Pandangan Hukum Islam Terhadap Undang-Undang No.23 Tahun 2004

74

BAB IV PANDANGAN HUKUM ISLAM TERHADAP SALINAN PUTUSAN

PENGADILAN AGAMA JAKARTA SELATAN TENTANG KEKERASAN SEKSUAL

A. Pandangan Hukum Islam Terhadap Undang-Undang No.23 Tahun 2004

Tentang P-KDRT Mengenai Bentuk Pemaksaan Hubungan Seksual Suami Kepada Istri Pada salinan putusan Pengadilan Agama Jakarta Selatan tentang cerai gugat, dimana didalamnya membahas masalah KDRT. Dijelaskan mengenai duduk perkara, bahwa istri menggugat cerai suaminya. Karena keharmonisan keluarga sudah tidak didapati lagi. Dalam masalah tersebut, suami melakukan kekerasan fisik, psikis, seksual, dan penelantaran keluarga sebagaimana yang terdapat dalam Undang-undang No.23 Tahun 2004. Akan tetapi, pihak pengadilan tidak menghiraukan masalah tersebut. Pengadilan hanya menyetujui permintaan istri untuk menggugat cerai suaminya. Menurut pendapat saya, kurangnya perhatian dan kepedulian pihak yang berwajib dalam menangani masalah KDRT. Seharusnya mereka harus memperhatikan hukuman bagi orang yang melakukan KDRT dan penanganan bagi korban. Dalam salinan putusan tersebut, suami memukul istri beberapa kali 75 terjadi. Suami juga tidak memberi nafkah lahir dan bathin kepada istri dan anak- anaknya selama lebih dari 7-8 bulan. 1 Hukum islam tampaknya belum mengakomodir masalah pemerkosaan dalam rumah tangga, salah satunya karena tidak ada nash yang secara khusus memberikan penjelasan tentangnya. Hadits yang berbunyi : Artinya: ”Apabila seorang suami mengajak istrinya ke tempat tidur, sedangkan istrinya tidak memenuhinya, lantas semalaman suami merasa kecewa terhadapnya, maka dia dilaknat malaikat hingga pagi”. HR. Bukhari dan Muslim 3 Secara tekstual, hadits di atas terkesan tidak mencerminkan keadilan, kesetaraan hak, dan mu‟asyarah bi al-ma‟ruf. Banyak ulama menyarankan agar hadits di atas tidak dipahami secara harfiah. Musthafa Muhammad Imarah mengatakan bahwa laknat malaikat itu muncul bila penolakan istri dilakukan tanpa alasan. Sedang Wahbah az-Zuhaili berpendapat bahwa laknat itu terjadi apabila istri menolak senggama, padahal ia sedang longgar dan tidak takut disakiti. Alhasil, pada prinsipnya seorang suami itu tidak boleh memaksakan kehendak kepada istrinya, khususnya terkait perkara seksualitas. Memaksa berarti memperlakukan pasangan secara tidak manusiawi dan memandangnya 1 Lampiran Salinan Putusan Nomor 809Pdt.G2010PAJS 2 ىراخبلا 5193 ملسم و حاكنلا 120 3 Abu Abdullah Muhammad ibn Ismail ibn Ibrahim ibn al-Mughirah ibn Bardizbah, Shahih al-Bukhari, Darul Maktaby As- Sya‟by, juz III, h.260. 76 tidak lebih sekadar objek pemenuhan nafsu seks, dan ini adalah tindak pidana pemerkosaan, yakni pemerkosaan dalam ikatan perkawinan. Di Indonesia, persoalan marital rape masih menjadi perdebatan. KUHP sendiri tidak menyebutkan status dan sanksi hukumannya, hingga masyarakat pun kurang meresponnya. Padahal, bila masalah ini dibiarkan dan tidak ditangani, kaum perempuan terus akan dirugikan dan dilukai fisik maupun psikisnya. Marital rape hingga saat ini belum mendapat perhatian serius dari aparat penegak hukum maupun pemerintah, khususnya dalam hal perlindungan terhadap hak-hak korban dan memberi hukuman setimpal bagi pelaku. Walaupun Undang- Undang No.23 Tahun 2004 tentang P-KDRT telah disahkan, namun dalam Pasal 46 yang mengatur soal sanksi tidak menyebutkan hukuman minimal, sehingga hukuman yang dijatuhkan hakim kepada pelaku cenderung masih jauh dari rasa keadilan. Sudah saatnya Hukum Islam dan Hukum Pidana merespons masalah ini. Hukum Islam, secara khusus harus bisa menangkap sisi normatif Al- Qur‟an dan hadits sekaligus sisi sosiologis dan psikologis dalam memandang kasus marital rape. Demikian pula, Hukum Pidana sudah semestinya membuka diri bagi usaha- usaha menjaring kasus marital rape dengan pasal-pasal yang ada dan berlaku. 4 4 Marlia, Milda , Marital Rape “Kekerasaan Seksual Terhadap Istri”, Yogyakarta : PT. LkiS Pelangi Aksara, Cet.1, Januari 2007, h.9. 77 Reproduksi merupakan salah satu karakteristik makhluk hidup. Reproduksi manusia diawali dengan pertemuan sperma dan ovum dalam sebuah aktivitas persetubuhan laki-laki dan perempuan. Oleh karena itu, dalam kehidupan berumah tangga, tidak hanya suami yang membutuhkan seks, istri pun tidak bisa membunuh naluri dasariah tersebut. Sungguhpun kekerasan seksual suami terhadap istri dalam perkawinan sering terjadi dalam kehidupan sehari-hari, namun persoalan ini jarang sekali diselesaikan secara hukum, bahkan dibahas secara terbuka pun masih tabu. Mungkin dikarenakan perangkat hukumnya belum memadai dan kurangnya perhatian pihak yang berwenang. Kenyataan itu didukung pula budaya yang masih menganggap tabu menceritakan aib rumah tangga dan korbannya dalam hali ini istri lebih memilih diam dengan alasan menjaga keutuhan keluarga. Di dalam perkawinan, marital rape masih dianggap persoalan internal keluarga. Penerapan pasal-pasal delik kesusilaan KUHP, khususnya pasal 285, kurang memenuhi rasa keadilan. Vonis yang dijatuhkan kepada para pelaku tindak pidananya tidak mencapai setengah dari besarnya sanksi. Padahal penderitaan yang dialami korban pemerkosaan tak dapat diukur. Korban mengalami stress, depresi, trauma dan bahkan kegilaan. Menurut Zakiyah Drajat, seorang psikolog dan ustadzah berpendapat dalam Islam, jelas seorang istri tidak boleh menolak bila suami ingin dilayani bathiniah. Seharusnya seorang perempuan sadar akan fitrahnya sebagai istri yang tugasnya 78 melayani suami. Marital rape lebih baik ditangani psikolog atau pemuka agama, jangan diatur KUHP. 5 Menurut Quraish Shihab, seorang ahli tafsir Indonesia yang terkenal berpendapat pemerkosaan itu haram hukumnya dalam islam, walaupun dilakukan terhadap istrinya. Dalam agama islam, istri memang berkewajiban turut pada perintah suami. Tapi kalau permintaan dan perintah suami itu melanggar norma agama seperti meminta hubungan seksual ketika masa nifas, terlarang hukumnya atas nama agama bagi sang istri untuk menuruti perintah suaminya. Istri mempunyai hak untuk mengadukan pada hakim atas perbuatan suaminya itu.

B. Relevansi Hukum Islam Dengan Hukum Positif Mengenai Masalah Bentuk