BAB IV. RELASI ISLAM DAN POLITIK PERSPEKTIF AHMADIAH A.
Paradigma Islam dan Politik ……………………………….. 54 B.
Pemikiran Politik Islam Perspektif Ahmadiyah …………. 57 C.
Relasi Islam dan Politik dalam Negara menurut Ahmadiyah 69
BAB V. PENUTUP A.
Kesimpulan ………………………………………………… 73 B.
Saran ……………………………………………………….. 75 LAMPIRAN-LAMPIRAN
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Hubungan Islam dan politik di pandang bukan saja bersifat organis atau tidak bisa dipisahkan, tapi juga secara struktural di ikat oleh sistem
religius Islam yang formal. Menguatnya revivalisme agama dalam kancah politik menepis sinyalemen Samuel Hungtington tentang political decay –-
bahwa pembangunan politik itu biasanya ditandai dengan proses rasionalisasi kekuasaan.
1
Salah satu pangkal pembicaraan yang tak pernah habis dibahas adalah relasi agama dan politik. Tarik menarik antara keduanya
menghasilkan ketegangan dinamik yang tidak jarang melahirkan benturan. Bagi penganut aliran mekanik-holistik, Islam dianggap bukan saja sebagai
gugusan dogma-dogma agama yang bersifat kaku saja, tapi juga dipahami sebagai sistem politik, pandangan hidup dan penafsiran sejarah. Islam juga
di pahami mempunyai watak omnipresent hadir di mana-mana. Islam hadir dihadirkan? di ranah politik yang seharusnya netral
dan hampa dari kepentingan kelompok manapun. Bagi penganut militan premis ini bisa jadi mendorongnya untuk memaksakan lewat jalan
kekerasan. Ketika agama ditampilkan melalui cara yang menghalalkan
1
Burhanudian. “Carut Marut Wajah Teknis”. Artikel di akses tanggal 18 Januari 2009, dari http:carur.marutpolitikislam.html
1
kekerasan, maka tersibaklah wajah Tuhan yang menyeringai seram, penuh dendam. Sontak A.N Wilson tertawa melihat orang yang tak mau
menggubris tesisnya bahwa agama lebih kejam daripada candu. Atas nama Tuhan, FPI membakar, merusak, bahkan menjarah kafe-kafe. Atas nama
Tuhan, kedua belah pihak yang bertikai di Ambon saling menghunuskan pedang, mencari celah dari lemahnya keadaan darurat sipil, untuk menikam
lawan. Tapi, di atas segalanya, relasi agama dan politik, dalam diskursus
modern hingga detik ini belum juga tuntas. Lebih-lebih Islam yang oleh penganutnya dilihat memiliki pesona sebagai agama yang syamil, kamil dan
mutakamil . Ilmuwan sekelas Robert N. Bellah dengan civil religion, dan
Jose Casanova dengan public religion pun coba menengahi pandangan “ekstrem” bahwa agama berkutat pada wilayah private, sementara ruang
publik harus secularized. Persoalan yang sering kali diperdebatkan tentunya adalah apakah
Islam dan politik tak bisa di pisahkan atau memang antara agama Islam harus dipisahkan dari persoalan politik. Akan tetapi, persoalan sebenarnya
bukan terletak pada perdebatan apakah Islam dan politik harus dipisahkan atau tidak di pisahkan. Dan karena sebagian besar pemikir dan praktisi
politik Islam terpaku pada soal di pisahkan atau tidak bisa boleh di pisahkannya Islam dari persoalan-persoalan keduniawian, pemikiran politik
Islam sulit beranjak pada tataran atau artikulasi yang lebih baru.
Hampir seluruh artikulasi pemikiran politik Islam tidak lepas dari pemikiran bahwa 1 Islam dan politik itu tidak bisa dipisahkan; 2 Islam
dan politik itu bisa di pisahkan; dan 3 Islam dan politik mempunyai keterkaitan yang erat, akan tetapi bentuk hubungannya tidak bersifat legal-
formalistik, tetapi substansialistik. Dan bentuk ketiga ini hampir di miliki oleh pemikir Islam moderat seperti Nurkholis Majid, Amin Rais dan
sebagian pemikiran Islam lainnya. Pada masa awalnya, Islam dipahami secara sederhana. Komunitas
awal masyarakat Islam berada langsung dalam bimbingan Nabi Muhammad SAW dan para khalifah. Mereka hampir tidak pernah terjadi
keributan dan perbedaan pendapat. Kemudian setelah terjadi penyebaran futuhat pemikiran Islam berkembang dan begitu banyak interpretasi yang
dilakukan oleh beberapa kelompok yang merasa dirinya mampu dan berhak untuk melakukannya. Perkembangan pertama dan paling dominan dalam
Islam adalah masalah teologi. Namun pemikiran teologi ini bukan murni karena masalah teologi tapi karena politik.
2
Pemikiran politik yang berkaitan atau mempunyai hubungan erat dengan teologi kemudian
berkembang berbarengan dengan perkembangan Islam dan akulturasi kebudayaan dengan helenisme.
Persoalan penting antara bidang agama dan bidang politik atau bidang kehidupan duniawi mana pun ialah bahwa dari segi etis,
khususnya segi tujuan yang merupakan jawaban atau pertanyaan untuk
2
Harun Nasution, Islam Ditinjau Dari Berbagai Apeknya. Jakarta: UI Press, 1985.h.88
apa tidak dibenarkan lepas dari pertimbangan nilai-nilai keagamaan. Atas dasar adanya pertimbangan nilai-nilai keagamaan itu diharapkan tumbuh
kegiatan politik bermoral tinggi atau berakhlak mulia. Inilah makna bahwa politik tidak dapat di pisahkan dari agama. Tetapi dalam hal susunan formal
atau strukturnya serta segi-segi praktis dan teknisnya, politik adalah wewenang manusia, melalui pemikiran rasionalnya yang dapat dipandang
sebagian suatu jenis ijtihad. Dalam hal inilah politik dapat dibedakan dari agama. Maka dalam segi struktural dan prosedural politik itu, Dunia Islam
sepanjang sejarahnya, mengenal berbagai variasi dari masa ke masa dan dari kawasan ke kawasan, tanpa satu pun dari variasi itu dipandang secara
doktrinal paling absah kecuali masa kekhalifahan Rasyidah.
3
Hubungan antara agama dan politik yang tidak terpisahkan itu dengan jelas sekali terwujud dalam masyarakat Madinah. Muhammad
S.A.W. selama sekitar sepuluh tahun di kota hijrah itu telah tampil sebagai seorang penerima berita suci sebagai Nabi dan seorang pemimpin
masyarakat politik sebagai Kepala Negara. Dalam menjalankan peran sebagai seorang Nabi, beliau adalah seorang tokoh yang tidak boleh
dibantah, karena mengemban tugas suci dengan mandat dan wewenang suci. Sedangkan dalam menjalankan peran sebagai seorang kepala negara, beliau
melakukan musyawarah --sesuai dengan perintah Allah-- yang dalam musyawarah itu beliau tidak jarang mengambil pendapat orang lain dan
meninggalkan pendapat pribadi. Sebab dalam hal peran sebagai kepala
3
Nurkholis Majid. “Islam dan Politik Suatu Tinjauan Atas Prinsip-Prinsip Hukum dan Keadilan”.
Artikel diakses
pada tanggal
20 Januari
2009, dari
httpislamdanpolktik.prinsip.nurkholis.html
negara atau pemimpin masyarakat itu pada dasarnya beliau melakukan ijtihad. Jika dalam kenyataan hasil ijtihad beliau hampir selamanya
merupakan yang terbaik di antara para anggota masyarakat beliau, maka hal itu harus diterangkan sebagai akibat logis segi keunggulan kemampuan
pribadi beliau selaku seorang manusia. Dan pengakuan memang banyak diberikan orang, baik dari kalangan Islam maupun bukan Islam, bahwa
beliau adalah seorang jenius. Gabungan antara kesucian dan kesempurnaan tugas kenabian di satu pihak dan kemampuan pribadi yang sangat unggul di
pihak lain telah membuat Nabi Muhammad saw. seorang tokoh yang paling berhasil dalam sejarah umat manusia.
Sebagaimana Rasulullah membangun negara Madinah, menarik kita mengkonklusikan pemikiran Ahmadiyah dalam peran agama dengan
politik sebab secara teori Ahmadiyah lahir diakibatkan banyaknya kemerosotan agama dalam hal ini Islam dalam pentas kekuatan politik yang
di tandai hancurnya kekhalifahan Turki Ustmani. Gerakan pembaharuan dengan segala variannya muncul sejak masa
kekhalifahan Utsman bin Affan ketika menerapkan kebijakan nepotisme dalam pemerintahannya. Ketika itu muncul beberapa golongan yang tidak
menyetujui kebijakan Utsman, ditambah lagi terjadinya pertentangan kelompok Ali yang kurang mendukung kekuasaan Utsman. Puncaknya
terjadi pada masa khalifah Ali bin Abi Thalib, dengan kemunculan golongan khawarij golongan yang keluar dari jama’ah.
Dalam konteks politik, kemunculan sektarianisme merupakan akumulasi kekecewaan terhadap kebijakan penguasa. Pada masa Bani
Umayyah, kelompok pendukung Ali disebut sebagai golongan Syi’ah diposisikan sebagai opasisi penguasa Umayyah. Konflik yang sengit antar
firqah kian mengemuka pada masa kekuasaan Abbasyiah dengan
kemunculan golongan Mu’tazilah yang bercorak rasionalistik. Golongan ini vis a vis
berhadapan dengan faham yang disokong oleh penguasa, yaitu Ahiussunah wal Jama’ah. Di samping itu hadir pula kalangan inkarussunah
yang berhadapan dengan ahiussunah dengan pencetus Ahmad bin Hanbal. Kehadiran Ahmadiyah merupakan reaksi yang hampir mirip
dengan kehadiran
golongan-golongan keagamaan pada awal-awal
perkembangan Islam. Sebagai gerakan pembaharuan menurut versi Ahmadiyah, Ahmadiyah lahir karena kekecewaan terhadap penguasa India
yang berada dibawah imperialisme Inggris. Perkembangan Ahmadiyah dalam kontek sosial politik keagamaan
telah menjadi polemik berkepanjangan. Ahmadiyah didirikan oleh Hazrat Mirza Ghulam Ahmad Al-Qadiani, Mujadid abad 14 Hijriah yang bergelar
Almasih dan Mahdi, berdasarkan ilham dari Allah SWT. yang beliau terima pada tanggal 1 Desember 1888. Pada saat ini Ahmadiyah tersebar di seluruh
dunia, bahkan di Indonesia. Setelah pendiri Gerakan Ahmadiyah wafat 26 Mei 1908, Gerakan
Ahmadiyah dipimpin oleh Shadr Anjuman Ahmadiyah yang diketuai oleh Maulvi Hakim Nuruddin. Setelah beliau wafat pada tanggal 13 Maret 1914,
Shadr Anjuman Ahmadiyah dipimpin oleh Mirza Bashiruddin Mahmud Ahmad, putra pendiri Gerakan Ahmadiyah. Beberapa saat setelah ia terpilih,
timbullah perbedaan pendapat yang penting dan mendasar. Karena pengakuannya sebagai perwujudan Imam Mahdi bahkan Ahmad yang
tercantum dalam Qur’an Suci 61:6, maka terjadi friksi di tubuh Ahmadiyah. Pendapat tersebut yang menyebabkan terjadinya perpecahan dalam
Ahmadiyah. Mereka yang setuju terhadap pendapat tersebut dikenal sebagai
Ahmadiyah Qadian, karena pusatnya di Qadian, India tetapi setelah
Pakistan dan India merdeka pindah ke Rabwah sampai sekarang, meskipun Khalifahnya berada di Inggris. Kemudian mereka menyebut dirinya sebagai
Jemaat Ahmadiyah. Sedangkan mereka yang tak setuju terhadap pendapat tersebut
tergabung dalam Ahmadiyah Anjuman Isya’ati Islam Ahmadiyah, Gerakan Penyiaran Islam yang berpusat di Lahore dan dikenal sebagai
Ahmadiyah Lahore yang pada saat itu dipimpin oleh Maulana Muhammad
Ali, M.A., LL.B., sekretaris Almarhum Hazrat Mirza Ghulam Ahmad. Menurut Ahmadiyah Lahore, Hazrat Mirza Ghulam Ahmad bukanlah Nabi,
dia adalah seorang Mujaddid. Ahmad dalam Al-Qur’an adalah Nabi suci Muhammad saw. dan kaum Muslimin yang tidak bai’at kepada beliau
tidaklah kafir. Faham Ahmadiyah Anjuman Isya’ati Islam atau Ahmadiyah
Lahore masuk ke Indonesia pada tahun 1924 dengan perantaraan dua muballigh, Mirza Wali Ahmad Baig dan Maulana Ahmad. Berkat rahmat
Allah, pada tanggal 10 Desember 1928 Gerakan Ahmadiyah Indonesia sentrum Lahore didirikan oleh Bapak R.Ng.H.Minhadjurrahman
Djajasugita dkk. yang mendapat Badan Hukum Nomor 1
X
tanggal 30 April 1930.
Dalam melaksanakan aktivitas dakwahnya, GAI telah menerbitkan puluhan judul buku-buku agama dalam bahasa Belanda, Jawa dan Indonesia
serta majalah-majalah. Di samping itu telah pula melahirkan Yayasan Perguruan Islam Republik Indonesia PIRI di Yogyakarta dan di berbagai
daerah, yang menyelenggarakan pendidikan sekolah mulai tingkat Taman Kanak-kanak sampai perguruan Tinggi
Nama Ahmadiyah berasal dari nama sifat Rasulullah saw. -- Ahmad yang terpuji. Yakni yang menggambarkan suatu keindahankelembutan.
Zaman sekarang ini adalah zaman penyebar-luasan amanat yang diemban Rasulullah saw. dan merupakan zaman penyiaran sanjungan pujian terhadap
Allah Taala. Era penampakkan sifat Ahmadiyah Rasulullah saw. Kondisi Islam di India pada saat di jajah oleh Imperialisme Inggris
benar-benar menyedihkan. Di satu sisi gerakan Kristenisasi sedang gencar- gencarnya berjalan di India dan menarik ratusan ribu orang masuk ke dalam
agama Kristen dan di sisi lain serangan-serangan pihak Hindu terhadap Islam, Al-Quran dan terhadap wujud suci Nabi Muhammad Mustafa saw.
Kondisi inilah yang banyak mewarnai kehidupan awal daripada Hz.Mirza Ghulam Ahmad. Beliau banyak menelaah literatur-literatur yang
berkaitan dengan agama-agama tersebut. Beliau secara personal banyak
terlibat dalam upaya-upaya untuk membela Islam dari serangan-serangan di kedua arah tersebut. Disamping itu beliau sendiri mengalami perkembangan
rohaniah. Konteks berdirinya Ahmadiyah tidak terlepas dari pergolakan politik di India. Oleh karena itu, Ahmadiyah bukan saja sebuah spektrum
gerakan pembaharuan keagamaan yang banyak disinyalir oleh orang, melainkan sebagai sebuah gerakan politik yang mengatasnamakan agama.
Tipologi gerakan politik Islam, atau setidak-tidaknyya di kategorikan sebagai sebuah gerakan politik, menurut Din Syamsuddin
mengandung dua dimensi, pertama: bahwa kulturisasi Islam harus ditransformasikan ke dalam dunia politik atau domain politisasi; dan kedua:
adanya upaya totalisasi ajaran Islam yang terdiri tidak hanya dari sistem ibadah tapi juga prinsip-prinsip aqidah, syari’ah, dan jalan hidup sehingga
tidak memisahkan antara yang sakral dan yang profan.
4
Berdasarkan asumsi di atas, gerakan Ahmadiyah telah memasuki gerakan politik Islam, atau organisasi keagamaan yang memiliki agenda
besar dalam skala nasional bahkan internasional. Selain penafsiran yang dilakukan oleh Din Dyamsuddin, Ahmadiyah dapat di golongkan sebagai
gerakan politik karena meliputi dua hal yaitu adanya sosialisasi ajaran yang dilakukan secara massif untuk menarik anggota Jemaat sebanyak mungkin.
Gerakan perekrutmen di upayakan melalui jalan dakwah, penyebaran brosur, buku pamflet, pendirian Yayasan Perguruan Islam Republik Indonesia
PIRI di Yogyakarta dan di berbagai daerah, yang menyelenggarakan
4
Din Syamsuddin, Islam dan Politik Era Orde Baru, Ciputat: Logos,, h. 153
pendidikan sekolah mulai tingkat Taman Kanak-kanak sampai perguruan Tinggi.
5
Kedua, Ahmadiyah menjalankan aktivitas sosial yang memiliki implikasi politis terhadap kemapanan agama-agama samawi, terutama Islam.
Gejolak yang ditimbulkan dari gerakan Ahmadiyah mendatang dialektika epistemologis yang mengerucut pada pertentangan ideologis the clash of
ideology. Perspektif ini diambil dari konsep Samuel Huntington yang melihat pertentangan kapitalisme dan Islam sebagai tipologi pertentangan
ideo-politik berskala global.
6
Berdasarkan pandangan di atas maka diajukan judul penelitian
sebagai berikut: Islam dan Politik dalam Perspektif Ahmadiyah.
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
Mengingat kompleksitasnya permasalahan yang akan dibahas khususnya
mengenai Ahmadiyah,
maka penulis
membatasi permasalahannya mengenai relasi Islam dan Politik menurut perspektif
Ahmadiyah. Dari pembatasan tersebut penulis merumuskan permasalahan :
a. Bagaimana relasi Islam dan politik dari pandangan Ahmadiyah?
b. Bagaimana Ahmadiyah bermetamorfosis menjadi sebuah gerakan
politik? c.
Apa yang melatarbelakang kelahiran Ahmadiyah di India?
5
Ahmad Shultoni, Gerakan Ahmadiyah Indonesia, Yogyakarta: LkiS, 1999, h. 26
6
Samuel Huntington, Benturan Peradaban, Yogyakarta: Penerbit Qalam, 2004, h. 68
d. Bagaimana perkembangan Ahmadiyah di Indonesia pra dan pasca
kemerdekaan? e.
Bagaimana polemik yang muncul di tengah konstelasi kehidupan sosial-politik di Indonesia terhadap keberadaan Ahmadiyah
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
a. Tujuan Penelitian Adapun tujuan dari penelitian ini adalah :
1. Untuk mengetahui pandangan Ahmadiyah tentang relasi Islam dan
politik. 2.
Untuk mengetahui paradigma politik Islam Ahmadiyah. 3.
Untuk mengetahui prkembangan gerakan Ahmadiyah di Indonesia sebagai gerakan politik keagamaan.
b. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan oleh penulis agar memberikan
manfaat, antara lain : 1.
Bagi Penulis, diharapkan hasil penelitian ini dapat memberikan perspektif yang baru dalam pengembangan ilmu politik kontemporer
khususnya tentang hubungan Islam dan Politik 2.
Bagi. Kaum agamawan, diharapkan penelitian ini menjadi khazanah yang mampu mendialogkan perbedaan keyakinan sebagai sesuatu yang
tidak terelakkan dalam kehidupan bernegara.
3. Bagi ilmuwan politik Islam, diharapkan hasil penulisan ini memberikan
nuansa baru dalam memahami perkembangan Ahmadiyah pada pespektif ilmu politik Islam.
D. Metode Penelitian
Dalam membahas skripsi ini, penulis menggunakan metode penelitian kepustakaan Library Research, yaitu penulis berusaha memperoleh data-data
dan informasi melalui literature-literatur kepustakaan, majalah-majalah maupun artikel-artikel yang berhubungan dengan masalah tersebut. Dalam
pengolahan data ini penulis menggunakan metode deskripsi analisis.
E. Sistematika Penulisan
Dalam sistematika penulisan ini, agar lebih terarah dan terperinci terbagi kedalam bab-bab dalam tiap sub-babnya dijelaskan secara global.
Di dalam bab I yang diawali dengan pendahuluan, ini terdiri atas latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat
penelitian, metode penelitian serta sistematika penelitian. Di dalam bab II terdiri dari pengertian politik, relasi Islam dan politik
serta sistem politik Islam Di dalam bab III terdiri dari sejarah berdirinya Ahmadiyah, profil
Mirza Gulam Ahmad dan doktrin-doktrin Ahmadiyah, Perkembangan Ahmadiyah di Indonesia dan Perbedaan Aliran Ahmadiyah Qodian dan
Lahore
Di dalam bab IV terdiri dari paradigma Islam dan politik, paradigma politik Islam Ahmadiyah dan relasi Islam dan politik menurut Ahmadiyah
Dan dalam bab V terdiri dari Kesimpulan dan Saran
BAB II KERANGKA TEORI : ISLAM DAN POLITIK
Pengertian Politik
Pada umumnya dapat dikatakan bahwa politik politics adalah bermacam-macam kegiatan dalam suatu sistem politik negara yang
menyangkut proses menentukan tujuan-tujuan itu.
7
Pengambilan keputusan decision making mengenai apakah yang menjadi tujuan dari sistem politik
itu menyangkut seleksi antara beberapa alternatif dan penyusunan skala prioritas dari tujuan-tujuan yang telah dipilih itu.
Untuk melaksanakan
tujuan-tujuan itu
perlu ditentukan
kebijaksanaan-kebijaksanaan umum public policies yang menyangkut pengaturan dan pembagian distribution atau alokasi allocation dari
sumber-sumber dan resources yang ada. Untuk melaksanakan kebijaksanaan-kebijaksanaan itu, perlu dimiliki
kekuasaan power dan kewenangan authority, yang akan dipakai baik untuk membina kerja sama maupun untuk meyelesaikan konflik yang mungkin
timbul dalam proses ini. Cara-cara yang dipakainya dapat bersifat persuasif meyakinkan dan jika perlu bersifat paksaan coercion. Tanpa unsur paksaan
kebijaksanaan ini hanya merupakan perumusan keinginan statement of intent belaka.
7
Miriam Budiarjo.
Dasar-Dasar Ilmu
Politik. Jakarta:PTGramedia
Pustaka Utama,2006.cet.20.h.8
13
Politik selalu menyangkut tujuan-tujuan dari seluruh masyarakat public goals, dan bukan tujuan pribadi seseorang private goals. Lagipula
politik menyangkut kegiatan berbagai-bagi kelompok termasuk partai politik dan kegiatan orang seorang individu. Perbedaan-perbedaan dalam definisi
yang kita jumpai, disebabkan karena setiap sarjana meneropong hanya satu aspek atau unsur dari politik saja. Unsur itu diperlakukannya sebagai konsep
pokok, yang dipakainya untuk meneropong unsur-unsur lainnya. Dari uraian di atas teranglah bahwa konsep-konsep pokok itu adalah: Pertama, Negara
state, Kedua, Kekuasaan power, Ketiga, Pengambilan keputusan decisionmaking, Keempat, Kebijaksanaan policy,beleid Kelima, Pembagian
distribution atau alokasi allocation.
8
Sedangkan kata politik itu sendiri dan diambil dari bahasa Yunani atau Latin “politicos” yang berarti “relating to citizen”.keduanya berasal dari
kata polis yang berarti kota. Dalam kamus besar bahasa Indonesia mengeartikan kata politik sebagai pengetahuan mengenai ketatnegaraan atau
kenegara seperti sistem pemerintahan, dasar pemerintahan. Atau juga, segala urusan dan tindakan kebijaksanaan siasat dan sebagainya mengenai
pemerintahan.
9
Sedangkan Ramlan Surbakti mengartikan politik yaitu: Pertama, politik ialah usaha-usaha yang ditempuh warga negara untuk membicarakan
dan mewujudkan kebaikan bersama. Kedua, politik ialah segala hal yang berakaitan dengan penyelenggaraan negara dan pemerintahan. Ketiga, politik
8
Miriam Budiarjo. Dasar-Dasar Ilmu Politik.h 9
9
Kamus Besar Bahasa Indonesia,Jakarta: Balai Pusaka, 1998, h.125
sebagai segala kegiatan yang diarahkan untuk mencari dan mempertahankan kekuasaan dalam masyarakat. Keempat, politik sebagai kegiatan yang
berkaitan dengan perumusan dan pelaksanaan kebijakan umum. Kelima, politik sebagai konflik dalam rangka mencari danatau mempertahankan
sumber-sumber yang dianggap penting.
10
David Easton mengatakan : politik adalah keseluruhan dari interaksi-interaksi yang mengatur pembagian nilai-nilai secara autoratif berdasarkan wewenang
untuk dan atas nama masyarakat. Sedangkan Al Ghazali memakai kata siyasah politik lebih luas dari pada makna politik dalam pengertian yang lebih
popular sekarang. Siyasah atau politik diartikan dengan segala hal ihwal, seperti memperbaiki kehidupan makhluk Tuhan dan menunjukkan ke jalan
yang benar yang menyelamatkan mereka di dunia dan akhirat.
11
Selain kata politik, dalam masyarakat Indonesia dikenal pula kata siyasah
yang berasal dari bahasa Arab. Pemakaian kata siyasah jauh lebih tua dari perkataan yang memiliki arti senada politik. Namun kepopuleran dan
keluasan pemakaiannya tidak mengimbangi perkataan sesudahnya itu. Siyasah pada awalnya hanya mengandung arti muslihat dan segala macam usaha serta
ikhtiar untuk mencapai sesuatau atau menyelesaikan suatu perkara. Tetapi pada akhirnya cenderung mengandung arti kenegaraan sebagai halnya
perkataan politik.
10
Ramlan Surbakti. Memhami Ilmu Politik,Jakarta: PT Gramedia Widiasarana Indonesia,1992. cet.I.h. 1-2
11
Maftuhin, Prinsip Moral dalam Politik Islam Kajian Terhadap Pemikiran al- Gazali,Skripsi S1, FUF UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,2005,h.17
Siyasah berasal dari bahasa Arab yang merupakan masdar dari kata
sasayasusu yang mengandung arti kepemimpinan. Pelakunya disebut sa’is
berarti pemimpin yang menangani urusan rakyatnya yang mendatangkan kemaslahatan bagi mereka. Jadi siyasah adalah ilmu memerintah, yaitu
kewajiban menangani sesuatu yang mendatangkan kemaslahatan. Dia harus dipegang oleh orang yang mengerti betul tentang dasar-dasar pengetahuan dan
peraturan-peraturan dalam negara.
12
Dalam perbendaharaan bahasa Indonesia kata siyasah mempunyai arti yang berbeda dengan siasat. Siyasah mempunyai arti politik, sedangkan
siasat artinya adalah kebijaksanaan atau kecerdikan dalam menyampaikan
suatu maksud atau untuk memperoleh sesuatu. Jadi perbedaan mendasar antara siyasah. Siasat diartikan segala macam muslihat di dalam berbagai
lapangan, yang biasa disebut “taktik”, sedangkan siyasah mempunyai arti yang terbatas, ialah soal kenegaraan yang dinamika”politik”.
Dari penjelasan diatas sangat jelas bahwa politik atau siyasah merupakan pola kenegaraan yang didalamnya terdapat seperangkat pengaturan sosial dalam
masyarakat.
Islam dan Politik
Dalam sejarah agama-agama, pertautan antara politik dan agama muncul pada politik para raja dan pemimpin untuk melanggengkan kekuasaan
12
Maftuhin, Prinsip Moral dalam Politik Islam , h.22
mereka. Mereka menafsirkan dalil dan doktrin agama-agama sesuai dengan kemauan mereka dengan tujuan untuk melindungi kepentingan politik mereka.
Dalam sejarah Islam, politisasi agama sudah berlangsung sejak awal perkembangan Islam. Para raja dan khalifah berusaha melanggengkan
kekuasaan mereka dengan berbagai cara: menafsirkan secara politis dalil al- Qur’an dan Hadits sesuai kepentingan para penguasa. Diantaranya adalah ayat
yang berbunyi “Taatlah kepada Allah dan para penguasa di antara kalian”. Para penguasa menafsirkan ayat ini bahwa para penguasa harus dipatuhi apa
dan bagaimana pun cara mereka memimpin. Ayat ini kemudian oleh para kritikus disebut “ayat al-umara” ayat para penguasa.
Watt menggambarkan hubungan agama dan politik dalam Islam dalam bukunya “Islamic Political Thought”. Pertama, gagasan keagamaan
menjadi semacam kerangka ideologis ketika terlibat dalam bermacam aktivitas, sehingga aktivitas yang dilakukan memperoleh arti penting.Kedua,
agama dapat menentukan bentuk-bentuk motif Islam aktivitas yang akan dilakukan. Adanya signifikansi agama dalam politik, diakui oleh Watt bukan
karena agama memberikan penjelasan yang sifatnya terinci terhadap semua hal,tetapi karena agama memberikan berbagai tujuan umum kepada manusia
dalam kehiduan dan membantunya memusatkan kekuatan untuk mencapai berbagai tujuan tersebut.
Robert N Bellah menyatakan bahwa masyarakat Islam klasik adalah modern secara politis. Tidak lagi dipersoalkan, demikian ia menegaskan dalam
bukunya “Beyond Belief”, bahwa di bawah Nabi masyarakat Arab telah
membuat lompatan jauh ke depan dalam kecanggihan sosial dalam kapasitas politik.Demikian juga tidak terlalu mengherankan, jika umat Islam
menjadikan sejarah politik Islam dalam periode Nabi sebagai model ideal yang senantiasa diidamkan sepanjang sejarah Pemikiran politik Islam seperti
juga pemikiran Islam dan gerakan Islam pada umumnya dapat dilihat sebagai hasil dari kelanjutan dan perubahan yang berlangsung dalam sejarah Islam.
13
Di Indonesia, istilah Islam politik sering kali dilawankan dengan Islam kultural. Islam politik secara umum dapat dipahami sebagai Islam yang
ditampilkan sebagai basis ideologi yang kemudian dalam bentuk partai politik, atau Islam yang berusaha diwujudkan dalam kelembagaan politik resmi
eksekutif dan legislative. Sedangkan Islam kultural merujuk pada Islam yang hanya bergerak di bidang dakwah, pendidkan, seni dan sebagainya tanpa sama
sekali terlibat dalam politik. Islam dan politik pertama kali digulirkan oleh kalangan Barat yang
menguasai berbagai negeri Islam, yang mengatakan bahwa Islam adalah agama bukan negara. Di Indonesia, istilah Islam politik seringkali dilawankan
dengan Islam kultural. Islam politik secara umum dapat dipahami sebagai yang ditampilkan sebagai basis ideologi yang kemudian dalam bentuk partai
politik, atau Islam yang berusaha diwujudkan dalam kelembagaan politik resmi eksekutif dan legislative. Sedangkan Islam kultural merujuk pada
Islam yang hanya bergerak di bidang dakwah, pendidikan, seni dan sebagainya tanpa sama sekali terlibat dalam politik.
13
Irfan Indris. “Paradigma Pemikiran Politik Islam Modern” artikel di akses pada tanggal 22 Januari 2009, dari http:cetak.fajar.co.idnews.php?newsid=84233
Islam berasal dari kata salam yang berarti tunduk atau berserah diri pada Allah, atau menerima semua peraturan Tuhan sebagai petunjuk bagi
kehidupan seseorang, taat sepenuh hati, akan keadaan noda dan cela.
14
Menurut Hasan al-Banna seperti yang dikutip oleh Yusuf Qardhawy mengatakan Islam adalah sesuatu yang syumul menyeluruh, mencakup
semua aspek kehidupan dengan syariat dan pengarahannya. Islam menata kehidupan manusia sejak dia dilahirkan sampai meninggal dunia. Bahkan
sebelum ia dilahirkan dan sesudah meninggal dunia.
15
Selain itu Islam menata kehidupan individual, kehidupan keluarga, kehidupan sosial dan politik, mulai
beristinja sampai kepada pemerintahan. Hasan Al-Banna juga menyatakan bahwa ada perbedaan yang
mendasar antara kepartaian dan politik. Keduanya mungkin bisa bersatu dan mungkin bisa berseteru. Ketika Hasan al-Banna berbicara tentang politik
praktis pada kesempatan ini, maka yang dikehendaki adalah politik secara umum. Yakin melihat persoalan-persoalan umat, baik internal maupun
eksternal yang sama sekali tidak terkait dengan hizhiyah kepartaian. Ini yang pertama.
Kedua, Takala orang-orang nonmuslim awam tentang Islam, oleh
urusan dan kokohnya Islam yang menancap di dalam jiwa para pengikutnya, atau kesiapan berkorban dengan harta dan jiwa demi tegaknya, maka mereka
tidak berusaha untuk melukai jiwa-jiwa kaum muslimin dengan menodai
14
IAIN Syarif Hidayatillah, Ensiklopedi Islam, Jakarta: Jambatan, 1992, h. 445
15
Yusuf Qardhawy, Fikih Negara: Ijtihad Baru Seputar Sistem Demokrasi Multi Partai dan Keterlibatan Wanita di Dewan Perwakilan Partisipasi dalam Pemerintahan Sekuler,
terj, Syafril Halim, Jakarta: Rabbani Press, 1997, h.18
nama Islam, syariat, dan undang-undangnya. Namun mereka berusaha membatasi substansi makna Islam pada lingkup sempit yang menghilangkan
semua sisi kekuatan operasional yang ada di dalamya. Kendati setelah itu yang tersisa bagi kaum muslimnin adalah kulit luar dari bentuk dan performa yang
sama sekali tidak berguna.
16
Sedangkan menurut Moh. Mufid, M.Si, ada dua pandangan berbeda yang mengkaji masalah legitimasi dalam politik, yaitu: pertama, Barat Eropa
dengan ciri skularistiknya berpendapat bahwa pengakuan terhadap suatu pemerintahan adalah pengakuan yang berasal dari rakyat. Artinya, ketika
seseorang dalam sebuah pemilihan umum secara mayoritas memperoleh suara terbanyak, maka sejak itu pula ia berhak memperoleh tampuk kekuasaan.
Kedua, legitimasi kepemimpinankekuasaan dalam perspekitf
pemikiran politik Islam berbeda dengan Barat. Bagi kelompok ini legitimasi berasal dari dua sumber, yaitu Tuhan dan manusia. Yang pertama menjadi
keyakinan syiah, bahwa kepemimpinan itu berasal; dari Tuhan, karenanya mempunyai sifat dan fungsi keagamaan dan ditransmisikan lewat keturunan
Nabi Muhammad lewat jalur Ali bin Abi Thalib. Yang kedua merupakan preferensi Sunni yang memandang bahwa kepemimpinan merupakan hasil
kesepakatan masyarakat ijma’ melalui para elit.
17
Moh.Mufid,M.Si juga memandang hubungan agama dan politik negara dengan tiga paradigma. Yaitu : Pertama, paradigma integrative,
16
Hasan Al Banna. Risalah Pergerakan Ikhwanul Muslimin. Terj. Anis Matta, LC.et.all Surakarta:Era Intermedia, 1999. h.70
17
Moh. Mufid, M.Si, Politik Dalam Perspektif Islam, Jakarta: UIN Press,2004, h.10
kedua, paradigma simbiotik, dan ketiga,paradigma instrumental.
18
Dalam paradigma pertama dan kedua hubungan agama dan politik negara
merupakan hubungan kemitraan yang saling membutuhkan antara keduanya tidak dapat dipisahkan, dalam pengembangan dan eksistensi suatu negara,
agama sering dijadikan faktor penentu yang paling dominan. Karenya, baik keberadaan agama maupun politik negara dalam prakteknya saling
melengkapi kebutuhan satu salam lain. Sementara dalam paradigma yang terakhir, agama hanya sebatas menjadi pelengkap kebutuhan suatu negara
begitupun juga sebaliknya. Maka mereka berusaha memberikan pemahaman kepada kaum
muslimin bahwa Islam adalah sesuatu, sementara masalah sosial adalah sesuatu yang lain. Islam adalah sesuatu dan perundang-undangan adalah
sesuatu yang lain. Islam adalah sesuatu dan masalah-masalah ekonomi sesuatu yang lain, yang tidak ada hubunganya sama sekali. Islam adalah sesuatu dan
peradaban bukan bagian darinya. Islam adalah sesuatu yang harus berada pada jarak yang jauh dari politik.
Maka Islam dan politik itu, pada dasarnya tidak terpisahkan. Islam tidak pernah memisahkan antara kegiatan profan dan sakral. Seperti halnya al-
Ghazali yang telah menghubungkan ilmu politik secara erat dengan agama. Karena pegangan dari semua ilmu itu ialah ajaran kitab-kitab suci yang
diturunkan Tuhan kepada para Nabi dan ucapan-ucapan yang ditinggalkan oleh orang-orang yang suci.
18
Moh. Mufid, M.Si, Politik Dalam Perspektif Islam, h.44
C. Sistem Politik Islam
Berbicara tentang sistem politik islam, para pengamat Islam telah menulis sejumlah buku tentang teori politik islam dalam beberapa topik,
seperti : sistem pemerintahan, hubungan pemerintah dengan rakyat dan jenis kekuasaan dalam islam batasan dan tugas-tugas.
19
Agaknya sudah merupakan kebiasaan orang-orang tertentu untuk agak menyamakan Islam dengan salah satu sistem kehidupan tertentu atau
sistem kehidupan lainnya yang dewasa ini tengah menjadi wacana kontemporer. Ada yang mengatakan bahwa Islam adalah sebuah demokrasi,
dan yang mereka maksudkan dengan ini adalah bahwa tidak ada perbedaan antara Islam dengan demokrasi yang kini tengah naik daun di barat. Beberapa
orang lainnya menyatakan bahwa komunisme tidak lain merupakan versi lain dari Islam yanag telah direvisi dan sangatlah cocok bagi kaum muslim untuk
meniru eksperimen-eksperimen komunis soviet rusia. Yang lainnya lagi membisikan bahwa Islam mengandung unsur-unsur kediktatoran dan kita
harus membangun kembali adat “taat kepada amir pemimpin”.
20
Seorang orientalis terkemuka, V. Fitzgerald dalam bukunya Mohamedian Law, mengatakan bahwa Islam bukanlah semata agama a
religion , namun juga merupakan sebuah sistem politik a political sistem.
Meskipun pada dekade-dekade terakhir ada beberapa kalangan dari umat
19
Empan Supandi. Islam dan Politik Kajian Tentang Pemikiran Politik Al Ghazali.”,
Skripsi SI Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, Universitas Islam Negeri,Jakarta,, 2006,h.16-26
20
Abu A’la Al Maududi. Hukum dan Konstitusi Sistem Politik Islam. terj. Drs.Asep Hikmat Bandung : Mizan,1995. Cet.IV. h.144
Islam yang mengklaim sebagai kalangan modernis, yang berusaha memisahkan kedua sisi itu, namun seluruh gagasan pemikiran Islam dibangun
atas fundamen bahwa kedua sisi itu saling bergandengan dengan selaras dan tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lain.
Pernyataan tersebut diperkuat oleh Joseph Schacht, seorang orientalis lainnya, yang berpendapat bahwa Islam lebih dari sekedar agama, ia
mencerminkan teori-teori perundang-undangan dan politik. Dalam ungkapan yang lebih sederhana Islam merupakan sistem peradaban yang lengkap, yang
mencakup agama dan negara secara bersamaan. Dengan demikian, seperti yang di kemukakan oleh H. A. R. Gibb, jelaslah bahwa Islam bukanlah
sekedar kepercayaan agama individual, namun ia meniscayakan berdirinya suatu bangunan masyarakat yang independen. Ia mempunyai metode tersendiri
dalam sistem kepemerintahan, perundang-undangan dan institusi. Pendapat dari para orientalis tersebut diperkuat oleh fakta-fakta
sejarah. Misalnya sistem politik yang dibangun oleh Rasulullah SAW bersama kaum Mukmin di Madinah jika dilihat dari segi praksis dan diukur dengan
variabel-variabel sistem politik modern, maka dapat dikatakan bahwa sistem itu adalah sistem politik par excellence, tetapi juga tidak disangkal jika
dikatakan sebagai sistem relegius, karena dilihat dari tujuan-tujuan dan motif- motif dan fundamental maknawi tempat sistem itu berpijak.
Sebagai sebuah sistem politik dalam perjalanan sejarahnya Islam diwarnai dengan dinamika pemikiran politik, seperti halnya perjalanan
sejarah pemikiran politik agama-agama lain. Pemikiran politik Yahudi,
Kristen, dan juga Islam tidak terlepas dari unsur kesejarahannya. Teori- teori politik tidak muncul begitu saja tetapi merupakan satu rangkaian
proses dengan fenomena dan kejadian kesejarahan yang dikaji dan diteorisasi secara sistematis. Teori-teori politik yang muncul di Barat
sebagaimana telah dimunculkan oleh Hocker, Hobbes, Locke, dan Rousseou merupakan kecenderungan-kecenderungan politik mereka dan
perhatian mereka terhadap relasi nilai dan kekuasaan, agama dan kekuasaan, ideologi dan kekuasaan, kepentingan dan kekuasaan, yang
sangat menonjol terjadi di zamannya, di negara-negara mereka atau di negara-negara yang menjadi perhatian mereka.
Mustafa Muhammad dalam bukunya Rekonstruksi Pemikiran Menuju Gerakan Islam,
mengatakan bahwasanya sistem politik Islam adalah suatu sistem yang bertolak dari kaidah-kaidah umum, yakin kebebasan,
kesetaraan, keadilan, dan supremasi hukum. Juga konsistensi terhadap pemilihan pemimpin, dan bahwa pemerintah adalah pelaksana hukum dan
perundang-undangan, pelindung agama dan bertanggung jawab terhadap rakyat. Di antara rakyat adalah memberi nasihat, mengevaluasi, memecat dan
menggantinya, jika diperlukan. Sistem politik harus ditegakkan di atas prinsip syura, dan syura menjadi sesuatu yang harus ditegakkan oleh penguasa.
21
Abu A’la al-Maududi mengatakan bahwasanya sistem politik Islam merupakan suatu sistem yang berlandaskan akidah, karena akidah merupakan
suatu sistem yang berlandaskan akidah, karena akidah merupakan suatu sistem
21
Mustafa Muhamad, Rekonstruksi Pemikiran Menuju Gerakan Islam Modern, Solo: Era Intermedia,2000, cet ke-1, h. 47
politik Islam yang ditegakan oleh rasul. Aspek-aspek lain berkisar disekelilingnya. Akidah inilah yang menjadi landasan pijakan dan paradigma
teori politik Islam. akidah juga merupakan dasar undang-undang politik Islam yang telah melahirkan bentuk ketahanan politik dan hukum ciptaan manusia,
baik secara individu ijtihad fardli maupun kelompok ijtihad jam’I. Namun seseorang tidak mempunyai otoritas dalam memeaksakan kehendaknya yang
menginginkan ijtihadnya diikuti dan dipatuhi. Pembuatan hukum Islam mutlak menjadi hak Allah, dan tidak ada campur tangan manusia.
22
Dari keterangan di atas dapat disimpulkan bahwasannya al-Maududi dalam menjelaskan tentang sistem politik Islam adalah suatu sistem yang
bermuara pada ketentuan undang-undangyang terdapat dalam al-Qur’an. Al-Nabani mengatakan bahwasannya sistem politik Islam adalah
sistem yang membicarakan tentang kekhalifahan dan konsep-konsep pemerintahannya. Konsep pemerintahan Islam adalah sistem ”khilafah”, yang
mempuyai pola yang unik yang berbeda dari pola pemerintahan lainnya. Syariat yang diterapkan untuk mewujudkan pemerintahan. Pengaturan urusan
rakyat dan hubungan luar negerinya, berasal dari Allah Swt. Syariat tersebut bukan dari rakyat, bukan dari beberapa orang, atau seseorang. Sedangkan ciri-
ciri khas khliafah yang menurut as-Sanhuri, ialah prinsip kesatuan umat.
22
Abul A’la al-Mandudi, Politik Alternatif: Suatu Perspekif Islam, terjemahan, Jakarta:Gema Insani Press, 1994, Cet. Ke-11, h. 35
D. Polemik Tentang Relasi Agama dalam Konteks Negara-
Bangsa
Perdebatan antara relasi agama dalam konteks negara adalah sebuah perdebatan panjang yang melelahkan. Diskursus politik kontemporer pun
tidak terlepaskan dari perdebatan tersebut, antara pihak yang memisahkan agama dari politik, dan menjadikan agama sebagai jiwa spiritual penentu
aturan moral kemasyarakatan dan konstitusi. Ada golongan yang memandang agama sebagai sebuah ajaran yang
bersifat universal, sehingga konteks kehidupan politik harus dijiwai oleh nilai- nilai agama. Golongan ini disebut dengan formalisme yakin sebuah aliran
yang berpandangan Islam harus menjadi landasan kehidupan bernegara, Islam menjadi basis konstitusional negara. Praktek-praktek dalam konteks
ketatanegaraan harus dijiwai oleh nilai-nilai Islam. Tidak ada tempat buat faham sekulerisme. Tokoh-tokoh yang mengusung tema besar ini adalah
M.Natsir dari Masyumi. Ada juga golongan yang memandang bahwa agama harus dipisahkan
dari negara. Alasannya sederhana, bahwa wilayah agama adalah wilayah private pribadi karena menyangkut keyakinan akan nilai-nilai supranatural.
Sedangkan wilayah negara adalah domain publik yang membutuhkan kesepakatan bersama berlandaskan rasionalitas, kemakmuran, dan keadilan.
Perbedaan wilayah publik dan privat menjadi keharusan adanya pemisahan yang tegas yang cenderung bersifat sekularistik.
Golongan lain adalah menjadi penengah di antara kedua arus besar tersebut yang bercorak nilai substansialistik. Artinya, golongan kedua ini
membutuhkan ajaran agama sebagai asas moralitas dan etika dalam konteks politik kenegaraan. Biarpun tidak dilegalkan secara formal, namun nilai-nilai
agama melandasi setiap keputusan hukum, Undang-undang, bahkan ideologi negara.
Dalam sejarah pembentukan negara modern Indonesia, polemik seputar kedudukan agama dalam sistem politik kenegaraan terjadi antara
Soekarno yang mewakili kaum nasionalis dengan Natsir dari golongan agama.
23
Perdebatan itu muncul sekitar tahun 1930. Berbicara singkat tentang hubungan Islam dan negara, Natsir
mengatakan bahwa agama lain dijamin hidupnya dalam suatu negara Islam. Ia berseru kepada golongan kebangsaan agar kembali ke dalam lingkungan
Islam, apalagi karena bagian terbesar mereka adalah orang Islam.
24
Ia meragukan adanya jaminan perlindungan terhadap Islam dalam suatu negara
yang pemerintahannya dipegang oleh negara yang netral atau dibawah kendali non-Muslim.
Sedangkan soekarno menekankan bahwa landasan kebangsaan berdasarkan pada nasionalisme yang luas yang meliputi semua golongan
Islam, kristen, Hindu, Buddha dengan berasaskan konstitusi modern legar- formal, bukan berasaskan kepada ajaran agama Islam. Rujukan Soekarno
adalah berdirinya negara modern Turki dengan Kemal Attaturk yang menjadi
23
Perdebatan panjang tersebut dapat dilihat dalam karya Deliar Noer, Gerakan Moderen Islam di Indonesia 1990-1942,
Jakarta: LP3ES, 1995, h. 296-311
24
Deliar Noer, Gerakan Moderen Islam di Indonesia,.h. 299
pioner. Soekarno mengganggap tidak ada ijma’ ulama yang mengenai persatuan agama dengan negara, dan ada juga yang mengatakan agama dan
negara terpisah karena memiliki dimensi yang berbeda.
25
Zaid Sakhir menjelaskan posisi agama dalam negara dengan argumentasi apakah Islam sebuah agama atau ideologi.
26
Sebaggai sebuah agama Islam meliputi aspek keyakinan, peribadatan, moralitas, aturan
kemasyarakatan, dan aspek-espek yang lainnya dalam skala yang lebih luas. Namun di sisi lain, sebagai salah satu agama terbesar di dunia, Islam
dikatakan sebagai sebuah ideologi apabila menghadirkan teori yang dapat diterpakan yang bersifat lengkap dan universal bagi umat manusia. Ia berkata:
Islam is indeed an ideology as it presents a “complete and universally applicable theory of man and society.” However, the relevant realm of
action and thought for an ideology is the political, as Scruton points out. This limitation to the political realm marks where Islam parts with
ideology. Islam is not simply concerned with man’s political condition; it is also concerned with his spiritual condition, and at the heart of the
Islamic call is a normative program for spiritual salvation.
27
Secara umum hubungan antara Islam dan Negara serta politik dapat dibedakan kepada tiga golongan: Pertama, golongan formalistik yaitu
golongan yang ingin menjadikan Islam sebagai sebuah konstitusi resmi Negara, tidak sebatas jargon tetapi ditempatkan sebagai aturan hukum
tertinggi dalam sistem ketatanegaraan. Golongan Hizbut Tahrir, M. Natsir, dan tokoh-tokoh Masyumi lain; Kedua, golongan substansialistik, bagi golongan
ini yang terpenting bukan menjadikan agama sebagai legal-formal dalam konteks Negara, melainkan sebuah upaya gerakan –meminjam istilah Quraish
25
Deliar Noer, Gerakan Moderen Islam di Indonesia,.h. 303
26
Zaid Sakhir, Islam: Religion or Ideology?, Zaituna Institute terbit 25 Juli 2006, h. 2
27
Zaid Sakhir, Islam: Religion or Ideology?, h. 4
Syihab “membumikan Al-Qur’an”—kulturisasi nilai-nilai keIslaman yang tertanam kuat di tengah masyarakat. Tokoh penganjur utama adalah Gus Dur,
Amien Rais, NU, Muhammadiyah, Cak Nur; dan ketiga, golongan fundamentalis, yaitu yang mengidolakan kondisi Madinah sebagai bentuk
Negara ideal dalam struktur Negara bangsa modern. Kebanyakan golongan ini lebih bergerak di bawah tanah seperti NII atau juga Ahmadiyah.
BAB III HISTOGRAFI AHMADIYAH
Sejarah Berdirinya Ahmadiyah
Jemaat Ahmadiyah adalah gerakan Islam yang di dirikan oleh Mirza Gulam Ahmad pada tahun 1889 M bertepatan dengan tahun 1306 H.
Ahmadiyah adalah sebutan singkat dari Jemaat Ahmadiyah. Jemaat berarti kumpulan individu yang bersatu padu dan bekerja untuk suatu program
bersama. Ahmadiyah adalah nama dari Islam, jadi Ahmadiyah adalah suatu perkumpulan, himpunan atau organisasi yang bersatu padu dan bekerja untuk
suatu program yang sama, yaitu Islam. Ahmadiyah diambil dari salah satu nama Rosulullah yang diinformasikan kepada Nabi Isa a.s dalam Surat As-
Shaf ayat enam yang menyatakan bahwa akan datang seorang Nabi dan Rosul yang bernama Ahmad.
Kemunculan Ahmadiyah di India merupakan salah satu bagian dari peristiwa sejarah dalam Islam yang tidak terlepas dari konteks sosial pada saat
itu. Kemunduran dunia Islam yang ditandai oleh runtuhnya kerajaan Ustmani 1683. Sementara di Barat perkembangan ilmu pengetahuan dan industri
semakin berkembang pesat, yang ditandai dengan berbagai macam penemuan yang antara lain ditemukannya alat tranportasi dengan menggunakan tenaga
uap pada tahun 1902 M dan penemuan-penemuan yang lainnya. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi tersebut menyebabkan Barat semakin
melebarkan kekuasaan kolonialnya kedunia yang pernah dikuasai oleh Islam.
29
Seperti Inggris dapat menjajah India dan Mesir, Prancis dapat menguasai Afrika Utara, dan bangsa-bangsa Barat lainya menduduki bekas Imperium
Islam. Kerajaan Islam yang menguasai anak benua India adalah kerajaan
Mughal 1526-1858 M yang saat itu sedang menuju kehancuran. Hal ini disebabkan oleh beberapa hal. Pertama, melemahnya pemerintahan karena
dekadensi moral dan polah hidup mewah para pejabat pemerintah pasca Aungrazeb
. Kedua, adanya pemberontakan yang dilakukan secara terus menerus oleh golongan Hindu dan Sikh di India. Walaupun India berada
dalam wilayah kekuasaan kerajaan Islam Mughal, tetapi mayoritas penduduknya masih beragama Hindu, sebagain lain beragama Kristen, Budha,
Sikh. Tercatat telah terjadi pemberontakan Sikh yang dipimpin Guru Tgh Bahdur dan Guru Gobin Singh. Golongan Rajput juga mengadakan
pemberontakan dibawah pimpinan raja Udaipur, sedangkan golongan Maratah di pimpin Sivaji dan anaknya yang bernama Sambaji. Pada masa pemerintahan
raja Bahdur Syah juga terjadi pemberontakan dari golongan Sikh dibawah pimpinan Bandah yang berhasil merampas kota Sadhaura di sebelah utara
Delhi, dan mengadakan perampasan serta pembunuhan terhadap penduduk yang beragama Islam di kota Sirhind. Selain itu golongan Maratah yang
dipimpin Raji Rao dapat merampas sebagian daerah Gujarat tahun 1732 M. Ketiga
, adanya campur tangan Inggris yang datang ke India sejak Abad ke 15, terutama setelah pecahnya revolusi India yang terkenal dengan pemberontakan
Munity 1857 M. Pemberontakan ini berakhir dengan kemenangan East India
Company , dimana Inggris menjadikan India sebagai salah satu keoloninya
yang terpenting di dunia. Dengan runtuhnya kerajaan Mughal di India maka secara otomatis runtuh pula kekuasaa Islam dan inilah periode kemerosotan
ummat Islam. Secara otomatis dengan berkuasanya Inggris di India maka sistem pemerintahannya pun berganti dan masuknya kebudayaan Eropa
kedalam India. Pada masa India berada dalam kekuasaan Inggris terjadi gerakan misi-
misi Kristenisasi yang terjadi hal ini bukan hanya di India akan tetapi di seluruh dunia yang dilakukan sejak tahun 1804 M, khususnya ketika British
and Foreign Society terbentuk.
28
Kelompok Kristen menetapkan pada tahun 1813-1815 M sebagai The Great Century of World Evangelization Abad
Agung Penginjilan Dunia, dimana anak benua India merupakan sebuah sasaran yang dijadikan sebuah proyek besar bagi gerakan penginjilan atau
kristenisasi, sehingga jutaan orang masuk kedalam agama Kristen melalui gerakan missionaris Kristen. Ketika terjadi pergerakan Kristenisasi di India
kondisi umat Islam semakin mengalami kemunduran, kelompok Neo-Hindu bermunculan, diantara yang paling militan dan agresif adalah sekte Arya
Samaj merupakan gerakan yang ingin mengembalikan kemurnian agama Hindu dan menampilkan sebagai suatu kebanggaan nasional India, menentang
pemahaman-pemahaman Hindu Brahma yang ortodoks dan sering melancarkan serangan besar-besaran terhadap ajaran Kristen dan Islam.
28
Husain bin Abu Bakar Al-Habsyi, Ahmadiyah Qadian dan kekafiran.hal. 45
Gerakan ini sudah berkembang dari tahun 1819 M yang dipimpin oleh Swami Dayananda Saraswati yang diberi gelar Hindu Luther oleh para penentangnya.
Kondisi umat Islam India pada saat itu, mengalami dekadensi moral dan sekaligus kemunduran dari segi intelektualitas. Sering terjadi perpecahan
dalam diri umat Islam sendiri disebabkan oleh perbedaan-perbedaan pandangan. Di tengah keadaan sosial dan politik India seperti di atas tadi
Ahmadiyah di lahirkan dengan berorientasi pada pembaharuan pemikiran dan juga sebagai protes terhadap gerakan kaum misionaris Kristen dan juga
sebagai protes terhadap paham rasionalis dan westernisasi yang dibawah oleh Sayyid Ahmad Khan yang merupakan pelopor menerapkan ide-ide
pembaharuan demi kemajuan umat Islam di India dengan Aligarh-nya. Pusatnya ialah Muhammedan Anglo Oriental Colloge yang kemudian menjadi
Universitas di India. Orientasi kelahiran Ahmadiyah adalah pembaharuan pemikiran ummat
Islam. Pendiri Ahmadiyah Mirza Gulam Ahmad merasa memiliki tanggung jawab besar yang harus dia pikul untuk memajukan Islam dengan memberikan
interpretasi baru terhadap ayat-ayat Al-Qur’an sesuai dengan zamannya, dengan menulis kitab yang dijadikan rujukan utama setelah Al-Qur’an nomor
dua yaitu Tadzkirah.
Tokoh-tokoh Ahmadiyah
Mengingat aliran bernama Ahmadiyah ini telah memunculkan kontroversi tidak saja di Anak Benua India-Pakistan, bahkan di Afrika dan
Eropa, tetapi juga di berbagai belahan dunia lainnya termasuk Indonesia, maka menelisik tokoh sekaligus pendirinya jelas sangat penting. Dari perspektif
historis, gerakan Ahmadiyah didirikan oleh Mirza Ghulam Ahmad pada paruh akhir tahun abad ke-19 M. jauh hari sebelum terjadi pemisahaan Anak Benua
yang sekarang menjadi Pakistan. Mirza Ghulam Ahmad lahir pada saat shubuh, bertepatan pada hari
Jum’at tanggal 13 Februari 1835 M yang dalam kalender Islam tepat pada 14 Syawal 1250 H di Qadian India.
29
Qodian adalah sebuah desa yang terletak di distrik Gurdaspur Punjab India, Jaraknya 100 km disebelah Timur laut kota
Lahore. Asal usul kata Qadian berasal dari nenek moyang Mirza Gulam Ahmad yang bernama Mirza Hadi Beg yang diangkat sebagai qadhi hakim
maka tempat itu disebut Islampur Qadhi yang dalam perkembangan selanjutnya hanya terkenal dengan Qadhi berubah manjadi Qadian ini karena
logat daerah tersebut. Mirza Gulam Ahmad ayahnya bernama Mirza Ghulam Murtadha yang
meninggal pada tahun 1876, merupakan seorang tabib yang sangat terkenal. Ibunya bernama Ciraagh Bibi, sedangkan kakeknya adalah Mirza Atha
Muhammad bin Mirza Gul Muhammad adalah keturunan Haji Barlas.
30
Yang berasal dari keluarga Moghul. Haji Barlas adalah raja kawasan Qesh yang
merupakan paman Amir Tughlak. Ketika penyerangan terjadi Haji Barlas sekeluarga terpaksa mengungsi ke Khurasan dan Samarkhan yang kemudian
29
A. Nahdi, Sejemput Riwayat dan Mukjizat Pendiri Ahmadiya., Jakarta: Raja Pena, 2001.h. 4
30
Basyiruddim Mahmud Ahmad, Riwayat Hidup Mirza Ghulam Ahmad, terj. Malik Aziz Ahmad Khan. Parung: Jamaah Ahmadiyah Indonesia, 1995.h. 2.
menetap disana. Pada tahun 1503 M seseorang keturunan Haji Barlas yang bernama Mirza Hadi Beg beserta 200 pengikutnya hijrah dari Khurasan ke
daerah Gurdashpur di Punjab yang letaknya 70 mil sebelah Timur Lahore sekitar kawasan sungai Bias dengan mendirikan perkampungan yang bernama
Islampur. Dalam bidang pendidikan Mirza Ghulam Ahmad tidak pernah
menerima pendidikan formal karena dengan situasi sosial dan poltik pada saat itu di Qadian belum ada sekolah formal. Ia mulai mendapat pendidikan ketika
berusia 6-7 itu pun belajar atas keinginan dari ayahnya untuk memberikan pendidikan kepada anaknya dengan memanggil seorang guru bernama Fazal
Ilahi untuk belajar membaca Al-Quran, serta beberapa kitab bahasa Parsi yang bermuatan pendidikan agama Islam.
31
Ketika dia berusia 10 Tahun ayahnya mempekerjakan seorang guru yang bernama Fazal Ahmad untuk mengajar
nahwu dan sharaf.
32
Pada saat ia berumur 17 tahun ayahnya kembali memanggil seorang guru bernama Gul Ali Syah untuk memberikan pengajaran
kepada Mirza Ghulam Ahmad dengan pelajaran Ilmu Mantiq Logika. Ilmu tentang pengobatan ia pelajari sendiri kepada ayahnya langsung.
Pada masa ia telah menyelesaikan pendidikan non-formal, dan stabilnya politik dalam negeri India dengan ditandai tidak adanya
pemberontakan-pemberontakan menentang kolonialisme Inggris, banyak warga yang ingin memperbaiki kehidupan khususnya dalam bidang ekonomi
dengan bekerja kepada kolonilisme Inggris, demikian juga kelurga Mirza
31
A. Fajar Kurniawan, Teologi Kenabian Ahmadiyah, Jakarta : RM Books, 2006.h.39
32
skripsi lihatIhsan Ilahi Zakir, A-Qadaniyah dan I’tiqadnya,terj. Asmuni Dalam Mengapa Ahmadiyah dilarang. Jakarta: Darul Falah, 2006.h. 152.
Ghulam Ahmad yang dari semula sudah bekerja untuk pemerintah Inggris di India maka anaknya pun Mirza Ghulam Ahmad pada usia 29 tahun dia bekerja
pada pemerintahan Inggris di kantor Bupati Sailkot. Setelah empat tahun bekerja dia dipanggil ayahnya kembali ke kampung halaman untuk menekuni
pekerjaan dalam bidang pertanian. Akan tetapi tidak lama dia menggeluti bidang pertanian, merasa tidak cocok dengan apa yang dia kerjakan. Mirza
Ghulam Ahmad menghabiskan waktunya dengan mengkaji Al-Quran, menelaah buku, mengajar, dan berdiskusi tentang agama.
33
Pada tahun 1875, Mirza Ghulam Ahmad merasakan kesedihan dengan melihat golongan Hindu, Nasrani, Sikh, dan golongan lainnya yang
melancarkan serangan kepada Islam. Mirza Ghulam Ahmad melakukan Mujahadah
atau menjalani disiplin asketis dengan melakukan puasa selama 6 bulan berturut-turut. Tujuannya adalah untuk bertawajjuh kepada Allah
dengan media puasa, sholat tahajjud, dan semakin mendalami ajaran Islam. Dengan memiliki modal dan kekuatan hati Mirza Ghulam Ahmad
dapat memberikan jawaban dan sanggahan terhadap argumentasi kelompok lain yang mendiskreditkan Islam. Kemudian hasil buah pikirannya ia
publikasikan dalam bentuk artikel di media massa. Puncaknya pada tahun 1880 M, Ghulam Ahmad banyak menulis karyanya lebih dari 86 karya ilmiah
yang telah ia ciptakan. Ketika dia berusaha semakin mendalami ajaran Islam, dia dihadapkan
pada kesedihan dengan meninggalnya ayahnya pada tahun 1876 M. akan
33
A. Fajar Kurniawan, Teologi Kenabian Ahmadiyah, h.
tetapi hal itu tidak mengurangi produktifitas dalam menulis sebuah gagasan. Karya Mirza Ghulam Ahmad yang sangat monumental adalah Barahin
Ahmadiayah yang berisikan tentang penjelasan keunggulan ajaran ummat
Islam dibanding dengan ajaran-ajaran agama-agama lainnya. Dengan buku itu maka terjadi pro-kontra dalam kalangan umat beragama India. Tidak seperti
halnya di kalangan non-muslim yang menimbulkan berbagai polemik dan perbedaan sengit, akan tetapi dikalangan umat Islam sendiri kehadiran buku
tersebut disambut dengan suka cita, karena telah dianggap membela ajaran Islam dari serangan serangan yang selama ini dilancarkan oleh berbagai pihak,
khususnya dari kalangan neo-Hindu Arya samaj dan Brahma Samaj, dan Nasrani. Salah seorang ulama ahli hadist ternama, Maulvi Muhammad Husain
Batalwi, menulis dalam bukunya Isyaat as Sunnah jilid VII, no 6-10, halaman 169-170 dan Swanah Fazl Umar Jilid I, Halaman 20:
Menurut pandangan kami, Pada zaman sekarang dan sesuai dengan kondisi yang berlaku buku ini adalah sedemikian rupa yang mana
sampai saat ini tidak ada bandingannya telah ditulis dalam Islam, dan tidak ada kabar di masa mendatang karena Allah lah yang lebih
mengetahui kejadian setelah ini. Penulisannya pun dalam hal memberi bantuan terhadap Islam dari segi harta, jiwa, tulisan
maupun lisan, dan langkah-langkahnya adalah sangat teguh dan kokoh karenanya, sangat sedikit sekali diketemukan contoh seperti
dirinya biarpun dari kalangan umat Islam terdahulu.
34
Dengan terbitnya buku Barahin Ahmadiyah yang didalamnya ada pendakwaan Ghulan Ahmad sebagai Mujahid abad ke 14 M. berdasarkan
ilham-ilham yang diterimanya, maka pada tahun 1883 banyak dari kalangan umat Islam yang berkeinginan untuk melakukan bai’at janji setia menjadi
34
Asep Burhanuddin, Ghulam Ahmad: Jihad Tanpa Kekerasan. Jogjakarta: Lkis 2005.h. 36
muridnya, tetapi Ghulam Ahmad sendiri menolak dengan alasan belum mendapatkan ilham Mandat dari Allah untuk menerima bai’at dari orang-
orang. Selanjutnya, berdasarkan ilham yang sudah ia terima pada tahun 1888 M untuk pengambilan bai’at, maka pada tanggal 23 Maret 1889 M. Sebanyak
40 orang melakukan bai’at pertama di tangan Ghulam Ahmad yang dilaksanakan di rumah Mia Ahmad Jaan, Ludhiana, India.
35
Setelah Mirza Ghulam Ahmad mangkat pada 26 Mei 1908, maka estafet gerakan Ahmadiyah dilanjutkan oleh pengikut setianya, Maulana
Hakim Nuruddin yang dianggap sebagai khalifah Masih I 1908-1914.
9
Sebelum kematiannya pada tanggal 13 Maret 1914 ia mengangkat anak sulung Mirza Ghulam Ahmad yakni Hazrat Basyiruddin Mahmud Ahmad
sebagai khalifah Masih II 1914-1965. Pada masa kekhalifahannya dimulai penyebaran Ahmadiyah ke Indonesia yang dibawa oleh tiga pemuda asal
Minangkabau yaitu Ahmad Nurdin, Abubakar Ayub, Zaini Dahlan. Segera ketiga pemuda itu mendapati bahwa sumber dari Ahmadiyah
adalah dari Qadian, dan sekalipun ditentang dan dilarang oleh Anjuman Isyaati Islam Ahmadiyah Lahore, ketiga pemuda itu pergi ke Qadian, pusat
Jemaat Ahmadiyah yang didirikan oleh Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad a.s., Masih Mau’ud. Bukan hal yang aneh ketiga pemuda itu segera baiat di tangan
Hadhrat Khalifah Masih II r.a.. Hadhrat Haji Mirza Basyruddin Mahmud Ahmad r.a., peristiwa baiat ketiga pemuda itu akan mengubah wajah
masyarakat Islam Indonesia di masa yang akan datang.
35
Asep Burhanuddin, Ghulam Ahmad: Jihad Tanpa Kekerasan ,h. 37
9
Husain bin Abu Bakar Al-Habsyi,Ahmadiyah Qadian dan kekafiran,hal.17
Ketiga pemuda Indonesia itu melanjutkan studi mereka di Madrasah Ahmadiyah. Tidak lama kemudian mereka merasa perlu membagi berkat
karunia Tuhan yang telah mereka terima itu dengan rekan-rekan mereka di Sumatera Tawalib. Mereka mengundang rekan-rekan pelajar mereka di
Sumatera Tawalib untuk belajar di Qadian. Tidak lama kemudian duapuluh tiga orang pemuda Indonesia dari Sumatera Tawalib bergabung dengan ketiga
pemuda Indonesia yang terdahulu, untuk melanjutkan studi juga baiat masuk ke dalam Jemaat Ahmadiyah.
Dua tahun setelah orang indonesia yang pertama baiat ke dalam Ahmadiyah, Hadhrat Khalifatul Masih II r.a. pergi ke Inggris untuk
menghadiri Seminar Agama-agama di Wembley, kemudian mengadakan kunjungan di Eropa. Setelah Hadhrat Khalifah kembali dari lawatan ke barat,
para pelajar Indonesia menginginkan sekali agar negara mereka, Indonesia, mendapatkan karunia dari Hadhrat Masih Mau’ud a.s. melalui khalifahnya.
Para pelajar kemudian mengundang Hadhrat Khalifatul Masih II r.a. dalam suatu jamuan teh, yang didalamnya alm Haji Mahmud – juru bicara para
pelajar indonesia – menyampaikan sambutan dalam Bahasa Arab, mengungkapkan harapan mereka bahwa sebagaimana Hadhrat Khalifatul
Masih II r.a. telah mengunjungi barat, mereka mengharapkan Hadhrat Khalifatul Masih II r.a. berkenan mengunjungi ke timur, yaitu ke Indonesia.
Hadhrat Khalifatul Masih II r.a menjawab dalam Bahasa Arab bahwa mereka jangan khawatir dan berduka cita, karena itu adalah tanda-tanda ornag-orang
tidak beriman. Dan Hadhrat Khalifatul Masih II r.a meyakinkan mereka
bahwa karena Hadhrat Masih Mau’ud r.a adalah Zulqarnain yang memiliki dua tanduk, satu mengarah ke barat dan yang lain mengarah ke timur, maka
pesan Hadhrat Masih r.a juga meyakinkan mereka bahwa meskipun beliau sendiri tidak dapat mengunjungi Indonesia, beliau akan mengirim wakil beliau
ke Indonesia. Kemudian, alm Maulana Rahmat II r.a. dikirim sebagai muballigh ke Indonesia sebagai pemenuhannya. Pada hari yang dibasahi
hujan, pertengahan musim panas tahun 1925, Hadhrat Khalifatul Masih II r.a, Hadhrat Haji Mirza Basyiruddin Mahmud Ahmad r.a. memimpin pelepasan
alm Maulana Rahmat Ali r.a. berangkat ke Indonesia. Pondasi perkembangan Ahmadiyah di Indonesia telah diletakkan.
Kemudian kekhalifahan berpindah kepada Mirza Nasir Ahmad, khalifah ketiga 1965 – 2003, sebagai khalifah III. Pada khalifah ketiga inilah
yang pertma kali berkunjung ke Indonesia dan diterima langsung oleh Presiden Abdurrahman Wahid pada waktu itu. Setelah itu kekuasaan beralih
ke tangan Mirza Masroor Ahmad 2003 – sekarang. Saat itulah dinyatakan sebagai peletak batu pertama berdirinya
organisasi al-Jamaah al-Islamiyah Ahmadiyah Jamaah Islam Ahmadiyah.
Doktrin-Doktrin Ahmadiyah
1. Masalah Kenabian
Ahmadiyah secara teologis, memiliki banyak doktrin yang dijadikan landasan dalam keyakinan para pengikutnya. Akan tetapi doktrin-doktrin
Ahmadiyah bukanlah doktrin pokok dalam ajaran tersebut. Beberapa
doktrin Ahmadiyah yang dianggap tidak paralel dengan umat Islam pada umumnya, termasuk pemahaman para ulama. Doktrin-doktrin yang
dikategorikan sebagai doktrin terpenting di kalangan Ahmadiyah, antara lain yaitu tentang kenabian, al-Mahdi dan al-Masih, Wahyu, khilafah, dan
jihad. Untuk lebih jelasnya, berikut penulis akan uraikan. Masalah Kenabian
Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, bahwa telah terjadi perpecahan di dalam tubuh Ahmadiyah sehingga terbentuk dua kubu yaitu
Ahmadiyah Qadian dan Ahmadiyah Lahore akibat beberapa perbedaan pandangan tentang doktrin yang mereka anut. Salah satu dari doktrin
tersebut adalah mengenal pendakwaan Mirza Ghulam Ahmad sebagai Nabi. Maka ketika berbicara mengenai kenabian, akan terlihat jelas
perbedaan argumen yang dikumandangkan oleh masing-masing kelompok tersebut.
Sedangkan istilah nabi sendiri berasal dari kata naba’ yang berarti membawa kabar gaib, juga berarti ramalan tentang peristiwa yang akan
terjadi. Sedangkan menurut Ahmadiyah, istilah nabi secara syar’i hanya diterapkan kepada manusia pilihan Allah dan ia diutus untuk
menyampaikan perintah Allah kepada manusia. Ia juga disebut rasul utusan Allah. Dengan demikian, semua nabi adalah rasul dengan kata
lain, nabi dan rasul adalah satu, tidak berbeda. Mengenai nabi dan rasul, golongan Ahmadiyah Lahore memberi penjelasan berbeda, bahwa semua
nabi itu utusan Allah dan semua nabi adalah rasul. Bedanya, kata nabi
hanya diterapkan kepada manusia, sedangkan kata rasul selain diterapkan kepada manusia juga diterapkan kepada malaikat. Dasar yang dipakai oleh
kelompok ini adalah firman Allah surat al-Hajj 22:”Allah memilih para utusan dari kalangan Malaikat dan dari manusia”.
Adapun menurut pandangan Ahmadiyah Qadian tentang kenabian, bahwa kenabian itu terus menerus berlangsung hingga hari kiamat.
Ahmadiyah sangat tidak setuju kepada pendapat, bahwa setelah Nabi Muhammad Saw. tidak ada lagi. Menurut Ahmadiyah Qadian, bahwa Nabi
Muhammad Saw merupakan nabi penutup yang membawa syari’at. Akan tetapi bukan penutup nabi-nabi yang tidak membawa syari’at. Maka dari
itu tetap terbuka di utusnya nabi yang tidak membawa syari’at setelah Nabi Muhammad Saw, atau dengan perkataan lain sesudah pengangkatan
Nabi Muhammad Saw sebagai Nabi, Tuhan tetap mengangkat terus nabi- nabi.
2. Masalah al-Mahdi dan al-Masih
Mengenai doktrin ini, antara Ahmadiyah Lahore maupun Ahmadiyah Qadian sama sekali tidak ada perbedaan. Menurut Ahmadiyah, doktrin
tentang al-Mahdi tidak dapat dipisahkan dari masalah kedatangan Isa al- Masih di akhir zaman. Hal itu karena al-Mahdi dan al-Masih adalah satu
tokoh, satu pribadi yang kedatangannya telah dijanjikan Tuhan. Ia ditugaskan untuk membunuh Dajjal dan mematahkan tiang salib, yakni
mematahkan argumen-argumen agama Nasrani dengan dalil-dalil atau
bukti-bukti yang meyakinkan serta menujukkan kepada para pemeluknya tentang kebenaran Islam. Selain itu, ia ditugaskan untuk menegakkan
kembali syari’at Nabi Muhammad Saw, sesudah umatnya mengalami kemerosotan dalam kehidupan beragama.
Mengenai kedatangan al-Mahdi dan al-Masih yang dijanjikan, mereka menggunakan sabda Nabi Saw. Sebagai dasar, yang diriwayatkan
oleh Imam Bukhari dan Ibnu Bukair, dari al-Laits dari Yunus, dari Ibnu Syihab, dari Nafi’ Maulana Abi Qatadah al-Anshari, dari Abu Hurairah,
bahwa kata-kata imamukum minkum menunjukan seseorang di antara umat Islam sendiri. Artinya, bukan seorang imam yang datang dari luar umat
Islam, misalnya dari Bani Israil. Dengan demikian, al-Masih yang akan datang di akhir zaman itu bukanlah Nabi Isa a.s yang telah wafat,
melainkan seorang muslim yang mempunyai perangai atau sifat-sifat seperti nabi Isa a.s dalam pandangan Ahmadiyah, al-Masih yng dijanjikan
itu adalah Mirza Ghulam Ahmad dari Qadian. Menurut Ahmadiyah, hadis tentang turunnya al-Masih Nuzul al-
Masih tidak dapat dipahami secara harfiah, tetapi harus di pahami secara kiasan. Alasan yang mereka gunakan adalah: Pertama, Sabda Nabi Saw
secara lahiriah ditunjukan kepada sahabatnya, akan tetapi secara hakikat ia ditunjukan kepada umat Islam zaman akhir; kedua, Nabi a.s tidak dapat
digolongkan ke dalam kata antum kaum umat Muhammad. Sebab, a Nabi Isa memang bukan umat Muhammad; b Nabi Isa adalah Imam Bani
Israil; c Nabi Isa sudah wafat; d Orang yang sudah wafat tidak akan bangkit lagi ke dunia sebelum hari kiamat datang.
Sedangkan Ahmadiyah Lahore berpendapat bahwa sendainya Nabi Isa benar-benar akan dibangkitkan kembali maka hal itu berarti
membongkar segel penutup kenabian. Ini merusak dasar akidah Islamiyah bahwa Nabi Muhammad Saw adalah penutup para nabi. Sementara jika
kedatangan al-Masih bukan sebagai nabi, melainkan sebagai umat, maka hal itu berarti menrunkan derajat Nabi Isa a.s dari derajat nabi menjadi
umat biasa.
3. Masalah Wahyu
Wahyu menurut Ahmadiyah ialah pembucaraan Allah dengan hamba-Nya dalam bentuk lafadz-lafadz, yang terdengar oleh orang-orang
yang menerimanya. Ia berpendapat bahwa wahyu Allah yang dimaksud dalam al-
Qur’an adalah kenyataan yang universal. Wahyu Allah tidak hanya diturunkan kepada para nabi dan utusan Allah saja, tetapi dikaruniakan
juga kepada semua umat manusia, dan bahkan dikaruniakan kepada semua ciptaan-Nya. Seorang propagandis Ahmadiyah Qadian dari Sialkot, Nazir
Ahmad, menjelaskan bahwa wahyu yang terputus sesudah Rasulullah adalah wahyu tasyri atau wahyu syari’at, bukan wahyu mutlak.
Selanjutnya ia menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan wahyu terakhir
ini tidak dikhususkan hnya untuk para nabi saja, akan tetapi diberikan juga kepada selain mereka.
Dalam menggunakan istilah wahyu dan ilham, Mirza Ghulam Ahmad semula mengakui bahwa petunjuk yang diterimanya dari Tuhan
sebagai ilham, kemudian oleh para pengikutnya dinyatakan sebagai wahyu. Pernyataan seperti itu tidak dibantah sama sekali oleh Ghukam
Ahmad, bhakan ia mengakui kebenarannya. Dengan demikian, Ahmadiyah tidak membedakan antara ilham dan wahyu.
4. Masalah Khilafah
Pemahaman terhadap konsep khilafah dikalangan dua kubu Ahmadiyah, Lahore dan Qadian, sama-sama mendasarkan pada ayat al-
Qur’an, akan tetapi memiliki perbedaan dalam tingkat pemahaman. Menurut Mirza Basyiruddin Mahmud Ahmad yang beraliran Ahmadiyah
Qadian, perkataan khilafah pengganti, di dalam al-Qur’an digunakan dalam tiga pengertian:
Pertama, khalifah dipergunakan untuk nabi-nabi yang seakan-akan
menjadi pengganti Allah di dunia. Misalnya Nabi Adam disebut khalifah dan Nabi Daud disebutkan juga sebagai khalifah.
Kedua, khalifah diartikan sebagai kaum yang datang kemudian.
Dalam pengertian ini dartikan sebagai pengganti nabi, dipilih oleh
kaumnya sendiri. Sebagai contoh adalah khalifah Abu Bakar yang menggantikan Nabi Muhammad Saw.
Ketiga, khalifah dipergunakan untuk para pengganti nabi karena
mereka mengikuti jejak para nabi sebelum mereka. Khalifah-khalifah semacam itu dapat diangkat oleh Tuhan sendiri. Khalifah yang berpangkat
nabi ini adalah pembantu bagi nabi yang ada sebelumnya atau pada masanya. Umpamanya Nabi Harun adalah khalifah bagi Nabi Musa.
Dari ketiga pengertian khalifah di atas, diambil suatu kesimpulan bahwa khalifah hanyalah pemimpin-pemimpin rohani. Aliran Ahmadiyah
Qadian menjelaskan bahwa tidak semua nabi dan rasul yang disebutkan di dalam Al-Qur’an menjabat sebagai pemimpin ruhani sekaligus pemimpin
pemerintahan. Di antara sekian banyak nabi dan rasul yang disebutkan dalam al-Qur’an hanya beberapa orang saja yang menjadi pemimpin
rohani dan sekaligus pemimpin pemerintahan. Berbeda dengan pandangan Ahmadiyah aliran Qadian, Ahmadiyah
aliran Lahore menyatakan bahwa ada dua macam khalifah: 1.
Khalifah yang sesuai dengan makna khalifah dalam Al-Qur’an Q.S. An Nur:55. Dalam ayat tersebut dijelaskam bahwa umat Islam adalah
umat yang akan memimpin peradaban di muka bumi, karena itu dibutuhkan sistem kekhalifahan untuk membangun pemerintahan
tersebut. Nabi Muhammad Saw adalah khalifah pertama yang kemudian dilanjutkan oleh para sahabatnya khulafaur rasyiddin..
2. Khalifah yang dimaknai sebagai mujaddid dan para tokoh spiritual
yang mendirikan sebuah organisasi atau komunitas terstruktur yang akan meneruskan syariat.
Dikalangan aliran Ahmadiyah pun terjadi perbedaan pendapat mengenai posisi setelah Ghulam Ahmad meninggal. Menurut Ahmadiyah
Qadian setelah Ghulam Ahmad meninggal, maka berdirilah sistem khilafah dalam Ahmadiyah yang dikenal dengan khalifah Al Masih.
Doktrin khalifah Al Masih ini didasarkan dan dimotivasi oleh wasiat Ghulam
Ahmad mengenai
keharusan adanya
khalifah yang
menggantikannya.
36
Sedangkan aliran Ahmadiyah Lahore dengan dasar Al Qur’an surat An Nur ayat 55 dan wasiat dari Ghulam Ahmad sebagai landasannya,
bahwa setelah kekhalifahan Ghulam Ahmad, maka berakhir sudah sistem khilafah dalam Ahmadiyah. Setelah kepemimpinan Ghulam Ahmad
tampuk kepemimpinan dan keputusan tertinggi berada di tangan Sadr Anjuman Ahmadiyah. Sementara dengan sangat diplomatis aliran ini
mengatakan bahwa seandainya masih dibutuhkan khalifah, maka tidak wajib ditaati karena khalifah hanya berfungsi sebagai penerima baiat saja,
sementara tanggung jawab kepemimpinan tetap berada di tangan Pusat Anjuman Ahmadiyah dan keputusannya wajib ditaati. Menurut Aliran
Ahmadiyah Lahore bahwa setelah khilafah rasyidah dan termasuk setelah
36
A. Fajar Kurniawan. Teologi Kenabian Ahmadiyah, h.77
Ghulam Ahmad tidak ada lagi khalifah, yang ada hanya mujaddid yang muncul setiap satu abad sekali.
5. Masalah Jihad
Pengertian Jihad menurut Ahmadiyah, Lahore maupun Qadian adalah mencurahkan segala kesanggupan dalam menghadapi pertempuran,
menyampaikan pesan. Kebenaran atau dengan kata lain jihad adalah tidak menahan apapun, mengarahkan segala daya dengan memaksakan diri
dalam mencapai suatu tujuan. Ahmadiyah mengklasifikasikan jihad menjadi tiga kategori, yaitu:
Pertama, jihad shagir adalah perjuangan membela agama, nusa, dan
bangsa dengan mempergunakan senjata terhadap musuh-musuh yang menggunakan kekerasan dan senjata dengan tujuan memusnahkan agama,
nusa, dan bangsa. Ahmadiyah meyakini bahwa perjuangan atau jihad dengan senjata untuk membela agama sudah tidak diperlukan lagi saat ini,
karena tidak ada orang atau pihak yang mempergunakan senjata untuk membela dan mengembangkan agama. Kedua, Jihad Kabir adalah
perjuangan atau jihad dengan mempergunakan dalil-dalil atau keterangan, baik lisan maupun tulisan untuk meyebarluaskan ajaran al—Qur’an
kepada kaum kafir dan musyrik. Jihad dalam bentuk ini yang sedang dilancarkan oleh Ahmadiyah saat ini. ketiga, Jihad Akbar adalah
perjuangan atau jihad terhadap godaan setan dan hawa nafsu akan terus
dilakukan setiap saat.
37
Jihad dalam bentuk ini dilakukan setiap saat sama seperti ketika kita terus melakukan aktivitas.
Khalifah II
Ahmadiyah Bashirudin
Mahmud Ahmad
menyimpulkan bahwa banyak orang yang mempunyai pemahaman keliru tentang Ahmadiyah terkait pemahaman jihad. Menurut pandangannya
dan kemudian menjadi paham Ahmadiyah, bahwa peperangan itu terbagi menjadi dua macam, yaitu : Pertama, perang jihad dan kedua, perang
lumrah.
38
Perang jihad adalah perang yang terjadi karena dorongan mempertahankan keyakinan dan kepercayaan agama, sementara musuh
yang dihadapi adalah sekelompok orang atau pihak yang mencoba membinasakan dan melakukan tindak kekerasan dengan maksud dan
tujuan mengubah dan memaksa seseorang atau kelompok untuk melepaskan kepercayaan dan keyakinan agamanya. Isu yang menjadi
mainstream dalam peperangan tersebut adalah perang agama atau perang
suciholy war. Kemudian khalifah II menjelaskan lebih lanjut bahwa jika seandainya peperangan melawan kelompok bersenjata dengan motivasi
seperti di atas, maka wajib bagi setiap kaum muslimin untuk berjihad. Dari penjelasan di atas dapat kita simpulkan bahwa jihad yang
digambarkan adalah hanya jihad untuk membela agama bukan membela negara. Ini terlihat jelas keberpihakan Ahmadiyaha terhadap Inggris ketika
menjajah India dengan alasan Inggris tidak mengancam kebebasan agama.
37
A. Fajar Kurniawan. Teologi Kenabian Ahmadiyah, h.67
38
A. Fajar Kurniawan. Teologi Kenabian Ahmadiyah, h.68
Perkembangan Ahmadiyah di Indonesia
Tiga pemuda dari Sumatera Tawalib yakni suatu pesantren di Sumatera Barat meninggalkan negerinya untuk menuntut Ilmu. Mereka
adalah alm Abubakar Ayyub, alm Ahmad Nuruddin, dan alm Zaini Dahlan. Awalnya mereka akan berangkat ke Mesir, karena saat itu Kairo
terkenal sebagai Pusat Studi Islam. Namun Guru mereka menyarankan agar pergi ke India karena
negara tersebut mulai menjadi pusat pemikiran Modernisasi Islam. Sampailah ketiga pemuda Indonesia itu di Kota Lahore dan bertemu
dengan Anjuman Isyaati Islam atau dikenal dengan nama Ahmadiyah Lahore. Setelah beberapa waktu disana, merekapun ingin melihat sumber
dan pusat Ahmadiyah yang ada di desa Qadian. Dan setelah mendapatkan penjelasan dan keterangan, akhirnya mereka Baiat di tangan Hadhrat
Khalifatul Masih II., Hadhrat Mirza Basyiruddin Mahmud Ahmad. Kemudian tiga pemuda itu memutuskan untuk belajar di Madrasah
Ahmadiyah yang kini disebut Jamiah Ahmadiyah. Merasa puas dengan pengajaran di sana, Mereka mengundang rekan-rekan pelajar di Sumatera
Tawalib untuk belajar di Qadian. Tidak lama kemudian dua puluh tiga orang pemuda Indonesia dari Sumatera Tawalib bergabung dengan ketiga
pemuda Indonesia yang terdahulu, untuk melanjutkan studi juga baiat masuk ke dalam Jemaat Ahmadiyah.
Dua tahun setelah peristiwa itu, para pelajar Indonesia menginginkan agar Hadhrat Khalifatul Masih II. berkunjung ke Indonesia.
Hal ini disampaikan alm Haji Mahmud - juru bicara para pelajar Indonesia dalam Bahasa Arab. Respon positif terlontar dari Hadhrat
Khalifatul Masih II.. Beliau meyakinkan bahwa meskipun beliau sendiri tidak dapat mengunjungi Indonesia, beliau akan mengirim wakil beliau ke
Indonesia. Kemudian, alm Maulana Rahmat Ali Haot dikirim sebagai muballigh ke Indonesia sebagai pemenuhannya. Tanggal 17 Agustus 1925,
Maulana Rahmat Ali Haot dilepas Hadhrat Khalifatul Masih II berangkat dari Qadian. Tepatnya tanggal 2 Oktober 1925 sampailah Maulana Rahmat
Ali Haot di Tapaktuan, Aceh. Kemudian berangkat menuju Padang, Sumatera Barat. Banyak kaum intelek dan orang orang biasa
menggabungkan diri dengan Ahmadiyah. Pada tahun 1926, Disana, Jemaat Ahmadiyah mulai resmi berdiri sebagai organisasi.
Tak beberapa lama, Maulana Rahmat Ali Haot berangkat ke Jakarta, ibukota Indonesia. Perkembangan Ahmadiyah tumbuh semakin
cepat, hingga dibentuklah Pengurus Besar PB Jemaat Ahmadiyah dengan alm R. Muhyiddin sebagai Ketua pertamanya.
Terjadilah Proklamasi kemerdekaan RI pada 17 Agustus 1945. Di dalam meraih kemerdekaan itu tidak sedikit para Ahmadi Indonesia yang
ikut berjuang dan meraih kemerdekaan. Misalnya alm R. Muhyiddin. Beliau dibunuh oleh tentara Belanda pada tahun 1946 karena beliau
merupakan salah satu tokoh penting kemerdekaan Indonesia. Juga ada beberapa Ahmadi yang bertugas sebagai prajurit di Angkatan Bersenjata
Republik Indonesia, dan mengorbankan diri mereka untuk negara.
Sementara para Ahmadi yang lain berperan di bidang masing- masing untuk kemerdekaan Indonesia, seperti alm Mln. Abdul Wahid
dan alm Mln. Ahmad Nuruddin berjuang sebagai penyiar radio, menyampaikan pesan kemerdekaan Indonesia ke seluruh dunia. Sementara
itu, muballigh yang lain alm Mln. Sayyid Syah Muhammad merupakan salah satu tokoh penting sehingga Soekarno, Presiden pertama Republik
Indonesia, di kemudian hari menganugerahkan gelar veteran kepada beliau untuk dedikasi beliau kepada negara.
Di tahun lima puluhan, Jemaat Ahmadiyah Indonesia mendapatkan legalitas menjadi satu Organisasi keormasan di Indonesia. Yakni dengan
dikeluarkannya Badan Hukum oleh Menteri Kehakiman RI No. JA. 52313 tertanggal 13-3-1953. Ahmadiyah tidak pernah berpolitik,
meskipun ketegangan politik di Indonesia pada tahun 1960-an sangat tinggi.
Pergulatan politik ujung-ujungnya membawa kejatuhan Presiden pertama Indonesia, Soekarno, juga memakan banyak korban. Satu
lambang era baru di Indonesia pada masa itu adalah gugurnya mahasiswa kedokteran Universitas Indonesia, Arif Rahman Hakim, yang tidak lain
melainkan seorang khadim Ahmadiyah. Dia terbunuh di tengah ketegangan politik masa itu dan menjadi simbol bagi era baru pada masa
itu. Oleh karena itu ia pun diberikan penghargaan sebagai salah satu Pahlawan Ampera.
Di Era 70-an, melalui Rabithah Alam al Islami semakin menjadi- jadi di awal 1970-an, para ulama Indonesia mengikuti langkah mereka.
Maka ketika Rabithah Alam al Islami menyatakan Ahmadiyah sebagai non muslim pada tahun 1974, hingga MUI memberikan fatwa sesat terhadap
Ahmadiyah. Sebagai akibatnya, Banyak mesjid Ahmadiyah yang dirubuhkan oleh massa yang di pimpin oleh ulama. Selain itu, banyak
Ahmadi yang menderita serangan secara fisik. Periode 90-an menjadi periode pesat perkembangan Ahmadiyah di
Indonesia bersamaan dengan diluncurkannya Moslem Television Ahmadiyya MTA. Ketika Pengungsi Timor Timur yang membanjiri
wilayah Indonesia setelah jajak pendapat dan menyatakan bahwa Timor Timur ingin lepas dari Indonesia, hal ini memberikan kesempatan kepada
Majelis Khuddamul Ahmadiyah Indonesia untuk mengirimkan tim Khidmat Khalq untuk berkhidmat secara terbuka. Ketika Tahun 2000,
tibalah Hadhrat Mirza Tahir Ahmad ke Indonesia datang dari London menuju Indonesia. Ketika itu beliau sempat bertemu dan mendapat
sambuatan baik dari Presiden Republik Indonesia, Abdurahman Wahid dan Ketua MPR, Amin Rais.
39
Sedangkan Ahmadiyah Aliran Lahore dikembangkan oleh Mirza Wali Ahmad Beig. Tahun 1924 dua pendakwah Ahmadiyah Lahore Mirza
Wali Ahmad Baig dan Maulana Ahmad, datang ke Yogyakarta. Minhadjurrahman Djojosoegito, seorang sekretaris di organisasi
39
Abdul Halim Mahally, Benarkah Ahmadiyah Sesat, Jakarta: Cahaya Kirana Rajasa, 2006, h. 59
Muhammadiyah, mengundang Mirza dan Maulana untuk berpidato dalam Muktamar ke-13 Muhammadiyah, dan menyebut Ahmadiyah sebagai
Organisasi Saudara Muhammadiyah. Pada tahun 1926, Haji Rasul mendebat Mirza Wali Ahmad Baig,
dan selanjutnya pengajaran paham Ahmadiyah dalam lingkup Muhammadiyah dilarang. Pada Muktamar Muhammadiyah 18 di Solo
tahun 1929, dikeluarkanlah pernyataan bahwa orang yang percaya akan Nabi sesudah Muhammad adalah kafir
. Djojosoegito yang diberhentikan dari Muhammadiyah, lalu membentuk dan menjadi ketua pertama dari
Gerakan Ahmadiyah Indonesia, yang resmi berdiri 4 April 1930.
40
Perbedaan antara Ahmadiyah Qodian dan Lahore
Pada tahun 1914 Gerakan Ahmadiyah pecah menjadi dua golongan karena perbedaan aqidah, yaitu:
Ahmadiyah Qadian, berpusat di Qadian, di bawah pimpinan Mirza
Basyiruddin Mahmud Ahmad putera almarhum Mirza Ghulam Ahmad pada tanggal 31 Agustus 1947 pindah ke Rabwah, Pakistan, dan pada awal tahun
1985 pindah ke London, Inggris setelah mendapat tekanan terus-menerus di Pakistan. Ahmadiyah Qadian meyakini Mirza Ghulam Ahmad sebagai Nabi
dan dialah Ahmad yang diramalkan dalam QS. ash-Shaff 61: 6, meskipun hanya Nabi yang menghidupkan kembali ajaran Rasulullah Muhammad
40
Bashiruddin Mahmud Ahmad, Apakah Ahmadiyah itu?, 1963, Jakarta, Djemaat Ahmadiyah Indonesia. h. 23
S.A.W. dan bukan Nabi yang membawa syariat baru. Sosok nabi tidak berhenti sampai Mirza Ghulam Ahmad saja, tetapi akan terus ada yang disebut
nabi buruzi, yaitu nabi yang tidak membawa syariat. Menurut golongan Qadian, Jemaat Ahmadiyah harus dipegang oleh seorang Khalifah dan
khalifah itu memegang kekuasaan tertinggi.
41
Ahmadiyah Lahore, berpusat di Lahore, Pakistan, di bawah pimpinan
Maulana Muhammad Ali M.A. LL.B., sekretaris almarhum Mirza Ghulam Ahmad. Ahmadiyah Lahore menganggap Mirza Ghulam Ahmad sekedar
seorang mujaddid pembaharu untuk abad yang bersangkutan, tak beda dengan pembaharu-pembaharu untuk abad-abad terdahulu seperti Iman Syafii,
Al-Ghazali, Ibnu Taimiah, dan lain-lain. Para pembaharu ini menurut mereka juga menerima wahyu hanya saja bukan wahyu kenabian. Menurut golongan
Lahore, Gerakan Ahmadiyah dipegang oleh Pedoman Besar Shadr Anjuman Ahmadiyah
dan kekuasaan tertinggi terletak pada Kongres. Pada tahun 1973, Pakistan menetapkan undang-undang yang
menyatakan bahwa Ahmadiyah berada di luar Islam dan pada tahun 1974, Pakistan menempatkan Ahmadiyah sebagai minoritas non-muslim dalam
konstitusi negaranya. Kini, pimpinan rohani tertinggi dari Jemaat Ahmadiyah Qadian di
seluruh dunia adalah Khalifatul Masih V, Mirza Masroor Ahmad dilantik 22 April 2003 yang berkedudukan di London, Inggris, yaitu negara sahabat
dimana dahulu Mirza Ghulam Ahmad pernah menjalin hubungan baik dengan
41
Iskandar Zulkarnain, Gerakan Ahmadiyah di Indonesia, Yogyakarta: Penerbit LKiS, 2005,h. 67
pemerintah kolonoal Inggris. Berbeda dengan Jemaat Ahmadiyah Qadian yang memiliki struktur organisasi internasional yang berpusat di London,
maka Gerakan Ahmadiyah Lahore merupakan organisasi jaringan tanpa otoritas internasional yang terpusat.
42
Di Indonesia, baik Ahmadiyah Qadian maupun Ahmadiyah Lahore, sama-sama mempercayai bahwa Mirza Ghulam Ahmad adalah Isa al-Masih
yang telah dijanjikan al-Masih al-Mauud oleh Nabi Muhammad SAW.
Akan tetapi, dua golongan tersebut memiliki perbedaan prinsip: Ahmadiyah Qadian, dikenal dengan Jemaat Ahmadiyah Indonesia JAI, berpusat di
Bogor, yakni golongan yang mempercayai bahwa Mirza Ghulam Ahmad adalah seorang mujaddid dan seorang nabi. Pimpinan organisasinya adalah
Pengurus Besar JAI dan berada di bawah otoritas Khalifatul Masih V yang
berkedudukan di London, Inggris.
43
Ahmadiyah Lahore, dikenal dengan Gerakan Ahmadiyah Indonesia GAI,
berpusat di Yogyakarta, yakni golongan yang mempercayai Mirza Ghulam Ahmad sebagai mujaddid dan tidak menganggapnya sebagai nabi.
Pimpinan organisasinya adalah Pedoman Besar GAI, tanpa otoritas internasional yang membawahinya.
44
42
Iskandar Zulkarnain, Gerakan Ahmadiyah di Indonesia,h.73
43
Iskandar Zulkarnain, Gerakan Ahmadiyah di Indonesia,h.76
44
Iskandar Zulkarnain, Gerakan Ahmadiyah di Indonesia, h..79
BAB IV ISLAM DAN POLITIK PERSPEKTIF AHMADIYAH