merasa mempunyai legitimasi yang kuat karena dipilih langsung oleh rakyat. Hal ini seharusnya tidak boleh terjadi. Seharusnya eksekutif dan legislative selalu
bekerjasama dimana yang satu menjadi pelaksana dan yang satu menjadi kontrol terhadap pelaksanaan kebijakan. Hal ini tentunya akan lebih baik dibandingkan
hubungan yang saling menjatuhkan dan ujungnya sebenarnya tidak berpihak kepada rakyat hanya kepentingan kelompok masing-masing saja. Namun, terlepas
dari itu semua, hubungan antara eksekutif dan legislative ini memang sedang mencari jati dirinya karena kita semua sedang belajar tentang demokrasi.
4. Keadaan Badan Eksekutif Era Orde Baru
Orde Baru pada hakikatnya merupakan kristalisasi dari upaya Presiden Soeharto untuk melakukan koreksi terhadap era orde lama. Koreksi yang
dimaksud adalah mengembalikan kekultusan Pancasila dalam sendi-sendi kehidupan bangsa dan negara. Akan tetapi, seiring berjalannya waktu, banyak
terjadi penyimpangan-penyimpangan yang justru menjadi pembenaran penguasa. Kondisi lembaga eksekutif di era Orde Baru cenderung mengikuti pendahulunya,
meskipun dengan beberapa modifikasi. Meskipun diadakan pemilu dan ragam pola demokratisasi yang sebenarnya hanya rekayasa belaka, tidak membuat
Soeharto turun dari tahta penguasa, hal ini menandai tidak adanya rotasi eksekutif di era Orde Baru.
Tentang pemilihan Presiden dan Wakil Presiden di atur melalui dua pasal. Pasal 6 ayat 2 mengatakan, Presiden dan wakil Presiden dipilih oleh MPR
berdasarkan suara terbanyak. Sedang pasal 7 mengatakan, bahwa presiden dan wakil presiden dipilih untuk waktu lima tahun dan setelah itu bisa dipilih kembali.
Melalui dua pasal tersebut serta pasal-pasal lainnya dalam UUD 1945, Soeharto melakukan manipulasi dalam rangka intervensi dan rekayasa untuk menciptakan
absolutisme kekuasaan eksekutif, dengan tujuan agar bisa selalu terpilih kembali oleh MPR menjadi Presiden. Pertama melalui pasal 1 ayat 2 yang mengatakan
13
bahwa kedaulatan ada di tangan rakyat dan dijalankan sepenuhnya oleh MPR. Dengan kata “sepenuhnya” itu, maka rakyat pada hakekatnya tidak lagi berdaulat.
Di lain pihak, kata “sepenuhnya” itulah yang justru dipegang teguh Soeharto. Dari sini Soeharto berusaha merekayasa keputusan-keputusan MPR untuk selalu
berpihak kepadanya, sehingga seolah-olah berbagai keputusan tersebut telah sesuai dengan dan bertumpu pada kehendak rakyat. Dengan cara itulah Soeharto
memegang penuh kendali atas MPR. Rekayasa politik atau seringnya pemerintah mengemas kepemimpinan
otoriter ke dalam ruang demokratisasi tampaknya berjalan mulus. Pembatasan partisipasi masyarakat dalam pemilu, pembatasan partai, ideologi tunggal
Pancasila dan pembatasan pers jelas menguat di era Orde Baru. Hanya ada 3 partai yang mengikuti pemilu dengan kontrol penuh dari Soeharto bersama ABRI.
Dwifungsi ABRI menjadi modifikasi sekaligus sukses yang tidak sempat terpikirkan oleh pendahulu Soeharto. ABRI layaknya menjadi alat utama lembaga
eksekutif saat itu dalam menjaga dan mempertahankan stabilitas keamanan dan pertahanan negara, baik yang bersifat internal negara maupun eksternal negara.
Kekuasaan eksekutif menjadi absolut seiring dengan pasifnya legislatif. Pada saat itu lembaga legislatif tak ubahnya seperti lembaga administrasi yang sifatnya
formalitas belaka. Tukang cap undang-undang atau lebih kepada fungsi pengesahan semata tanpa ada proses yang lebih sebagai tolak ukur layak tidaknya
undang-undang tersebut disahkan atau tidak menjadi julukan lembaga legislatif saat itu. Di era Orde Baru, kita mengenal adanya lembaga tinggi negara dan
lembaga negara dibawahnya yaitu MPR sebagai lembaga tinggi negara dan DPR sebagai lembaga negara.
Lembaga eksekutif di era kepemimpinan Soeharto memiliki peran yang strategis. Hal ini sebagai salah satu upaya Soeharto menjaga stabilitas politik.
Selama tiga puluh dua tahun lembaga legislatif mem-backup dan memberi ruang gerak seluas-luasnya kepada Soeharto. Komposisi lembaga legislatif saat itu agak
berbeda bahkan cenderung aneh, hal ini terbukti dengan diakomodirnya ABRI dalam komposisi parlemen, dimana ABRI diberikan jatah satu fraksi. Golkar
sebagai salah satu motor penggerak Soeharto beserta ABRI didalamnya menjadi
14
settingan terkuat Soeharto selama beliau memimpin. Tak heran jika beliau dapat bertahan lama di kursi penguasa.
Sama halnya dengan Soekarno, Soeharto menjadi pemimpin yang disegani, dihormati bahkan ditakuti dimata dunia internasional. Sosok yang
berjuluk the smiling general ini begitu diperhitungkan karena berhasil membawa Indonesia menjadi salah satu macan Asia dengan perekonomian yang tumbuh
tinggi, menguat serta dari segi pertahanan dan keamanan, pengembangan teknologi Indonesia tergolong negara yang maju, karena menjadi pusat
pengembangan teknologi alutsista terbesar dan terlengkap di Asia tenggara. Disisi lain, suramnya demokratisasi membuat lembaga eksekutif semakin tidak berdaya
dari hari ke hari.
Sebagian besar kursi yang ada di DPR diisi oleh kader dari Golkar dan ABRI, belum lagi handay taulan cendana yang mengerubungi parlemen. Membuat
kondisi eksekutif dan legislatif menjadi berat sebelah. Kewenangan membentuk Keputusan Presiden Keppres yang mandiri adalah salah satu wujud kekuasaan
pemerintahan yang ada pada presiden. Sebagaimana telah disinyalir oleh berbagai pakar dan penelitian, kewenangan ini cenderung mengalami penyimpangan baik
secara formil maupun materil, sehingga menjadi salah satu yang signifikan pada saat ini untuk dilakukan pengkajian ulang atas kewenangan pembentukan Keppres
yang mandiri oleh presiden, di samping bentuk-bentuk lain dari kekuasaan pemerintahan lainnya. Dalam kenyataannya, selama pemerintahan orde baru,
kewenangan yang “hanya” bersifat adminsitratif ini cukup berpengaruh terhadap jalannya praktek politik dan kenegaraan di Indonesia. Pengangkatan hakim-
hakim, anggota-anggota MPR dan DPR, serta jabatan-jabatan penting lainnya, merupakan ajang seleksi politik bagi orang-orang yang akan memasuki wilayah
kekuasaan negara. Sudah bukan rahasia lagi, bahwa orang-orang yang berada di “lingkar luar” kekuasaan sangat sulit untuk menduduki suatu jabatan tertentu
dalam lembaga-lembaga negara dan pemerintahan. Oleh karena itu, lembaga- lembaga yang harusnya melakukan fungsi kontrol, tidak dapat bertindak secara
optimal .
15
Jadi cukup jelas sebenarnya, kekuasaan presiden yang besar yang diberikan oleh UUD 1945 selama masa keberlakuannya, cenderung dimanfaatkan
oleh rezim yang berkuasa untuk kepentingan-kepentingan politiknya sendiri. Kekuasaan Presiden ini kemudian hanya menjadi instrumen untuk mencapai
tujuan-tujuan golongan tertentu yang pragmatis sifatnya dan secara empiris selalu mengorbankan, atau paling tidak mengeliminasi, kepentingan demokratisasi di
Indonesia.
5. Keadaan Badan Eksekutif Era Reformasi Sampai Sekarang