eksekutif untuk melaksanakan tugas-tugas pemerintahan sehari-hari. Presiden dan Wakil Presiden menjabat selama 5 tahun, dan sesudahnya dapat dipilih
kembali dalam jabatan yang sama untuk satu kali masa jabatan. Menurut Perubahan Ketiga UUD 1945 Pasal 6A, Presiden dan Wakil Presiden dipilih
dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat melalui Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden Pilpres.
Sebelumnya, Presiden dan Wakil Presiden dipilih oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat. Dengan adanya Perubahan UUD 1945, Presiden tidak
lagi bertanggung jawab kepada MPR, dan kedudukan antara Presiden dan MPR adalah setara.
Wewenang dan kekuasaan presiden republik Indonesia, dibagi 2 jenis yaitu selaku kepala negara dan selaku kepala pemerintahan, cara membedakan tugas
presiden sebgai kepala negara dengan presiden sebagai kepala pemerintah, adalah sbb:
“Tugas dan tanggung jawab sebagai kepla negara meliputi hal-hal yang bersifat seremonial, dan protokoler kenegaraan, jadi mirip dengan kewenangan para kaisar
dan ratu pada beberapa negara lain, tetapi tidak berkenaan dengan kewenangan penyelenggaraan roda pemerintahan.”
Kekuasaan dan kewenangan kepala negara tersebut, meliputi sebagai berikut: a Melangsungkan perjanjian dengan negara lain.
b Mengadakan perdamaian dengan negara lain. c Menyatakan negara dalam keadaan bahaya.
d Mengumumkan perang terhadap negara lain.
2. Munculnya Badan Eksekutif di Indonesia
Dalam beberapa proses pemilihan anggota badan eksekutif masih ada proses yang dilakukan secara terburu-buru, sehingga tidak memberi waktu yang
cukup bagi sosialisasi ke masyarakat tentang track record calon, akibatnya ruang partisipasi publik pun semakin sempit. Satu hal penting dalam proses pemilihan
calon anggota eksekutif adalah masih minimnya calon yang memiliki kualitas dan integritas yang baik untuk mendaftarkan diri. Ditambah pula dengan masih
banyaknya calon-calon potensial baik di tingkat pusat dan lokal yang enggan
6
untuk memanfaatkan momentum guna memperbaiki lembaga peradilan dari dalam karena sikap pesimistik yang besar. Hal ini menyebabkan semakin sempitnya
peluang untuk memilih anggota yang baik, walaupun hal ini tidak terlepas pula dari sistem rekruitmen yang memiliki berbagai kelemahan.
Dalam masa pra Demorasi Terpimpin, yaitu November 1945 sampai Juni 1959, kita kenal badan eksekutif yang terdiri dari presiden, sebagai bagian dari
badan eksekutif yang tak dapat diganggu gugat, dan menteri-menteri yang dipimpin oleh seorang perdana menteri dan yang bekerja atas dasar azas tanggung
jawab menteri. Kabinet merupakan kabinet parlementer yang mencerminkan konstalasi politik dalam badan perwakilan rakyat. Hal ini sesuai dengan system
parlementer yang dianut pada waktu itu. Sekalipun demikian ada beberapa kabinet yang dipimpin oleh wakil Presiden Moh. Hatta, yang karena itu dinamakan
kabinet presidensiil. Jumlah menteri dalam masa sebelum 27 Desember 1949 berkisar antara 16
Kabinet Syahrir ke-1 dan 37 Kabinet Amir Syarifudin ke-2. Jumlah menteri dalam masa sesudahnya berkisar antara 18 Kabinet Wilopo dan 25 Kabinet Ali
Sastroamidjojo ke-3. Para menteri dapat dibagi dalam beberapa golongan, yaitu menteri inti, menteri negara, sedangkan kadang-kadang juga terdapat menteri
muda terutama dalam masa sebelum Desember 1949. Mulai Juni 1959 Undang-Undang Dasar 1945 berlaku kembali dan
menurut ketentuan Undang-Undang Dasar itu badan eksekutif teridiri dari seorang presiden, seorang wakil presiden beserta menteri-menteri. Menteri-menteri
membantu presiden dan diangkat serta diberhentikan olehnya. Presiden dan wakil presiden dipilih oleh MPR dan presiden merupakan “Mandataris” dari MPR. Dia
bertanggung jawab kepada MPR dan kedudukannya untergeordnet kepada MPR. Presiden memegang kekuasaan pemerintah selama lima tahun yang hanya
dibatasi oleh peraturan-peraturan dalam Undang-Undang Dasar di mana sesuatu hal yang diperlukan adanya suatu undang-undang. Selama masa itu presiden tidak
boleh dijatuhkan oleh DPR, sebaliknya presiden tidak mempunyai wewenang untuk membubarkan DPR. Presiden memerlukan persetujuan dari DPR untuk
7
membentuk undang-undang dan untuk menyatakan perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan negara lain. Begitu pula kalau presiden, dalam keadaan
yang memaksa, menetapkan Peraturan Pemerintah sebagai pengganti undang- undang, maka peraturan pemerintah itu kemudian harus mendapat persetujuan
DPR. Selain dari itu presiden berwenang menetapkan Peraturan Pemerintah
untuk menjalankan undang-undang sebagai mestinya dan memegang kekuasaan tertinggi atas angkatan darat,angkatan laut dan angkatan undara. Sistem checks
and balances seperti yang dikenal dalam system Amerika Serikat, di mana badan eksekutif dan legislative, sekalipun bebas satu sama lain, mengadakan check satu
sama lain, tidak dikenal dalam system Undang-Undang Dasar 1945. Dalam masa demokrasi terpimpin tidak ada wakil presiden. Sesuai dengan
keinginannya untuk memperkuat kedudukannya, Ir. Soekarno oleh MPRS ditetapkan sebagai presiden seumur hidup. Begitu pula pejabat teras dari badan
legislative yaitu pimpinan MPRS dan DPR Gotong-Royong dan dari badan yudikatif yaitu Ketua Mahkamah Agung diberi status menteri. Dengan demikian
jumlah menteri mencapai jumlah lebih dari seratus. Selain dari itu, berdasarkan penetapan presiden no. 14 tahun 1960, presiden diberi wewenang untuk
mengambil keputusan dalam keadaan anggota badan legislative tidak dapat mencapai mufakat mengenai suatu hal atau sesuatu RUU. Lagipula, dalam banyak
hal presiden mengesampingkan DPR dengan jalan mengatur soal-soal peradilan, yaitu melalui undang-undang no. 19 tahun 1964. Undang-undang ini tegas
menyimpang dari Undang-Undang Dasar 1945. Dalam masa Demokrasi Pancasila Ketetapan MPRS yang memberi
kedudukan presiden seumur hidup kepada Ir Soekarno telah dibatalkan.. Dengan Ketetapan MPRS No. XXXXIV tahun 1968 Jenderal Soeharto dipilih oleh MPRS
sebagai Presiden. Jabatan Wakil Presiden untuk sementara tidak diisi. Dengan undang-undang ditetapkan bahwa menteri tidak boleh merangkap menjadi
anggota DPR. Jumlah menteri dikurangi menjadi sekitar 23, yang kebanyakan
8
dipilih atas dasar keahlian dalam rangka penyelenggaraan Rencana Pembangunan Lima Tahun yang menjadi program kabinet.
Dalam sidangnya pada tahun 1973 MPR telah memilih Jenderal Suharto sebagai Presiden Republik Indonesia dan Sri Sultan Hamengku Buwono IX
sebagai Wakil Presiden. Dalam masa demokrasi liberal pasca pemerintahan orde baru yaitu pada
tahun 1999, praktek penyelenggaraan pemerintahan mengalami perubahan yang mendasar dari pada sebelumnya, terutama selama pemerintahan orde baru. Dalam
proses pemilihan presiden dan wakil presiden pada tahun 1999, dilakukan oleh DPR MPR secara lannsung melalui pemberian suara kedalam kotak suara yang
disediakan oleh panitia pemilihan presiden dan wakil presiden yang ditetapkan oleh DPRMPR. Kemudian kabinetnya dipilih oleh presiden dan wakil presiden
yang terpilih. Pada masa ini kebinet ditetapkan oleh presiden dengan system kabinet nasional. Yaitu dimana para anggota cabinet dipilih oleh presiden dari
unsur partai, professional dan daerah. Sehingga kabinetnya disebut dengan Gotong Royong.
Dalam masa demokrasi langsung tahun 2004, presiden dan wakil presiden dipilih secara langsung oleh rakyat melalui dua tahap yaitu, tahap
pertama I diikuti oleh 5 pasang calon presiden dan wakil presiden dan karena tahap pertama tidak menghasilkan suara terbanyak, maka dilanjutkan dengan
pemilihan umum langsung tahap ke dua II dengan diikuti oleh pasangan yang memperoleh suara terbanyak 1 dan 2 dari pemilihan umum tahap pertama I.
Presiden dan wakil presiden yang terpilih dari pemilihan umum langsung tahap kedua II ini yaitu, Susilo Bambang Yudoyono Presiden dan Muhammad Yusuf
Kalla Wakil Presiden. Dalam menyusun kabinetnya, presiden menetapkan anggota kabinetnya dengan sistem zaken kabinet, yaitu dengan sistem penentuan
orang yasng didasarkan atas keahlian, kemampuan dan kesediaannya dalam melakukan kerjasama dengan presiden. Meskipun komposisinya masih sama
dengan kabinet sebelumnya yaitu direkrut dari kalangan partai politik pendukung, kalangan profesional dan unsur daerah. Kabinet ini diberi nama kabinet Indonesia
9
Bersatu. Pertanggungjawabanya langsung kepada presiden karena dalam UUD 1945, keberadaannya adalah sebagai pembantu presiden.
3 Hubungan Badan Eksekutif Dengan Badan Legislatif
DPR sebagai lembaga legislatif adalah badan atau lembaga yang berwenang untuk membuat Undang-Undang dan sebagai kontrol terhadap
pemerintahan atau eksekutif, sedangkan Eksekutif atau Presiden adalah lembaga yang berwenang untuk menjalankan roda pemerintahan. Dari fungsinya tersebut
maka antara pihak legislatif dan eksekutif dituntut untuk melakukan kerjasama, apalagi di Indonesia memegang prinsip Pembagian Kekuasaan. Dalam hal ini,
maka tidak boleh ada suatu kekuatan yang mendominasi. Dalam setiap hubungan kerjasama pasti akan selalu terjadi gesekan-
gesekan, begitu juga dengan hubungan antara eksekutif dan legislatif. Legislatif yang merupakan wakil dari partai tentunya dalam menjalankan tugasnya tidak
jauh dari kepentingan partai, begitu juga dengan eksekutif yang meskipun dipilih langsung oleh rakyat tetapi secara historis presiden memiliki hubungan dengan
partai, presiden sedikit banyak juga pasti mementingkan kepentingan partainya. Akibatnya konflik yang terjadi dari hubungan eksekutif dan legislatif adalah
konflik kepentingan antar partai yang ada. Hubungan eksekutif dan legislatif pada masa sebelum amandemen
Undang-Undang Dasar 1945 atau dengan kata lain pada masa Orde Baru, adalah sangat baik. Bisa dikatakan demikian karena hampir tidak ada konflik antara
Eksekutif dan Legislatif pada masa itu. Soeharto sebagai pemegang tampuk kekuasaan pada masa itu menggunakan topangan superioritas lembaga eksekutif
terhadap DPR dan peran dwifungsi ABRI menghasilkan kehidupan politis yang stabil. DPR yang tentunya sebagian besar dari Fraksi Golongan Karya, selalu
10
‘manut’ dengan apa yang ditentukan oleh Soeharto. Hal ini sangat berbeda dengan masa setelah Orba, yaitu pada masa reformasi. Legislatif tidak mau lagi hanya
berdiam diri, menuruti segala apa yang dikatakan presiden. Bahkan cenderung kekuatan legislatif kini semakin kuat. Hal ini bisa dilihat ketika DPR menjatuhkan
impeachment terhadap Gus Dur. Amandemen Undang-Undang Dasar 1945 mengenai pemilihan eksekutif dalam
hal ini presiden dan wakil presiden dan pemilihan legislatif dalam hal ini anggota
DPR yang telah mengubah pola atau sistem yaitu dengan pemilihan langsung oleh rakyat.
Perubahan sistem pemilihan ini ternyata juga berpengaruh terhadap relasi atau hubungan antara Presiden dengan anggota DPR itu sendiri. Pengaruh yang
dimaksud disini adalah tentang relasi antara Presiden dan anggota DPR yang tidak kunjung membaik. Dengan pemilihan dari rakyat langsung, membuat Presiden
dan anggota DPR merasa mempunyai legitimasi ataupun mempunyai hak bahwa dirinya adalah wakil dari rakyat langsung dan merasa punya dukungan penuh dari
rakyat. Perasaan yang seperti ini, maka bisa jadi mendorong presiden menjadi kurang bertoleransi dengan kelompok oposisi. Hal ini membuat keegoisan antara
Presiden dan anggota DPR menjadi semakin kuat. Bertolak dari pandangan Linz dan Cile tentang sistem multipartai dalam sistem presidensil, maka bisa jadi
hubungan yang tidak kunjung membaik antara presiden dengan legislative karena sistem tersebut. Linz menyatakan bahwa jika dalam sistem seperti disebut di atas,
maka hubungan antara eksekutif dan legislative akan mengalami deadlock. Cile juga berpandapat serupa bahwa deadlock bisa terjadi dan itu akan menghalangi
proses demokrasi. Hubungan atau relasi presiden dengan anggota DPR, bisa juga disebabkan
oleh sistem presidensil pada pemerintahan Indonesia. Disini dapat dijelaskan bahwa sistem presidensil yang tidak mengenal adanya mosi tidak percaya, apabila
suatu ketika ada konflik atau masalah dengan legislative, eksekutif tidak perlu takut dengan adanya penggulingan kekuasaan, karena DPR tidak bisa memberikan
11
mosi tidak percaya. Dari sinilah, maka perselisihan antara presiden dengan anggota DPR bisa terus berlanjut tanpa ada suatu ‘ketakutan’ eksekutif akan
kekuasaannya. Hubungan yang tidak sehat antara eksekutif dan legislative memang selalu
terjadi di setiap pemerintahan. Dulu semasa pemerintahan Orde Baru, ada Sri Bintang Pamungkas, masa Gus Dur sangat terlihat karena dengan adanya
impeachment terhadap Gus Dur, dan sekarang pada masa SBY-JK, diantaranya adalah intepelasi DPR terhadap penggantian panglima TNI oleh Presiden SBY,
soal impor beras pada masa SBY, tentang pemilihan Gubernur BI, tentang Iran, dan sebagainya.
Relasi antara eksekutif dan legislatif pada masa pemerintahan SBY-JK ini patut dicermati. Hal ini terkait karena pada pemilihan presiden 2004 lalu, SBY-JK
terpilih dari partai kecil dan dukungan minoritas di legislatif DPR. Presiden SBY kemudian membentuk kabinet Indonesia Bersatu yang bukan merupakan kabinet
keahlian melainkan kabinet koalisi. Hal ini dilakukan SBY karena dia dan wakilnya berasal dari partai kecil maka dia berusaha untuk mencegah rongrongan
dari DPR dengan membentuk kabinet koalisi dari partai-partai. Hal ini juga menimbulkan adanya fenomena ‘dua kaki’, yaitu partai dimana wakilnya
menduduki menteri dalam kabinet Indonesia Bersatu, dan sementara di dalam DPR, partai ini menjadi partai oposisi.
Kasus SBY-JK dimana mereka terpilih dari partai kecil mengharuskan SBY-JK menjalin hubungan yang baik dengan DPR. Hal ini disebabkan oleh
banyaknya aspek yang memerlukan kompromi politik dengan DPR, misalnya dalam penetapan anggaran Bila hubungan tidak berjalan dengan baik, maka sangat
mungkin sering terjadi penolakan-penolakan oleh DPR terhadap pengajuan anggaran ataupun pengajuan kebijakan ataupun RUU, dan lain-lain. Penolakan-
penolakan ini tentunya akan membuat pemerintahan berjalan dengan tidak efektif. Hubungan eksekutif dan legislative yang tidak menunjukkan sinyal positif
disebabkan oleh keegoisan di masing-masing pihak dimana mereka sama-sama
12
merasa mempunyai legitimasi yang kuat karena dipilih langsung oleh rakyat. Hal ini seharusnya tidak boleh terjadi. Seharusnya eksekutif dan legislative selalu
bekerjasama dimana yang satu menjadi pelaksana dan yang satu menjadi kontrol terhadap pelaksanaan kebijakan. Hal ini tentunya akan lebih baik dibandingkan
hubungan yang saling menjatuhkan dan ujungnya sebenarnya tidak berpihak kepada rakyat hanya kepentingan kelompok masing-masing saja. Namun, terlepas
dari itu semua, hubungan antara eksekutif dan legislative ini memang sedang mencari jati dirinya karena kita semua sedang belajar tentang demokrasi.
4. Keadaan Badan Eksekutif Era Orde Baru