Prevalensi Serologi Sistiserkosis pada Babi yang dijual di Pasar Remu Kota Sorong, Papua Barat.

PREVALENSI SEROLOGI SISTISERKOSIS PADA BABI
YANG DIJUAL DI PASAR REMU KOTA SORONG
PAPUA BARAT

YULIANA FATIE

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Prevalensi Serologi
Sistiserkosis Pada Babi yang Dijual di Pasar Remu Kota Sorong Papua Barat
adalah benar karya saya dengan arahan dari Komisi Pembimbing dan belum
diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari Penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut

Pertanian Bogor.
Bogor, Agustus 2014
Yuliana Fatie
NIM B04089001

ABSTRAK
YULIANA FATIE. Prevalensi Serologi Sistiserkosis pada Babi yang dijual di
Pasar Remu Kota Sorong, Papua Barat. Dibimbing oleh FADJAR SATRIJA dan
SRI MURTINI.
Penularan Taenia solium dan Cysticercus cellulosae pada manusia sangat
dipengaruhi oleh sanitasi lingkungan yang buruk dan tingkat kematangan daging
yang dikonsumsi. Studi mengenai kejadian sistiserkosis pada babi di wilayah
Papua Barat belum banyak dilakukan sehingga dilakukan penelitian ini yang
bertujuan untuk mengetahui tingkat kejadian sistiserkosis pada babi yang di jual
di pasar Remu Kota Sorong, Papua Barat. Penelitian ini dilakukan dengan
memeriksa 30 sampel serum, daging babi dan organ viseralnya. Pada pemeriksaan
daging babi dan organ viseral tidak ditemukan adanya kista Cysticercus
cellulosae. Sampel serum diperiksa dengan metode Sandwich ELISA yang
berfungsi mendeteksi keberadaan antigen Cysticercus cellulosae dalam sampel
serum. Hasil uji ELISA menunjukkan satu diantaranya positif mengandung

antigen Cysticercus cellulosae dengan prevalensi 3.33%, sehingga dapat
disimpulkan bahwa presentase serum positif ini tergolong rendah. Hal ini
dipengaruhi oleh sanitasi lingkungan yang baik, cara pemasaran, lokasi
pengambilan sampel, dan cara mengolah daging babi yang berbeda dengan daerah
endemis seperti Jayawijaya dan daerah pemekaran di sekitarnya.
Kata kunci: Babi, ELISA, Pasar Remu Sorong, Sistiserkosis.
ABSTRACT
YULIANA FATIE. 2014. Seroprevalence of Cysticercosis in Porcine in Remu
Market Sorong,West Papua. Supervised by FADJAR SATRIJA and SRI
MURTINI.
Taenia solium and Cysticercus cellulosae are transmitted depending on
environmental sanitation and maturity level of the porcine meat. The study of the
incidence of cysticercosis in West Papua has not done, the aim of this study were
determine the incidence of cysticercosis in pigs which by examined sold in Remu
Market Sorong, West Papua. The study was done by examined 30 samples of
pigs, serum, meat, and viscera.The samples were observed to detect the present of
the cysts of Cysticercus cellulosae. The result shows Cysticercus cellulosae cysts
was absent in both porcine meat and viscera. The serum was examined using
Sandwich ELISA method to detect the presence of Cysticercus cellulosae antigen.
The result of ELISA test showed only one sample (3.33%) contains Cysticercus

cellulosae antigen. It can be concluded that the serologic prevalence of
Cysticercus cellulosae in Sorong is low. This could be influenced by
environmental sanitation, marketing system, and the different way to process
porcine meat between Sorong, and other endemic area such as Jayawijaya and
Paniai District.
Keywords: Porcine, ELISA, Remu Market Sorong, Cysticercosis.

PREVALENSI SEROLOGI SISTISERKOSIS PADA BABI
YANG DIJUAL DI PASAR REMU KOTA SORONG
PAPUA BARAT

YULIANA FATIE
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kedokteran Hewan
pada
Fakultas Kedokteran Hewan

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR
2014

PRAKATA
Puji dan syukur Penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Judul yang
dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Juli hingga September
2012 ini adalah Prevalensi Serologi Sistiserkosis Pada Babi yang Dijual di Pasar
Remu Kota Sorong Papua Barat.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Drh Fadjar Satrija MSc PhD
selaku pembimbing skripsi utama yang telah banyak memberikan bimbingan dan
saran selama penyelesaian skrpsi ini serta Dr Drh Sri Murtini MSi selaku
pembimbing akademik dan skripsi yang telah banyak mengarahkan dalam
pembelajaran akademik dan memberikan saran serta bimbingan selama
penyelesaian skripsi ini. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan pada Bapak
Beny Oropa, Paulus Karet, dan Nimbrot Harra yang telah banyak membantu
selama pengambilan sampel di lapangan. Ungkapan terima kasih juga
disampaikan kepada Bapak Karel Fatie serta seluruh keluarga, atas segala doa dan
kasih sayangnya serta seluruh teman-teman Imapa Bogor dan Geochelone FKH
46.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Agustus 2014
Yuliana Fatie

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
TINJAUAN PUSTAKA
Klasifikasi dan Morfologi Taenia solium
Siklus Hidup Taenia solium
Taeniasis dan Sistiserkosis pada manusia
Sistiserkosis pada Babi

Metode deteksi sistiserkosis
METODE PENELITIAN
Waktu dan Tempat
Desain Penelitian
Deteksi dan Identifikasi sistiserkus pada babi
Protokol ELISA
HASIL DAN PEMBAHASAN
Tingkat kejadian sistiserkosis pada babi
Kondisi peternakan babi
Cara pengolahan dan pola makan masyarakat Sorong
Rantai pemasaran daging babi
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
RIWAYAT HIDUP

vii
vii

vii
1
1
1
2
2
2
3
3
4
4
5
5
5
7
9
10
10
12
12

13
15
17

DAFTAR TABEL
1 Daerah asal dan jumlah babi yang dilakukan pemeriksaan postmortem
dan serologis
2 Hasil pengamatan dan wawancara kondisi peternakan
3 Hasil pengamatan dan wawancara cara pengolahan dan cara makan
4 Hasil pengamatan dan wawancara rantai pemasaran daging babi

7
9
10
11

DAFTAR GAMBAR
1 Siklus hidup Taenia solium
2 Kondisi babi yang diumbar & dikandangkan sepanjang hari
3 Cara menyembelih dan menjual daging babi di pasar Remu Sorong


3
9
12

DAFTAR LAMPIRAN
l Nilai absorbansi pembacaan ELISA

15

PENDAHULUAN
Sistiserkosis merupakan salah satu penyakit parasitik yang disebabkan
oleh infeksi larva metacestoda atau Cysticercus cellulosae dari Taenia solium.
Babi merupakan inang antara dari Taenia solium dan berperan sebagai sumber
infeksi Cysticercus cellulosae bagi manusia. Sistiserkosis sering terjadi pada
daerah yang banyak mengkonsumsi daging babi dan memiliki sanitasi lingkungan
yang rendah.
Kasus sistiserkosis dan taeniasis sering ditemukan di Propinsi Sumatra
Utara, Bali, dan Papua. Pada tahun 2007 Propinsi Papua dimekarkan wilayahnya
menjadi dua propinsi yaitu Propinsi Papua dan Papua Barat. Propinsi Papua

memiliki dua Kabupaten yang endemis sistiserkosis yaitu Jayawijaya dan Paniai
(Salim et al. 2009). Sorong dan wilayah lainnya di Propinsi Papua Barat
merupakan wilayah yang kurang mendapat informasi tentang bahaya dan dampak
penyakit ini namun memiliki potensi untuk terjadinya sistiserkosis. Studi tentang
kejadian sistiserkosis di Papua Barat pernah dilakukan di Kabupaten Manokwari
dengan memeriksa 274 sampel serum manusia dan terbukti delapan diantaranya
positif mengandung sistiserkus (Wandra et al. 2007), sedangkan studi mengenai
kejadian sistiserkosis pada babi di wilayah Propinsi Papua Barat belum pernah
dilakukan. Studi tentang kejadian sistiserkois pada manusia dan babi serta
penyebarannya di Propinsi Papua lebih banyak dilakukan di Kabupaten
Jayawijaya, Paniai, serta beberapa daerah pemekaran dari Jayawijaya yaitu
Yahukimo, Tolikara, dan Pegunungan Bintang (Subahar et al. 2000; Wandra et al.
2003).

Perumusan Masalah
Wilayah di Propinsi Papua Barat merupakan wilayah yang belum
diketahui data kejadian sistiserkosis pada babi sehingga penelitian ini didesain
untuk mengetahui :
1. Tingkat kejadian sistiserkosis pada babi di Sorong
2. Pengaruh manajemen pemeliharaan, sanitasi lingkungan, dan pola

pengolahan, mata rantai pemasaran serta tingkat konsumsi daging babi
terhadap kejadian sistiserkosis di Sorong

Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan mengetahui tingkat kejadian sistiserkosis pada babi
yang dijual di Pasar Remu Kota Sorong, Papua Barat.

2
Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi bagi
pemerintah Kota dan Kabupaten Sorong untuk meningkatkan usaha dalam
pengendalian dan pencegahan kejadian sistiserkosis. Selain itu, diharapkan dapat
menambah pengetahuan mengenai pengaruh manajemen pemeliharaan, sanitasi
lingkungan, dan pola pengolahan daging terhadap kejadian sistiserkosis di Sorong,
Papua Barat.

TINJAUAN PUSTAKA
Klasifikasi dan Morfologi Taenia solium
Taenia solium merupakan salah satu jenis cacing pita yang tinggal dan
hidup di dalam usus halus manusia. Dalam klasifikasi taksonomi cacing pita ini
termasuk dalam kelas Eucestoda, ordo Taenidae, family Taenidae dan genus
Taenia. Tergolong dalam satu genus dengan Taenia solium adalah Taenia
saginata dan Taenia asiatica yang juga bersifat zoonosis (Rajshekkhar et al.
2003).
Cacing dewasa dapat tumbuh hingga mencapai panjang 2-8 meter di dalam
usus halus manusia. Tubuh cacing ini terdiri atas tiga bagian yaitu skoleks, leher,
dan strobila. Skoleks merupakan anggota tubuh yang dapat digunakan untuk
mengidentifikasi spesies Taenia dan berfungsi untuk melekat pada dinding usus.
Strobila merupakan bagian tubuh yang terdiri dari rangkaian proglotida yang
terletak di belakang leher. Proglotida terbagi atas tiga bagian berdasarkan
perkembangan organ reproduksinya yaitu proglotida muda, dewasa, dan gravid
(mature). Setiap proglotid gravid dapat mengeluarkan 40.000 telur (Levine 1994).

Siklus Hidup Taenia solium
Siklus hidup cestoda umumnya memerlukan satu atau lebih induk semang
antara. Telur infektif dari cestoda akan berkembang biak menjadi larva di dalam
tubuh induk semang antara jika telur infektif tersebut termakan oleh inang antara.
Induk semang defenitif akan terinfeksi oleh cestoda jika mengkonsumsi daging
induk semang antara yang mengandung kista.

3

Gambar 1 Siklus hidup T. solium (CDC 2013)

Siklus hidup Taenia solium diawali ketika cacing dewasa yang hidup di
usus halus manusia melepaskan segmen proglotid yang mengandung telur infektif
dan keluar dari tubuh manusia bersama feses.Telur infektif yang dikeluarkan jika
termakan oleh babi maka di dalam tubuh babi, telur akan berkembang menjadi
larva yang mendiami otot-otot pengunyah seperti otot masseter dan lidah serta
otot-otot yang banyak bergerak seperti jantung, diafragma, dan kaki belakang.
Daging yang mengandung kista jika termakan dalam kondisi kurang matang maka
kista akan berkembang menjadi cacing dewasa di dalam organ tubuh manusia.
Selain itu, manusia juga dapat terinfeksi jika secara tidak sengaja menelan telur
berembrio melalui makanan/air yang tercemar oleh feses penderita taeniasis. Telur
cacing juga dapat masuk ke dalam tubuh manusia melalui mekanisme autoinfeksi
yaitu penderita taeniasis akan menelan telur berembrio melalui tangannya yang
tercemar feses (Kraft 2007).

Taeniasis dan Sistiserkosis pada Manusia
Taniasis dan sistiserkosis sering terjadi di negara berkembang yang
memiliki populasi dan tingkat konsumsi daging babi yang tinggi serta rendahnya
tingkat pendidikan dan sarana prasarana (Dorny et al. 2003). Kasus sistiserkosis
pada manusia ditandai dengan adanya kista Taenia solium di dalam organ otot,
otak, mata, dan jantung manusia. Gejala yang ditimbulkan penderita yaitu gagal
jantung, hidrosephalus, gangguan penglihatan, epilepsi serta gangguan lainnya
tergantung pada tempat predileksi dari larva ini.

Sistiserkosis pada Babi
Beberapa jenis sistiserkus yang sering ditemukan pada babi yaitu
Cysticercus cellulosae, Cysticercus tenuicollis dan kista Echinococcus. Data
kejadian sistiserkosis pada babi di Indonesia masih terbatas. Studi Dharmawan
(1990) pada babi yang di potong di Rumah Potong Hewan (RPH) Denpasar
menunjukkan tingkat prevalensi Cysticercus tenuicollis mencapai 16,5% dan

4
Cysticercus cellulosae mencapai 0.12%. Maitindom (2008) melakukan studi pada
babi yang di jual di pasar Jibaman Kabupaten Jayawijaya Papua dengan tingkat
prevalensi mencapai 77,1% untuk Cysticercus cellulosae. Infeksi ringan
sistiserkosis pada babi tidak memperlihatkan dampak yang serius namun memiliki
dampak ekonomis yaitu adanya penolakan daging pada pemeriksaan postmortem,
baik sebagai daging untuk konsumsi lokal ataupun untuk diekspor sehingga
merugikan baik untuk pemilik, ekonomi secara regional maupun nasional (Radfar
et al. 2005).

Metode Deteksi Sistiserkosis
Metode yang sering digunakan untuk mendiagnosa taeniasis dan
sistiserkosis pada manusia maupun hewan meliputi metode serologis dan non
serologis. Metode serologis yang sering digunakan yaitu uji enzyme linked
immunosorbent assay (ELISA) dan enzyme linked immunoelectro transfer blot
(EITB). Uji ELISA digunakan untuk mendeteksi keberadaan Cysticercus
cellulosae melalui antibodi anti Cysticercus cellulosae dalam serum (Sato et al.
2003). Prinsip kerja ELISA yaitu mendeteksi keberadaan ikatan spesifik antara
antigen dan antibodi atau sebaliknya. Teknik EITB merupakan salah satu tes yang
paling spesifik yang memiliki tingkat spesifitasnya mencapai 100% (Tsang et al.
1989, dalam Dorny et al. 2003). Keuntungan dari uji serologis yaitu dapat
digunakan untuk mendiagnosa penyakit pada hewan hidup serta relatif tidak
mahal dan mudah dilakukan untuk sejumlah besar sampel serum (Dorny et al.
2003).
Metode non serologis yang sering digunakan yaitu palpasi lidah dan
pemeriksaan postmortem (OIE 2008). Teknik palpasi lidah membutuhkan
keahlian yang tinggi, memiliki sensitifitas yang rendah dan hanya mampu
mendeteksi ternak yang terinfeksi berat. Pemeriksaan postmortem digunakan
untuk mendeteksi sistiserkus pada daging babi sebelum dijual atau dikonsumsi.
Teknik palpasi lidah memiliki sensitivitas 16.1% dan spesifitas 100%, sedangkan
pemeriksaan postmortem memiliki sensitivitas 38.7% dan spesifitas 100% (Dorny
et al. 2004). Model ELISA yang mendeteksi antibodi memiliki sensitivitas 45.2%
dan spesifitas 88.2%, sedangkan model ELISA yang mendeteksi antigen memiliki
sensitivitas 92.3% dan spesifitas 98.7% (Van Kerckhoven et al. 1998, dalam
Dorny et al. 2000).

METODE PENELITIAN
Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilakukan pada bulan Juli hingga September 2012.
Pengambilan sampel serum dan pengamatan terhadap daging babi serta organ
viseral dilakukan di Pasar Remu Kota Sorong, Papua Barat. Sampel serum yang
diambil berasal dari sembilan Distrik ( Tabel 1) di wilayah Kota dan Kabupaten

5
Sorong. Identifikasi sistiserkus dari sampel serum yang diambil dilakukan di
Laboratorium Terpadu, Departemen Ilmu Penyakit Hewan dan Kesehatan
Masyarakat Veteriner, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor.

Desain Penelitian
Penelitian ini terdiri dari tiga bagian. Bagian pertama yaitu dilakukan
pengambilan sampel serum dari 30 ekor babi yang disembelih dan dijual di Pasar
Remu Kota Sorong, Papua Barat. Sebelum babi disembelih, dilakukan pencatatan
mengenai asal Distrik, jenis kelamin, bobot badan, umur, dan tanggal
pengambilan sampel. Selanjutnya, dilakukan pengambilan sampel darah dan
pengamatan terhadap daging babi dan organ viseral. Sampel darah yang diambil
tersebut kemudian diinkubasi dalam suhu ruang selama satu jam. Darah tersebut
kemudian diinkubasikan kembali dalam refrigerator selama 24 jam pada suhu 4
°C hingga terbentuk serum. Setelah terbentuk serum, selanjutnya dipanen dengan
cara meletakkannya dalam tabung mikro berukuran 1.5 ml lalu disimpan di freezer
hingga diidentifikasi. Bagian kedua yaitu dilakukan pengamatan dan wawancara
terhadap manajemen dan sistim pemeliharaan, rantai pemasaran, cara pengolahan
daging, dan sanitasi lingkungan. Pengamatan dan wawancara dilakukan pada
sembilan Distrik yang berbeda dengan mewawancarai dua responden berbeda tiap
Distriknya. Selain itu, dilakukan juga wawancara pada dua orang penjual daging
dan dilakukan pengamatan terhadap kondisi tempat jual beli daging serta pasar
secara keseluruhan. Bagian ketiga yaitu dilakukan pengambilan data populasi
ternak babi di Dinas Peternakan Kota dan Kabupaten Sorong.

Deteksi dan Identifikasi Sistiserkus pada Babi
Deteksi keberadaan sistiserkus pada babi yang dijual di Pasar Remu Kota
Sorong dilakukan dengan menggunakan metode Sandwich ELISA. Deteksi
keberadaan sistiserkus dilakukan terhadap 30 sampel serum babi. Serum kontrol
positif yang digunakan berasal dari penelitian Assa (2011) yang dalam
pemeriksaan postmortem ditemukan adanya sistiserkus dalam daging babi. Babi
tersebut berasal dari peternakan rakyat di Kabupaten Jayawijaya, sedangkan
serum kontrol negatif yang digunakan berasal dari peternakan di Jawa Tengah.

Protokol ELISA
Identifikasi sistiserkus pada penelitian ini dilakukan dengan metode
Sandwich ELISA. Metode ini dikembangkan oleh Institut of Tropical Medicine
Antwerpen, Belgia (ITM 2009) yang berfungsi mendeteksi keberadaan
Cysticercus cellulosae. Metode ini menggunakan antibodi monoklonal sebagai
bahan pendeteksi keberadaan antigen Cysticercus cellulosae dalam sampel serum.
Metode ini memiliki sembilan tahapan yaitu pre-treament serum, coating sumuran
cawan, blocking, peletakan sampel serum, pemberian antibodi pendeteksi,
konjugat, substrat, stop solution, dan pembacaan nilai absorbansi.

6
Pre-treatment serum dilakukan dengan mencampurkan 37.5 µL serum dan
37.5 µL larutan TCA (tricloroacetic acid 5% dalam aquabides) dalam tabung
mikro. Campuran tersebut dikocok dengan vortex hingga homogen lalu diinkubasi
pada suhu ruang selama 20 menit. Setelah diinkubasi, campuran tersebut di vortex
lagi lalu disentrifus selama sembilan menit pada kecepatan 12000 g. Setelah
sembilan menit, diambil supernatant yang terbentuk dengan pipet mikro lalu
dicampurkan dengan larutan karbonat/bikarbonat pH 10 sebanyak 37.5 µL di
dalam tabung mikro. Campuran tersebut kemudian disimpan pada suhu 4 °C
hingga akan digunakan.
Coating dilakukan dengan melapisi sumuran cawan dengan antibodi
penangkap dalam konsentrasi 5 µg/mL coating buffer karbonat/bikarbonat pH 9.8.
Antibodi penangkap yang digunakan dalam penelitian ini berupa antibodi
monoklonal anti Taenia saginata (kode produksi : B158C11A10). Sebanyak 50
µL antibodi penangkap dimasukkan ke dalam masing- masing sumur kecuali
sumur A1 dan B1. Sumur A1 dan B1 merupakan sumur kontrol untuk substrat
buffer dan hanya diisi dengan 50 µL coating buffer. Selanjutnya, dilakukan
inkubasi di dalam shaker inkubator selama 30 menit pada suhu 37 °C. Setelah itu,
dilakukan pencucian dengan PBS Tween-20 0.05% (buffer pencuci) sebanyak satu
kali menggunakan pipet mikro multi channel.
Blocking dilakukan untuk menutup permukaan sumur yang tidak dilekati
oleh antibodi penangkap. Tahap ini dilakukan dengan memasukkan 50 µL larutan
blocking berupa New Born Calf Serum 1% di dalam buffer pencuci pada setiap
sumur. Cawan tersebut diinkubasi dalam shaker inkubator selama 15 menit pada
suhu 37 °C.
Pemasukan sampel dilakukan dengan memasukkan sampel serum yang
telah dipre-treatment sebanyak 50 µL ke dalam masing-masing sumur sesuai
dengan pola. Cawan tersebut, kemudian diinkubasi dalam shaker inkubator selama
15 menit pada suhu 37 °C. Kemudian, tiap-tiap sumur dalam cawan tersebut
dicuci sebanyak lima kali menggunakan buffer pencuci.
Pemberian antibody pendeteksi dilakukan dengan memasukan sebanyak
50 µL antibodi pendeteksi dengan konsentrasi 1.25 µg/mL larutan blocking ke
dalam setiap sumur kecuali sumur A1 dan B1. Sumur A1 dan B1 hanya diisi
dengan larutan blocking sebanyak 50 µL. Selanjutnya, cawan tersebut
diinkubasikan di dalam shaker inkubator pada suhu 37 °C selama 15 menit.
Antibodi pendeteksi yang digunakan berupa antibodi monoklonal anti Taenia
saginata yang telah dikonjugasikan dengan biotin.
Pemberian konjugat dilakukan dengan cara memasukkan konjugat berupa
streptavidin (1/10000 µl larutan blocking) sebanyak 50 µL kecuali sumur A1 dan
B1. Kedua sumur ini diisi dengan 50 µL larutan blocking. Kemudian cawan
tersebut diinkubasikan dalam shaker inkubator pada suhu 37 ºC selama 15 menit.
Selanjutnya dilakukan pencucian dengan buffer pencuci sebanyak lima kali.
Pemberian substrat dilakukan dengan cara melarutkan ortho phenil
diamine (OPD) yang dibuat dengan cara melarutkan 1 tablet OPD dalam 10 mL
aquabides dengan ditambahkan H2O2 sebanyak 2.5 µL. Tahap ini dilakukan
dengan cara meletakkan 50 µL substrat ke dalam setiap sumur dan dilakukan
dalam kondisi ruangan gelap. Setelah itu, cawan tersebut diinkubasi pada suhu 30
ºC selama 15 menit di dalam inkubator.

7
Pemberian stop solution dilakukan dengan cara menambahkan 50 µL
larutan stop solution pada setiap sumur. Tahap ini bertujuan menghentikan reaksi
pada sumur. Larutan stop solution yang digunakan berupa asam kuat H2SO4.
Pembacaan nilai absorbansi dilakukan dengan menggunakan ELISA
reader dengan panjang gelombang 492 nm dan 655 nm. Penghitungan rataan nilai
absorbansi dari masing-masing sampel serum dilakukan setelah didapat nilai
absorbansi dari hasil pembacaan. Penentuan nilai cutoff didapatkan dari hasil
perhitungan nilai t-student dari kontrol negatif.
Status sampel serum ditentukan berdasarkan rasio rata-rata dari nilai
absorbansi (OD) terhadap nilai cut off. Serum dinyatakan positif mengandung
antigen sirkulasi Cysticercus cellulosae bila nilai rasio antara rataan nilai
absorbansinya dengan cut off bernilai lebih besar dari 1. Serum dinyatakan negatif
mengandung antigen sirkulasi Cysticercus cellulosae bila nilai rasio antara rataan
nilai absorbansinya dengan cut off kurang dari 1. Serum positif menunjukkan
bahwa di dalam serum tersebut mengandung antigen Cysticercus cellulosae,
sedangkan serum negatif menunjukkan bahwa serum tersebut tidak mengandung
antigen Cysticercus cellulosae. Data hasil pemeriksaan ELISA selanjutnya
dianalisis dengan meteode deskriptif.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Tingkat Kejadian Sistiserkosis pada Babi
Penelitian ini dilakukan dengan memeriksa 30 sampel daging babi dan
organ viseral dari 19 ekor babi betina dan 11 ekor babi jantan lalu diambil sampel
serumnya untuk diteliti lebih lanjut dengan metode Sandwich ELISA. Fokus
penelitian ini yaitu melihat ada tidaknya sestiserkus pada daging babi dan organ
viseral serta mengambil serumnya sehingga tidak mempertimbangkan faktor
bobot badan, ras, umur, dan jenis kelamin dari ternak yang diambil. Pemeriksaan
postmortem dan serologis secara lengkap tersaji pada Tabel 1 berikut ini.
Tabel 1 Daerah asal dan jumlah babi yang dilakukan pemeriksaan postmortem dan
serologis
Daerah Asal
(Distrik)
Sorong Manoi
Sorong Utara
Sorong Timur
Sorong Kota
Sorong Barat
Malawei
Salawati
Samatae
Kalobo
Total

Pemeriksaan
Postmortem
Positif Negatif
0
6
0
4
0
1
0
3
0
1
0
2
0
4
0
7
0
2
0
30

Pemeriksaan
Serologis
Positif
Negatif
1
5
0
4
0
1
0
3
0
1
0
2
0
4
0
7
0
2
1
29

Jenis Kelamin
Jantan
2
1
0
1
0
1
2
3
1
11

Betina
4
3
1
2
1
1
2
4
1
19

Jumlah
(Ekor)
6
4
1
3
1
2
4
7
2
30

8
Hasil pemeriksaan postmortem dari 30 ekor babi yang diambil sampel
serumnya pada Tabel 1 menunjukkan bahwa tidak ditemukannya kista sistiserkus
pada daging babi dan organ viseral. Pemeriksaan postmortem pada penelitian ini
dilakukan dengan cara mengamati atau memeriksa daging babi dan organ viseral
secara menyeluruh tetapi tidak dilakukan penyayatan. Hasil pemeriksaan
postmortem ini sangat berbeda jika dibandingkan dengan penelitian yang
dilakukan oleh Maitindom (2008) di Jayawijaya. Maitindom melakukan
pemeriksaan postmortem terhadap 12 ekor babi yang disembelih dan di jual di
Pasar Jibaman dan terlihat tujuh ekor diantaranya positif (58.3%) mengandung
Cysticercus cellulosae. Hal ini menunjukkan bahwa kasus sistiserkosis pada babi
yang dijual di Pasar Jibaman tersebut cukup tinggi. Kedua hasil penelitian ini
menunjukkan adanya perbedaan yang sangat besar karena disebabkan oleh
perbedaan Kota atau Kabupaten asal dilakukanya pengambilan sampel, kondisi
sanitasi lingkungan, jumlah sampel yang diambil, serta perbedaan manajemen
pemeliharaan dan cara mengolah makanan.
Hasil uji serologis pada Tabel 1 menunjukkan bahwa dari 30 sampel serum
yang diperiksa dari sembilan Distrik yang berbeda terdapat satu sampel positif
mengandung antigen Cysticercus cellulose dengan prevalensi 3.33 %. Data uji
serologis pada Tabel 1 menunjukkan bahwa prevalensi sistiserkosis di wilayah
Kota dan Kabupaten Sorong termasuk dalam kategori daerah non endemik karena
presentase kasus sistiserkosis yang ditemukan berada di bawah sepuluh persen.
Pengkategorian ini sesuai dengan pernyataan dari Garcia et al. (2003) yang
menyatakan bahwa suatu daerah dikatakan endemis sistiserkosis jika memilki
prevalensi lebih dari sepuluh persen.
Jumlah sampel yang diperiksa dalam penelitian ini sebanyak 30 sehingga
satu temuan positif akan memberikan presentase kasus yang besar. Jumlah sampel
yang diperiksa berjumlah 30 karena sesuai dengan jumlah babi yang disembelih
dan dijual di pasar tersebut per harinya yaitu 2- 3 ekor. Selain itu, populasi babi di
wilayah Kota dan Kabupaten Sorong yang tidak terlalu banyak yaitu kurang dari
1545 ekor sehingga pengambilan sejumlah sampel untuk diperiksa sudah
representative. Metode pemeriksaan yang digunakan pada penelitian ini yaitu
pemeriksaan postmortem dan teknik deteksi antigen ELISA (Ag – ELISA).
Masing-masing metode memiliki tingkat sensitivitas dan spesifitas yang berbeda
sehingga dapat memberikan hasil uji yang berbeda. Antigen ELISA memiliki
sensitivitas yang lebih tinggi dari pemeriksaan postmortem sehingga mampu
mendeteksi sistiserkosis pada tingkat infeksi ringan (Dorny et al. 2000).
Pemeriksaan postmortem memiliki sensitivitas yang rendah sehingga dapat
menyebabakan tidak terdeteksinya Cysticercus cellulosae pada tingkat infeksi
ringan.
Metode antigen ELISA yang digunakan pada penelitian ini bersifat genus
spesifik sehingga dapat menyebabkan terjadinya reaksi silang karena sifatnya
yang dapat mendeteksi antigen dari metacestoda spesies cacing lainnya. Antigen
ELISA ini dapat mendeteksi antigen sistiserkus lain seperti Cysticercus bovis (T.
saginata), metacestoda dari T. asiatica dan Cysticercus tenuicolis dari T.
hydatigena (ITM 2009). Peluang terjadinya reaksi silang pada penelitian ini dapat
saja terjadi karena masyarakat di wilayah Sorong banyak juga yang memelihara
anjing, namun belum ada penelitian di wilayah ini yang menjelaskan penyebab

9
utama kejadian sistiserkosis pada anjing sehingga satu-satunya penyebab
sistiserkosis di Papua adalah Cysticercus cellulosae (Ito et al. 2008).

Kondisi Peternakan Babi
Sistem peternakan babi di wilayah Kota dan Kabupaten Sorong umumnya
bersifat semi intensif. Hasil wawancara pada Tabel 2 menunjukkan bahwa
sebagian besar ternak babi dipelihara dengan cara di kandangkan namun ada juga
sebagian kecil yang diumbar pada siang hari dan malamnya dikandangkan. Hasil
pengamatan dan wawancara terhadap kondisi peternakan tersaji pada Tabel 2.
Tabel 2 Hasil pengamatan dan wawancara kondisi peternakan
Pertanyaan
Cara Pemeliharaan ternak babi
a) Dikandangkan
b) Dilepas siang hari lalu malam dikandangkan
Sanitasi kandang dan lingkungan sekitar peternakan
a) Baik
b) Cukup baik
Peternak dan warga punya jamban
a) Ya
b) Tidak
Warga tidak defekasi di sembarang tempat
a) Ya
b) Tidak
Jenis pakan yang diberikan
a) Ubi-ubian
b) Sisa makanan warung
c) Ubi dan hijauan

Hasil wawancara
14
4
2
15
18
0
18
0
8
2
8

Babi yang dipelihara dengan cara dikandangkan sepanjang hari
menyebabkan peluang terjadinya sistiserkosis sangat kecil karena babi tidak dapat
mengais makanan pada tanah atau lingkungan yang tercemar larva sistiserkus.
Selain itu, kondisi sanitasi kandang dan lingkungan sekitar tempat pemeliharaan
babi juga terlihat cukup baik sehingga dapat terhindar dari sistiserkosis dan
gangguan penyakit lainnya (Gambar 2B).

A

B

Gambar 2 Kondisi pemeliharaan babi di Kota dan Kabupaten Sorong
Ket : A = Diumbar siang hari & malam di kandangkan, B = dikandangkan
sepanjang hari.

10
Kondisi sanitasi lingkungan di wilayah Kota dan Kabupaten Sorong cukup
baik jika dibandingkan dengan Jayawijaya. Sanitasi Lingkungan di wilayah ini
terlihat cukup baik karena walaupun terdapat sebagian kecil ternak babi yang
dipelihara dengan cara diumbar namun peternak serta tetangga sekitarnya
memiliki jamban dan tidak melakukan defekasi di sembarang tempat sehingga
memiliki resiko yang kecil terhadap kejadian sistiserkosis. Hal ini berbeda dengan
hasil penelitian Maitindom (2008) menemukan kasus sitiserkosis yang cukup
tinggi di Jayawijaya karena masyarakat tidak memiliki jamban dan melakukan
defekasi di sembarang tempat.
Cara Pengolahan dan Pola makan Masyarakat Sorong
Hasil wawancara pada Tabel 3 menunjukkan bahwa masyarakat Sorong
memiliki kebiasaan mengolah makanan yang berbeda dengan wilayah Papua lain
seperti Jayawijaya dan daerah pemekaran disekitarnya. Hasil pengamatan dan
wawancara terhadap cara pengolahan dan pola makan tersaji pada Tabel 3.
Tabel 3 Hasil pengamatan dan wawancara cara pengolahan dan pola makan
Pertanyaan
Hasil wawancara
Cara mengolah daging
a) Dimasak
18
b) Bakar batu
0
Pangan hewani yang sering dikonsumsi
a) Ikan
14
b) Ayam
2
c) Daging babi
2

Masyarakat di Sorong mengolah makanana terutama daging babi dengan
cara dimasak hingga matang dan tidak memiliki kebiasaan bakar batu sehingga
kejadian sistiserkosis di wilayah ini tidak tinggi. Hal ini dikarenakan hampir
sebagian besar wilayah Sorong dihuni oleh campuran suku-suku baik dari Papua
maupun non Papua sehingga telah terjadi pencampuran budaya yang berdampak
pada perubahan cara hidup dan mengolah makanan. Hal ini terlihat dengan tidak
ditemukannya kista sistiserkus pada pemeriksaan postmortem dan prevalensi
Cysticercus cellulosae yang rendah setelah diuji dengan metode Sandwich ELISA.
Pangan protein hewani yang sering dikonsumsi masyarakat di wilayah ini
yaitu ikan. Data pada Tabel 3 menunjukkan bahwa protein hewani yang paling
banyak dikonsumsi yaitu ikan karena harganya yang relatif lebih murah dan
mudah didapat sehingga menyebabkan minat masyarakat untuk mengkonsumsi
daging babi menjadi sedikit lebih rendah jika dibandingkan dengan Jayawijaya.
Selain ikan, protein hewani lainnya yang sering dikonsumsi yaitu daging ayam,
tikus hutan, burung, udang, dan makanan laut lainnya.

Rantai Pemasaran Daging Babi
Hasil wawancara dengan penjual daging babi pada Tabel 4 menunjukkan
bahwa para penjual biasanya melakukan survei ke peternak untuk melihat babi

11
lalu dilakukan proses penawaran harga sehingga dapat dibeli. Biasanya ternak
babi langsung disembelih di tempat ataupun di bawa oleh penjual lalu disembelih
pada tempat khusus yang dipakai untuk menyembelih yang letaknya dekat dengan
area pasar . Hasil pengamatan dan wawancara terhadap mata rantai pemasaran
daging babi tersaji pada Tabel 4.
Tabel 4 Hasil pengamatan dan wawancara rantai pemasaran daging babi
Pertanyaan
Cara mendapat daging babi untuk di jual
a) Survei ke peternak
b) Peternak langsung menghubungi penjual
Tempat penyembelihan babi
a) Di tempat peternak
b) Di tempat khusus dekat pasar
Jumlah babi yang dipotong dan dijual per hari
a) 1-2 ekor
b) 2-3 ekor
c) 4-5 ekor
d) 5-7 ekor
Kondisi sanitasi pasar
a) Baik
b) Cukup baik
Kondisi tempat daging babi dijajakan
a) Di tanah
b) Di atas meja beralaskan daun pisang
Tempat penyembelihan dan penjualan daging terpisah
a) Ya
b) Tidak
Apakah terdapat rumah potong hewan untuk babi
a) Ya
b) Tidak

Hasil wawancara
16
2
2
16
4
10
0
4
6
12
0
18
18
0
0
18

Jumlah ternak babi yang dijual di pasar Remu Sorong berkisar antara 2-3
ekor per hari pada hari biasa dan 5-7 ekor per hari pada hari raya (natal dan tahun
baru). Jumlah babi yang disembelih dan dijual ini sangat sedikit jika dibandingkan
dengan yang disembelih dan dijual di pasar Jibaman Jayawijaya yaitu sebanyak 510 ekor per hari (Maitindom 2008). Sedikitnya Jumlah babi yang dipotong dan
dijual di pasar remu Sorong sebanding dengan populasi ternak babi yang tidak
tinggi di wilayah Kota Sorong yaitu sebesar 895 ekor dan Kabupaten Sorong
sebesar 650 ekor (Dinas Peternakan Kota dan Kabupaten Sorong 2012).
Hasil wawancara dan Gambar 4 menunjukkan bahwa daging babi di jual di
Pasar Remu Sorong dengan cara diletakkan di atas meja yang beralaskan daun
pisang (Gambar C & D). Cara pemasaran daging babi yang demikian dapat
mengurangi kejadian sistiserkosis dari sanitasi lingkungan pasar yang buruk dan
kontaminasi silang lainnya. Selain itu, dapat dilihat pada Gambar 4 bahwa tempat
pemotongan dan pembersihan daging babi dilakukan pada tempat yang terpisah
yaitu di tempat yang penjual sudah siapkan sebagai tempat pemotongan dan dapat
juga langsung di tempat peternak (Gambar A & B). Hal ini dapat menjadi sumber
pencemaran sistiserkosis jika tidak dilakukan dengan bersih dan higiene karena
belum terdapatnya rumah potong hewan untuk babi.

12

A

B

C

D

Gambar 3 Cara menyembelih dan menjual daging babi di Pasar Remu
Sorong
Ket : A & B = Proses penyembelihan, C & D = Cara daging babi dijajakan

SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Tingkat kejadian sistiserkosis pada babi yang dijual di pasar Remu Sorong
adalah tergolong rendah dengan prevalensi 3.33%. Hasil uji ELISA dari 30
sampel yang diperiksa terbukti satu diantaranya mengandung antigen Cysticercus
cellulosae. Prevalensi sistiserkosis yang rendah ini terjadi karena dipengaruhi oleh
kondisi sanitasi lingkungan yang baik, tradisi atau budaya, sistem peternakan, cara
mengolah makanan, dan perilaku masyarakat yang berbeda antara masyarakat di
wilayah Kota dan Kabupaten Sorong dengan masyarakat di wilayah endemis
sistiserkosis seperti Jayawijaya dan daerah pemekaran di sekitarnya.

Saran
Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dengan besaran sampel yang lebih
representatif sehingga dapat diketahui lebih jelas prevalensi sistiserkosis di
wilayah ini.

13

DAFTAR PUSTAKA
Ansari JA, Karki P, Dwivedi S, Ghotekar LH, Rauniyar RK, Rijal S. 2003.
Neurocysticercosis.Kathmandu University Medical Journal.Vol.1(1):4855.
[CDC] Centers for Disease Control and Prevention. 2013. Cysticercosis [internet].
[diunduh
2013
Februari
08].
Tersedia
pada:
http://www.cdc.gov/parasites/cysticercosis/biology.html
Dharmawan NS. 1990. Tingkat kejadian sistiserkosis menurut metode
pemeriksaan kesehatan babi di Rumah Potong Hewan Denpasar [tesis].
Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
[Dinpet Kota] Dinas Peternakan Kota. 2012. Data Populasi Ternak Babi di
wilayah Kota Sorong.
[Dinpet Kab] Dinas Peternakan Kabupaten Sorong. 2012. Data Populasi Ternak
Babi di Wilayah Kabupaten Sorong.
Dorny P, Vercammen F, Brandt J, Vansteenkiste W, Berkvens D, Geerts S. 2000.
Sero epidemiological study of Taenia saginata cysticercosis in Belgian
cattle.VetParasitol. 88: 43-49.
Dorny P, Brandt J, Zoli A, Geerts S. 2003. Immunodiagnostic tools for human and
porcine cysticercosis.Acta Trop. 87: 79-86.
Dorny P, Phiri IK, Vercruysse J, Gabriel S, Willingham AL, Brandt J, Victor B,
Speybroeck, Berkvens D. 2004. A Bayesian approach for estimating
values for prevalence and diagnostic test characteristics of porcine
cysticercosis.Int J P arasitol. 34: 569-576.
Garcia HH, Gonzalez EA, Evans WA, Gilman RH. 2003. Taenia
soliumandcysticercosis.The Lancet. 361: 547-556.
[ITM] Institut of Tropical Medicine, Departement of Animal Health. 2009.
Detection of viable metacestoda of taenia spp. In human, porcine and
bovine serum samples with the use of a monoclonal antibody-based
sandwich ELISA. Antwerpen, Belgia.
Ito A, Sato Y, Nakao M, Nakaya K, Okamoto M, Wandra T, Kandun IN,
Anantaphruti MT, Waikagul J, Tiaoying L, Qiu D. 2008. Molecular and
Immunological diagnosis of taeniasis and cysticercosis in Asia and the
Pasific.Southheast Asian J Trop Med Public Health 39: 37-49.
Kraf R. 2007. Cysticercosis: an emerging parasitic disease. Am Fam Physician.76:
91-96.
Levine ND. 1994. Parasitologi Veteriner. Yogyakarta (ID): Gajah Mada
University Pr.
Maitindom FD. 2008. Studi kejadian sistiserkosis pada babi yang dijual di Pasar
Jibaman Kabupaten Jayawijaya Papua [tesis]. Bogor (ID): Institut
Pertanian Bogor.
[OIE]. Office International des Epizooties. 2008. Cysticercosis. Terrestrial
Manual:1216-1226.[terhubung
berkala]
http://www.oie.int/fileadmint/home/eng/Health_standards/tahm/2.09.05_
Cysticercosis.pdf. [ 8 Februari 2013].

14
Radfar MH, Tajalli S, Jlaljadesh M. 2005. Prevalence and morphological of
Cysticercus tenuicollis ( Taenia hydatigena cysticerci) from sheep and
goats in Iran. Vet Arhiv. 75: 469-476.
Rajshekkhar V, Joshi DD, Doanh NQ, De Van N, Xiaonong Z. 2003. Taenia
solium taeniasis/cysticercosis inAsia :Epidemiology, impact and issue.
Acta Tropica. 87: 53-60.
Salim L, Ang A, Handali S, Tsang VCW. 2009. Seroepidemiologic survey of
cysticercosis-taeniasis in four central highland district of Papua, Indonesia.
Am J Trop Med Hyg. 80: 384-388.
Sato MO, Yamasaki H, Sako Y, Nakao M, Nakaya K, Plancarte A, Kassuku AA,
Dorny P, Ito A, Geers S, Hashuguchi Y, Ortis WB. 2003. Evaluation of
tongue inspection and serology for diagnosis of Taenia solium
Cysticercosis in swine: usefulness of ELISA using purified glycoproteins
and recombinant antigen. Vet Parasitol 111: 309 -322.
Soulsby EJL. 1982. Helminths Arthropods and Protozoa of Domesticated
Animals. London (GB): Bailliere Tindal.
Subahar R et al.. 2000. Cysticercosis seropositivity in pigs of Jayawijaya District
Irian
Jaya
Indonesia.Majalah
Kesehatan
Masyarakat
Indonesia.Parasitologi 28: 344- 346. Di dalam: Maitindom FD. 2008. Studi
kejadian sistiserkosis pada babi yang dijual di Pasar Jibaman Kabupaten
Jayawijaya Papua [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Subahar R, Hamid A, Purba W, Widarso, Ito A, Margono SS. 2005.
Taeniasis/sistiserkosis di antara anggota keluarga di beberapa desa,
Kabupaten Jayawijaya, Papua.Makara Kesehatan. 9: 9-14.
Sutisna P, Fraser A, Kapti IN, Canul RR, Widjana DP, Craig PS, Allan JC. 1999.
Community prevalence study of taeniasis and cysticercosis in Bali,
Indonesia. Trop Med and Health. 4: 288-294.
Wandra T, Ito A, Yamasaki H, Margono SS, Suroso T. 2003.Taenia
soliumcysticercosis, Irian Jaya, Indonesia.Emerg Infect Dis. 9: 884- 5.

15

LAMPIRAN
Lampiran 1 Nilai Absorbansi Pembacaan ELISA
1
2
3
4
A 0.028(sc)
0.197(-1) 0.041(01) 0.065(09)
B 0.022(sc)
0.061(-2) 0.040(02) 0.253(10)
C 0.044(cc)
0.037(-3) 0.027(03) 0.063(11)
D 0.023(cc)
0.305(-4) 0.307(04) 0.032(12)
E 1.563(₊ 1) 0.238(-5) 0.060(05) 0.027(13)
F 1.516(₊ 1) 0.110(-6) 0.093(06) 0.051(14)
G 1.478(₊ 2) 0.435(-7) 0.114(07) 0.110(15)
H 1.277(₊ 2) 0.414(-8) 0.055(08) 0.043(16)

5
0.037(17)
0.028(18)
0.021(19)
0.037(20)
0.885(21)
0.034(22)
0.066(23)
0.121(24)

6
0.252(25)
0.025(26)
0.027(27)
0.030(28)
0.049(29)
0.036(30)

16

17

RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Jayapura, Propinsi Papua pada tanggal 05 Juli 1988
dari ayah Ambrosius Fatie dan ibu Bibiana Fatie. Penulis merupakan putri
pertama dari tiga bersaudara. Pendidikan formal Penulis dimulai dari SD Inpres
Dulan Pok-Pok Fak-Fak, Papua Barat dan lulus pada tahun 2001, yang kemudian
dilanjutkan ke SMPN 01 Fak-Fak dan lulus pada tahun 2004. Penulis
menyelesaikan pendidikan SMA di SMAN 01 Aimas Kabupaten Sorong dan lulus
pada tahun 2007. Penulis melanjutkan pendidikan ke IPB pada tahun yang sama
melalui jalur Beasiswa Utusan Daerah (BUD) dan mengikuti program
prauniversitas selama setahun lalu memilih mayor Kedokteran Hewan, namun
pada tahun 2008 ditempatkan pada Fakultas Peternakan selama setahun lalu tahun
2009 pindah mayor ke Fakultas Kedokteran Hewan.
Selama menjadi mahasiswa, Penulis mengikuti organisasi intra serta ekstra
kampus seperti, Himpunan Profesi Ruminansia, Keluarga Mahsiswa Katolik
(Kemaki) IPB dan Petugas Pemeriksa Hewan Kurban tahun 2009, 2010, 2011, dan
2012 serta menjabat sebagai wakil ketua Ikatan Mahasiwa Papua Bogor periode
2011-2013.

Dokumen yang terkait

Kajian epidemiologi sistiserkosis pada babi dan Karakterisasi Risiko daging babi bakar batu di Kabupaten Jayawijaya Papua

0 2 148

Studi Kejadian Sistiserkosis Pada Babi yang Dijual di Pasar Jibama Kabupaten Jayawijaya Papua

0 16 64

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Berjuang di antara Peluang Studi pada Pedagang Mama-mama Asli Papua di Pasar Remu Kota Sorong

0 1 23

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Berjuang di antara Peluang Studi pada Pedagang Mama-mama Asli Papua di Pasar Remu Kota Sorong T2 092011004 BAB I

0 0 3

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Berjuang di antara Peluang Studi pada Pedagang Mama-mama Asli Papua di Pasar Remu Kota Sorong T2 092011004 BAB II

0 0 12

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Berjuang di antara Peluang Studi pada Pedagang Mama-mama Asli Papua di Pasar Remu Kota Sorong T2 092011004 BAB IV

0 1 45

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Berjuang di antara Peluang Studi pada Pedagang Mama-mama Asli Papua di Pasar Remu Kota Sorong T2 092011004 BAB V

0 0 33

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Berjuang di antara Peluang Studi pada Pedagang Mama-mama Asli Papua di Pasar Remu Kota Sorong T2 092011004 BAB VI

0 0 20

TINGKAT PELAYANAN PASAR REMU DAN PASAR BOSWESEN DI KOTA SORONG | Bosawer | SPASIAL 13392 26732 1 SM

0 0 7

Profil dan Faktor yang Berhubungan dengan Masalah Perilaku pada Remaja di Kota Sorong Papua Barat

0 1 7