Dinamika Kearifan Tradisional Masyarakat Desa Ranu Pane dalam Pemanfaatan Sumberdaya Hayati di Taman Nasional Bromo Tengger semeru

DINAMIKA KEARIFAN TRADISIONAL MASYARAKAT DESA
RANU PANE DALAM PEMANFAATAN SUMBERDAYA HAYATI
DI TAMAN NASIONAL BROMO TENGGER SEMERU

ARUNI NURRAHIM

DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA
FAKULTAS KEHUTANAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Dinamika Kearifan
Tradisional Masyarakat Desa Ranu Pane dalam Pemanfaatan Sumberdaya Hayati
di Taman Nasional Bromo Tengger Semeru adalah benar karya saya dengan
arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada
perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya
yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam
teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.

Bogor, Agustus 2014

Aruni Nurrahim
E34100112

ABSTRAK
ARUNI NURRAHIM. Dinamika Kearifan Tradisional Masyarakat Desa Ranu
Pane dalam Pemanfaatan Sumberdaya Hayati di Taman Nasional Bromo Tengger
Semeru. Dibimbing oleh TUTUT SUNARMINTO dan SAMBAS BASUNI.
Desa Ranu Pane merupakan wilayah enclave TNBTS yang terletak pada
ketinggian 2200 mdpl. Desa Ranu Pane memiliki luas 300 ha yang terbagi ke
dalam dua dukuh yaitu Mbedog Asu (Sidodadi) dan Besaran. Pada kawasan ini
terdapat zona pemanfaatan tradisional yang dapat digunakan oleh masyarakat
dalam memanfaatkan sumberdaya hutan TNBTS. Metode yang digunakan di
dalam pengumpulan data adalah metode FGD (Foccus Group Discussion),
wawancara dan kuesioner dalam bentuk close ended. Kearifan lokal mengenai
pemanfaatan flora dan fauna sudah mulai tergeser. Pemanfaatan flora untuk saat

ini masih dimanfaatkan walaupun tidak seintensif dulu seperti pemanfaatan
tumbuhan obat, tumbuhan pangan dan bahan sajen. Pemanfaatan fauna sudah
tidak lagi dimanfaatkan oleh masyarakat Suku Tengger. Pergeseran ini terjadi
karena beberapa faktor yaitu larangan dari pihak taman nasional, sumberdaya
alam yang tersedia dan tidak adanya kemauan dari generasi muda untuk
memepelajari kearifan lokal.
Kata Kunci : faktor perubah, kearifan tradisional, Suku Tengger

ABSTRACT
ARUNI NURRAHIM. The Dynamics of Traditional Knowledge of Ranu Pane
Village on Utilization Bioldiversity in Bromo Tengger Semeru National Park.
Supervised by TUTUT SUNARMINTO and SAMBAS BASUNI.
Ranu Pane village is an enclave TNBTS area which located 2200 m above
sea level. Ranu Pane village’s wide is 300 hectare which is divided into two
hamlets named Mbedog Asu (Sidodadi) and Magnitude. In this area there are
traditional zone that can be used by people as forest resources in TNBTS. The
method used for collecting the data is a method called FGD (foccus Group
Discussion), interviews and questionnaires in the form of close-ended. Local
knowledge regarding the use of flora and fauna have started shifting. Utilization
for the flora is still used, although not as intensive as used as medicine, food

plants and material offerings. Utilization fauna are no longer used by the Tengger
tribe. This shift occurred because of several factors, like the prohibition of the
national parks, the availability of natural resources and the lack of willingness of
young people to search and understanding of local wisdom.
Key Word : factor of change, Tengger tribe, traditional wisdom

DINAMIKA KEARIFAN TRADISIONAL MASYARAKAT DESA
RANU PANE DALAM PEMANFAATAN SUMBERDAYA HAYATI
DI TAMAN NASIONAL BROMO TENGGER SEMERU

ARUNI NURRAHIM
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kehutanan pada
Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata

DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA
FAKULTAS KEHUTANAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR

2014

Judul Skripsi : Dinamika Kearifan Tradisional Masyarakat Desa Ranu Pane dalam
Pemanfaatan Sumberdaya Hayati di Taman Nasional Bromo
Tengger semeru
Nama
: Aruni Nurrahim
NIM
: E34100112

Disetujui oleh

Dr Ir Tutut Sunarminto, MSi
Pembimbing I

Prof Dr Ir H Sambas Basuni, MS
Pembimbing II

Diketahui oleh


Prof Dr Ir H Sambas Basuni, MS
Ketua Departemen

Tanggal Lulus:

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang
dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Februari-Maret 2014 ini
ialah masyarakat, dengan judul Dinamika Kearifan Tradisional Masyarakat Desa
Ranu Pane Dalam Pemanfaatan Sumberdaya Hayati Di Taman Nasional Bromo
Tengger Semeru.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr Ir Tutut Sunarminto, MSi
dan Bapak Prof Dr Ir H Sambas Basuni MS selaku pembimbing yang telah
banyak memberikan saran dan arahan selama penelitian berlangsung dan dalam
penulisan skripsi ini. Di samping itu, ucapan terima kasih juga penulis sampaikan
kepada seluruh staff pengelola Taman Nasional Bromo Tengger Semeru, Jawa
Timur dan masyarakat Desa Ranu Pane yang telah membantu dan bekerjasama
dalam pengumpulan data penelitian ini. Ungkapan terima kasih yang setulusnya
penulis sampaikan kepada Ayahanda Harnios Arief dan Mama Eni Setyaningsih,

adik-adikku tersayang serta seluruh keluarga, atas segala doa, semangat dan kasih
sayangnya. Selain itu juga ucapan terima kasih kepada Yuri Dinosia S yang telah
menjadi partner selama belajar di Fahutan dan selalu memberikan semangat,
kepada angkatan Nepenthes Rafflesiana KSHE 47, Keluarga besar KSHE dan
Fahutan IPB, HIMAKOVA, serta sahabat-sahabat terbaik saya atas segala doa,
kasih sayang dan kekeluargaan yang erat selama ini.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Agustus 2014

Aruni Nurrahim

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN
PENDAHULUAN

vii
vii

vii
1

Latar Belakang

1

Tujuan Penelitian

2

Manfaat Penelitian

2

METODE

2

Lokasi dan Waktu


2

Bahan dan Alat

3

Jenis Data

3

Metode Pengumpulan data

3

Analisis Data

4

HASIL DAN PEMBAHASAN


4

Kondisi Umum Lokasi Penelitian

4

Karakteristik Responden

5

Aspek Pemanfaatan Tumbuhan oleh Masyarakat

6

Aspek Dinamika Kearifan Tradisional Masyarakat Suku Tengger
SIMPULAN DAN SARAN

12
17


Simpulan

17

Saran

17

DAFTAR PUSTAKA

17

LAMPIRAN

19

DAFTAR TABEL
1
2

3
4

Komponen, jenis, sumber dan teknik pengambilan data
Pemanfaatan tumbuhan oleh masyarakat
Pemanfaatan Satwa oleh Masyarakat
Tradisi yang mengalami perubahan

3
8
12
13

DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4
5
6
7
8

Desa Ranu Pane
Tingkat pendidikan masyarakat
Pekerjaan masyarakat
Pelanggaran yang dilakukan masyarakat
Penangkapan masyarakat yang melanggar
Bagian Tumbuhan yang dimanfaatkan
Cara pengambilan tumbuhan oleh masyarakat
Cara pemanfaatan tumbuhan oleh masyarakat

5
6
6
7
7
10
10
11

DAFTAR LAMPIRAN
1
2
3
4

Panduan Pelaksanaan FGD (Focus Group Discussion)
Keadaan dan status perlindungan satwaliar di Desa Ranu Pane
Keadaan dan status perlindungan vegetasi di Desa Ranu Pane
Jenis tumbuhan, bagian yang dimanfaatkan, cara pengambilan, dan
cara pemanfataan

19
19
20
21

1

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Indonesia merupakan negara yang memiliki potensi sumberdaya alam
yang melimpah. Sumberdaya alam yang ada di Indonesia dimanfaatkan oleh
masyarakat terutama masyarakat desa sekitar hutan. Admawidjaja (1991)
menyatakan kebijakan yang ditempuh oleh pemerintah dalam melestarikan hutan
harus selalu memperhatikan keberadaan penduduk di sekitar dan di dalam hutan.
Mereka memanfaatkan segala sumber penghidupan yang ada di dalam hutan
untuk mempertahankan eksistensi kelompoknya yang masih terbelakang yang
tidak pernah mengenal keadaan di luar batas wilayahnya. Dalam kondisi sosial
ekonomi yang sederhana, mereka secara alamiah adalah penjaga dan pelestari
alam lingkungannya. Rakyat di sekitar hutan atau di dalam enclave hutan tidak
dirugikan oleh larangan mengambil hasil hutan untuk memenuhi kebutuhan hidup
sehari-hari. Diusahakan pemungutan hasil hutan terbatas di encvlave dan zona
penyangga serta areal yang telah ditunjuk. Sumberdaya alam yang ada
dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan hidup masyarakat. Beberapa bentuk
pemanfaatan hasil hutan oleh masyarakat seperti penggunaan ranting kering,
pemanfaatan tumbuhan dan hewan, pemanfaatan hasil hutan bukan kayu dan lain
sebagainya. Pemanfaatan hasil hutan dilakukan secara lestari agar tetap terjaga
dan dapat dimanfaatkan secara berkelanjutan, agar kelestarian sumberdaya alam
tetap dapat terjaga maka pemanfaatan dilakukan secara bijak dan lestari.
Masyarakat tradisional berperan penting dalam hal pelestarian sumberdaya
alam yang berada di sekitarnya karena masih memiliki nilai kearifan tradisional.
Kearifan tradisional merupakan pengetahuan secara turun temurun yang dimiliki
oleh masyarakat untuk mengelola lingkungan hidupnya, yaitu pengetahuan yang
melahirkan perilaku sebagai hasil dari adaptasi mereka terhadap lingkungannya
yang mempunyai implikasi positif terhadap kelestarian lingkungan (Purnomohadi
1985). Salah satu contoh masyarakat adat yang masih memiliki nilai ini adalah
Masyarakat Suku Tengger di Taman Nasional Bromo Tengger Semeru.
Masyarakat Tengger sangat menjaga kelestarian alam, terlihat dari hutan
yang masih terjaga kelestariannya. Suku Tengger menaruh kepercayaan yang
sangat besar terhadap hasil hutan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sehingga
tercipta hubungan yang sangat erat antara masyarakat Suku Tengger dengan hutan
yang terdapat di Gunung Bromo dan Semeru. Salah satu contoh bentuk
pemanfaatan sumberdaya alam yang masih terjaga sampai saat ini adalah
pemanfaatan tumbuhan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya seperti pemanfaatan
tanaman obat tradisional dan pemanfaatan sumberdaya alam untuk sesajen pada
saat upacara. Jika menebang satu pohon maka harus menanam dua pohon hal ini
merupakan upaya dari masyarakat untuk menjaga kelestarian alam lingkungannya.
Tradisi pemanfaatan sumberdaya alam ini telah ada sejak lama dan nilai ini
diwariskan oleh leluhur masyarakat Suku Tengger.
Nilai-nilai kearifan tradisional sangat berpengaruh terhadap kelestarian
hutan. Karena masyarakat tradisional sangat mempercayai, menjaga dan
memegang teguh aturan-aturan yang telah dibuat oleh leluhur mereka. Salah satu
nilai yang berlaku hingga saat ini adalah larangan untuk merusak hutan, hal ini

2
merupakan salah satu faktor mengapa kelestarian hutan masih terjaga hingga saat
ini. Masyarakat tradisional akan tetap menjaga kelestarian hutan karena mereka
merasakan manfaat yang diberikan oleh hutan.
Ranu Pane merupakan pintu masuk utama untuk mendaki Gunung Semeru,
sehingga banyak wisatawan asing maupun lokal yang masuk ke wilayah Desa
Ranu Pane. Budaya para pendatang ini dapat merubah perilaku atau kearifan lokal
yang masuk ke wilayah Desa Ranu Pane, sehingga terjadi perubahan di dalam
budaya masyarakat Suku Tengger di Desa Ranu Pane dalam memanfaatkan
sumberdaya hutan. Masuknya Taman Nasional ke dalam wilayah Desa Ranu Pane
menyebabkan adanya larangan untuk mengambil sumberdaya hayati dari dalam
hutan. Penelitian mengenai dinamika kearifan lokal masyarakat Desa Ranu Pane
dalam pemanfaatan sumberdaya hayati di Taman Nasional Bromo Tengger
Semeru perlu dilakukan.

Tujuan Penelitian
1. Mengidentifikasi sumberdaya hayati di Taman Nasional yang dimanfaatkan
oleh masyarakat
2. Mengidentifikasi dinamika kearifan tradisional masyarakat
3. Mengidentifikasi faktor-faktor yang menyebabkan perubahan nilai-nilai
kearifan tradisional
Manfaat Penelitian
1. Bagi pengelola Taman Nasional Bromo Tengger Semeru penelitian ini
diharapkan dapat menjadi bahan acuan dalam mengelola TNBTS pada kegiatan
pemanfaatan dan pelestarian dengan berbasis pada kearifan lokal masyarakat
yang berada di sekitar kawasan.
2. Bagi masyarakat adat, penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat
agar masyarakat sekitar kawasan tetap tetap menjaga pengetahuan tradisional
yang masih ada hingga saat ini

METODE
Lokasi dan Waktu
Penelitian dilaksanakan pada bulan Maret 2014 di Resort Ranu Pane
Taman Nasional Bromo Tengger Semeru, Desa Ranu Pane, Kecamatan Senduro,
Kabupaten Lumajang, Provinsi Jawa Timur. Penelitian ini tidak pengaruhi oleh
waktu tertentu. Pada Desa Ranu Pane terdapat masyarakat asli yaitu masyarakat
Suku Tengger, yang secara turun temurun memanfaatkan sumberdaya hayati dari
dalam kawasan hutan di sekitar Desa Ranu Pane.

3
Bahan dan Alat
Obyek yang digunakan selama penelitian meliputi jenis sumberdaya hayati
yang dimanfaatkan oleh masyarakat Desa Ranu Pane. Alat yang dipergunakan
dalam penelitian meliputi : alat perekam, kuesioner dan tally sheet.

Jenis Data
Jenis data yang diambil terdiri dari data primer dan data sekunder kepada
90 responden dengan cluster yang berbeda yaitu masyarakat asli, campuran dan
pendatang (Tabel 1).
Tabel 1 Komponen, jenis, sumber dan teknik pengambilan data
Komponen data

Jenis data

Sumber data

Karakteristik responden
Jenis Sumberdaya Hayati
yang dimanfaatkan
Bagian yang dimanfaatkan
Cara pemanfaatan
Cara pengambilan
Lokasi pemanfaatan

Primer
Primer

Responden
Responden

Primer
Primer
Primer
Primer

Responden
Responden
Responden
Responden

Hukuman apabila
melanggar aturan adat
Perubahan nilai adat
Kondisi umum desa

Primer

Responden

Primer
Sekunder

Responden
Internet dan
Buku

Teknik pengambilan
data
Wawancara
Kuesioner dan
wawancara
Kuesioner
Kuesioner
Kuesioner
Wawancara dan
Kuesioner
Wawancara
Wawancara
Studi Literatur

Metode Pengumpulan data
Focus Group Discussion (FGD)
FGD adalah suatu metode riset yang oleh Irwanto (1998) didefinisikan
sebagai suatu proses pengumpulan informasi mengenai suatu permasalahan
tertentu yang sangat spesifik melalui diskusi kelompok. Dengan kata lain FGD
merupakan proses pengumpulan informasi tetapi tidak melalui wawancara, bukan
perorangan dan bukan diskusi bebas tanpa topik spesifik. Metode FGD termasuk
termasuk metode kualitatif. Seperti jenis-jenis metode kualitatif lainnya metode
FGD berupaya untuk menjawab jenis-jenis pertanyaan how and why bukan
menjawab pertanyaan what and how many yang khas untuk menjawab metode
kuantitatif. FGD merupakan metode yang tidak mudah, membutuhkan
perencanaan, upaya, dan sumberdaya.
Focus Group Discussion pada penelitian ini dilakukan bersama orang-orang
yang memiliki pengetahuan mengenai sejarah kearifan tradisional pada
masyarakat Suku Tengger seperti sesepuh dan dukun adat setempat. FGD

4
dilakukan untuk memperoleh informasi mengenai sejarah datangnya masyarakat
Suku Tengger, sejarah mengenai pemanfaatan kawasan oleh Masyarakat Tengger
dan informasi mengenai perubahan nilai atau norma yang masih terjaga sampai
saat ini.
Kuesioner
Penyebaran kuesioner dilakukan kepada 90 responden dengan tiga kategori
yaitu masyarakat asli, masyarakat pendatang dan masyarakat campuran. Jumlah
masing-masing kategori adalah 30 responden. Kuesioner yang diberikan
merupakan kuesioner yang sudah disediakan jawabanya agar jawaban yang
diberikan oleh responden tidak meluas. Penilaian terhadap kuesioner ini
menggunakan skala Likert 1-7 (1. Tidak pernah dimanfaatkan 2. Jarang
dimanfaatkan 3. Agak jarang dimanfaatkan 4. Dimanfaatkan 5. Agak sering
dimanfaatkan 6. Sering dimanfaatkan 7. Selalu dimanfaatkan) (Avenzora2008).
Wawancara
Teknik wawancara yang digunakan kepada informan adalah wawancara
tidak terstruktur yaitu membiarkan pihak yang diwawancarai untuk terbuka
menjawab pertanyaan dari peneliti dan dibiarkan untuk mengekspresikan dirinya
sendiri dengan istilah-istilah yang dimengerti oleh informan tersebut dan peneliti
yang akan menyimpulkan hasilnya (Endraswara, 2006). Wawancara ini bertujuan
untuk menggali informasi mengenai aspek apapun yang terkait dengan penelitian
seperti bentuk pemanfaatan spesies, tingkat kesulitan memperoleh spesies
tertentu, dan kearifan lokal masyarakat Suku Tengger.

Analisis Data
Data yang didapatkan diteliti terlebih dahulu kelengkapannya. Kemudian
dianalisis secara kuantitatif deskriptif. Analisis dilakukan dengan menggunakan
tabel. Kemudian penilaian terhadap sumberdaya hayati yang dimanfaatkan
dilakukan dengan scoring menggunakan skala Likert 1-7 lalu hasil dari kuesioner
dijumlahkan untuk mendapatkan kuantifikasi tertinggi. Analisi deskriptif
digunakan untuk metode FGD dan wawancara terhadap masyarakat. Hasil dari
FGD dan wawancara kemudian digabungkan untuk mendapatkan hasil yang
akurat.

HASIL DAN PEMBAHASAN
Kondisi Umum Lokasi Penelitian
Desa Ranu Pane merupakan wilayah enclave di kawasan Taman Nasional
Bromo Tengger Semeru dengan luas desa sebesar 385 ha dengan ketinggian 2.200
mdpl (Gambar 1). Desa Ranu Pane diusahakan menjadi Desa pada tanggal 19
Desember 2005 oleh pemerintah Lumajang dan masuk wilayah administrative
Kecamatan Senduro. Desa Ranu Pane terbagi ke dalam dua dusun yaitu Dusun
Sidodadi dan Dusun Besaran (BBTNBTS 2010). Berdasarkan Klasifikasi tipe

5
iklim oleh Schmidt dan Ferguson (1951) kawasan resort Ranu Pane termasuk ke
dalam iklim C. kawasan Ranu Pane setiap hari hampir selalu berkabut dan dingin.
Suhu udara rata-rata mencapai 10 , curah hujan di Ranu Pane cukup Tinggi
yaitu dengan Q= 33,3-60%. Pada bulan Januari hingga Februari angin bertiup
kencang disertai dengan hujan yang terus-menerus. Kombinasi antara tiupan angin
dan hujan merupakan penyebab erosi (BBTNBTS 2010).
Kawasan Ranu Pane memiliki kondisi hidrologi yang pada umumnya
sama dengan daerah vulkanik lainnya. Daerah Ranu Pane memperoleh air dari
tanah dari air hujan yang merembes melalui sebaran batu gunung, bergerak masuk
ke dalam lapisan batuan di bawah batu lempung yang kedap air. Untuk keperluan
sehari-hari Masyarakat Suku Tengger Desa Ranu Pane diperoleh dari bukit, yaitu
dari sumber air Amprong dekat Gunung Ayek-ayek yang berjarak kurang lebih 45 Km dari Ranu Pane. Sumber air lainnya adalah dari Ranu Regulo yang
mempunyai mata air sendiri, berbeda dengan Ranu Pani yang tidak memiliki mata
air sendiri, karena Ranu Pane merupakan danau tadah hujan (BBTNBTS 2010).

Gambar 1 Desa Ranu Pane
Penduduk Desa Ranu Pane berjumlah 908 jiwa dan terbagi ke dalam tiga
cluster yaitu masyarakat asli (Suku Tengger), masyarakat campuran (keturunan
dari masyarat Suku Tengger dan pendatang) dan masyarakat pendatang. Kearifan
Tradisional yang masih ada hingga saat ini berupa upacara-upacara adat seperti
Upacara Kasodo, Karo, Unan-unan dan inong-inong. Bagi masyarakat yang
menganut agama Hindhu masih melakukan pembuatan boneka petranyatnya yang
ditujukan untuk acara perpisahan dengan orang yang sudah meninggal.

Karakteristik Responden
Masyarakat Suku Tengger memiliki latar belakang pendidikan yang
berbeda-beda (Gambar 2). Responden sebanyak 56% berpendidikan Sekolah dasar
(SD) hal ini dikarenakan fasilitas untuk sekolah yang berada di Desa Ranu Pane
belum memadai, seperti hanya terdapat 1 bangunan sekolah yang untuk pagi hari
digunakan sebagai sekolah dasar (SD) dan sore harinya digunakan untuk Sekolah
Menengah Pertama (SMP). Responden yang diambil pada umumnya berjenis
kelamin laki-laki hak ini dikarenakan laki-laki lebih sering pergi ke ladang dan
mudah unutk ditemui. Mata pencaharian tertinggi dari responden sebagai petani

6
sayur sebanyak 53% dan dua diantaranya merupakan dukun adat dan dukun saji
yang dipercaya masyarakat untuk memimpin upacara adat dan membuat sesajen
(Gambar 3). Penunjukan menjadi Dukun Adat yaitu dari keturunan dan
masyarakat, persyaratan menjadi dukun adat bukan dari masyarakat melainkan
dari dukun sebelumnya. Syaratnya yaitu orang yang akan diangkat menjadi dukun
harus hapal 2 bait mantra dan akan diadakan pelantikan mantra dari leluhur.

Gambar 2 Tingkat pendidikan
masyarakat

Gambar 3 Pekerjaan masyarakat

Agama yang dianut oleh masyarakat Suku Tengger yaitu agama Islam,
Hindhu dan Kristen. Perbedaan ketiga agama ini tidak membawa perpecahan
diantara warga. Menurut Pairah (2010) pada umumnya Masyarakat Suku Tengger
memiliki sikap tenggang rasa antar umat beragama yang tinggi, sikap gotong
royong, kekeluargaan dan ramah. Saat diadakan upacara adat seperti Kasodo
warga yang beragama Islam dan Kristen ikut serta ke kawah bromo untuk
mengikuti upacara. Suku Tengger merupakan warga yang ramah karena tradisinya
dalam mempersilahkan tamu untuk duduk di dapur dan mempersilahkan makan.

Aspek Pemanfaatan Tumbuhan oleh Masyarakat
Masyarakat Suku Tengger Desa Ranu Pane merupakan masyarakat yang
hidup di dalam kawasan hutan dan memanfaatkan kebutuhan hidupnya dari alam
sekitar. Secara budaya masyarakat memiliki hubungan yang erat dengan
lingkungan alam sekitarnya oleh karena itu, dalam tatanan kehidupan masyarakat
telah memiliki kearifan lokal yang mengatur hubungan dengan alam dan mustahil
untuk memisahkan keterkaitan masyarakat sekitar dengan kawasan konservasi
(Wianti 2007). Masyarakat memperoleh beberapa tumbuhan dari hutan seperti
tumbuhan yang digunakan sebagai tumbuhan pangan, tumbuhan obat dan kayu
bakar. Lokasi pengambilan tumbuhan yang dimanfaatkan yaitu di zona
pemanfaatan tradisional di kawasan hutan yang berada di sekitar Desa Ranu Pane.
Menurut Peraturan menteri Kehutanan No.56 tahun 2006 zona pemanfaatan
tradisional ditetapkan sebagai bagian dari Taman Nasional yang ditetapkan untuk
kepentingan pemanfaatan tradisional oleh masyarakat yang karena kesejarahan
mempunyai ketergantungan dengan Sumberdaya Alam Hayati dan dimanfaatkan
secara lestari melalui pengaturan pemanfaatan dalam rangka memenuhi kebutuhan

7
hidupnya. Sebelum masuknya perladangan dan aturan dari taman nasional
masyarakat memanfaatkan tumbuhan pangan seperti tiwul dan semanggi dari
dalam hutan. Kebutuhan tumbuhan untuk sajen yang digunakan pada upacara adat
sebenarnya tidak diperbolehkan , tetapi karena upacara merupakan tradisi yang
sudah ada sejak sebelum terbentuknya taman nasional maka pengambilan
tumbuhan untuk sajen tidak dilarang dengan syarat hanya dukun sajen saja yang
boleh mengambil dan dalam jumlah yang tidak banyak. Tumbuhan yang
keberadaanya dilindungi dan digunakan untuk bahan sajen yaitu bunga edelweiss
(Anaphalis longifolia). Pada Tabel 2 dapat dilihat bahwa pemanfaatan tertinggi
adalah pemanfaatan tumbuhan untuk dijadikan kayu bakar oleh masyarakat.
Tumbuhan yang biasa dijadikan kayu bakar adalah Akasia Gunung (Accacia
decurens) dan Cemara Gunung (Casuarina junghuhinia), pengambilan kayu bakar
ini merupakan suatu ancaman bagi kelestarian kawasan hutan, karena tingginya
intensitas pemanfaatan kayu. Sering ditemukannya pelanggaran di dalam
pengambilan kayu untuk kayu bakar, yaitu penebangan kayu yang masih bagus
dan pengangkutan kayu bakar menggunakan motor (Gambar 4 dan 5).

Gambar 4 Pelanggaran yang dilakukan
masyarakat

Gambar 5 Penangkapan masyarakat
yang melanggar

Pihak TNBTS memperbolehkan masyarakat mengambil kayu yang sudah
kering atau jatuh dan diangkut secara tradisional tidak boleh mempergunakan
motor. Jumlah kayu bakar yang diangkut menggunakan motor dapat berjumlah
lima kali lipat dibandingkan pengangkutan kayu bakar dengan cara dipikul. Bagi
masyarakat yang mengangkut kayu dengan kendaraan bermotor akan dikenakan
sanksi apabila terlihat oleh pihak pengelola Taman Nasional, sanksi yang
diberikan yaitu :
1. Apabila masyarakat baru melakukan pelanggaran satu kali maka masyarakat
diharuskan menanam 100 bibit Akasia atau Cemara Gunung yang bibitnya
dicari sendiri.
2. Apabila masyarakat melakukan pelanggaran dua kali maka masyarakat
diharuskan menanam 200 bibit Akasia atau Cemara Gunung yang bibitnya
dicari sendiri.
3. Masyarakat yang ketahuan melanggar untuk ke tiga kali maka akan diproses
secara hukum.
Pemberian sanksi ini sudah didiskusikan oleh pihak Taman Nasional dan
kepala Desa serta telah disetujui oleh seluruh masyarakat Desa Ranu Pane. Sanksi
yang diberikan bertujuan untuk menjaga kelestarian kawasan hutan. Beberapa

8
warga sudah mulai sadar dan melakukan penanaman tumbuhan yang dapat
dijadikan kayu bakar di ladang milik mereka, untuk mengurangi tingginya
pemanfaatan penggunaan kayu bakar dari dalam kawasan hutan dan memudahkan
dalam pengambilan kayu bakar pada saat musim hujan.
Tabel 2 Pemanfaatan tumbuhan oleh masyarakat
Responden

Total

Ratarata

4
3

Nilai Kategori Pemanfaatan
Tumbuhan
B
C
D
E
F
G
3
1
6
3
3
1
2
1
6
2
2
1

21
17

3
2

4

2

2

6

4

2

1

21

3

11
3

7
2

1
1

18
6

9
3

7
2

3
1

56
18

8
2

A
Masyarakat Asli
Masyarakat
Pendatang
Masyarakat
campuran
Total
Rata-Rata

Keterangan : a. A= Tumbuhan pangan; B= Tumbuhan obat; C= Tumbuhan hias; D= Kayu
bakar; E = Upacara adat; F= Pakan ternak; G= Bahan bangunan
b.1=Tidak pernah dimanfaatkan; 2= Jarang dimanfaatkan; 3= Agak jarang
dimanfaatkan; 4= Dimanfaatkan; 5= Agak sering dimanfaatkan; 6= Sering
dimanfaatkan; 7= Selalu dimanfaatkan
c. n= 30 orang responden pada setiap cluster

Tingginya pemanfaatan tumbuhan oleh suatu masyarakat atau suku juga
dipengaruhi oleh tersedianya keanekaragaman spesies tumbuhan yang tinggi di
lokasi tersebut. Keanekaragaman spesies tumbuhan dapat dipengaruhi oleh
ketinggian tempat. Semakin tinggi tempat, maka semakin rendah keanekaragaman
spesies tumbuhan pada lokasi tersebut (Primack et al. 1998). Desa Ranu Pani
terletak pada ketinggian 2200 m dpl. Hal ini menyebabkan rendahnya tingkat
keanekaragaman spesies yang dapat dimanfaatkan. Jenis tumbuhan yang
ditemukan pada saat penelitian berjumlah 21 spesies (Lampiran 4).
Pemanfaatan tumbuhan obat dan tumbuhan pangan tidak terlalu
dimanfaatkan karena sumberdaya alam yang terbatas dan perubahan pola hidup
masyarakat yang sudah bergeser ke arah yang lebih modern. Pemanfaatan
tumbuhan pangan tidak terlalu dimanfaatkan lagi karena masyarakat Ranu Pane
tidak memiliki waktu untuk pergi ke hutan. Masyarakat yang masih melakukan
pemanfaatan tumbuhan pangan merupakan masyarakat asli setempat dan
keturunannya. Tumbuhan pangan yang banyak dimanfaatkan yaitu jenis jamur
dan ranti karena banyak terdapat di hutan. Pengambilan tumbuhan pangan ini
dilakukan pada saat masyarakat memiliki waktu senggang dan pada saat
masyarakat mencari kayu bakar. Pengambilan jamur oleh masyarakat dilakukan
setahun sekali pada saat musim hujan. Jamur didapatkan oleh masyarakat pada
pepohononan yang telah mati atau tumbang. Pengambilan jamur dilakukan
dengan cara dipetik dan diambil sesuai kebutuhan.
Tumbuhan obat tradisional merupakan spesies tumbuhan yang dipercaya
masyarakat mempunyai khasiat obat dan telah digunakan sebagai bahan baku obat
tradisional (Zuhud 2004). Masyarakat yang menggunakan tumbuhan obat pada

9
umumnya merupakan masyarakat asli yang sudah berumur diatas 50 tahun dan
masih mempercayai khasiat tumbuhan obat tersebut serta ingin menjaga kearifan
tradisional yang telah diturunkan oleh leluhurnya. Tumbuhan obat yang banyak
digunakan yaitu adas (Foeniculum vulgare), sempretan (Eupatorium inofolium)
dan ampet (Pilea melastomoides). Spesies tumbuhan yang sering dimanfaatkan
sebagai obat biasanya digunakan untuk mengobati penyakit seperti pegal linu atau
nyeri otot, obat masuk angin dan keseleo. Pemanfaatan tumbuhan obat pada
umumnya diproses dengan cara digodog bersama air terlebih dahulu. Cara
pengolahan untuk tumbuhan adas (Foeniculum vulgare) dilakukan dengan cara
digodog bersama air dan diminum sedangkan pemanfaatan tumbuhan sempretan
(Eupatorium inofolium) diproses dengan cara melumat daun segar dan
menambahkan air kemudian diambil airnya. Manfaatan dari tumbuhan adas
(Foeniculum vulgare) yaitu untuk mengobati batuk dan manfaat dari tumbuhan
sempretan (Eupatorium inofolium) yaitu untuk mengobati luka luar pada kulit.
Pemanfaatan tumbuhan obat hanya dilakukan pada saat-saat tertentu saja.
Masyarakat campuran yang berusia 25 tahun sudah tidak mau lagi menggunakan
tumbuhan obat tradisional karena masuknya obat kimia yang lebih modern,
praktis dan langsung terasa khasiatnya, sehingga generasi muda sudah tidak ingin
lagi mempelajari khasiat dan cara pemakaian dari tumbuhan obat tradisional.
Tidak ada waktu tertentu untuk pemanfaatan pada tumbuhan pangan
maupun tumbuhan obat. Masyarakat Suku Tengger memanfaatkan jenis-jenis
tumbuhan obat maupun pangan saat mereka membutuhkan baik pada musim
hujan maupun musim kemarau. Terutama penggunaan tumbuhan obat apabila ada
warga yang sakit, warga langsung mencari tumbuhan tersebut dan mengambilnya
sesuai kebutuhan. Tumbuhan obat juga dapat dikeringkan dan disimpan sehingga
apabila diperlukan warga tidak perlu mencari terlebih dahulu.
Tumbuhan untuk kayu bahan bangunan sudah tidak dimanfaatkan oleh
masyarakat sekitar. Saat ini masyarakat menggunakan bahan bangunan material
untuk membangun rumah mereka. Mereka tidak ingin memanfaatkan kayu bahan
bangunan dari dalam hutan yang sulit digunakan dan susah didapatkan. Rumah
masyarakat yang menggunakan kayu dari dalam hutan merupakan masyarakat asli
yang telah sejak awal tinggal di Desa Ranu Pane. Jenis-jenis tumbuhan yang
digunakan sebagai kayu bahan bangunan diketahui dari keturunan masyarakat asli
yang pertama kali menempati Desa Ranu Pane.
Pada umumnya bagian tanaman yang dimanfaatkan oleh masyarakat Desa
Ranu Pane adalah bagian daun, batang dan ranting. Daun dimanfaatkan dari
tumbuhan yang digunakan sebagai bahan obat tradisional, tetapi ada beberapa
tumbuhan obat juga dimanfaatkan getah dan akarnya. Pemanfaatan batang dan
ranting digunakan oleh masyarakat desa Ranu Pane untuk dijadikan sebagai kayu
bakar. Pada Gambar 6 terlihat bagian batang dan ranting lebih mendominasi
bagian tumbuhan yang dimanfaatkan hal ini disebabkan karena tingginya
intensitas pemakaian kayu bakar oleh masyarakat desa. Bagi masyarakat asli Suku
Tengger bagian bunga masih dimanfaatkan untuk keperluan sesaji saat
diadakannya upacara adat, dibandingkan dengan pemanfaatan bagian batang dan
ranting pemanfaatan bunga tergolong rendah karena bunga hanya dimanfaatkan
pada saat tertentu yaitu upacara Kasodo dan Karo. Bagian buah dan seluruh
bagian tidak dimanfaatkan oleh masyarakat Suku Tengger karena masyarakat
sudah tidak terlalu memanfaatkan tumbuhan pangan dari dalam hutan.

10

Keterangan. 1=Tidak pernah dimanfaatkan; 2=Jarang dimanfaatkan; 3=Agak jarang dimanfaatkan;
4=Dimanfaatkan; 5=Agak sering dimanfaatkan; 6= sering dimanfaatkan; 7=Selalu
dimanfaatkan

Gambar 6 Bagian Tumbuhan yang dimanfaatkan
Cara pengambilan tumbuhan oleh masyarakat Desa Ranu Pane diperoleh
dengan cara memungut, memotong, memetik dan menebang. Cara pengambilan
tertinggi adalah dengan cara memungut, skala untuk pengambilan dengan cara
memungut mencapai angka 6 (Gambar 7).

Keterangan. 1=Tidak pernah dimanfaatkan; 2=Jarang dimanfaatkan; 3=Agak jarang dimanfaatkan;
4=Dimanfaatkan; 5=Agak sering dimanfaatkan; 6= sering dimanfaatkan; 7=Selalu
dimanfaatkan

Gambar 7 Cara pengambilan tumbuhan oleh masyarakat
Cara pengambilan ini dimanfaatkan untuk mendapatkan ranting kering
yang sudah jatuh ke tanah dan akan dijadikan sebagai bahan kayu bakar. Cara
pengambilan dengan memotong digunakan untuk membagi batang yang sudah
kering dan jatuh menjadi bagian-bagian kecil untuk dijadikan kayu bakar.
Pemanfaatan dengan cara menebang digunakan untuk mengambil kayu bakar, hal

11
ini merupakan salah satu pelanggaran yang dilakukan oleh masyarakat karena
menebang pohon yang masih bagus untuk dijadikan kayu bakar. Cara
pengambilan dengan memetik menggunakan tangan secara tradisional
dimanfaatkan untuk mengambil daun yang digunakan sebagai tumbuhan obat,
tumbuhan pangan dan mengambil bunga untuk dijadikan sesajen. Cara ini
dimaksudkan agar pemanfaatan sumberdaya tidak dilakukan secara berlebihan.
Masyarakat menghindari penggunaan alat seperti gunting untuk mengambil
sumberdaya, karena dikhawatirkan terjadi pengambilan secara berlebihan. Hal
tersebut merupakan salah satu upaya masyarakat Suku Tengger di dalam
pelestarian sumberdaya hayati.
Pemanfaatan tumbuhan oleh masyarakat dilakukan dengan cara dikeringkan,
direbus, digodog dan dimanfaatkan secara langsung. Pemanfaatan tumbuhan obat
dilakukan dengan cara penggodokan terlebih dahulu lalu langsung diminum,
selain itu beberapa jenis tumbuhan obat yang sering dimanfaatkan cara
pemakaiannya yaitu ditumbuk lalu dioleskan. Pemanfaatan tumbuhan untuk
dijadikan bahan pangan dilakukan dengan cara direbus terlebih dahulu dan
pemanfaatan tumbuhan untuk digunakan sebagai bahan sajen beberapa
diantaranya menggunakan bagian bunga dari suatu tumbuhan, cara pemanfaatan
dari tumbuhan untuk sajen adalah digunakan secara langsung. Pemanfaatan
tumbuhan untuk kayu bakar dimanfaatkan dengan cara pengeringan kayu terlebih
dahulu, setelah kayu kering kayu dapat dimanfaatkan untuk kayu bakar.

Keterangan. 1=Tidak pernah dimanfaatkan; 2=Jarang dimanfaatkan; 3=Agak jarang
dimanfaatkan; 4=Dimanfaatkan; 5=Agak sering dimanfaatkan; 6=
sering dimanfaatkan; 7=Selalu dimanfaatkan

Gambar 8 Cara pemanfaatan tumbuhan oleh masyarakat

Aspek Pemanfaatan Satwa oleh Masyarakat
Masyarakat Desa Ranu Pane tidak memanfaatkan satwa yang ada di
sekitar lingkungan tempat hidupnya, hal ini terlihat pada (Tabel 3) dimana satwa
tidak pernah dimanfaatkan. Masyarakat desa tidak memanfaatkan satwa karena

12
aturan dari pihak pengelola taman nasional dan tidak tersedianya sumberdaya di
alam. Menurut warga sekitar mereka tidak mengetahui jenis satwa apa saja yang
berada di dalam kawasan hutan sekitar tempat tinggal mereka. Pada saat
melakukan wawancara masyarakat pada umumnya hanya mengetahui adanya
harimau, babi hutan dan rusa. Masyarakat desa pada umumnya tidak mengetahui
jenis burung yang berada di sekitar kawasan tempat tinggal mereka.
Beberapa warga masyarakat ada yang masih melakukan perburuan apabila
hewan tersebut masuk ke dalam kawasan desa, tetapi hal ini sangat jarang
dilakukan dalam satu tahun hanya mendapatkan 1-2 ekor saja. Hewan yang sering
masuk ke dalam kawasan desa yaitu jenis babi hutan (Sus scrofa) dan rusa
(Muntiacus muntjak). Satwa hasil buruan akan dibagikan kepada masyarakat desa
yang mau dan tidak untuk diperjualbelikan. Beberapa warga masyarakat ada yang
mengkonsumsi ayam hutan (Gallus gallus) tetapi tidak dalam jumlah yang
banyak.
Tidak adanya pemanfaatan satwa sebagai bahan untuk dijadikan obat
tradisional salah satu faktornya adalah minimnya pengetahuan masyarakat Desa
Ranu Pane mengenai satwa apa saja yang dapat dijadikan obat. Sumberdaya satwa
seperti herpetofauna yang biasa dijadikan bahan untuk obat tradisional pun tidak
tersedia karena tingginya kawasan Desa Ranu Pane sehingga hewan-hewan
herpetofauna jarang ditemukan.
Tabel 3 Pemanfaatan Satwa oleh Masyarakat
Responden

Masyarakat Asli
Masyarakat Pendatang
Masyarakat Campuran
Total
Rata-rata

1
1
1
3
1

Nilai Kategori
Pemanfaatan satwa
A
B
C
1
1
1
1
1
1
3
3
1
1

Total

3
3
3
9
3

Rata-rata

1
1
1
3
1

Keterangan : a. A= Mamalia; B= Burung; C= Herpetofauana
b. 1-=Tidak pernah dimanfaatkan; 2= Jarang dimanfaatkan; 3= Agak jarang
dimanfaatkan; 4= Dimanfaatkan; 5= Agak sering dimanfaatkan; 6= Sering
dimanfaatkan; 7= Selalu dimanfaatkan
c. n= 30 orang responden pada setiap kluster

Aspek Dinamika Kearifan Tradisional Masyarakat Suku Tengger
Kearifan masyarakat dalam mengelola wilayah mereka terbentuk dalam
sikap mereka yang tidak akan mau menjual tanah kepada penduduk yang bukan
warga asli. Masyarakat di desa juga memiliki suatu ketentuan adat mengenai
pelanggaran lingkungan, yaitu apabila seseorang menebang lima batang pohon
non komersial di dalam kawasan TNBTS, maka ia diharuskan membayar dengan
50 sak semen dan menanam 300 batang pohon cemara pada bekas lokasi
tebangan. Ada suatu kearifan yang tidak disadari oleh masyarakat desa dalam
melindungi potensi alam sekitarnya, salah satunya adalah dengan mengeramatkan
sumber air Ledok yang oleh warga sekitar dianggap “angker”. Tradisi yang ada

13
merupakan tradisi turun temurun yang sudah mendarah daging dan dianggap
sebagai hal yang menjadi kekuatan dasar dalam kehidupan sosial masyarakat
Suku Tengger Desa Ranu Pane. Aspek perubahan kearifan tradisional meliputi
tradisi Upacara Unan-unan, berburu, pemanfaatan tumbuhan obat tradisional,
tumbuhan pangan dan tumbuhan untuk kayu bangunan serta perubahan pada
pemanfaatan kayu bakar (Tabel 4).
Tabel 4 Tradisi yang mengalami perubahan
Tradisi
Upacara
UnanUnan
Berburu

Awal
Dilakukan 8
tahun sekali

Dilakukan oleh
masyarakat suku
Tengger
Tumbuhan Memanfaatkan
obat,
tumbuhan obat
pangan
tradisional ,
dan kayu
pangan dan
bangunan kayu bangunan
Kayu
Dimanfaatkan
Bakar
untuk sendiri
dan keluarga
dengan cara
pengambilan
tradisional

Perubahan
Dilakukan 5 tahun
sekali

Penyebab
Ada penghitungan ulang
di kalender suku Tengger

Tidak dilakukan
perburuan lagi

Adanya larangan dari
taman nasional dan
sumberdaya yang terbatas
Masyarakat yang
Adanya larangan dari
berusia diatas 50
pihak Taman Nasional
tahun saja yang
dan masuknya obat
memanfaatkan
modern (kimia) yang lebih
praktis
Beberapa
Kebutuhan hidup
masyarakat
meningkat, diambil secara
menjual kayu bakar modern karena waktu
dan diambil secara yang dibutuhkan lebih
modern
sedikit

Perubahan pada tradisi atau kearifan lokal yang ada disebabkan oleh
beberapa faktor yaitu adanya larangan dari taman nasional, ketersediaan sumber
daya alam yang semakin terbatas, waktu yang diperlukan untuk mengambil
sumberdaya di dalam hutan, pendidikan dan perkembangan zaman ke arah yang
lebih modern.
Tradisi yang masih ada di kehidupan masyarakat suku Tengger yaitu
Upacara adat. Upacara yang biasa dilakukan dari dulu hingga sekarang adalah
Upacara Kasodo, Unan-Unan, Karo dan Inong-inong. Upacara Kasodo dilakukan
untuk memperingati hasil bumi yang akan dilepaskan ke kawah Gunung Bromo.
Upacara ini dilakukan satu kali dalam setahun, tidak terjadi perubahan sampai saat
ini di dalam pelaksanaan upacara. Tradisi yang mengalami perubahan di dalam
pelaksanaanya adalah Petranyatnya yaitu boneka yang dibuat menyerupai orang
yang meninggal ditujukan untuk acara selamatan perpisahan antara orang yang
masih hidup dan sudah meninggal. Perubahan terjadi karena masuknya agama lain
ke dalam budaya masyarakat Tengger, sehingga kepercayaan ini mulai
menghilang. Pelaksanaan ini masih dilakukan oleh orang masyarakat Tengger
yang beragama Hindhu karena mereka masih mempercayai tradisi yang sudah ada
sejak jaman nenek moyang. Masyarakat yang beragama Islam tidak melakukan
ritual ini tetapi melakukan tradisi lain yaitu nyewu (1000 hari).

14
Salah satu kearifan lokal yang dimiliki masyarakat suku Tengger adalah
tradisi berburu yang dilakukan sebelum tahun 1996. Perburuan tersebut dilakukan
untuk memenuhi kebutuhan hidup masyarakat. Cara berburu masyarakat Tengger
dilakukan dengan menggunakan pisau kecil dan anjing. Anjing digunakan untuk
menangkap hewan buruan dan hasilnya akan dibawa pulang dengan cara digotong
bersama. Masyarakat yang akan melalukan perburuan masing-masing membawa
anjingnya. Penggunaan anjing untuk melakukan perburuan merupakan upaya
masyarakat untuk menjaga kelestarian hutan, karena perburuan menggunakan
anjing hanya dapat memperoleh hasil buruan dalam jumlah yang terbatas sesuai
dengan kebutuhan hidup masyarakat. Anjing yang dibawa pada saat berburu
berjarak kurang lebih satu meter dengan pemiliknya. Perburuan dilakukan dengan
mengamati mangsa secara tersembunyi. Hasil buruan dibagikan kepada warga
lainnya karena tidak terdapat sistem jual beli untuk hasil hewan buruan.
Perburuan yang dilakukan masyarakat suku Tengger memiliki aturan-aturan
tertentu. Perburuan hanya dilakukan dua kali dalam satu tahun namun tidak ada
waktu khusus dalam pengambilan satwa. Jumlah satwa yang diburu dibatasi
hanya 2 hingga 3 satwa buruan pada setiap kali berburu. Jenis satwa yang diburu
juga ditetapkan hanya rusa dan babi saja. Struktur satwa juga ditetapkan hanya
pada usia dewasa tidak produktif. Aturan tersebut dimaksudkan untuk mendukung
kelestarian populasi satwa buruan yang menunjukkan kearifan sehingga harus
terus dipertahankan. Namun terjadi perubahan pada tradisi ini dikarenakan
sumberdaya satwa yang ada di Taman Nasional saat ini jumlahnya sangat terbatas.
Untuk mendapatkan hewan buruan masyarakat perlu masuk ke dalam hutan dan
membutuhkan waktu yang lama. Tingkat ekonomi yang semakin tinggi
menyebabkan masyarakat untuk lebih banyak bekerja di ladang, sehingga tidak
memiliki waktu untuk berburu. Hal tersebut dapat terjadi karena adanya pihak lain
yang melakukan perburuan satwa secara liar, sehingga menurunkan populasi
satwa. Berdasarkan hal tersebut pihak Taman Nasional memberikan larangan
untuk melakukan perburuan satwa di Taman Nasional. Maka dari itu tradisi
berburu masyarakat Tengger sudah tidak dapat dilakukan lagi. Perburuan satwa
kini hanya sebatas pada satwa yang keluar dari kawasan Taman Nasional. Selain
itu karena adanya pengaruh dari luar maka pemenuhan kebutuhan hidup
masyarakat tidak lagi dilakukan dengan cara berburu namun dengan menerapkan
sistem jual beli.
Pemanfaatan tumbuhan obat tradisional sudah jarang dimanfaatkan karena
masuknya obat kimia yang lebih mudah dan praktis cara penggunaanya. Menurut
generasi muda pengetahuan mengenai tumbuhan obat tradisional sudah tidak
diperlukan lagi, karena banyaknya waktu yang terbuang untuk mencari bahan obat
ke dalam hutan dan lamanya proses pembuatan. Ketidakingintahuan dari pihak
generasi muda dapat menggeser kearifan lokal yang ada. Hal ini merupakan salah
satu faktor yang menyebabkan hilangnya ilmu mengenai tumbuhan obat
tradisional. Proses penurunan pengetahuan mengenai kearifan tradisional di
masyarakat suku tengger dapat menyebabkan punahnya tradisi dalam
pemanfaatan tumbuhan. Untuk menghindari punahnya pengetahuan masyarakat
mengenai kearifan lokal dalam pemanfaatan tumbuhan obat pihak Taman
Nasional dapat mengadakan kerjasama dengan pihak luar untuk membuat obat
herbal yang praktis. Tanaman obat dalam kawasan hutan sebaiknya

15
dibudidayakan di ladang atau dihalaman rumah warga agar masyarakat tidak perlu
membuang waktu mereka untuk pergi ke dalam kawasan hutan.
Pada tahun 1995 sistem perladangan masuk ke dalam wilayah enclave desa
Ranu Pane, ini menyebabkan masyarakat agak jarang memanfaatkan tumbuhan
pangan dari dalam hutan lagi. Sebelum masuknya sistem perladangan masyarakat
memanfaatkan tumbuhan pangan dari dalam hutan. Tumbuhan pangan didapatkan
di kawasan hutan yang berbatasan dengan desa. Jarak yang ditempuh oleh
masyarakat untuk mendapatkan tumbuhan pangan tidak terlalu jauh, tidak seperti
saat ini jarak yang ditempuh oleh masyarakat cukup jauh dikarenakan sumberdaya
yang dimanfaatkan untuk dijadikan tumbuhan pangan sudah mulai terbatas. Cara
pemetikan tumbuhan dilakukan dengan tangan, dan diambil dalam jumlah yang
tidak banyak sesuai dengan kebutuhan. Masyarakat Suku Tengger tidak langsung
mengambil banyak, jika keesokan harinya mereka membutuhkan lagi maka
mereka akan mencari lagi ke dalam hutan. Tumbuhan yang ditanaman di ladang
yaitu tumbuhan pangan seperti kentang, kapri, kubis, bawang prey dan sawi. Hasil
ladang dijual kepada tengkulak dan sebagian dimanfaatkan untuk kebutuhan hidup
sehari-hari.
Pemanfaatan kayu bakar yang dilakukan oleh masyarakat Suku Tengger
memiliki aturan tertentu. Waktu pemanenan hanya dilakukan pada musim kering
dan disimpan untuk digunakan pada saat musim penghujan. Jumlah kayu dan
ranting yang diambil sebanyak dua pikul setiap pengambilan. Jenis kayu yang
diambil ditentukan hanya jenis Akasia dan Cemara gunung, alasan pengambilan
jenis akasia dikarenakan jenis tersebut merupakan tumbuhan infasif yang cepat
tumbuh. Pengambilan kayu bakar ini dilakukan dengan cara memungut ranting
kering dan memotong bagian batang pada pohon-pohon yang telah tumbang.
Kayu yang didapatkan kemudian dikeringkan terlebih dahulu sebelum digunakan.
Nenek moyang masyarakat Suku Tengger akan menanam pohon kembali setelah
menebang agar kawasan hutan tetap lestari dan dapat dimanfaatkan secara
berkepanjangan. Pada sisi terluar hutan akan ditanami kayu yang dapat digunakan
sebagai kayu bakar apabila terlihat ada lahan kosong. Masyarakat hanya
mengambil untuk kebutuhan hidupnya yaitu untuk menghangatkan diri dan
memasak. Kebutuhan hidup yang meningkat dan ketersedian fasillitas kendaraan
roda dua telah merubah tradisi pemanfaatan kayu bakar di dalam kehidupan
masyarakat Suku Tengger hal ini menyebabkan masyarakat mulai melakukan
pelanggaran. Pada saat ini pengambilan kayu bakar dilakukan juga pada saat
musim penghujan dan pengambilan kayu bakar dilakukan menggunakan
kendaraan roda dua. Pengangkutan kayu bakar menggunakan roda dua dapat
menghasilkan jumlah yang banyak apabila dibandingkan dengan cara dipikul. Hal
ini tentu saja bertentangan dengan kearifan lokal yang ada di dalam masyarakat
Suku tengger. Pengambilan kayu bakar seperti ini dapat merusak kelestarian
kawasan hutan, selain itu masyarakat Suku Tengger tidak lagi melakukan
penanaman apabila telah menebang pohon kecuali mereka mendapatkan hukuman
dari Taman Nasional. Kebutuhan hidup yang meningkat menyebabkan masyarakat
mulai mencuri kayu yang bagus dengan cara ditebang. Masyarakat juga mulai
melakukan jual beli kayu bakar dan dijual ke warga sekitar dengan harga satu
pikul Rp. 20.000,00.
Norma-norma yang berlaku di dalam pemanfaatan hasil hutan yang
dilakukan oleh masyarakat suku Tengger di dalam pengambilan kayu dengan cara

16
penebangan menggunakan gergaji tradisional dengan waktu dua hari yang paling
sebentar tetapi pada saat ini sudah ada beberapa masyarakat yang menggunakan
alat mekanik di dalam penebangan pohon. Pengambilan tumbuhan untuk
dimanfaatkan sebagai obat, pangan dan sesajen dilakukan dengan cara pemetikan
menggunakan tangan yang masih sangat tradisional. Sampai saat ini cara
pengambilan untuk pemanfaatan tumbuhan masih sama.
Pemanfaatan sumberdaya hayati oleh masyarakat secara berlebihan tidak
memiliki hukuman secara langsung dari kepala adat, mereka mempercayai apabila
merusak kondisi hutan maka akan mendapat karma dari Tuhan. Masyarakat Suku
Tengger juga mempercayai bahwa hutan merupakan sumber bagi kehidupan
maka dari itu mereka tidak ingin merusak kawasan hutan. Saat akan memasuki
hutan dan melakukan kegiatan maka masyarakat harus meminta izin dengan
hormat dan sopan lalu setelah beres melakukan kegiatan harus pamit dan
berterimakasih.
Tradisi-tradisi diatas sudah ada sejak zaman nenek moyang mereka dan
ilmu mengenai pemanfaatan hasil sumberdaya hutan diturunkan secara turun
temurun dan langsung dari leluhur suku Tengger. Kesadaran masyarakat suku
Tengger terbilang tinggi di dalam menjaga kawasan hutan karena masyarakat ini
selalu mengagung-agungkan gunung.
Pendatang membawa dampak negatif terhadap sistem kehidupan masyarakat
Suku Tengger, hal ini dikarenakan pendatang membawa sistem kehidupan yang
lebih modern. Sistem kehidupan modern terasa lebih mudah dan lebih praktis.
Rata-rata pekerjaan masyarakat pendatang yang bertempat tinggal di Desa Ranu
Pane bekerja sebagai penyewa jeep dan berdagang (membuka warung).
Masyarakat pendatang tidak mengetahui pemanfaatan sumberdaya hutan yang
dilakukan oleh masyarakat asli dan campuran. Tetapi masyarakat pendatang
menghargai tradisi adat yang dilakukan oleh masyarakat dengan cara mengikuti
upacara tersebut. Dilihat dari pemanfaatan kayu bakar yang telah jauh kearifan
tradisional yang bertujuan untuk melestarikan kawasan hutan agar dapat
dimanfaatkan secara lestari dapat disimpulkan bahwa masyarakat Suku tengger
telah kehilangan pemahamannya mengenai kearifan tradisional yang telah
diajarkan oleh nenek moyang mereka.
Perspektif kedepannya menurut Dukun Adat Masyarakat suku Tengger
yaitu masyarakat perlu menanam kayu untuk kepentingan bersama, seluruh rakyat
agar menjaga kepentingan bersama yaitu hutan agar anak cucu kita dapat
merasakan manfaat dari sumberdaya hutan yang ada. Mulai menanam kayu di
ladang dan beberapa jenis tumbuhan pangan dan tumbuhan obat yang digunakan
agar kawasan hutan tetap terjaga dan tetap lestari. Usaha masyarakat untuk
menjaga kelestarian hutan dilakukan dengan cara bekerjasama dengan pihak
pengelola Taman Nasional dalam melakukan penanaman, ikut serta dalam patroli
kawasan, masyarakat peduli api, masyarakat peduli sampah, dan mengikuti aturan
yang dibuat oleh pihak Taman Nasional Bromo Tengger Semeru terkait kawasan
pemanfaatan sumberdaya hayati.

17

SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Masyarakat Desa Ranu Pane memanfaatkan sumberdaya alam hayati untuk
dijadikan tumbuhan pangan, sandang, papan dan kesehatan. Masyarakat Suku
Tengger desa Ranu Pane tidak lagi memanfaatkan satwa dari dalam kawasan
hutan untuk kebutuhan hidupnya. Cara pengambilan tumbuhan untuk dijadikan
bahan pangan dan kesehatan dilakukan dengan cara memetik dan cara tersebut
masih digunakan hingga saat ini. Pada saat ini masyarakat agak jarang
memanfaatkan tumbuhan untuk dijadikan pangan dan tumbuhan obat, karena
tidak memiliki waktu untuk mencari ke dalam hutan. Zaman dahulu pemanfaatan
tumbuhan untuk dijadikan kayu bakar dilakukan dengan cara memungut ranting
kering dan membawanya dengan dipikul, pada saat ini masyarakat sudah mulai
menebang kayu yang bagus dan dibawa menggunakan kendaraan roda dua.
Pengambilan kayu yang bagus didasari oleh adanya kendaraan roda dua yang
memungkinkan warga membawa kayu lebih banyak.
Kearifan tradisional yang mengalami perubahan adalah Tradisi Unan-unan,
berburu, pemanfaatan tumbuhan obat, pangan dan papan serta pemanfaatan kayu
bakar. Faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya dinamika kearifan tradisional
masyarakat yaitu larangan taman nasional, masuknya obat modern, ketersediaan
waktu masyarakat, wisatawan dan ketersediaan sumberdaya alam hayati yang
semakin sedikit. Perubahan kearifan tradisional ini membawa dampak positif bagi
kawasan Taman Nasional yaitu tingkat kerusakan pada kawasan hutan karena
pengambilan sumberdaya hayati semakin menurun, tetapi membawa dampak
negatif pada kearifan lokal masyarakat Suku Tengger di Desa Ranu Pane yaitu
semakin tergesernya nilai-nilai kearifan tradisional ke arah yang lebih modern.
Perlu diadakan penyuluhan rutin oleh pihak taman nasional untuk mengajak
masyarakat melestarikan hutan dan pentingnya mempertahankan kearifan lokal
yang ada.

Saran
1.

2.

Pihak pengelola taman nasional perlu mengadakan kerjasama dengan
masyarakat Suku Tengger untuk melakukan pembudidayaan tanaman yang
dimanfaatkan.
Pihak pengelola perlu mengadakan penyuluhan mengenai manfaat tumbuhan
obat tradisional kepada