Dampak Penolakan Itsbat Nikah Terhadap Status Perkawinan Dan Anak (Studi Analisis Penetapan Nomor 0244/Pdt.P/2012/Pa.Js)

(1)

DAMPAK PENOLAKAN ITSBAT NIKAH TERHADAP STATUS PERKAWINAN DAN ANAK (Studi Analisis Penetapan Nomor

0244/Pdt.P/2012/PA.JS)

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)

Oleh :

RIDWANSYAH MAULANA NIM : 109044100046

K O N S E N T R A S I P E R A D I L A N A G A M A PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA ISLAM

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH J A K A R T A


(2)

SKRIPSI

Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Eukum

Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh

Gelar Sarianr Syariah (S.Sy)

Oleh:

Ritlwanryat Mflulane

NrM. r090441fim46

KONSENTRASI PERADILAN

AGAMA

PROGRAM STUDI HT]I(UM KELUARGA ISLAM

FAKT'LTAS SYARIAII DAN HT]KTIM

TTNrVERSIITAS ISLAM NEGERI SYARIT'HIDAYATT}LLAN

JAKARTA

1434II20r3

M

ii Bawah l

$

NIP. 195E1 n8r994031001


(3)

PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI

Skripsi yang berjudul "Dampak Penolakan ltsbat Nikah Terhadap Status Perkawinan

dan

Anak

(Studi Analisis Penetapan Nomor 0244tPdt.Pl20l2tPA.JS)" telah diajukan

dalam sidang munaqasyah Fakultas Syariah dan Hukum Program Studi Hukum Keluarga

Islam Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal

3

Januari 2014.

Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Program Strata Satu (S-l) pada Program Studi Hukum Keluarga Islam.

Jakarta, 3 Januari2}l4

Mengesahka Dekan,

NIP. 19550505198203 1012

PANITIA UJIAN MT]NAQASYAH

1. Ketua

2. Sekretaris

3. Pembimbing

4. Penguji

I

5. Penguji

II

Drs. H. A. Basiq Djalil. SH. M.A..

NIP. 19500306197603 100 I

Hj. Rosdiana. M.A.

NIP. I 96906102003 122001

Dr. H. Supriyadi Ahmad. M.A.

NIP. 19581 128199403 1001

Dr. Moh. Ali Wafa. S.Ae.

M.Ag-NIP. 1 9730 4242002121007

Hi. Hotnidah Nasution. M.A..

NIP. I r97 10630t997 032002


(4)

ini karya saya yang diajukan untuk memenuhi salah mtu persyaratan mempercleh gelar sfata

I

di Universitas Islam Negeri (trII\$ Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang digunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai

dengan ketentuan yang berlaku

di

Universias Islam Negeri Gm\D Syarif

Hidayahrllah Jakarta.

3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bulcan hasil lcrya asli saya atau

merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima

sanksi yang berlaku

di

Universitas Islam Negeri CIn\$ Syarif Hidayatullatr

Jakarta.

Jakart4 03 Januari 2014


(5)

v

ABSTRAK

Ridwansyah Maulana. NIM : 109044100046. DAMPAK PENOLAKAN

ITSBAT NIKAH TERHADAP STATUS PERKAWINAN DAN ANAK (Studi

Analisis Penetapan Nomor 0244/Pdt.P/2012/PA.JS). Program Studi Hukum Keluarga, Konsentrasi Peradilan Agama, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 1434 H/2013 M. ix + 75 halaman 12 halaman lampiran.

Skripsi ini bertujuan untuk mengetahui kebijakan hakim dalam memutus suatu perkara, khususnya tentang itsbat nikah dan dampak penolakan itsbat nikah terhadap perkawinan dan anak. Karena masih sedikit sekali pengetahuan masyarakat mengenai pentingnya melakukan nikah tidak dicatatkan oleh pegawai pencatat nikah dan tercatat di KUA.

Metode yang digunakan adalah analisis kualitatif dengan Penelitian kepustakaan (library research) dari buku fikih dan hukum-hukum positif serta wawancara dengan hakim yang memutus sebagai pendukung penelitian.

Kesimpulan penelitian ini adalah perkawinan atau pernikahan tidak sah apabila syarat dan rukun nikahnya tidak terpenuhi. Salah satunya yaitu saksi. Saksi menjadi peranan penting dalam perkawinan. Karena orang yang menyaksikan memberitahu tentang apa yang disaksikan dan dilihatnya. Pernikahan sah apabila disaksikan oleh dua orang saksi, dua orang laki-laki maupun satu orang laki-laki dan dua orang perempuan.

Adapun dampak penolakan istbat nikah yaitu: dampak yang akan datang dapat menimbulkan mudharrat oleh pihak yang telah mengajukan itsbat nikah di Pengadilan, antara lain: 1. Tidak ada kepastian hukum 2. Tidak bisa dilindungi dari adanya upaya-upaya negatif dari pihak-pihak yang bertanggung jawab 3. Menimbulkan mudharrat terhadap isteri dan /atau anak yang dilahirkan terkait dengan hak-hak mereka seperti nafkah dan hak waris apabila ada perselisihan di kemudian hari 4. Akibatnya dirasakan pada hak-hak sipil keperdataan anak yang lahir dari pasangan suami isteri.

Kata kunci : Penolakan Itsbat Nikah, Perkawinan, dan Anak. Pembimbing : Dr. H. Supriyadi Ahmad, M.A. Daftar pustaka : 1995-2013


(6)

vi

wa ta’ala yang telah memberikan petunjuk dan kemudahan kepada penulis, sehingga berkat pertolongan-Nya dapat menyelesaikan skripsi ini. Shalawatserta salam penulis haturkan kepada Nabi Muhammad SAW. beserta keluarga, sahabat dan umat-Nya.

Skripsi ini penulis persembahkan kepada ayahanda Melih H.M. dan Ibunda Karnamah yang tidak pernah berhenti memberikan motivasi, bimbingan, kasih sayang dan doa. Semoga Allah subhanahu wa ta'ala melimpahkan rahmat dan kasih sayang kepada mereka.

Skripsi ini disusun untuk memenuhi persyaratan dalam meraih gelar Sarjana

Syari’ah (S.Sy) pada Konsentrasi Peradilan Agama, Fakultas Syariah dan Hukum

Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Dalam penyusunan skripsi ini, penulis tidak akan dapat menyelesaikanya jika tanpa dukungan, bantuan dan saran dari berbagai pihak, terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya penulis sampaikan dengan tulus kepada :

1. Bapak Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH., MA., MM Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, sebagai motivator penulis selama ini.


(7)

vii

2. Bapak Drs. H. A. Basiq Djalil, SH., MA., Ketua Program Studi Hukum Keluarga dan Ibu Hj. Rosdiana, MA., Sekretaris Program Studi Hukum Keluarga Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Bapak Dr. H. Supriyadi Ahmad, M.A., Dosen pembimbing skripsi yang

tidak pernah lelah membimbing, mengarahkan dan memotivasi dalam penyelesaian skripsi ini.

4. Ibu Sri Hidayati, M.Ag sebagai Dosen Pembimbing Akademik yang mengarahkan penulis sejak awal masuk perkuliahan.

5. Ibu yanti, terima kasih atas bantuan administrasi pengurusan skripsi dari awal hingga akhir.

6. Dosen-dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah membimbing penulis dari awal masuk hingga bisa menyelesaikan skripsi ini dan Staf-staf/Karyawan yang membantu proses administrasi penulis.

7. Seluruh staff Pengadilan Agama Jakarta Selatan, khususnya Bapak Fahrurozi, S.H. Panitera Muda Hukum dan Ibu Dra. Hj. Athiroh Muchtar, S.H., M.H.

8. Pegawai Perpustakaan Utama dan Perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang memberikan kemudahan dalam mengumpulkan referensi kepada penulis.

9. Kakanda Agus Rahmadi selalu memberikan motivasi dan dukungan dalam berbagai hal sehingga penulis bersemangat. Dan sepupu Arben tak lupa.


(8)

viii

11.Yuni Herliawati Lubis, terima kasih atas support dan doanya.

12.Keluarga Besar Alm Bapak. H. Mahmud dan Keluarga Besar Bapak

Batong Bo’o selalu memberikan dorongan semangat yang tak terhingga,

dari materi maupun doa.

13.Teman-teman Keluarga Besar Peradilan Agama angkatan 2009 kelas A dan B yang menjadi teman seperjuangan. Khusus kepada Mufti, Syaefudin, Helmi, Rouf, Ihsan, Mamduh, Iyas, Fauzan, Yusuf, Kosim, Eni, Fajar, Jefri, Rudini, Fahmi, Fikri, Awal, Reza, Najwa, Dewi, Farhan, Icha, Lia, Marjuki dan Sarah. Terima kasih atas pinjaman buku dan motivasinya. Kenangan indah yang tidak akan terlupakan bersama kalian selamanya.

Tidak ada yang dapat penulis berikan atas balas jasa dan dukungannya, hanya doa semoga Allah SWT. memberikan ganjaran yang berlipat ganda kepada semua pihak yang telah membantu penulis dalam penyelesaian skripsi ini.

Ciputat, 03 Januari 2014


(9)

ix

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii

LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI ... iii

LEMBAR PERNYATAAN ... iv

ABSTRAK ... v

KATA PENGANTAR ... vi

DAFTAR ISI ... ix

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ... 5

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 6

D. Review Studi Terdahulu ... 8

E. Metodologi Penelitian ... 10

F. Sistematika Penulisan ... 13

BAB II PERKAWINAN MENURUT FIKIH DAN HUKUM POSITIF A. Perkawinan Menurut Fiqih ... 15


(10)

x

NIKAH

A. Nikah Sirri……….………... 48

B. Itsbat Nikah dan Landasan Hukumnya ... 52

C. Fatwa MUI Tentang Nikah di Bawah Tangan ... 59

BAB IV ANALISIS PENETAPAN Nomor 0244/Pdt.P/2012/PA.JS A. Deskripsi Putusan Perkara ... 63

B. Kebijakan Hakim Dalam Memutus Perkara ... 65

C. Analisis Penulis ………..………68

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ……….…………..…..…….. 71

B. Saran ………...………72

DAFTAR PUSTAKA ... 74


(11)

1

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

Perkawinan menurut Hukum Islam sebagaimana ditegaskan dalam KHI (Kompilasi Hukum Islam) sama artinya dengan pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau mitsaqan ghalidzan untuk mentaati perintah Allah SWT dan melaksanakannya sebagai ibadah.1

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Pasal 1 ayat

(1) dinyatakan bahwa: “Perkawinan adalah ikatan lahir bathin antara seorang pria

dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.2

Dalam pasal 2 ayat 1 ini, kita tahu bahwa sebuah perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. Ini berarti bahwa jika suatu perkawinan telah memenuhi syarat dan rukun nikah atau ijab kabul telah dilaksanakan (bagi umat Islam) maka perkawinan tersebut adalah sah terutama di mata agama dan kepercayaan masyarakat. Tetapi sahnya perkawinan ini di mata agama dan kepercayaan masyarakat perlu disahkan lagi oleh negara, yang dalam hal ini ketentuannya terdapat pada Pasal 2 ayat 2

1

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam, Bandung: Citra Umbara, 2007. h. 282.

2


(12)

Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan yang di dalamnya terdapat tentang pencatatan perkawinan.3

Untuk mencapai ikatan lahir batin yang kuat seperti yang dimaksud di atas, Undang-Undang Perkawinan pasal 2 ayat (2) telah menentukan keharusan adanya pencatatan pada tiap-tiap perkawinan, pencatatan perkawinan bertujuan

untuk menjamin ketertiban dan kepastian hukum. Pasal tersebut berbunyi: “Tiap -tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku”.4

Pencatatan perkawinan merupakan suatu upaya yang diatur melalui perundang-undangan, untuk melindungi martabat dan kesucian perkawinan, dan lebih khusus lagi perempuan dalam kehidupan rumah tangga. Melalui pencatatan perkawinan yang dibuktikan dengan akta nikah, yang masing-masing suami dan istri, atau salah satunya tidak bertanggung jawab, maka yang lain dapat melakukan upaya hukum guna mempertahankan atau memperoleh hak masing-masing. Karena dengan akta tersebut, suami dan istri memiliki bukti otentik atas perbuatan hukum yang telah mereka lakukan.5

Persoalan muncul ketika perkawinan yang dilakukan oleh mereka tidak dicatatkan sehingga tidak medapatkan akta nikah. Di dalam Undang-Undang No.

1 Tahun 1974 Pasal 2 ayat (2) sudah ditegaskan bahwa, “Tiap-tiap perkawinan

3 “Analisis

Yuridis Status Hukum Istri yang menikah di Bawah Tangan Berdasarkan Ketentuan Yang Berlaku Tentang Perkawinan”, artikel ini diakses pada 23 Maret 2013 dari https://intanghina.wordpress.com/2008/05/27/analisis-yuridis-status-hukum-istri-yang-menikah-di-bawah-tangan-berdasarkan-ketentuan-yang-berlaku-tentang-perkawinan.

4

Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, Pasal: 2.

5

Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995) Cet Ke-1, h. 108.


(13)

3

dicatat menurut peeraturan perundang-undangan yang berlaku”.6 Ayat 2 Pasal (2) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 di atas dipertegas lagi dalam Kompilasi

Hukum Pasal 5 ayat (1), “Agar terjamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat Islam setiap perkawinan harus dicatat”. Yang mana teknik pelaksanaannya dijelaskan dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 6 yaitu, (1) Untuk memenuhi ketentuan dalam pasal 5, setiap perkawinan harus dilangsungkan di hadapan dan di bawah pengawasan Pegawai Pencatat Nikah (2) Perkawinan yang dilakukan diluar pengawasan pegawai pencatat nikah tidak mempunyai kekuatan hukum.7

Bagaimanapun juga pencatatan perkawinan itu sangat besar maslahahnya bagi umat manusia, lebih-lebih di era globalisasi sperti sekarang ini. Adapun oknum-oknum yang tidak mencatat perkawinannya karena mungkin perkawinan

yang dilakukan bermasalah, misalnya melaksanakan nikah mut’ah, kawin sirri,

atau melakukan poligami liar dan sebagainya, pasangan tersebut tidak mempunyai akta perkawinan yang sah, untuk itu memerlukan pengukuhan kembali terhadap perkawinan yang sudah dilakukan yang lebih dikenal dengan istilah itsbat nikah.8

Melalui pencatatan perkawinan yang dibuktikan dengan akta nikah, yang masing-masing suami istri mempunyai salinannya. Namun dalam prakteknya, tak dapat dipungkiri bahwa sampai sekarang masih sering terjadi perkawinan yang

6

Depatemen Agama, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975, Serta Kompilasi Hukum Islam, (Jakarta: 2004), h. 14.

7

Ibid, h. 129.

8

Yayan Sofyan, “Itsbat Nikah Bagi Perkawinan Yang Tidak Dicatat Setelah Diberlakukan UU. No. 1 Tahun 1974 Di Pengadilan Agama Jakarta Selatan”, Ahkam IV, no. 8 (2002): h. 70.


(14)

dilakukan secara “Ilegal” yang sering juga disebut dengan nikah sirri “perkawinan

di bawah tangan” karena tidak di catat secara resmi oleh pegawai pencatat nikah.9

Itsbat nikah adalah penetapan nikah yang tidak terdaftar di Pengadilan Agama setempat. Apabila suatu kehidupan suami istri berlangsung tanpa akta nikah karena adanya suatu sebab, Kompilasi Hukum Islam membuka kesempatan kepada mereka untuk mengajukan permohonan itsbath nikah (penetapan nikah) kepada Pengadilan Agama sehingga yang bersangkutan mempunyai kekuatan hukum dalam ikatan perkawinannya. Pasal 7 ayat (2) mengungkapkan sebagai berikut:

Ayat (2). Dalam hal perkawinan tidak dapat dibuktikan dengan akta nikah, dapat diajukan itsbat nikahnya ke Pengadilan Agama.

Melihat penjelasan di atas, kita memahami bahwa Pengadilan Agama

mempunyai sebuah wewenang dalam menangani “itsbat nikah” pernikahan di

bawah tangan. Masalah yang muncul kemudian adalah bagaimana dan kenapa itsbat nikah yang di tolak oleh Pengadilan Agama yang disebabkan saksinya 1 (satu) orang laki-laki dan selebihnya perempuan, dan hakim meragui akan lafadz ijab kabul yang telah dilaksanakan akadnya itu oleh amil. Terkait dengan hal tersebut, bagaimana kedudukan beberapa anak kandung yang disebabkan ditolaknya itsbat nikah tersebut.

Kendati belum ditopang oleh penelitian resmi, fakta dilapangan banyaknya pasangan suami istri yang baru menyadari akan pentingnya pencatatan

9


(15)

5

perkawinan ketika dihadapkan oleh problematika hukum misalnya, ketika terjadi perceraian, pihak perempuan tidak dapat menuntut pembagian harta bersama, hak waris, perwalian anak, akta kelahiran anak, dan lain sebagainya. Dengan demikian eksistensi itsbat nikah sangat perlu pada setiap warga negara yang tidak didaftarkan dan dicatatkan di Kantor Urusan Agama (KUA) setempat karena ketidaksadaran masyarakat akan hal itu.

Dengan demikian dengan dampak negatif dari maraknya pernikahan di bawah tangan, terutama pihak pasangan suami istri dan anaknya, termasuk di antaranya tentang penolakan permohonan itsbat nikah yang diajukan ke Pengadilan Agama, maka penulis tertarik untuk mengangkat dalam sebuah penelitian dengan judul “DAMPAK PENOLAKAN ITSBAT NIKAH TERHADAP STATUS PERKAWINAN DAN ANAK (Study Analisis Penetapan Nomor 0244/Pdt.P/2012/PA.JS)”.

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah

1. Pembatasan Masalah

Dalam penulisan ini, penulis mengemukakan masalah pernikahan di bawah tangan (tidak tercatat) dan praktek pelaksanaan itsbat nikah seperti diatur dalam peraturan perundang-undangan menurut konteks hukum Islam dan hukum positif. Mengingat luasnya pembahasan mengenai hal itu, maka penulis membatasi pembahasan pada praktek itsbat nikah dari pernikahan di bawah tangan dengan menganalisa putusan dan kebijakan hakim dalam memutus perkara yang ditetapkan oleh Pengadilan Agama Jakarta Selatan Nomor


(16)

0244/Pdt.P/2012/PA.JS tentang penetapan itsbat nikah yang tidak dapat diterima oleh Pengadilan Agama Jakarta Selatan.

2. Perumusan Masalah

Dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 7 ayat (2) dan (3) yang menjelaskan kesempatan peluang bagi pelaku nikah di bawah tangan untuk mengisbathkan nikahnya di Pengadilan Agama untuk dicatatkan dan mendapatkan akta nikah. Sedangkan Pengadilan tidak dapat menerima itsbat nikah pelaku.

Agar lebih terperinci perumusan masalahnya adalah sebagai berikut: a. Bagaimana alasan Hakim tidak menerima Itsbat Nikah Yang Diajukan

Dengan perkara Nomor 0244/Pdt.P/2012/PA.JS?

b. Bagaimana status Perkawinan dan Anak setelah dan sebelum dilaksanakannya itsbat nikah dan tidak diterimanya itsbat tersebut oleh Pengadilan Agama Jakarta Selatan?

c. Bagaimana Kedudukan Saksi Dalam Perkawinan?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah

a. Pertimbangan apa saja yang diambil oleh hakim Pengadilan Agama Jakarta Selatan dalam memberikan putusan atas penolakan itsbat nikah, khususnya dalam masalah tersebut.

b. Untuk mengetahui status Perkawinan dan Anak setelah dan sebelum dilaksanakannya itsbat nikah dan ditolaknya itsbat tersebut oleh Pengadilan Agama Jakarta Selatan.


(17)

7

c. Untuk mengetahui kedudukan saksi dalam perkawinan dalam amar putusan hakim.

2. Manfaat Penelitian

Untuk memberikan hasil penelitian yang bergunam serta diharapkan mampu menjadi dasar secara keseluruhan untuk dijadikan pedoman bagi pelaksanaan secara teoritis maupun praktis, maka penelitian ini sekiranya dapat bermanfaat diantaranya :

a. Untuk memberikan wawasan dan pemahaman kepada masyarakat luas mengenai perkawinan yang tidak dicatatkan oleh PPN (Pegawai Pencatat Nikah) dan kaitannya dalam konsep itsbat nikah dalam perkawinan.

b. Dapat memberikan sumbangan pemikiran terhadap kemajuan perkembangan ilmu yang menyangkut pemahaman urgensi pernikahan yang tidak dicatatkan bagi calon pengantin.

c. Untuk memberikan kontribusi yang positif terhadap pembaca dan para mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum sebagai bagian dari peningkatan kualitas intelektual atau pengetahuan (sains).

d. Untuk memberikan masukan tambahan serta menambah cakrawala wawasan bagi mahasiswa atau kaum akademisi yang akan bergerak sebagai praktisi hukum kelak.

e. Untuk menjadi bahan pertimbangan bagi siapa saja khususnya pembaca yang berkepentingan dengan penanganan pernikahan sirri.

f. Untuk dijadikan pedoman atau referensi dalam hal-hal yang berhubungan dengan prosedur Itsbat Nikah dari pernikahan sirri.


(18)

D. Review Studi Terdahulu

Pembahasan dalam penelitian ini penulis melakukan tela’ah studi terdahulu pada hasil penelitian yang pembahasannya menyerupai dengan pembahasan yang akan di angkat oleh penulis yaitu:

No. IDENTITAS JUDUL PEMBEDA

1. Indro

Wibowo/20704410042 5/Peradilan

Agama/Syariah dan Hukum/2011 M

Itsbat Nikah Dalam Perkawinan (Analisis Yuridis Penetapan Nomor :

083/Pdt.P/2010/PA. JS

Indro Wibowo hanya membahas kebijakan hakim memberikan penetapan itsbat nikah dan alasan yang

menyebabkan itsbat nikah yang dilakukan oleh M. Nasir bin Marmin dan Dahliana binti Matsanih mengajukan itsbat nikah, dan pertimbangan hakim. Sedangkan Penulis membahas dan mengkaji putusan (penetapan) itsbat nikah yang ditolak dengan alasan kesaksian dan shigot lafaz kurang memenuhi syarat. Perkawinan yang

dilangsungkan sebelum lahir UU. No. 1 Tahun 1974. 2. Rifqy

Yatunnisa/106043101 316/Perbandingan Madzhab

Fiqih/Syariah dan

Praktek Itsbat Nikah Pernikahan Sirri (Analisis Putusan Hakim Peradilan Agama Jakarta Selatan

Rifqi Yatunnisa hanya membahas menganalisis perbandingan putusan perkara setelah tahun 1974, dan menganalisis akan kurang


(19)

9

Hukum/2010 M Nomor

10/Pdt.P/2007/PA.JS dengan Nomor

040/Pdt.P/2008/PA.JS)

tepatnya pertimbangan hakim dalam menerima itsbat nikah setelah tahun 1974. Sedangkan Penulis membahas dan

mengkaji putusan (penetapan) itsbat nikah yang ditolak dengan alasan kesaksian dan shigot lafaz kurang memenuhi syarat. Perkawinan yang dilangsungkan sebelum lahir UU. No. 1 Tahun 1974. 3. Ria

Amaliyah/1050442014 63/Administrasi Keperdataan Islam/Syariah dan Hukuam/2009 M

Dampak Penolakan Itsbat Nikah Terhadap Hak Perempuan

Ria Amaliyah hanya membahas tentang studi analisis perkara Nomor 46/Pdt.P/2008/PA.Tgrs yakni pemohon perempuan di poligami ingin di itsbatkan pernikahannya ke Pengadilan Agama Tigaraksa akan tetapi di tolak. Sedangkan Penulis membahas dan mengkaji putusan (penetapan) itsbat nikah yang ditolak dengan alasan kesaksian dan shigot lafaz kurang memenuhi syarat. Perkawinan yang

dilangsungkan sebelum lahir UU. No. 1 Tahun 1974.


(20)

E. Metodologi Penelitian

Dalam penelitian ini untuk mendapatkan hasil yang maksimal dan untuk membuat karya ilmiah yang baik dan bermanfaat, Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah :

1. Jenis Penelitian dan Pendekatan

Jenis penelitian yang digunakan dalam penyusunan skripsi ini, adalah Penelitian Kepustakaan (library research) yaitu penelitian yang dilakukan dengan mengkaji, menganalisa serta merumuskan buku-buku, literatur dan yang lainnya yang ada relevansinya dengan judul skripsi ini.

Sedangkan pendekatan yang dilakukan dalam penyusunan skripsi ini antara lain:

a. Pendekatan normatif, yaitu analisis data didekati dari norma-norma hukum, maksudnya mengalisa dalil dan metode penetapan hukum yang digunakan dalam al-Quran, hadits Nabi dan Fiqih.

b. Pendekatan kualitatif sebagai prosedur yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis.

2. Data Penelitian


(21)

11

Penelitian kepustakaan merupakan metode penelitian yang dimaksudkan untuk mendapatkan dasar teori dalam memecahkan suatu masalah yang timbul dengan menggunakan bahan-bahan :

1) Bahan Primer

Merupakan bahan utama yang dijadikan pedoman dalam penelitian yang terdiri dari :

a) Kitab-kitab Fiqih

b) Buku-buku Fiqih

c) Buku kaidah Fiqih

d) Kitab KHI

e) Peraturan Perundang-Undangan

2) Bahan Sekunder

Bahan-bahan yang memberikan penjelasan mengenai kajian terkait, yang terdiri dari :

a) Buku-buku

b) Artikel Ilmiah

c) Arsip-arsip terkait yang mendukung


(22)

3. Teknik Pengumpulan Data

Dalam penelitian ini pengumpulan data dilakukan dengan :

a. Studi Kepustakaan

Studi kepustakaan, yaitu pengumpulam data dengan mencari konsepsi-konsepsi, teori-teori, pendapat atau penemuan yang berhubungan erat dengan pokok permasalahan. Kepustakaan berupa Kitab atau buku Fiqih, Karya ilmiah para sarjana, laporan lemabaga dan sumber-sumber lainnya.

b. Wawancara (Intervew)

wawancara atau interview merupakan tanya jawab secara lisan dimana dua orang atau lebih berhadapan secara langsung. Dalam proses interview ada dua pihak yang menempati kedudukan yang berbeda. satu pihak berfungsi sebagai pencari informasi atau interviewer sedangkan pihak lain berfungsi sebagai pemberi informasi atau informan (Responden).10

Wawancara dilakukan penulis dengan salah satu Penetapan Pengadilan Agama Jakarta Selatan/ Nomor 0244/Pdt.P/2012/PA.JS kepada hakim.

4. Metode Analisis

Metode yang digunakan dalam menganalisa data adalah dengan menggunakan metode analisis kualitatif. Analisis kualitatif adalah suatu cara penelitian yang menghasilkan data deskriptif analisis. Dari semua data yang

10

Soemitro Romy H, Metode Penelitian Hukum dan Jurimetri (Jakarta:Ghalia Indonesia, 1990), h. 71.


(23)

13

terkumpul yang selanjutnya akan diolah untuk menjawab dari rumusan masalah yang ada.

5. Teknik Penulisan

Dalam penulisan dan penyusunan skripsi ini, penulis berpedoman pada prinsip-prinsip yang telah diatur dan dibukukan dalam buku pedoman penulisan

skripsi Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2012.

F. Sistematika Penulisan

Dalam penelitian agar menjadi lebih terarah, penulis melakukan sistematika punulisan ke dalam lima bab, masing-masing terdiri dari sub-bab menganai penelitian terkait. Sistematika yang penulis lakukan adalah sebagai berikut :

Untuk Sistematika dalam penulisan ini, penulis membagi pembahasan menjadi empat bab, dan tiap-tiap bab terdiri dari beberapa sub bagian.

Adapun sistematika ini diuraikan sebagai berikut:

BAB I adalah Pendahuluan, dalam bab ini yang memuat tentang latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, review studi terdahulu, metodologi penelitian dan sistematika penulisan.

BAB II membahas tentang Tinjauan Umum Tentang Perkawinan menurut Hukum Islam dan Hukum Positif, dalam bab ini membahas Pernikahan Menurut


(24)

Hukum Islam dan Hukum Positif, Syarat dan Rukun Nikah Dalam Fikih dan Hukum Positif, Saksi dalam Perkawinan.

BAB III membahasa tentang Teori Umum Pernikahan Sirri, Itsbat Nikah, dalam bab ini membahas Pengertian pernikahan sirri dan itsbat nikah yang meliputi pasal-pasal terkait dan landasan hukumnya.

BAB IV membahas Deskripsi Putusan Perkara, Nomor

0244/Pdt.P/2012/PA.JS, kebijakan hakim dalam memutus perkara, Analisis Penulis.

BAB V adalah Penutup, dalam bab ini merupakan penutup kajian ini, dalam bab ini penulis akan menyimpulkan berkaitan dengan pembahasan yang penulis lakukan sekaligus menjawab rumusan masalah yang penulis gunakan dalam bab. Uraian terakhir adalah saran yang dapat dilakukan untuk kegiatan lebih lanjut berkaitan dengan apa yang telah penulis kaji.


(25)

15

BAB II

PERKAWINAN MENURUT FIKIH DAN HUKUM POSITIF A. Perkawinan Menurut Fikih

1. Pengertian Perkawinan

Nikah, menurut bahasa: al-jam‟u dan al-dhamu yang artinya kumpul. Makna nikah (Zawaj) bisa diartikan dengan aqdu al-tazwij yang artinya akad nikah. Juga bisa diartikan (wath‟u al-zaujah) bermakna menyetubuhi istri. Definisi yang hampir sama dengan di atas juga dikemukakan oleh Rahmat Hakim,

bahwa kata nikah berasal dari bahasa Arab “nikahun” yang merupakan masdar

atau asal kata dari kata kerja (fi‟il madhi) “nakaha”, sinonimnya “tazawwaja

kemudian diterjemahkan dalam bahasa Indonesia sebagai perkawinan. Kata nikah sering juga dipergunakan sebab telah masuk dalam bahasa Indonesia.1

Beberapa penulis juga terkadang menyebut pernikahan dengan kata perkawinan. Dalam bahasa Indonesia, “perkawinan” berasal dari kata “kawin”, yang menurut bahasa, artinya membentuk keluarga dengan lawan jenis;

melakukan hubungan kelamin atau bersetubuh”2Istilah “kawin” digunakan secara

umum, untuk tumbuhan, hewan, dan manusia, dan menunjukkan proses generatif secara alami. Berbeda dengan itu, nikah hanya digunakan pada manusia karena mengandung keabsahan secara hukum nasional, adat istiadat, dan terutama

1

H.M.A Tihami dan Sohari Sahrani. Fikih Munakahat: Kajian Fikih Nikah Lengkap. (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2009), h. 7.

2

Anonimous, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1994), h. 456.


(26)

menurut agama. Makna nikah adalah akad atau ikatan, karena dalam suatu proses pernikahan terdapat ijab (pernyataan penyerahan dari pihak perempuan) dan Kabul (pernyataan penerimaan dari pihak lelaki). Selain itu, nikah bisa juga diartikan sebagai bersetubuh.3

Adapun menurut syarak: nikah adalah akad serah terima antara laki-laki dan perempuan dengan tujuan untuk saling memuaskan satu sama lainnya dan untuk membentuk sebuah bahtera rumah tangga yang sakinah serta masyarakat yang sejahtera. Para ahli fikih berkata, zawwaj atau nikah adalah akad yang secara keseluruhan di dalamnya mengandung kata; inkah atau tazwij. Hal ini sesuai dengan ungkapan yang ditulis oleh Zakiyah Darajat dan kawan-kawan yang memberikan definisi perkawinan sebagai berikut:

دقَع

ّ َ تَ

َحَابإ

ئط

ظ لب

حاك نلا

ج تلا أ

أ

ا ان عَم

“Akad yang mengandung ketentuan hukum kebolehan hubungan kelamin

dengan lafaz nikah atau tazwij atau yang semakna keduanya”.

Dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Bab I Pasal 1 disebutkan

bahwa: “Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang

wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga)

yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Dengan

demikian, pernikahan adalah suatu akad yang secara keseluruhan aspeknya

3

H.M.A Tihami dan Sohari Sahrani. Fikih Munakahat: Kajian Fikih Nikah Lengkap. (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2009), h. 7.


(27)

17

dikandung dalam kata nikah atau tazwij dan merupakan ucapan seremonial yang sakral.4

B. Perkawinan Menurut Hukum Positif

1. Arti perkawinan

Menurut Paul Scholten, Perkawinan adalah suatu hubungan hukum antara seorang pria dan seorang wanita untuk hidup bersama dengan kekal yang diakui oleh negara.

Terdapat perbedaan konsepsi perkawinan antara BW dan UU Perkawinan. BW mennganut konsepsi perkawinan perdata, artinya menurut BW suatu perkawinan itu adalah sah bila telah dilangsungkan berdasarkan ketentuan undang dan telah memenuhi syarat-syarat yang digariskan oleh undang-undang. Hal sedemikian sesuai dengan perumusan pasal 26 BW yang berbunyi

“Undang-undang memandang soal perkawinan hanya dalam hubungan-hubungan

perdata”.5

Sedangkan konsepsi perkawinan menurut UU Pekawinan pada pokoknya adalah:

(1) Ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri

4

Ibid., h. 8.

5

Kama Rusdiana dan Jaenal Arifin. Perbandingan Hukum Perdata. (Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Jakarta dengan UIN Jakarta Press, 2007), h. 4.


(28)

(2) Dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa

2. Syarat Perkawinan Menurut Hukum Perdata

Syarat Perkawinan ialah segala hal mengenai perkawinan yang harus dipenuhi berdasarkan peraturan perundang-undangan sebelum pernikahan dilangsungkan.

Persyaratan Perkawinan menurut BW dibedakan menjadi dua yaitu: (a) syarat internal dan (b) syarat eksternal.6

a. Syarat Internal

Syarat intern merupakan syarat terhadap para pihak terutama mengenai

kehendak, wewenang dan persetujuan orang lain yang diperlukan oleh para pihak untuk mengadakan perkawinan.

Syarat intern ini dapat dibedakan lagi menjadi syarat internal mutlak dan syarat internal relative yaitu:

1) Syarat Internal Mutlak

Syarat internal mutlak berisikan syarat-syarat yang harus dipenuhi para pihak untuk dapat melangsungkan perkawinan. Bila syarat-syarat ini tidak terpenuhi maka perkawinan tidak dapat dilakukan7. Syarat internal mutlak terdiri dari:

a) Asas monogami mutlak (Pasal 27 BW);

6

Ibid., h. 7.

7


(29)

19

b) Persetujuan kedua belah pihak (Pasal 28 BW);

c) Mencapai batas umur tertentu, untuk laki-laki berumur 18 tahun sedang wanita berumur 15 tahun (Pasal 29 BW);

d) Lewat masa tunggu bagi wanita yang ingin menikah lagi, yaitu 300 hari (Pasal 34 BW);

e) Memperoleh izin kawin (Pasal 35 BW).

2) Syarat Internal Relatif

Syarat ini berarti bahwa dalam suatu keadaan tertentu mereka dapat melangsungkan perkawinan. Syarat internal relatif ini berisikan larangan-larangan perkawinan,8 yaitu:

a) Larangan perkawinan karena adanya hubungan kekeluargaan, karena hubungan darah dan hubungan perkawinan (Pasal 30 BW);

b) Larangan perkawinan karena salah satu pihak dijatuhi hukuman oleh hakin karena terbukti melakukan zina (Pasal 32 BW);

c) Larangan perkawinan karena adanya perkawinan terdahulu (Pasal 33 BW). b. Syarat Eksternal

Syarat eksternal adalah syarat-syarat dan formalitas yang harus dipenuhi oleh para pihak baik sebelum maupun pada waktu mereka melangsungkan perkawinan, misalnya pendaftaran ke kantor Catatan Sipil (KCS).

Persyaratan perkawinan menurut UU Perkawinan terdiri dari syarat materiil dan syarat formiil. Syarat materiil adalah syarat-syarat yang ada dan melekat pada diri pihak-pihak yang melangsungkan perkawinan, disebut juga

8


(30)

sebagai “syarat subyektif”. Syarat formiil ialah tata cara atau prosedur

melangsungkan perkawinan menurut agama dan undang-undang, disebut juga

sebagai “syarat obyektif”, adapun syarat materiil dan formiil yaitu:9

a. Syarat Materiil

UU Perkawinan dan peraturan pelaksanaannya telah menentukan syarat-syarat perkawinan sebagai berikut10:

1) Asas monogami relatif11 (Pasal 3 Ayat (1) UU Perkawinan); 2) Persetujuan bebas kedua belah pihak (Pasal 6 UU Perkawinan);

3) Mencapai batas umur, untuk laki-laki 19 tahun dan gadis 16 tahun (Pasal 7 ayat (1) UU Perkawinan);

4) Lewat masa iddah (Pasal 11 ayat (1) UU Perkawinan);

Masa iddah ini diatur perincian pada pasal 39 PP No. 9 Tahun 1975, yaitu: a) 130 hari, apabila perkawinan putus karena kematian;

b) 90 hari atau 3 X Quru’, apabila perkawinan putus karena perceraian; c) Sampai bayi dilahirkan, apabila perkawinan putus karena perceraian dan

isteri dalam keadaan hamil.

Masa iddah ini dihitung berdasarkan sejak jatuhnya putusan perkawinan yang telah in kracht van gewijsde untuk perkawinan yang putus karena

9

Kama Rusdiana dan Jaenal Arifin. Perbandingan Hukum Perdata. Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Jakarta dengan UIN Jakarta Press, 2007.

10

Ibid., h. 8.

11

Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam, Himpunan Peraturan Perundang-undangan dalam Lingkungan Peradilan Agama, (Jakarta, al-Hikmah, 2001), h. 132


(31)

21

perceraian. Untuk yang putus karena kematian, dihitung sejak tanggal kematian.12

d) Tidak terhalang oleh larangan perkawinan.

Pasal 8 UU Perkawinan mengatur tentang larangan perkawinan bagi dua yang:

1) Berhubungan darah dalam garis keturunan lurus ke bawah ataupun ke atas; 2) Berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping yaitu antara saudara, antara seorang dengan saudara orang tua dan antara seorang dengan saudara neneknya;

3) Berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri menantu dan ibu/bapak tiri; 4) Berhubungan susuan, yaitu orang tua susuan, anak susuan, saudara susuan

dan bibi/paman susuan;

5) Berhubungan saudara dengan isteri atau sebagai bibi atau kemenakan dari isteri, dalam hal seorang suami beristeri lebih dari seorang;

6) Mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku, dilarang kawin.

b. Syarat Formiil

Syarat formiil sama halnya dengan syarat eksternal perkawinan menurut BW, yaitu syarat-syarat dan formalitas yang harus dipenuhi oleh para pihak baik sebelum maupun pada waktu mereka melangsungkan perkawinan.13

12

Ibid., h. 9.

13

Kama Rusdiana dan Jaenal Arifin. Perbandingan Hukum Perdata. (Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Jakarta dengan UIN Jakarta Press, 2007), h. 9.


(32)

Pasal 3 dan 4 PP No. 9 Tahun 1975 mengatur bahwa setiap orang yang akan melangsungkan perkawinan memberitahukan kehendaknya itu kepada pegawai pencatat di tempat perkawinan akan dilangsungkan, sekurang-kurangnya 10 hari kerja sebelum perkawinan dilangsungkan (Pasal 3). Pemberitahuan ini dilakukan secara tertulis atau lisan oleh calon mempelai, atau oleh orang tua, atau wakilnya (Pasal 4).14

Bagi yang beragama Islam pencatatan dilakukan di Kantor Urusan Agama (KUA) dan bagi yang beragama non Islam pencatatan dilakukan di Kantor Catatan Sipil (KCS).

C. Syarat dan Rukun Nikah

1. Menurut Fikih

Di dalam memahami jumlah rukun nikah, ada perbedaan pendapat di antara para ulama.

Menurut jumhur ulama, rukun nikah itu ada empat, yaitu (1) sighah (ijab

dan qabul), (2) calon isteri, (3) calon suami dan (4) wali. Ini berbeda dengan

Hanafiyah, yang mengatakan bahwa rukun nikah itu hanya ada dua yaitu ijab dan

qabul, tidak ada yang lain.15

Namun al-Jaziri mengatakan bahwa, sebenarnya menurut Malikiyah rukun nikah itu ada lima yaitu (1) wali, (2) mahar (harus ada tetapi tidak harus

14

Ibid., h. 9.

15Asrorun Ni’am

Sholeh. Fatwa-Fatwa Masalah Pernikahan dan Keluarga. (Jakarta: eLSAS, 2008), h. 13.


(33)

23

disebutkan pada saat akad), (3) suami, (4) isteri (suami dan isteri ini disyaratkan bebas dari halangan menikah seperti masih dalam masa iddah atau sedang ihram) dan (5) sighah.16

Sedangkan Syafi’iyah juga mengatakan rukun nikah ada lima namun sedikit berbeda dengan Malikiyah, yaitu (1) suami, (2) isteri, (3) wali, (4) dua saksi dan (5) sighah.

Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa ulama sepakat mengatakan bahwa ijab dan qabul adalah rukun nikah. Sementara, selain pada dua hal tersebut, mereka berbeda pendapat. Jumhur ulama mengatakan, rukun nikah selain ijab dan qabul adalah suami, isteri, dan wali. Sedangkan Syafi’iyah

berpendirian, selain keduanya rukun nikah yang lain adalah suami, isteri, wali, dan dua saksi. Adapun menurut Malikiyah, selain ijab dan qabul yang termasuk rukun nikah adalah suami, isteri, wali, dan mahar.

Untuk mengetahui lebih lanjut tentang rukun nikah, baik yang disepakati maupun yang tidak disepakati, maka berikut ini akan dijelaskan satu persatu.

a. Wali

Mengenai keabsahan nikah tanpa wali, ada dua pendapat di kalangan ulama.

Pendapat pertama oleh jumhur ulama, bahwa suatu pernikahan tidak sah tanpa keberadaan wali. Ini berdasarkan nash al-Qur’an dan hadits.

16

Abd Al-Rahman al-Jaziri, selanjutnya disebut al-Jaziri, al-Fiqh „Ala Madzahib al


(34)

Adapun nash al-Qur’an disebutkan dalam Surah al-Baqarah [2]: 232 berikut ini:







“Maka janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka kawin lagi dengan bakal suaminya”.17

Ayat di atas menunjukkan peran dan fungsi seorang wali, jika tidak maka

wewenang “menghalangi” dalam ayat di atas tidak punya arti apa-apa bagi seorang wali.

Juga berdasarkan hadis yang diriwayatkan oleh Abu Musa al-Asy’ari.:

ا

َحاك

ّاإ

ّ لَ ب

“Bahwa sebuah pernikahan tidak sah kecuali dengan wali.”(HR. Abu Daud).

Maksud dari hadis di atas adalah sebuah pernikahan tidak sah jika wali tidak ada, karena seorang wanita tidak punya kapasitas unutuk menikahkan dirinya tanpa adanya seorang wali atau mewakilkannya kepada orang lain jika wali berhalangan untuk menikahkannya, dan jika ia lakukan hal itu maka nikahnya tidak sah. Sebagaimana sabda Rasulullah Saw.:

ا أ

أَر ما

تَحكَ

ر َغب

إ

اَ ِ لَ

اَ حاك نف

ل طاَب

(

ا

بأ

د اد

(

“Bahwa wanita siapa saja yang menikah tanpa seizing walinya maka

nikahnya tidak sah.” (HR. Abu Daud).

Pendapat kedua dikemukakan oleh Hanafiyah, bahwa wanita berakal yang sudah baligh, baik gadis atau janda, dapat menikahkan dirinya dan anak perempuannya, dan boleh mewakilkannya kepada orang lain. Karena wali dalam

17


(35)

25

hal ini tidak wajib melainkan sunnah saja. Pendapat ini dinisbatkan kepada Abu Hanifah dan Abu Yusuf.

Dalil pendapat ini adalah Surah al-Baqarah [2]: 230 berikut:



“Kemudian jika si suami mentalaknya (sesudah Talak yang kedua), maka perempuan itu tidak lagi halal baginya hingga Dia kawin dengan suami yang lain.”

Dan Surah al-Baqarah [2]: 232 berikut:











“Apabila kamu mentalak isteri-isterimu, lalu habis masa iddahnya, Maka janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka kawin lagi dengan bakal suaminya.”

Menurut Hanafiyah, khitab (sasaran pembicaraan) dala ayat di atas adalah para suami dan bukan para wali sebagaimana pendapat jumhur. Selanjutnya disebutkan dalam Surah al-Baqarah [2]: 234 berikut:









“Kemudian apabila telah habis 'iddahnya, Maka tiada dosa bagimu (para wali) membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka18 menurut yang patut.”

Ayat ini sangat jelas menunjukkan kebolehan wanita menikahkan dirinya karena Allah meminta membiarkan mereka berbuat yang patut untuk diri mereka.

Selanjutnya Hanafiyah juga berargumen dengan hadis yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Abbas ra.:

18


(36)

بّ ثلا

قَحأ

اَ س َنب

م

اَ ّ لَ

ر ك لاَ

رَمأت س ت

اَ إَ

اَ ت ك س

(

ا

ملسم

.)

“Seorang janda lebih berhak menikahkan dirinya daripada walinya. Dan seorang gadis diminta persetujuannya, jika diam berarti ia telah setuju”. (HR. Muslim).

Hadis di atas lebih mempertajam eksistensi seorang wali dalam suatu pernikahan dan memperjelas lemahnya posisi wanita dalam masalah ini.

Selanjutnya Wahbah Zuhaili mengomentari hadis di atas. Zuhaili mengatakan bahwa, berdasarkan hadis tersebut seorang wanita tidak berhak menikahkan dirinya maupun orang lain, tidak punya peran dan sangkut paut dalam proses ijab dan qabul, tidak boleh menikahkan dirinya seizin maupun tidak seizin walinya, dan tidak boleh menikahkan orang lain baik kapasitasnya sebagai seorang wali maupun wakil wali.

b. Sighah (Ijab dan Qabul)

Adapun bentuk ijab dan qabul adalah apabila seorang wali nikah mengatakan, “Saya nikahkan engkau” atau “Saya kawinkan engkau”. Lalu si calon suami menjawab, “Saya terima nikahnya”. Atau, si calon suami mengatakan terlebih dahulu sebelum wali, “Saya menikahinya atau

mengawininya”, lalu wali menjawab, “Saya nikahkan atau saya kawinkan engkau

dengannya”. Maka dengan pernyataan itu nikah sudah dianggap sah.

Mengenai masalah ini, Abu Hanifah berpendapat bahwa seandainya seorang suami mengatakan sebelum wali dalam sighah, “Saya menikahi putri


(37)

27

akadnya sah secara hukum, tetapi tidak dibolehkan karena mendahulukan sighah

qabul daripada ijab karena seharusnya ijab didahulukan dari qabul.

Dalam hubungannya dengan lafaz nikah yang diucapkan saat akad, setidaknya ada tiga hal yang hendak dikemukakan yaitu pertama, lafaz yang disepakati penggunaannya dan disepakati tidak digunakan. Kedua perbedaan pendapat para ulama mengenai keabsahan akad yang diucapkan tidak menggunakan lafaz nikah dan zawaj, dan ketiga hukum menggunakan lafaz mengandung makna nikah tapi bukan dalam bahasa Arab.

1) Lafaz yang disepakati digunakan dan yang disepakati tidak digunakan.

Para ulama sepakat mengenai sahnya suatu akad yang dilakukan dengan menggunakan lafaz nikah dan lafaz zawaj berdasarkan nash al-Qur’an.

Adapun lafaz nikah, dijelaskan dalam Surah an-Nisa’ [4]: 22 berikut:



















“Dan janganlah kamu kawini wanita-wanita yang telah dikawini oleh ayahmu, terkecuali pada masa yang telah lampau. Sesungguhnya perbuatan itu Amat keji dan dibenci Allah dan seburuk-buruk jalan (yang ditempuh)”.

Dan lafaz zawaj, seperti yang disebutkan dalam Surah al-Ahzab [33]: 37 berikut:


(38)















“Maka tatkala Zaid telah mengakhiri keperluan terhadap Istrinya (menceraikannya), Kami kawinkan kamu dengan dia19 supaya tidak ada keberatan bagi orang mukmin untuk (mengawini) isteri-isteri anak-anak angkat mereka, apabila anak-anak angkat itu telah menyelesaikan keperluannya daripada isterinya20. dan adalah ketetapan Allah itu pasti terjadi”.

Kedua ayat di atas memberi keterangan yang jelas tentang penggunaan lafaz nikah dan lafaz zawaj.

Sedangkan lafaz-lafaz yang disepakati oleh ulama tentang ketidakabsahan akad nikah jika menggunakannya adalah lafaz yang tidak mengandung maksud kepemilikan atau hanya mengandung unsure kepemilikan yang bersifat sementara, seperti al-ibahah (membolehkan), al-i‟arah (meminjamkan), al-ijarah

(menyewakan), al-mut‟ah (menikmati), al-wasiyah (mewasiatkan), al-rahn

(menggadai), al-wadi‟ah (menitip) dan lain-lain.

2) Akad Selain Lafaz Nikah

Dalam menggunakan lafaz selain nikah dan zawaj pada saat ijab dan

qabul, terdapat perbedaan di antara para ulama yang terbagi ke dalam dua

pendapat.

19

Maksudnya: setelah habis idahnya.

20

Yang dimaksud dengan orang yang Allah telah melimpahkan nikmat kepadanya ialah Zaid bin Haritsah. Allah telah melimpahkan nikmat kepadanya dengan memberi taufik masuk Islam. Nabi Muhammadpun telah memberi nikmat kepadanya dengan memerdekakan kaumnya dan mengangkatnya menjadi anak. ayat ini memberikan pengertian bahwa orang boleh mengawini bekas isteri anak angkatnya.


(39)

29

Pendapat pertama oleh ulama Hanafiyah dan Malikiyah, bahwa lafaz ijab

dan qabul selain dua lafaz di atas (nikah dan zawaj) yang mengandung arti

kepemilikan akan sesuatu adalah sah, seperti lafaz hibah (pemberian), at-tamlik

(memiliki), al-sadaqah (bersedekah), al-tiyyah (pemberian), dan lain-lain. Tetapi dengan syarat niat nikah atau diketahui maksudnya oleh para saksi.

Alasan-alasan yang dikemukakan pendapat ini adalah:

a) Terdapat penggunaan kata hibah dalam al-Qur’an Surah al-Ahzab [33]: 50 berikut:

















“Dan perempuan mukmin yang menyerahkan dirinya kepada Nabi kalau Nabi mau mengawininya, sebagai pengkhususan bagimu, bukan untuk semua orang mukmin.”

b) Penggunaan lafaz tamlik sebagaimana sabda Rasulullah Saw. yang

diriwayatkan oleh Sahl bin Sa’ad ra. :

ق

سرلا

لَص

ه

ه لَع

َمّلَسَ

ل جَر ل

مل

ك ل َ

ًااَم

ه مِدَق

اًر َم

:

دق

اَ َت كلَم

اَ ب

َكَعَم

َ م

أ رقلا

(

ا

اخ ل

.)

“Sabda Rasulullah Saw. kepada seorang laki-laki yang tidak mempunyai harta

untuk dijadikan mahar, lalu Nabi berkata kepadanya: “Aku telah memilikkan

(menikahkan) kamu dengannya, dengan apa yang kamu hafal dari ayat

al-Qur’an.” (HR. Bukhari).21

21


(40)

c) Suatu lafaz dapat digunakan dengan tujuan majaz22 karena bentuk majaz

tidak terbatas penggunaannya dalam lafaz-lafaz bahasa saja tetapi berlaku juga dalam lafaz-lafaz syar‟i.

d) Sighah adalah setiap perkataan yang mengandung saling rela dan

menerima dari calon suami, wali atau yang mewakili keduanya seperti

perkataan, “Saya menikahkan”, “Memberikan (hibah)”, Mensedekahkan”,

dan lain-lain sambil menyebutkan mahar.

Pendapat kedua, oleh ulama Syafi’iyah dan Hanabilah, yang mengatakan

bahwa akad tidak sah apabila diucapkan selain lafaz nikah dan zawaj karena keduanya telah disebutkan dalam al-Qur’an. Karena itu, seharusnya cukup hanya menggunakan keduanya tanpa membolehkan menggunakan lafaz yang lain.

Alasan pendapat ini adalah:

a) Penggunaan dua lafaz ini (nikah dan zawaj) terdapat dalam al-Qur’an yang telah disebutkan sebelumnya.

b) Berdasarkan sabda Nabi Saw. yang diriwayatkan Jabir bin „Abdillah ra. :

َها قّتإ

ف

ءاَسِنلا

م كّ إف

ت َخأ

َ اَمأب

ه

م تلل حت ساَ

َج ر ف

َ لَك ب

ه

(

ا

د اد بأ

با

هجام

.)

“Bertakwalah kepada Allah dalam urusan wanita, karena sesungguhnya kalian mengambil mereka sebagai amanah Allah, dan halal bagimu

menggauli mereka karena kalimat Allah”. (HR. Abu Dawud dan Ibnu Majah).23

22

Lafaz Majaz adalah lafaz yang penggunaannya untuk menunjukkan makna lain yang benar berdasarkan qarinah (alasan) selain makna awal (dasar) yang dimaksudkan dari lafaz tersebut. (Muhit al-Muhit, h. 136).

23

Sunan Abu Dawud, Kitab al-Manasik, Bab Sifatu Hajjati an-Nabi, hadis no. 1905, jilid 2, h. 455; dan Sunan Ibnu Majah, Kitab al-Manasik, Bab Hajjatu Rasulillah, hadis no. 3074, jilid 2, h. 1022.


(41)

31

Yang dimaksud “kalimat Allah” dalam hadis di atas adalah kalimat yang

terdapat dalam kitab-Nya, dan tidak ada kalimat tentang sighah dalam kitab-Nya selain kedua lafaz di atas.24

c) Menggunakan qiyas tidak dibolehkan dalam masalah ini karena nikah termasuk ibadah. Maka tidak sah sighah kecuali kedua lafaz di atas.

d) Disebutkan dalam Surah al-Ahzab [33]: 50 berikut:

















“Dan perempuan mukmin yang menyerahkan dirinya kepada Nabi kalau Nabi mau mengawininya, sebagai pengkhususan bagimu, bukan untuk semua orang mukmin.”

Penggunaan lafaz hibah dalam ayat ini sangat jelas bahwa penggunannya hanya khusus terhadap Nabi dan tidak berlaku untuk yang lain. Sedangkan hadis:

دَق

اَ ت كلَم

اَ ب

َكَعَم

َ م

أ رقلا

(

ق ّتم

ه لع

.)

“Aku memilikkan (menikahkan) kamu dengannya, dengan apa yang kamu

hafal dari ayat al-Qur’an.”(HR. al-Bukhari dan Muslim).

Menurut riwayat yang sahih hadis di atas menggunakan kata “qad

ankahtuka”, “Aku menikahkanmu dengannya”.

Pendapat yang rajih dalam masalah ini adalah pendapat yang mengatakan tentang kebolehan menggunakan lafaz selain lafaz nikah dan zawaj dalam akad, mengingat:

24Asrorun Ni’am

Sholeh. Fatwa-Fatwa Masalah Pernikahan dan Keluarga. Jakarta: eLSAS, 2008.


(42)

a. Klaim dari pendapat kedua bahwa hanya ada dua lafaz yang dikemukakan oleh al-Qur’an, yaitu lafaz nikah dan zawaj, tidak dapat diterima sepenuhnya karena nash ayat maupun hadis yang dijadikan dalil oleh pendapat kedua adalah bantahan atas klaim tersebut.

b. Khususiyah (pengkhususan) penggunaan kata hibah terhadap Nabi Saw. dalam ayat di atas adalah tidak tepat karena khususiyah yang dimaksud adalah kebolehan Nabi menikah tanpa mahar bukan penggunaan kata

hibah. Ini sebagaimana dikemukakan oleh al-Qurtubi25, “Perlakuan khusus

terhadap Nabi di sini adalah seandainya wanita itu meminta mahar sebelum bercampur (berhubungan badan) maka tidaklah dapat dipenuhi, karena meminta mahar sebelum berhubungan hanya berlaku di antara kita

bukan kepada Nabi Saw.”26

Di sinilah letak kekhususan itu.27

c. Kemudian di dalam menggunakan kata selain lafaz nikah disyaratkan niat untuk mengetahui kepastian akad yang dilakukan agar para saksi mengetahui maksudnya. Karena ibrah yang menjadi pijakan dalam melakukan akad itu adalah diketahuinya maksud pernyataan bukan karena berdasarkan lafaz-lafaznya.

25

Al-Qurtubi adalah Muhammad bin Ahmad bin Abi Bakar bin Faraj Ansari, al-Khazraji, al-Andalusi, terkenal dengan sebutan al-Qurtubi. Beliau dikenal ahli dalam bidang tafsir dan termasuk salah satu pengikut mazhab Maliki, wafat di Mesir pada bulan Syawal 671 H/1273 M. (Mu‟jam al-Muallifin, Jilid 8 h. 239).

26

Muhammad bin Ahmad bin Abi Bakar al-Qurtubi, selanjutnya disebut al-Qurtubi,

al-Jami‟ li Ahkam al-Qur‟an(Beirut: Dar Ihya’ al-Turats al-Arabi, tt.) jilid 14, h. 210.

27Asrorun Ni’am

Sholeh. Fatwa-Fatwa Masalah Pernikahan dan Keluarga. Jakarta: eLSAS, 2008.


(43)

33

3) Akad Dengan Lafaz Selain Bahasa Arab

Lafaz selain bahasa Arab akan berlangsung karena ada dua kemungkinan:

Pertama, lafaz diucapkan oleh orang yang tidak mengetahui bahasa Arab. Mengenai keabsahan akad ini tidak ada perbedaan di antara para ulama. Mereka sepakat tentang keabsahan dengan syarat setiap yang terlibat dalam proses akad, seperti calon suami, wali maupun para saksi, mengetahui dan memahami maksud dari lafaz tersebut.

Kedua, kemungkinan lafaz itu timbul dari orang tidak cakap dalam berbahasa Arab. Mengenai hal ini jumhur ulama memandang sah kecuali dalam sebuah riwayat Imam Ahmad dalam salah satu pendapatnya, memandang hal tersebut tidak sah.

c. Dua Saksi

Para ulama sepakat bahwa keberadaan dua saksi adalah salah satu syarat sah nikah berdasarkan nash hadis.28

Ini sebagaimana hadis Rasulullah Saw. yang diriwayatkan oleh „Aisyah ra.:

َا

َحاَك

ّاإ

د ش ب

“Tidak sah pernikahan kecuali ada saksi.” (HR. ad-Daruqutni).29

28

Lihat al-Kasani, jilid 2, h. 376. Al-Khatib,Mugni al-Muhtaj ila Ma‟rifah Ma‟ani Alfadz al-Minhaj, jilid 3, h. 144.

29


(44)

Selanjutnya hadis riwayat „Aisyah ra. :

َا

َحاَك

ّاإ

ّ ل ب

َد اَشَ

دَع

اَمَ

َ اَك

م

حاَك

َلَع

ر َغ

ك ل

َ ف

ل طاَب

إف

ا رَجاَشت

اَطلسلاف

لَ

َم

ا

لَ

هَل

(

ا

مرّتلا

.)

“Nikah tidak sah kecuali ada dua orang saksi dan apabila pernikahan diadakan tanpa dua orang saksi maka pernikahan itu batil, dan apabila mereka berselisih

maka penguasa menjadi wali bagi orang yang tidak punta wali.” (HR. at-Tirmidzi)30

Berdasarkan hadis Nabi di atas, keberadaan saksi dalam pernikahan adalah merupakan sesuatu yang pasti dan telah disepakati oleh para ulama.

d. Calon Suami dan Isteri

Salah satu unsur penting dalam keabsahan nikah adalah pasangan calon suami isteri. Namun untuk mengetahui layak atau tidak mereka melangsungkan pernikahan, dapat diketahui melalui criteria berikut ini:

1) Calon suami diharuskan memiliki kriteria berikut ini:

a) Keahlian bertindak. Artinya calon suami tersebut harus mampu melakukan sendiri akad itu, baik terhadap dirinya maupun terhadap lain. Dan disyaratkan sudah mumayyiz. Tetapi jika belum mumayyiz atau umurnya belum cukup tujuh tahun atau dia tidak punya akal maka akad tidak dapat dilakukan karena tidak terpenuhinya tujuan dan maksud dari akad ini sebagaimana ditetapkan oleh syara‟.31

b) Dapat mendengar perkataan. Maksudnya setiap dari keduanya dapat mendengar perkataan satu sama lain atau yang serupa dengan itu, seperti

30

Sunan at-Turmudzi, jilid 4, h. 58. Hadis no. 1103.

31


(45)

35

menulis perihal akad jika si wanita tidak di tempat. Ini supaya dapat dipahami maksudnya, yaitu melangsungkan akad atas dasar persetujuan masing-masing dari keduanya.32

2) Adapun calon isteri disyaratkan memenuhi kriteria sebagai berikut:

a) Benar-benar seorang wanita artinya diketahui dengan jelas jenis kelaminnya.karena pernikahan tidak sah terhadap orang yang tidak diketahui apakah ia laki-laki atau perempuan.

b) Statusnya diketahui dengan pasti bahwa ia bukan wanita yang haram dinikahi. Ini meliputi anak perempuan, saudari perempuan, bibi dari pihak bapak maupun ibu, perempuan yang masih berstatus isteri orang lain, perempuan yang sedang menjalani masa iddah, wanita muslimah tapi dinikahi oleh non muslim - karena pernikahan dengan kondisi seperti ini tidak sah.33

2. Menurut Hukum Positif

Bagi suatu Negara dan Bangsa seperti Indonesia adalah mutlak adanya Undang-undang Perkawinan Nasional yang sekaligus menampung prinsip-prinsip dan memberikan landasan hukum perkawinan yang selama ini menjadi pegangan dan telah berlaku bagi berbagai golongan dalam masyarakat kita.

32

Ibid, h. 6535.

33


(46)

Dewasa ini berlaku berbagai Hukum Perkawinan bagi berbagai golongan warga negara dan berbagai daerah seperti berikut:34

a. Bagi orang-orang Indonesia asli yang beragama Islam berlaku Hukum Agama yang telah diresepeier dalam Hukum Adat (pasal 134 ayat (2) I.S). b. Bagi orang-orang Indonesia lainnya berlaku Hukum Adat.

c. Bagi orang Indonesia yang beragama Kristen berlaku Huwelijke Ordonantie Cristen Indonesia (S. 1933 No. 74).

d. Bagi orang Timur Asing Cina dan warga negara Indonesia kturunan Cina berlaku ketentuan Kitab Undang-undang Hukum Perdata dengan sedikit perubahan.

e. Bagi orang-orang Timur Asing lainnya dan warga negara Indonesia Keturunan Timur Asing lainnya tersebut berlaku Hukum Adat mereka. f. Bagi orang-orang Eropa dan warga negara Indonesia keturunan Eropa dan

yang disamakan dengan mereka berlaku Kitab Undang-undang Hukum Perdata.

g. Sejak 1 Oktober 1975 berlaku efektif untuk semua golongan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 beserta peraturan pelaksanaannya.

Syarat-syarat sahnya perkawinan menurut Undang-undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974, harus:35

34

M. Idris Ramulyo. Tinjauan Beberapa Pasal Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Dari Segi Perkawinan Islam. Ed. Rev. Jakarta: Ind. Hill-Co, 1990, h. 54.

35

M. Idris Ramulyo. Tinjauan Beberapa Pasal Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Dari Segi Perkawinan Islam. Ed. Rev. Jakarta: Ind. Hill-Co, 1990, h. 57.


(47)

37

1) Didasarkan kepada persetujuan bebas antara calon suami dan calon istri, berarti tidak ada paksaan di dalam perkawinan.

2) Pada dasarnya perkawinan itu adalah satu istri bagi suami dan sebaliknya hanya satu suami bagi satu istri, kecuali mendapat dispensasi oleh Pengadilan Agama dengan syarat-syaratnya yang berat untuk boleh beristri lebih dari satu dan harus ada izin dari istri pertama, adanya kepastian dari pihak suami bahwa mampu menjamin keperluan-keperluan hidup istri-istri dan anak-anak serta jaminan bahwa suami akan berlaku adil, terhadap istri-istri dan anak-anak mereka.

3) Pria harus telah berumur 19 (sembilan belas) tahun dan wanita 16 (enam belas) tahun.

4) Harus mendapat izin masing-masing dari kedua orang tua mereka, kecuali dalam hal-hal tertentu dan calon pengantin telah berusia 21 (dua puluh satu) tahun atau lebih, atau mendapat dispensasi dari Pengadilan Agama apabila umur para calon kurang dari 19 dan 16 tahun.

5) Tidak termasuk larangan-larangan perkawinan antara 2 (dua) orang yang: a) Berhubungan darah dalam garis keturunan lurus ke bawah ataupun ke

atas.

b) Berhubungan darah dalam garis keturunan ke samping yaitu antara saudara, antara saudara dengan saudara orang tua dan antara seorang dengan seorang neneknya.

c) Berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri, menantu dengan Ibu/Bapak tiri.


(1)

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

SALINAN

PENETAPAN

Nomor xxx/Pdt.P/2012/PA JS.

BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM

DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

Pengadilan Agama Jakarta Selatan yang memeriksa dan mengadili perkara perdata pada tingkat pertama telah menjatuhkan penetan dalam perkara isbath nikah yang diajukan oleh:

1 Pemohon I, umur 55 tahun, agama Islam, pekerjaan Karyawan Swasta, tempat tinggal di Jl. Harun RT. 13 RW. 01 Kelurahan Kebayoran Lama Selatan, Kecamatan Kebayoran Lama, Jakarta Selatan, sebagai Pemohon I;

2 Pemohon II, umur 35 tahun, agama Islam, pekerjaan ibu rumahtangga, tempat tinggal d di Jl. Harun RT. 13 RW. 01 Kelurahan Kebayoran Lama Selatan, Kecamatan Kebayoran Lama, Jakarta Selatan, sebagai Pemohon II;

Selanjutnya Pemohon I dan Pemohon II disebut Para Pemohon;

Pengadilan Agama tersebut;

Setelah membaca dan mempelajari berkas perkara; Setelah mendengar Pemohon I dan Pemohon II;

TENTANG DUDUK PERKARANYA

Menimbang, bahwa Pemohon dengan surat permohonannya tertanggal 17 Desember 2012, yang didaftar pada Buku Register Perkara Pengadilan Agama Jakarta Selatan dengan Nomor xxx/Pdt.P/2012/PA JS., telah mengajukan permohonan isbath nikah dengan dalil-dalil sebagai berikut:

1. Bahwa PEMOHON I dan PEMOHON II telah melangsungkan pernikahan pada tanggal 10 Juli 1997 di Desa Karanganyar Rt 05/03, Kecamatan Kedung Banteng, Kabupaten Slawi, Jawa Tengah dengan wali Nikah bernama Bapak ...wali Nikah PEMOHON II dengan mahar uang sebesar Rp. 10.000 dan disaksikan oleh saudara dan kerabat dekat PEMOHON antara lain Bapak ....1 dan ibu ....2;

Hal. 1 dari 6 hal. Pen. No. 0244/Pdt.P/2012/PA JS.

Disclaimer

Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu. Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :

Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id


(2)

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

2. Bahwa, pernikahan PEMOHON I dengan PEMOHON II tidak tercatat pada Kantor Urusan Agama setempat;

3. Bahwa sewaktu akan menikah PEMOHON I berstatus perjaka dalam usia 41 tahun sementara PEMOHON II berstatus Perawan dalam usia 21 tahun;

4. Bahwa, setelah akad nikah hingga permohonan ini diajukan PEMOHON I dan PEMOHON II tidak pernah mendapat atau mengurus akta nikah tersebut;

5. Bahwa dari perkawinan PEMOHON I dan PEMOHON II telah dikaruniai 3 (tiga) orang anak yang masing-masing bernama:

• ANAK I, lahir pada tanggal 30 september 1998;

• ANAK II, lahir pada tanggal 12 September 1999;

• ANAK III, Lahir pada tanggal 22 September 2003;

6. Bahwa PEMOHON I dan PEMOHON II sangat membutuhkan bukti pernikahan tersebut untuk kepastian hukum PEMOHON I dan PEMOHON II;

7. Bahwa antara PEMOHON I dan PEMOHON II tidak ada hubungan mahram maupun susuan dan sejak melangsungkan perkawinan sampai sekarang tidak pernah bercerai maupun pindah agama (PEMOHON I dan PEMOHON II beragama Islam);

8. Bahwa oleh karena dalam perkawinan antara PEMOHON I dan PEMOHON II telah melahirkan tiga orang anak yang masing-masing bernama:

• ANAK I, lahir pada tanggal 30 september 1998;

• ANAK II, lahir pada tanggal 12 September 1999;

• ANAK III, Lahir pada tanggal 22 September 2003;

9. Bahwa PENGGUGAT tidak memiliki kemampuan dalam membayar semua biaya perkara yang timbul dalam persidangan ini dan mohon agar semua biaya yang timbul dalam persidangan ini dibebankan kepada Negara;

Disclaimer

Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu. Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :

Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id


(3)

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Maka PEMOHON I dan PEMOHON II mohon agar anak-anak tersebut ditetapkan secara hukum sebagai orang tua kandung yang sah dari ketiga anak PEMOHON I dan PEMOHON II tersebut;

Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, PEMOHON I dan PEMOHON II mohon agar Ketua Pengadilan Agama Jakarta Selatan berkenan memeriksa dan mengadili perkara ini, selanjutnya menjatuhkan penetapan yang amarnya berbunyi sebagai berikut:

PRIMAIR :

1. Mengabulkan permohonan PARA PEMOHON tersebut;

2. Menetapkan menyatakan sah, pernikahan PEMOHON I dan PEMOHON II yang dilangsungkan pada tanggal 10 Juli 1997 di Desa Karanganyar Rt 05/03, Kecamatan Kedung Banteng, Kabupaten Slawi, Jawa Tengah, Kotamadya Jakarta Selatan;

3. Menetapkan PEMOHON I dan PEMOHON II secara hukum sebagai orang tua kandung dari anak-anak yang bernama :

• ANAK I, lahir pada tanggal 30 september 1998;

• ANAK II, lahir pada tanggal 12 September 1999;

• ANAK III, Lahir pada tanggal 22 September 2003;

4. Tidak membebankan biaya perkara sesuai hukum;

SUBSIDAIR:

Atau apabila Pengadilan Agama Jakarta Selatan berpendapat lain mohon penetapan lain yang seadil-adilnya.

Menimbang, bahwa pada hari persidangan yang telah ditentukan, Para Pemohon telah hadir menghadap dipersidangan;

Menimbang, bahwa Para Pemohon di persidangan telah menambah keterangan sebagai berikut:

1 Alasan Pemohon I dan Pemohon II memohon isbath nikah yang telah melangsungkan akad nikah di Desa Karanganyar, Kecamatan Kedung Banteng, Kabupaten Slawi dengan wali ayah kandung Pemohon II yang bernama ...tidak dicatatkan karena tidak mempunyai biaya;

Hal. 3 dari 6 hal. Pen. No. 0244/Pdt.P/2012/PA JS.

Disclaimer

Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu. Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :

Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id


(4)

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

2 Bahwa pada saat perkawinan dilangsungkan Pemohon II berada di kamar sehingga tidak dapat menerangkan prosesi perkawinan;

3 Pemohon I menerangkan ia menikahi Pemohon II menjalani prosesi sebagaimana orang lain melaksanakan perkawinan, yaitu Pemohon I berjabatan tangan dengan ayah kandung Pemohon II lalu dinikahkan;

4 Bahwa yang hadir pada saat pelaksanaan akd nikah Pemohon I dan Pemohon II. Ialah Pemohon I, ayah kandung Pemohon II (...) dan Ustadz serta dua saudara perempuan Pemohon II yang bernama---1 dan ---2 dan tidak ada yang lainnya lagi;

Menimbang, bahwa untuk mempersingkat penetapan ini, maka menunjuk berita acara persidangan perkara ini;

TENTANG HUKUMNYA

Menimbang, bahwa MAKSUD DAN TUJUAN PERMOHONAN Para Pemohon, adlaah sebagaimana tersebut dalam surat permohonannya;

Menimbang, bahwa Para Pemohon mohon agar perkawinan yang telah

dilangsungkan pada tanggal 10 Juli 1997 agar diisbathkan, karena tidak tercatat dengan alasan tidak memiliki biaya;

Menimbang, bahwa untuk mengetahui sah atau tidaknya sebuah perkawinan, maka harus dilihat dari tata cara pelaksanaan perkawinan sudah sesuai dengan agama yang bersangkutan atau tidak sebagaimana disebutkan dalam Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menyebautkan “Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu”;

Menimbang, bahwa oleh karena Pemohon I dan Pemohon II beragama Islam, maka Majelis Hakim harus meneliti tentang pelaksanaan akad nikah tersebut sesuai ketentuan agama yang dianut keduanya, sebagaimana ketentuan Pasal 14 Kompilasi Hukum Islam (K.H.I.) “Untuk melaksanakan perkawinan harus ada: a. Calon suami, b. Calon isteri, c. Wali nikah, d. Dua orang saksi dan e. Ijab dan Kabul”;

Menimbang, bahwa dalam pernikahan Pemohon I dan Pemohon II rukun nikah huruf a, b dan c sudah terpenuhi, huruf d tidak terpenuhi, karena saksi laki-laki hanya satu orang dan lainya perempuan, sedangkan huruf e (ijab kabul) belum jelas;

Menimbang, bahwa Majelis Hakim mengambil pendapat ulama fiqih dari kitab Fathul Muin IV halaman 253, yang diambil sebagai pendapat Majelis Hakim:

ﻪﻃ

و

ﺮﺷ

و

ﻪﺘﺤﺻ

و

ﻪﺘﺤﺻﺮﻛ

ذ

ةأ

ﺮﻣ

إ

ﻰﻠﻋ

ح

ﺎﻜﻨﺑ

ى

ﻮﻋﺪﻟ

ا

ﻰﻓ

و

Disclaimer

Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu. Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :

Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id


(5)

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Artinya: “Di dalam dakwa telah nikah kepada perempuan haurs menerangkan shahnya nikah dan syarat-syaratnya.”

Menimbang, bahwa, berdasarkan pertimbangan-pertimbangan di atas, terbukti bahwa pernikahan Pemohon I dan Pemohon II belum memenuhi syarat sebagaimana dimaksud menurut hukum Islam, dan dengan demikian permohonan Para Pemohon harus dinyatakan tidak dapat diterima (Niet Onvankelijk verklaart);

Menimbang, bahwa berdasarkan penetapan sela tanggal 22 Januari 2013, Para Pemohon dibebaskan dari membayar biaya perkara;

MENETAPKAN

1. Menyatakan permohonan Para Pemohon tidak dapat diterima (Niet Onvakelijk Verklaart);

2. Membebaskan Para Pemohon dari membayar biaya perkara.

Demikian penetapan ini dijatuhkan pada hari Selasa tanggal 05 Maret 2013 Miladiyah bertepatan dengan tanggal 24 Rabiul Akhir 1434 Hijriyyah, oleh Hakim Pengadilan Agama Jakarta Selatan yang terdiri dari Dra. Hj. Athiroh Muchtar, S.H., M.H. sebagai Hakim Ketua Majelis serta Drs. H. Achmad Busyro, M.H. dan Dra. Hj. Tuti Ulwiyah, S.H., M.H. sebagai hakim-hakim Anggota serta diucapkan oleh Ketua Majelis pada hari itu juga dalam sidang terbuka untuk umum dengan dihadiri oleh para hakim Anggota serta Harisman, S.H.I. Panitera Pengganti dan dihadiri oleh Para Pemohon ;

Ketua Majelis

ttd

Dra. Hj. Athiroh Muchtar, S.H., M.H.

Hakim Anggota,

ttd

Drs. H. Achmad Busyro, M.H.

Hakim Anggota,

ttd

Dra. Hj. Tuti Ulwiyah, S.H., M.H.

Panitera Pengganti,

ttd

Harisman, S.H.I.

Hal. 5 dari 6 hal. Pen. No. 0244/Pdt.P/2012/PA JS.

Disclaimer

Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu. Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :

Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id


(6)

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Perincian Biaya Perkara : 1. Biaya Pendaftaran : Rp. 2. Biaya Administrasi : Rp. 3. Biaya Panggilan : Rp. 4. Redaksi : Rp. 5. Materai : Rp. Jumlah Rp. 0,- (nihil).

DISALIN SESUAI DENGAN ASLINYA, PANITERA,

PENGADILAN AGAMA KELAS 1A JAKARTA SELATAN

AHMAD MAJID,S.H.

Disclaimer

Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu. Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :

Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id