‗Âli Bashîr untuk Dedikasi Islam, Sastra Arab dan Sains 1984. Pada 1987, ia juga meraih hadiah dari Saddâm Hussein di bidang kajian linguistik, dan pada 2005 ia
meraih hadiah dan penghargaan dari King Faisal International Prize Jâizah al- Malik Faisal al-
‘Alamiyyah di bidang yang sama dengan tema ―al-Lughah al- ‘Arabiyyah fi al-Dirâsât al-Lughawiyyah al-Hadîtsah‖ Bahasa Arab dalam Kajian
Linguistik Modern.
19
Karena itu, Husâm Tammâm, menggelarinya sebagai Mujaddid al-Lughah al-
’Arabiyyah pembaharu bahasa Arab masa kini.
C. Teori Tadhâfur al-Qarâin
Kata ―al-qarâin‖ merupakan bentuk jamak dari qarînah yang secara bahasa berarti yang menyertai, penyerta, relasi penyerta, atau penunjuk indikator. Disebut
demikian karena keberadaannya selalu menyertai struktur kalimat dan memberi penunjukan makna kalimat sesuai dengan relasi dan konteknya. Qarînah biasanya
digunakan dalam kajian ilmu balaghah, terutama dalam konteks menjelaskan perubahan makna dari makna hakiki menjadi makna majazi.
Teori tadhâfur al-qarâ ’in, menurut Tammâm, tidak lepas dari konsep bahwa
bahasa merupakan sistem yang mempunyai berbagai komponen atau unsur yang saling berelasi, bersinergi, dan menunjang fungsi bahasa itu sendiri. Sedangkan
fungsi bahasa adalah sebagai alat komunikasi di antara para warga masyarakat penggunaanya. Sementara itu, tujuan berbahasa adalah untuk menyampaikan pesan
secara jelas
, baik pesan itu berupa berita, kondisi, permintaan, pertanyaan, ekspresi perasaan jiwa kepada penerima pesan pendengar atau pembaca.
20
Kejelasan pesan, amanat, atau makna adalah tujuan berkomunikasi melalui bahasa. Kejelasan pesan ini dalam istilah linguistik Arab disebut amn al-labs bebas
kerancuan. Jika sebuah pesan dalam bentuk kalimat, paragraf atau wacana sudah terbebas dari kerancuan, maka berfungsilah apa yang disebut dengan qarâ
’in al- ma’na al-nahwî penyerta makna gramatikal.
Teori ini sesungguhnya merupakan pengembangan dari teori nazham dan ta’lîq yang pernah dimajukan oleh ‘Abd al-Qahir al-Jurjani dalam Dalâ’il al-I’jâz.
19
al- ‗Ârif Ed., Tammâm Hassân..., h. 21.
20
Tammâm, al-Khulâshah ..., h. 17.
Teori nazham
21
berporos pada keteraturan dan keterpaduan makna gramatikal, bukan makna leksikal suatu kalimat. Sedangkan konsep
ta’lîq perelasian, keherensi mengandaikan adanya keterpaduan unsur-unsur kalimat, paragraf, dan wacana yang
kemudian memberikan kejelasan makna. Dari adanya relasi antarkata dan antarkalimat inilah kemudian dipandang perlu diformulasikannya qarâ
’in, karena terbukti bahwa relasi-relasi kata dan kalimat itu bersifat sinergis dan tidak dapat
dipisahkan, sehingga membentuk apa yang disebut dengan al- ’alaqat al-Siyaqiyyah
syntagmatic relations.
22
Karena relasi tersebut harus sinergi dan terpadu, antara relasi sintagmatik dan relasi semantik-kontekstual, maka pemaduan keduanya
membentuk apa yang disebut dengan teori tadhâfur al-qarâ ’in keterpaduan, sinergi
multi-indikator. Sebagian ahli memfokuskan kajian nahwu atau sistem sintaksis pada masalah
kedudukanjabatan kata mawâqi’ al-i’râb dalam kalimat. Penekanan pada i’râb
infleksi sesungguhnya tidak menyentuh substansi nahwu secara komprehensif. Sebab, tidak semua kata mengalami perubahan bunyi akhirnya karena ada kata yang
mabnî . Dengan demikian, banyak persoalan yang sesungguhnya terkait dengan
nahwu, seperti itsbât afirmasi, nafy pengingkaran, tawkîd penguatan, pemastian, rutbah
urutan kata dalam kalimat seperti: taqdîm peletakan urutanposisi kata didahulukan dari yang semestinya,
ta’khîr peletakan urutanposisi kata di bagian akhir dari yang semestinya, jumlah taqrîriyyah kalimat informatif, jumlah
istifhâmiyyah kalimat tanya, jumlah syarthiyyah kalimat kondisional, dan
sebagainya menjadi tidak terjelaskan melalui definisi bahwa nahwu itu adalah ilmu tentang
i’râb. Selain itu, kajian nahwu menjadi terfokus pada aspek lahiriyah mabnâ,
21
Menurut ‗Abd al-Qâhir al-Jurjânî w. 471 H ruang lingkup bahasan nahwu harus lebih luas dari sekedar mengkaji tentang
i’râb dan penentuan bunyi akhir kata. Nahwu harus mencakup bahasan mengenai nazham. Ketahuilah bahwa tidak disebut nazham keteraturan kecuali jika engkau
memosisikan pembicaraanmu pada posisi yang dikehendaki ilmu nahwu. Engkau mendasarkan pembacaraan itu pada kaidah-kaidah dan prinsip-prinsipnya, dan engkau mengetahui metode yang
mendasarinya, sehingga engkau tidak menyimpang darinya, dan engkau menjaga ancangan pembicaraan yang telah
engkau tetapkan, sehingga tidak mengandung kecacatan sedikitpun.‖ Unsur- unsur pembicaraan dalam kalimat harus memiliki relasi; yang satu menjadi penyebab yang lain,
sehingga memberi makna. Nazham itu tidak mengacu pada lafazh semata, tetapi ketaraturan lafazh itu harus sesuai dengan makna, karena pembicaraan itu dapat tersusun secara baik karena keteraturan
maknanya dalam diri pembicaranya. Lihat ‗Abd al-Qâhir al-Jurjânî, Dalâil al-I’jâz, Tahqîq Mahmûd Muhammad Syâkir, Jeddah: Dâr al-Madanî, 1992, Cet. III, h. 55-56 dan 80-81.
22
Tammâm, al- ‘Lughah al-‘Arabiyyah..., h. 188-189.
lafzhi, bentuk semata, tidak menyentuh aspek-aspek substansial makna yang berkaitan dengan kategori dan relasi antarkata dalam sebuah struktur kalimat.
Menurut Tammam, qarâ ’in dapat diklasifikasikan menjadi tiga, yaitu:
qarâ ’in maddiyah matterial indicators, qarâ’in ’aqliyyah rational indicators, dan
qarâ ’in ta’lîq coherence indicators. Qarâ’in ’aqliyyah dibagi menjadi dua, yaitu
‗ahdiyyah dzihniyyah dan qarâ’in manthiqiyyah . Sedangkan qarâ’in al-ta’liq dibagi lagi menjadi qarâ
’in maqâliyyah dan qarâ’in haliyyah. Teori tadhâfur al-qarâ’in berkaitan langsung dengan qarâ
’in maqaliyyah. Qara‘in yang terakhir ini diklasfikasikan menjadi dua, yaitu: qarâ
’in ma’nawiyyah dan qarâ’in lafzhiyyah. Qarâ
’in lafzhiyyah meliputi: isnâd, takhshish, nisbah, taba’iyyah, dan mukhâlafah. Sedangkan qarâ
’in lafzhiyyah mencakup i’râb, rutbah, shîghah, muthâbaqah, rabth, tadhâmm
kolokasi, adât partikel, dan tanghîm intonasi.
23
Tujuh qarînah dari qarâ
’in lafzhiyyah merupakan indikator makna pada teks tertulis. Sedangkan qarinah tanghîm
intonasi merupakan indikator yang dapat menentukan makna dalam bahasa atau wacana lisan.
Jika kita menyatakan:
هتيب ىلإ دمحأ بهذ
, maka dapat diketahui bahwa subjek fâ’il dalam kalimat ini adalah Ahmad. Kedudukan kata ―Ahmad‖ sebagai fâ’il
dapat dipahami dari beberapa al-qarâin berikut:
دمحأ
Ism kata benda
Qarînah al-binyah konstruksi
kata Marfû’ dibaca rafa’
Qarînah al- i’râb infleksi
Didahului fi’l
Qarînah al-rutbah wa al-binyah urutan kata dan konstruksi
Fi’l tersebut mabni li al-ma’lum Qarînah al-binyah
konstruksi Menunjukkan orang yang
melakukan pekerjaan pergi Qarînah al-isnâd
relasi subjek dan prediket
هتيب ىلإ
Relasi jâr + majrûr mempunyai ta’alluq dengan fi’l. Keduanya
membentuk makna Qarînah al-Tadhâmm
sanding kata, kolokasi
23
Tammâm, al-Lughah al- ‘Arabiyyah...., h. 190.
Dhamîr pada ―rumahnya‖
menghubungkan rumah dengan pemiliknya, Ahmad
Qarînah al-Rabth
pengait, penghubung antarkata
Qarâ’in nahwu, menurut Tammâm, mempunyai lima sumber, yaitu: sistem fonologi al-nizhâm al-shawtî, sistem morfologi al-nizhâm al-sharfî, sistem
sintaksis al-nizhâm al-nahwî, makna konteks dalâlah al-siyâq, dan pragmatik al- dalâlah al-hâliyyah
.
24
Oleh karena posisi al-qarâ ’in sangat penting dalam
pemaknaan kalimat dan teks pada umumnya, maka pembelajaran nahwu perlu diorientasikan kepada pengenalan ragam al-qarâ
’in berikut penggunaan dalam struktur kalimat. Pembelajaran nahwu tidak bisa lagi hanya memperhatikan posisi
atau kedudukan kata mawqi’ al-i’râb sebagai penentu bacaan dan pemaknaan
kalimat dan wacana. Teori tadhâfur al-Qarâ
’in meniscayakan makna gramatikal dan fungsional sebuah kalimat. Jika gramatika secara umum membahas makna sampai batas
m u’jam kamus, dan kamus berperan dalam menentukan makna kosakata mufradât
hingga batas-batas semantik pada level sosial, maka makna yang dikaji oleh nahwu adalah makna fungsional al-
ma’nâ al-wazhîfî. Makna fungsional yang dimaksud adalah makna yang menentukan fungsi bunyi, huruf, suku kata, intonasi, morfem,
bentuk kata, hingga fungsi kategori. Fungsi-fungsi itu pula yang dipelajari oleh gramatika yang mencakup empat cabang kajian tersebut.
25
Dengan kata lain, penelitian nahwu mengkaji fungsi kosakata mufradât dalam struktur kalimat.
26
Berikut ini ilustrasi relasi makna kata dalam struktur kalimat sesuai dengan fungsinya:
يسركلا ىلع اسلاج
ه ابح
ةءارق احابص
ةديرجلا لا
سردم أرقي
رورجم راج لاح
رورجم راج لوعفم
هل لوعفم
قلطم لوعفم
هيف لوعفم
هب لعاف
لعف عراضم
24
Tammâm, al-Khulâshah …, h. 22-23.
25
Tammâm, Manâhij al-Bahts ..., h. 229.
26
Tammâm, al-Ushuûl ..., h. 343.
صيصختلا ةيلا ا
صيصختلا ةيببسلا
ديكوتلا ةيفرظلا
ةيلوعف ا ةيلعافلا
Makna bahasa, menurut Tammâm, tidak hanya ditunjukkan oleh kata atau lafazh, melainkan juga ditentukan oleh peristiwa, situasi, kesan, dan proses abstraksi
yang dilakukan oleh pikiran ketika memahami sebuah pesan. Oleh karena itu, makna dapat diklasifikasikan menjadi tiga: makna konvensi al-
ma’nâ al-‘urfî, makna kognisi al-
ma’nâ al-dzihnî, dan makna impresi al-ma’na al-inthibâ’î.
27
Makna konvensi atau kebiasaan merupakan makna yang disepekati bersama oleh komunitas
penutur suatu bahasa. Makna ini bisa dinilai benar atau salah. Sementara itu, makna kognisi atau persepsi dan makna impresi terkait dengan subyektivitas individu yang
mempersepsi dan menangkap kesan. Keduanya terkait dengan gaya bahasa uslûb, bukan gramatika.
Pemikiran tersebut, menurut Tammâm, dapat diilustrasikan sebagai berikut: Makna
Konvensi Kognisi
Impresi Makna yang menjadi
kesepakatan komunitas; dapat dinilai benar dan salah Makna pemersepsi Makna pemilik kesan
Keduanya berkaitan dengan gaya, bukan tata bahasa
Makna konvensi, menurut Tammâm, dapat dibagi lagi menjadi makna fungsional, leksikal, dan kontekstual. Lalu makna fungsional dapat dibagi menjadi
makna analitikal dan struktural. Sedangkan makna kognisi dapat dikelompokkan
27
Tammâm, Khawâthir min Ta’ammul Lughat al-Qur’ân al-Karîm, Kairo: Âlam al-Kutub,
2006, Cet. I, h. 83.
menjadi makna logis dan makna asosiatif. Makna logis dapat diturunkan menjadi makna deduktif. Sedangkan makna impresi dapat dibagi menjadi makna emosi dan
makna inderawi. Makna inderawi dapat dikembangkan menjadi makna pragmatik.
28
Lebih lanjut Tammâm menjelaskan bahwa makna konvensi adalah makna yang ditunjukkan oleh unsur-unsur bahasa seperti: partikel, bentuk-bentuk kata, kata
benda, verba, kosakata dalam kamus, dan berbagai bentuk kalimat. Jika makna konvensi dalam pemaknaannya didasarkan pada analogi qiyâs, maka makna
kognisi didasarkan pada induksi, sedangkan makna impresi didasarkan pada reaksi irtidâd, radd fi’l.
29
Makna, menurut Ledwig Wittgenstein 1889-1951, dianggap sebagai salah satu jenis penggunaan bahasa.
30
Setiap studi bahasa memang harus dapat mengungkap makna, dan setiap aktivitas studi bahasa harus diorientasikan kepada pemeriksaan dan pengungkapan
makna secara jelas. Kajian mengenai makna ternyata tidak hanya melibatkan para linguis, melainkan juga para filosof dan psikolog. Para filosof membahas makna
ketika mereka membicarakan epistemologi teori pengetahuan sebagai salah satu cabang filsafat. Mereka kemudian membahas masalah makna dari ―pintu masuk‖
hubungan antara penunjuk makna dan yang ditunjuk. Kajian makna dalam
perspektif filosofis seperti ini antara lain terlihat dalam The Meaning of Meaning karya Odgan dan Richard. Kajian makna dikategorikan sebagai salah satu kajian
logika positivistik.
31
Namun demikian, persoalan makna merupakan area dan sekaligus muara kajian linguistik, baik pada level fonologi, morfologi, sintaksis,
maupun leksikologi. Makna adalah inti komunikasi, baik komunikasi linguistik maupun nonlinguistik.
Selain mengklasifikasikan makna ke dalam tiga kategori tersebut, Tammâm juga membuat kategori makna menjadi: al-
ma’nâ al-wazhîfî makna fungsional dan al-
ma’nâ al-mu’jamî makna leksikal. Para nuhât mengakui tiga macam makna, yang terbesar disebut al-
ma’nâ al-mufîd makna informatif, yaitu makna kalimat, kemudian al-
ma’nâ al-mufrad makna tunggal, yaitu makna kata, dan ma’nâ âmm
28
Tammâm, Maqâlât ..., Jilid II, h. 297.
29
Tammâm, Khawâthir ..., h. 84.
30
Robert de Beugrande, al-Nashsh wa al-Khithâb wa al-Ijrâ, terjemahan Tammâm Hassân dari Text, Discourse, and Process toward a Multidiciplinary Science of Texts,
Kairo: Âlam al-Kutub, 1998, Cet. I, h. 180.
31
Tammâm, Maqâlât ..., Jilid I, h. 329.
h aqquhu an yu’adda bi al-harf makna umum yang semestinya diwujudkan oleh
huruf atau dikenal dengan al- ma’nâ al-wazhîfî. Makna yang terakhir ini difungsikan
oleh mabâni fi al-siyâq bentuk kata dalam konteks. Makna peringatan, penegasan, masa mendatang, tuntutan, negasi, pertanyaan, dan sebagainya merupakan makna
fungsional yang diwujudkan oleh bentuk-bentuk kata, baik dalam bentuk simple sederhana, tunggal maupun terstruktur dalam kalimat.
32
Sementara itu, menurut Tammâm, makna leksikal al- ma’nâ al-mu’jamî
adalah makna tunggal suatu kata di luar konteks atau makna kata menurut kamus. Makna ini dianggap sebagai buah banyaknya derivasi dan formula sharaf. Jika
shîghat sharaf merupakan salah satu pilar makna leksikal, maka makna fungsional
yang dinisbahkan kepada shîghat merupakan salah satu unsur makna tunggal suatu kata. Sebagai contoh, makna leksikal atau makna yang sesuai dengan yang ada dalam
kamus ―
لِتاق
‖ adalah juga makna fungsional yang dinisbahkan kepada formula fâ’il sebagai salah sat
u unsur makna fungsional kata ―
لِتاق
‖; sedangkan unsur lain dari kata tersebut adalah akar kata yang berupa tiga huruf:
qâf, tâ’, dan lâm. Tiga huruf ini merupakan unsur yang sama akar kata pada semua derivasinya yang formula
sharafnya bervariasi musytaqqât. Derivasi dalam bahasa Arab memang sangat variatif, sehingga salah satu karakteristik bahasa ini adalah lughat al-isytiqâq
Kategori makna tersebut dapat diilustrasikan sebagai berikut: Sumber Makna Leksikal Kata ―
لِتاق
‖
Dari Segi formulasi kata: F â’il
Dari segi akar dan derivasi:
ق -
ت -
ل
Penunjukan makna formula Sebuah struktur huruf yang
terhadap yang disifati dengan menunjukkan peristiwa pembunuhan
formula fâ’iliyyah
Selain itu, Tammâm juga membuat kategori makna kontekstual al- ma’nâ al-
dalâli , yaitu makna kalimat dalam konteks penggunaan dan dalam lingkup berbagai
32
Tammâm, al-Bayân...., h. 9.
qarâ’in relasi penyerta sebuah kalimat serta situasi yang menyertainya.
33
Makna kontekstual ini, menurut Tammâm, dibagi menjadi dua: al-
ma’nâ al-maqâlî makna redaksional dan al-
ma’nâ al-maqâmî makna situasional, sosial-kultural, atau makna kontekstual. Yang pertama merupakan perpaduan antara makna fungsional dan
leksikal, serta mencakup berbagai indikator penunjuk makna dalam pernyataan yang ada. Sedangkan yang kedua merupakan makna yang dibentuk oleh situasi dan
kondisi penyampaian pernyataan. Klasifikasi tersebut dapat diilustrasikan sebagai berikut:
al- Ma’nâ al-Dalâlî
al- Ma’nâ al-Maqâlî
al- Ma’nâ al-Maqâmî
Makna fungsional+leksikal+indikator Makna sesuai dengan situasi Pada mulanya kajian nahwu maupun balâghah sangat erat dengan aspek
bentuk luar syakliyyah dari kalâm ‘Arabî, sehingga kajian nahwu atau balâghah
terkadang dinilai sebagai ―fisik tanpa ruh‖ jasadan bilâ rûh. Dengan kata lain, aspek dalam dari sebuah struktur, yaitu makna, kurang mendapat perhatian yang
semestinya. Adalah para ahli balâghah yang kemudian mempertegas bahwa kajian balâghah sangat sarat dengan konteks. Mereka memosisikan bahasa sebagai
fenomena sosial zhâhirah ijtimâ’iyyah yang terkait erat dengan budaya suatu
bangsa. Budaya ini sebagai representasi dari sebuah pemaknaan dapat dianalisis dengan menentukan berbagai kemungkinan situasi sosial yang melingkupi
pembicaraan atau pernyataan. Situasi pujian tentu berbeda dengan situasi ratapan, pembanggaan, celaan, permohonan, angan-angan, dan sebagainya.
Oleh karena itu, mereka berpendapat bahwa setiap situasi terdapat pernyataan yang sesuai dengannya li kulli maqâm maqâl
34
; dan bisa juga sebaliknya wa li kulli maqâl maqâm
. Menurut JR. Firth 1890-1960, sebagaimana dikutip Ahmad Mukhtâr ‗Umar, makna bahasa hanya dapat diungkap diketahui melalui konstruksi
33
Tammâm, al-Bayân ..., h. 289.
34
Tammâm, al-Lughah al- ‘Arabiyyah...., h. 338.
dan peredaksian kata-kata dalam satu kesatuan dan konteks bahasa yang bervariasi dan sesuai dengan konteks kebahasaan maupun sosial kulturalnya.
35
D. Teks