EVALUASI IMPLEMENTASI CLINICAL PATHWAY PNEUMONIA DI RUANG RAWAT INAP BANGSAL ANAK RSUD PANEMBAHAN SENOPATI BANTUL

(1)

EVALUASI IMPLEMENTASI CLINICAL PATHWAY PNEUMONIA DI RUANG RAWAT INAP BANGSAL ANAK RSUD PANEMBAHAN SENOPATI BANTUL

(Studi Kasus)

Aliqa Citra Septiani1, Merita Arini1, Arlina Dewi1 1Program Studi Manajemen Rumah Sakit, Program Pascasarjana,

Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

INTISARI

Latar Belakang: Sejak 1 Januari 2014 pembiayaan kesehatan di Indonesia menjadi Jaminan Kesehatan Nasional. Clinical pathway (CP) adalah alat kendali mutu dan biaya pelayanan kesehatan di era BPJS. RSUD Panembahan Senopati Bantul sudah bekerja sama dengan BPJS. Kasus pneumonia pada anak banyak ditemukan di RSUD Panembahan Senopati Bantul. Tujuan penelitian ini adalah mengevaluasi implementasi CP pneumonia di bangsal Anggrek.

Metode: Penelitian mix method dengan pendekatan studi kasus. Data kuantitatif bersifat deskriptif sederhana dari dokumentasi CP dalam rekam medis pneumonia (Januari-Maret 2016, total sampling n=14) dan checklist The Integrated Care Pathway Apprasial Tools (ICPAT). Data kualitatif diperoleh dari deep interview dan observasi dengan purposive sampling n=7.

Hasil dan Pembahasan: ICPAT dimensi 1 (apakah benar sebuah CP) konten dan mutu moderat, dimensi 2 (dokumentasi) dan dimensi 5 (maintenance) konten dan mutu kurang, dimensi 3 (pengembangan) konten moderat dan mutu kurang, dimensi 4 (implementasi) konten moderat dan mutu baik, dimensi 6 (peran organisasi) konten baik dan mutu moderat. CPdimasukkan ke dalam seluruh rekam medis dengan kepatuhan pengisian 86,96%. Kendala implementasi CP adalah keterbatasan waktu dan kesadaran dokter mengisi CP, belum ada rasa memiliki, dan ada terapi yang tidak sesuai CP.

Kesimpulan dan Saran: Kepatuhan implementasi CP pneumonia perlu ditingkatkan. Perlu dilakukan evaluasi rutin, sosialisasi, dan peningkatan peran case manager di bangsal.


(2)

THE EVALUATION OF PNEUMONIA CLINICAL PATHWAY IMPLEMENTATION IN PEDIATRIC WARD RSUD PANEMBAHAN SENOPATI BANTUL

(Case Study)

Aliqa Citra Septiani1, Merita Arini1, Arlina Dewi1 1Hospital Management of Study Program, Magister Program,

Muhammadiyah University of Yogyakarta ABSTRACT

Background: Since January 1st 2014, health financing in Indonesia turned into the National Health Insurance. Clinical Pathway (CP) is a tool of quality and health care costs control in the era of BPJS. Panembahan Senopati Bantul Regional General Hospital has cooperated with BPJS. Many cases of pneumonia on children found in Panembahan Senopati Regional General Hospital. The purpose of this study is to evaluate the CP implementation of pneumonia in Anggrek Ward. Method: Mix research method with a case study design. Quantitive data was a simple description from CP documentation in medical records of pneumonia (January until March 2016, total sampling n = 14) and checklist of The Integrated Care Pathway Appraisal Tools (ICPAT). Qualitative data was obtained from deep interview and observation with purposive sampling n=7. Results and Discussion: First dimension of ICPAT (is a CP good?) showed us that both of content and quality were in moderate level, second dimension (documentation) and fifth dimension (maintenance) showed us that content and quality in low level, third dimension (development) showed us that content in moderate level and quality in good level, and sixth dimension (role of organization) showed us content in good level and quality in moderate level. CP was placed in all medical records with a filling obedience of 89.96%. The constraints of CP implementation were a limited time, an awareness from doctors to fill CP, there was no sense of belonging, and there were therapies that were not in accordance with CP.

Conclusion and Suggestion: Compliance of pneumonia CP implementation needs to be improved. Need to do a routin evaluation, socialization, and increasing the role of case manager in the ward. Keywords : Evaluation, implementation, pneumonia clinical pathway.


(3)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sejak 1 Januari 2014 pembiayaan kesehatan di Indonesia berubah menjadi Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang mencakup pemberian jaminan kesehatan untuk seluruh rakyat Indonesia sehingga membuat tarif rumah sakit sebagai Pemberi Pelayanan Kesehatan (PPK) tingkat II menggunakan tarif Indonesia Case Based Group (INA-CBG). Perubahan tarif ini sesuai Keputusan Menteri Kesehatan (Kepmenkes) nomor 440 tahun 2012 tentang tarif rumah sakit berdasarkan INA-CBG. Tarif INA-CBG tersebut berlaku untuk rumah sakit umum dan rumah sakit khusus, milik pemerintah dan milik swasta yang bekerja sama dengan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS). Penerapan tarif paket INA-CBG ini membuat manajemen rumah sakit harus mampu melakukan efisiensi biaya dan mengoptimalkan pengelolaan keuangan rumah sakit, kendali mutu, kendali biaya, dan akses melalui penghitungan biaya pelayanan (Cost of Care) dari masing-masing clinical pathway

berdasarkan perhitungan unit cost yang dimiliki rumah sakit agar rumah sakit tidak rugi.

Clinical pathway adalah alur suatu proses kegiatan pelayanan pasien yang spesifik untuk suatu penyakit atau tindakan tertentu, mulai dari pasien masuk sampai pasien pulang, yang merupakan integrasi dari pelayanan medis, pelayanan keperawatan, pelayanan farmasi dan pelayanan kesehatan lainnya. Clinical pathway adalah tools yang digunakansecara luas di rumah sakit khususnya di negara maju guna menjamin mutu atau efektivitas pelayanan kesehatan dan efisiensi penyelenggaraan pelayanan kesehatan. Amerika Serikat telah menerapkan clinical pathway pada hampir 80% dari seluruh pelayanan kesehatan yang diselenggarakan (Djasri, 2014). Penyusunan clinical pathway untuk kasus yang sering


(4)

terjadi sangat diperlukan untuk mengacu pada standar mutu rumah sakit versi Komisi Akreditasi Rumah Sakit (KARS) 2012 yaitu standar pelayanan berfokus pada pasien, standar manajemen rumah sakit, sasaran keselamatan pasien rumah sakit, dan sasaran Millenium Development Goals (KARS, 2011).

Beberapa penelitian mencoba membuktikan efektivitas clinical pathway dalam memperbaiki outcome klinis. Hasil yang diperoleh menunjukkan rerata lama rawat inap lebih pendek secara bermakna pada pasien yang tatakelolanya menggunakan clinical pathway

dibanding pasien lain dan tatakelola pada pasien penyakit ginjal kronik bermakna meningkatkan edukasi pra dialisis (74% pada pasien yang dikelola dengan menggunakan

clinical pathway dan 50% pada pasien yang tidak dikelola tanpa clinical pathway) (Johnson dkk, 2000). Pemahaman khusus dalam penyusunan clinical pathway sangat dibutuhkan sehingga rumah sakit dapat menghitung biaya pelayanan kesehatan dari masing-masing

clinical pathway berdasarkan perhitungan unit cost yang telah dimiliki oleh rumah sakit dan membandingkannya dengan tarif INA-CBG.

Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Panembahan Senopati Bantul adalah salah satu PPK tingkat III yang ada di daerah Bantul dan sudah bekerja sama dengan BPJS sehingga menerapkan tarif INA-CBG dalam pelayanannya. RSUD Panembahan Senopati baru 5 Kelompok Staf Medik yang mempunyai clinical pathway yaitu anak, bedah, obsgin, penyakit dalam, dan saraf. Rawat inap bagian anak sudah mulai menerapkan penggunaan

clinical pathway untuk menangani beberapa kasus anak contohnya kasus pneumonia pada balita di bangsal Anggrek. Clinical pathway ini diharapkan dapat digunakan oleh para dokter spesialis anak, perawat, dan tenaga kesehatan lainnya yang ada di bangsal tersebut. Berdasarkan studi pendahuluan yang dilakukan pada tanggal 15 Desember 2015 sampai


(5)

dengan 16 Desember 2015 di bangsal Anggrek, didapatkan data bahwa implementasi clinical pathway belum benar-benar dilaksanakan dengan baik. Hal ini dapat dilihat dari hasil wawancara dengan salah seorang perawat yang bertugas mengatakan bahwa para dokter spesialis dalam penegakkan diagnosis pneumonia tidak berdasarkan clinical pathway yang ada.

Pneumonia adalah inflamasi yang terjadi pada parenkim paru. Pneumonia merupakan penyebab paling banyak kematian dan membutuhkan rawat inap pada anak-anak <5 tahun. Tahun 2009 WHO memperkirakan sekitar 156 juta kasus baru pneumonia terjadi pada anak-anak <5 tahun setiap tahun di seluruh dunia, yang 151 juta kasus (>90%) terjadi di negara berkembang termasuk Indonesia. Banyaknya kasus kematian pada anak karena pneumonia ini maka dibutuhkan manajemen dan perawatan untuk memperbaiki outcome

dari pneumonia agar angka kematiannya berkurang saat masa perawatan di rumah sakit (Hussein, 2014). Penyakit pneumonia ini banyak didapatkan di bangsal Anggrek, sehingga menuntut para tenaga medis untuk menggunakan clinical pathway yang sudah ada. Berdasarkan data dari bagian pelaporan RSUD Panembahan Senopati Bantul, kasus pneumonia pada tahun 2014 sebanyak 180 kasus dan pada Januari 2015-November 2015 sebanyak 181 kasus.

Evaluasi diajarkan pula dalam agama Islam karena untuk menyadarkan manusia, karena manusia adalah tempat salah dan lupa serta manusia tidak ada yang sempurna. Pelayanan di rumah sakitpun membutuhkan evaluasi, karena pelayanan yang diberikan oleh rumah sakit tersebut dilakukan oleh manusia yang sewaktu-waktu dapat melakukan kesalahan. Firman Allah SWT dalam QS Al Ankabut ayat 2-3 yang artinya :

“Apakah manusia itu mengira bahwa mereka akan dibiarkan hanya dengan mengatakan:”Kami telah beriman, sedang mereka tidak diuji (dievaluasi)? Dan sungguh,


(6)

Kami telah menguji orang-orang yang sebelum mereka, maka Allah pasti mengetahui orang-orang yang benar dan pasti mengetahui orang-orang yang dusta. “

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa implementasi clinical pathway

di bangsal Anggrek masih kurang. Untuk dapat mengetahui implementasinya maka diperlukan evaluasi. Melalui evaluasi ini diharapkan rumah sakit mengetahui secara jelas kelebihan atau kekurangan dan hambatan implementasi dari clinical pathway tersebut.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, dapat dirumuskan masalah “Bagaimana implementasi clinical pathway pada unit rawat inap bagian anak di RSUD Panembahan Senopati?”

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum Penelitian

Mengetahui pelaksanaan clinical pathway pneumonia pada pasien di bangsal Anggrek RSUD Panembahan Senopati Bantul.

2. Tujuan Khusus Penelitian a. Aspek input

1) Mengevaluasi konten/ isi/ format clinical pathway pneumonia di bangsal Anggrek RSUD Panembahan Senopati Bantul.

2) Mengevaluasi peran dari RS dalam pelaksanaan clinical pathway pneumonia di bangsal Anggrek RSUD Panembahan Senopati Bantul.

3) Mengevaluasi sarana dan prasarana dalam clinical pathway pneumonia di bangsal Anggrek RSUD Panembahan Senopati Bantul.


(7)

4) Mengevaluasi sumber daya manusia yang terkait dalam clinical pathway

pneumonia di bangsal Anggrek RSUD Panembahan Senopati Bantul. b. Aspek proses

1) Mengevaluasi dokumentasi clinical pathway pneumonia di bangsal Anggrek RSUD Panembahan Senopati Bantul.

2) Mengevaluasi pengembangan clinical pathway pneumonia di bangsal Anggrek RSUD Panembahan Senopati Bantul.

3) Mengevaluasi penerapan clinical pathway pneumonia di bangsal Anggrek RSUD Panembahan Senopati Bantul.

4) Mengevaluasi maintenance clinical pathway pneumonia di bangsal Anggrek RSUD Panembahan Senopati Bantul.

c. Aspek output

Mengetahui kepatuhan implementasi clinical pathway pneumonia di bangsal Anggrek RSUD Panembahan Senopati Bantul.

d. Hambatan

Mengetahui permasalahan dan hambatan implementasi clinical pathway pneumonia di bangsal Anggrek RSUD Panembahan Senopati Bantul.

e. Rekomendasi

Menyusun rekomendasi guna peningkatan atau perbaikan implementasi clinical pathway pneumonia di bangsal Anggrek RSUD Panembahan.

D. Manfaat Penelitian


(8)

a. Hasil penelitian ini diharapkan menjadi bahan referensi tentang implementasi

clinical pathway pneumonia di bangsal anak.

b. Hasil penelitian ini diharapkan dapat melengkapi bahan penelitian selanjutnya dalam rangka menambah khasanah akademik sehingga berguna untuk ilmu pengetahuan.

2. AspekPraktis

Penelitian ini diharapkan memberikan manfaat bagi:

a. Magister Manajemen Rumah Sakit Universitas Muhammadiyah Yogyakarta Penelitian ini diharapkan memperkaya bahasan dalam bidang implementasi clinical pathway.

b. Direktur RSUD Panembahan Senopati Bantul

Penelitian ini diharapkan berguna sebagai bahan masukan bagi RSUD Panembahan Senopati Bantul dalam mengimplementasikan clinical pathway khususnya di bangsal anak.

c. Tenaga kesehatan di RSUD Panembahan Senopati Bantul

Penelitian ini diharapkan menjadi bahan evaluasi bagi tenaga kesehatan di RSUD Panembahan Senopati Bantul.

d. Peneliti

Peneliti dapat menerapkan ilmu ataupun teori pada waktu masa perkuliahan yang digunakan untuk penelitian ini dan menambah wawasan bagi peneliti.


(9)

Penelitian ini diharapkan menjadi sumber informasi dan pengembangan untuk penelitian sejenis secara berkelanjutan khususnya tentang implementasi clinical pathway di RSUD Panembahan Senopati Bantul.


(10)

10

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Telaah Pustaka

1. Pengertian Clinical Pathway

Clinical pathway merupakan pedoman kolaboratif untuk merawat pasien yang berfokus pada diagnosis, masalah klinis, dan tahapan pelayanan. Clinical pathway menggabungkan standar asuhan setiap tenaga kesehatan secara sistemik. Tindakan yang diberikan diseragamkan dalam suatu standar asuhan, namun tetap memperhatikan aspek individu dari pasien (Hendra, 2009).

Clinical pathway merupakan format dokumentasi multidisiplin. Format ini dikembangkan untuk pengembangan multidisiplin (dokter, perawat, rehabilitasi, gizi, dan tenaga kesehatan lain) yang diciptakan tidak terlalu rumit dan panjang. Pada format pengkajian multidisiplin menunjukkan format pengkajian awal yang memungkinkan diisi oleh berbagai disiplin ilmu. Pengisian ini terdiri dari data riwayat pasien, pemeriksaan fisik dan pengkajian skrining lainnya yang diisi oleh multidisiplin sesuai kesepakatan (Croucher, 2005).


(11)

2. Komponen Clinical Pathway

Empat komponen utama clinical pathway meliputi: kerangka waktu, kategori asuhan, kriteria hasil, dan pencatatan varian (Hendra, 2009). Kerangka waktu menggambarkan tahapan berdasarkan pada hari perawatan atau berdasarkan tahapan pelayanan. Kategori asuhan berisi aktivitas yang menggambarkan asuhan seluruh tim kesehatan yang diberikan kepada pasien. Aktivitas dikelompokkan berdasarkan jenis tindakan pada jangka waktu tertentu. Kriteria hasil memuat hasil yang diharapkan dari standar asuhan yang diberikan, meliputi kriteria jangka panjang dan jangka pendek. Lembaran varian mencatat dan menganalisa deviasi dari standar yang ditetapkan dalam clinical pathway. Kondisi pasien yang tidak sesuai dengan standar asuhan atau standar yang tidak bisa dilakukan harus dicatat dalam lembar varian.

3. Format Clinical Pathway

Berbagai definisi dan setting pelayanan kesehatan yang ada di berbagai negara menyebabkan sangat bervariasinya isi, struktur, maupun desain. Secara umum, clinical pathway


(12)

Tabel 2.1. Format Generik Clinical Pathway Identitas Pasien

Hari I Hari II Hari III

Assessment Intervensi/ pelayanan Outcome Variasi

Sumber: Midleton & Roberts, 2000; Djasri, 2014

Clinical pathway juga harus memuat beberapa hal tambahan yang meliputi nomor halaman dan jumlah total halaman, paraf/ tanda tangan setiap pengisi, tanggal berlaku dan tanggal direvisi. Format tersebut di atas disesuaikan dengan

setting masing-masing pelayanan kesehatan, khususnya ketersediaan dan kapasitas sumber daya manusia, budaya, teknologi, serta berbagai bentuk sarana dan prasarana lainnya (Midleton & Roberts, 2000).

4. Tujuan Clinical Pathway

Tujuan clinical pathway adalah menjamin tidak ada aspek-aspek penting dari pelayanan yang dilupakan. Clinical pathway memastikan semua intervensi yang dilakukan secara tepat waktu dengan mendorong staf klinik untuk bersikap pro-aktif dalam perencanaan pelayanan. Clinical pathway diharapkan


(13)

dapat mengurangi biaya dengan menurunkan length of stay dan tetap memelihara mutu pelayanan (Hendra, 2009).

Tujuan utama implementasi clinical pathway menurut Depkes RI (2010) adalah sebagai berikut:

a. Memilih “best practice” pada saat pola praktek diketahui berbeda secara bermakna.

b. Menetapkan standar yang diharapkan mengenai lama perawatan dan penggunaan pemeriksaan klinik serta prosedur klinik lainnya.

c. Menilai hubungan antara berbagai tahap dan kondisi yang berbeda dalam suatu proses serta menyusun strategi untuk mengkoordinasikan agar dapat menghasilkan pelayanan yang lebih cepat dengan tahapan yang lebih sedikit.

d. Memberikan peran kepada seluruh staf yang terlibat dalam pelayanan serta peran mereka dalam proses tersebut.

e. Menyediakan kerangka kerja untuk mengumpulkan dan menganalisa data proses pelayanan sehingga provider dapat mengetahui seberapa sering dan mengapa seorang pasien tidak mendapatkan pelayanan sesuai standar.


(14)

g. Meningkatkan kepuasan pasien melalui peningkatan edukasi kepada pasien, misalnya dengan menyediakan informasi yang lebih tepat tentang rencana pelayanan.

5. Manfaat Clinical Pathway

Meskipun dalam berbagai hasil penelitian disebutkan mengenai manfaat penerapan clinical pathway yang masih diperdebatkan, namun berbagai penelitian maupun meta-analisis menunjukkan manfaat clinical pathway yang diterapkan dengan baik dalam kendali mutu dan kendali biaya di RS adalah sebagai berikut:

a. Clinical pathway adalah alat multiprofesi yang bermanfaat meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan untuk kelompok pasien yang homogen (Currie, 2000; Bayliss et al, 2000). b. Clinical pathway membantu mencapai konsensus

konsistensi dan kontinuitas pelayanan kesehatan (Kitchener et al, 1996; Hochkiss, 1997).

c. Clinical pathway meningkatkan dokumentasi pelayanan pasien yang berbasis bukti dan berfokus pasien (Champbell et al, 1998; Layton et al, 1998, Overil, 1998).

d. Mendukung program peningkatan mutu dan keselamatan pasien.


(15)

e. Berperan penting dalam menghadapi tuntutan hukum. f. Dalam studi pada The Chochrane Library (2010), penerapan

clinical pathway memiliki manfaat sebagai berikut: 1) Re-admisi (OR) 0,6 (95 % CI 0,32 s.d. 1,13)

2) Hospital costs (OR) -0,52 ( 95 % CI -0,78 s.d. -0,26) 3) Length of stay (OR) -1,67 hari (95 % CI - -2,73 s.d. -

0,62)

4) Mortalitas (OR) 0,84 (95 % CI 0,64 s.d. 1,11) 5) Komplikasi (OR) 0,58 (95 % CI 0,36 s.d. 0,94)

6. Pengembangan Clinical Pathway

Mengembangkan clinical pathway menurut Davis (2005) ada 8 tahap yaitu:

a. Keputusan untuk mengembangkan clinical pathway

Adanya keputusan untuk mengembangkan clinical pathway tergantung dari area klinis yang menjadi prioritas. Karena untuk mengembangkan clinical pathway perlu kesepakatan multidisiplin.

b. Identifikasi stakeholder dan pimpinan

Stakeholder adalah semua pihak yang tekait dengan


(16)

Stakeholder ini bisa berupa internal stakeholder seperti user

(pasien, tim multidisiplin, perawat primer) dan eksternal

stakeholder seperti asuransi, organisasi profesi, dan lain-lain. c. Identifikasi pimpinan dan tim yang bertanggungjawab

Membentuk tim clinical pathway yang mendorong dan mempertahankan proses perubahan itu penting.

d. Proses mapping

Proses mapping akan menghasilkan sebuah peta perjalanan pasien berdasarkan berbagai perspektif. Dari peta ini tim multidisiplin dapat mengkaji masalah dan langkah-langkah yang akan dipakai. Proses mapping merupakan tahap yang paling penting.

e. Audit awal dan pengumpulan data

Audit awal untuk clinical pathway harus dilakukan sebagai permulaan project. Hasil yang didapat tidak hanya mengidentifikasikan adanya gap dalam pelayanan, tetapi juga sebagai evaluasi dasar clinical pathway.

f. Pengembangan isi clinical pathway

Clinical pathway harus berisi 4 hal yaitu kegiatan dalam bentuk elemen rencana perawatan, detail alat yang dibutuhkan seperti grafik keseimbangan cairan, hasil yang


(17)

harus dicapai misalnya dicapai dengan target hari rawat, dan pelacakan variasi sebagai elemen unik dari clinical pathway. Isi klinis clinical pathway tidak dapat didikte, hal ini akan ditentukan oleh tim dengan keahlian dalam mengelola kelompok tertentu dari pasien, dan untuk siapa dokumen ini dirancang.

g. Pilot project dan implementasi

Komunikasi yang kuat dan rencana pendidikan sangat penting untuk mendukung sukses proyek clinical pathway. Tujuan komunikasi dan pendidikan adalah untuk memastikan bahwa pesan yang tepat disampaikan kepada orang-orang yang tepat, dengan cara dan tempat yang tepat. h. Review clinical pathway secara teratur

Ketika meninjau ulang (mereview) clinical pathway

harus difokuskan kepada 3 pertanyan utama yaitu:

1) Penyelesaian clinical pathway.

Apakah clinical pathway digunakan pada kasus yang tepat? Apakah ada informasi yang hilang? Apakah staf


(18)

memerlukan catatan sampingan yang tidak ada dalam

clinical pathway? 2) Jenis variasi yang dicatat

Apakah variasi yang ada dicatat? Apakah staf paham bagaimana mencatat variasi tersebut?

3) Kepuasan staf

Dapat dilakukan menggunakan kuesioner, trend apa yang terlihat?

7. Evaluasi

Buse, et al (2012) mengemukakan bahwa proses penyusunan kebijakan/ program mengacu pada kebijakan/ program yang dibuat, dikembangkan, disusun, dinegosiasi, dikomunikasikan, dilaksanakan, dan dievaluasi. Tahap-tahapan penyusunan sebuah kebijakan yaitu:

a. Identifikasi masalah

Tujuan identifikasi masalah adalah menemukan masalah/ isu yang dapat menjadi agenda kebijakan.


(19)

Langkah ini dilakukan untuk menemukan siapa saja yang terlibat dalam perumusan kebijakan, bagaimana sebuah kebijakan dihasilkan, disetujui, dan dikomunikasikan. c. Pelaksanaan/ implementasi

Tahap ini sering kali diabaikan, padahal tahap ini paling penting dalam penyusunan kebijakan.

d. Evaluasi

Evaluasi ini bertujuan untuk menemukan apa yang terjadi pada saat kebijakan dilaksanakan dan bagaimana pengawasannya, mengetahui pencapaian tujuan, dan hambatannya. Tahapan ini merupakan saat kebijakan dapat diubah/ dibatalkan serta membuat kebijakan yang baru. Evaluasi dapat dikatakan juga sebagai penelitian yang secara khusus dirancang untuk menilai kegiatan dan dampak program/ kebijakan sehingga dapat menentukan hasil dari program/ kebijakan tersebut dan dianggap layak untuk dikembangkan. Evaluasi implementasi kebijakan bertujuan untuk menemukan gap antara perencanaan dengan hasil yang didapatkan.

Pertimbangan yang dapat diambil oleh pimpinan dalam meningkatkan kualitas kebijakan ada 4 yaitu kebijakan yang


(20)

dibuat harus mempunyai tujuan dan urutan dari tujuan tersebuat harus jelas, setiap kebijakan harus didukung secara implisit dan eksplisit, kebijakan harus mempunyai alokasi dana yang cukup, dan kebijakan di luar organisasi (Tachjan, 2006).

Evaluasi merupakan penilaian terhadap data yang dikumpulkan melalui kegiatan assessment. Evaluasi berdasarkan tujuannya yaitu sumatif dan formatif. Evaluasi sumatif adalah upaya menilai manfaat program dan mengambil keputusan. Evaluasi formatif dinyatakan sebagai upaya untuk memperoleh

feedback perbaikan program (Lehman, 1990).

Ada tiga pendekatan evaluasi (penilaian) mutu menurut Donabedian (dalam Wijono, 2000), yaitu:

a. Struktur

Struktur meliputi sarana fisik perlengkapan dan peralatan, organisasi dan manajemen, keuangan, sumber daya manusia dan sumber daya lainnya difasilitas kesehatan. Penilaian terhadap struktur termasuk penilaian terhadap perlengkapan dan instrumen yang tersedia dan dipergunakan sebagai alat untuk pelayanan.


(21)

Proses adalah semua kegiatan yang dilakukan secara profesional oleh tenaga kesehatan (dokter, perawat, dan tenaga profesi lain) dan interaksinya terhadap pasien. Proses tersebut mencakup diagnosa, rencana pengobatan, indikasi, tindakan, prosedur, dan penanganan kasus. Penilaian terproses adalah evaluasi terhadap dokter dan proses kesehatan dalam mengelola pasien. Pendekatan proses merupakan pendekatan yang terhadap mutu pelayanan kesehatan.

c. Outcome

Outcome adalah hasil akhir kegiatan dan tindakan tenaga profesional terhadap pasien. Penilaian terhadap

outcome ini merupakan hasil akhir dari kesehatan atau kepuasan yang positif atau negatif sehingga dapat memberikan bukti atau fakta akhir pelayanan kesehatan yang diberikan.

8. Evaluasi Clinical Pathway

Alat yang baik untuk melakukan evaluasi terhadap

clinical pathway harus mempunyai karakteristik sebagai berikut (Vanhaercht, 2007): adanya komitmen dari organisasi, path project management, persepsi mengenai konsep dari pathway,


(22)

format dokumen, isi pathway, keterlibatan multidisiplin ilmu, manajemen variasi, pedoman, maintenance pathway, akuntabilitas, keterlibatan pasien, pengembangan pathway, dukungan tambahan terhadap sistem dan dokumentasi, pengaturan operasional, implementasi, pengelolaan hasil dan keamanan. Dari kriteria tersebut saat ini ada dua instrumen yang sering digunakan untuk melakukan audit terhadap isi dan mutu

clinical pathway. Kedua instrumen tersebut adalah The Iclinical Pathway Key Element Checklist dan The Integrated Care Pathway Appraisal Tool (ICPAT).

9. The Integrated Care Pathway Appraisal Tool (ICPAT)

ICPAT merupakan salah satu instrumen yang sudah divalidasi dan dapat digunakan untuk melakukan evaluasi dari isi dan mutu clinical pathway, yang terdiri dari 6 dimensi (Whittle, 2009) yaitu:

a. Dimensi 1: Bagian ini memastikan apakah formulir yang dinilai adalah clinical pathway.

b. Dimensi 2: Menilai proses dokumentasi clinical pathway. c. Dimensi 3: Menilai proses pengembangan clinical pathway

sama pentingnya dengan clinical pathway yang dihasilkan. d. Dimensi 4: Menilai proses implementasi clinical pathway.


(23)

e. Dimensi 5: Menilai proses pemeliharaan clinical pathway. f. Dimensi 6: Menilai peran organisasi (RS).

10. Kelebihan Clinical Pathway

Banyak rumah sakit mulai menerapkan clinical pathway

dalam pemberian pelayanan kesehatan kepada pasien, karena penggunaan clinical pathway memiliki kelebihan antara lain sebagai berikut:

a. Clinical pathway merupakan format pendokumentasian multidisiplin. Format ini dapat memberikan efisiensi dalam pencatatan, dimana tidak terjadi pengulangan atau duplikasi penulisan, sehingga kemungkinan salah komunikasi dalam tim kesehatan yang merawat pasien dapat dihindarkan.

b. Meningkatkan peran dan komunikasi dalam tim

multidisiplin sehingga masing-masing anggota tim

termotivasi dalam peningkatan pengetahuan dan

kompetensi.

c. Terdapat standarisasi outcome sesuai lamanya hari rawat, sehingga akan tercapai effective cost dalam perawatan. d. Dapat meningkatkan kepuasan pasien karena pelaksanaan


(24)

11. Kekurangan Clinical Pathway

Selain mempunyai kelebihan dalam penggunaan clinical pathway, perlu dicermati juga kekurangan yang ditemui dalam penerapan format clinical pathway ini, antara lain sebagai berikut:

a. Dokumentasi clinical pathway ini membutuhkan waktu yang relatif lama dalam pembentukan dan pengembangannya. b. Tidak terlihat proses keperawatan secara jelas karena harus

menyesuaikan dengan tahap perencanan medis, pengobatan, dan pemeriksaan penunjang lainnya.

c. Format dokumentasi hanya digunakan untuk masalah spesifik, contoh format clinical pathway untuk bedah tulang tidak dapat digunakan untuk unit bedah saraf. Sehingga akan banyak sekali format yang harus dihasilkan untuk seluruh pelayanan yang tersedia.

12. Keberhasilan Clinical Pathway

Dalam sebuah penelitian panjang di Inggris yang dilaksanakan oleh VFM Unit (NHS Wales) Project tentang

Clinical Resource Utilization Group selama September 1995 hingga Maret 1997 terhadap 700 orang yang terdiri dari staf klinis, manajer, serta staf operasional, didapatkan data tentang


(25)

kunci pokok yang harus dibangun guna mencapai keberhasilan

clinical pathway. Hasil tersebut meliputi 5 tahap sekuensial yang diterapkan organisasi RS sebagai berikut:

a. Peningkatan kesadaran dan komitmen.

b. Menyusun sistem penerapan clinical pathway.

c. Dokumentasi (dan penetapan desain).

d. Implementasi (uji coba, penerapan, dan pengembangan). e. Evaluasi.

Langkah pertama merupakan langkah paling kritis. Hal ini sulit dilakukan mengingat kepadatan/ tingginya beban kerja staf klinis, faktor budaya, dan kemauan untuk berubah. Dalam hal ini dibutuhkan adanya fasilitator/ koordinator yang memiliki tugas penuh waktu guna memastikan clinical pathway dapat diterapkan di RS, khususnya dalam fase awareness session. Clinical pathway merupakan suatu alat yang bersifat leader driven, sehingga benar-benar akan berjalan bila didukung oleh

leadership yang baik khususnya dari pimpinan RS (Midleton & Roberts, 2000; Djasri 2014).


(26)

13. Kegagalan Clinical Pathway

Midleton dan Roberts (2000) menyebutkan setidaknya terdapat 5 hal utama yang menyebabkan gagalnya penerapan

clinical pathway:

a. Budaya profesional.

b. Kurangnya dukungan organisasi. c. Desain clinical pathway.

d. Waktu dan sumber daya yang tidak adekuat.

e. Ad-hoc approach. 14. Pneumonia

Pneumonia adalah inflamasi yang mengenai parenkim paru yang sebagian besar disebabkan oleh mikroorganisme (virus/ bakteri) dan sebagian kecil disebabkan oleh hal lain (aspirasi, radiasi, dll). Secara klinis pada anak sulit membedakan pneumonia bakteri dengan viral. Pemeriksaan radiologis dan laboratorium tidak menunjukkan perbedaan nyata. Pneumonia bakerial awitannya cepat, batuk produktif, pasien tampak toksik, leukositosis, dan perubahan nyata pada pada pemeriksaan radiologis. Di negara berkembang pneumonia pada anak disebabkan oleh bakteri yaitu S. pneumoniae, H. influenzae dan S. aureus. Pneumonia yang disebabkan bakteri umumnya


(27)

responsif terhadap pengobatan dengan antibiotik betalaktam (Said, 2008).

Berdasarakan tempat terjadinya infeksi terdapat dua bentuk pneumonia yaitu pneumonia masyarakat yang infeksinya terjadi di masyarakat dan pneumonia RS/ nosokomial yang infeksinya di dapat di RS. Umumnya mikroorganisme penyebab pneumonia terhisap ke paru bagian perifer melalui saluran nafas. Mula-mula terjadi edema akibat reaksi jaringan yang mempermudah proliferasi dan penyebaran kuman ke jaringan sekitarnya. Bagian paru yang terkena mengalami konsolidasi yaitu, terjadi serbukan sel PMN, fibrin, eritrosit, cairan edema, dan ditemukannya kuman di alveoli. Stadium ini disebut stadium hepatisasi merah. Deposisi fibrin semakin bertambah, terdapat fibrin dan leukosit PMN di alveoli dan terjadi proses fagositosis yang cepat. Stadium ini disebut stadium hepatisasi kelabu. Jumlah makrofag meningkat di alveoli, sel akan mengalami degenerasi, fibrin menipis, kuman dan debris menghilang. Stadium ini disebut stadium resolusi. Sistem bronko pulmoner jaringan paru yang tidak terkena akan tetap normal. Antibiotik yang diberikan sedini mungkin dapat memotong perjalanan penyakit (Said, 2008).


(28)

Gejala klinis pneumonia pada bayi dan anak bergantung pada berat ringannya infeksi. Gejala infeksi umum yaitu demam, sakit kepala, gelisah, malaise, penurunan nafsu makan, keluhan gastrointestinal seperti mual, muntah, diare, kadang-kadang ditemukan gejala infeksi ekstrapulmoner. Gejala gangguan respiratori yaitu batuk, sesak nafas, retraksi dada, takipnea, nafas cuping hidung, perasaan sulit bernafas, merintih, dan sianosis. Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan pekak perkusi suara nafas melemah, dan ronki (Said, 2008).

Sebagian besar pneumonia pada anak tidak perlu rawat inap. Indikasi perawatan terutama berdasarkan berat ringannya penyakit (Said, 2008). Pneumonia ringan yang dirawat jalan diberi terapi antibiotik Kotrimoksasol (4mg TMP/ kgBB/ kali) atau Amoksisilin (25mg/ kgBB/ kali) 2 kali sehari selama 3 hari. Pneumonia berat yang dirawat inapkan diberi terapi antibiotik Ampisilin/ Amoksisilin (25-50mg/ kgBB/ kali IV atau IM setiap 6 jam) yang harus dipantau dalam 24 jam selam 72 jam pertama. Bila anak memberi respon yang baik maka diberikan selama 5 hari. Selanjutnya terapi dilanjutkan di rumah/ rumah sakit dengan Amoksisilin oral (15mg/ kgBB/ kali) 3 kali sehari selama 5 hari. Bila keadaan klinis memburuk sebelum 48 jam atau terdapat


(29)

keadaan yang berat maka ditambahkan Kloramfenikol (25mg/ kgBB/ kali IM atau IV setiap 8 jam). Bila pasien datang dalam keadaan klinis berat segera berikan oksigen dan pengobatan kombinasi Ampisillin-Kloramfenikol atau Ampisillin-Gentamisin dan sebagai alternatif beri Seftriakson (80-100mg / kgBB IM atau IV sekali sehari) (WHO, 2005).

B. Penelitian Terdahulu

Tabel 2. 2. Penelitian Terdahulu

Nama Peniliti (Tahun) Judul Penelitian Metodologi

Penelitian Hasil Penelitian

Perbedaan Penelitian Rizaldi Pinzon (2009) Clinical Pathway dalam Pelayanan Stroke Akut: Apakah Clinical Pathway Memperbaiki Proses Pelayanan? After-before analysis.

Data diperoleh dari 50 pasien stroke setelah pemberlakuan uji

coba clinical

pathway stroke. Data

dibandingkan

dengan pasien

stroke pada

periode yang

sama tahun

sebelumnya. Hasil analisis

menunjukkan

bahwa ada

perbaikan dalam

hal pelacakan

faktor risiko

stroke, penilaian

Penelitian ini akan

mengevaluasi implementasi clinical pathway pneumonia pada anak. Penelitian ini merupakan penelitian

kualitatif dengan

desain studi

kasus, di ruang

rawat inap

bangsal anak

RSUD Panembahan Senopati Bantul. Data kuantitatif

yang diambil

hanya bersifat deskriptif


(30)

Nama Peniliti (Tahun) Judul Penelitian Metodologi

Penelitian Hasil Penelitian

Perbedaan Penelitian fungsi menelan,

konsultasi gizi, dan pengukuran status fungsional. Tidak ada beda bermakna dalam hal lama rawat

inap dan

mortalitas

diantara dua

periode pengamatan.

sederhana. Data kualitatif

diperoleh

dengan cara

deep interview

dan observasi dengan tujuan untuk menganalisis pelaksanaan identifikasi pasien berdasarkan aspek input, process, output. Anferi Devitra (2011) Analisis Implementasi Clinical

Pathway Kasus Stroke

Berdasarkan INA-CBGs di

RS Stroke

Nasional Bukittinggi Tahun 2011. Kualitatif dengan teknik pengambila

n sampel

secara

purposive.

Clinical pathway

di RS Stroke

Nasional

Bukittinggi telah diperkenalkan dan siap untuk di implementasikan secara bertahap.

Manajemen RS

telah membuat

rencana clinical pathway,

membuat tim

untuk clinical pathway,

meningkatkan motivasi para staf

RS dan

mensosialisasikan program kepada seluruh staf RS.

Penelitian ini akan mengevaluasi implementasi clinical pathway pneumonia

pada anak.

Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif

dengan desain studi kasus, di

ruang rawat

inap bangsal

anak RSUD

Panembahan Senopati

Bantul. Data kuantitatif Lanjutan Tabel 2. 2. Penelitian Terdahulu


(31)

Nama Peniliti (Tahun) Judul Penelitian Metodologi

Penelitian Hasil Penelitian

Perbedaan Penelitian diperoleh

dengan cara

deep interview

dan observasi dengan tujuan untuk menganalisis pelaksanaan identifikasi pasien berdasarkan

aspek input,

process, output. Siti

Rahmaw ati, dkk (2010)

Sistem Kesehatan

Clinical

Pathway, Case Mix, dan INA-DRG dengan metode ABC pada

Pelayanan Bedah Sesar di RS Indonesia.

Kohort prospektif dan

retrospektif.

Pelayanan bedah

sesar dengan

sistem kesehatan berdasarkan

clinical pathway, case mix, dan INA-DRGs

denagn metode

ABC dapat

menurunan leng of stay 5-6 hari perawatan serta menghemat pembayaran biaya pasien di RS

Penelitian ini akan mengevaluasi implementasi clinical pathway pneumonia

pada anak.

Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif

dengan desain studi kasus, di

ruang rawat

inap bangsal

anak RSUD

Panembahan Senopati

Bantul. Data kuantitatif yang diambil


(32)

Nama Peniliti (Tahun)

Judul Penelitian

Metodologi

Penelitian Hasil Penelitian

Perbedaan Penelitian hanya bersifat deskriptif sederhana. Data kualitatif diperoleh dengan cara

deep interview

dan observasi dengan tujuan untuk

menganalisis pelaksanaan identifikasi pasien berdasarkan aspek input, process, output.

C. Landasan Teori

Evaluasi dapat dikatakan juga sebagai penelitian yang secara khusus dirancang untuk menilai kegiatan dan dampak program/ kebijakan sehingga dapat menentukan hasil dari program/ kebijakan tersebut dan dianggap layak untuk dikembangkan. Evaluasi implementasi kebijakan bertujuan untuk menemukan gap antara perencanaan dengan hasil yang didapatkan (Buse et al, 2012).

Ada tiga pendekatan evaluasi (penilaian) mutu menurut Donabedian (dalam Wijono, 2000), yaitu:


(33)

a. Struktur

Struktur meliputi sarana fisik perlengkapan dan peralatan, organisasi dan manajemen, keuangan, sumber daya manusia dan sumber daya lainnya difasilitas kesehatan. Penilaian terhadap struktur termasuk penilaian terhadap perlengkapan dan instrumen yang tersedia dan dipergunakan sebagai alat untuk pelayanan. b. Proses

Proses adalah semua kegiatan yang dilakukan secara professional oleh tenaga kesehatan (dokter, perawat, dan tenaga profesi lain) dan interaksinya terhadap pasien. Proses tersebut mencakup diagnosa, rencana pengobatan, indikasi, tindakan, prosedur, dan penanganan kasus. Penilaian terproses adalah evaluasi terhadap dokter dan proses kesehatan dalam memanage pasien. Pendekatan proses merupakan pendekatan yang terhadap mutu pelayanan kesehatan.

c. Outcome

Outcome adalah hasil akhir kegiatan dan tindakan tenaga profesional terhadap pasien. Penilaian terhadap outcome ini merupakan hasil akhir dari kesehatan atau kepuasan yang positif atau negatif sehingga dapat memberikan bukti atau fakta akhir pelayanan kesehatan yang diberikan.


(34)

Clinical pathway merupakan pedoman kolaboratif untuk merawat pasien yang berfokus pada diagnosis, masalah klinis, dan tahapan pelayanan. Clinical pathway menggabungkan standar asuhan setiap tenaga kesehatan secara sistemik. Tindakan yang diberikan diseragamkan dalam suatu standar asuhan, namun tetap memperhatikan aspek individu dari pasien (Hendra, 2009).

Alat yang baik untuk melakukan evaluasi terhadap clinical pathway harus mempunyai karakteristik sebagai berikut (Vanhaercht, 2007): adanya komitmen dari organisasi, path project manajement, persepsi mengenai konsep dari pathway, format dokumen, isi

pathway, keterlibatan multidisiplin ilmu, manajemen variasi, pedoman, maintenance pathway, akuntabilitas, keterlibatan pasien, pengembangan pathway, dukungan tambahan terhadap sistem dan dokumentasi, pengaturan operasional, implementasi, pengelolaan hasil, dan keamanan. Dari kriteria tersebut saat ini ada dua instrumen yang sering digunakan untuk melakukan audit terhadap isi dan mutu

clinical pathway. Kedua instrumen tersebut adalah The Iclinical Pathway Key Element Checklist dan The Integrated Care Pathway Appraisal Tool (ICPAT).


(35)

ICPAT merupakan salah satu instrumen yang sudah divalidasi dan dapat digunakan untuk melakukan evaluasi dari isi dan mutu

clinical pathway, yang terdiri dari 6 dimensi (Whittle, 2009) yaitu: a. Dimensi 1: Bagian ini memastikan apakah formulir yang dinilai

adalah clinical pathway.

b. Dimensi 2: Menilai proses dokumentasi clinical pathway. c. Dimensi 3: Menilai proses pengembangan clinical pathway sama

pentingnya dengan clinical pathway yang dihasilkan. d. Dimensi 4: Menilai proses implementasi clinical pathway. e. Dimensi 5: Menilai proses pemeliharaan clinical pathway. f. Dimensi 6: Menilai peran organisasi (RS).

Pneumonia adalah inflamasi yang mengenai parenkim paru yang sebagian besar disebabkan oleh mikroorganisme (virus/ bakteri) dan sebagian kecil disebabkan oleh hal lain (aspirasi, radiasi, dll). Gejala klinis pneumonia pada bayi dan anak bergantung pada berat ringannya infeksi. Gejala infeksi umum yaitu demam, sakit kepala, gelisah, malaise, penurunan nafsu makan, keluhan gastrointestinal seperti mual, muntah, diare, kadang-kadang ditemukan gejala infeksi ekstrapulmoner. Gejala gangguan respiratori yaitu batuk, sesak nafas, retraksi dada, takipnea, nafas cuping hidung, perasaan sulit bernafas, merintih, dan sianosis. Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan pekak


(36)

perkusi suara nafas melemah, dan ronki. Sebagian besar pneumonia pada anak tidak perlu rawat inap. Indikasi perawatan terutama berdasarkan berat ringannya penyakit (Said, 2008).

Pneumonia ringan yang dirawat jalan diberi terapi antibiotik Kotrimoksasol (4mg TMP/ kgBB/ kali) atau Amoksisilin (25mg/ kgBB/ kali) 2 kali sehari selama 3 hari. Pneumonia berat yang dirawat inapkan diberi terapi antibiotik Ampisilin/ Amoksisilin (25-50mg/ kgBB/ kali IV atau IM setiap 6 jam) yang harus dipantau dalam 24 jam selam 72 jam pertama. Bila anak memberi respon yang baik maka diberikan selama 5 hari. Selanjutnya terapi dilanjutkan di rumah/ rumah sakit dengan Amoksisilin oral (15mg/ kgBB/ kali) 3 kali sehari selama 5 hari. Bila keadaan klinis memburuk sebelum 48 jam atau terdapat keadaan yang berat maka ditambahkan Kloramfenikol (25mg/ kgBB/ kali IM atau IV setiap 8 jam). Bila pasien datang dalam keadaan klinis berat segera berikan oksigen dan pengobatan kombinasi Ampisillin-Kloramfenikol atau Ampisillin-Gentamisin dan sebagai alternatif beri Seftriakson (80-100mg / kgBB IM atau IV sekali sehari) (WHO, 2005).

Dalam penelitian ini evaluasi merupakan kegiatan mengevaluasi clinical pathway di bangsal Anggrek. Tujuan evaluasi ini untuk mengetahui implementasi clinical pathway pneumonia di


(37)

rawat inap bagian anak RSUD Panembahan Senopati Bantul. Hasil evaluasi dijadikan sebagai dasar rekomendasi bagi rumah sakit. Rekomendasi merupakan kesimpulan, pendapat, dan saran yang disusun berdasarkan hasil evaluasi untuk meningkatkan mutu pelayanan kesehatan.


(38)

D. Kerangka Teori

6 dimensi ICPAT Pemeriksaan klinis

1. Pemeriksaan tanda vital

2. Pemeriksaan tanda distress Input

1. Sarana fisik perlengkapan dan

Clinical pathway pneumonia pada anak

Diagnostic

Symptom Therapy Follow Up

Diagnostic Pra-therapy Therapy Follow Up

Activity abc Admission


(39)

(40)

E. Kerangka Konsep

Gambar 2.2. Kerangka Konsep

Keterangan :

Diteliti : Tidak diteliti : Input

 Format

clinical pathway  Peran

organisasi

 Sarana dan prasarana

 SDM

Proses

 Dokumentasi

 Pengembangan

 Penerapan

Maintenance

Output

Kepatuhan Outcome

Hambatan


(41)

F. Pertanyaan Penelitian

1. Bagaimana format dari clinical pathway pneumonia di bangsal Anggrek RSUD Panembahan Senopati Bantul?

2. Bagaimana peran RS dalam clinical pathway pneumonia di bangsal Anggrek RSUD Panembahan Senopati Bantul?

3. Bagaimana sarana dan prasarana dari clinical pathway

pneumonia di bangsal Anggrek RSUD Panembahan Senopati Bantul?

4. Bagaimana SDM dari clinical pathway pneumonia di bangsal Anggrek RSUD Panembahan Senopati Bantul?

5. Bagaimana dokumentasi dari clinical pathway pneumonia di bangsal Anggrek RSUD Panembahan Senopati Bantul?

6. Bagaimana pengembangan dari clinical pathway pneumonia di bangsal Anggrek RSUD Panembahan Senopati Bantul?

7. Bagaimana penerapan dari clinical pathway pneumonia di bangsal Anggrek RSUD Panembahan Senopati Bantul?

8. Bagaimana maintenance dari clinical pathway pneumonia di bangsal Anggrek RSUD Panembahan Senopati Bantul?

9. Bagaimana kepatuhan penggunaan clinical pathway pneumonia di bangsal Anggrek RSUD Panembahan Senopati Bantul?


(42)

10. Apa saja masalah dan hambatan dalam implementasi clinical pathway pneumonia di bangsal Anggrek RSUD Panembahan Senopati Bantul?

11. Bagaimana rekomendasi dalam pelaksanaan implementasi

clinical pathway pneumonia di bangsal Anggrek RSUD Panembahan Senopati Bantul?


(43)

(44)

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis dan Rancangan Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian mix method dengan desain studi kasus, di ruang rawat inap bangsal anak RSUD Panembahan Senopati Bantul. Data kuantitatif yang diambil bersifat deskriptif sederhana untuk melihat kepatuhan berupa dokumentasi dan pengisian

clinical pathway dalam rekam medis serta ICPAT. Data kualitatif diperoleh dengan cara

deep interview dan observasi dengan tujuan untuk menganalisis pelaksanaan identifikasi pasien berdasarkan aspek input, process, output.

B. Subjek dan Objek Penelitian

1. Subjek Penelitian

Subjek penelitian ini adalah direktur pelayanan medik, bagian mutu, dokter spesialis anak, kepala bangsal, dan perawat pelaksana.

2. Objek Penelitian

Objek penelitian ini adalah clinical pathway pneumonia, rekam medis, dan proses implementasi clinical pathway pneumonia di unit rawat inap bangsal anak RSUD Panembahan Senopati Bantul.

3. Tempat Penelitian

Tempat penelitian ini adalah unit rawat inap bangsal anak RSUD Panembahan Senopati Bantul.


(45)

Penelitian ini dilaksanakan sejak bulan Mei 2016-Agustus 2016 untuk melihat kondisi terakhir implementasi clinical pathway pneumonia.

C. Populasi, Sampling, dan Sampel Penelitian

Tabel 3. 1. Populasi, Sampling, dan Sampel Penelitian

Kuantitatif Kualitatif

Populasi: Seluruh rekam medis pasien pneumonia bulan Januari sampai Maret 2016.

Populasi: Seluruh petugas yang terlibat dalam clinical pathway

pneumonia.

Sampling: Total sampling. Sampling: Purposive sampling

untuk mendapatkan informasi kunci.

Sampel: Seluruh rekam medis pasien pneumonia bulan Januari sampai Maret 2016 diperoleh

sejumlah 24 rekam medis

dieksklusi 10 rekam medis karena ada penyakit penyerta.

Sampel: 7 orang yang terdiri dari 1 orang direktur pelayanan medik, 1 orang bagian mutu, 2 orang dokter spesialis anak, 1 orang kepala bangsal, dan 2 orang perawat yang ada di

bangsal Anggrek RSUD

Panembahan Senopati Bantul.

1. Kriteria inklusi rekam medis adalah sebagai berikut:

Rekam medis pasien pneumonia yang lengkap dan dapat dibaca. 2. Kriteria eksklusi rekam medis adalah sebagai berikut:

a. Rekam medis pasien pneumonia yang hilang.

b. Rekam medis pasien pneumonia yang tidak lengkap dan tidak terbaca. c. Adanya penyakit penyerta.

3. Kriteria inklusi responden adalah sebagai berikut: a. Bersedia menjadi responden penelitian.

b. Bekerja di RSUD Panembahan Senopati Bantul >1 tahun. c. Terlibat dalam penatalaksanaan pasien pneumonia.


(46)

4. Kriteria eksklusi responden adalah sebagai berikut: Tidak ada kriteria eksklusi untuk responden.

D. Definisi Operasional

Tabel 3. 2. Definisi Operasional

Variabel Definisi Instrumen

Cara Pengumpulan Data Hasil Ukur Implemenasi clinical pathway Proses pelaksanaan clinical pathway Panduan wawancara dan checklist ICPAT 1.Observasi 2.Wawancara mendalam 3.Pengisian checklist ICPAT Penilaian persentase

ya dan

tidak.

Indikator Definisi Instrumen

Cara Pengumpulan Data Hasil Ukur Format clinical pathway

Konten: Titik awal, titik akhir, proses pelayanan, kontinuitas pelayanan, fungsi, dan variasi.

Mutu: Fungsi dan gambaran kontribusi. Panduan wawancara dan checklist ICPAT dimensi 1: Apakah benar clinical pathway? 1.Observasi 2.Wawancara mendalam 3.Pengisian checklist ICPAT Persentase

ya dari

masing-masing item.


(47)

Lanjutan Tabel 3. 2. Definisi Operasional Indikator Definisi Instrumen

Cara Pengumpulan Data Hasil Ukur Dokumentasi clinical pathway

Konten: Judul, instruksi penggunaan, kriteria eksklusi, identifikasi pasien, nomor halaman, tanggal berlaku,

tanggal review, singkatan, nama pasien, contoh tanda tangan,

instruksi, peringatan, pencatatan variasi, sistem pengingat, akses pasien, pasien mengisi CP, pernyataan persetujuan, isi, catatan tambahan, penyimpanan,

dan sistem

dokumentasi. Mutu: Tujuan, instruksi, partisipasi pasien, dan penjelasan variasi. Panduan wawancara dan checklist ICPAT dimensi 2: Dokumenta si clinical pathway. 1.Observasi 2.Wawancara mendalam 3.Pengisian checklist ICPAT Persentase

ya dari

masing-masing item.


(48)

Lanjutan Tabel 3. 2. Definisi Operasional Indikator Definisi Instrumen

Cara Pengumpulan Data Hasil Ukur Pengembang

an clinical pathway

Konten: Daftar

absensi, catatan keputusan, review

praktik, pencarian literatur, catatan pengembangan, staf penanggung jawab, perwakilan pasien dalam review, uji

coba, variasi,

outcome, audit, dan umpan balik.

Mutu: Standar

dokumentasi, tersedianya

referensi, pedoman, dan petunjuk teknis, penilaian referensi,

risiko klinis,

diskusi, pelatihan, pendidikan, dan kompetensi staf, keterlibatan staf, keterlibatan pasien, pertimbangan kebutuhan pasien,

pendapat staf,

persyaratan hukum, identifikasi area,

jumlah sampel,

pendapat pasien, dan hasil uji coba.

Panduan wawancara dan

checklist

ICPAT dimensi 3: Proses pengemban gan clinical pathway. 1.Observasi 2.Wawancara mendalam 3.Pengisian checklist ICPAT Persentase

ya dari

masing-masing item.


(49)

Lanjutan Tabel 3. 2. Definisi Operasional Indikator Definisi Instrumen

Cara Pengumpulan Data Hasil Ukur Penerapan clinical pathway Konten: Telaah kemungkinan risiko, program pelatihan, kesepakatan penyimpanan, sistem untuk umpan balik, dan training. Mutu: Penilaian risiko. Panduan wawancara dan checklist

ICPAT dimensi 4: Penerapan clinical pathway. 1.Observasi 2.Wawancara mendalam 3.Pengisian checklist ICPAT Persentase

ya dari

masing-masing item. Maintenace clinical pathway Konten: Review, staf penanggung

jawab, dan

pelatihan staf. Mutu: Review, pembaharuan kode variasi, masukkan staf, variasi dan pencapaian

goals, dan pasien terlibat dalam review.

Panduan wawancara dan checklist

ICPAT dimensi 5:

Maintenance clinical pathway. 1.Observasi 2.Wawancara mendalam 3.Pengisian checklist ICPAT Persentase

ya dari

masing-masing item.


(50)

Lanjutan Tabel 3. 2. Definisi Operasional Indikator Definisi Instrumen

Cara Pengumpulan Data Hasil Ukur Peran organisasi dalam implementasi clinical pathway Konten: Perencanaan, dukungan komite medik, dan clinical governance. Mutu: Klinisi, tim strategik, bukti

terintegrasi,

pedoman RS,

komitmen, manajemen risiko, pengelolaan,

target RS,

kebijakan RS, sistem

pelaporan variasi, alokasi

waktu, dan

pelatihan. Panduan wawancara dan checklist ICPAT dimensi 6: Peran organisasi untuk clinical pathway. 1.Observasi 2.Wawancara mendalam 3.Pengisian checklist ICPAT Persentase

ya dari

masing-masing item. Kepatuhan clinical pathway Clinical pathway

dimasukkan ke

dalam rekam

medis pasien

pneumonia yang dirawat inap di

bangsal anak

RSUD Panembahan Senopati Bantul. Panduan wawancara dan checklist ICPAT dimensi 4: Penerapan clinical pathway. 1.Observasi 2.Wawancara mendalam 3.Pengisian checklist ICPAT Clinical pathway dimasukka n ke dalam rekam medis atau tidak.


(51)

Lanjutan Tabel 3. 2. Definisi Operasional

Indikator Definisi Instrumen

Cara Pengumpul an Data Hasil Ukur Hambatan implementasi clinical pathway pneumonia Mengeksplorasi suatu atau kendala dan masalah yang dihadapi di unit rawat inap bangsal

anak RSUD

Panembahan

Senopati Bantul

dalam pelaksanaan

clinical pathway

pneumonia. Panduan wawancara. Wawancara mendalam. Hambatan yang ditemukan diuraikan dalam bentuk narasi sesuai dengan kenyataan di lapangan yang selanjutny a dibuat kriteria sesuai dan tidak sesuai.

Rekomendasi Memberi saran yang bersifat

menganjurkan (membenarkan/ menguatkan/ menambahkan) kepada manajemen

dan pelaksana

clinical pathway

pneumonia di RSUD

Panembahan

Senopati Bantul

dalam implementasi

clinical pathway

pneumonia

berdasarkan hasil

penelitian yang

diperoleh.

Berdasarkan teori/ hasil yang dilakukan melalui analisis data berdasarkan hasil wawancara mendalam dan observasi. Berdasarkan teori dan hasil yang telah dilakukan.

Rekomend asi yang diberikan diuraikan dalam bentuk narasi sesuai dengan hasil penelitian di lapangan.


(52)

Lanjutan Tabel 3. 2. Definisi Operasional

Indikator Definisi Instrumen

Cara Pengumpul an Data Hasil Ukur Hambatan implementasi clinical pathway pneumonia Mengeksplorasi suatu atau kendala dan masalah yang dihadapi di unit rawat inap bangsal

anak RSUD

Panembahan

Senopati Bantul

dalam pelaksanaan

clinical pathway

pneumonia. Panduan wawancara. Wawancara mendalam. Hambatan yang ditemukan diuraikan dalam bentuk narasi sesuai dengan kenyataan di lapangan yang selanjutny a dibuat kriteria sesuai dan tidak sesuai.

Rekomendasi Memberi saran yang bersifat

menganjurkan (membenarkan/ menguatkan/ menambahkan) kepada manajemen

dan pelaksana

clinical pathway

pneumonia di RSUD

Panembahan

Senopati Bantul

dalam implementasi

clinical pathway

pneumonia

berdasarkan hasil

penelitian yang

diperoleh.

Berdasarkan teori/ hasil yang dilakukan melalui analisis data berdasarkan hasil wawancara mendalam dan observasi. Berdasarkan teori dan hasil yang telah dilakukan.

Rekomend asi yang diberikan diuraikan dalam bentuk narasi sesuai dengan hasil penelitian di lapangan.


(53)

Lanjutan Tabel 3. 2. Definisi Operasional

Indikator Definisi Instrumen

Cara Pengumpulan

Data

Hasil Ukur Rekam medis Dokumen yang

memuat perjalanan penyakit pasien pneumonia.

Panduan

wawancara dan

checklist ICPAT

dimensi 2 :

Dokumentasi

clinical pathway.

Melihat pada

rekam medis

apakah terdapat

clinical pathway

atau tidak.

Memenuhi dimensi 2 pada ICPAT.

E. Teknik Pengumpulan Data

1. Wawancara mendalam / Deep Interview

Pelaksanaan wawancara pada pada penelitian ini menggunakan instrumen berupa daftar pertanyaan yang didasarkan pada checklist ICPAT. Wawancara pada penelitian ini bertujuan untuk mengetahui masalah dan rekomendasi implementasi

clinical pathway pneumonia di RSUD Panembahan Senopati Bantul. Informan pada wawancara penelitian ini terdiri dari direktur pelayanan medik, bagian mutu, dokter spesialis anak, kepala bangsal, dan perawat pelaksana.

2. Observasi

Pelaksanaan observasi pada penelitian ini menggunakan rekam medik pasien pneumonia. Dari rekam medik pasien tersebut kita dapat melihat apakah penggunaan

clinical pathway pneumoniadidokumentasikan di dalam rekam medik pasien. Selain itu digunakan checklist ICPAT sebagai alat untuk melakukan observasi pada clinical pathway.

F. Instrumen Penelitian

1. Formulir ICPAT. 2. Panduan wawancara.


(54)

Daftar pertanyaan untuk mengetahui implementasi dari clinical pathway.

3. Kamera.

Merupakan alat untuk mendokumentasikan gambar proses identifikasi pasien yang sedang berlangsung.

4. Tape Recorder.

Merupakan alat untuk menyimpan dokumentasi wawancara 5. Alat Tulis.

G. Uji Validitas dan Reabilitas

Peneliti menggunakan triangulasi sebagai teknik untuk mengecek keabsahan data. Triangulasi adalah teknik pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain dalam membandingkan hasil wawancara terhadap objek penelitian (Moloeng, 2004). Triangulasi dapat dilakukan dengan menggunakan teknik yang berbeda (Nasution, 2003) yaitu wawancara, observasi dan dokumen. Triangulasi ini selain digunakan untuk mengecek kebenaran data juga dilakukan untuk memperkaya data. Menurut Nasution, selain itu triangulasi juga dapat berguna untuk menyelidiki validitas tafsiran peneliti terhadap data, karena itu triangulasi bersifat reflektif. Teknik triangulasi yang digunakan adalah Mix It Up

yaitu mengkombinasikan beberapa teknik pengumpulan data (Moloeng, 2004). Pada penelitian hasil data kuantitatif dan kualitatif ditriangulasikan dengan mengkonfirmasi responden/ objek penelitian melalui wawancara dan observasi.

H. Analisis Data

1. Analisis Kuantitatif

Dilakukan dengan analisis deskriptif terhadap checklist ICPAT dan data diolah dengan menggunakan program di komputer.


(55)

2. Analisis Kualitatif

Hasil pelaksanaan evaluasi implementasi clinical pathway diteliti oleh peneliti dan disesuaikan dengan situasi dan kondisi yang sebenarnya dengan melakukan wawancara lebih mendalam untuk mengklarifikasi evaluasi implementasi clinical pathway. Cara melakukan analisis kualitatif, yaitu: melakukan analisis sampai dengan mendapatkan data yang sebenarnya kemuadian mengcoding hasil wawancara dengan

open coding dan axial coding. Open coding ialah proses perincian, pengujian, perbandingan, pengkosepan, dan pengkategorian data. Hasil open coding ini merupakan sebuah bentuk memo. Axial coding adalah seperangkat prosedur di mana data disatukan kembali secra baru setelah open coding dengan membuat hubungan di antara kategori-kategori (Gunawan, 2013).

I. Tahapan Penelitian

1. Persiapan

a. Studi pendahuluan

Diawal penelitian, peneliti melakukan pengamatan pada ruang rawat inap bangsal anak di RSUD Panembahan Senopati Bantul.

b. Studi kepustakaan

Studi kepustakaan dilakukan untuk mendapatkan acuan penelitian dengan mencari bahan penelitian sebelumnya dan mencari materi-materi pendukung terkait evaluasi implementasi clinical pathway.


(56)

Pada awalnya peneliti menyusun instrumen observasi kemudian diperbanyak. Kemudian menetapkan instrumen sebagai alat pendukung observasi dan wawancara bagi peneliti.

d. Pengajuan izin penelitian 2. Tahap Pelaksanaan Penelitian

a. Melakukan observasi terhadap implementasi clinical pathway yang telah ditetapkan.

b. Melakukan audit medik rekam medis pasien pneumonia. c. Melakukan analisis dan observasi

d. Melakukan deep interview/ wawancara dengan subjek penelitian yang terlibat langsung dalam implementasi clinical pathway.

e. Meminta responden untuk mengisi checklist ICPAT. 3. Tahap Akhir

a. Dilakukan coding pada data hasil observasi dan deep interview dan menentukan dalam kategori yang sesuai dengan variabel penelitian.

b. Menghitung jumlah jawaban ya dan tidak pada checklist ICPAT. c. Menyusun hasil data menjadi laporan penelitian.


(57)

Gambar 3.1. Tahapan Penelitian Studi pendahuluan

Studi kepustakaan

Pengadaan instrumen yaitu formulir ICPAT, panduan wawancara, kamera, tape recorder, dan alat tulis

Pengajuan izin penelitian

Menyusun hasil observasi Penelitian kuantitatif Peneltian kualitatif

Audit medik RM

Pengisian

checklist ICPAT

Menyusun hasil audit Mengolah hasil audit

Mengolah hasil

checlikst ICPAT

Menyusun hasil checlikst ICPAT

Observasi Wawancara mendalam

Mengcoding hasil wawancara mendalam

Menyusun hasil wawancara mendalam


(58)

J. Etika Penelitian

Etika penelitian dalam penelitian ini mengikuti empat prinsip yaitu: 1. Menghormati harkat dan martabat manusia.

2. Menghormati privasi dan kerahasiaan subjek penelitian. 3. Keadilan dan inklusivitas.


(59)

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Penelitian

1. Profil Rumah Sakit Umum Daerah Panembahan Senopati Bantul

Rumah Sakit Umum Daerah Panembahan Senopati merupakan pendukung penyelenggaraan pemerintah daerah yang dipimpin oleh seorang direktur yang berkedudukan di bawah dan bertanggungjawab kepada bupati melalui sekretaris daerah. Rumah Sakit Umum Daerah Panembahan Senopati mempunyai tugas melaksanakan penyusunan dan pelaksanaan kebijakan daerah bidang pelayanan kesehatan. Rumah Sakit Umum Daerah Panembahan Senopati Bantul dalam melaksanakan tugasnya mempunyai fungsi:

a. Perumusan kebijakan teknis di bidang pelayanan rumah sakit.

b. Penyelenggaraan urusan pemerintahan dan pelayanan umum di bidang pelayanan rumah sakit.

c. Pembinaan dan pengendalian pelayanan rumah sakit.

d. Pelaksanaan tugas lain yang diberikan oleh bupati sesuai dengan tugas dan fungsinya.

Rumah Sakit Umum Daerah Panembahan Senopati Bantul berdiri sejak tahun 1953 sebagai RS hongeroedem (HO). Tahun 1956 resmi menjadi RS Kabupaten dengan 60 Tempat Tidur (TT), pada tahun 1967 menjadi 90 TT. Tanggal 1 April 1982 diresmikan Menkes RI sebagai RSUD Bantul Type D. Tanggal 26 Pebruari 1993 ditetapkan sebagai RS Type C (SK Menkes RI Nomor 202/Menkes/SK/11/1993.


(60)

Tanggal 1 Januari 2003 Rumah Sakit Umum Daerah Panembahan Senopati Bantul menjadi RS Swadana dengan Perda No.8 tanggal 8 Juni 2002 dan pada tanggal 29 Maret 2003 berubah nama menjadi RSD Panembahan Senopati Bantul. Rumah Sakit Umum Daerah Panembahan Senopati Bantul mulai 1 September 2004 menerapkan Tarif Unit Cost (Perda Nomor 4 Tahun 2004). Sesuai SK Menkes No. 142/Menkes/SK/I/2007 Tanggal 31 Januari 2007 tentang Peningkatan Kelas RSUD Panembahan Senopati Bantul dari Type C menjadi Kelas B Non Pendidikan. Rumah Sakit Umum Daerah Panembahan Senopati Bantul ditetapkan sebagai Rumah Sakit yang menerapkan Pola Pengelolaan Keuangan sebagai Badan Layanan Umum Daerah (PPK-BLUD) Rumah Sakit Umum Daerah Panembahan Senopati Bantul sesuai Keputusan Bupati Bantul Nomor 195 Tahun 2009 tanggal 21 Juli 2009.

Rumah Sakit Umum Daerah Panembahan Senopati Bantul memiliki visi, misi, nilai-nilai, dan motto yaitu:

a. Visi: Tewujudnya rumah sakit yang unggul dan menjadi kebanggaan seluruh masyarakat.

b. Misi:

1) Memberikan pelayanan prima pada pelanggan.

2) Meningkatkan profesionalisme sumber daya manusia.

3) Melaksanakan peningkatan mutu berkelanjutan dalam pelayanan kesehatan. 4) Meningkatkan jalinan kerjasama dengan mitra terkait.

5) Meningkatkan ketersediaan sarana prasarana yang berkualitas.

6) Menyelenggarakan tata kelola keuangan yang sehat untuk mendukung pertumbuhan organisasi.


(61)

c. Nilai-nilai: 1) Jujur. 2) Rendah hati. 3) Kerja sama. 4) Profesional. 5) Inovasi.

d. Motto : Melayani sepenuh hati untuk kualitas hidup yang lebih baik.

Rumah Sakit Umum Daerah Panembahan Senopati Bantul juga memiliki tujuan, sasaran, dan kebijakan yaitu:

a. Tujuan

1) Terwujudnya proses pelayanan yang berkualitas. 2) Terwujudnya kepercayaan dan kepuasan pelanggan. 3) Terwujudnya karyawan yang produktif dan berkomitmen.

4) Terwujudnya proses pelaporan dan akses informasi yang cepat dan akurat. 5) Terwujudnya rumah sakit sebagai jejaring pelayanan pendidikan dan

penelitian.

6) Terwujudnya pelayanan non fungsional untuk kepuasan pelanggan. b. Sasaran

1) Meningkatnya kualitas dan terintegrasikannya proses pelayanan kepada pelanggan.

2) Meningkatnya kepercayaan dan kepuasan pelanggan.

3) Meningkatnya pendidikan dan pelatihan karyawan (kapabilitas karyawan) dan meningkatnya etos/ semangat kerja karyawan (komitmen karyawan).


(62)

4) SIM RS yang terintegrasi untuk seluruh unit.

5) Terlaksananya pelayanan pendidikan dan penelitian bagi institusi dan perorangan.

6) Terlaksananya pelayanan non fungsional. c. Kebijakan

1) Pelayanan prima.

2) Business Process Reengineering (BPR). 3) Pembangunan kemitraan dengan pelanggan. 4) Peningkatan layanan pelanggan.

5) Pengembangan SDM.

6) Pengembangan SIM.

7) Pengembangan jejaring pelayanan pendidikan dan penelitian. 8) Sumber pendapatan non fungsional.

Struktur organisasi Rumah Sakit Umum Daerah Panembahan Senopati Bantul adalah sebagai berikut:


(63)

Gambar 4. 1. Struktur Organisasi RSUD Panembahan Senopati Bantul 2. Data Bangsal

Bangsal Anggrek adalah bangsal anak yang ada di RSUD Panembahan Senopati Bantul yang memberikan pelayanan dengan tingkat pelayanan perawatan kelas II dan III serta HCU (High Care Unit). Bangsal Anggrek berkapasitas 30 TT (kelas 2 terdiri dari 10 TT, kelas 3 terdiri dari 18 TT, dan HCU terdiri dari 2 TT) yang terbagi dalam 10 ruang perawatan biasa dan 1 ruangan HCU.

3. Hasil Evalusi ICPAT

Peneliti melakukan penelitian berdasarkan hasil pengisian checklist oleh responden dan diperoleh hasil sebagai berikut:


(64)

Gambar 4. 2. Grafik Hasil Evaluasi ICPAT

Grafik di atas menunjukkan persentase konten dan mutu dari 6 dimensi pada ICPAT. Berdasarkan literatur Whittle et al “Assesing the content and quality of pathways” (2008)kategori baik jika nilai >75%, moderat 50-75%, dan kurang <50%. Dimensi 1 (apakah benar sebuah clinical pathway?) memiliki konten dan mutu yang moderat, dimensi 2 (dokumentasi) dan 5 (maintenance) memiliki konten dan mutu yang kurang, dimensi 3 (pengembangan) memiliki konten yang moderat dan mutu yang kurang, dimensi 4 (implementasi) memiliki konten yang moderat dan mutu yang baik, dan dimensi 6 (peran organisasi) memiliki konten yang baik dan mutu yang moderat.

4. Input

a. ICPAT Dimensi 1 (Apakah Benar Sebuah Clinical Pathway?) 1) Outline pelayanan

Outline pelayanan merupakan bagian dari penilaian ICPAT dimensi 1. Berdasarkan hasil observasi pada lembar clinical pathway, didapatkan bahwa

outline pelayanan dari clinical pathway pneumonia tidak memiliki titik awal

60%

26.3

2%

61.5

4%

60%

25%

100%

50%

25%

41.1

8%

100%

3

8

.4

6

%

67%

D I M E N S I 1 D I M E N S I 2 D I M E N S I 3 D I M E N S I 4 D I M E N S I 5 D I M E N S I 6 H A S I L E VA L U A S I I C PAT


(65)

yang jelas apakah di poli, bangsal atau IGD, serta clinical pathway tidak mencakup kontinuitas pelayanan/ terapi selama 24 jam. Clinical pathway

pneumonia memiliki titik akhir dan memberikan outline mengenai proses pelayanan yang ada.

2) Peran profesi

Peran profesi meupakan bagian dari penilaian ICPAT dimensi 1. Peran profesi pada clinical pathway pneumonia tidak terlihat secara jelas siapa saja yang berkontrinbusi dalam pelayanan. Peran profesi yang ada dalam pelayanan menjadi tidak terlihat.

3) Design

Design merupakan bagian dari penilaian ICPAT dimensi 1. Clinical pathway pneumonia dapat membantu pengambilan keputusan/ menunjukkan fokus perhatian pada faktor-faktor lain seperti komorbit, faktor risiko atau masalah lain. Sejalan dengan hasil wawancara peneliti dengan responden 6, beliau mengatakan sebagai berikut:

“Eee,, sek,, kalau clinical pathway sendiri memang misalnya pasien itu sudah terdiagnosis pneumonia otomatis kita akan fokus terhadap mau apa terapinya sesuai dengan clinical pathway misalkan dengan terapi awal kita berikan kemudian, monitoringnya yang harus dilakukan itu apa, eee, apa, tindak lanjutnya bagaimana, kemudian outcomenya, yang perlu dicapai bagaimana.“ (Wawancara Hari Jumat, 27 Mei 2016, Pukul 15.30 WIB, di RSUD PANEMBAHAN SENOPATI BANTUL).

Kekurangan design clinical pathway pneumonia ini adalah formulir clinical pathway tidak dapat digunakan untuk mencatat pelayanan yang didapat oleh individu pasien, dan dokumentasi clinical pathway tidak dapat mencatat secara spesifik pelayanan yang dibutuhkan pasien.


(1)

maupun kelengkapan data dan pemanfaatan data.

Penyusunan clinical pathway memberikan koordinasi pelayanan bagi pengguna clinical pathway10. Penyusunan clinical pathway di bangsal Anggrek membuat koordinasi antara dokter, perawat, apoteker, dan ahli gizi menjadi terjalin. Pengembangan clinical pathway yang terpenting yaitu transparasi terhadap pasien11. Clinical pathway pneumonia yang ada di RSUD Panembahan Senopati Bantul tidak memberikan transparasi pada pasien seperti pasien tidak memiliki akses pada clinical pathway mereka, pasien tidak mengisi beberapa bagian dari clinical pathway, tidak ada perwakilan pasien yang turut mereview clinical pathway, pasien tidak dilibatkan dalam pengembangan clinical pathway, pendapat pasien tidak dikumpulkan saat uji coba, dan hasil uji coba tidak didiskusikan dengan pasien. Seharusnya pasien dilibatkan dalam clinical pathway seperti isi dari ICPAT dimensi 2 (dokumentasi clinical pathway) dan dimensi 3 (pengembangan clinical pathway).

Pengembangan clinical pathway dalam tahap review harus difokuskan pada penyelesaian clinical pathway, jenis variasi yang dicatat, dan kepuasaan staf12. Upaya pengembangan yang sudah dilakukan oleh RSUD Panembahan Senopati Bantul untuk clinical pathway

pneumonia adalah menetapkan literatur yang sesuai dengan isi clinical pathway dan adanya review isi clinical pathway. Proses pengembangan ini cukup optimal karena clinical pathway direview tiap 4 bulan.

Clinical pathway memberikan cara bagaimana mengembangkan dan mengimplementasikan Evidence Based Medicine (EBM) ke dalam protokol lokal. Pneumonia biasanya disebabkan oleh virus/ bakteri13. Pneumonia ringan diberi terapi antibiotik Kotrimoksasol atau Amoksisilin. Pneumonia berat diberi terapi antibiotik Ampisilin/ Amoksisilin. Bila keadaan klinis memburuk sebelum 48 jam atau terdapat keadaan yang berat maka ditambahkan Kloramfenikol. Bila pasien datang dalam keadaan klinis berat segera berikan oksigen dan pengobatan kombinasi Ampisillin-Kloramfenikol atau Ampisillin-Gentamisin dan sebagai alternatif beri Seftriakson14. Isi clinical pathway pneumonia yang ada di RSUD Panembahan Senopati Bantul sudah sesuai dengan IDAI dan WHO sehingga para staf yang terlibat dalam clinical pathway pneumonia ini dapat mengaplikasikan apa yang ada dalam clinical pathway untuk memberikan pelayanan pada pasien pneumonia.

Salah satu bagian dari penerapan clinical pathway adalah memberikan standar pada clinical pathway, bagian ini


(2)

menjelaskan dalam keadaan apa bisa mengobati pasien sesuai clinical pathway15. Implementasi clinical pathway yang baik dapat meningkatkan keselamatan, kepuasaan, dan outcome dari pasien16. Masalah klasik yang menjadi hambatan dalam penerapan clinical pathway adalah sumber daya yang terbatas dan tingginya beban kerja8. Hambatan pada implementasi clinical pathway pneumonia yang ada di RSUD Panembahan Senopati Bantul adalah keterbatasan waktu dan kurangnya kesadaran dokter untuk mengisi clinical pathway dan belum adanya rasa memiliki pada clinical pathway.

Evaluasi pengawasan dalam pelaksanaan clinical pathway dilakukan secara berkala dan berkelanjutan bahwa untuk manajemen bisnis dari rumah sakit, clinical pathway menyajikan instrumen manajemen strategis yang juga berfungsi sebagai instrumen untuk pengendalian biaya, dan dapat berkontribusi untuk transparansi dalam penyediaan layanan17. VFM Unit (NHS Wales) Project yang meneliti tentang Clinical Resource Utilitation Group di Inggris memberikan rekomendasi terkait faktor penentu kesuksesan implementasi clinical pathway. Faktor pertama dan utama yang harus diperhatikan adalah bahwa clinical pathway membutuhkan kesadaran dan komitmen dari seluruh pihak terkait4.

Hambatan yang terjadi dalam implementasi clinical pathway pneumonia yang ada di RSUD Panembahan Senopati Bantul harusnya membangun kesadaran dari seluruh pihak terkait. Implementasi clinical pathway bisa mengalami hambatan seperti tenaga medis yang tidak berinisiatif untuk melihat pedoman yang ada18.

Peran dokter dalam implementasi clinical pathway adalah penting karena kurangnya keterlibatan dokter merupakan salah satu alasan gagalnya implementasi clinical pathway19. Peran dokter dalam implementasi clinical pathway pneumonia di RSUD Panembahan Senopati Bantul masih kurang karena keterbatasan waktu dan kurangnya kesadaran para dokter untuk mengisi clinical pathway serta belum adanya rasa memiliki pada clinical pathway yang menjadi kendala dalam implementasi clinical pathway pneumonia. Pihak rumah sakit terutama manajemen setelah menerapkan clinical pathway, maka harus melakukan evaluasi clinical pathway melalui audit clinical pathway yang bertujuan untuk mendeskripsikan prosedur pelaksaan clinical pathway dan evaluasinya, memfasilitasi penerapan PPK (Pedoman Praktik Klinis) serta evaluasinya, dan mengurangi variasi yang tidak perlu dalam pelaksaan praktik klinis20. Clinical pathway pneumonia yang ada di RSUD Panembahan Senopati


(3)

Bantul direview tiap 4 bulan oleh tim clinical pathway. Peran dokter dalam review clinical pathway itu melihat jalannya clinical pathway seperti apa, melihat varian yang terjadi, dan jika ada hal yang awalnya diharapkan bisa dilaksanakan menjadi tidak terlaksana karena ada kendala maka akan dikeluarkan dari kolom clinical pathway yang sudah ada serta jika ada varian yang sering dilakukan dan perlu dalam penanganan pasien maka akan dimasukkan dalam kolom clinical pathway.

KESIMPULAN

Format clinical pathway pneumonia di RSUD Panembahan Senopati Bantul yang ada adalah benar clinical pathway, namun belum sepenuhnya memenuhi standar. Organisasi rumah sakit berperan aktif dalam clinical pathway pneumonia termasuk akan mengaktifkannya case manager untuk mengatasi kendala dalam implementasi clinical pathway di RSUD Panembahan Senopati Bantul. Sarana dan prasarana yang ada di bangsal Anggrek sudah cukup untuk menunjang perawatan pasien pneumonia di bangsal tersebut. Di bangsal tersebut masih membutuhkan 2 orang perawat. Kinerja perawat di bangsal Anggrek sudah baik walau beban kerja tinggi. Persepsi staf terhadap penggunaan clinical pathway sudah baik.

Seluruh clinical pathway pneumonia di RSUD Panembahan Senopati Bantul disimpan di dalam rekam medis masing-masing pasien yang sudah terdiagnosis pneumonia, namun pengisian yang belum lengkap 13,04%. Masih ada beberapa hambatan dalam penerapan clinical pathway pneumonia di bangsal Anggrek seperti keterbatasan waktu dan kesadaran dokter untuk mengisi clinical pathway, belum ada rasa memiliki, dan ada terapi yang tidak sesuai dengan clinical pathway.

DAFTAR PUSTAKA

1. Hussein Hewida A, 2014, ‘Effect of

using clinical pathway on improving clinical outcome of infants with

pneumonia’, World Journal of Medical

Sciences, vol. 11, no. 1, pp 1120-131. 2. Nasution S, 2003, Metode penelitian

naturalistik kualitatif, Tarsito, Bandung.

3. Claire W, Linda D, Paul MD, Kathryn

L, 2008, ‘Assesing the content and

quality of pathway’, International

Journal of Care Coordination, 13, pp. 75-77.

4. Li Weizi, Kecheng Liu, Hongqiao

Yang, Changrui Yu, 2014, ‘Integrated

clinical pathway management for

medical quality improvement’,

European Journal of Information Systems, vol.23, no. 4, pp 400-417.


(4)

5. Wong Winston, 2015, ‘The evolution

of clinical pathways for oncology’,

Journal of Clinical Pathways, vol. 1, no. 1, pp.37-42.

6. Mater Wasef, Roliana Ibrahim, 2014,

‘Delivering quality healthcare services

using clinical pathway, International Journal of computer Applications, vol. 95, no. 1.

7. Pertiwi Windi, 2014, ‘Audit clinical

pathway’, Artikel Manajemen Rumah

Sakit UMY. Diakses pada 3 Oktober

2016, dari

http://mmr.umy.ac.id/?p=2159

8. Midleton, Roberts, 2000, Integration clinical pathways: a practical approach to implementation, McGraw-Hill, USA.

9. Allen D, Gillen E, Rixson L, 2009,

‘Systematic review of the effectiveness of integrated care pathways: what works, for whom, in which circumstances?,’ US National Library of Medicine National Institutes of Health, 7(2): 61-74.

10.Huang Di, Song Xuping, Tian Jinhui,

Cui Qi, Yang Kehu, 2015, ‘Effect of

clinical pathways in stroke management: a meta-analysis’, Neurology Asia Journal 2015, vol.20, no.4, pp.335-342.

11.Chawla A dkk, 2016, ‘Care Pathways in US Healthcare Settings: Current Successes and Limitations, and Future

Challenges,’ The American Journal Of

Managed Care, America.

12.Davis Nicola, 2005, Integrated care pathways a guide to good practice, NHS, Swansea.

13.Said Mardjanis, 2008, Buku ajar respirologi anak, IDAI, Jakarta.

14.WHO, 2005. World Health Organization. Pelayanan Kesehatan Anak di Rumah Sakit.

15.Lei J, Wang FL, Deng H, Miao D, 2012, Emergencing research inartificial intelligence, Springer, London.

16.Ismail A et al, 2012, ‘Clinical

Pathways: Development and Implementation at a Tertiary Hospital

in Malaysia ,’ International Journal of

Public Health Research Vol 2 No 2 2012, pp (153-160).

17.Roymeke Tobias, Stummer Harald,

2012, ‘Clinical pathways as

instruments for risk and cost management in hospitals – A

discussion paper’, Global Journal of

Health Science, vol.4, no.2, pp.50-59. 18.He Jingwei Alex, Wei Yang, 2015,

‘Clinical pathways in china-an

evaluation’, International Journal of

Health Care Quality Assurance, vol.28, no.4, pp. 394-411.

19.Bjurling-Sjöberg P dkk, 2014,

‘Prevalence and Quality of Clinical


(5)

Units: A National Survey,’ Journal of Evaluation In Clinical Practice, 20(1): 48-57.

20.Pertiwi Windi, 2014, ‘Audit clinical

pathway’, Artikel Manajemen Rumah

Sakit UMY. Diakses pada 3 Oktober

2016, dari


(6)

Dokumen yang terkait

EVALUASI IMPLEMENTASI CLINICAL PATHWAY APPENDICITIS AKUT PADA UNIT RAWAT INAP BAGIAN BEDAH DI RSUD PANEMBAHAN SENOPATI BANTUL (STUDI KASUS)

13 80 155

Evaluasi penggunaan obat antihipertensi pada pasien di insatalasi rawat Inap RSUD Panembahan Senopati Bantul.

1 2 49

Evaluasi penggunaan obat antihipertensi pada pasien geriatri di Instalasi Rawat Inap RSUD Panembahan Senopati Bantul.

0 1 50

Evaluasi interaksi penggunaan obat hipoglikemi pada pasien rawat inap di Bangsal Cempaka RSUD Panembahan Senopati Bantul periode Agustus 2015.

0 1 92

Evaluasi interaksi penggunaan obat antihipertensi pada pasien rawat inap di Bangsal Cempaka RSUD Panembahan Senopati Bantul periode Agustus 2015.

0 4 109

Evaluasi penggunaan obat Hipoglikemia pada pasien di instalasi rawat inap bangsal Bakung RSUD Panembahan Senopati Bantul Periode Agustus 2015.

1 6 117

Efektivitas penggunaan obat antihipertensi di Instalasi Rawat Inap bangsal Bakung RSUD Panembahan Senopati Bantul periode Agustus 2015.

1 9 95

Evaluasi penggunaan obat antihipertensi pada pasien di insatalasi rawat Inap RSUD Panembahan Senopati Bantul

0 0 47

Evaluasi Implementasi Clinical Pathway Sectio Caesarea di RSUD Panembahan Senopati Bantul | Astuti | JMMR (Jurnal Medicoeticolegal dan Manajemen Rumah Sakit) 2430 8008 2 PB

0 0 15

HUBUNGAN PENGALAMAN DIRAWAT DENGAN LOYALITAS PASIEN RAWAT INAP DI BANGSAL PENYAKIT DALAM RSUD PANEMBAHAN SENOPATI BANTUL NASKAH PUBLIKASI - Hubungan Pengalaman Dirawat dengan Loyalitas Pasien Rawat Inap di Bangsal Penyakit Dalam RSUD Panembahan Senopati B

0 0 16