D. Polemik Tentang Relasi Agama dalam Konteks Negara-
Bangsa
Perdebatan  antara  relasi  agama  dalam  konteks  negara  adalah  sebuah perdebatan  panjang  yang  melelahkan.  Diskursus  politik  kontemporer  pun
tidak  terlepaskan  dari  perdebatan  tersebut,  antara  pihak  yang  memisahkan agama  dari  politik,  dan  menjadikan  agama  sebagai  jiwa  spiritual  penentu
aturan moral kemasyarakatan dan konstitusi. Ada  golongan  yang  memandang  agama  sebagai  sebuah  ajaran  yang
bersifat universal, sehingga konteks kehidupan politik harus dijiwai oleh nilai- nilai  agama.  Golongan  ini  disebut  dengan  formalisme  yakin  sebuah  aliran
yang berpandangan Islam harus menjadi landasan kehidupan bernegara, Islam menjadi  basis  konstitusional  negara.  Praktek-praktek  dalam  konteks
ketatanegaraan  harus  dijiwai  oleh  nilai-nilai  Islam.  Tidak  ada  tempat  buat faham  sekulerisme.  Tokoh-tokoh  yang  mengusung  tema  besar  ini  adalah
M.Natsir dari Masyumi. Ada  juga  golongan  yang  memandang  bahwa  agama  harus  dipisahkan
dari  negara.  Alasannya  sederhana,  bahwa  wilayah  agama  adalah  wilayah private  pribadi  karena  menyangkut  keyakinan  akan  nilai-nilai  supranatural.
Sedangkan  wilayah  negara  adalah  domain  publik  yang  membutuhkan kesepakatan  bersama  berlandaskan  rasionalitas,  kemakmuran,  dan  keadilan.
Perbedaan  wilayah  publik  dan  privat  menjadi  keharusan  adanya  pemisahan yang tegas yang cenderung bersifat sekularistik.
Golongan  lain  adalah  menjadi  penengah  di  antara  kedua  arus  besar tersebut  yang  bercorak  nilai  substansialistik.  Artinya,    golongan  kedua  ini
membutuhkan  ajaran  agama  sebagai  asas  moralitas  dan  etika  dalam  konteks politik  kenegaraan. Biarpun tidak dilegalkan secara formal, namun  nilai-nilai
agama  melandasi  setiap  keputusan  hukum,  Undang-undang,  bahkan  ideologi negara.
Dalam  sejarah  pembentukan  negara  modern  Indonesia,  polemik seputar  kedudukan  agama  dalam  sistem  politik  kenegaraan  terjadi  antara
Soekarno  yang  mewakili  kaum  nasionalis  dengan  Natsir  dari  golongan agama.
23
Perdebatan itu muncul sekitar tahun 1930. Berbicara  singkat  tentang  hubungan  Islam  dan  negara,  Natsir
mengatakan bahwa agama lain dijamin hidupnya dalam suatu negara Islam. Ia berseru  kepada  golongan  kebangsaan  agar  kembali  ke  dalam  lingkungan
Islam,  apalagi  karena  bagian  terbesar  mereka  adalah  orang  Islam.
24
Ia meragukan  adanya  jaminan  perlindungan  terhadap  Islam  dalam  suatu negara
yang pemerintahannya dipegang oleh negara yang netral atau dibawah kendali non-Muslim.
Sedangkan  soekarno  menekankan  bahwa  landasan  kebangsaan berdasarkan  pada  nasionalisme  yang  luas  yang  meliputi  semua  golongan
Islam,  kristen,  Hindu,  Buddha  dengan  berasaskan  konstitusi  modern  legar- formal,  bukan  berasaskan  kepada  ajaran  agama  Islam.  Rujukan  Soekarno
adalah berdirinya negara modern Turki dengan Kemal Attaturk  yang menjadi
23
Perdebatan panjang tersebut dapat dilihat dalam karya Deliar Noer, Gerakan Moderen Islam di Indonesia 1990-1942,
Jakarta: LP3ES, 1995, h. 296-311
24
Deliar Noer, Gerakan Moderen Islam di Indonesia,.h. 299
pioner.  Soekarno  mengganggap  tidak  ada  ijma’  ulama  yang  mengenai persatuan  agama  dengan  negara,  dan  ada  juga  yang  mengatakan  agama  dan
negara terpisah karena memiliki dimensi yang berbeda.
25
Zaid  Sakhir  menjelaskan  posisi  agama  dalam  negara  dengan argumentasi  apakah  Islam  sebuah  agama  atau  ideologi.
26
Sebaggai  sebuah agama  Islam  meliputi  aspek  keyakinan,  peribadatan,  moralitas,  aturan
kemasyarakatan,  dan  aspek-espek  yang  lainnya  dalam  skala  yang  lebih  luas. Namun  di  sisi  lain,  sebagai  salah  satu  agama  terbesar  di  dunia,  Islam
dikatakan  sebagai  sebuah  ideologi  apabila  menghadirkan  teori  yang  dapat diterpakan yang bersifat lengkap dan universal bagi umat manusia. Ia berkata:
Islam  is  indeed  an  ideology  as  it  presents  a  “complete  and  universally applicable  theory  of  man  and  society.”  However,  the  relevant  realm  of
action and thought  for an  ideology  is the political, as Scruton points out. This  limitation  to  the  political  realm  marks  where  Islam  parts  with
ideology. Islam is not simply concerned with man’s political condition; it is  also  concerned  with  his  spiritual  condition,  and  at  the  heart  of  the
Islamic call is a normative program for spiritual salvation.
27
Secara umum hubungan antara  Islam dan Negara serta politik dapat dibedakan  kepada  tiga  golongan:  Pertama,  golongan  formalistik  yaitu
golongan  yang  ingin  menjadikan  Islam  sebagai  sebuah  konstitusi  resmi Negara,  tidak  sebatas  jargon  tetapi  ditempatkan  sebagai  aturan  hukum
tertinggi dalam sistem ketatanegaraan. Golongan Hizbut Tahrir, M. Natsir, dan tokoh-tokoh  Masyumi  lain;  Kedua,  golongan  substansialistik,  bagi  golongan
ini  yang  terpenting  bukan  menjadikan  agama  sebagai  legal-formal  dalam konteks Negara, melainkan sebuah upaya gerakan –meminjam istilah Quraish
25
Deliar Noer, Gerakan Moderen Islam di Indonesia,.h. 303
26
Zaid Sakhir, Islam: Religion or Ideology?, Zaituna Institute terbit 25 Juli 2006, h. 2
27
Zaid Sakhir, Islam: Religion or Ideology?, h. 4
Syihab  “membumikan  Al-Qur’an”—kulturisasi  nilai-nilai  keIslaman  yang tertanam kuat di tengah masyarakat. Tokoh penganjur utama adalah Gus Dur,
Amien  Rais,  NU,  Muhammadiyah,  Cak  Nur;  dan  ketiga,  golongan fundamentalis,  yaitu  yang  mengidolakan  kondisi  Madinah  sebagai  bentuk
Negara ideal dalam struktur Negara bangsa modern. Kebanyakan golongan ini lebih bergerak di bawah tanah seperti NII atau juga Ahmadiyah.
BAB III HISTOGRAFI AHMADIYAH