Sejarah Lahirnya Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 Tentang P-KDRT

11

BAB II TINJAUAN UMUM

A. Sejarah Lahirnya Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 Tentang P-KDRT

Pada tahun 2001, Rencana Aksi Nasional untuk Penghapusan Kekerasaan Terhadap Perempuan RAN-PKTP dicanangkan oleh kementrian Pemberdayaan Perempuan. Dan pada tahun 2002, ditandatangani sebuah Surat Kesepakatan Bersama SKB antara Mentri Pemberdayaan Perempuan RI, Mentri Kesehatan RI, Mentri Sosial RI, dan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia. Kesepakatan ini menyangkut pelayanan terpadu bagi korban kekerasaan terhadap perempuan dan anak-anak yang dilaksanakan bersama dalam bentuk pengobatan dan perawatan fisik, psikis, pelayanan sosial dan hukum. 1 Di tingkat daerah, Gubenur Provinsi Bengkulu mengeluarkan Surat Keputusan SK No.751 Tahun 2003 tentang pembentukan tim penanganan terpadu bagi Perempuan dan Anak korban kekerasan. SK yang ditandatangani pada tanggal 10 Desember 2003 ini pada intinya membentuk Tim Penanganan Terpadu Bagi Perempuan dan Anak Korban Kekerasan yang mempunyai cakupan kerja di bidang pencegahan, penanganan dan pemulihan, serta pendidikan dan 1 Komnas Perempuan, Lokus Kekerasaan Terhadap Perempuan 2004 : rumah, pekarangan dan kebun, Catatan Tahunan Tentang Kekerasaan Terhadap Perempuan 2005. h.17. 12 advokasi. Tim ini beranggotakan wakil-wakil dari lingkungan pemerintah, LSM dan Lembaga profesional lainnya. 2 Di tingkat Regional, Menteri Luar Negeri negara-negara ASEAN menandatangani Deklarasi Penghapusan Kekerasan Terhadap Perempuan, di Jakarta pada tanggal 13 juni 2004. Deklarasi ini berisi dorongan kerjasama regional dalam mengumpulkan dan mendeseminasikan data untuk memerangi kekerasan terhadap perempuan, promosi pendekar holistik dan terintegrasi dalam mengeliminasi kekerasan terhadap perempuan, dorongan untuk melakukan pengarusutamaan gender, dan membuat serta mengubah undang-undang domestik untuk mencegah kekerasan terhadap perempuan. 3 Adapun yang menjadi gagasan dan latar belakang pentingnya pembentukkan sebuah UU PKDRT didasarkan atas pengalaman para perempuan korban kekerasan terjadi di ranah domestik rumah tangga ataupun keluarga. Di mana kekerasan rumah tangga makin menunjukkan peningkatan yang signifikan dari hari ke-hari, baik kekerasan dalam bentuk fisik, psikologis, maupun kekerasan seksual dalam kekerasan ekonomi. Bentuk-bentuk kekerasan tersebut sudah menjurus dalam bentuk tindakan pidana penganiyaan dan ancaman kepada korban yang dapat menimbulkan rasa tidak aman, rasa ketakutan, atau penderitaan psikis berat bahkan kegilaan pada seseorang. 2 Komnas Perempuan, Lokus Kekerasan Terhadap Perempuan 2004 : rumah pekarangan dan kebun, h.17. 3 Komnas Perempuan, Lokus Kekerasan Terhadap Perempuan 2004 : rumah pekarangan dan kebun, h.17. 13 Catatan tahunan komnas perempuan sejak tahun 2001 sampai dengan 2007 menunjukkan peningkatan pelaporan kasus KDRT sebanyak lima kali lipat. Sebelum UU PKDRT lahir yaitu dalam rentang 2001 – 2004 jumlah kasus yang dilaporkan sebanyak 9.662 kasus. Sejak diberlakukannya UU PKDRT 2005 – 2007, terhimpun sebanyak 53.704 kasus KDRT yang dilaporkan. Data kekerasan 3.169 tahun 2001, 5.163 tahun 2002, 7.787 tahun 2003, 14.020 tahun 2004, 20.391 tahun 2005, 22.512 tahun 2006, dan 25.522 tahun 2007. Jumlah Kekerasan terhadap Perempuan KtP mulai meningkat dengan cukup tajam sejak tahun 2004 lebih dari 44 dari tahun 2003 dan tahun-tahun berikut kenaikan angka KtP berkisar antara 9 – 30 tahun 2005, 30 tahun 2006, 9 dan tahun 2007 11. KTP ini mayoritas ditempati menurut ranah kekerasan. Maka KDRT cenderung meningkat dari tahun ke tahun. Bahkan lonjakan tajam antara tahun 2004 4.310 kasus ke tahun 2005 16.615 kasus. Dari data 25.522 kasus KtP pada tahun 2007, KDRT terdapat 20.380 kasus, KtP di komunitas 4.977 kasus, dan KtP dengan pelaku negara 165 kasus. Dari 215 lembaga dan tersebar dari 111 pulau yang memberikan datanya kepada Komnas Perempuan, data terbanyak berasal dari Pulau Jawa 2 di Banten, 7 di Yogyakarta, 22 di Jawa Barat, 29 di Jawa Tengah, dan 31 di Jawa Timur. Tahun 2002, RUU diajukan ke Komisi VII DPR RI dan diseminarkan di DPR. Perkembangan penting itu muncul setelah Rapat Paripurna DPR. Lalu memutuskan membahas RUU KDRT. Puncaknya pada tanggal 13 Mei 2003, 14 melalui sidang Paripurna di DPR, RUU anti KDRT yang diusulkan kelompok perempuan secara resmi menjadi RUU inisiatif DPR. 4 Pembahasan RUU anti KDRT di DPR Pansus Komisi VII yang dimulai pada tanggal 22 Agustus 2004 berlangsung cepat, namun cukup alot. Khususnya karena penolakan beberapa anggota dewan terhadap terobosan hukum yang menjadi dasar munculnya RUU, seperti ruang lingkup, bentukjenis KDRT yang mencakup marital rape, hukum acara tentang pembuktian dan peran-peran aparat. Selesai sidang pleno, kemudian RUU tersebut segera dibawa ke sidang paripurna melalui pandangan umum fraksi-fraksi dalam rangka keputusan akhir DPR apakah menolak atau mensahkan RUU menjadi Undang-Undang. Tahun 2004 adalah tahun yang bersejarah bagi perempuan Indonesia, dan khususnya bagi perempuan korban kekerasan dalam rumah tangga KDRT, karena pada tahun inilah lahir Undang-Undang Penghapusan Kekerasaan Dalam Rumah Tangga, setelah diperjuangkan selama 8 tahun oleh berbagai organisasi perempuan. 5 Pada tanggal 14 September 2004 dinyatakan sah dalam sidang paripurna DPR, UU yang semula dinamai UU KDRT ini kemudian pada tanggal pada 22 September 2004, Presiden Megawati menandatangani Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasaan Dalam Rumah Tangga. Pada hari yang sama, pihak Sekretariat Negara mengundangkannya ke dalam 4 Ratna Batara Munti, Suara Apik : Lahirnya UU Penghapusan dalam Rumah Tangga “sebuah bentuk terobosan hukum dan implikasinya terhadap hukum nasional”. LBH-APIK Jakarta, 2005 Edisi ke-2. h.5 5 Komnas Perempuan, Lokus Kekerasaan Terhadap Perempuan 2004 : rumah, pekarangan dan kebun, Catatan Tahunan Tentang Kekerasaan Terhadap Perempuan 2005. h.17 15 Lembaran Negara Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga atau lebih dikenal dengan UU P-KDRT. 6 Kecenderungan meningkatnya kasus KDRT yang dilaporkan ini menunjukkan adanya bangunan kesadaran masyarakat tentang kekerasan khususnya kekerasan yang terjadi di ranah rumah tangga pada umumnya dan kesadaran serta keberanian perempuan korban untuk melaporkan kasus KDRT yang dialaminya, pada khususnya. Banyaknya kasus yang dalam perjalannnya dicabut oleh pelapor yang sekaligus juga korban, lebih karena banyaknya beban gender perempuan korban yang seringkali harus ditanggung sendiri, kuatnya budaya patriarkhi, doktrin agama, dan adat menempatkan perempuan korban kekerasan dalam rumah tangga dalam situasi yang sulit untuk keluar dari lingkar kekerasan yang dialaminya, cenderung ragu untuk mengungkap fakta kekerasannya, bahkan korban sulit mendapat dukungan dari keluarga maupun komunitas. Keyakinan ‟berdosa‟ jika menceritakan ‟kejelekan, keburukan, atau aib‟ suami membuat banyak perempuan korban kekerasan dalam rumah tangga menyimpan dalam-dalam berbagai bentuk kekerasan yang dialaminya. Dalam UU. No. 23 tahun 2004 tentang penghapusan KDRT aturan marital rape diatur dalam pasal yang diistilahkan dengan pemaksaan hubungan seksual, yang secara tegas diatur pada pasal 8 ayat 1. Dalam penelitian tersebut yang menjadi pembahasanya yaitu bagaimana tanggapan hukum dalam UU. No. 23 6 Beberapa Pakar hukum Ikatan Alumni Universitas Airlangga Fakultas Hukum, R. Dyatmiko Soemodihardjo, Kapita Selekta Penegakan Hukum di Indonesia, Jakarta : Perpustakaan Nasional, Cet 1, Mei, 2006, h.19. 16 tahun 2004 dan hukum islam tentang pemaksaan hubungan seksual seorang suami terhadap istri Marital rape, sedangkan dalam penelitian yang akan saya tulis, lebih fokus pada bagaimana bentuk-bentuk pemaksaan suami terhadap istri dalam perspektif UU. No. 23 tahun 2004 dan fiqh Islam.

B. Pengertian KDRT Menurut Undang-Undang No. 23 Tahun 2004