1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Keseimbangan antara hak dan kewajiban suami istri serta hidup damai dalam rumah tangga ialah sesuatu yang pasti sangat diidamkan oleh setiap
pasangan suami istri. Akan tetapi semua impian itu akan berubah menjadi kenyataan yang menyakitkan apabila didalamnya ternyata dinodai dengan adanya
tindak kekerasan dalam rumah tangga. Di dalam bukunya, Zainuddin Ali menyebutkan bahwa perkawinan adalah perbuatan hukum yang mengikat antara
seorang pria dengan seorang wanita suami-istri yang mengandung nilai ibadah kepada Allah di satu pihak dan di pihak lainnya mengandung aspek keperdataan
yang menimbulkan hak dan kewajiban antara suami istri.
1
Perkawinan merupakan suatu jalan utama untuk mengatur kehidupan rumah tangga dan keturunan.
Keeratan dan keharmonisan hubungan keduanya itu akan terwujud jika keduanya saling menjalankan kewajiban sebagai suami istri.
2
Sesuai dengan hadits nabi Muhammad Saw yang berbunyi:
1
Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam Di Indonesia, Jakarta : Sinar Grafika, 2006, h.51.
2
Syaikh Hasan Ayyub, Fikih Keluarga, Penerjemah M. Abdul Ghoffar, Jakarta : Pustaka Al- Kautsar, Cet kelima, 2006, h.159-160.
2
Artinya: “Rasulullah SAW bersabda : Orang mukmin yang paling sempurna
imannya adalah yang paling baik akhlaknya, dan sebaik-baik kalian adalah yang paling baik kepada istrinya”. HR. Tirmidzi
3
Pada prinsipnya, dalam hubungan seksual suami dan istri memiliki hak yang sama keseimbangan antara hak dan kewajiban suami istri. Idealnya adalah
persetubuhan yang yang bisa dinikmati oleh kedua belah pihak dengan kepuasan nafsu “birahi” sebagai manusia yang adil dan merata. Bukan persetubuhan yang
dipaksakan oleh salah satu pasangannya baik dalam hal ini seorang suami, sementara sang istri dalam keadaan capek, sakit, tidak berselera, bahkan bisa jadi
ketika datang bulan. Selama ini kekerasan seksual yang dilakukan suami terhadap istri marital
rape sangat jarang mendapatkan perhatian dikalangan masyarakat. Suami yang memaksakan sebuah aktifitas senggama, jarang dimunculkan ke permukaan oleh
istrinya. Lemahnya kedudukan istri dalam keluarga dan masyarakat menjadi salah satu penyebab. Lebih-lebih peran serta publik, yang berasumsi laki-laki
mempunyai hak otonom di dalam keluarga. Pasalnya membuat laki-laki merasa berhak melakukan apa saja terhadap perempuan. Parahnya, kebanyakan dari kaum
laki-laki menganggap perkawinan adalah legitimasi resmi atas kekuasaannya terhadap kaum perempuan.
Dalam Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 sudah dijelaskan aturanya secara jelas, terkait dengan marital rape sebagai pemerkosaan terhadap
3
Abu ‟Isa Muhammad Ibn ‟Isa, Ibn Saurah, Sunnah at-Turmudzi, Beirut : Dar al Fikr, 1994, h.387.
3
perempuan. Akan tetapi, sangat ironis pelaku kekerasan seksual terhadap istri yang terjadi di masyarakat hanya dijerat dengan Pasal 351, 353, dan 356 tentang
penganiayaan. Hukuman yang jauh lebih ringan jika digolongkan ke dalam delik pemerkosaan. Pemerkosaan adalah bentuk kekerasan terberat yang dirasakan oleh
perempuan. Akibatnya tidak hanya berdampak pada rusaknya organ fisik tapi juga psikis. Pemaksaan hubungan seksual dalam rumah tangga jelas telah melanggar
hak istri, karena seks adalah juga haknya. Aktivitas seksual yang didasari oleh pemaksaan menyebabkan hanya pihak suami saja yang dapat menikmati, sedang
istri tidak sama sekali, bahkan tersakiti. Tanpa kehendak dan komunikasi yang baik antara suami dan istri, mustahil terjadi keselarasan akses kepuasaan.
Hubungan seks yang dilakukan di bawah tekanan atau pemaksaan sama halnya dengan penindasan.
Dalam undang-undang KDRT pasal 1 ayat 1 disebutkan bahwa kekerasan dalam rumah tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama
perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psilokogis, dan atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum
dalam lingkup rumah tangga. Perempuan yang secara berulang dan berkelanjutan menjadi korban pemerkosaan suaminya akan terjangkiti beberapa karakter, antara
lain: Pertama, inferior merasa rendah diri dan tidak percaya diri. Kedua, kerap dan selalu merasa bersalah sebab ia membuat suami „kalap”. Ketiga, menderita
gangguan reproduksi akibat perasaan tertekan atau stress, seperti infertilitas kurang mampu menghasilkan keturunan dan kacaunya siklus haid.
4
Berangkat dari problematika sosial inilah di mana seringkali terjadi bentuk-bentuk kekerasan seksual yang dilakukan oleh seorang suami terhadap
isteri yang semestinya masuk dalam koridor tindakan kriminal, namun selalu berlindung dalam konsep agama dan adat, peneliti mencoba mengkaji ulang hal
ini dari perspektif UU No. 23 Tahun 2004 dan fiqh Islam agar tidak lagi terdapat penyimpangan paham masyarakat tentang hukum Islam yang kesannya kurang
memperhatikan bentuk-bentuk kekerasan seksual suami terhadap istri. Sebagaimana di dalam Hukum Islam, KDRT sama halnya dengan penganiayaan,
dimana hal ini merupakan suatu perbuatan yang dapat menimbulkan cedera atau cacat pada seseorang,
4
sehingga pelaku KDRT dapat dikenakan sanksi tanpa melihat apakah korbannya laki-laki atau perempuan. Tidak pula melihat apakah
pelakunya laki-laki atau perempuan, tapi yang dilihat apakah dia melanggar hukum Allah SWT atau tidak.
Dalam Hukum Islam, orang yang melakukan tindakan kekerasan atau penganiayaan seperti lebam akibat pemukulan dengan benda keras, tidak dapat
diganti dengan diyat karena sulit menetapkan ukuran diyatnya. Dalam hal ini hukuman penggantinya adalah ta‟zir yang ditetapkan oleh imam atau Negara
melalui badan legislatifnya.
5
Tapi hukuman ta‟zir bisa menjadi hukuman qishas, apabila dengan menyebabkan hilangnya nyawa seseorang dengan sengaja. Allah
4
Madjloes, Pengantar Hukum Pidana Islam, Jakarta : CV. Amalia, 1986, h.35
5
Amir Syarifuddin, Garis-Garis Besar Fiqh, Bogor : Prenada Media Kencana, Cet.1, 2003, h.273
5
memerintahkan kepada hamba-hambanya. Apabila terjadi pertengkaran antara suami dengan istri, maka diselesaikan dengan cara damai. Istri memaafkan suami
dengan tidak meminta imbalan atau istri memaafkan suami dengan menuntut diyat yaitu denda ganti rugi yang dibayar suami kepada istri dengan proses
pengadilan karena perbuatan yg membuat istri cedera.
6
Upaya penggalian bentuk kekerasan tersebut, penulis ingin mengetahui
lebih dalam dengan mengangkat judul penelitian yaitu: “TINJAUAN FIKIH TERHADAP BENTUK PEMAKSAAN HUBUNGAN SEKSUAL SUAMI
KEPADA ISTRI ”
B. Rumusan Masalah