
29
A.  Nahdi,  Sejemput  Riwayat  dan  Mukjizat  Pendiri  Ahmadiya.,  Jakarta:  Raja  Pena, 2001.h. 4
30
Basyiruddim  Mahmud  Ahmad,  Riwayat  Hidup  Mirza  Ghulam  Ahmad,  terj.  Malik  Aziz Ahmad Khan.  Parung: Jamaah Ahmadiyah Indonesia, 1995.h. 2.
menetap  disana.  Pada  tahun  1503  M  seseorang  keturunan  Haji  Barlas  yang bernama  Mirza  Hadi  Beg  beserta  200  pengikutnya  hijrah  dari  Khurasan  ke
daerah  Gurdashpur  di  Punjab  yang  letaknya  70  mil  sebelah  Timur  Lahore sekitar kawasan sungai Bias dengan mendirikan perkampungan yang bernama
Islampur. Dalam  bidang  pendidikan  Mirza  Ghulam  Ahmad  tidak  pernah
menerima pendidikan formal karena dengan situasi sosial dan poltik pada saat itu di Qadian belum ada sekolah formal. Ia mulai mendapat pendidikan ketika
berusia  6-7  itu  pun  belajar  atas  keinginan  dari  ayahnya  untuk  memberikan pendidikan  kepada  anaknya  dengan  memanggil  seorang  guru  bernama  Fazal
Ilahi untuk belajar membaca Al-Quran, serta beberapa kitab bahasa Parsi yang bermuatan  pendidikan  agama  Islam.
31
Ketika  dia  berusia  10  Tahun  ayahnya mempekerjakan  seorang  guru  yang  bernama  Fazal  Ahmad  untuk  mengajar
nahwu  dan  sharaf.
32
Pada  saat  ia  berumur    17  tahun  ayahnya  kembali memanggil seorang guru bernama Gul Ali Syah untuk memberikan pengajaran
kepada  Mirza  Ghulam  Ahmad  dengan  pelajaran  Ilmu  Mantiq Logika.  Ilmu tentang pengobatan ia pelajari sendiri kepada ayahnya langsung.
Pada  masa  ia  telah  menyelesaikan  pendidikan  non-formal,  dan stabilnya  politik  dalam  negeri  India  dengan  ditandai  tidak  adanya
pemberontakan-pemberontakan  menentang  kolonialisme  Inggris,  banyak warga  yang  ingin  memperbaiki  kehidupan  khususnya  dalam  bidang  ekonomi
dengan  bekerja  kepada  kolonilisme  Inggris,  demikian  juga  kelurga  Mirza
31
A. Fajar Kurniawan, Teologi Kenabian Ahmadiyah, Jakarta : RM Books, 2006.h.39
32
skripsi lihatIhsan Ilahi Zakir, A-Qadaniyah dan I’tiqadnya,terj. Asmuni Dalam Mengapa Ahmadiyah dilarang. Jakarta: Darul Falah, 2006.h. 152.
Ghulam Ahmad  yang dari semula  sudah bekerja  untuk pemerintah  Inggris di India maka anaknya pun Mirza Ghulam Ahmad pada usia 29 tahun dia bekerja
pada  pemerintahan  Inggris  di  kantor  Bupati  Sailkot.  Setelah  empat  tahun bekerja dia dipanggil ayahnya kembali ke kampung halaman untuk menekuni
pekerjaan  dalam  bidang  pertanian.  Akan  tetapi  tidak  lama  dia  menggeluti bidang  pertanian,  merasa  tidak  cocok  dengan  apa  yang  dia  kerjakan.  Mirza
Ghulam  Ahmad  menghabiskan  waktunya  dengan  mengkaji  Al-Quran, menelaah buku, mengajar, dan berdiskusi tentang agama.
33
Pada tahun 1875, Mirza Ghulam Ahmad merasakan kesedihan dengan melihat  golongan  Hindu,  Nasrani,  Sikh,  dan  golongan  lainnya  yang
melancarkan  serangan  kepada  Islam.  Mirza  Ghulam  Ahmad  melakukan Mujahadah
atau menjalani disiplin asketis dengan melakukan puasa selama 6 bulan  berturut-turut.  Tujuannya  adalah  untuk  bertawajjuh  kepada  Allah
dengan media puasa, sholat tahajjud, dan semakin mendalami ajaran Islam. Dengan  memiliki  modal  dan  kekuatan  hati  Mirza  Ghulam  Ahmad
dapat  memberikan  jawaban  dan  sanggahan  terhadap  argumentasi  kelompok lain  yang  mendiskreditkan  Islam.  Kemudian  hasil  buah  pikirannya  ia
publikasikan  dalam  bentuk  artikel  di  media  massa.  Puncaknya  pada  tahun 1880 M, Ghulam Ahmad banyak menulis karyanya lebih dari 86 karya ilmiah
yang telah ia ciptakan. Ketika dia berusaha semakin mendalami ajaran Islam, dia dihadapkan
pada  kesedihan  dengan  meninggalnya  ayahnya  pada  tahun  1876  M.  akan
33
A. Fajar Kurniawan, Teologi Kenabian Ahmadiyah,  h.
tetapi  hal  itu  tidak  mengurangi  produktifitas  dalam  menulis  sebuah  gagasan. Karya  Mirza  Ghulam  Ahmad  yang  sangat  monumental  adalah  Barahin
Ahmadiayah yang  berisikan  tentang  penjelasan  keunggulan  ajaran  ummat
Islam dibanding dengan ajaran-ajaran agama-agama lainnya. Dengan buku itu maka  terjadi  pro-kontra  dalam  kalangan  umat  beragama  India.  Tidak  seperti
halnya  di  kalangan  non-muslim  yang  menimbulkan  berbagai  polemik  dan perbedaan  sengit,  akan  tetapi  dikalangan  umat  Islam  sendiri  kehadiran  buku
tersebut  disambut  dengan  suka  cita,  karena  telah  dianggap  membela  ajaran Islam dari serangan serangan yang selama ini dilancarkan oleh berbagai pihak,
khususnya  dari  kalangan  neo-Hindu  Arya  samaj  dan  Brahma  Samaj,  dan Nasrani. Salah seorang ulama ahli hadist ternama, Maulvi Muhammad Husain
Batalwi, menulis dalam bukunya Isyaat as Sunnah jilid VII, no 6-10, halaman 169-170 dan Swanah Fazl Umar Jilid I, Halaman 20:
Menurut pandangan  kami, Pada  zaman  sekarang  dan  sesuai  dengan kondisi  yang  berlaku  buku  ini  adalah  sedemikian  rupa  yang  mana
sampai  saat  ini  tidak  ada  bandingannya  telah  ditulis  dalam  Islam, dan tidak ada kabar di masa mendatang karena Allah lah yang lebih
mengetahui  kejadian  setelah  ini.  Penulisannya  pun  dalam  hal memberi  bantuan  terhadap  Islam  dari  segi  harta,  jiwa,  tulisan
maupun  lisan,  dan  langkah-langkahnya  adalah  sangat  teguh  dan kokoh  karenanya,  sangat  sedikit  sekali  diketemukan  contoh  seperti
dirinya biarpun dari kalangan umat Islam terdahulu.
34
Dengan  terbitnya  buku  Barahin  Ahmadiyah  yang  didalamnya  ada pendakwaan  Ghulan  Ahmad  sebagai  Mujahid  abad  ke  14  M.  berdasarkan
ilham-ilham  yang  diterimanya,  maka  pada  tahun  1883  banyak  dari  kalangan umat  Islam  yang  berkeinginan  untuk  melakukan  bai’at  janji  setia  menjadi
34
Asep Burhanuddin, Ghulam Ahmad: Jihad Tanpa Kekerasan. Jogjakarta: Lkis 2005.h. 36
muridnya,  tetapi  Ghulam  Ahmad  sendiri  menolak  dengan  alasan  belum mendapatkan  ilham  Mandat  dari  Allah  untuk  menerima  bai’at  dari  orang-
orang. Selanjutnya, berdasarkan  ilham  yang sudah ia terima pada tahun 1888 M untuk pengambilan bai’at, maka pada tanggal 23 Maret 1889 M. Sebanyak
40  orang  melakukan  bai’at  pertama  di  tangan  Ghulam  Ahmad  yang dilaksanakan di rumah Mia Ahmad Jaan, Ludhiana, India.
35
Setelah  Mirza  Ghulam  Ahmad  mangkat  pada  26  Mei  1908,  maka estafet  gerakan  Ahmadiyah  dilanjutkan  oleh  pengikut  setianya,  Maulana
Hakim Nuruddin yang dianggap sebagai khalifah Masih I 1908-1914.
9
Sebelum kematiannya pada tanggal 13 Maret 1914 ia mengangkat anak sulung  Mirza  Ghulam  Ahmad  yakni  Hazrat  Basyiruddin  Mahmud  Ahmad
sebagai  khalifah  Masih  II  1914-1965.  Pada  masa  kekhalifahannya  dimulai penyebaran  Ahmadiyah  ke  Indonesia  yang  dibawa  oleh  tiga  pemuda  asal
Minangkabau yaitu Ahmad Nurdin, Abubakar Ayub, Zaini Dahlan. Segera  ketiga  pemuda  itu  mendapati  bahwa  sumber  dari  Ahmadiyah
adalah  dari  Qadian,  dan  sekalipun  ditentang  dan  dilarang  oleh  Anjuman Isyaati  Islam Ahmadiyah Lahore, ketiga pemuda itu pergi  ke Qadian, pusat
Jemaat  Ahmadiyah  yang  didirikan  oleh  Hadhrat  Mirza  Ghulam  Ahmad  a.s., Masih Mau’ud. Bukan hal yang aneh ketiga pemuda itu segera baiat di tangan
Hadhrat  Khalifah  Masih  II  r.a..  Hadhrat  Haji  Mirza  Basyruddin  Mahmud Ahmad  r.a.,  peristiwa  baiat  ketiga  pemuda  itu  akan  mengubah  wajah
masyarakat Islam Indonesia di masa yang akan datang.
35
Asep Burhanuddin, Ghulam Ahmad: Jihad Tanpa Kekerasan ,h. 37
9
Husain bin Abu Bakar Al-Habsyi,Ahmadiyah Qadian dan kekafiran,hal.17
Ketiga  pemuda  Indonesia  itu  melanjutkan  studi  mereka  di  Madrasah Ahmadiyah.  Tidak  lama  kemudian  mereka  merasa  perlu  membagi  berkat
karunia  Tuhan  yang  telah  mereka  terima  itu  dengan  rekan-rekan  mereka  di Sumatera  Tawalib.  Mereka  mengundang  rekan-rekan  pelajar  mereka  di
Sumatera  Tawalib  untuk  belajar  di  Qadian.  Tidak  lama  kemudian  duapuluh tiga orang pemuda Indonesia dari Sumatera Tawalib bergabung dengan ketiga
pemuda Indonesia  yang terdahulu, untuk melanjutkan  studi juga baiat masuk ke dalam Jemaat Ahmadiyah.
Dua  tahun  setelah  orang  indonesia  yang  pertama  baiat  ke  dalam Ahmadiyah,  Hadhrat  Khalifatul  Masih  II  r.a.  pergi  ke  Inggris  untuk
menghadiri  Seminar  Agama-agama  di  Wembley,  kemudian  mengadakan kunjungan di Eropa. Setelah Hadhrat Khalifah kembali dari lawatan ke barat,
para  pelajar  Indonesia  menginginkan  sekali  agar  negara  mereka,  Indonesia, mendapatkan  karunia  dari  Hadhrat  Masih  Mau’ud  a.s.  melalui  khalifahnya.
Para  pelajar  kemudian  mengundang  Hadhrat  Khalifatul  Masih  II  r.a.  dalam suatu  jamuan  teh,  yang  didalamnya  alm  Haji  Mahmud  –  juru  bicara  para
pelajar  indonesia  –  menyampaikan  sambutan  dalam    Bahasa  Arab, mengungkapkan  harapan  mereka  bahwa  sebagaimana  Hadhrat  Khalifatul
Masih  II  r.a.  telah  mengunjungi  barat,  mereka  mengharapkan  Hadhrat Khalifatul  Masih  II  r.a.  berkenan  mengunjungi  ke  timur,  yaitu  ke  Indonesia.
Hadhrat Khalifatul Masih II r.a menjawab dalam Bahasa Arab bahwa mereka jangan  khawatir  dan  berduka cita,  karena  itu  adalah  tanda-tanda  ornag-orang
tidak  beriman.  Dan  Hadhrat  Khalifatul  Masih  II  r.a  meyakinkan  mereka
bahwa  karena  Hadhrat  Masih  Mau’ud  r.a  adalah  Zulqarnain  yang  memiliki dua tanduk, satu mengarah ke barat dan  yang  lain mengarah ke timur, maka
pesan    Hadhrat  Masih  r.a  juga  meyakinkan  mereka  bahwa  meskipun  beliau sendiri tidak dapat mengunjungi Indonesia, beliau akan mengirim wakil beliau
ke  Indonesia.  Kemudian,  alm  Maulana  Rahmat  II  r.a.  dikirim  sebagai muballigh  ke  Indonesia  sebagai  pemenuhannya.  Pada  hari  yang  dibasahi
hujan, pertengahan musim panas tahun 1925, Hadhrat Khalifatul Masih II r.a, Hadhrat  Haji  Mirza  Basyiruddin  Mahmud  Ahmad  r.a.  memimpin  pelepasan
alm  Maulana  Rahmat  Ali  r.a.  berangkat  ke  Indonesia.  Pondasi perkembangan Ahmadiyah di Indonesia telah diletakkan.
Kemudian  kekhalifahan  berpindah  kepada  Mirza  Nasir  Ahmad, khalifah ketiga 1965 – 2003, sebagai khalifah III. Pada khalifah ketiga inilah
yang  pertma  kali  berkunjung  ke  Indonesia  dan  diterima  langsung  oleh Presiden  Abdurrahman  Wahid  pada  waktu  itu.  Setelah  itu  kekuasaan  beralih
ke tangan Mirza Masroor Ahmad 2003 – sekarang. Saat  itulah  dinyatakan  sebagai  peletak  batu  pertama  berdirinya
organisasi al-Jamaah al-Islamiyah Ahmadiyah Jamaah Islam Ahmadiyah.
Doktrin-Doktrin Ahmadiyah
1.  Masalah Kenabian
Ahmadiyah secara teologis, memiliki banyak doktrin yang dijadikan landasan  dalam  keyakinan  para  pengikutnya.  Akan  tetapi  doktrin-doktrin
Ahmadiyah  bukanlah  doktrin  pokok  dalam  ajaran  tersebut.  Beberapa
doktrin  Ahmadiyah  yang  dianggap  tidak  paralel  dengan  umat  Islam  pada umumnya,  termasuk  pemahaman  para  ulama.  Doktrin-doktrin  yang
dikategorikan  sebagai  doktrin  terpenting  di  kalangan  Ahmadiyah,  antara lain yaitu tentang kenabian, al-Mahdi dan al-Masih, Wahyu, khilafah, dan
jihad. Untuk lebih jelasnya, berikut penulis akan uraikan. Masalah Kenabian
Sebagaimana  telah  diuraikan  sebelumnya,  bahwa  telah  terjadi perpecahan di dalam tubuh Ahmadiyah sehingga terbentuk dua kubu yaitu
Ahmadiyah  Qadian  dan  Ahmadiyah  Lahore  akibat  beberapa  perbedaan pandangan  tentang  doktrin  yang  mereka  anut.  Salah  satu  dari  doktrin
tersebut  adalah  mengenal    pendakwaan  Mirza  Ghulam  Ahmad  sebagai Nabi.  Maka  ketika  berbicara  mengenai  kenabian,  akan  terlihat  jelas
perbedaan argumen yang dikumandangkan oleh masing-masing kelompok tersebut.
Sedangkan  istilah    nabi  sendiri  berasal  dari  kata  naba’  yang  berarti membawa  kabar  gaib,  juga  berarti  ramalan  tentang  peristiwa  yang  akan
terjadi.  Sedangkan  menurut  Ahmadiyah,  istilah  nabi secara  syar’i    hanya diterapkan  kepada  manusia  pilihan  Allah  dan  ia  diutus  untuk
menyampaikan  perintah  Allah  kepada  manusia.  Ia  juga  disebut  rasul utusan  Allah.  Dengan  demikian,  semua  nabi  adalah  rasul  dengan  kata
lain,  nabi  dan  rasul  adalah  satu,  tidak  berbeda.  Mengenai  nabi  dan  rasul, golongan  Ahmadiyah  Lahore  memberi  penjelasan  berbeda, bahwa  semua
nabi  itu  utusan  Allah  dan  semua  nabi  adalah  rasul.  Bedanya,  kata  nabi
hanya diterapkan  kepada manusia, sedangkan kata rasul selain diterapkan kepada manusia juga diterapkan kepada malaikat. Dasar yang dipakai oleh
kelompok ini adalah  firman Allah surat al-Hajj 22:”Allah memilih para utusan dari kalangan Malaikat dan dari manusia”.
Adapun  menurut  pandangan  Ahmadiyah  Qadian  tentang  kenabian, bahwa  kenabian  itu  terus  menerus  berlangsung  hingga  hari  kiamat.
Ahmadiyah  sangat  tidak  setuju  kepada  pendapat,  bahwa  setelah  Nabi Muhammad Saw. tidak ada lagi. Menurut Ahmadiyah Qadian, bahwa Nabi
Muhammad Saw merupakan  nabi penutup  yang  membawa syari’at. Akan tetapi  bukan  penutup  nabi-nabi  yang  tidak membawa  syari’at.  Maka  dari
itu  tetap  terbuka  di  utusnya  nabi  yang  tidak  membawa  syari’at  setelah Nabi Muhammad Saw, atau dengan perkataan lain sesudah pengangkatan
Nabi Muhammad Saw sebagai Nabi, Tuhan tetap mengangkat terus nabi- nabi.
2.  Masalah al-Mahdi dan al-Masih
Mengenai doktrin ini, antara Ahmadiyah Lahore maupun Ahmadiyah Qadian  sama  sekali  tidak  ada  perbedaan.  Menurut  Ahmadiyah,  doktrin
tentang  al-Mahdi  tidak  dapat  dipisahkan  dari  masalah  kedatangan  Isa  al- Masih di akhir zaman.  Hal  itu karena al-Mahdi dan al-Masih adalah satu
tokoh,  satu  pribadi  yang  kedatangannya  telah  dijanjikan  Tuhan.  Ia ditugaskan  untuk  membunuh  Dajjal  dan  mematahkan  tiang  salib,  yakni
mematahkan  argumen-argumen  agama  Nasrani  dengan  dalil-dalil  atau
bukti-bukti  yang meyakinkan  serta  menujukkan  kepada para  pemeluknya tentang  kebenaran  Islam.  Selain  itu,  ia  ditugaskan  untuk  menegakkan
kembali  syari’at  Nabi  Muhammad  Saw,  sesudah  umatnya  mengalami kemerosotan dalam kehidupan beragama.
Mengenai  kedatangan  al-Mahdi  dan  al-Masih  yang  dijanjikan, mereka menggunakan sabda Nabi Saw. Sebagai dasar,  yang diriwayatkan
oleh  Imam  Bukhari  dan  Ibnu  Bukair,  dari  al-Laits  dari  Yunus,  dari  Ibnu Syihab, dari  Nafi’ Maulana  Abi  Qatadah  al-Anshari,  dari   Abu  Hurairah,
bahwa kata-kata imamukum minkum menunjukan seseorang di antara umat Islam  sendiri.  Artinya,  bukan  seorang  imam  yang  datang  dari  luar  umat
Islam,  misalnya  dari  Bani  Israil.  Dengan  demikian,  al-Masih  yang  akan datang  di  akhir  zaman  itu  bukanlah  Nabi  Isa  a.s  yang  telah  wafat,
melainkan  seorang  muslim  yang  mempunyai  perangai  atau  sifat-sifat seperti nabi Isa a.s dalam pandangan Ahmadiyah, al-Masih yng dijanjikan
itu adalah Mirza Ghulam Ahmad dari Qadian. Menurut  Ahmadiyah,  hadis  tentang  turunnya  al-Masih  Nuzul  al-
Masih tidak dapat dipahami secara harfiah, tetapi harus di pahami secara kiasan.  Alasan  yang  mereka  gunakan  adalah:  Pertama,  Sabda  Nabi  Saw
secara lahiriah ditunjukan kepada sahabatnya, akan tetapi secara hakikat ia ditunjukan  kepada  umat  Islam  zaman  akhir;  kedua,  Nabi  a.s  tidak  dapat
digolongkan  ke  dalam  kata  antum  kaum  umat  Muhammad.  Sebab,  a Nabi Isa memang bukan umat Muhammad; b Nabi Isa adalah Imam Bani
Israil;  c  Nabi  Isa  sudah  wafat;  d  Orang  yang  sudah  wafat  tidak  akan bangkit lagi ke dunia sebelum hari kiamat datang.
Sedangkan  Ahmadiyah  Lahore  berpendapat  bahwa  sendainya  Nabi Isa  benar-benar  akan  dibangkitkan  kembali  maka  hal  itu  berarti
membongkar segel penutup kenabian. Ini merusak dasar akidah Islamiyah bahwa  Nabi  Muhammad  Saw    adalah  penutup  para  nabi.  Sementara  jika
kedatangan  al-Masih  bukan  sebagai  nabi,  melainkan  sebagai  umat,  maka hal  itu  berarti  menrunkan  derajat  Nabi  Isa  a.s  dari  derajat  nabi  menjadi
umat biasa.
3.   Masalah Wahyu
Wahyu  menurut  Ahmadiyah  ialah  pembucaraan  Allah  dengan hamba-Nya dalam bentuk  lafadz-lafadz,  yang terdengar oleh orang-orang
yang menerimanya. Ia  berpendapat  bahwa  wahyu  Allah  yang  dimaksud  dalam  al-
Qur’an  adalah  kenyataan  yang  universal.  Wahyu  Allah  tidak  hanya diturunkan  kepada  para  nabi  dan  utusan  Allah  saja,  tetapi  dikaruniakan
juga kepada semua umat manusia, dan bahkan dikaruniakan kepada semua ciptaan-Nya. Seorang propagandis Ahmadiyah Qadian dari Sialkot, Nazir
Ahmad,  menjelaskan  bahwa  wahyu  yang  terputus  sesudah  Rasulullah adalah  wahyu  tasyri  atau  wahyu  syari’at,  bukan  wahyu  mutlak.
Selanjutnya ia menjelaskan bahwa  yang dimaksud dengan wahyu terakhir
ini tidak dikhususkan hnya untuk para nabi saja, akan tetapi diberikan juga kepada selain mereka.
Dalam  menggunakan  istilah  wahyu  dan  ilham,  Mirza  Ghulam Ahmad  semula  mengakui  bahwa  petunjuk  yang  diterimanya  dari  Tuhan
sebagai  ilham,  kemudian  oleh  para  pengikutnya  dinyatakan  sebagai wahyu.  Pernyataan  seperti  itu  tidak  dibantah  sama  sekali  oleh  Ghukam
Ahmad, bhakan ia mengakui kebenarannya. Dengan demikian, Ahmadiyah tidak membedakan antara ilham dan wahyu.
4.   Masalah Khilafah
Pemahaman  terhadap  konsep  khilafah  dikalangan  dua  kubu Ahmadiyah,  Lahore  dan  Qadian,  sama-sama  mendasarkan  pada  ayat  al-
Qur’an,  akan  tetapi  memiliki  perbedaan  dalam  tingkat  pemahaman. Menurut  Mirza  Basyiruddin  Mahmud  Ahmad  yang  beraliran  Ahmadiyah
Qadian,  perkataan  khilafah  pengganti,  di  dalam  al-Qur’an  digunakan dalam tiga pengertian:
Pertama, khalifah dipergunakan untuk nabi-nabi yang seakan-akan
menjadi  pengganti  Allah di  dunia.  Misalnya  Nabi Adam disebut  khalifah dan Nabi Daud disebutkan juga sebagai khalifah.
Kedua, khalifah  diartikan  sebagai  kaum  yang  datang  kemudian.
Dalam  pengertian  ini  dartikan  sebagai  pengganti  nabi,  dipilih  oleh
kaumnya  sendiri.  Sebagai  contoh  adalah  khalifah  Abu  Bakar  yang menggantikan Nabi Muhammad Saw.
Ketiga, khalifah  dipergunakan  untuk  para  pengganti  nabi  karena
mereka  mengikuti  jejak  para  nabi  sebelum  mereka.  Khalifah-khalifah semacam itu dapat diangkat oleh  Tuhan sendiri. Khalifah yang berpangkat
nabi  ini  adalah  pembantu  bagi  nabi  yang  ada  sebelumnya  atau  pada masanya. Umpamanya Nabi Harun adalah khalifah bagi Nabi Musa.
Dari  ketiga  pengertian  khalifah  di  atas,  diambil  suatu  kesimpulan bahwa  khalifah  hanyalah  pemimpin-pemimpin  rohani.  Aliran  Ahmadiyah
Qadian menjelaskan bahwa tidak semua nabi dan  rasul yang disebutkan di dalam Al-Qur’an menjabat sebagai pemimpin ruhani  sekaligus pemimpin
pemerintahan.  Di  antara  sekian  banyak  nabi  dan  rasul  yang  disebutkan dalam  al-Qur’an  hanya  beberapa  orang  saja  yang  menjadi  pemimpin
rohani dan sekaligus pemimpin pemerintahan. Berbeda dengan pandangan Ahmadiyah aliran Qadian, Ahmadiyah
aliran Lahore menyatakan bahwa ada dua macam khalifah: 1.
Khalifah  yang  sesuai  dengan  makna  khalifah  dalam  Al-Qur’an  Q.S. An Nur:55. Dalam ayat tersebut dijelaskam bahwa umat Islam adalah
umat  yang  akan  memimpin  peradaban  di  muka  bumi,  karena  itu dibutuhkan  sistem  kekhalifahan  untuk  membangun  pemerintahan
tersebut.  Nabi  Muhammad  Saw  adalah  khalifah  pertama  yang kemudian  dilanjutkan oleh para sahabatnya khulafaur rasyiddin..
2. Khalifah  yang  dimaknai  sebagai  mujaddid  dan  para  tokoh  spiritual
yang  mendirikan  sebuah  organisasi  atau  komunitas  terstruktur  yang akan meneruskan syariat.
Dikalangan  aliran  Ahmadiyah  pun  terjadi    perbedaan  pendapat mengenai posisi setelah Ghulam Ahmad meninggal. Menurut Ahmadiyah
Qadian  setelah  Ghulam  Ahmad  meninggal,  maka  berdirilah  sistem khilafah  dalam  Ahmadiyah  yang  dikenal  dengan  khalifah  Al  Masih.
Doktrin  khalifah  Al  Masih  ini  didasarkan  dan  dimotivasi  oleh  wasiat Ghulam
Ahmad mengenai
keharusan adanya
khalifah yang
menggantikannya.
36
Sedangkan aliran Ahmadiyah Lahore dengan dasar Al Qur’an surat An  Nur  ayat  55  dan  wasiat  dari  Ghulam  Ahmad  sebagai  landasannya,
bahwa setelah  kekhalifahan  Ghulam Ahmad, maka berakhir sudah sistem khilafah  dalam  Ahmadiyah.  Setelah  kepemimpinan  Ghulam  Ahmad
tampuk  kepemimpinan  dan  keputusan  tertinggi  berada  di  tangan  Sadr Anjuman  Ahmadiyah.  Sementara  dengan  sangat  diplomatis  aliran  ini
mengatakan  bahwa  seandainya  masih  dibutuhkan  khalifah,  maka  tidak wajib ditaati karena khalifah hanya berfungsi sebagai penerima baiat saja,
sementara  tanggung  jawab  kepemimpinan  tetap  berada  di  tangan  Pusat Anjuman  Ahmadiyah  dan  keputusannya  wajib  ditaati.  Menurut  Aliran
Ahmadiyah Lahore bahwa setelah khilafah rasyidah  dan termasuk setelah
36
A. Fajar Kurniawan. Teologi Kenabian Ahmadiyah, h.77
Ghulam  Ahmad  tidak  ada  lagi  khalifah,  yang  ada  hanya  mujaddid  yang muncul setiap satu abad sekali.
5.   Masalah Jihad
Pengertian  Jihad  menurut  Ahmadiyah,  Lahore  maupun  Qadian adalah mencurahkan segala kesanggupan dalam menghadapi pertempuran,
menyampaikan pesan. Kebenaran atau dengan kata lain jihad adalah tidak menahan  apapun,  mengarahkan  segala  daya  dengan  memaksakan  diri
dalam mencapai suatu tujuan. Ahmadiyah  mengklasifikasikan  jihad  menjadi  tiga  kategori,  yaitu:
Pertama, jihad  shagir  adalah  perjuangan  membela  agama,  nusa,  dan
bangsa  dengan  mempergunakan  senjata  terhadap  musuh-musuh  yang menggunakan kekerasan dan senjata dengan tujuan memusnahkan agama,
nusa,  dan  bangsa.  Ahmadiyah  meyakini  bahwa  perjuangan  atau  jihad dengan senjata untuk membela agama sudah tidak diperlukan lagi saat ini,
karena  tidak  ada  orang  atau  pihak  yang  mempergunakan  senjata  untuk membela  dan  mengembangkan  agama.    Kedua,  Jihad  Kabir  adalah
perjuangan atau jihad dengan mempergunakan dalil-dalil atau keterangan, baik  lisan  maupun  tulisan  untuk  meyebarluaskan  ajaran  al—Qur’an
kepada  kaum  kafir  dan  musyrik.  Jihad  dalam  bentuk  ini  yang  sedang dilancarkan  oleh  Ahmadiyah  saat  ini.  ketiga,  Jihad  Akbar  adalah
perjuangan  atau  jihad  terhadap  godaan  setan  dan  hawa  nafsu  akan  terus
dilakukan setiap saat.
37
Jihad dalam bentuk ini dilakukan setiap saat sama seperti ketika kita terus melakukan aktivitas.
Khalifah II
Ahmadiyah Bashirudin
Mahmud Ahmad
menyimpulkan bahwa banyak orang  yang mempunyai pemahaman keliru tentang  Ahmadiyah    terkait  pemahaman  jihad.  Menurut    pandangannya
dan  kemudian menjadi  paham  Ahmadiyah,  bahwa  peperangan  itu  terbagi menjadi  dua  macam,  yaitu  :  Pertama,  perang  jihad  dan  kedua,  perang
lumrah.
38
Perang  jihad  adalah  perang  yang  terjadi    karena  dorongan mempertahankan  keyakinan  dan  kepercayaan  agama,  sementara  musuh
yang  dihadapi  adalah  sekelompok    orang  atau  pihak  yang  mencoba membinasakan    dan  melakukan  tindak  kekerasan  dengan  maksud  dan
tujuan  mengubah  dan  memaksa  seseorang  atau  kelompok  untuk melepaskan  kepercayaan  dan  keyakinan  agamanya.  Isu  yang  menjadi
mainstream dalam peperangan  tersebut  adalah  perang  agama  atau perang
suciholy war. Kemudian khalifah II menjelaskan lebih lanjut bahwa jika seandainya    peperangan  melawan  kelompok  bersenjata  dengan  motivasi
seperti di atas, maka wajib bagi setiap kaum muslimin untuk berjihad. Dari  penjelasan  di  atas  dapat  kita  simpulkan  bahwa  jihad  yang
digambarkan  adalah  hanya  jihad  untuk  membela  agama  bukan  membela negara. Ini terlihat jelas keberpihakan Ahmadiyaha terhadap Inggris ketika
menjajah India dengan alasan Inggris tidak mengancam kebebasan agama.
37
A. Fajar Kurniawan. Teologi Kenabian Ahmadiyah, h.67
38
A. Fajar Kurniawan. Teologi Kenabian Ahmadiyah, h.68
Perkembangan Ahmadiyah di Indonesia
Tiga  pemuda  dari  Sumatera  Tawalib  yakni  suatu  pesantren  di Sumatera  Barat  meninggalkan  negerinya  untuk  menuntut  Ilmu.  Mereka
adalah  alm  Abubakar  Ayyub,  alm  Ahmad  Nuruddin,  dan  alm  Zaini Dahlan. Awalnya mereka akan berangkat  ke Mesir, karena saat  itu Kairo
terkenal sebagai Pusat Studi Islam. Namun  Guru  mereka  menyarankan  agar  pergi  ke  India  karena
negara  tersebut  mulai  menjadi  pusat  pemikiran  Modernisasi  Islam. Sampailah  ketiga  pemuda  Indonesia  itu  di  Kota  Lahore  dan  bertemu
dengan  Anjuman  Isyaati  Islam  atau  dikenal  dengan  nama  Ahmadiyah Lahore. Setelah beberapa waktu disana, merekapun ingin melihat  sumber
dan pusat Ahmadiyah yang ada di desa Qadian. Dan setelah mendapatkan penjelasan  dan  keterangan,  akhirnya  mereka  Baiat  di  tangan  Hadhrat
Khalifatul Masih II., Hadhrat Mirza Basyiruddin Mahmud Ahmad. Kemudian tiga pemuda itu memutuskan untuk belajar di Madrasah
Ahmadiyah  yang  kini  disebut  Jamiah  Ahmadiyah.  Merasa  puas  dengan pengajaran di sana, Mereka mengundang rekan-rekan pelajar di Sumatera
Tawalib  untuk  belajar  di  Qadian.  Tidak  lama  kemudian  dua  puluh  tiga orang pemuda Indonesia dari Sumatera Tawalib bergabung dengan ketiga
pemuda  Indonesia  yang  terdahulu,  untuk  melanjutkan  studi  juga  baiat masuk ke dalam Jemaat Ahmadiyah.
Dua  tahun  setelah  peristiwa  itu,  para  pelajar  Indonesia menginginkan agar Hadhrat Khalifatul Masih II. berkunjung ke Indonesia.
Hal  ini  disampaikan  alm  Haji  Mahmud  -  juru  bicara  para  pelajar Indonesia  dalam  Bahasa  Arab.  Respon  positif  terlontar  dari  Hadhrat
Khalifatul  Masih  II..  Beliau  meyakinkan  bahwa  meskipun  beliau  sendiri tidak dapat mengunjungi Indonesia, beliau akan mengirim wakil beliau ke
Indonesia.  Kemudian,  alm  Maulana  Rahmat  Ali  Haot  dikirim  sebagai muballigh ke Indonesia sebagai pemenuhannya. Tanggal 17 Agustus 1925,
Maulana Rahmat Ali  Haot dilepas Hadhrat Khalifatul Masih II berangkat dari Qadian. Tepatnya tanggal 2 Oktober 1925 sampailah Maulana Rahmat
Ali  Haot  di  Tapaktuan,  Aceh.  Kemudian  berangkat  menuju  Padang, Sumatera  Barat.  Banyak  kaum  intelek  dan  orang  orang  biasa
menggabungkan diri dengan Ahmadiyah. Pada tahun 1926, Disana, Jemaat Ahmadiyah mulai resmi berdiri sebagai organisasi.
Tak  beberapa  lama,  Maulana  Rahmat  Ali  Haot  berangkat  ke Jakarta,  ibukota  Indonesia.  Perkembangan  Ahmadiyah  tumbuh  semakin
cepat, hingga dibentuklah Pengurus Besar PB Jemaat Ahmadiyah dengan alm R. Muhyiddin sebagai Ketua pertamanya.
Terjadilah Proklamasi  kemerdekaan RI pada 17 Agustus 1945. Di dalam meraih  kemerdekaan  itu tidak sedikit para Ahmadi  Indonesia  yang
ikut  berjuang  dan  meraih  kemerdekaan.  Misalnya  alm  R.  Muhyiddin. Beliau  dibunuh  oleh  tentara  Belanda  pada  tahun  1946  karena  beliau
merupakan  salah  satu  tokoh  penting  kemerdekaan  Indonesia.  Juga  ada beberapa  Ahmadi  yang  bertugas  sebagai  prajurit  di  Angkatan  Bersenjata
Republik Indonesia, dan mengorbankan diri mereka untuk negara.
Sementara  para  Ahmadi  yang  lain  berperan  di  bidang  masing- masing  untuk  kemerdekaan  Indonesia,  seperti  alm  Mln.  Abdul  Wahid
dan  alm  Mln.  Ahmad  Nuruddin  berjuang  sebagai  penyiar  radio, menyampaikan pesan kemerdekaan Indonesia ke seluruh dunia. Sementara
itu, muballigh  yang  lain alm Mln. Sayyid Syah  Muhammad merupakan salah  satu  tokoh  penting  sehingga  Soekarno,  Presiden  pertama  Republik
Indonesia, di kemudian hari menganugerahkan gelar veteran kepada beliau untuk dedikasi beliau kepada negara.
Di tahun lima puluhan, Jemaat Ahmadiyah Indonesia mendapatkan legalitas  menjadi  satu  Organisasi  keormasan  di  Indonesia.  Yakni  dengan
dikeluarkannya  Badan  Hukum  oleh  Menteri  Kehakiman  RI  No.  JA. 52313  tertanggal  13-3-1953.  Ahmadiyah  tidak  pernah  berpolitik,
meskipun  ketegangan  politik  di  Indonesia  pada  tahun  1960-an  sangat tinggi.
Pergulatan  politik  ujung-ujungnya  membawa  kejatuhan  Presiden pertama  Indonesia,  Soekarno,  juga  memakan  banyak  korban.  Satu
lambang era baru di Indonesia pada masa itu adalah gugurnya mahasiswa kedokteran  Universitas  Indonesia,  Arif  Rahman  Hakim,  yang  tidak  lain
melainkan  seorang  khadim  Ahmadiyah.  Dia  terbunuh  di  tengah ketegangan politik masa  itu dan menjadi  simbol bagi era baru pada masa
itu.  Oleh  karena  itu  ia  pun  diberikan  penghargaan  sebagai  salah  satu Pahlawan Ampera.
Di  Era  70-an,  melalui  Rabithah  Alam  al  Islami  semakin  menjadi- jadi  di  awal  1970-an,  para  ulama  Indonesia  mengikuti  langkah  mereka.
Maka ketika Rabithah Alam al Islami menyatakan Ahmadiyah sebagai non muslim  pada  tahun  1974,  hingga  MUI  memberikan  fatwa  sesat  terhadap
Ahmadiyah.  Sebagai  akibatnya,  Banyak  mesjid  Ahmadiyah  yang dirubuhkan  oleh  massa  yang  di  pimpin  oleh  ulama.  Selain  itu,  banyak
Ahmadi yang menderita serangan secara fisik. Periode 90-an menjadi periode pesat perkembangan Ahmadiyah di
Indonesia  bersamaan  dengan  diluncurkannya  Moslem  Television Ahmadiyya  MTA.  Ketika  Pengungsi  Timor  Timur  yang  membanjiri
wilayah  Indonesia  setelah  jajak  pendapat  dan  menyatakan  bahwa  Timor Timur ingin lepas dari Indonesia, hal ini memberikan kesempatan kepada
Majelis  Khuddamul  Ahmadiyah  Indonesia  untuk  mengirimkan  tim Khidmat  Khalq  untuk  berkhidmat  secara  terbuka.  Ketika  Tahun  2000,
tibalah  Hadhrat  Mirza  Tahir  Ahmad  ke  Indonesia  datang  dari  London menuju  Indonesia.  Ketika  itu  beliau  sempat  bertemu  dan  mendapat
sambuatan  baik  dari  Presiden  Republik  Indonesia,  Abdurahman  Wahid dan Ketua MPR, Amin Rais.
39
Sedangkan  Ahmadiyah  Aliran  Lahore  dikembangkan  oleh  Mirza Wali Ahmad Beig. Tahun 1924 dua pendakwah Ahmadiyah Lahore Mirza
Wali  Ahmad  Baig  dan  Maulana  Ahmad,  datang  ke  Yogyakarta. Minhadjurrahman  Djojosoegito,  seorang  sekretaris  di  organisasi
39
Abdul  Halim  Mahally,  Benarkah  Ahmadiyah  Sesat,  Jakarta:  Cahaya  Kirana  Rajasa, 2006, h. 59
Muhammadiyah, mengundang Mirza dan Maulana untuk berpidato dalam Muktamar  ke-13  Muhammadiyah,  dan  menyebut  Ahmadiyah  sebagai
Organisasi Saudara Muhammadiyah. Pada  tahun  1926,  Haji  Rasul  mendebat  Mirza  Wali  Ahmad  Baig,
dan  selanjutnya  pengajaran  paham  Ahmadiyah  dalam  lingkup Muhammadiyah  dilarang.  Pada  Muktamar  Muhammadiyah  18  di  Solo
tahun 1929, dikeluarkanlah pernyataan bahwa  orang yang percaya akan Nabi sesudah Muhammad adalah kafir
. Djojosoegito yang diberhentikan dari  Muhammadiyah,  lalu  membentuk  dan  menjadi  ketua  pertama  dari
Gerakan Ahmadiyah Indonesia, yang resmi berdiri 4 April 1930.
40
Perbedaan antara Ahmadiyah Qodian dan Lahore
Pada  tahun  1914  Gerakan  Ahmadiyah  pecah  menjadi  dua  golongan karena perbedaan aqidah, yaitu:
Ahmadiyah  Qadian, berpusat  di  Qadian,  di  bawah  pimpinan  Mirza
Basyiruddin Mahmud  Ahmad putera  almarhum Mirza  Ghulam  Ahmad  pada tanggal  31  Agustus  1947  pindah  ke  Rabwah,  Pakistan,  dan  pada  awal  tahun
1985  pindah  ke  London,  Inggris  setelah  mendapat  tekanan  terus-menerus  di Pakistan.  Ahmadiyah  Qadian meyakini  Mirza  Ghulam  Ahmad  sebagai  Nabi
dan  dialah  Ahmad  yang  diramalkan  dalam  QS.  ash-Shaff  61:  6,  meskipun hanya  Nabi  yang  menghidupkan  kembali  ajaran  Rasulullah  Muhammad
40
Bashiruddin  Mahmud  Ahmad,  Apakah  Ahmadiyah  itu?,  1963,  Jakarta,  Djemaat Ahmadiyah Indonesia. h. 23
S.A.W.  dan  bukan  Nabi  yang  membawa  syariat  baru.  Sosok  nabi  tidak berhenti sampai Mirza Ghulam Ahmad saja, tetapi akan terus ada yang disebut
nabi  buruzi,  yaitu  nabi  yang  tidak  membawa  syariat.  Menurut  golongan Qadian,  Jemaat  Ahmadiyah  harus  dipegang  oleh  seorang  Khalifah  dan
khalifah itu memegang kekuasaan tertinggi.
41
Ahmadiyah Lahore, berpusat di Lahore, Pakistan, di bawah pimpinan
Maulana  Muhammad  Ali  M.A.  LL.B.,  sekretaris  almarhum  Mirza  Ghulam Ahmad.  Ahmadiyah  Lahore  menganggap  Mirza  Ghulam  Ahmad  sekedar
seorang  mujaddid  pembaharu  untuk  abad  yang  bersangkutan,  tak  beda dengan pembaharu-pembaharu untuk abad-abad terdahulu seperti Iman Syafii,
Al-Ghazali, Ibnu Taimiah, dan lain-lain. Para pembaharu ini menurut mereka juga menerima wahyu  hanya saja bukan wahyu  kenabian. Menurut golongan
Lahore, Gerakan Ahmadiyah dipegang oleh Pedoman Besar Shadr Anjuman Ahmadiyah
dan kekuasaan tertinggi terletak pada Kongres. Pada  tahun  1973,  Pakistan  menetapkan  undang-undang  yang
menyatakan  bahwa  Ahmadiyah  berada  di  luar  Islam  dan  pada  tahun  1974, Pakistan  menempatkan  Ahmadiyah  sebagai  minoritas  non-muslim  dalam
konstitusi negaranya. Kini, pimpinan rohani tertinggi dari Jemaat Ahmadiyah Qadian di
seluruh dunia adalah Khalifatul Masih V, Mirza Masroor Ahmad dilantik 22 April  2003  yang  berkedudukan  di  London,  Inggris,  yaitu  negara  sahabat
dimana dahulu Mirza Ghulam Ahmad pernah menjalin hubungan baik dengan
41
Iskandar  Zulkarnain,  Gerakan  Ahmadiyah  di  Indonesia,  Yogyakarta:  Penerbit  LKiS, 2005,h. 67
pemerintah  kolonoal  Inggris.  Berbeda  dengan  Jemaat  Ahmadiyah  Qadian yang  memiliki  struktur  organisasi  internasional  yang  berpusat  di  London,
maka  Gerakan  Ahmadiyah  Lahore  merupakan  organisasi  jaringan  tanpa otoritas internasional yang terpusat.
42
Di  Indonesia, baik Ahmadiyah Qadian maupun Ahmadiyah Lahore, sama-sama  mempercayai  bahwa  Mirza  Ghulam  Ahmad  adalah  Isa  al-Masih
yang  telah  dijanjikan al-Masih  al-Mauud  oleh  Nabi  Muhammad  SAW.
Akan  tetapi,  dua  golongan  tersebut  memiliki  perbedaan  prinsip:  Ahmadiyah Qadian,  dikenal  dengan  Jemaat  Ahmadiyah  Indonesia  JAI,  berpusat  di
Bogor,  yakni  golongan  yang  mempercayai  bahwa  Mirza  Ghulam  Ahmad adalah  seorang  mujaddid  dan  seorang  nabi.  Pimpinan  organisasinya  adalah
Pengurus  Besar JAI  dan  berada  di  bawah  otoritas  Khalifatul  Masih  V  yang
berkedudukan di London, Inggris.
43
Ahmadiyah  Lahore,  dikenal  dengan  Gerakan  Ahmadiyah  Indonesia GAI,
berpusat  di  Yogyakarta,  yakni  golongan  yang  mempercayai  Mirza Ghulam  Ahmad  sebagai  mujaddid  dan  tidak  menganggapnya  sebagai  nabi.
Pimpinan  organisasinya  adalah  Pedoman  Besar  GAI,  tanpa  otoritas internasional yang membawahinya.
44
42
Iskandar Zulkarnain, Gerakan Ahmadiyah di Indonesia,h.73
43
Iskandar Zulkarnain, Gerakan Ahmadiyah di Indonesia,h.76
44
Iskandar Zulkarnain, Gerakan Ahmadiyah di Indonesia, h..79
BAB IV ISLAM DAN POLITIK PERSPEKTIF AHMADIYAH