Tadhâfur al-Qarâin

memiliki kedudukan sosial yang tinggi. Konteks situasi adalah situasi eksternal yang membuat suatu kata berubah maknanya karena adanya perubahan situasi. Sedangkan konteks kultural adalah nilai-nilai sosial dan kultural yang mengitari kata yang menjadikannya mempunyai makna yang berbeda dari makna leksikalnya. Makna yang demikian dapat dijumpai dalam peribahasa, seperti: اــبزلا ليــسلا اــلب maknanya adalah Nasi telah menjadi bubur, bukan Air bah telah mencapai tempat yang tinggi. Menurut J.R. Firth, teori konteks sejalan dengan teori relativisme dalam pendekatan semantik bandingan antarbahasa. Makna sebuah kata terikat oleh lingkungan kultural dan ekologis pemakai bahasa tertentu. Teori ini juga mengisyaratkan bahwa sebuah kata atau simbol tidak mempunyai makna jika ia terlepas dari konteks. Namun demikian, ada yang berpendapat bahwa setiap kata mempunyai makna dasar atau primer yang terlepas dari konteks situasi. Kata baru mendapatkan makna sekunder sesuai dengan konteks situasi. Singkatnya, hubungan makna itu, bagi Firth, baru dapat ditentukan setelah masing-masing kata berada dalam konteks pemakaian melalui beberapa tataran analisis, seperti leksikal, gramatikal, dan sosio-kultural. 58

F. Tadhâfur al-Qarâin

sebagai “Pintu Masuk” dalam Memahami Teks Perhatian Tammâm dalam kajian linguistik tidak berhenti sebatas rekonstruksi sistem bahasa Arab sebagai ilmu, melainkan juga berusaha mengaplikasikannya dalam kajian al- Qur‘an. Alasannya sederhana dan logis, bahwa bahasa Arab tidak dapat dipisahkan dari al- Qur‘an dan untuk memahami dan menafsirkan al-Qur ‘an secara baik dan benar, seseorang mustahil tanpa memahami dan menggunakan bahasa Arab sebagai medinya. al- Qur‘an merupakan teks yang dikonstruksi dengan menggunakan sistem bahasa Arab yang terpadu. Oleh karena itu, setelah lebih dari setengah abad mengabdi di bidang kajian linguistik murni, Tammâm merasa terpanggil untuk memformulasikan ide-idenya mengenai tadhâfur al-Qarâ ’in dan mengaplikasikannya dalam memahami dan mengungkap makna berikut keindahan gaya bahasa al- Qur‘an. Pada tahapan ini, fokus kajian Tammâm mulai beralih dari struktur menuju uslûb gaya bahasa Alquran. 59 Karya Tammâm, al-Bayân fi Rawâ ’i’ al-Qur’ân, dua jilid, merupakan 58 Farîd ‗Iwadh Haidar, ‘ilm al-Dalâlah..., h. 157. 59 Husâm Tammâm, ―Tammâm Hassân…, h. 1. representasi dari penerapan teori tadhâfur al-qarâ ’in dalam dalam memahami dan menjelaskan teks-teks al- Qur‘an. Gagasan aplikasi teori tersebut, antara lain, dilandasi oleh fakta sejarah bahwa perkembangan ilmu-ilmu bahasa Arab berikut penelitian dan kajian bahasa Arab pada mulanya lebih banyak difokuskan pada upaya pemahaman kalâm fahm al-kalâm daripada memproduksi wacana pemikiran intâj al-kalâm wa al-khithab. Hal ini, menurut Tammâm, dibuktikan oleh terlambatnya kemunculan ilmu balâghah daripada ilmu nahwu. Demikian pula kajian morfologi, tatakata ‘ilm al-sharf dan sintaksis, tatakalimat ‘ilm al-nahwi dalam linguistik modern, menurut Tammâm, jauh lebih dini dikembangkan daripada kaj ian semantik ‗ilm al-dalâlah. 60 Dengan kalimat lain, kajian nahwu berbasis teori tadhâfur al-qarâ ’in idealnya tidak berhenti pada tataran analisis struktur teks, melainkan juga dapat dijadikan sebagai media untuk memahami dan mengembangkan makna teks dalam bentuk pemikiran yang lebih aplikatif dan kontekstual. Memahami teks agama dengan metodologi ilmiah, antara lain linguistik teks ‘ilm al-lughah al-Nashshi atau tekstologi ‘ilm al-nashsh, dengan demikian menjadi sangat penting. Metodologi ini dapat membantu memahami teks secara objektif, epistemologis dan dalam lingkup rasionalitas manusia, bukan ‗rasio‘ Tuhan yang diyakini sebagai hulu teks tersebut. Metodologi tersebut dalam tradisi Islam disebut tafsir al-tafsîr dan takwil al- ta’wîl. Keduanya tidak bisa dipisahkan, saling berkaitan. Menurut Imam Ali bin Abi Thalib, teks tidak bisa berbicara, dan memberi makna arti sendiri. Namun, ia membutuhkan manusia. ―Al-Qur’ân, bayna dafftay al-Mushhaf lâ yanthiq, wa inamâ yatakallamu bihi al-rijâl ‖. al-Qur‘an dalam mushaf ini, tidak berbicara, dan hanya dengan [perantara] manusia ia berbicara. Kalimat Imam Ali tersebut ditujukan pada kaum Khawarij yang memahami otoritas dalil pada teks an sich, bukan pada otoritas interpretasi. Seolah- olah, al-Qur ‘an berbicara sendiri dan memberi makna, padahal interpretasi manusia- lah yang memberi makna dan menentukan pesan yang dikandungnya. Namun demikian, keterlibatan manusia dalam memahami teks juga dibantu oleh pemahamannya terhadap konteks teks itu sendiri dan konteks sosialnya melalui teori 60 Tammâm, Maqâlât fi al-Lughah wa al-Adab, Jilid II, Kairo: ‗Âlam al-Kutub, 2006, Cet. I, h. 210. tadhâfur al-qarâ ’in tersebut. Dalam analisis intertekstual, dikenal ungkapan: ―al- Nashshu yufassiru ba’dhuhu ba’dhan‖ teks itu saling memberi tafsirpenjelasan satu sama lain. Dalam konteks inilah, teori tadhâfur al-q ara’in memberi kontribusi positif sebagai ―pintu masuk‖ dalam memahami teks sekaligus memantapkan hasil analisis intertekstual menjadi penafsiran dan pemaknaan yang lebih kontekstual. Jika diaplikasikan dalam pembelajaran, maka pembelajaran nahwu berbasis teori tadhâfur al-qarâin itu idealnya bertitik tolak dari teks sederhana, dilanjutkan dengan pamahaman atau pemaknaan pesan teks, analisis kata baik dari segi makna leksikal maupun gramatikalnya, dan kemudian analisis kaidah, lalu penyimpulan kaidah. Nahwu diposisikan menjadi bagian dari teks, karena nahwu itu hanya ada dalam struktur kalimat, sedangkan kalimat itu merupakan bagian dari teks lisan maupun tulisan. Jadi, teori ini cenderung sesuai dengan metode teks terpadu dalam pembelajaran nahwu. Aplikasi teori tersebut pada akhirnya menuntut adanya pemaduan semua unsur dan disiplin keilmuan kebahasaaraban, karena teks dalam bahasa Arab, menurut Tammâm, harus dilihat sebagai al-tasyâbuk al-lughawi jaringan kebahasaan yang memiliki kesatuan dan sinergi organis al-tasyâbuk al- ‘udhwi. Selain melibatkan sistem fonologis, morfologis, sintaksis, semantik, leksikon, dalam memahami juga diperlukan pemahaman uslûb gaya bahasa dan balâghah, karena dapat mengungkan sisi keindahan dan kekayaan makna dari teks itu sendiri. Dengan demikian, teori tadhâfur al-Qarâ ’in hanyalah salah satu ―pisau analisis‖ yang diharapkan dapat membantu menjembatani dan menyelami dunia teks, sehingga diperoleh pemaknaan yang lebih tepat, akurat, dan kontekstual. Dunia teks adalah dunia makna. Makna teks dapat diolah dan ditentukan melalui pemahaman konteks. Pemahaman konteks bahasa sangat ditentukan oleh pemahaman tadhâfur al-Qarâ ’in.

G. Kesimpulan