Konteks Memahami Teks dan Konteks dengan Teori Tadhâfur al-Qarâ’in (Studi Pemikiran Linguistik Tammâm Hassân)

Eksistensi teks pada dasarnya meniscayakan makna yang progresif. Karena teks selalu terbuka untuk dimaknai. Teks itu bermakna dinamis, karena relasi antara teks dengan makna bukan hubungan statis, dan pasti. Menurut Heideger, dan Gadamer teks bahasa tidak memiliki dalâlah penunjukan makna tunggal, karena bahasa tidak mesti menunjuk sesuatu. 48 Karena itu, teks-teks, tidak mesti menunjuk sesuatu, dan makna tertentu. Memahami teks-teks agama al- Qur‘an dan hadits Nabi Saw., pada dasarnya tidak jauh berbeda dengan memahami teks-teks lain sebagai sistem simbol tanda. Secara sederhana, al- Qur‘an berisi pelbagai tanda al-âyah. Jika simbol-simbol bahasa tidak menunjuk secara langsung pada realitas objektif-eksternal al- wâqi‘ al- khârijî al-m awdlû‘î, tetapi, simbol bahasa tersebut menunjuk pada pandangan, pemahaman, dan pikiran dalam komunitas tertentu, maka bahasa tersebut berada dalam ranah ―budaya‖ karena bahasa merupakan subsistem budaya. 49

E. Konteks

Konteks dalam bahasa Arab disebut siyâq, berasal dari s-w-q, yang mengandung arti: keberturutan, keberlanjutan al-tawâli atau kehadiran al- tawarud . Dengan kata lain, konteks meniscayakan kehadiran unsur-unsur bahasa yang dilihat secara berlanjut dan menyeluruh. Menurut Tammâm, konteks dapat dilihat dari dua aspek. Pertama, keberlanjutan unsur-unsur yang menjadikan struktur dan kohesi itu terjadi. Inilah yang disebut dengan konteks teks siyaq al-nashsh. Kedua, keberlanjutan dan kehadiran peristiwa yang menyertai penggunaan bahasa dan mempunyai relasi dengan komunikasi. Inilah yang disebut dengan konteks situasi sosial atau siyaq al-mawqif. Kedua konteks tersebut mempunyai relasi seperti relasi umum dan khusus, yang disebut dalâlah al-nashsh penunjukan atau makna teks atau qarînah al-nashsh indikator teks. 50 48 Nashr Hâmid Abû-Zayd, Isykâliyât Al- Qirâ’ah Wa Âliyyât Al-Ta’wîl, Beirut: Al-Markaz al- Tsaqâfî Al- ‗Arabî, 1999, Cet. V, h. 42. 49 ‗Azmî Islâm, Mafhûm al-Ma‘nâ: Dirâsah Tahlîliyah, Kuwait: Fakultas Adab, Universitas Kuwait, 1986, h. 18. 50 Tammâm Hassân, Maqâlât fi al-Lughah wa al-Adab, Jilid II, h. 65. Konteks teks atau konteks bahasa itu sendiri merupakan objek kajian nahwu al-nah wu mawdhû’uhu al-siyâq. 51 Karena, menurut Tammâm, nahwu mengkaji relasi antarkata dalam struktur kalimat sebagai sebuah sistem. Karena itu, pemahaman terhadap kehadiran unsur-unsur yang membentuk kalimat, paragraf dan wacana sangat menentukan makna. Konteks hadir dalam spektrum bahasa yang luas dan menyeluruh, meliputi konstruksi morfologis, semantik, dan kosakata, serta mencakup aneka makna bahasa: makna konvensional, makna rasional, dan makna natural. Dengan kata lain, qarînah al-Siyâq indikator konteks merupakan qarînah paling menentukan makna gramatikal maupun makna kontekstual teks itu sendiri. 52 Konteks mempunyai signifikansi yang strategis dalam menentukan makna teks yang dikehendaki. Karena itu, ulama bahasa Arab di masa lalu merumuskan signifikansi teks dengan pernyataan: ‖ لاقم ماقم لكل ‖ Setiap konteks mempunyai teks atau ungkapannya tersendiri. Hal ini mengandung arti bahwa pemahaman terhadap konteks, baik konteks kebahasaan al-siyâq al-Lughawi maupun konteks non- kebahasaan al-siyâq ghair al-lughawi seperti asbâb al-nuzûl dalam penafsiran suatu ayat menjadi suatu kemestian. Tammâm misalnya memberikan contoh bagaimana makna leksikal إ ا tidak selamanya berarti ―kecuali‖ istitsnâ’, misalnya: .ىقشتل نآرقلا كيلع ا لزنأ ام اإ ىشخ ن ةركذت . Dalam ayat ini, konteks keseluruhan dan keterpaduan unsur-unsur bahasa dalam ayat ini menghendaki makna istitsnâ ’ tersebut ditransformasi menjadi makna istidrâk نكل , tetapi karena frase pada ayat setelah اإ itu merupakan frase penetapian dari ayat sebelumnya 53 : ―Tidaklah Kami menurunkan al- Qur‘an kepadamu Muhammad agar kamu menderita, tetapi bukan kecuali agar menjadi peringatan bagi orang mau mendekatkan diri dengan hati penuh takwa.‖ QS. Thaha: 2-3. 51 Tammâm Hassân, al-Ushû l…, h. 245. 52 Tammâm Hassân, al-Bayân fi Rawâ ’i al-Qur’an : Dirâsah Lughawiyyah wa Uslubiyyah li al-Nash al- Qur’ani, Kairo: ‗Alam al-Kutub, 2000, Jilid I, h. 173. 53 Tammâm Hassân, Maqâlât fi al-Lughah wa al-Adab, Jilid II, h. 66. Konteks siyâq tidak dapat dipisahkan dari struktur bahasa. Struktur linguistik al- Qur‘an pada umumnya mengandung multi-interpretasi. Namun demikian, pemahaman terhadap konteks redaksi ayat memungkin kita menyingkap makna yang lebih mendekati kebenaran. Dengan kata lain, pemahaman konteks membuat interpretasi ayat-ayat al- Qur‘an tidak terkungkung oleh arti leksikal ma’na mu’jami suatu lafazh atau ungkapan. Pengalihan arti leksikal ke arah makna kontekstual mutlak dipengaruhi oleh pemahaman pembaca teks al- Qur‘an. Transformasi makna sedemikian sangat penting karena al- Qur‘an memang diturunkan dan ditransmisikan dengan makna dan lafazh sekaligus dari satu generasi ke generasi berikutnya. Dalam kaitan itu, Tammam Hassan misalnya memberi contoh pemaknaan ayat berikut dengan pemahaman yang sangat logis dan menarik: متنأو اإ نتوم او :نارمع لآ ةروس نوملسم 102 Jika diartikan secara leksikal, maka redaksi terjemahannya adalah: ―Dan janganlah kalian mati kecuali dalam keadaan Muslim.‖ Secara sepintas, penerjemahan tersebut seolah tidak ―bermasalah‖. Tetapi jika dipah ami secara rasional, maka seharusnya: ―mati itu tidak perlu dilarang‖ semua manusia pada akhirnya pasti mati, tanpa harus dilarang. Karena itu, konteks redaksi ayat tersebut bukan melarang ―mati‖, melainkan ―memerintahkan umat Muslim untuk berpegang tegu h kepada Islam hingga mati‖. 54 Jadi, makna kontekstual ayat yang hampir selalu dibaca khatib pada setiap Jum‘at tersebut adalah: ―Kalian harus memiliki komitmen dan sikap istiqamah dalam beriman dan berislam hingga meninggal dunia ‖. Oleh karena itu, konteks mempunyai banyak fungsi, antara lain adalah a mengukuhkan kepastian suatu penunjukan makna yang masih mengandung kemungkinan, b menjelaskan yang bersifat global, rujukan prenomina dan bacaan yang tepat suatu kata dalam struktur kalimat, dan c merevisi penafsiran yang kurang atau tidak tepat, dan d menolak praduga adanya ayat-ayat yang saling bertentangan. 55 54 Tammâm Hassân, al-Bayân fi Rawâ ’i’ al-Qur’an... h. 164. 55 Abdullah, Zaid ‘Umar, ‖al-Siyaq al-Qur‘ani wa Atsaruhi fi al-Kasyfi ‘an al-Manâ‘ni‖, diakses dari http:alukah.netArticlesArticle.aspx ? , 20 April 2010. Dalam kajian linguistik modern, pemahaman terhadap konteks dilandasi oleh sebuah asumsi bahwa sistem bahasa itu saling berkaitan satu sama lain di antara unsur atau unit-unitnya, dan selalu mengalami perubahan dan perkembangan. Karena itu, dalam menentukan makna, diperlukan adanya penentuan berbagai konteks yang melingkupinya. Teori yang dikembangkan oleh Wittgenstein maupun K. Ammer ini menegaskan bahwa makna suatu kata dipengaruhi oleh empat konteks, yaitu: a konteks kebahasaan, b konteks emosional, c konteks situasi dan kondisi, dan d konteks sosio-kultural. 56 Konteks kebahasaan terkait erat dengan konstruksi bahasa itu sendiri. Kata mempengaruhi makna kalimat. Akan tetapi, kalimat keseluruhan rangkaian kata mempengaruhi makna kata tertentu dalam kalimat itu. Artinya, makna kontekstual diperoleh dan dipahami dari keseluruhan konstruksi kata yang membentuk kalimat. 57 Kata لـصفلا dalam enam kalimat berikut maknanya pasti berbeda, meskipun akar katanya sama. Perhatikan dan pahami konteks enam kalimat berikut: 1 - أرق ان .كيدي نب ةيبرعلا باتك نم سما ا لصفلا 2 - و عيبرلا نإ أ م .ة سلا لوصف نم لصف ل 3 - اعلا اذ نم لوأا لصفلا ي نآا ا نإ يساردلا م 4 - .ةيحرس ا نم ياثلا لصفلا اند اش 5 - .لمعلا نم لصفلا رارق ملتسي 6 - .لصف لوقل نإ Konteks kebahasaan berkaitan dengan struktur kata dalam kalimat yang dapat menentukan makna yang berbeda, seperti taqdîm posisi didahulukan dan ta’khîr diakhirkan, seperti: باتكلا ةءارق مأ دمأ berbeda dengan: دـمأ اـهمأ باـتكلا ةءارق . Konteks emosional dapat menentukan makna bentuk kata dan strukturnya dari segi kuat dan lemahnya muatan emosional, seperti dua kata yang berarti membunuh, yaitu: لاـتغا قو لـت ; yang pertama digunakan dalam pengertian membunuh orang yang mempunyai kedudukan sosial yang tinggi dan dengan motif politis, sedangkan yang kedua berarti membunuh secara membabi buta dan ditujukan kepada orang yang tidak 56 Farî d ‗Iwadh Haidar, ‘Ilm al-Dalâlah: Dirâsah Nazhariyyah wa Tathbîqiyyah, Kairo: Maktabah al-Adab, 2005, h. 158. 57 Muh ammad ‗Ali al-Khûli, ‘Ilm al-Dalâlah ‘Ilm al-Ma’na, ‗Amman: Dâr al-Falah, 2001, h. 69. memiliki kedudukan sosial yang tinggi. Konteks situasi adalah situasi eksternal yang membuat suatu kata berubah maknanya karena adanya perubahan situasi. Sedangkan konteks kultural adalah nilai-nilai sosial dan kultural yang mengitari kata yang menjadikannya mempunyai makna yang berbeda dari makna leksikalnya. Makna yang demikian dapat dijumpai dalam peribahasa, seperti: اــبزلا ليــسلا اــلب maknanya adalah Nasi telah menjadi bubur, bukan Air bah telah mencapai tempat yang tinggi. Menurut J.R. Firth, teori konteks sejalan dengan teori relativisme dalam pendekatan semantik bandingan antarbahasa. Makna sebuah kata terikat oleh lingkungan kultural dan ekologis pemakai bahasa tertentu. Teori ini juga mengisyaratkan bahwa sebuah kata atau simbol tidak mempunyai makna jika ia terlepas dari konteks. Namun demikian, ada yang berpendapat bahwa setiap kata mempunyai makna dasar atau primer yang terlepas dari konteks situasi. Kata baru mendapatkan makna sekunder sesuai dengan konteks situasi. Singkatnya, hubungan makna itu, bagi Firth, baru dapat ditentukan setelah masing-masing kata berada dalam konteks pemakaian melalui beberapa tataran analisis, seperti leksikal, gramatikal, dan sosio-kultural. 58

F. Tadhâfur al-Qarâin