Analisis Faktor-Faktor Yang Memengaruhi Penguasaan Lahan Di Kabupaten Lamongan

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMENGARUHI PENGUASAAN
LAHAN DI KABUPATEN LAMONGAN: ANALISIS SENSUS
PERTANIAN 2013

ALFIANA AINURRAHMA

DEPARTEMEN ILMU EKONOMI
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Faktor-Faktor yang
Memengaruhi Penguasaan Lahan di Kabupaten Lamongan: Analisis Sensus
Pertanian 2013 adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing
dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun.
Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun
tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan
dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Agustus 2015
Alfiana Ainurrahma
NIM H14110005

ABSTRAK
ALFIANA AINURRAHMA. Analisis Faktor-Faktor yang Memengaruhi
Penguasaan Lahan di Kabupaten Lamongan. Dibimbing oleh NUNUNG
NURYARTONO.
Pola penguasaan lahan memengaruhi efektivitas sektor pertanian. Tujuan
utama penelitian ini adalah menganalisis faktor-faktor yang memengaruhi
penguasaan lahan pertanian dan menghitung koefisien Gini penguasaan lahan
pertanian di Kabupaten Lamongan. Data yang digunakan adalah data cross
section rumah tangga usaha pertanian di Kabupaten Lamongan . Data diperoleh
dari Sensus Pertanian 2013 dengan total observasi sebanyak 189.343 rumah
tangga pertanian. Penelitian ini menggunakan Analisis Regresi Berganda. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa usia kepala rumah tangga, jenis kelamin kepala
rumah tangga, ukuran rumah tangga, dan jenis pendapatan utama secara signifikan
memengaruhi penguasaan lahan basah. Sedangkan faktor yang tidak signifikan

memengaruhi penguasaan lahan kering adalah jenis kelamin kepala rumah dan
usia kepala rumah tangga. Terkait lahan basah sebagai sarana akumulasi aset bagi
rumah tangga petani, hasil regresi menunjukkan bahwa petani mengalami
penurunan dalam akumulasi marjinal lahan basah. Selain itu, koefisien Gini
penguasaan lahan pertanian di Kabupaten Lamongan adalah 0,49 dan
menunjukkan bahwa ketimpangan distribusi penguasaan lahan pertanian antar
rumah tangga usaha pertanian di Kabupaten Lamongan cukup moderat.
Kata kunci: Analisis Regresi Berganda, Akumulasi Aset, Koefisien Gini,
Penguasaan Lahan

ABSTRACT
ALFIANA AINURRAHMA. The Determinants of Land Holding: An
Analysis of Agricultural Census. Supervised by NUNUNG NURYARTONO
Pattern of land holding will affects agricultural sector’s effectivity. This
study aims to identify determinants of wet land and dry land held by farm
household and to determine Gini coefficient of agricultural land in Lamongan
District. Data was obtained from Agricultural Census 2013. Specifically, this
study utilizes household cross sectional data with 189,343 observations. This
research utilizes Multiple Regression Analysis. The result shows that age, gender
of household head, household size, main source of income, and dummy for asset

are significantly influencing wet land holding, while factors insignificantly
affecting dry land holding is gender of household head and age. Regarding wet
land as an asset accumulation, the result shows that farmers experience a
decreasing marginal accumulation on wet land. The Gini coefficient of
agricultural land in Lamongan District is 0.49 and shows that Lamongan District
experiences moderate inequality in term of land holding.
Keywords: Asset Accumulation, Gini Coefficient of Land, Land holding, Multiple
Regression Analysis

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMENGARUHI PENGUASAAN
LAHAN PERTANIAN DI KABUPATEN LAMONGAN:
ANALISIS SENSUS PERTANIAN 2013

ALFIANA AINURRAHMA

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Ekonomi
pada
Departemen Ilmu Ekonomi


DEPARTEMEN ILMU EKONOMI
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala
sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Ucapan terima kasih penulis
tujukan kepada Dr Nunung Nuryartono selaku pembimbing dan kepada Dr
Lukytawati Anggraeni, Dr Toni Irawan, Dr Syamsul Pasaribu, Dr Tanti Novianti,
serta Triana Anggraenie, M.Sc yang telah banyak memberi saran. Penulis juga
mengucapkan terima kasih kepada Dr Yeti Lis Purnamadewi sebagai penguji
utama dan kepada Dr Eka Puspitawati sebagai penguji dari Komisi Pendidikan
karena telah memberikan masukan untuk perbaikan skripsi ini. Penelitian ini
merupakan bagian dari kerjasama penelitian antara Australia-Indonesia dan
dibiayai oleh Kementrian Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi.
Selain itu, penulis memberikan penghargaan dan ucapan terima kasih
kepada dosen-dosen Departemen Ilmu Ekonomi atas semua ilmu dan didikan

yang telah diberikan. Kepada Komdik dan staf Departemen Ilmu Ekonomi,
khususnya kepada Mbak Okta, penulis berterima kasih atas arahan dan dukungan
selama berkuliah.
Selanjutnya, ucapan terima kasih tertuju kepada sahabat penulis: Ening Dwi
Jawaty, Zulva Azijah, Try M. Subiha, Faizal Amir, Feriansyah, Khodijah
Mustaqimah, dan 179.5A248. Mereka telah menjadi pendukung dan penghibur
yang sangat menyenangkan. Kepada rekan “Pak Nunung’s Squad”: Pristi, Mico,
Laung, Desna, dan Ulfah, penulis mengucapkan terima kasih atas kebersamaan
selama pengerjaan skripsi. Selain itu, kepada Kak Bintan dan Kak Nisa, penulis
berterima kasih karena mereka telah menjadi kakak yang sangat baik.
Ucapan terima kasih juga penulis tujukan kepada Yayasan Karya Salemba
Empat dan PT Indofood Sukses Makmur Tbk atas semua dukungan finansial dan
non finansial selama penulis kuliah. Kepada Bapak Deni Puspahadi, Ibu Dwi, dan
Mas Helmi, penulis berterima kasih karena telah memberi kepercayaan dan
pengalaman yang sangat berharga.
Untuk rekan penulis di luar kampus IPB: Santo Elman P. Hura, Selusin
Pemimpin, BISMA Batch 6, dan beaswan KSE se-Nusantara, penulis
mengucapkan terima kasih atas rasa kekeluargaan yang tinggi. Kepada temanteman Ilmu Ekonomi 48—ESP dan Eksyar, teman-teman Fasttrack Ilmu Ekonomi
Batch 3, dan kakak-kakak Pascasarjana Ilmu Ekonomi, penulis mengucapkan
terima kasih karena telah memberi dukungan.

Terima kasih juga penulis tujukan kepada rekan penulis: Manggolo Putro
48, DPM FEM IPB Dewan Hexagonal, Paguyuban dan Rumah Sahabat KSE IPB,
MPM-KM IPB 2014, dan Formasi FEM. Mereka telah berbagi makna akan kerja
keras.
Dan akhirnya, kepada sumber kekuatan dan semangat, penulis mengucapkan
terima kasih sedalam-dalamnya kepada Ibu, Siti Fatimah, kepada Bapak,
Sudirman, dan kepada adik-adik penulis, Arifia Azizy dan Syifa Nooram Alfaz.
Semua ini penulis dedikasikan untuk mereka.
Akhirnya. penulis berharap semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Agustus 2015
Alfiana Ainurrahma

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

vi

DAFTAR GAMBAR

vi


DAFTAR LAMPIRAN

vi

PENDAHULUAN

1

Latar Belakang

1

Perumusan Masalah

6

Tujuan Penelitian

8


Manfaat Penelitian

8

Ruang Lingkup Penelitian

8

TINJAUAN PUSTAKA
Konsep Penguasaan Lahan

8
8

Konsep Siklus Kehidupan dan Akumulasi Kekayaan

10

Konsep Koefisien Gini Penguasaan Lahan


12

Penelitian Terdahulu

14

Kerangka Pikir Penelitian

17

Hipotesis

19

METODE

19

Wilayah Penelitian


19

Data dan Sumber Data

19

Karakteristik Rumah Tangga Pertanian di Kabupaten Lamongan

20

Model Analisis Faktor-Faktor yang Memengaruhi Penguasaan Lahan di
Kabupaten Lamongan

20

Analisis Data

21


GAMBARAN UMUM RUMAH TANGGA USAHA PERTANIAN DAN
SEKTOR PERTANIAN DI KABUPATEN LAMONGAN

24

HASIL DAN PEMBAHASAN

26

Faktor-Faktor yang Memengaruhi Penguasan Lahan di Kabupaten Lamongan 26
Koefisien Gini Penguasaan Lahan Pertanian di Kabupaten Lamongan
SIMPULAN DAN SARAN

34
37

Simpulan

37

Saran

37

DAFTAR PUSTAKA

38

LAMPIRAN

42

RIWAYAT HIDUP

47

DAFTAR TABEL
Jumlah Rumah Tangga Usaha Pertanian per Golongan Luas Lahan di
Indonesia dan Provinsi Jawa Timur Tahun 2003 dan Tahun 2013
Perbandingan Kontribusi Lahan Sawah dan Lahan Bukan Sawah
Terhadap Produksi Tanaman Pangan di Indonesia 2013
Penelitian Terdahulu Mengenai Faktor-Faktor yang Memengaruhi
Penguasaan Lahan
Deskriptif Statistik Karakteristik Rumah Tangga Usaha Pertanian
Kabupaten Lamongan 2013
Karakteristik Jenis Kelamin Kepala Rumah Tangga Usaha Pertanian di
Kabupaten Lamongan 2013
Karakteristik Pendapatan Rumah Tangga Usaha Pertanian Kabupaten
Lamongan 2013
Hasil Analisis Regresi Faktor-Faktor yang Memengaruhi Penguasaan
Lahan Sawah di Kabupaten Lamongan
Hasil Analisis Regresi Faktor-Faktor yang Memengaruhi Penguasaan
Lahan Bukan Sawah di Kabupaten Lamongan
Jumlah dan Rata-Rata Luas Lahan Sawah dan Lahan Bukan Sawah yang
Dikuasai Rumah Tangga Usaha Pertanian di Kabupaten Lamongan 2013
Perbandingan Kepemilikan Lahan Pertanian pada Tiap Kategori Luasan
Lahan Pertanian di Kabupaten Lamongan 2013

6
7
15
20
24
24
27
31
33
34

DAFTAR GAMBAR
Peranan Sektor Pertanian bagi PDB Indonesia
Kontribusi Sektor Pertanian Terhadap Perekonomian 2010-2014
Perbandingan Total Produksi Beras dari 5 Provinsi Dengan Produksi
Beras Tertinggi (Ton)
Lima Kabupaten di Provinsi Jawa Timur dengan Total Produksi Beras
Tertinggi 2013 (Ton)
Lima Kabupaten di Provinsi Jawa Timur dengan Luas Panen Terbesar
2013 (hektar)
Jumlah Rumah Tangga Usaha Tani Kabupaten Lamongan 2013 (rumah
tangga)
Lima Kabupaten di Provinsi Jawa Timur dengan Penguasaan Lahan
Pertanian per Rumah Tangga Usaha Tani Tertinggi (m2) Tahun 2003 dan
2013
Jumlah RTUP Pengguna Lahan dan Jumlah RTUP Gurem 2003 dan 2013
Teori Siklus Kehidupan
Kurva Lorenz
Kerangka Pemikiran
Wilayah Kabupaten Lamongan
Bagan Statistik Durbin Watson
Perbandingan Luas Lahan Sawah dan Lahan Bukan Sawah di Kabupaten
Lamongan 2013 (hektar)
Karakteristik Lahan Sawah di Kabupaten Lamongan (hektar)

1
2
2
3
4
4

5
5
12
13
18
19
23
25
25

Perbandingan Produksi Komoditas Pangan di Kabupaten Lamongan
2013 (Ton)
Perbandingan Luas Panen Komoditas Pangan di Kabupaten Lamongan
2013 (hektar)
Statistik Deskriptif Hubungan Usia dan Penguasaan Lahan Sawah Oleh
Rumah Tangga Usaha Pertanian Kabupaten Lamongan
Statistik Deskriptif Hubungan Ukuran Rumah Tangga dan Penguasaan
Lahan Rumah Tangga Usaha Pertanian Kabupaten Lamongan
Perbandingan Luasan Lahan Sawah yang Dimiliki Rumah Tangga
Dengan Kepala Laki-Laki dan Perempuan di Kabupaten Lamongan 2013
Hubungan Usia Kepala Rumah Tangga dan Penguasaan Lahan Bukan
Sawah
Keragaan Data Hubungan Ukuran Rumah Tangga dan Penguasaan Lahan
Bukan Sawah
Keragaan Data Penguasaan Lahan Sawah dan Lahan Bukan Sawah
Keragaan Data Logaritma Penguasaan Lahan Sawah dan Logaritma
Penguasaan Lahan Bukan Sawah
Kurva Lorenz Penguasaan Lahan Pertanian di Kabupaten Lamongan

26
26
28
29
30
32
32
33
34
35

DAFTAR LAMPIRAN
Karakteristik Usia Kepala Rumah Tangga
Karakteristik Ukuran Rumah Tangga
Kabupaten dan Kota di Provinsi Jawa Timur 1
Kabupaten dan Kota di Provinsi Jawa Timur 2

42
44
45
46

1

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Pertanian merupakan sector yang penting bagi perekonomian Indonesia. Hal ini
dikarenakan sektor pertanian memiliki banyak peran, antara lain dalam menyerap tenaga
kerja, sumber bahan pangan, menyediakan input bagi industri, dan menunjang kehidupan
bagi sebagian besar penduduk pedesaan. Ramadanti (2014) menyebutkan beberapa peranan
strategis sektor pertania,n antara lain pembentukan Produk Domestik Bruto (PDB) dan
Produk Domestik Regional Bruto (PDRB), penyerapan tenaga kerja di level nasional dan
regional, meningkatkan pendapatan masyarakat, dan menjaga nilai tukar. Oleh karena itu,
Indonesia disebut sebagai Negara agraris mengingat perekonomian Indonesia sangat
tergantung pada sektor pertanian. Gambar 1 menunjukkan pentingnya peranan sektor
pertanian dalam pembentukan PDB. Sektor pertanian berkembang secara konsisten meskipun
kontribusi sektor pertanian dalam pembentukan PDB menurun dari tahun ke tahun. Penurun
kontribusi dalam pembentukan PDB disebabkan oleh meningkatnya peranan sektor sekunder
dan sektor tersier, seperti pengolahan dan jasa (BPS, 2013).

Sumber: Badan Pusat Statistik, 2013
Gambar 1 Peranan Sektor Pertanian bagi PDB Indonesia
Dalam penyerapan tenaga kerja, sektor pertanian menyerap 33,9% dari total tenaga
kerja, atau sekitar 38.973.033 tenaga kerja pada bulan Agustus 2014. Angka tersebut
mengalami penurunan dari periode sebelumnya, yakni berkisar pada angka 34,78% pada
bulan Agustus 2013. Penurunan kontribusi sektor pertanian dalam penyerapan tenaga kerja
disebabkan oleh menurunnya minat generasi muda dan tenaga kerja untuk menjadi petani
(Supriyati, 2011). Kasryno (2000) juga menjelaskan bahwa masyarakat yang berpendidikan
tinggi cenderung untuk bekerja pada sektor non-pertanian karena beberapa hal: (i)
terbatasnya kesempatan untuk bekerja di sektor pertanian (ii) sektor pertanian relatif
memberikan pendapatan yang berjangka panjang (iii) tingginya risiko ekonomi dalam sektor

2
pertanian (iv) sektor pertanian memberikan pendapatan yang rendah (v) pertanian
memberikan status sosial yang rendah.
45 000 000

42

44 000 000

40

43 000 000
42 000 000

38

41 000 000

36

40 000 000
39 000 000

34

38 000 000

32

37 000 000

30

36 000 000
Feb-10 Aug 10 Feb-11 Aug 11 Feb-12 Aug 12 Feb-13 Aug 13 Feb-14 Aug 14
Sektor Pertanian (tenaga kerja)

% Kontribusi Sektor Pertanian

Sumber: Badan Pusat Statistik, 2013
Gambar 2 Kontribusi Sektor Pertanian Terhadap Perekonomian 2010-2014
Sebagai negara agraris, Indonesia menghasilkan berbagai komoditas pertanian. Secara
khusus, Pulau Jawa menjadi basis bagi produksi beras dan memiliki potensi yang tinggi
dalam produksi tanaman pangan, hortikultura, peternakan, dan perikanan. Dari Gambar 3
terlihat bahwa salah satu provinsi di Pulau Jawa, yakni Jawa Timur, merupakan provinsi
penghasil beras tertinggi secara nasional. Pada tahun 2013, Total produksi beras Provinsi
Jawa Timur sekitar 12.398.312 dari total produksi nasional 70.831.753. Secara persentase,
Jawa Timur berkontribusi sekitar 17,5 persen dari total produksi nasional (Badan Pusat
Statistik, 2013).
14000000

12398312

12000000

11644899
9648104

10000000
8000000

5438033

6000000

3669587

4000000
2000000
0
Jawa Timur

Jawa Barat

Jawa Tengah

Sulawesi Selatan

Sumatera Selatan

Sumber: Badan Pusat Statistik, 2013
Gambar 3 Perbandingan Total Produksi Beras dari 5 Provinsi Dengan Produksi Beras
Tertinggi (Ton)
Bappenas dalam RPJMN 2015-2019 menyatakan bahwa ketahanan pangan menjadi
salah satu prioritas utama yang hendak dicapai guna mewujudkan pembangunan yang
berkelanjutan. Selain itu, Kementerian Pertanian (2014) juga menyatakan bahwa ketahanan
pangan menjadi fokus untuk dicapai di tahun 2015. Fakta bahwa Provinsi Jawa Timur

3
merupakan provinsi dengan produksi beras tertinggi secara nasional, peran Provinsi Jawa
Timur menjadi penting dalam rangka menyukseskan program-program ketahanan pangan
yang sudah digagas. Hal ini tidak terlepas dari kondisi bahwa sampai saat ini, beras masih
menjadi bahan pangan utama bagi sebagian besar penduduk Indonesia (Mubyarto 1979).
Di satu sisi, Provinsi Jawa Timur cukup diandalkan dalam menunjang ketahanan
pangan nasional. Namun ternyata, di sisi lain, Provinsi Jawa Timur masih mengalami
tantangan yang bisa memengaruhi ketahanan pangan. Salah satu tantangan yang dihadapi
adalah terkonsentrasinya penguasaan lahan pertanian pada rumah tangga petani kaya.
Penguasaan lahan pertanian menjadi penting untuk dikaji berdasarkan fakta bahwa
penguasaan lahan akan memengaruhi performa sektor pertanian. Tomich, Kilby, dan
Johnston dalam Vollrath (2007) menyatakan bahwa konsentrasi penguasaan lahan yang tinggi
menyebabkan keterbatasan pada sektor pertanian secara meluas. Vollrath (2007) menemukan
bahwa kesenjangan penguasaan lahan mengurangi produksi pertanian secara signifikan. Di
Indonesia, permasalahan lahan sudah menjadi tantangan tersendiri. Badan Ketahanan Pangan
(2014) secara jelas menyatakan bahwa permsalahan lahan menjadi salah satu kunci utama
dalam sistem ketahanan pangan nasional.
Secara spesifik, studi ini mengambil Kabupaten Lamongan sebagai studi kasus.
Kabupaten Lamongan merupakan salah satu kabupaten di Provinsi Jawa Timur dengan total
produksi beras tertinggi. Total produksi beras Kabupaten Lamongan pada tahun 2013 adalah
sebanyak 846.275 ton yang terdiri dari 797.596 ton padi sawah dan 48.679 ton padi ladang.
Dalam persentase, Kabupaten Lamongan berkontribusi sebanyak 7,2 persen terhadap total
produksi beras di Provinsi Jawa Timur (Badan Pusat Statistik 2013).
1,200,000
1,000,000

964,001
846,275

806,548

800,000

776,937
706,419

600,000
400,000
200,000
0
Jember

Lamongan

Bojonegoro

Ngawi

Banyuwangi

Sumber: Badan Pusat Statistik, 2013
Gambar 4 Lima Kabupaten di Provinsi Jawa Timur dengan Total Produksi Beras Tertinggi
2013 (Ton)
Total produksi padi Kabupaten Lamongan yang cukup tinggi sejalan dengan ukuran
luas panen padi Kabupaten Lamongan yang juga tinggi. Kabupaten Lamongan menjadi salah
satu kabupaten di Provinsi Jawa Timur dengan luasan panen padi terluas, yakni 144.910
hektar pada tahun 2013 yang terdiri dari 135.925 hektar padi sawah dan 8.985 hektar padi
ladang.

4
180,000

162,619

160,000

144,910

143,302

140,000

122,166

120,000

113,609

100,000
80,000
60,000
40,000
20,000
0
Jember

Lamongan

Bojonegoro

Ngawi

Banyuwangi

Sumber: Badan Pusat Statistik, 2013
Gambar 5 Lima Kabupaten di Provinsi Jawa Timur dengan Luas Panen Terbesar 2013
(hektar)
Kabupaten Lamongan juga merupakan salah satu kabupaten di Provinsi Jawa Timur
dengan jumlah rumah tangga usaha tani padi tertinggi. Kabupaten Lamongan memiliki
160.306 rumah tangga usaha tani padi pada tahun 2013. Jumlah ini sekitar 92 persen dari
total rumah tangga usaha tani tanaman pangan di Kabupaten Lamongan dan 5,5 persen dari
total rumah tangga usaha tani padi di Provinsi Jawa Timur (Badan Pusat Statistik 2013).
250,000
205,078
200,000

183,853
160,306

150,000
121,280
109,941
100,000

50,000

0
Bojonegoro

Jember

Lamongan

Ngawi

Banyuwangi

Sumber: Badan Pusat Statistik, 2013
Gambar 6 Jumlah Rumah Tangga Usaha Tani Kabupaten Lamongan 2013 (rumah tangga)
Dalam struktur lahan, Kabupaten Lamongan merupakan kabupaten di Provinsi Jawa
Timur yang secara konsisten berada dalam lima besar kabupaten dengan jumlah penguasaan
lahan pertanian per rumah tangga tertinggi pada tahun 2003 dan tahun 2013. Di tahun 2003,
Kabupaten Lamongan berada di urutan ketiga dengan luasan penguasaan lahan pertanian per
rumah tangga adalah 3.250 m2. Di tahun 2013, Kabupaten Lamongan menempati urutan
keempat, namun penguasaan lahan per rumah tangga usaha tani meningkat menjadi 5.035 m2 .

5
2013

2003
6,132

4,849

5,309
3,448

3,250

3,100

5,236

5,035

4,918

2,963

Sumber: Badan Pusat Statistik, 2013
Gambar 7 Lima Kabupaten di Provinsi Jawa Timur dengan Penguasaan Lahan Pertanian per
Rumah Tangga Usaha Tani Tertinggi (m2) Tahun 2003 dan 2013
Selain itu, Kabupaten Lamongan juga mengalami penurunan dalam jumlah rumah
tangga usaha tani pengguna lahan. Pada tahun 2003, jumlah rumah tangga usaha tani
pengguna lahan adalah 222.476 rumah tangga dan pada tahun 2013 jumlahnya menjadi
186,624 rumah tangga. Penurunan jumlah tersebut seiring dengan penurunan jumlah rumah
tangga petani gurem, yakni 153.218 rumah tangga pada tahun 2003 menajdi 116,568 rumah
tangga pada tahun 2013.
250,000
222,476
200,000

186,624
153,218

150,000
116,568

2003
2013

100,000

50,000

0
RTUP Pengguna Lahan

RTUP Gurem

Sumber: Badan Pusat Statistik, 2013
Gambar 8 Jumlah RTUP Pengguna Lahan dan Jumlah RTUP Gurem 2003 dan 2013
Pergeseran struktur penguasaan lahan di Kabupaten Lamongan menunjukkan bahwa
telah terjadi fenomena agrarian change yang berdimensi luas. Pertama, terjadi peningkatan
jumlah penguasaan lahan pertanian per rumah tangga. Kedua, hal ini sejalan dengan
penurunan jumlah rumah tangga usaha pertanian pengguna lahan dan bahkan penurunan pada
jumlah rumah tangga usaha pertanian gurem. Rumah tangga usaha pertanian gurem

6
terindikasi untuk lebih memilih menyerahkan lahannya kepada petani kaya, menjadi buruh
tani, atau mereka lebih memilih untuk terlibat dalam sektor non-pertanian. Hal ini bisa
digambarkan melalui studi Zender dan Durr (2011) di Guatemala. Studi tersebut
menunjukkan bahwa telah berlangsung kondisi di mana petani memilih untuk menjual
lahannya karena alasan kemiskinan. Petani-petani tersebut pada akhirnya mejadi buruh tani
harian, menjadi petani bagi-hasil, atau membuka lahan baru di area hutan lindung.
Pertimbangan terakhir untuk pemilihan Kabupaten Lamongan sebagai studi kasus
dalam penelitian ini adalah karena telah terjadi konversi lahan pertanian secara besar-besaran.
Konversi tersebut terjadi karena tingginya aktivitas pembangunan yang dilakukan oleh swasta
dan pemerintah seperti pembangunan jalan tol dan perumahan. Permasalahan konversi lahan
juga telah menjadi tantangan besar bagi sektor pertanian di Indonesia secara umu. Dari
beberapa penjelasan mengenai karakteristik sektor pertanian di Kabupaten Lamongan,
diharapkan Kabupaten Lamongan menjadi studi kasus yang tepat untuk menggambarkan
tantangan pertanian di Provinsi Jawa Timur dan nasional. Pada akhirnya, tantangan akan
ketahanan pangan juga diharapkan mampu diselesaikan secara baik.
Perumusan Masalah
Sektor pertanian di Indonesia menghadapi banyak tantangan. Perubahan struktur
penguasaan lahan yang menyebabkan ketimpangan menjadi salah satu tantangan yang harus
diselesaikan karena dapat menimbulkan permasalahan lain. Seperti yang tersaji dalam Tabel
1, telah terjadi perubahan struktur penguasaan lahan dan membuat sebagian kecil penduduk
menguasai lahan yang sangat luas. Di tahun 2003, rumah tangga usaha tani di Indonesia
dengan luas lahan kurang dari 1000 m2 sejumlah 9.380.000 rumah tangga. Di tahun 2013,
jumlah tersebut menjadi hanya 4.338.849 rumah tangga. Di sisi lain, jumlah rumah tangga
usaha pertanian dengan luas lahan lebih dari 30.000 m2 jumlahnya meningkat dari 1.309.896
rumah tangga di tahun 2003 menjadi 1.608.728 rumah tangga di tahun 2013. Di Jawa Timur
juga telah terjadi perubahan dalam struktur penguasaan lahan. Tren yang terjadi adalah sama.
Jumlah rumah tangga yang menguasai lahan kurang dari 1000 m2 jumlahnya menurun seiring
dengan peningkatan jumah rumah tangga dengan penguasaan lahan lebih dari 30.000 m2.
Tren penurunan jumlah rumah tangga usaha pertanian kecil yang diiringi oleh
peningkatan jumlah rumah tangga usaha pertanian besar kemungkinan terjadi akibat beberapa
faktor. Faktor tersebut antara lain: (i) peningkatan jumlah petani dengan lahan lebih dari 1
hektar (ii) pergeseran struktur aktivitas ekonomi ke sektor non-pertanian dan (iii) petani kecil
menjadi buruh (Badan Pusat Statistik 2013).
Tabel 1 Jumlah Rumah Tangga Usaha Pertanian per Golongan Luas Lahan di Indonesia dan
Provinsi Jawa Timur Tahun 2003 dan Tahun 2013
Golongan Luas
Lahan (m2)
30000

2003
9,380,300
3,602,348
6,816,943
4,782,812
3,661,529
1,678,356
1,309,896

Indonesia
2013
4,338,849
3,550,180
6,733,362
4,555,073
3,725,849
1,623,428
1,608,728

Jawa Timur
2003
2013
2,384,327
1,134,610
905,346
940,827
1,728,125
1,727,132
893,082
802,704
311,870
282,774
56,016
52,212
35,604
38,099

Sumber: Badan Pusat Statistik, 2013
Chaudry et al. (1999) melakukan penelitian tentang korelasi antara penguasaan lahan
kemiskinan di Pakistan. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa secara signifikan

7
penguasaan lahan memiliki hubungan negatif terhadap tingkat kemiskinan. Ketika jumlah
penguasaan lahan meningkat, tingkat kemiskinan akan menurun. Darwis (2008) melakukan
penelitian terhadap rumah tangga usaha pertanian di Jawa Barat dan Sulawesi Selatan. Hasil
penelitian tersebut menunjukkan bahwa pendapatan petani di Indonesia sangat tergantung
pada luasan lahan pertanian yang dimiliki. Booth (2002) berargumentasi bahwa dari hasil
Sensus Penduduk Antar Sensus (SUPAS) tahun 1995, terindikasi bahwa 46% rumah tangga
di area pedesaan menjadikan pertanian sebagai sumber utama pendapatan rumah tangga
mereka. Pada tahun 1993, 83% petani pemilik lahan juga sangat tergantung pada pertanian.
Berdasarkan studi Yunilisiah (1996), jumlah lahan yang dikuasai rumah tangga usaha
pertanian menjadi faktor utama yang menentukan besarnya total pendapatan rumah tangga
usaha pertanian. Ketika luas lahan yang dikuasai oleh rumah tangga besar, total pendapatan
rumah tangga akan meningkat.
Beberapa penelitian di atas menunjukkan bahwa penguasaan lahan memiliki pengaruh
yang sangat penting bagi sektor pertanian dan ekonomi. Dikaitkan dengan kondisi di
Indonesia bahwa telah terjadi perubahan pada pola penguasaan lahan, mengetahui faktorfaktor yang memengaruhi penguasaan lahan menjadi penting.
Penelitian ini memfokuskan objek penelitian pada faktor-faktor yang memengaruhi
penguasaan lahan sawah di Kabupaten Lamongan. Namun untuk membandingkan apakah
terdapat efek substitusi antara penguasaan lahan sawah dan penguasaan lahan bukan sawah,
diteliti juga faktor-faktor yang memengaruhi penguasaan lahan bukan sawah.
Spesifikasi penelitian untuk menganalisis faktor-faktor yang memengaruhi penguasaan
lahan sawah diadaptasi dari penelitian Pomp (1995). Penelitian tersebut memisahkan antara
lahan sawah dan lahan bukan sawah karena lahan sawah memiliki nilai yang lebih tinggi
dibandingkan lahan bukan sawah. Selain itu, berdasarkan Minardi (1979), lahan sawah
memiliki peran yang lebih besar dalam produksi tanaman pangan. Hal tersebut didukung oleh
kondisi riil di Indonesia yang diringkas dalam Tabel 2, bahwa lahan sawah memiliki luas
lahan garapan yang lebih besar dibandingkan luas lahan garapan bukan sawah (Badan Pusat
Statistik 2013). Jumlah rumah tangga usaha pertanian yang terlibat dalam usaha pertanian
sawah (padi sawah) jumlahnya jauh lebih besar dibandingkan jumlah rumah tangga usaha
pertanian yang terlibat di usaha pertanian bukan sawah (padi ladang dan palawija). Selain itu,
fakta dari Panel Petani Nasional (Patanas) tahun 2007 menunjukkan bahwa segmen tertinggi
penguasaan lahan oleh petani-petani di Pulau Jawa adalah lahan sawah, yakni 86% dari total
lahan yang dikuasai. Hal tersebut juga terjadi di luar Pulau Jawa, dengan segmen penguasaan
lahan sawah mencapai 64%.
Tabel 2 Perbandingan Kontribusi Lahan Sawah dan Lahan Bukan Sawah Terhadap Produksi
Tanaman Pangan di Indonesia 2013
Luas Tanam (m2)
Jumlah Rumah Tangga

Padi Sawah
86,858,754,336
12,936,427

Padi Ladang
7,619,774,028
1,506,139

Palawija
36,837,588,344
8,624,243

Sumber: Badan Pusat Statistik, 2013
Selain menganalisis faktor-faktor yang memengaruhi penguasaan lahan pertanian,
penelitian ini juga bertujuan untuk melihat besarnya ketimpangan penguasaan lahan pertanian
di Kabupaten Lamongan. Hal tersebut didasari oleh data dari Tabel 1 bahwa telah terjadi
perubahan dalam struktur penguasaan lahan dan jumlah petani besar meningkat seiring
dengan menurunnya jumlah petani kecil pada selang waktu tahun 2003 dan tahun 2013.
Ketimpangan tersebut cukup penting untuk diketahui karena berdasarkan Bachriadi dan
Winardi (2011), dua kondisi utama yang berkontribusi terhadap tingginya tingkat kemiskinan

8

salah satunya adalah meningkatnya jumlah buruh tani. Nuryartono (2005) juga menjelaskan
bahwa menganalisis distribusi penguasaan lahan penting untuk mengetahui seberapa besar
ketimpangan penguasaan antar rumah tangga. Ketimpangan tersebut, jika tinggi rawan
menyebabkan konflik. Oleh karena itu, dua pertanyaan utama penelitian ini adalah: (i) apa
saja faktor-faktor yang memengaruhi penguasaan lahan pertanian di Kabupaten Lamongan?
(ii) bagaimana koefisien Gini penguasaan lahan pertanian di Kabupaten Lamongan?

Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah yang sudah dijabarkan dan mengingat studi mengenai
penguasaan lahan di Indonesia masih sangat terbatas, tujuan utama dari penelitian ini adalah
menganalisis faktor-faktor yang memengaruhi penguasaan lahan sawah dan lahan bukan
sawah di Kabupaten Lamongan. Secara spesifik, tujuan dari penelitian ini adalah:
1. Menganalisis faktor-faktor yang memengaruhi penguasaan lahan sawah dan lahan
bukan sawah di Kabupaten Lamongan
2. Menghitung koefisien Gini penguasaan lahan pertanian di Kabupaten Lamongan
Manfaat Penelitian
Keluaran dari penelitian ini diharapkan mampu memberikan manfaat sebagai berikut
1. Memberikan gambaran mengenai faktor-faktor yang memengaruhi penguasaan
lahan di Indonesia
2. Sebagai sumber informasi bagi pemerintah dan pembuat kebijakan di Kabupaten
Lamongan, di Provinisi Jawa Timur, dan di Indonesia dalam mengelola sektor
pertanian, terutama dalam manajemen lahan
3. Sebagai studi literatur bagi penelitian selanjutnya yang terkait dengan penguasaan
lahan
Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini hanya bertujuan untuk menganalisis faktor-faktor yang memengaruhi
penguasaan lahan sawah dan lahan bukan sawah dan melihat besarnya ketimpangan
penguasaan lahan pertanian melalui penghitungan koefisien Gini. Observasi yang terlibat
dalam penelitian ini adalah rumah tangga usaha pertanian di Kabupaten Lamongan. Data
yang digunakan hanya mencakup data rumah tangga usaha pertanian tahun 2013.

TINJAUAN PUSTAKA
Konsep Penguasaan Lahan
Hingga saat ini, belum ada definisi khusus mengenai arti penguasaan lahan. Riset-riset
yang menjadikan penguasaan lahan sebagai topik utama juga masih terbatas. Sebagian risetriset tersebut menjadikan lahan sebagai objek penelitian namun dalam konteks land tenure.
Badan Pusat Statistik (2013) mendefinisikan lahan yang dikuasai adalah lahan milik
sendiri, ditambah lahan yang berasal dari pihak lain, dan dikurangi oleh lahan yang berada di
pihak lain. Lahan tersebut bisa berupa lahan sawah dan atau lahan bukan sawah.

9
Deininger et al. (2003) mendefinisikan penguasaan lahan sebagai hak atas lahan dan
menentukan akses terhadap lahan serta manfaat yang dihasilkan dari lahan tersebut.
Pemerintah Amerika Serikat seperti dijelaskan dalam Agricultural Resources and
Environmental Indicators mendefinisikan penguasaan lahan secara luas. Penguasaan lahan
mencakup kepemilikan sederhana seperti sewa hingga hak untuk menjadikan lahan sebagai
sarana peringanan dan jaminan oleh pemerintah atau swasta. FAO mendefinisikan
penguasaan lahan sebagai hubungan secara legal antar masyarakat baik perorangan maupun
kelompok dalam kaitannya terhadap lahan. Dalam konteks yang lebih sederhana, penguasaan
lahan menentukan siapa yang berhak menggunakan sumber daya dari suatu lahan dan berapa
lama dia serta kondisi apa saja yang membuat dia berhak menggunakan sumber daya tersebut.
The Environmental and Natural Resources Policy and Training Project (EPAT), sebuah riset
yang didanai oleh USAID pada tahun 1995, mendefiniskan penguasaan lahan sebagai akses
petani terhadap sumber daya, seara spesifik merujuk pada kondisi bagaimana petani-petani
tersebut membuat keputusan terkait pemanfaatan lahan dan investasi lahan tersebut.
Pomp (1995) menjelaskan mengenai hal-hal yang memengaruhi perbedaan akses
terhadap penguasaan lahan, antara lain: (i) perbedaan pada jumlah lahan yang diinginkan
terkait dengan perbedaan ketersediaan tenaga kerja dan kemampuan tenaga kerja (ii)
perbedaan akses terhadap lahan yang disebabkan oleh lamanya waktu tinggal di suatu
wilayah (iii) perbedaan pada kemampuan dalam membiayai akuisisi lahan.
Deininger et al. (2003) juga menjelaskan mengapa penguasaan lahan penting.
Penguasaan lahan mengambil peranan penting dalam keamanan pangan dan mengurangi
kemiskinan. Keamanan pangan bisa terpengaruh karena perseorangan dan keluarga bisa
dikatakan aman-pangan tergantung dari besarnya kesempatan yang dimiliki untuk menguasai
aset seperti lahan, sama pentingnya seperti kesempatan dalam mengakses pasar dan peluang
ekonomis lainnya. Keluarga dan perseorangan yang memiliki lahan cenderung lebih baik
dibandingkan mereka yang tidak memiliki lahan. Penguasaan lahan juga penting dalam
kaitannya dengan pembangunan pedesaan. Hak atas lahan adalah sarana yang efektif
membangun aset bagi masyarakat sehingga mereka bisa memperoleh kehidupan yang
berkelanjutan. Hak atas lahan juga sumber daya yang ampuh bagi masyarakat untuk
meningkatkan dan memperluas aset selain lahan, seperti aset dalam sumber daya alam, sosial,
keuangan dan aset fisik lainnya.
Rahman dan Manprasert (2006) menghubungkan landless sebagai manifestasi dari
kemiskinan, kerawanan, buruknya akses kredit, dan lemahnya rumah tangga pedesaan.
Hidalgo et al. (2008) berargumen bahwa tingginya kesenjangan pada penguasaan lahan
diasosiasikan dengan tingginya persentase masyarakat miskin dan membuat perekonomian
menjadi sensitif terhadap guncangan. Myrdal dalam Asian Drama seperti dikutip dari Todaro
dan Smith (2006) mengindentifikasi tiga elemen yang membentuk pola penguasaan lahan di
Asia: kolonialisme oleh Eropa, tingginya monetisasi, dan tingginya pertumbuhan pendudukan.
Maxwell dan Wiebe (1998) menjelaskan bahwa penguasaan lahan juga diperoleh dari
pernikahan, kekuasaan, dan warisan.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peratiran Dasar PokokPokok Agraria, hak akan lahan meliputi hak mili, hak guna-usaha, hak guna bangunan, hak
pakai, hak sewa, hak membuka tanah, hak memungut hasil hutan, dan hak-hak lainnya.
Berdasarkan Susilawati et al. (2010), penguasaan lahan di Indonesia terbagi ke dalam dua
kelompok besar yakni (i) milik sendiri (ii) bukan milik, yang teridir dari sewa, bagi hasil,
gadai, dan lainnya. Susilowati juga menjelaskan bahwa di awal 1980, dua kelompok peneliti
memiliki kesimpulan yang berbeda mengenai pola penguasaan lahan di Indonesia. Kelompok
pertama terdiri dari Geertz, Hayami, dan Kikuchi. Geertz, Hayami, dan Kikuchi menyatakan
bahwa masyarakat pedesaan di Pulau Jawa tidak terpolarisasi menjadi tuan tanah dan buruh
tani, melainkan mereka berada pada pola yang terstratifikasi. Kelompok lain terdiri dari

10
Sayogyo, Collier, Lyon, dan Kano. Mereka menyatakan bahwa polarisasi penguasaan lahan
di pedesaan benar-benar terjadi dan hal tersebut dibuktikan oleh Sensus Pertanian Tahun
1983-1993.
Konsep Siklus Kehidupan dan Akumulasi Kekayaan
Bodie et al. (2007) mengatakan bahwa model siklus hidup memberikan arahan dalam
membuat keputusan keuangan seperti: (i) berapa banyak tabungan yang harus disiapkan oleh
sebuah keluarga dalam rangka mempersiapkan pensiun? (ii) berapa banyak asuransi yang
harus dibeli? (iii) berapa banyak saham yang harus dialokasikan ke dalam setiap jenis saham?
(iv) bagaimana perusahaan menentukan alokasi aset sebagai sarana untuk tabungan pensiun?
Teori tersebut mengajarkan untuk melihat aset keuangan sebagai sarana untuk menransfer
sumber daya antar waktu yang berbeda. Teori tersebut juga memberikan pandangan kepada
rumah tangga dan perencana keuangan untuk memikirkan keputusan keuangan secara logis
dan tepat. Bodie et al.(2007) juga menjelaskan mengenai prinsip-prinsip yang dijelaskan oleh
Model Siklus Kehidupan. Salah satu prinsip menjelaskan bahwa Model Siklus Kehidupan
tidak hanya fokus pada perencanaan keuangan, namun fokus pada pola konsumsi. Kedua,
Model Siklus Kehidupan melihat aset keuangan sebagai sarana untuk menransfer konsumsi
dari masa sekarang ke masa yang akan datang. Prinsip lainnya menjelaskan bahwa nilai mata
uang lebih tinggi pada masa di mana tingkat konsumsi lebih rendah dibandingkan masa di
mana konsumsi tinggi. Teori Siklus Kehidupan juga menekankan pada apakah dan
bagaimana rumah tangga menyiapkan kehidupan di masa mendatang (di beberapa penelitian
biasanya disebut kehidupan pasca pensiun).
Borella dan Rossi (2014) menyatakan bahwa seorang individu hidup dalam tiga periode,
yaitu:
(i)
masa remaja (muda), yakni masa di mana individu lebih banyak berhutang
untuk memenuhi konsumsi
(ii)
masa menengah (dewasa), masa di mana individu mulai menabung sebagian
dari pendapatan
(iii)
masa konsumsi tabungan, masa di mana individu mengonsumsi tabungan untuk
memenuhi kebutuhan konsumsi pasca pensiun
Borella dan Rossi (2014) juga menjelaskan bahwa tahap yang berbeda-beda dalam siklus
kehidupan dicirikan oleh perbedaan pola menabung dan konsumsi, tergantung apakah
pendapatan yang diperoleh sekarang lebih tinggi atau lebih rendah dibandingkan pendapatan
tetap.
Kesimpulan Borella dan Rossi (2014) mengenai model siklus kehidupan sejalan dengan
temuan Milligan (2004) yang menemukan bahwa pada usia tua masyarakat cenderung untuk
mendisakumulasi aset. Kontribusi aset portofolio terhadap aset rumah tangga naik seiring
bertambahnya usia dan toleransi terhadap aset yang berisiko cenderung turun seiring
bertambahnya usia. Hal ini konsisten karena memang sebuah keluarga cenderung memilih
aset yang lebih likuid dan berisiko rendah ketika usia mereka bertambah.
Bazhenova dan Krtysun (2013) menjelaskan bahwa Model Siklus Kehidupan yang
dicetuskan oleh Modigliani mengartikan bahwa distribusi pendapatan antara konsumsi dan
tabungan terbentuk dari keinginan manusia untuk mendistribusikan pendapatan mereka ke
dalam periode-periode kehidupan. Oleh karena itu, individu harus menabung agar tetap bisa
melakukan konsumsi jika seandainya kehilangan pendapatan terjadi.
Studi mengenai lahan sebagai sarana akumulasi aset dilakukan oleh Weber dan Key
(2014). Lahan seringkali menjadi sarana akumulasi aset yang sangat bernilai bagi petani.
Weber dan Key mengatakan bahwa salah satu cara untuk mengakumulasi aset adalah melalui
lahan karena lahan akan memiliki nilai yang selalu terapresiasi dari waktu ke waktu. Hal ini

11
memengaruhi keputusan petani untuk meminjam, membeli, dan memperluas lahan yang
dimiliki. Namun, Weber dan Key juga menjelaskan bahwa peningkatan kekayaan dari
akumulasi lahan mendorong terjadinya pembelian lahan yang lebih tinggi tidak diimbangi
dengan perluasan pada lahan pertanian produktif sehingga produksi pertanian tidak
meningkat. Di sisi lain, apresiasi nilai lahan yang sangat cepat dan diasosiakan dengan
peningkatan kekayaan membuat kepemilikan lahan menjadi sangat terkonsentrasi. Matteo
(1997) memberikan bukti bahwa faktor-faktor yang memengaruhi kekayaan dan penguasaan
aset di Kanada antara lain urbanisasi, status kepemilikan lahan, literasi, jumlah anak, dan
wilayah tempat tinggal.
Pada awalmya, Model Siklus Kehidupan dicetuskan oleh Modigliani (1986). Model
tersebut didasarkan pada asumsi bahwa pola alokasi sumberdaya terhadap konsumsi selalu
stabil dari waktu ke waktu. Asumsi tersebut berimplikasi pada beberapa kondisi: jika
pendapatan bertumbuh secara konstan, tabungan privat agregat dan kekayaan pribadi agregat
akan cenderung bertumbuh pada tingkat yang sama sehingga tabungan dan rasio kekayaanpendapatan akan bertumbuh secara konstan.
Modigliani (1986) juga mengatakan bahwa pertimbangan awal dari Model Siklus
Kehidupan adalah hipotesis bahwa konsumsi dan keputusan menabung dari rumah tangga di
waktu tertentu merefleksikan preferensi distribusi konsumsi selama hidup dengan kendala
pendapatan. Secara rata-rata, kemampuan mendapatkan pendapatan cenderung untuk
berkurang seiring waktu. Karena itu, rumah tangga harus menabung di tahap awal kehidupan
finansial untuk mengakumulasi cadangan kekayaan yang digunakan untuk mengakomodasi
konsumsi di kehidupan rumah tangga tersebut nanti.
Modigliani (1986) memberikan penjelasan bahwa fase-fase akumulasi aset pada
akhirnya akan diimbangi dengan fase-fase disakumulasi di saat rumah tangga mencapai masa
pensiun. Hal tersebut dijelaskan sebagai berikut:
Tingkat kematian diasumsikan 0 hingga usia N dan 1 hingga usia L. Kurva Y(T)
menunjukkan pendapatan per kapita dari tenaga kerja sebagai fungsi dari umur dan
diasumsikan konstan pada tingkat Ȳ hingga usia N, dan 0 di sisa kehidupan setelah
usia N. Pada tingkat pengembalian aset yang 0, kurva tersebut menunjukkan total
pendapatan per kapita. Garis putus-putus menunujukkan tingkat konsumsi per kapita
dan diasumsikan konstan sepanjang hidup. Karena konsumsi menghabiskan
pendapatan, tingkat konsumsi konstan adalah (N/L)Ȳ. Jarak antara Y(T) dan C(T)
adalah tabungan atau konsumsi tabungan per kapita, Garis titik-titik menunjukkan
kekayaan bersih per kapita yakni akumulasi tabungan sebagai fungsi dari waktu. Nilai
tersebut dimulai dari 0 kemudian meningkay secara linier sampai puncak waktu yakni
masa pensiun (N) kemudian menurun secara linier sampai pada 0 di usia L.

Secara grafis, hal tersebut digambarkan oleh Gambar 9.

12
Y,C,A

(L-N) N Ȳ
L

A(T)

Ȳ

Y(T)
C(T)=(N/L)Ȳ
SAVING
DISSAVING
AGE

T
N

L

Sumber: Modigliani (1986)
Gambar 9 Teori Siklus Kehidupan

Konsep Koefisien Gini Penguasaan Lahan
Konsep koefisien Gini menurut Todaro dan Smith (2012) adalah ukuran numerik yang
secara agregat mengukur ketimpangan dan memiliki nilai antara 0 (pemerataan sempurna)
hingga 1 (ketimpangan sempurna). Koefisien Gini bisa dikur secara grafis dengan membagi
area antara garis pemerataan sempurna 45 derajat dan kurva Lorenz dengan total area di atas
garis pemerataan sempurna di kurva Lorenz. Semakin tinggi nilai koefisien Gini, semakin
besar ketimpangan dan berlaku pula sebaliknya.
Untuk mengetahuo lebih lanjut mengenai koefisien Gini penguasaan lahan, konsep
kurva Lorenz akan dibahas terlebih dahulu.
Kurva Lorenz
Kurva Lorenz adalah gambar yang memnunjukkan variasi distribusi, dalam hal ini
lahan, dari pemerataan sempurna. Dalam kaitannya dengan penelitian ini, persentase jumlah
rumah tangga usaha pertanian di-plot ke sumbu horizontal secara kumulatif. Plotting tersebut
didasarkan pada persentase jumlah rumah tangga, misalnya 20 persen, 40 persen, 60 persen,
dan 80 persen dsri total. Sebagai contoh, titik 0,2 pada sumbu X menunjukkan nilai 20
persen dari jumlah total rumah tangga, dan seterusnya. Sumbu Y menggambarkan kumulatif
persentase luasan lahan. Angka 0.2 menunjukkan nilai 20 persen dari luas keseluruhan lahan

13
dan seterusnya. Di garis diagonal 45 derajat, setiap titik yang berada di garis tersebut
menunjukkan pemerataan sempurna. Semakin jauh kurva Lorenz dari garis pemerataan
sempurna, tingkat ketimpangan semakin tinggi. Demikian juga sebaliknya. Penjelasan
mengenai kurva Lorenz ditunjukkan oleh Gambar 10 di bawah ini.

Kumulatif Persentase Luas Lahan

1.2
1
0.8
0.6
0.4
0.2
0
0

0.2

0.4

0.6

0.8

1

1.2

Kumulatif Persentase Jumlah Rumah Tangga

Sumber: Todaro dan Smith, 2012
Gambar 10 Kurva Lorenz

Koefisien Gini Penguasaan Lahan
Zheng et al. (2013) menjelaskan bahwa pada awalnya koefisien Gini digunakan untuk
menhgitung ketimpangan distribusi pendapatan, namun saat ini koefisien Gini juga bisa
digunakan untuk menganalisis struktur ketimpangan dalam penguasaan lahan. Todaro dan
Smith (2012) mengatakan bahwa nilai koefisien Gini bervariasi dari 0 (pemerataan
sempurna) hingga 1 (ketimpangan sempurna). Pengukuran ketimpangan menggunakan
koefisien Gini memberikan konsekuensi bahwa beberapa prinsip yang membangun
penghitungan tersebut sudah terpenuhi, yaitu:
(i)
the anonymity, bahwa pengukuran ketimpangan menggunakan koefisien Gini
tidak memedulikan siapa yang menjadi subjek dari pengukuran. Artinya,
koefisien Gini tidak memerhitungkan apakah yang menguasai lahan luas adalah
orang baik atau orang jahat
(ii)
the scale independence, bahwa pengukuran ketimpangan menggunakan
koefisien Gini tidak memedulikan satuan pengukuran—apakah dalam hektar,
meter, rupiah, atau dolar—karena pengukuran menggunakan koefisien Gini
hanya fokus pada ketimpangan bukan pada ukuran ketimpangan tersebut
(iii)
the population independence, bahwa pengukuran menggunakan koefisien Gini
tidak berdasar pada jumlah penerima lahan. Jika dilakukan transfer lahan dari
petani kaya ke petani miskin, distribusi lahan yang baru akan lebih merata.

14
Selain menggunakan kurva Lorenz, menghitung koefisien Gini bisa dilakukan melalui
beberapa cara yang lain. Khattak dan Hussain (2008) menderivasi persamaan di bawah ini
untuk menghitung koefisien Gini penguasaan lahan.
+ 2A2 + 3A3 +...+ nAn]

(1)

Di mana G adalah koefisien Gini penguasaan lahan dan Ā adalah rata-rata luas lahan yang
dikuasai.
Jamal dan Khan (2005) juga mengenalkan metode penghitungan koefisien Gini dalam
tipe data kategori. Persamaan di bawah menjelaskan mengenai penghitungan koefisien Gini
dalam tipe data kategori.
|



|

Di mana N adalah jumlah kategori, adalah nilai distribusi kumulatif, dan Y,X adalah
proporsi rumah tangga usaha pertanian dan luas lahan yang dikuasai.
Sejalan dengan Jamal dan Khan, Vollrath (2006) juga memberikan cara untuk
menghitung koefisien Gini penguasaan lahan dalam data yang bersifat kategorik. Cara
tersebut mengadopsi cara yang digunakan oleh Deininger dan Square. Persamaan yang
digunakan adalah sebagai berikut:
(



)

Di mana fi adalah share dari semua rumah tangga usaha pertanian yang berada di
kategori i terhadap total rumah tangga keseluruhan sehingga ∑
sedangkan αi adalah
share semua lahan yang berada dalam kategori i terhadap total luas lahan keseluruhan
sehingga ∑
.
Jenkins dalam Nuryartono (2005) mendeskripsikan cara lain untuk menghitung
koefisien Gini. Cara tersebut dijelaskan oleh persamaan berikut:
(

) ∑

Di mana N adalah total populasi, m adalah rataan total luasan lahan, dan Yi adalah luas
lahan yang dimiliki rumah tangga ke-i.
Penelitian Terdahulu
Faktor-Faktor Yang Memengaruhi Penguasaan Lahan
Studi yang khusus meneliti mengenai faktor-faktor yang memengaruhi penguasaan
lahan pertanian cukup sulit ditemukan. Dalam penelitian ini, penulis hanya menemukan
empat studi yang relevan. Studi tersebut antara lain dilakukan oleh Pomp (1995), Ukoha et al.
(2014), Ben-Chendo et al. (2014), dan Nuryartono 2005. Semua studi menggunakan data
primer. Pomp (1995) melakukan studi di Sulawesi Selatan, Ben-Chendo et al. (2014)
Melakukan studi di Abia, Nigeria, Ukoha et al (2014) melakukan studi di Anambra, Nigeria,

15
dan Nuryartono (2005) melakukan studi di Sulawesi Tengah. Secara spesifik, studi-studi
tersebut dirangkum dalam Tabel 3.
Tabel 3 Penelitian Terdahulu Mengenai Faktor-Faktor yang Memengaruhi Penguasaan
Lahan
Penulis
Tujuan
dan Tahun
Pomp
Mengetahui
(1995)
penyebab
perbedaan
akses
terhadap
kepemilikan
lahan
di
Sulawesi
Selatan

BenMengidentifi
Chendo et kasi faktoral. (2014) faktor yang
memengaruhi
penguasaan
lahan antar
petani padi di
Nigeria

Ukoha et Mengidentifial. (2014) kasi faktorfaktor yang
memengaruhi

Model, Variabel, dan Jenis
Data
Model Conditional Logit dan
Tobit dengan data survei.
Variabel yang digunakan
dalam model Conditional
Logit meliputi: lama tinggal
(tahun); variabel dummy
untuk tempat lahir; tenaga
kerja dalam rumah tangga;
tingkat pendidikan kepala
rumah tangga; usia kepala
rumah
tangga;
variabel
dummy
untuk
jenis
pendapatan utama rumah
tangga; variabel dummy
untuk jenis kelamin kepala
rumah tangga; dan variabel
dummy yang mewakili lokasi
tempat tinggal.

Hasil

Untuk model Tobit, hasil
menunjukkan bahwa faktor
seperti dummy tempat tinggal,
usia kepala rumah tangga, dan
dummy jenis kelamin kepala
rumah tangga signifikan di
dua jenis amatan. Tingkat
pendidikan dan kepemilikan
lahan non sawah memiliki
hubungan
positif.
Ketersediaan tenaga kerja
tidak
memengaruhi
kepemilikan
lahan
di
kelompok
desa
pertama
namun tidak berlaku untuk
kelompok
desa
kedua.
Pendatang baru cenderung
memiliki lahan yang lebih
sempit
dibandingkan
penduduk asli.
Analisis Regresi Berganda Jenis
kelamin
petani,
dengan data primer. Variabel pengalaman bertani, metode
yang digunakan antara lain:
akuisisi lahan, penadapatan
Y = penguasaan lahan (ha)
non pertanian per tahun dan
X1 = jenis kelamin (dummy) harga sewa lahan secara
X2 = usia petani (tahun)
signifikan
memengaruhi
X3 = status perkawinan
penguasaan lahan
(dummy)
X4 = ukuran rumah tangga
X5 = tingkat pendidikan
X6 = pengalaman bertani
X7 = metode akuisisi lahan
X8 = pendapatan bukan pertanian per tahun
X9 = harga sewa lahan per
hektar
e = galat
Analisis Regresi Berganda
dengan data primer. Variabel
yang digunakan antara lain:
Q = lahan yang dikuasai (ha)

Hasil regresi menunjukkan
bahwa usia, pendapatan,
ukuran aset, pengalaman
bertani, level pendidikan,

16

Nuryartono
(2005)

akses
terhadap
penguasaan
lahan rumah
tangga
dengan
perempuan
sebagai
kepala rumah
tangga.

X1 = usia kepala rumah
tangga (tahun)
X2 = pendapatan (naira)
X3 = ukuran aset (naira)
X4 = pengalaman bertani
(tahun)
X5 = jumlah organisasi pertanian kepala rumah
tangga
X6 = tingkat pendidikan
X7 = harga tanah (naira)
X8 = biaya transaksi (naira)
X9 = dummy akses kredit
X10= lokasi lahan pertanian
(km)
e = galat

akses ke kredit, harga lahan,
dan lokasi lahan pertanian
secara
signifikan
memengaruhi
penguasaan
lahan.

Menganalisis
faktor-faktor
yang
memengaruhi
kepemilikan
lahan secara
membuka
hutan,
warisan, dan
membeli

Variabel dependen yang
digunakan antara lain: luasan
lahan hutan, luasan lahan dari
keluarga, dan luasan lahan
yang
dibeli.
Variabel
independen yang digunakan
antara lain: usia kepala rumah
tangga, tingkat pendidikan
kepala rumah tangga, jumlah
anggota keluarga dewasa,
dummy migrasi (bernilai 1
jika migran), etnis kepala
rumah tangga (1 jika bukan
penduduk lokal), indeks
kapital sosial, jarak dari lahan
ke jalan (menit), indeks
kemiskinan, dan variabel
dummy
untuk
beberapa
wilayah.

Kepemilikan lahan hutan
secara signifikan dipengaruhi
oleh etnis, jarak lahan ke
jalan, kapital sosial, indeks
kemiskinan, dan variabel
dummy
untuk wilayah
Palolo. Kepemilikan lahan
keluarga dipengaruhi oleh
kepemilikan lahan hutan,
tatus migran, etnis, kapital
sosial, indeks kemiskinan,
serta variabel dummy untuk
wilayah Lore Utara dan
Kulawi. Kepemilikan lahan
dari membeli dipengaruhi
oleh lahan keluarga, usia
kepala rumah tangga, tingkat
pendidikan kepala rumah
tangga,
etnis,
indeks
kemiskinan, dan variabel
dummy untuk wilayah Lore
Utara.

Koefisien Gini Penguasaan Lahan
Riset mengenai penghitungan koefisien Gini penguasaan lahan cukup banyak
ditemukan. Riset oleh Tang dan Wang (2009) pada penggunaan lahan di Cina menunjukkan
bahwa selama tahun 1989-2004 telah terjadi peningkatan luasan area lahan garapan namun
luasan lahan menganggur juga meningkat. Kurva Lorenz ditemukan mendekati garis
pemerataan sempurna dan distribusi cenderung seragam. Studi oleh Khattak dan Husai di
Distrik Swat, Pakistan menunjukkan bahwa ketimpangan penguasaan la