EVALUASI IMPLEMENTASI CLINICAL PATHWAY APPENDICITIS AKUT PADA UNIT RAWAT INAP BAGIAN BEDAH DI RSUD PANEMBAHAN SENOPATI BANTUL (STUDI KASUS)

(1)

EVALUASI IMPLEMENTASI CLINICAL PATHWAY APPENDICITIS AKUT PADA UNIT RAWAT INAP BAGIAN BEDAH DI RSUD PANEMBAHAN SENOPATI BANTUL

Anietya Widyanita, Merita Arini, Arlina Dewi

Program Studi Manajemen Rumah Sakit, Program Pascasarjana, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

ABSTRAK

Latar Belakang: Dalam mewujudkan hak kesehatan setiap individu, pelayanan kesehatan dituntut untuk mengalokasikan sumber daya dan organisasi yang efisien. Clinical pathway (CP) adalah salah satu alat yang diharapkan meningkatkan efisiensi dan kualitas pelayanan kesehatan. Insidensi

appendicitis di indonesia menempati urutan tertinggi di antara kasus kegawat daruratan abdomen. Penelitian ini bertujuan mengevaluasi implementasi CP appendicitis akut pada unit rawat inap bagian bedah di RSUD Panembahan Senopati Bantul.

Metode: Penelitian mix method dengan desain studi kasus. Sampel kuantitatif adalah rekam medis

appendicitis akut secara total sampling (Januari-Maret 2016, n=16). Sampel kualitatif adalah dokter, perawat, dan orang-orang yang terlibat implementasi CP appendicitis akut dengan teknik

purposive sampling (n=6).

Hasil dan Pembahasan: Capaian tingkat kepatuhan kelengkapan formulir CP sebesar 25% dan isi CP sebesar 0. ICPAT dimensi 1 (apakah benar CP) konten dan mutu moderate. Dimensi 2 (dokumentasi) dan 5 (pemeliharaan) konten dan mutu kurang. Dimensi 3 (pengembangan)konten

moderate, mutu kurang. Dimensi 4 (implementasi) konten moderate, mutu baik. Dimensi 6 (peran organisasi) konten baik, mutu moderate. Kendala terbanyak yang didapatkan karena keterbatasan waktu dan sering lupa.

Kesimpulan dan Saran: Tingkat kepatuhan implementasi CP appendicitis akut masih kurang. Perlu dilakukan evaluasi rutin, sosialisasi dan peningkatan peran case manager di bangsal terkait penggunan CP.


(2)

THE EVALUATION OF ACUTE APPENDICITIS CLINICAL PATHWAY IMPLEMENTATION IN SURGERY WARD AT RSUD PENAMBAHAN SENOPATI

BANTUL

Anietya Widyanita, Merita Arini, Arlina Dewi

Hospital Management Study Program, Post-graduate Program, Muhammadiyah University of Yogyakarta

ABSTRACT

Background: In exercising health rights of each individual, health services are expected to efficiently allocate resources and organization. Clinical pathway (CP) is one of the instruments that is expected to be able to improve the efficiency and quality of health services. The incidence of appendicitis in Indonesia tops the abdomen emergency cases. This research aims at evaluating the implementation of CP for acute appendicitis on surgery section at RSUD Panembahan Senopati Bantul.

Method: The research employed mix method with case study design. The quantitative samples included medical records of acute appendicitis which were obtained using total sampling technique (January-March 2006, n=16). The qualitative samples included the doctors, nurses, and people involved in the implementation of CP which were obtained using purposive sampling (n=6).

Results and Discussion: The achievement of CP form completeness compliance level was 25% and the CP content was 0. The content and quality of ICPAT dimension 1 (whether it is truly CP) were moderate. The content and quality of dimension 2 (documentation) and 5 (maintenance) were poor. The content of dimension 4 (implementation) was moderate and the quality was good. The content of dimension 6 (organization role) was good and the quality was moderate. The greatest obstacles occurred due to limitation of time and frequently being forgetful.

Conclusions and Suggestions: The acute appendicitis CP implementation compliance level was poor. It is necessary to conduct regular evaluations, socialization and improvement in case

manager’s role in wards with regard to the use of CP.


(3)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Penelitian

Kesehatan merupak hak fundamental setiap individu yang dinyatakan dalam konstitusi WHO. Dalam upaya mewujudkan hak kesehatan pada setiap individu, pelayanan kesehatan saat ini dituntut untuk dapat mengalokasikan sumber daya dan organisasi yang efisien sebagai akibat dari kemajuan dalam dunia kedokteran (Romeyke & Stummer, 2012). Tantangan terhadap pelayanan kesehatan ini mengisyaratkan bahwa mekanisme pasar akan didominasi oleh organisasi kesehatan yang mampu memberikan kualitas pelayanan yang unggul (Djojosugito, 2001).

Kualitas pelayanan kesehatan yang unggul sebagian besar tergantung dari hasil interaksi antara struktur, proses dan keluaran yang baik. Struktur adalah organisasi, manajemen, keuangan, tenaga, sarana, dan prasarana. Proses adalah semua kegiatan tenaga kesehatan yang berinteraksi dengan pasien secara professional. Sedangkan keluaran adalah hasil akhir dari kegiatan tenaga kesehatan terhadap pasien (Aniroen, 1991). Clinical pathway

adalah salah satu instrumen yang dapat meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan dengan mengurangi variasi dalam perawatan pasien, meningkatkan komunikasi antar disiplin ilmu, dan menyediakan standar pelayanan kesehatan yang jelas (Devitra, 2011). Amerika Serikat telah menerapkan clinical pathway pada hampir 80% dari seluruh pelayanan kesehatan yang diselenggarakan (Djasri, 2014). Di Indonesia penerapan clinical pathway terkait penerapan INA-DRG yang merupakan versi Departemen Kesehatan RI diharapkan akan meningkatkan efisiensi dan kualitas pelayanan kesehatan di rumah sakit. INA-DRG adalah sistem pembiayaan berdasarkan sistem kasus (Devitra, 2011). Berdasarkan hasil sejumlah studi


(4)

terkait manfaat clinical pathway didapatkan hasil peningkatan pelayanan, pemantauan terhadap standar pelayanan, dokumentasi yang baik, pelaksanaan evidence-based practice, meningkatkan kerjasama, perbaikan manajemen resiko dan pemberian perawatan yang berfokus pada pasien (Yasman, 2012). Berdasarkan studi yang dilakukan Rotter et al pada tahun 2010 yaitu membandingkan perawatan clinical pathway dan perawatan biasa didapatkan hasil penurunan komplikasi terkait penyakit dan peningkatan pada pendokumentasian dengan clinical pathway.

Dari hasil Survey Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) di Indonesia, appendicitis akut merupakan salah satu penyebab dari akut abdomen dan beberapa indikasi untuk dilakukan operasi kegawatdaruratan abdomen. Insidensi appendicitis di Indonesia menempati urutan tertinggi di antara kasus kegawat daruratan abdomen yang lainnya (Setyaningrum, 2013). Dinkes jateng menyebutkan pada tahun 2009 jumlah kasus appendicitis di jawa tengah sebanyak 5.980 penderita, dan 177 penderita diantaranya menyebabkan kematian (Setyaningrum, 2013). Oleh karena itu pelaksanaan Clinical pathway pada pasien

Appendicitis penting karena terkait dengan morbiditas, mortalitas, mutu pelayanan, dan biaya yang berdampak pada rumah sakit (Saucier & Huang, 2014).

Berdasarkan data di Rumah Sakit Panembahan Senopati Bantul didapatkan biaya klaim pelayanan rawat inap jamkesmas tahun 2008 untuk kasus Appendicitis sebesar Rp 105.025.263 dengan biaya obat sebesar Rp 38.343.579 (RSUD Panembahan Senopati Bantul, 2015). Sedangkan diketahui jumlah kejadian Appendicitis pada tahun 2014 sebanyak 226 kasus dan meningkat menjadi 234 kasus pada tahun 2015. Kasus Appendicitis yang terjadi diantaranya Appendicitis akut, Appendicitis kronis, Appendicitis dengan infiltrat, dan


(5)

Appendicitis dengan penyulit. Dari seluruh kasus Appendicitis yang ada, kasus Appendicitis

akut yang terbanyak setiap tahunnya (RSUD Panembahan Senopati Bantul, 2015). Oleh karena besarnya biaya yang dikeluarkan dan peningkatan jumlah kasus appendicitis maka perlu dilakukan penelitian tentang evaluasi implementasi Clinical pathwayAppendicitis akut pada pasien Appendicitis akut unit rawat inap bagian bedah di rumah sakit Panembahan Senopati Bantul.

B. Rumusan Masalah

Oleh karena luasnya aspek yang menjadi latarbelakang dilaksanakannnya Clinical pathway di rumah sakit, sehingga penelitian ini di fokuskan pada bagaimana implementasi

Clinical pathway Appendicitis akut di unit rawat inap bagian bedah Rumah Sakit Panembahan Senopati Bantul?

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi pelaksanaan Clinical pathway Appendicitis

akut pada pasien di unit rawat inap bagian bedah di Rumah Sakit Panembahan Senopati Bantul.

2. Tujuan Khusus Penelitian

Tujuan khusus penelitian ini adalah sebagai berikut. a. Mengevaluasi aspek input yang terdiri dari :

1) Mengevaluasi format Clinical pathway Appendicitis akut di rawat inap bagian bedah Rumah Sakit Panembahan Senopati Bantul.


(6)

2) Mengevaluasi peran dari RS dalam pelaksanaan Clinical pathway Appendicitis

akut di rawat inap bagian bedah Rumah Sakit Panembahan Senopati Bantul. 3) Mengevaluasi sarana dan prasarana dalam implementasi Clinical pathway

Appendicitis akut di rawat inap bagian bedah Rumah Sakit Panembahan Senopati Bantul.

4) Mengevaluasi sumber daya manusia yang terkait dalam Clinical pathway Appendicitis akut di rawat inap bagian bedah Rumah Sakit Panembahan Senopati Bantul.

b. Mengevaluasi aspek proses yang terdiri dari:

1) Mengevaluasi dokumentasi Clinical pathway Appendicitis akut di rawat inap bagian bedah Rumah Sakit Panembahan Senopati Bantul.

2) Mengevaluasi pengembangan Clinical pathway Appendicitis akut di rawat inap bagian bedah Rumah Sakit Panembahan Senopati Bantul.

3) Mengevaluasi penerapan Clinical pathway Appendicitis akut di rawat inap bagian bedah Rumah Sakit Panembahan Senopati Bantul.

4) Mengevaluasi maintenance Clinical pathway Appendicitis akut di rawat inap bagian bedah Rumah Sakit Panembahan Senopati Bantul.

c. Mengevaluasi aspek output yang terdiri dari:

Mengetahui kepatuahan implementasi Clinical pathway Appendicitis akut di rawat inap bagian bedah Rumah Sakit Panembahan Senopati Bantul.

D. Manfaat Penelitian 1. Aspek Teoritis

a. Dapat menambah khazanah keilmuan, umumnya dalam bidang Clinical pathway


(7)

memaparkan hasil kajian ilmiah sebagai sarana mencari solusi menangani permasalahan pada bidang yang terkait.

b. Penelitian ini dapat memberikan sumbangan pemikiran tentang perkembangan pelaksanaan Clinical pathway pada pasien Appendicitis akutunit ruang inap Rumah Sakit Panembahan Senopati Bantul.

2. Aspek Praktis

a. Manfaat bagi Magister Manajemen Rumah Sakit Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.

Diharapkan penelitian ini dapat digunakan sebagai bahasan dalam bidang manajemen pelayanan rumah sakit yang berhubungan dengan implementasi

Clinical pathwayAppendicitis akut pasien unit rawat inap bagian bedah di Rumah Sakit Panembahan Senopati Bantul.

b. Manfaat bagi Rumah Sakit Panembahan Senopati Bantul.

Hasil penelitian diharapkan dapat digunakan sebagai masukan dalam upaya pelaksanaan Clinical pathway pada pasien Appendicitis akut unit rawat inap bagian bedah, sehingga dapat meningkatkan mutu pelayanan di Rumah Sakit Panembahan Senopati Bantul.

c. Bagi Pasien

Penelitian ini dapat memberikan wawasan kepada pasien tentang hak memperoleh pelayanan kesehatan yang bermutu.

d. Manfaat bagi peneliti

Selain itu penelitian ini juga dapat menambah wawasan bagi peneliti tentang pelaksanaan Clinical pathway pada pasien Appendicitis akut unit rawat inap bagian bedah.


(8)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Telaah Pustaka 1. Clinical Pathway

a. Definisi

Clinical pathway adalah suatu alat manajemen untuk kelompok pasien tertentu, dimana oleh para profesional yang terlibat perawatan pasien didefinisikan, dioptimalkan dan diurutkan baik oleh jam, hari atau kunjungan. Salah satu alat utama yang digunakan untuk mengelola kualitas dalam perawatan kesehatan mengenai standarisasi proses perawatan (Hermawanto, Agustinus, & Widodo, 2016). Clinical pathway adalah alur yang menunjukkan secara rinci tahap-tahap penting dari pelayanan kesehatan termasuk hasil yang diharapkan dengan berbasis pada bukti-bukti ilmiah, yang mempunyai dampak luas terhadap jalur klinis, sumber daya rumah sakit dan hasil pada pasien (Pahriyani, 2014). Clinical pathway

menggabungkan standar asuhan setiap tenaga kesehatan secara sistematik. Tindakan yang diberikan diseragamkan dalam suatu standar asuhan, namun tetap memperhatikan aspek individu dari pasien (Mihardjo & Wibowo, 2015).

Di Indonesia penerapan clinical pathway terkait dengan penerapan INA-DRG yang merupakan versi Departemen Kesehatan sesuai Permenkes nomor 69 tahun 2013 tentang Standar Tarif Pelayanan Kesehatan pada Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama dan Fasilitas Kesehatan Tingkat Lanjutan. Penerapan tarif paket


(9)

dan mengoptimalkan pengelolaan keuangan rumah sakit, serta melakukan kendali mutu, dan kendali biaya (Yasman, 2012).

Clinical pathway merupakan format dokumentasi multidisiplin. Format ini dikembangkan untuk pengembangan multidisiplin (dokter, perawat, rehabilitasi, gizi, dan tenaga kesehatan lain) yang diciptakan tidak terlalu rumit dan panjang. Pada format pengkajian multidisiplin menunjukkan format pengkajian awal yang memungkinkan diisi oleh berbagai disiplin ilmu. Pengisian ini terdiri dari data riwayat pasien, pemeriksaan fisik dan pengkajian skrining lainnya yang diisi oleh multidisiplin sesuai kesepakatan (Croucher, 2005).

Berdasarkan hasil sejumlah studi terkait manfaat clinical pathway

didapatkan hasil peningkatan pelayanan, pemantauan terhadap standar pelayanan, dokumentasi yang baik, pelaksanaan evidence-based practice, meningkatkan kerjasama, perbaikan manajemen resiko dan pemberian perawatan yang berfokus pada pasien. Clinical pathway dapat menjadi sarana dalam terwujudnya kendali mutu dan kendali biaya (Sunarto & Dewi, 2016).

b. Tujuan

Tujuan utama implementasi Clinical pathway menurut Depkes RI (2010) adalah untuk:

1) Memilih best practice pada praktek yang berbeda secara bermakna.

2) Menetapkan standar yang diharapkan mengenai lama perawatan dan penggunaan pemeriksaan klinik serta prosedur klinik lainnya.

3) Memberikan peran kepada seluruh staff yang terlibat dalam pelayanan serta peran mereka dalam proses tersebut.


(10)

4) Menyediakan kerangka kerja untuk menganalisa data proses pelayanan sehingga dapat mengetahui seberapa sering seorang pasien tidak mendapatkan pelayanan sesuai standar.

5) Mengurangi beban dokumentasi klinik. c. Pengembangan Clinical pathway

Menurut Davis (2005) ada 8 tahap dalam pengembangan sebuah Clinical pathway yaitu:

1) Keputusan untuk mengembangkan Clinical pathway

Adanya keputusan untuk mengembangkan Clinical pathway tergantung dari prioritas dan kesepakatan multidisiplin.

2) Identifikasi stakeholder dan pimpinan

Internal stakeholder seperti user (pasien, tim multidisiplin, perawat primer) dan external stakeholder seperti asuransi, organisasi profesi, dan lain-lain.

3) Identifikasi pimpinan dan tim yang bertanggungjawab

Juga penting untuk membentuk tim Clinical pathway yang mendorong dan mempertahankan proses perubahan.

4) Proses mapping

Proses mapping akan menghasilkan sebuah peta perjalanan pasien berdasarkan berbagai perspektif. Dari peta ini tim multidisiplin dapat mengkaji masalah dan langkah-langkah yang akan dipakai.


(11)

Hasil yang didapat tidak hanya mengidentifikasikan adanya gap dalam pelayanan, tetapi juga sebagai evaluasi dasar Clinical pathway.

6) Pengembangan isi Clinical pathway

Clinical pathway harus berisi 4 hal yaitu rencana perawatan, detail alat yang dibutuhkan seperti grafik keseimbangan cairan, hasil yang harus dicapai, dan pelacakan variasi sebagai elemen unik dari Clinical pathway.

7) Pilot projectdan implementasi

Komunikasi yang kuat dan rencana pendidikan sangat penting untuk mendukung sukses proyek Clinical pathway untuk memastikan bahwa pesan yang tepat disampaikan kepada orang-orang yang tepat, dengan cara dan tempat yang tepat.

8) Review Clinical pathway secara teratur

Ketika meninjau ulang (mereview) Clinical pathway harus difokuskan kepada 3 pertanyan utama yaitu:

a) Penyelesaian Clinical pathway apakah Clinical pathway digunakan pada kasus yang tepat? Apakah ada informasi yang hilang? Apakah staff

memerlukan catatan sampingan yang tidak ada dalam Clinical pathway? b) Jenis variasi yang dicatat apakah variasi yang ada dicatat? Apakah staff

paham bagaimana mencatat variasi tersebut?

c) Kepuasan staff dapat dilakukan menggunakan kuesioner, tren apa yang terlihat?


(12)

Penggunaan Clinical pathway memiliki kelebihan antara lain sebagai berikut:

1) Clinical pathway memberikan efisiensi dalam pencatatan, dimana tidak terjadi pengulangan atau duplikasi penulisan.

2) Hingga kemungkinan salah komunikasi dalam tim kesehatan yang merawat pasien dapat dihindarkan.

3) Meningkatkan peran dan komunikasi dalam tim multidisiplin.

4) Terdapat standarisasi outcome sesuai lamanya hari rawat, sehingga akan tercapai effective cost dalam perawatan.

2. Implementasi

Implementasi adalah seperangkat kegiatan yang dilakukan menyusul satu keputusan. Suatu keputusan selalu dimaksudkan untuk mencapai tujuan tertentu yang memerlukan serangkaian aktivitas. Kegiatan implementasi menyentuh semua jajaran manajemen mulai dari manajemen puncak sampai pada karyawan lini bawah. Implementasi merupakan suatu proses yang terarah dan terkoordinasi, melibatkan banyak sumber daya. Sifat dari suatu implementasi tidak dapat beroperasi tanpa adanya faktor-faktor internal dan faktor-faktor eksternal yang mempengaruhinya (Rosyita, 2009).

3. Evaluasi Clinical pathway a. Definsi

Evaluasi adalah pengumpulan secara hati-hati mengenai suatu program atau beberapa aspek program untuk membuat keputusan yang perlu mengenai program tersebut. Evaluasi pada suatu program dapat memasukkan beberapa jenis evaluasi, seperti untuk penilaian kebutuhan, akreditasi, analisis biaya, analisis manfaat,


(13)

efektivitas, efisiensi, formatif, tujuan, proses, hasil, dan sebagainya. Jenis evaluasi yang dijalankan untuk memperbaiki program tergantung pada apa yang dibutuhkan untuk mempelajari program tersebut (Bastian, 2007).

Metodologi evaluasi dikelompokkan menjadi tiga kategori (Donabedian, 1988).:

1) Input

Input (struktur), ialah segala sumber daya yang diperlukan untuk melakukan pelayanan kesehatan, seperti SDM, dana, obat, fasilitas, peralatan, bahan, teknologi, organisasi, informasi dan lain-lain. Pelayanan kesehatan yang bermutu memerlukan dukungan input yang bermutu pula. Hubungan input dengan mutu adalah dalam perencanaan dan penggerakan pelaksanaan pelayanan kesehatan.

2) Proses

Proses yaitu semua kegiatan sistem. Melalui proses akan mengubah input menjadi output. Proses ini merupakan variable penilaian mutu yang penting. Proses adalah semua kegiatan yang dilaksanakan secara profesional oleh tenaga kesehatan dan interaksinya dengan pasien. Penilaian terhadap proses adalah evaluasi terhadap dokter dan profesi kesehatan dalam me-manage pasien.

3) Output / outcome

Donabedian memberikan penjelasan bahwa outcome secara tidak langsung dapat digunakan sebagai pendekatan untuk menilai pelayanan kesehatan. Output/outcome, ialah hasil pelayanan kesehatan yang merupakan perubahan pada konsumen (pasien/masyarakat), termasuk kepuasan dari


(14)

konsumen. Hasil pelayanan kesehatan/ medis dapat dinilai antara lain dengan melakukan audit medis, review rekam medis dan review medis lainnya, adanya keluhan pasien, dan informed consent.

b. Alat evaluasi clinical pathway

Alat yang baik untuk melakukan evaluasi terhadap Clinical pathway harus mempunyai karakteristik sebagai berikut (Barbieri, 2007) adanya komitmen dari organisasi, path project management, persepsi mengenai konsep dari pathway, format dokumen, isi pathway, keterlibatan multidisiplin ilmu, manajemen variasi, pedoman, maintenance pathway, akuntabilitas, keterlibatan pasien, pengembangan pathway, dukungan tambahan terhadap system dan dokumentasi, pengaturan operasional, implementasi, pengelolaan hasil (outcome) dan keamanan. Dari kriteria tersebut saat ini ada dua instrument yang sering digunakan untuk melakukan audit terhadap isi dan mutu Clinical pathway. Kedua instrument tersebut adalah The ICP Key Element Checklist dan The Integrated Care Pathway Appraisal Tool (ICPAT) (Yasman, 2012).

1) The ICP Key Element Checklist

Pertama kali dikembangkan oleh Croucer (inggris) pada tahun 2004 sebagai bagian dari penelitian magister mengenai kualitas ICP. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi elemen kunci dalam ICP, dan mengevaluasi ICP yang tersedia. Setiap ICP harus memiliki 14 elemen kunci ini, jika ICP keluar dari 14 elemen yang tercantum dalam daftar maka bisa dikatakan format tersebut bukan ICP, tapi lebih cenderung menjadi daftar periksa atau pedoman saja.


(15)

2) The Integrated Care Pathway Appraisal Tool (ICPAT)

ICPAT merupakan salah satu instrument yang sudah divalidasi dan dapat digunakan untuk melakukan evaluasi dari isi dan mutu CP, yang terdiri dari 6 dimensi yaitu:

a) Dimensi 1 : Bagian ini memastikan apakah formulir yang dinilai adalah

Clinical pathway.

b) Dimensi 2 : Menilai proses dokumentasi ICP. Clinical pathway adalah formulir yang digunakan secara actual untuk mendokumentasikan pelayanan / terapi yang diberikan kepada masing-masing pasien. Dokumentasi ini termasuk untuk mencatat kepatuhan maupun ketidakpatuhan (variasi).

c) Dimensi 3 : Clinical pathway merupakan sebuah alat yang akan digunakan untuk mengevaluasi pelayanan / terapi yang telah diberikan dan untuk memperbaiki pelayanan tersebut sehingga akan melibatkan proses perubahan dalam praktek seharihari.

d) Dimensi 4 : Menilai proses implementasi ICP. Memastikan efektifitas penerapan dan penggunaan Clinical pathway.

e) Dimensi 5: Menilai proses pemeliharaan ICP. Salah satu factor sukses terpenting dalam penggunaan Clinical pathway adalah kegiatan untuk menjaga Clinical pathway yang berfungsi sebagai alat dinamis yang dapat merespon masukan dari staff, pasien, respon klinis, referensi terbaru.


(16)

f) Dimensi 6 : Menilai peran organisasi Rumah Sakit. Peran organisasi merupakan salah satu hal penting yang akan mendukung proses pelaksanaan ICP.

4. Appendicitis a. Definisi

Apendiks merupakan organ berbentuk tabung, panjangnya kira-kira 10 cm (kisaran 3-15), dan berpangkal di sekum. Lumennya sempit di bagian proksimal dan melebar di bagian distal. Namun demikian, pada bayi, apendiks berbentuk kerucut, lebar pada pangkalnya dan menyempit kearah ujungnya. Keadaan ini mungkin menjadi sebab rendahnya insiden Appendicitis pada usia itu (Soybel, 2001 dalam Departemen Bedah UGM, 2010).

Appendicitis merupakan peradangan akut pada apendiks vermiformis. Apendiks vermiformis memiliki panjang yang bervariasi dari 7 sampai 15 cm (Dorland, 2000) dan merupakan penyebab tersering nyeri abdomen akut dan memerlukan tindakan bedah segera untuk mencegah komplikasi yang umumnya berbahaya (Sjamsuhidajat, 2010). Sedangkan batasan appendicitis akut adalah

appendicitis yang terjadi secara akut yang memerlukan intervensi bedah biasanya memiliki durasi tidak lebih dari 48 jam (Craig, 2014), ditandai dengan nyeri abdomen kuadran kanan bawah dengan nyeri tekan lokal dan nyeri alih, nyeri otot yang ada diatasnya, dan hiperestesia kulit (Dorland, 2000). Penyakit ini dapat terjadi pada semua umur, tetapi umumnya terjadi pada dewasa dan remaja muda, yaitu pada umur 10-30 tahun (Agrawal, 2008) dan insiden tertinggi pada kelompok


(17)

umur 10-14 tahun pada laki-laki dan 15-19 tahun pada wanita (Zulfikar, Budi, & Wiratmo, 2015).

b. Epidemologi

Dari hasil Survey Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) di Indonesia,

appendicitis akut merupakan salah satu penyebab dari akut abdomen dan beberapa indikasi untuk dilakukan operasi kegawatdaruratan abdomen. Insidensi

appendicitis di Indonesia menempati urutan tertinggi di antara kasus kegawat daruratan abdomen yang lainnya. Dinkes jateng menyebutkan pada tahun 2009 jumlah kasus appendicitis di jawa tengah sebanyak 5.980 penderita, dan 177 penderita diantaranya menyebabkan kematian (Setyaningrum, 2013).

c. Patofisiologi

Appendicitis biasanya disebabkan oleh penyumbatan lumen apendiks oleh hiperplasia folikel limfoid, fekalit, benda asing, striktur karena fibrosis akibat peradangan sebelumnya, atau neoplasma. Obstruksi tersebut menyebabkan mukus yang diproduksi mukosa mengalami bendungan. Semakin lama mukus tersebut semakin banyak, namun elastisitas dinding apendiks mempunyai keterbatasan sehingga menyebabkan peningkatan tekanan intralumen. Tekanan yang meningkat tersebut akan menghambat aliran limfe yang mengakibatkan edema, diapedesis bakteri, dan ulserasi mukosa. Pada saat inilah terjadi Appendicitis akut lokal yang ditandai oleh nyeri epigastrium (Mansjoer, 2000).


(18)

Appendicitis akut sering tampil dengan gejala yang khas nyeri kuadran kanan bawah dan biasanya disertai oleh demam ringan, mual, muntah dan hilangnya nafsu makan. Pada apendiks yang terinflamasi, nyeri tekan dapat dirasakan pada kuadran kanan bawah pada titik Mc. Burney (Sudarsono, 2013). Bila apendiks melingkar dibelakang sekum, nyeri dan nyeri tekan terasa didaerah lumbal. Bila ujungnya ada pada pelvis, tanda-tanda ini dapat diketahui hanya pada pemeriksaan rektal. Nyeri pada defekasi menunjukkan ujung apendiks berada dekat rektum. Nyeri pada saat berkemih menunjukkan bahwa ujung apendiks dekat dengan kandung kemih atau ureter. Tanda rovsing dapat timbul dengan melakukan palpasi kuadran bawah kiri yang secara paradoksial menyebabkan nyeri yang terasa dikuadran kanan bawah. Apabila apendiks telah ruptur, nyeri menjadi menyebar (Smeltzer & Bare, 2002).

e. Penatalaksanaan

Pembedahan diindikasikan bila diagnosa appendicitis telah ditegakkan. Antibiotik dan cairan IV diberikan serta pasien diminta untuk membatasi aktivitas fisik sampai pembedahan dilakukan. Analgetik dapat diberikan setelah diagnosa ditegakkan. Apendiktomi (pembedahan untuk mengangkat apendiks) dilakukan sesegera mungkin untuk menurunkan resiko perforasi (Musa, 2011). Sesudah operasi dilakukan, pasien akan diberikan makanan secara bertahap mulai dari bentuk cair, saring, lunak, dan biasa. Pemberian makanan dari tahap ke tahap dilakukan setelah ada tanda-tanda usus mulai bekerja (bising usus positif). Pentingnya pemberian nutrisi yang baik pada pasien dengan luka operasi merupakan pondasi untuk proses penyembuhan luka (Kusumayanti, 2014).


(19)

Selanjutnya melakukan latihan fisik untuk mempercepat pemulihan dilakukan 6-10 jam setelah pasien sadar. Diawali miring kanan dan kiri, latihan pernafasan, menggerakan ekstremitas, duduk, batuk dan berjalan(Sulistyawati, 2012).


(20)

B. Penelitian Terdahulu

Tabel 2.1 Penelitian Terdahulu Nama

Peneliti

Judul

Penelitian Tahun Persamaan Perbedaan

Hasil Penelitian Terdahulu Ika Nurfarida, Bambang Hastha Yoga dan Mahar Agusno Efektivitas Pelayanan Selama Penerapan Clinical pathway Skizofrenia Rawat Inap di RSUP DR. Sardjito Yogyakarta

2014 Meneliti efektifitas penerapan clinical pathway Meneliti pasien skizofrenia, penelitian kuasi eksperiment al kualitatif Perlu sosialisasi clinical pathway pendekatan personal, penyempurnaan formCP, peningkatan komitmen anggota tim multidisiplin Penelitian di

DR. Sardjito Yogyakarta Ratih Sari Wardani dan Purwanto Analisa Perancangan Sistem Clinical pathway Untuk Penatalaksan aan Kasus Tuberculosis 2012 Meneliti perancanga n clinical pathway Meneliti kepatuhan pencatatan pelaporan kasus tuberculosis dengan pendekatan alternatif Dihasilkan 18 tabel antara lain : tabel pasien. dokter, desa, kec, kab_kota, prop, obat, kunjungan, anamnesa, vital sign, fisik, pemeriksaan, intensif, resep1, lanjutan, resep2, outcome1 dan outcome2 Penelitian di Dinkes kota Yogya, tim DOTS & TIK RS Bethesda, RSU Yogya, BP4 Minggiran


(21)

Lanjutan tabel 2.1 Penelitian Terdahulu

C. Landasan Teori

Clinical pathway adalah alur yang menunjukkan secara rinci tahap-tahap penting dari pelayanan kesehatan termasuk hasil yang diharapkan dengan berbasis pada bukti-bukti ilmiah (Kinsman et al., 2010). Clinical pathway yang dilaksanakan secara aktif dapat mengurangi lama waktu rawat inap, mengurangi kesalahan pelaksanaan, meningkatkan kualitas kerja tenaga kesehatan, dapat mengidentifikais masalah secara dini sehingga dapat diselesaikan sesegera mungkin. Metode evaluasi Clinical pathway dikelompokkan menjadi tiga kategori: 1) evaluasi struktur (input), meliputi: sumber daya manusia, sarana dan prasarana, setra pembiayaan, 2) evaluasi proses kegiatan yang dilaksanakan, dan 3) evaluasi

outcome: terhadap dampak pelayanan yang diberikan berkaitan dengan status kesehatan (Donabedian, 1988).

Nama Peneliti

Judul

Penelitian Tahun Persamaan Perbedaan

Hasil Penelitian Terdahulu Anferi Devitra Analisa Implementasi Clinical pathway Kasus Stroke Berdasarkan

INA-CBGs di Rumah Sakit Stroke Nasional Bukittinggi 2011 Meneliti implement asi clinical pathway Penelitian ini dilakukan di bagian saraf Perlu dukungan operasional, perlu sosialisasi ICD 10 dan ICD 9, tidak ada tim

clinical

pathway, sarana prasarana cukup, tidak ada motivasi penerapan, tidak ada evaluasi, implementasi baru dalam tahap pengenalan Metode kualitatif (quasi-experimental research)


(22)

Appendicitis merupakan peradangan akut pada apendiks vermiformis. (Dorland, 2000). Pembedahan diindikasikan bila diagnosa appendicitis ditegakkan, dilanjutkan dengan pemberian antibiotik dan analgetik (Musa, 2011). Sesudah operasi pasien akan diberikan nutrisi yang baik untuk penyembuhan luka (Kusumayanti, 2014). Selanjutnya melakukan latihan fisik untuk mempercepat pemulihan dilakukan 6-10 jam setelah pasien sadar (Sulistyawati, 2012).


(23)

D. Kerangka Teori

Gambar 2.1 Kerangka Teori

Clinical pathway

Apendisitis Akut Pemeriksaan klinis

- Pemeriksaan tanda vital - Pemeriksaan kondisi

umum

- Pemeriksaan status lokalis Pemeriksaan penunjang

- Laboratorium - EKG

Tatalaksana medis dan tindakan

- Operasi - Antibiotik - Analgetik - Infus

- Inform consent Tatalaksana Keperawatan - Assesment nyeri

- Monitor intake dan output - Pasang infuse

- Lepas infuse

- Medikasi luka post operasi - Nutrisi

- Kegiatan

- Konsultasi dan komunikasi

- Konseling psikososial - Pendidikan dan

komunikasi dengan pasien - Rencana discharge

6 Dimensi ICPAT 1. Format 2. Dokumentasi 3. Pengembangan 4. Penerapan 5. Maintenance 6. Peran organisasi Input

- Sarana fisik perlengkapan dan perlengkapan - Organisasi dan manajemen - SDM dan

sumber daya lainnya Proses -Diagnosa -Rencana pengobatan -Indikasi -Tindakan dan

prosedur -Penanganan kasus Output Kepuasan pelayanan Outcome - Sembuh - Tidak sembuh - Rujuk - Meninggal Kepatuhan Diagnosis


(24)

E. Kerangka Konsep

Gambar 2.2 Kerangka Konsep Keterangan : : Dilakukan penelitian

: Tidak dilakukan penelitian

F. Pertanyaan Penelitian

1. Bagaimana format Clinical pathway pada pasien Appendicitis akut unit rawat inap bagian bedah di rumah sakit Panembahan Senopati Bantul?

2. Bagaimana peran organisasi RS dalam clinical pathway pada pasien Appendicitis akut unit rawat inap bagian bedah di rumah sakit Panembahan Senopati Bantul?

Input 1. Format

clinical pathway

2. Peran organisasi 3. Sarana

dan prasarana 4. SDM

Proses

1. Dokument asi

2. Pengemba ngan 3. Penerapan

4. Maintenan ce

Output Kepatuhan

Outcom

Hambatan

Rekomenda


(25)

3. Bagaimana sarana dan prasarana dari RS dalam implementasi Clinical pathway pada pasien Appendicitis akut unit rawat inap bagian bedah di rumah sakit Panembahan Senopati Bantul?

4. Bagaimana SDM dari Clinical pathway pada pasien Appendicitis akut unit rawat inap bagian bedah di rumah sakit Panembahan Senopati Bantul?

5. Bagaimana dokumentasi dari Clinical pathway pada pasien Appendicitis akut unit rawat inap bagian bedah di rumah sakit Panembahan Senopati Bantul?

6. Bagaimana pengembangan dari Clinical pathway pada pasien Appendicitis akut unit rawat inap bagian bedah di rumah sakit Panembahan Senopati Bantul?

7. Bagaimana penerapan dari Clinical pathway pada pasien Appendicitis akut unit rawat inap bagian bedah di rumah sakit Panembahan Senopati Bantul?

8. Bagaimana maintenance dari Clinical pathway pada pasien Appendicitis akut unit rawat inap bagian bedah di rumah sakit Panembahan Senopati Bantul?

9. Bagaimana kepatuhan penggunaan Clinical pathway pada pasien Appendicitis akut unit rawat inap bagian bedah di rumah sakit Panembahan Senopati Bantul?

10. Apa saja masalah dan hambatan dalam implementasi Clinical pathway pada pasien

Appendicitis akut unit rawat inap bagian bedah di rumah sakit Panembahan Senopati Bantul?

11. Bagaimana rekomendasi dalam pelaksanaan implementasi Clinical pathway pada pasien Appendicitis akut unit rawat inap bagian bedah di rumah sakit Panembahan Senopati Bantul?


(26)

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis dan Rancangan Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah mix method dengan desain studi kasus terhadap implementasi clinical pathwayappendicitis akut pada unit rawat inap bagian bedah di RS Panembahan Senopati Bantul. Data kualitatif diambil dengan deep interview dan observasi untuk mengeksplorasi implementasi clinical pathway. Data kuantitatif diambil berupa deskriptif sederhana dari dokumentasi clinical pathway di rekam medis untuk mengetahui kelengkapan dalam penyertaan dan pengisian clinical pathway. B. Subjek dan Obyek Penelitian

1. Subjek Penelitian

Subjek penelitian ini adalah dokter, perawat dan orang-orang yang terlibat dalam implementasi clinical pathway pasien appendicitis akut di Rumah Sakit Panembahan Senopati Bantul.

2. Objek Penelitian

Objek penelitian ini adalah clinical pathway, rekam medis, dan proses implementsi clinical pathway.

3. Tempat Penelitian

Tempat penelitian ini adalah di unit rawat inap bagian bedah dan kamar operasi Rumah Sakit Panembahan Senopati Bantul.

4. Waktu Penelitian


(27)

C. Populasi, Sample dan Sampling 1. Populasi

Populasi penelitian ini adalah semua rekam medis kasus appendicitis akut yang terjadi selama 3 bulan dan seluruh petugas yang terlibat dalam perawatan kasus

appendicitis akut pasien rawat inap bagian bedah Rumah Sakit Panembahan Senopati Bantul.

2. Sampel dan sampling

Sampel kuantitatif dipilih berdasarkan seluruh rekam medis kasus appendicitis

akut yang masuk dalam kriteria inklusi. Teknik pengambilan sampel menggunakan teknik total sampling. Teknik sampel secara total adalah sampel yang diambil meliputi keseluruhan dari unsur populasi. Menurut pendapat Kartono bahwa untuk populasi 10-100 orang, sebaiknya diambil 10-100% (Sarwono, 2010).

Sampel kualitatif ditentukan secara purposive sampling, dengan tujuan kriteria sampel yang diperoleh adalah benar-benar sumber kunci informasi sesuai dengan tujuan penelitian yang akan dilakukan terdiri dari Wakil Direktur, Kepala bidang mutu, Dokter SMF, Kepala Bangsal dan Perawat Pelaksana rawat inap bagian bedah Rumah Sakit Panembahan Senopati Bantul.

Kriteria Inklusi yang digunakan pada metode kuantitatif:

a. Clinical pathway yang digunakan di RSUD Panembahan Senopati Bantul.

b. Rekam medik pasien yang terdiagnosis appendicitis akut pada bulan Januari, Februari, dan Maret 2016.

c. Clinical pathway telah diimplementasikan di RSUD Panembahan Senopati Bantul. Kriteria Eksklusi yang digunakan pada metode kuantitatif:


(28)

Rekam medik pasien yang hilang, tidak dapat terbaca, sudah rusak dan tidak lengkap.

Kriteria Inklusi yang digunakan pada metode kualitatif:

a. Informan yang telah ditetapkan peneliti dalam penggunaan clinical pathway appendicitis akut dan bersedia menjadi informan.

b. Informan masih dalam masa tugas di RSUD Panembahan Senopati Bantul. c. Bertugas pada unit rawat inap bedah di RSUD Panembahan Senopati Bantul.

Tabel 3.1 Populasi, Sampel, dan Sampling

Kuantitatif Kualitatif

Populasi Jumlah rekam medik pasien

appendicitis akut pada bulan Januari, Februari, dan Maret 2016

Seluruh petugas yang terlibat dalam implementasi clinical pathway appendicitis akut

Sampel Seluruh rekam medik pasien

appendicitis akut yang masuk dalam kriteria inklusi

Wakil direktur pelayanan medis, kepala bidang mutu, dokter spesialis bedah, kepala bangsal, perawat S1 dan perawat D3

Sampling Dilakukan secara

Total sampling

Dilakukan secara purposive sampling

D. Variabel Penelitian

Variabel penelitian ini adalah implementasi clinical pathway yang terdiri dari beberapa indikator, yaitu:


(29)

a. Format Clinical pathway b. Peran organisasi

c. Sarana dan prasarana d. SDM

2. Indikator proses:

a. Dokumentasi Clinical pathway

b. Pengembangan Clinical pathway

c. Penerapan Clinical pathway

d. MaintenanceClinical pathway

3. Indikator output:


(30)

E. Definisi Operasional

Tabel 3.2 Definisi Operasional

Variabel Definisi Alat ukur Cara Ukur Hasil Ukur Implemenasi

clinical pathway

Proses pelaksanaan

clinical pathway Panduan wawancara Checklist ICPAT 1.Observasi 2.Wawancara mendalam 3.Pengisian checklist ICPAT Penilaian persentase ya dan tidak.

Evaluasi ICPAT

Pedoman

kolaboratif untuk merawat pasien

appendicitis akut diagnosis, masalah klinis, dan tahapan pelayanan.

Penilaian clinical pathway terdiri dari 6 dimensi:

a. Format clinical pathway. b. Dokumentasi clinical pathway. c. Pengembangan clinical pathway. d. Penerapan clinical pathway. e. Maintenance clinical pathway.

f. Peran organisasi dalam implementasi clinical pathway. Panduan wawancara Checklist ICPAT dimensi 1-6 Wawancara

Check list ICPAT

Penilaian persentase ya untuk item

konten dan

item mutu. Berdasarkan

Whittle et al

“Assesing the

content and quality of

pathways” (2008) klasifikasi

ICPAT : >75% baik, 50-75%

moderate, <50% kurang


(31)

Lanjutan tabel 3.2 Definisi Operasional

Variabel Definisi Alat ukur Cara Ukur Hasil Ukur Dokumentasi

clinical pathway

Konten: Judul, instruksi

penggunaan,

identifikasi pasien, halaman, tanggal berlaku dan review, keterlibatan pasien, dan sistem dokumentasi. Mutu: Tujuan, instruksi, partisipasi pasien Panduan wawancara dan checklist ICPAT dimensi 2: Dokumenta si clinical pathway.

Wawancara Check list ICPAT

Persentase ya dari dimensi 2

Format

clinical pathway

Konten: Titik awal, titi akhir, proses pelayanan,

kontinuitas

pelayanan, fungsi, dan variasi.

Mutu: Fungsi dan gambaran kontribusi. Panduan wawancara dan checklist ICPAT dimensi 1: Apakah benar

clinical pathway?

Wawancara Check list ICPAT

Persentase ya dari dimensi 1

Penerapan

clinical pathway

Konten: Telaah kemungkinan risiko, program pelatihan,

kesepakatan penyimpanan, sistem untuk umpan balik, dan training. Mutu: Penilaian risiko. Panduan wawancara dan checklist ICPAT dimensi 4: Penerapan

clinical pathway.

Wawancara Check list ICPAT

Persentase ya dari dimensi 4


(32)

Lanjutan tabel 3.2 Definisi Operasional

Variabel Definisi Alat ukur Cara Ukur Hasil Ukur

Maintenace clinical pathway

Konten: Review, staff penanggung jawab, dan pelatihan staff. Mutu: Review, kode variasi, masukkan

staff, pencapaian

goals, keterlibatan pasien Panduan wawancara dan checklist ICPAT dimensi 5:

Maintenanc e clinical pathway.

Wawancara Check list ICPAT

Persentase ya dari dimensi 5

Kepatuhan

clinical pathway

Proses melengkapi formulir clinical pathway direkam medik Rekam medik Panduan wawancara Observasi Wawancara Persentase hasil tingkat kelengkapan formulir dalam rekam medik Peran organisasi dalam implementasi clinical pathway Konten: Perencanaan, dukungan komite medik, dan clinical governance.

Mutu: Klinisi, tim strategik, bukti terintegrasi,

pedoman RS, komitmen

manajemen risiko, pengelolaan, target RS, kebijakan RS, sistem pelaporan variasi, alokasi waktu, dan pelatihan. Panduan wawancara dan checklist ICPAT dimensi 6: Peran organisasi untuk clinical pathway. Wawancara

Check list

ICPAT

Persentase ya dari dimensi 6.


(33)

Lanjutan tabel 3.2 Definisi Operasional

Variabel Definisi Alat ukur Cara Ukur Hasil Ukur Hambatan clinical pathway appendicitis akut Mengeksplorasi kendala dihadapi di unit rawat inap bangsal bedah RSUD

Panembahan

Senopati Bantul dalam pelaksanaan

clinical pathway

pneumonia. Panduan wawancara. Wawancara mendalam. Hasil wawancara diuraikan dalam bentuk narasi

kemudian di ambil

kesimpulan

Rekomendasi Memberi saran yang bersifat menganjurkan kepada manajemen dan pelaksana

clinical pathway appendicitis di RSUD

Panembahan

Senopati Bantul dalam implementasi clinical Berdasarkan teori dilakukan analisis data terhadap hasil observasi, wawancara mendalam dan check list ICPAT

Berdasarkan teori dan hasil yang telah dilakukan.

Rekomendasi yang

diberikan diuraikan dalam bentuk narasi sesuai dengan hasil penelitian.

Rekam medis Dokumen yang memuat identitas dan perjalanan penyakit pasien

appendicitis akut.

Rekam Medis

Observasi Memenuhi dimensi 2 pada ICPAT.

F. Teknik Pengumpukan Data 1. Observasi

Pelaksanaan observasi pada penelitian ini menggunakan rekam medik pasien

appendicitis akut pada bulan Januari, Februari, dan Maret 2016. Dari rekam medik pasien dapat diketahui apakah penggunaan clinical pathway appendicitis akut didokumentasikan di dalam rekam medik atau tidak. Selain itu digunakan formulir ICPAT sebagai alat observasi clinical pathway.


(34)

2. Wawancara / Deep Interview

Pelaksanaan wawancara pada penelitian ini menggunakan daftar pertanyaan yang didasarkan pada ICPAT, pendekatan teori evaluasi sistem menurut Donabedian dan beberapa pertanyaan yang diajukan untuk mendapatkan tujuan dari penelitian ini. Wawancara bertujuan untuk mengetahui proses implementasi clinical pathway appendicitis akut, hambatan apa saja yang dihadapi saat dilakukan implementasi clinical pathway appendicitis akut dan mendapatkan rekomendasi dalam pelaksanaan clinical pathway appendicitis akut di RSUD Panembahan Senopati Bantul.

G. Instrumen Penelitian 1. ICPAT

Merupakan salah satu instrument yang sudah divalidasi dan dapat digunakan untuk melakukan evaluasi dari isi dan mutu Clinical pathway, yang terdiri dari 6 dimensi (Yasman, 2012).

2. Panduan wawancara / Check List

Daftar pertanyaan untuk mengobservasi dan mengetahui implementasi Clinical pathway appendicitis akut pada unit rawat inap bagian bedah di RS Panembahan Senopati Bantul

3. Kamera

Merupakan alat untuk mendokumentasikan gambar proses identifikasi pasien yang sedang berlangsung.

4. Tape Recorder

Merupakan alat untuk menyimpan dokumentasi wawancara 5. Alat Tulis


(35)

Alat tulis digunakan untuk menunjang pengumpulan data pada saat wawancara dilakukan.

H. Uji Validitas dan Reabilitas

Peneliti menggunakan triangulasi sebagai teknik untuk mengecek keabsahan data, di mana dalam pengertiannya triangulasi adalah teknik pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain dalam membandingkan hasil wawancara terhadap objek penelitian (Moloeng, 2004, h.330). Triangulasi dapat dilakukan dengan menggunakan teknik yang berbeda (Nasution, 2003, h.115) yaitu wawancara, diskusi kelompok terarah, observasi dan telaah dokumen. Semua ini dilakukan untuk memperkuat kesahihan dan memperkecil bias dari data informasi yang diperoleh untuk menjawab fenomena yang sedang diteliti.

Denzin dalam Moloeng (2004), membedakan empat macam triangulasi diantaranya dengan memanfaatkan penggunaan sumber, waktu, penyidik dan teori. Pada penelitian ini, dari keempat macam triangulasi tersebut, peneliti hanya menggunakan teknik pemeriksaan dengan memanfaatkan sumber. Triangulasi dengan sumber yaitu menggunakan metode yang sama yaitu wawancara tetapi ditujukan kepada sumber data yang berbeda-beda. Jawaban yang sama ataupun berbeda dari sudut pandang berbagai sumber data tadi diharapkan dapat mengungkap fenomena yang diteliti (Moloeng, 2004). Teknik triangulasi yang digunakan pada penelitian ini adalah mix it up. Mix it up adalah teknik yang mengkombinasikan beberapa teknik pengumpulan data kuantitatif dengan kualitatif.

Pada data kuantitatif, penggunaan form ICPAT tidak dilakukan uji validitas dan reabilitas karena menggunakan form ICPAT tervalidasi yang sudah di alihbahasakan ke bahasa Indonesia. Form ini biasa digunakan untuk penilaian clinical pathway di United


(36)

Kingdom (Whittle, 2008). Pada hasil penelitian kualitatif dan kuantitatif di triangulasikan dengan mengkonfirmasi responden melalui wawancara dan observasi subyek penelitian. I. Analisa Data

1. Analisis Kuantitatif

Dilakukan dengan analisis deskriptif terhadap checklist ICPAT dan data diolah dengan menggunakan program di komputer.

2. Analisis Kualitatif a. Pengumpulan Data

Penulis melakukan pengumpulan data. b. Reduksi Data

Data-data yang telah didapat direduksi yaitu dengan cara penggabungan dan pengelompokkan data-data yang sejenis menjadi satu bentuk tulisan sesuai dengan formatnya masing-masing dengan tahapan sebagai berikut :

1) Open coding: memberi nama dan membuat kategori

2) Axial coding: menyatukan kembali data-data setelah mengalami open coding dengan membuat hubungan antara kategori

3) Thema: proses memilih kategori inti secara sistematis.

c. Penarikan kesimpulan dan atau tahap verifikasi

Tahap terakhir adalah kesimpulan. Kesimpulan yang disajikan menjurus kepada jawaban dari pertanyaan penelitian yang didapat dari kegiatan penelitian tersebut.

J. Tahapan Penelitian 1. Persiapan


(37)

a. Studi pendahuluan

Peneliti melakukan pengamatan pada ruang rawat inap bedah dan kamar operasi di RSUD Panembahan Senopati Bantul untuk mengetahui gambaran implementasi clinical pathway appendicitis akut. Kemudian menentukan informan yang aakan diwawancara dan tempat penelitian.

b. Studi kepustakaan

Studi kepustakaan dilakukan untuk mendapatkan acuan penelitian dengan mencari materi yang terkait dengan implementasi clinical pathway, penelitian-penelitian yang dilakukan sebelumnya dan alat untuk mengevaluasi clinical pathway.

c. Pengadaan instrumen

Peneliti mempelajari instrumen untuk evaluasi clinical pathway. Kemudian menentukan dari 2 instrumen evaluasi clinical pathway yang digunakan adalah instrumen evaluasi ICPAT. ICPAT digunakan sebagai alat pendukung observasi dan wawancara.

d. Pengajuan izin penelitian 2. Tahap Pelaksanaan Penelitian

a. Melakukan pengumpulan data rekam medik pasien appendicitis akut pada bulan Januari, Februari, dan Maret 2016.

b. Melakukan observasi terhadap rekam medik pasien appendicitis akut pada bulan Januari, Februari, dan Maret 2016.

c. Melakukan deep interview / wawancara dengan subjek penelitian yang terlibat langsung dalam implementasi clinical pathway pasien appendicitis akut.


(38)

a. Dilakukan coding pada data hasil observasi dan wawancara kemudian menggolangkan kategori yang sesuai dengan variable penelitian

b. Menyusun hasil data yang didaptkan menjadi laporan penelitian.

Gambar 3.1 Chart Flow Tahapan penelitian

K. Etika Penelitian

Sebelum melakukan penelitian, peneliti meminta izin kepada Direktur Rumah Sakit Panembahan Senopati Bantul. Etika penelitian ini berupa:

1. Confidentiality, melindungi kerahasiaan identitas responden dan menjamin kerahasiaan informasi yang diberikan responden.

2. Informed consent, meminta persetujuan responden sebelum diwawancarai

3. Benefit, peneliti berusaha memaksimalkan manfaat penelitian dan meminimalkan kerugian yang timbul akibat penelitian.

4. Justice, semua responden dalam penelitian ini diperlakukan secara adil dan diberi hak yang sama.


(39)

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Penelitian

1. Profil Rumah Sakit

Rumah Sakit Umum Daerah Panembahan Senopati berdiri sejak tahun 1953 sebagai Rumah Sakit Hangeroedem dan pada tanggal 29 Maret 2003 berubah nama menjadi Rumah Sakit Daerah Panembahan Senopati Bantul. Rumah Sakit Panembahan Senopati merupakan penyelenggara urusan pemerintah dan pelayanan umum di bidang pelayanan rumah sakit yang dipimpin oleh seorang Direktur dan bertanggungjawab kepada Bupati melalui Sekretaris Daerah. Tujuan dalam penyelenggaraan pelayanan rumah sakit ini berupa terwujudnya proses pelayanan yang berkualitas, kepercayaan dan kepuasan pelanggan, karyawan yang produktif dan berkomitmen, proses pelaporan dan akses informasi yang cepat dan akurat, rumah sakit sebagai jejaring pelayanan pendidikan dan penelitian dan pelayanan non fungsional untuk kepuasan pelanggan.

Dalam upaya mewujudkan tujuan terkait pelayanan berkualitas maka terdapat beberapa layanan kesehatan yang diberikan di rumah sakit panembahan senopati yaitu, rawat darurat, rawat jalan pagi, rawat jalan sore, rawat inap, bedah sentral, rehabilitasi medis, dan penunjang. Fasilitas rawat inap yang diterdapat di Rumah Sakit Umum Daerah Panembahan Senopati berupa bangsal VVIP, VIP, kelas utama, kelas I, kelas II, kelas III, ICU, dan perinatal. Rumah Sakit Umum Daerah Panembahan Senopati juga memiliki visi, misi, dan motto, sebagai berikut:


(40)

Tewujudnya rumah sakit yang unggul dan menjadi kebanggaan seluruh masyarakat.

Misi

a. Memberikan pelayanan prima pada pelanggan.

b. Meningkatkan profesionalisme sumber daya manusia.

c. Melaksanakan peningkatan mutu berkelanjutan dalam pelayanan kesehatan. d. Meningkatkan jalinan kerjasama dengan mitra terkait.

e. Meningkatkan ketersediaan sarana prasarana yang berkualitas.

f. Menyelenggarakan tata kelola keuangan yang sehat untuk mendukung pertumbuhan organisasi.

Nilai-nilai a. Jujur. b. Rendah hati. c. Kerja sama. d. Profesional. e. Inovasi. Motto

" Melayani sepenuh hati untuk kualitas hidup yang lebih baik " 2. Data Bangsal

Ruang rawat inap di rumah sakit panembahan senopati terdiri bangsal bedah, anak, periatal, dalam, obsgyn, kelas I, utama, VIP, VVIP dan ICU. Sedangkan untuk bagian penyakit lain yang memerlukan rawat inap akan digabungkan pada bangsal yang tersedia sesuai kelas yang diinginkan, kecuali bangsal khusus obsgyn dan ginekologi.


(41)

Pada bagian bedah terdapat dua bangsal yaitu bangsal melati untuk bedah umum dan bugenvil untuk bedah ortopedi. Bangsal melati merupakan bangsal bedah umum yang terdiri dari kelas II dan kelas III. Bangsal melati terdiri dari 14 ruangan yaitu, 10 ruang kamar pasien, 1 ruang peralatan medis dan non medis, 1 ruang pertemuan, 1 ruang kepala bangsal, dan 1 ruang jaga perawat. Seluruh tempat tidur pada bangsal melati berjumlah 29 tempat tidur dimana 1 ruang terdiri dari 2 tempat tidur yang merupakan ruang kelas II dan 9 ruang terdiri dari 3 tempat tidur yang merupakan ruang kelas III. Setiap tempat tidur di ruangan dipisahkan dengan sekat gorden, untuk ruang kelas II fasilitas kamar mandi disediakan didalam ruang sedangkan untuk kelas III fasilitas kamar mandi disediakan di luar ruang.

3. Hasil Evaluasi ICPAT

Berdasarkan hasil pengisian check list lembar ICPAT oleh responden, maka penulis membuat grafik jumlah persentase hasil jawaban ya untuk konten dan mutu pada setiap dimensi pada lembar ICPAT .


(42)

Berdasarkan literatur Whittle et al “Assesing the content and quality of pathways” (2008) didapatkan klasifikasi penilaian suatu ICPAT, apabila dalam penilaian tersebut didapatkan hasil persentase >75% maka formulir clinical pathway

yang dinilai termasuk dalam kriteria baik, 50-75% moderate, dan <50% kurang. Dari grafik di atas didapatkan bahwa dimensi 1 item konten dan mutu termasuk kategori

moderate. Dimensi 2 dan 5 item konten dan mutu termasuk kategori kurang. Dimensi 3

item konten termasuk kategori moderate dan mutu termasuk kategori kurang. Dimensi 4 item konten termasuk kategori moderate dan mutu termasuk kategori baik. Dimensi 6

item konten termasuk kategori baik dan mutu termasuk kategori moderate. 4. Input

a. SDM

Berdasarkan hasil observasi bangsal melati terdiri dari 2 dokter spesialis bedah, 17 perawat, 1 asisten perawat dan 1 pada bagian administrasi. Dari 17 perawat tersebut dikatahui 3 perawat dengan pendidikan S1, dan 14 perawat pendidikan D3. Dalam pemberian asuhan keperawatan bangsal Melati menggunakan Metode MPM (metode primer yang dimodifikasi) terbagi dalam 3 tim yang masing-masing bertanggung jawab terhadap 9 sampai 10 pasien.

Berdasarkan SDM yang ada di bangsal melati, kemudian peneliti melakukan wawancara terkait pemahaman terhadap clinical pathway, berikut merupakan hasil coding pemahaman terhadap clinical pathway.


(43)

Tabel 4.1 Coding Pemahaman CP

Axial Coding Tema

Pengertian clinical pathway

- Panduan pelayanan - Alur klinis

- Tolak ukur mutu - Resume pasien

1. Clinical pathway adalah panduan pelayanan klinis

Fungsi clinical pathway

- Kendali mutu dan biaya - Standar yang sama Pencegahan kejadian yang tidak diinginkan

2. Fungsi clinical pathway

untuk menyamakan

standar pelayanan sebagai kendali mutu dan biaya

Seluruh responden yang ada di bangsal melati menyatakan bahwa clinical pathway merupakan suatu pedoman dalam pelayanan klinis yang penting untuk menyamakan standar terkait pelayanan. Dengan standar yang sama diharapkan terwujud suatu kendali mutu dan biaya. Selanjutnya peneliti melakukan observasi terhadap kebutuhan tenaga.

Tabel 4.2 Data Jumlah Pasien Jumlah Pasien Jumlah TT Jumlah Lama dirawat Jumlah Hari Perawatan

BOR LOS L P Jumlah

Bangsal Melati Januari 2016

69 64 133 29 665 540 60,07 5,59

Bangsal Melati Februari 2016

79 68 147 29 701 558 66,35 5,39

Bangsal Melati Maret 2016

70 88 158 29 712 628 69,86 5,27

Sumber : Laporan Tahunan Bangsal Melati RSUD Panembahan Senopati, 2016


(44)

Dari data jumlah tenaga keperawatan yang bertugas, tenaga keperawatan yang libur dan tenaga non-keperawatn yang dimiliki di bangsal Melati, maka dapat dihitung taksiran kebutuhan tenaga keperawatan sebagai berikut.

Tabel 4.3 Jumlah Jam Perawatan Jumlah Jam Perawatan/Efektif Pasien/Hari No Kategori Pasien/

Hari Jam Perawatan Jumlah

1 Askep minimal 16 2 32

2 Askep sedang 8 3.08 24,64

3 Askep agak berat

5 4.15 20.75

4 Askep maksimal

0 6.16 0

JUMLAH 54 15.39

Jumlah Jam Perawatan / hari 77,59 Sumber : Laporan Tahunan Bangsal Melati RSUD Panembahan

Senopati, 2016

Tabel 4.4 Jumlah Perawat Bertugas A = Jumlah Tenaga Keperawatan Yang Bertugas Jumlah jam perawatan/hari

Jam kerja perawat/shif =

77,59

7 = 11 Orang Sumber : Laporan Tahunan Bangsal Melati RSUD

Panembahan Senopati, 2016

Tabel 4.5 Jumlah Perawat Libur B = Jumlah Tenaga Keperawatan Yang Libur (Loss Day) Jumlah hari libur mg/thn + jml hr cuti

+ jml hr libur besar/th x A Jumlah hari kerja efektif/thn

= 82 x 11

286 = 3 Orang Sumber : Laporan Tahunan Bangsal Melati RSUD Panembahan

Senopati, 2016

Tabel 4.6 Tenaga Non Keperawatan C = Tenaga Non Keperawatan

( A + B ) x 25 % = 11 + 3 x 25% = 3,5 orang Sumber : Laporan Tahunan Bangsal Melati RSUD

Panembahan Senopati, 2016

Tabel 4.7 Kebutuhan Tenaga Keperawatan Kebutuhan Tenaga Keperawatan Bangsal

( A + B + C ) + 1 Kepala ruang = 11 + 3 + 3,5 = 17,5 orang Kepala Ruang = 1 orang Jumlah Kebutuhan Tenaga = 18 orang Sumber : Laporan Tahunan Bangsal Melati RSUD Panembahan


(45)

Berdasarkan dari tabel diatas didapatkan kebutuhan tenaga perawat di bangsal melati berjumlah 18 orang, sedangkan perawat yang tersedia saat ini berjumlah 17 orang. Hal tersebut didukung dengan jawaban hasil wawancara oleh responden 5 yang menyatakan bahwa

“…Jadi kadang-kadang hambatan hanya lupa saja karena

pasien yang terlalu banyak”

Di mana SDM bangsal Melati sering lupa untuk melengkapi form clinical pathway karena keterbatasan tenaga keperawatan yang bertugas.

b. Peralatan

Dalam rangka menunjang kelancaran kerja, bangsal melati dilengkapi dengan peralatan medis keperawatan. Berdasarkan data yang didapat, sebagian besar peralatan yang diperlukan sudah tersedia sesuai standar yang ditentukan di bangsal, meskipun ada beberapa alat yang masih kurang jumlahnya dan juga mengalami kerusakan.

Tabel 4.8 Peralatan Keperawatan

No Nama Alat Jumlah Kekurangan Jumlah

Kekurangan Ada Standar Baik Rusak

1 Alat GV:

a. Pinset Anatomi 18 18 18 0

b. Pinset Cerurgis 18 18 18 0

c. Gunting Lurus 12 12 12 0

d. Koomp 12 12 12 0

e. Gunting Hecting 2 6 2 4

f. Gunting kasa 6 6 6 0

a.Arteri klem 12 12 12 0


(46)

Lanjutan Tabel 4.8 Peralatan Keperawatan

No Nama Alat Jumlah Kekurangan Jumlah

Kekurangan Ada Standar Baik Rusak

3 Korentang 2 3 2 1

4 Tensi meter 4 4 3 1 1

5 Tempat Korentang 2 3 2 1

7 Termometer 1 3 1 2

8 Troli medikasi 1 3 1 2

9 Troli verbed 1 1 1 0

10 Tiang infus 29 29 29 0

11 Troli EKG 1 1 1 0

12 Alat EKG 2 2 2 0

13 Timbangan 1 1 1 0

14 Tabung oksigen 8 8 8 0

15 Mano meter 5 8 5 3

16 Senter 1 3 1 2

17 Tong spatel 2 3 2 1

18 Bak instrument 12 12 12 0

19 Tabung Pemadam 1 2 1 1

20 Autoklav 0 1 0 1

Sumber : Laporan Tahunan Bangsal Melati RSUD Panembahan Senopati, 2016

c. Dimensi 1 (Apakah Formulir yang Dinilai Clinical pathway) 1) Outline pelayanan

Diketahui bahwa persentase jawaban ya pada konten 50%, dan jawaban ya pada mutu 50%. Pada bagian konten yang belum terlaksana adalah apakah CP punya titik awal dan clinical pathway belum mencakup kontinuitas pelayanan/terapi selama 24 jam. Hal ini diketahui dari hasil observasi langsung pada lembar clinical pathway.

2) Peran Profesi

Peran profesi pada pelaksanaan clinical pathway appendicitis tidak terlihat siapa saja yang berkontribusi dalam pelayanan. Hal tersebut didukung oleh pernyataan responden 4 bahwa


(47)

“Harusnya dokter DPJP nya yang mengisi itu, bersama dengan saling mengingatkan dengan perawat …”

Berdasarkan pernyataan tersubut lembar clinical pathway yang ada belum menunjukkan dengan jelas pembagian peran profesi dalam melaksanakan dan mengisi lembar tersebut.

3) Design

Clinical pathway appendicitis akut dapat membantu menunjukkan fokus perhatian pada faktor-faktor lain seperti komorbit, faktor resiko atau masalah lain. Hal ini didukung oleh pernyataan responden 3 yaitu

“…sehingga kita bisa mengeliminasi kalau ada faktor lain seperti adanya KET, atau appendicitis akut atau PID”

Namun CP belum digunakan untuk mengingatkan para staff, ataupun mencatat spesifik pelayanan yang dibutuhkan pasien. Pada bagian mutu yang belum terlaksana apakah CP menggambarkaan siapa saja yang berkontribusi. Hasil ini didukung dengan responden 6 yang menyatakan bahwa

“…Siapa yang melakukan tindakan operasi itu yang isi”

Berdasarkan pernyataan tersebut diketahui bahwa belum terdapat gambaran yang jelas siapa saja yang mengisi lembar clinical pathway.

d. Dimensi 6 (Menilai Peran Organisasi)

Diketahui persentase jawaban ya pada konten 100% dan mutu sebesar 67%. Dapat disimpulkan peran organisasi dalam pelaksanaan clinical pathway terkait konten baik sedangkan terkait mutu moderate. Bagian mutu yang belum terpenuhi


(48)

terkait pedoman pendokumentasian clinical pathway dan belum terdapat sistem pelaporan variasi pada clinical pathway. Hal ini sesuai dengan pernyataan responden 5 bahwa.

“…kalau ada sesuatu perubahan yang notabene memang mengharuskan DPJP mengganti obat maka harus kita ganti …”

Berdasarkan pernyataan tersebut belum terdapat kejelasan sistem pelaporan variasi yang terjadi. Selanjutnya untuk mempermudah memahami penyusunan

clinical pathway, berdasarkan hasil wawancara penulis membuat diagram alur penyusunan clinical pathway.

Gambar 4.2 Alur Penyusunan Clinical pathway Sumber: Data Primer

5. Proses

a. Dimensi 2 (Proses Dokumentasi Cllinical Pathway)

Diketahui bahwa persentase jawaban ya pada konten sebesar 17% dan jawaban ya pada mutu sebesar 25%. Pada item konten dan mutu yang belum


(49)

terpenuhi yaitu, judul clinical pathway jelas, halaman pada setiap lembar clinical pathway, penulisan tanggal berlaku dan review, singkatan, contoh tanda tangan dan cara pencatatan variasi. Hal ini sesuai dengan hasil observasi lembar clinical pathway appendicitis akut yang digunakan di bangsal. Selanjutnya akses pasien tehadap clinical pathway, kondisi dimana pasien mengisi beberapa bagian clinical pathway, pencatatan variasi dan pernyataan persetujuan pasien terhadap pelayanan yang akan diberikan. Hal ini sesuai dengan pernyataan responden 2 bahwa.

Oh ngga, selama ini tidak

Berdasarkan pernyataan tersebut diketahui bahwa pasien belum memiliki akses terhadap clinical pathway mereka.

b. Dimensi 3 (Proses Pengembangan Clinical pathway)

Diketahui bahwa persentase jawaban ya pada konten sebesar 61% dan jawaban ya pada mutu sebesar 41%. Pada item konten aspek yang belum terpenuhi yaitu perwakilan pasien yang ikut me-review clinical pathway. Sedangkan pada

item mutu aspek yang belum terpenuhi yaitu, keterlibatan pasien dalam pengembangan clinical pathway, pertimbangan kebutuhan pasien yang multikultur, hasil uji coba didiskusikan dengan pasien, keterlibatan semua staff dan pasien dalam mengisi, mengembangkan, dan mengevaluasi clinical pathway saat uji coba. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan responden 6 bahwa

“…yang mengikutikan dokter DPJP sama tim management yang di atas”.


(50)

Berdasarkan pernyataan tersebut diketahui bahwa belum semua perwakilan pelaksana clinical pathway terlibat dalam proses pengembangan.

c. Dimensi 4 (Proses Implementasi Clinical pathway)

Diketahui bahwa persentase jawaban ya pada konten sebesar 60% dan jawaban ya pada mutu sebesar 100%. Pada item konten aspek yang belum terpenuhi yaitu umpan balik pasien. Hal ini didukung dengan pernyataan responden 1 bahwa

“…pasien ya memang kan hak nya boleh mereka kalau mau melihat, …”

Berdasarkan pernyataan tersebut diketahui bahwa pasien dapat melihat jika meminta, namun belum terdapat adanya umpan balik pasien terkait penggunaan

clinical pathway. Selain itu belum terdapat alokasi sumber daya untuk melaksanakan training penggunaan clinical pathway.

d. Dimensi 5 (Proses Pemeliharaan clinical pathway)

Diketahui bahwa persentase jawaban ya pada konten sebesar 75% dan jawaban ya pada mutu sebeesar 62%. Pada item konten aspek yang belum terpenuhi yaitu, pelatihan rutin dan staff yang bertanggung jawab menjaga clinical pathway. Hasil tersebut didukung responden 1 yang menyatakan bahwa,

“…akan kita bentuk case manager inilah nanti yang akan memantau terus berjalannya implementasi clinical pathway

Berdasarkan hal tersebut diketahui saat ini belum terdapat individu yang bertanggung jawab terhadap clinical pathway. Sedangkan pada item mutu aspek yang belum terpenuhi yaitu, isi dan dokumentasi clincal pathway secara rutin sudah


(51)

di-review. Hal ini berdasarkan hasil observasi bahwa kelengkapan formulir clinical pathway 25% dan kelengkapan isi clinical pathway 0%. Selain itu, bukti masukkan pasien merubah praktek, pasien terlibat me-review isi cinical pathway, dan perubahan kode variasi sesuai persyaratan organisasi dan daerah, pemeriksaan kode variasi yang digunakan. Hal ini berdasarkan observasi lembar clinical pathway di mana belum disertakan nomor clinical pathway pada lembar tersebut.

e. Kendala

Berdasarkan hasil wawancara dengan responden diketahui bahwa clinical

pathway dibentuk tahun 2015 oleh tim managemen mutu, SMF, perawat, gizi, dan farmasi karena perlu adanya standarisasi pelayanan pada setiap pasien dan terkait persiapan akreditasi. Dibentuknya clinical pathway suatu penyakit berdasarkan pada hasil evaluasi high risk, high volume, dan high cost di rumah sakit Panembahan Senopati yang sudah disepakati bersama oleh tim. Clinical pathway

akan dievaluasi setiap 6 bulan oleh tim. Dari evaluasi pelaksanaan dan formulir

clinical pathway tersebut, apabila diperlukan revisi pada item dalam formulir

clinical pathway maka akan dibentuk draft baru.

Pelaksanaan clinical pathway diawali dengan uji coba pada tahun 2015 dan dilanjutkan hingga saat ini yang berdasarkan wawancara mendalam diketahui bahwa tingkat kepatuhan pelaksanaan clinical pathway masih kurang. Berikut adalah tabel koding terkait kendala yang ada dalam implementasi clinical pathway.


(52)

Tabel 4.9 Kendala dalam implementasi Clinical pathway

Axial Coding Tema

1. Sikap

a. Kurang kesadaran dalam mengisi formulir

b. Keterbatasan waktu c. Belum terbiasa

Responden belum terbiasa sehingga lupa

Keterbatasan waktu untuk mengisi formulir

2. Dokumentasi

Lupa untuk mengisi atau pun melengkapi formulir

Clinical pathway merupakan formulir yang baru di rumah sakit, sehingga sulit untuk mengubah kebiasaan di lapangan yang sebelumnya tidak menggunakan formulir clinical pathway. Faktor ketidakpatuhan tersebut salah satunya disebabkan kareana pelaksana terbiasa menunda mengisi formulir clinical pathway maupun menyertakan formulir tersebut ke dalam rekam medis pasien, hal ini mengakibatkan

clinical pathway lupa untuk dilengkapi. Dari hasil wawancara juga diketahui bahwa hambatan dalam kelengkapan clinical pathway juga disebabkan oleh dokter yang sibuk, dimana dokter setelah visite pasien harus ke poli ataupun melaksanakan operasi akibatnya clinical pathway tidak terisi. Dari bagian manajemen menambahkan hambatan selama ini dalam kepatuhan pelaksanaan clinical pathway

karena belum ada pendamping seperti case manager yang bertugas khusus mengawal pelaksanaan clinical pathway di lapangan.

6. Output


(53)

Gambar 4.3 Kepatuhan

Berdasarkan observasi rekam medis diketahui bahwa distribusi kepatuhan dalam melampirkan formulir clinical pathway appendicitis akut, terdapat 12 rekam medis dari 16 rekam medis yang diobservasi tidak melampirkan formulir clinical pathway appendicitis akut. Hasil tersebut didukung oleh responden 5 yang menyatakan bahwa

“…sadar penuh saya mengatakan bahwa ini kita belum semuanya ...Kadang-kadang ada yang lost ada yang belum kita kasi

Berdasarkan pernyataan tersebut diketahui bahwa lembar clinical pathway belum selalu dilampirkan dalam rekam medis pasien.

e. Kepatuhan Kelengkapan Isi Clinical pathway

Untuk mengetahui tingkat kepatuhan pelaksanaan setiap item yang terdapat pada formulir clinical pathway, maka penulis menyajikan tabel audit medik clinical pathway appendicitis akut. Hasil ini didapatkan dari melihat check list yang ada dalam formulir, namun jika formulir tidak ada dalam rekam medis maka penulis melakukan observasi setiap item check list clinical pathway pada penulisan dilembar rekam medis sehari-hari. Dari observasi tersebut dikatahui bahwa seluruh


(54)

(55)

(56)

Lanjutan Gambar 4.4 Hasil Audit Medik Clinical pathway

Berdasarkan hasil observasi rekam medis terhadap isi clinical pathway

diatas didapatkan tingkat kepatuhan pengisian lembar clinical pathway 0 %. Selanjutnya peneliti melakukan konfirmasi hasil observasi terkait data yang tidak ada kepada responden dengan wawancara. Responden 5 menyatakan

0% 31.25% 100% 100% 100% 12.50% 93.75% 18.75% 12.50% 100% 100% 100% 100% 0% 100% 100% 69% 81% 100%

0% 50% 100%

Lengkap Intake Adekuat hari ke 4 Mobilisasi Jalan hari ke 4 Nyeri Teratasi hari ke 4 Diijinkan pulang hari ke 4 Rehabilitasi Setelah di Rumah hari ke 4 Hari Kontrol hari ke 4 Pemberian dan Cara Minum Obat hari

ke 4

Perawatan Luka di Rumah hari ke 4 Manajemen Nyeri hari ke 4 Manajemen Nyeri hari ke 3 Manajemen Nyeri hari ke 2 Manajemen Nyeri hari ke 1 Lama Perawatan hari ke 2 Tindakan Operatif hari ke 1 Anestesi hari ke 1 Mobilisasi Jalan hari ke 4 Mobilisasi Duduk hari ke 3 Bedrest hari ke 2


(57)

“…kalau penjelasannya tidak cuma dokumentasinya kadang-kadang kelolosan

Berdasarkan pernyataan tersebut diketahui bahwa data yang tidak terisi pada pelaksanaan sebenarnya dilakukan, namun lupa untuk mengisi dalam lembar rekam medis atau pun clinical pathway.

Gambar 4.5 Input, Proses, Output

INPUT PROSES OUPUT

SDM

1. Jumlah dokter spesialis masih kurang 1 dokter. 2. Jumlah perawat

masih kurang 1 tenaga

keperawatan Sarana dan Prasarana Peralatan sebagian besar sudah terpenuhi sesuai standar yang ditentukan di bangsal.

Format Clinical pathway Formulir CP yang dinilai adalah benar sebuah Clinical pathway

Peran Organisasi 1. Organisasi ikut

berperan dalam implementasi CP

2. Ada instruksi penerapan CP 3. Pembentukan

tim CP

Dokumentasi CP dimasukkan kedalam rekam medis Pengembangan Penyusunan CP melibatkan komite medis, tim clinical pathway, dan KSM Proses Implementasi 1. CP apendisitis akut diterapkan sejak tahun 2015 2. Dilakukan

sosialisasi 3. Masih terdapat

hambatan penerapan CP Maintanance 1. Pengembangan CP

saat ini konten

moderate dan

mutu kurang 2. Belum terdapat

keterlibatan pasien 3. Belum terdapat

stafff yang

bertanggung jawab menjaga CP

Kepatuhan 1. Kepatuhan

kelengkapan formulir clinical pathway 25% 2. Kepatuhan

kelengkapan isi clinical pathway 0%

HAMBATAN

Rendahnya kepatuhan pendokumentasian clinical pathway karena belum terbiasa, keterbatasan waktu, dan lupa untuk melengkapi CP

REKOMENDASI

Diperlukan seorang case manager untuk mendampingi pelaksanaan CP appendisitis akut


(58)

B. Pembahasan

Berdasarkan literatur Whittle et al “Assesing the content and quality of pathways” (2008) didapatkan klasifikasi penilaian suatu formulir clinical pathway, apabila dalam penilaian tersebut didapatkan hasil >75% maka formulir clinical pathway yang dinilai termasuk dalam kriteria baik, hasil 50-75% termasuk dalam kriteria moderate, dan hasil <50% termasuk dalam kriteria kurang. Persentase tersebut didapatkan dari perhitungan jumlah jawaban ya pada setiap item di masing-masing dimensi. Klasifikasi ini digunakan untuk mengetahui standar setiap item konten dan mutu yang ada pada formulir clinical pathway tersebut.

Dari penilaian ICPAT (Integrated Clinical Pathways Appraisal Tools) yang telah dilakukan pada dimensi pertama, didapatkan hasil persentase item konten 50% dan item

mutu 50%. Berdasarkan hasil persentase tersebut maka klasifikasi untuk item konten dan mutu dimensi pertama moderate. Penilaian dimensi pertama berfungsi untuk mengetahui apakah suatu formulir yang dinilai adalah benar sebuah clinical pathway. Sehingga jika dilihat dari hasil yang didapatkan, maka formulir yang di nilai adalah benar sebuah clinical pathway namun belum memenuhi kriteris baik. Menurut Hassan (2014) manfaat clinical pathway dapat meningkatkan proses dokumentasi pasien. Hal ini didukung oleh Cui Qi

(2014) formulir clinical pathway digunakan untuk membuat kerangka kerja dalam proses perawatan. Menurut Mater & Ibrahim (2015) kelalaian medis saaat ini menjadi isu terbanyak di bidang kesehatan. Kelalaian medis yang terjadi dibagi menjadi empat tipe yaitu diagnosis, pengobatan, pencegahan dan terkait prosedur pelaksanaan. Kelalaian terbanyak terkait kelemahan dalam proses pengobatan. Menurut Olsson (2009) Salah satu cara untuk


(1)

Kepatuhan dalam implementasi clinical pathway juga dapat meningkatkan komunikasi antar tenaga medis.7 Sehingga penting untuk meningkatkan kepatuhan implementasi clinical pathway.

Berdasarkan hasil tersebut, peneliti melakukan konfirmasi kepada dokter ataupun perawat dengan wawancara mendalam terkait mengapa ada data yang tidak tertulis atau pun formulir yang tidak disertakan di dalam rekam medik. Berdasarkan wawancara tersebut sebagian besar responden menyatakan lupa dan karena aktivitas yang padat. Diketahui pada pembahasan kebutuhan tenaga keperawatan di bangsal Melati sebanyak 18 orang, namun saat ini hanya terdapat 17 orang tenaga keperawatan. Selain itu berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia nomor 56 tahun 2014 untuk rumah sakit tipe B pelayanan medik spesialis dasar masing-masing minimal 3 orang dokter spesialis, sedangkan spesialis bedah yang ada di RSUD Panembahan Senopati ada 2.20 Oleh karena itu perlu dilakukan

pengelolaan tenaga medis yang ada sehingga bisa dapat melaksanakan clinical pathway secara efektif. Sumber daya manusia merupakan salah satu kunci utama keberhasilan dalam penerapan clinical pathway, untuk itu diperlukan ketersediaan dan kemampuan mengelola potensi yang ada.2

Dari wawancara dengan bagian manajemen juga didapatkan hasil bahwa bagian management menyadari pelaksanaan clinical pathway saat ini belum dapat berjalan dengan baik. Oleh karena itu bagian manajemen berencana untuk menunjuk case manager yang bertugas untuk terus mendampingi pelaksanaan clinical pathway di lapangan. Fasilitator merupakan kunci keberhasilan penerapan clinical pathway. Fasilitator sering disebut koordinator yang bertugas mengolaborasi seluruh pelaksana dalam suatu clinical pathway.

KESIMPULAN

Berdasarkan aspek input formulir yang dinilai adalah benar sebuah clinical pathway menurut


(2)

standar ICPAT, namun belum memenuhi kriteria yang baik. Rumah sakit ikut berperan dalam pelaksanaan clinical pathway. Peralatan yang diperlukan sudah tersedia meskipun ada beberapa alat yang kurang ataupun rusak. Jumlah dokter spesialis dan tenaga keperawatan di bangsal saat ini masing-masing kurang 1 orang.

Berdasarkan aspek proses dokumentasi clinical pathway di bangsal sudah dimasukkan kedalam rekam medis dengan tingkat kepatuhan 25%. Pengembangan clinical pathway telah melibatkan tim clinical pathway, komite medik, dan KSM namun belum optimal. Masih terdapat hambatan dalam implementasi clinical pathway yaitu belum terbiasa, kurangnya kesadaran, keterbatasan waktu, lupa dan belum terdapat case manager.

Evaluasi clinical pathway dilakukan setiap 6 bulan sekali, namun belum memberikan rekomendasi perbaikan yang optimal. Berdasarkan aspek output kepatuhan melengkapi isi clinical pathway sebesar 0%.

Dalam upaya untuk

meningkatkan kepatuhan implementasi clinical pathway sebaiknya dilakukan pelatihan rutin kepada setiap staff terkait clinical pathway, dapat dipertimbangkan untuk menambah seorang dokter dan perawat, menunjuk seorang case manager, dan evaluasi rutin implementasi clinical pathway setiap bulan.

DAFTAR PUSTAKA

1. Romeyke T, Stummer H, 2012, ‘Clinical pathways as instruments for risk and cost management in hospitals,’ Global Journal of Health Science vol. 4 no. 2, Austria.


(3)

2. Devitra A, 2011, ‘Analisis implementasi clinical pathway kasus stroke berdasarkan INA-CBGs di rumah sakit stroke Bukittinggi,’ Tesis Universitas Andalas, Bukittingi.

3. Setyaningrum W A, 2013, Asuhan keperawatan pada sdr. Y dengan post operasi appendiktomi hari ke-1 di ruang dahlia RSUD Banyudono, Tugas Akhir Keperawatan Fakultas Ilmu Kesehatan UMS. Surakarta. 4. Saucier A, Huang EY,

Emeremni CA, & Pershad J, 2015, ‘Prospective evaluation of a clinical pathway for suspected appendicitis,’ American Academy of Pediatrics, Memphis.

5. Whittle et al, 2008, ‘Assessing the content and quality of pathways,’ Diakses pada tanggal 22 September

2016 dari

https://www.researchgate.net/ publication/237821114_Asse

ssing_the_content_and_qualit y_of_pathways.

6. Cui Qi et al, 2014, ‘Effectiveness of Clinical Pathway in Breast Cancer Patients: A Meta-Analysis,’ Global Journal of Oncologist, 2, 15-21, China 7. Mater W, Ibrahim R, 2015,

‘Factors Supporting Teamwork Communication In Clinical Pathways: Systematic Literature Review,’ Journal of Theoretical and Applied Information Technology 30th November 2015. Vol.81. No.3, Malaysia.

8. Olsson L E et all, 2009,‘A cost-effectiveness study of a patient-centred integrated care pathway,’Journal of Advanced Nursing 65(8), 1626–1635, Go¨ teborg. 9. Hassan I S et all, 2014,‘ The

Impact of a Structured Clinical Pathway on the Application of Management Standards in Patients with Diabetic Ketoacidosis and Its Acceptability by Medical


(4)

Residents,’ Journal of Diabetes Mellitus, 4, 264-272, Riyadh.

10.Allen D, Gillen E, Rixson L, 2009, ‘Systematic review of the effectiveness of integrated care pathways: what works, for whom, in which circumstances?,’ US National Library of Medicine National Institutes of Health, 7(2): 61-74, America. America.

11. Chawla A et al, 2016, ‘Care Pathways in US Healthcare Settings: Current Successes and Limitations, and Future Challenges,’ The American Journal Of Managed Care, America.

12.Huang Di, Song Xuping, Tian Jinhui, Cui Qi, Yang Kehu, 2015, ‘Effect of clinical pathways in stroke management: A meta-analysis’, Neurology Asia Journal 2015, vol.20, no.4, pp.335-342

13.Al-Ashwal R H, Supriyanto Eko, 2016, ‘Evidence for the Contemporary Clinical

Pathway Quality Measures: Literature Review,’ Indian Journal of Science and Technology, Vol 9(34), Malaysia.

14. Ismail A et al, 2012, ‘Clinical Pathways: Development and Implementation at a Tertiary Hospital in Malaysia,’ International Journal of Public Health Research Vol 2 No 2 2012, pp (153-160), Malaysia.

15.Li Weiz et all, 2014,‘ Integrated clinical pathway management for medical quality improvement – based on a semiotically inspired systems architecture,’ European Journal of Information Systems 23, 400– 417, UK.

16.Mater Wasef, Ibrahim Roliana, 2014,‘ Delivering Quality Healthcare Services using Clinical Pathways,’ International Journal of Computer Applications (0975

– 8887)Volume 95 – No 1,Malaysia.


(5)

17.Evans-Lacko et al, 2010, ‘Facilitators and barriers to implementing clinical care pathways,’ BMC Health Services Research 2010, 10:182, London.

18.Bjurling-Sjöberg P et al, 2014, ‘Prevalence and Quality of Clinical Pathways in Swedish Intensive Care Units: A National Survey,’ Journal of Evaluation In Clinical Practice, 20(1): 48-57, Swedish.

19.Schrijvers G, Van Hoorn A, Huiskes N, 2012, ‘Vol. 12, Special Edition Integrated Care Pathways The care

pathway: concepts and theories: an introduction,’ International Journal of Integrated Care – Volume 12, Netherlands.

20.Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 56 tahun 2014, Klasifikasi dan Perizinan Rumah Sakit, 1 September 2014, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014, Jakarta


(6)