Teks Memahami Teks dan Konteks dengan Teori Tadhâfur al-Qarâ’in (Studi Pemikiran Linguistik Tammâm Hassân)

dan peredaksian kata-kata dalam satu kesatuan dan konteks bahasa yang bervariasi dan sesuai dengan konteks kebahasaan maupun sosial kulturalnya. 35

D. Teks

Teks dalam bahasa Arab disebut nashsh. Kata صن dalam dunia bahasa Arab menunjukkan sejumlah makna yang dapat dilihat dari empat segi, yaitu: a mengangkat, meninggikan, dan memperlihatkan al- raf’u wa al-Izhhâr, b konsistensi dan reliabilitas al-istiqâmah wa al-tsabât, c berakhir pada sesuatu al- intihâ ’ fi al-syai’, dan d konstruksi dan gerakan al-tarkîb wa al-harakah. 36 Menurut Ibn Manzhur, nashsh teks mengandung arti mengangkat, meninggikan, atau menjadikan tampak atau terlihat, sehingga dari kata ini muncul kata minashshah panggung, mimbar, podium yang umumnya menonjol, berada dalam posisi yang lebih tinggi agar dapat dilihat. Nashsh juga berarti target atau tujuan akhir sesuatu. 37 Karena itu, al-Jurjani mendefinisikan teks nashsh sesuatu yang membuat makna semakin jelas terhadap yang tampak pada mutakallim; teks mengantarkan pembicaraan pada kejelasan makna. 38 Dalam perspektif ilm al- ‘ushul, teks nashsh dipahami sebagai lafazh yang terdapat dalam al- Qur‘an dan as-Sunnah yang dijadikan sebagai dalil untuk penetapan hukum suatu masalah. 39 Teks itu adalah zhahir aspek luar dari redaksi ayat atau hadits Nabi Saw. Dalam linguistik modern, teks dipahami sebagai serangkaian kalimat yang saling berkaitan; atau setiap kalimat yang saling bertautan dan unsur-unsurnya memiliki relasi satu sama lain. 40 Teks mengandung arti wacana atau alenia tertulis maupun verbal diucapkan –seberapapun panjangnya— dengan ketentuan 35 Ah mad Mukhtâr ‗Umar, ‗Ilm al-Dalâlah, al-Kuwait: Dâr al-‗Urûbah, 1982, h. 68. 36 Mahmud Hasan al-Jâsim, Ta’wîl al-Nashsh al-Qur’ani wa Qadhâya al-Nahwi, Damaskus: Dâr al-Fikr al- Mu‘âshir, 2010, h. 40 37 Ibn Manzhûr, Lisân al- ‘Arab, entri nashaha; lihat juga Raddat Allah, Dalâlah al-Siyâq, Mekkah: Jâmi‘ah Umm al-Qura, 2003, h. 251-252. 38 Al-Jurjânî, Kitâb al- Ta’rîfât, Tahqiq Ibrâhîm al-Ibyâri, Kairo: Dâr al-Bayân li al-Turâts, tt., h. 309. 39 Ibn Hazm, al-Ihkâm fi Ushûl al-Ahkâm, Beirut: Dâr al-Âfâq al-Jadîdah, 1400 H, Jilid I, h. 42. 40 Raddat Allah, Dalâlah al-Siyâq …, h. 255. merupakan satu kesatuan yang utuh. 41 Wacana adalah organisasi bahasa di atas kalimat atau di atas klausa. Wacana merupakan seperangkat preposisi yang saling berhubungan untuk menghasilkan rasa kepaduan atau rasa kohesi bagi penyimak atau pembaca. Wacana direalisasikan dalam bentuk karangan yang utuh novel, buku, ensiklopedia, dan sebagainya, paragraf, kalimat atau kata yang membawa amanat yang lengkap. 42 Teks memang mengemban ‖tugas komunikatif‖ wazhîfah tawâshulillah. Karena itu, teks juga dimaksudkan sebagai ‖bangunan kebahasaan yang terstruktur sedemikian rupa yang menjalankan fungsi komunikatif, baik mengandung makna penunjukan yang jelas maupun masih mengadung ta’wil. 43 Dalam hal ini, Tammâm menegaskan bahwa teks bahasa Arab merupakan konstruksi kata dan kalimat yang mengandung pesan atau makna. Makna itu dipahami dari relasi antarkata, antarkalimat, dan antarparagraf sebagai sebuah sistem terpadu. Menurutnya, penggunaan bahasa, lisan maupun tulis, yang kemudian membentuk teks, pada akhirnya bermuara kepada dua hal: sistem al-nizhâm dan ekstensifikasi tawassu’. Sebagai sistem, penggunaan bahasa Arab potensial memiliki multimakna bagi satu konstruksi mabna, baik pada tataran morfologis maupun leksikal. Misalnya saja, kata ام dapat berarti nafiyah negasi, istifhâmiyyah kata tanya, syarthiyyah kondisi, ta’ajjubiyyah eksklamasi, dan seterusnya sesuai dengan keberadaannya dalam sistem kalimat teks. Demikian pula kata برض dapat berarti memukul seperti dalam kalimat: ابلك مدا ا برض; dapat juga berarti membuat seperti: اثم ها برض atau berarti bepergian seperti: مكيلع سيلف ضرأا ي متبرض اذإو 41 Ah mad ‗Afifi, Nahwu al-Nashsh: Ittijâh Jadîd fi al-Dars al-Nahwi, Kairo: Maktabah Zahra‘ al-Syarq, 2001, h. 23. 42 Harimurti Kridalaksana, Kamus Linguistik, Jakarta: Gramedia, 1984, h. 208; dan Henry Guntur Tarigan, Pengajaran Wacana, Bandung: Angkasa, 2009, Edisi Revisi, h.24. 43 Mahmûd Hasan al-Jâsim, Ta’wîl al-Nashsh …, hlm. 44. حا ج :ءاس لا ةروس ...ةاصلا نم اورصقت نأ 101 dan dapat pula berarti ‖kali‖ bilangan seperti: ةتس ي ةسم برض ... dan seterusnya. 44 Sementara itu, penggunaan bahasa yang bermuara pada ekstensifikasi adalah berupa mutasi al-naql konstruksi kata atau kalimat dari makna yang populer kepada makna yang lain, baik pada tataran sintaksis maupun tataran leksikal. Para ahli nahwu dalam hal ini, antara lain, memberikan contoh mutasi kalimat informatif jumlah khabariyyah beralih makna do‘a seperti: كيف ها كراب ; kalimat tanya beralih makna kalimat pengingkaran seperti: ؟كيلع ها ةمعن رك تأ ; sementara mutasi pada tataran leksikal dapat dijumpai pada sejumlah fenomena penggunaan lafazh yang berubah dari makna hakiki menjadi makna majazi alegoris. Hal ini menjadi bahasan utama ‗Ilm al-Bayân. 45 Sebagai peristiwa komunikasi, menurut Tammâm mengutip pendapat Beaugrande, teks harus memenuhi tujuh kriteria berikut: 1 kohesi al-sabk, 2 koherensi al- ta’lîq, 3 intensionalitas al-qashd, 4 aseptabilitas al-qabûl, 5 informativitas al- ma’lûmiyyah, al-I’lâmiyyah, 6 situasionalitas al-mawqif, dan intertektualitas al-tanâshsh. Semua itu bergantung pada pengguna teks. Ketujuh kriteria ini menjalankan prinsip-prinsip formatif pembentukan dan prinsip-prinsip regulatif yang menentukan dan menciptakan komunikasi. Prinsip-prinsip regulatif yang dimaksud adalah 1 efisiensi al- kafâ’ah, 2 efektivitas al-ta’tsîr, dan 3 relevansi al-munasabah. 46 Di manapun dan kapanpun, teks bahasa dikendalikan oleh relasi linguistik kebahasaan yang mempunyai dua aspek: lafzhi dan maknawi. Relasi ini bekerja untuk mengoherensikan dan menyatupadukan semua yang menjadi bagian atau unsur pembentuk teks. Dari relasi sub-sub teks inilah, interpretasi dan pemaknaan dilakukan. 47 44 Tammâm Hassân, Maqâlat fi al-Lughah wa al-Adab, Jilid I, h. 475-6. 45 Tammâm Hassân, Maqâlat fi al-Lughah wa al-Adab, Jilid I, h. 476. 46 Tammâm Hassân, Ijtihâdât Lughawiyyah, h. 365. 47 Mahmûd Hasan al-Jâsim, Ta’wîl al-Nashsh …, hlm. 131. Eksistensi teks pada dasarnya meniscayakan makna yang progresif. Karena teks selalu terbuka untuk dimaknai. Teks itu bermakna dinamis, karena relasi antara teks dengan makna bukan hubungan statis, dan pasti. Menurut Heideger, dan Gadamer teks bahasa tidak memiliki dalâlah penunjukan makna tunggal, karena bahasa tidak mesti menunjuk sesuatu. 48 Karena itu, teks-teks, tidak mesti menunjuk sesuatu, dan makna tertentu. Memahami teks-teks agama al- Qur‘an dan hadits Nabi Saw., pada dasarnya tidak jauh berbeda dengan memahami teks-teks lain sebagai sistem simbol tanda. Secara sederhana, al- Qur‘an berisi pelbagai tanda al-âyah. Jika simbol-simbol bahasa tidak menunjuk secara langsung pada realitas objektif-eksternal al- wâqi‘ al- khârijî al-m awdlû‘î, tetapi, simbol bahasa tersebut menunjuk pada pandangan, pemahaman, dan pikiran dalam komunitas tertentu, maka bahasa tersebut berada dalam ranah ―budaya‖ karena bahasa merupakan subsistem budaya. 49

E. Konteks