Pengetahuan Perawat tentang Perawatan Luka dengan Metode Moist Wound Healing di RSUP H. Adam Malik Medan

(1)

PENGETAHUAN PERAWAT TENTANG PERAWATAN LUKA

DENGAN METODE

MOIST WOUND HEALING

DI RSUP H. ADAM MALIK MEDAN

SKRIPSI

Oleh :

T. Widya Naralia

111101085

FAKULTAS KEPERAWATAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


(2)

(3)

(4)

Judul : Pengetahuan Perawat tentang Perawatan Luka dengan Metode Moist Wound Healing di RSUD H. Adam Malik Medan Nama Peneliti : T. Widya Naralia

NIM : 11101085

Program Studi : Ilmu Keperawatan (S.Kep) Tahun : 2015

ABSTRAK

Perawatan luka merupakan serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk merawat luka dengan tujuan meningkatkan re-epitelisasi jaringan baru dan mengembalikan fungsi fisiologis kulit yang rusak. Moist wound healing merupakan metode perawatan luka terkini yang efektif menyembuhkan luka. Perawat dituntut untuk mempunyai pengetahuan dan keterampilan yang adekuat terkait dengan proses perawatan luka agar klien segera memperoleh kembali kesehatan dan kehidupan mandiri secara optimal. Penelitian ini menggunakan desain deskriptif yang bertujuan untuk mengidentifikasi pengetahuan perawat tentang perawatan luka dengan metode moist wound healing di RSUP H. Adam Malik Medan. Jumlah sampel penelitian ini adalah 60 orang perawat yang diambil melalui teknik total sampling sesuai kriteria inklusi yang ditetapkan. Teknik pengumpulan data dengan menggunakan kuesioner yang dilakukan pada Mei hingga Juni 2015. Hasil penelitian disajikan dalam bentuk narasi dan tabel distribusi frekuensi. Hasil penelitan menunjukkan bahwa setengah dari total responden (50%) perawat memiliki pengetahuan cukup tentang perawatan luka dengan metode moist wound healing. Hasil penelitian ini dapat menjadi masukan agar perawat harus meningkatkan pengetahuannya melalui seminar dan pelatihan tentang perawatan luka serta mengaplikasikan pengetahuan mereka dalam melakukan tindakan perawatan luka kepada klien.


(5)

PRAKATA

Bismillahirrohmanirrohim. Puji dan Syukur kepada Allah SWT atas segala rahmat, hidayah dan pertolongan dari-Nya kepada peneliti, sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini dengan judul “Pengetahuan Perawat tentang Perawatan Luka dengan Metode Moist Wound Healing di RSUP H. Adam Malik Medan”.

Selama proses penelitian ini, peneliti mendapatkan bantuan, bimbingan, dan dukungan dari berbagai pihak dengan memberikan butir-butir pemikiran yang sangat berharga bagi peneliti baik secara langsung maupun tidak langsung. Oleh karena itu, peneliti mengucapkan terimakasih terutama kepada Ibunda tercinta Herdiana Tumanggor, Amd., Ayahanda T. Rabullah, SH., dan kedua Abangnda T. Qivi Hady Daholi, S.E dan T. Kasa Rullah„Adha, S.S, MTCSOL yang selalu menyemangati, membantu, memberi nasehat, mendukung serta mendoakan peneliti, kemudian kepada :

1. Direktur Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan

2. Bapak dr. Dedi Ardinata, M.Kes selaku Dekan Fakultas Keperawatan USU. 3. Ibu Erniyati, S.Kp., MNS selaku Wakil Dekan I Fakultas Keperawatan USU. 4. Ibu Evi Karota Bukit, S.Kp., MNS selaku Wakil Dekan II Fakultas

Keperawatan USU.

5. Bapak Ikhsannudin Ahmad Harahap, S.Kp., MNS selaku Wakil Dekan III Fakultas Keperawatan USU.

6. Ibu Yesi Ariani, S.Kep., Ns., M.Kep selaku dosen pembimbing yang selalu memberikan arahan dan rela meluangkan waktunya untuk membimbing peneliti.


(6)

7. Ibu Rosina Tarigan, S.Kep., Ns., M.Kep, Sp. KMB dan Bapak Mula Tarigan, S.Kp., M.Kes sebagai dosen penguji pada sidang skripsi peneliti.

8. Dosen dan seluruh staf pegawai Fakultas Keperawatan USU yang turut mendukung dalam penyusunan skripsi ini.

9. Kepala ruangan RA1, RA2, RA4, RB2A, RB2B, dan RB3 yang sudah sangat membantu dalam penelitian ini.

10.Seluruh anggota aktif Pemerintahan Mahasiswa 2013-2015 Fakultas Keperawatan USU yang banyak memberikan dukungan.

11.Teman seperjuangan Tiwi, Devi, Fina, Sururi, Miranda, Nurul, Ana dan Nabila serta rekan-rekan mahasiswa Program Studi S1 Keperawatan angkatan 2011 Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan semangat dan masukan dalam penyusunan skripsi ini.

Peneliti menyadari bahwa dalam penyusunan skripsi ini masih memerlukan penyempurnaan baik dalam penulisan, serta isi pada skripsi ini. Oleh karena itu, diharapkan kritik dan saran yang sifatnya membangun agar penulisan skripsi ini dimasa yang akan datang dapat lebih baik dan bermanfaat.

Medan, Agustus 2015 Peneliti


(7)

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN ORISINALITAS ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

ABSTRAK ... iv

PRAKATA ... v

DAFTAR ISI ... vii

DAFTAR TABEL ... ix

DAFTAR SKEMA ... x

BAB 1. PENDAHULUAN ... 1

1. Latar Belakang ... 1

2. Perumusan Masalah ... 5

3. Pertanyaan Penelitian ... 6

4. Tujuan Penelitian ... 6

5. Manfaat Penelitian ... 6

5.1Manajemen Rumah Sakit ... 6

5.2Pendidikan Keperawatan ... 6

5.3Penelitian Keperawatan ... 6

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA ... 7

1. Pengetahuan ... 7

1.1Tingkatan Pengetahuan dalam Domain Kognitif ... 7

1.2Faktor yang Mempengaruhi Pengetahuan ... 9

2. Perawatan luka dengan Metode Moist Wound Healing... 11

2.1Manajemen Perawatan Luka dengan Metode Moist Wound Healing ... 18

BAB 3. KERANGKA PENELITIAN ... 26

1. Kerangka Penelitian ... 26

2. Definisi Operasional ... 27

BAB 4. METODOLOGI PENELITIAN ... 28

1. Desain Penelitian ... 28

2. Populasi dan Sampel ... 28

2.1 Populasi ... 28

2.2 Sampel ... 28

3. Lokasi dan Waktu Penelitian ... 30

4. Pertimbangan Etik ... 30

5. Instrumen Penelitian ... 31

6. Validitas dan Reliabilitas ... 32

6.1 Validitas ... 32

6.2 Reliabilitas ... 33

7. Pengumpulan Data ... 34

8. Analisa Data ... 35

BAB 5. HASIL PENELITIAN ... 36


(8)

1.2 Pengetahuan Perawat tentang Perawatan Luka dengan Metode

Moist Wound Healing ... 38

2. Pembahasan ... 40

BAB 6. KESIMPULAN DAN SARAN ... 50

1. Kesimpulan ... 50

2. Saran... 50

2.1 Bagi Manajemen Rumah Sakit ... 50

2.2 Bagi Pendidikan Keperawatan ... 50

2.3 Bagi Peneliti Selanjutnya ... 51

DAFTAR PUSTAKA ... 52

LAMPIRAN ... 55

1. Inform consent ... 55

2. Kuesioner penelitian ... 56

3. Hasil uji validitas nilai CVI ... 60

4. Lembar persetujuan validitas ... 61

5. Master tabel reliabilitas ... 64

6. Hasil uji reliabilitas KR-21... 65

7. Hasil analisa univariat data demografik ... 66

8. Master tabel pengumpulan data ... 68

9. Hasil analisa univariat data pengetahuan perawat ... 70

10.Abstract ... 74

11.Surat persetujuan komisi etik ... 75

12.Surat izin uji reliabilitas dan pengambilan data... 76

13.Surat balasan izin uji reliabilitas dan pengambilan data ... 78

14.Surat keterangan selesai penelitian ... 79

15.Jadwal tentatif penelitian ... 80

16.Taksasi dana ... 82

17.Riwayat hidup ... 83


(9)

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Framework MEASURE menurut Keast et al ... 20 Tabel 3.1 Definisi operasional... 27 Tabel 5.1 Distribusi Frekuensi dan Persentase Data Demografi ... 38 Tabel 5.2. Distribusi Frekuensi dan Persentase Pengetahuan Perawat tentang

Perawatan Luka dengan Metode Moist Wound Healing di RSUP H. Adam Malik Medan...38 Tabel 5.3. Distribusi Frekuensi dan Persentase Hasil Identifikasi Pengetahuan

Perawat tentang Perawatan Luka dengan Metode Moist Wound


(10)

DAFTAR SKEMA

Skema 3.1. Kerangka penelitian pengetahuan perawat tentang perawatan luka dengan metode moist wound healing di RSUP H. Adam Malik Medan... 26


(11)

Judul : Pengetahuan Perawat tentang Perawatan Luka dengan Metode Moist Wound Healing di RSUD H. Adam Malik Medan Nama Peneliti : T. Widya Naralia

NIM : 11101085

Program Studi : Ilmu Keperawatan (S.Kep) Tahun : 2015

ABSTRAK

Perawatan luka merupakan serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk merawat luka dengan tujuan meningkatkan re-epitelisasi jaringan baru dan mengembalikan fungsi fisiologis kulit yang rusak. Moist wound healing merupakan metode perawatan luka terkini yang efektif menyembuhkan luka. Perawat dituntut untuk mempunyai pengetahuan dan keterampilan yang adekuat terkait dengan proses perawatan luka agar klien segera memperoleh kembali kesehatan dan kehidupan mandiri secara optimal. Penelitian ini menggunakan desain deskriptif yang bertujuan untuk mengidentifikasi pengetahuan perawat tentang perawatan luka dengan metode moist wound healing di RSUP H. Adam Malik Medan. Jumlah sampel penelitian ini adalah 60 orang perawat yang diambil melalui teknik total sampling sesuai kriteria inklusi yang ditetapkan. Teknik pengumpulan data dengan menggunakan kuesioner yang dilakukan pada Mei hingga Juni 2015. Hasil penelitian disajikan dalam bentuk narasi dan tabel distribusi frekuensi. Hasil penelitan menunjukkan bahwa setengah dari total responden (50%) perawat memiliki pengetahuan cukup tentang perawatan luka dengan metode moist wound healing. Hasil penelitian ini dapat menjadi masukan agar perawat harus meningkatkan pengetahuannya melalui seminar dan pelatihan tentang perawatan luka serta mengaplikasikan pengetahuan mereka dalam melakukan tindakan perawatan luka kepada klien.


(12)

BAB I PENDAHULUAN

1. Latar Belakang

Luka merupakan gangguan integritas kulit yang disebabkan banyak hal, diantaranya gesekan, tekanan, suhu, infeksi dan lain-lain (Arisanty, 2012). Angka kejadian luka setiap tahun semakin meningkat, baik luka akut maupun luka kronis. Sebuah survey di Australia menunjukkan pada tahun 2011, populasi pasien dengan luka penuh infeksi sebanyak 3194 orang meningkat dibandingkan tahun 2009 yang hanya 3110 orang. Hasil penelitian lainnya juga menunjukkan peningkatan substansial dalam luka tekan yang didapat di rumah sakit antara 2009 dan 2011, dari 6,3% pada tahun 2009 menjadi 7,4% pada tahun 2011. Pasien dengan satu atau lebih luka tekan antara 2009 dan 2011, dari 9,5% pada tahun 2009 menjadi 11% pada tahun 2011. Luka tekan yang didapat di rumah sakit yang seharusnya berpotensi dicegah dari 21,0% menjadi 22,6% antara 2009 dan 2011 (WoundWest, 2011).

Berdasarkan waktu atau lamanya proses penyembuhan luka, luka diklasifikasikan menjadi luka akut dan kronis. Luka akut merupakan luka trauma yang biasanya segera mendapat penanganan dan biasanya dapat sembuh dengan baik bila tidak terjadi komplikasi sedangkan luka kronis merupakan luka yang berlangsung lama dan sering timbul kembali (rekuren). Dikatakan kronis karena proses inflamasi luka yang memanjang tidak sesuai dengan fisiologi waktu penyembuhan luka (Arisanty, 2012).


(13)

Driscoll, (2013) menyatakan bahwa luka akut seperti traumatik dan laserasi terjadi pada tingkat 50 juta bahkan lebih dan 20 juta laserasi tiap tahunnya di seluruh dunia. Luka akut yang tidak mendapatkan penanganan yang tepat dapat berubah menjadi luka kronik. Luka kronis umumnya membutuhkan waktu lebih lama untuk sembuh, dan perawatan yang lebih kompleks. Ada sekitar 4,5 juta ulkus tekan di dunia yang memerlukan perawatan setiap tahunnya. Sekitar 9,7 juta ulkus vena, dan sekitar 10,0 juta ulkus diabetikum di dunia membutuhkan perawatan yang tepat. Kejadian luka kronis meningkat seiring dengan bertambahnya usia, diagnosa pasien dan lamanya perawatan di rumah sakit.

Luka akut maupun kronis membutuhkan penanganan yang tepat agar tidak jatuh kepada kondisi komplikasi seperti infeksi dan akhirnya memperlama waktu penyembuhan. Perawat bertangggung jawab membantu klien memperoleh kembali kesehatan dan kehidupan mandiri yang optimal melalui proses pemulihan dengan biaya, waktu dan tenaga yang seminimal mungkin. Oleh karena itu, dalam hal ini perawat harus melakukan perawatan luka yang tepat sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (Potter & Perry, 2009). Perawatan luka merupakan asuhan keseharian perawat di bangsal, terutama pada ruang perawatan medical surgical. Perawat dituntut untuk mempunyai pengetahuan dan keterampilan yang adekuat terkait dengan proses perawatan luka yang dimulai dari pengkajian yang komprehensif, perencanaan intervensi yang tepat, implementasi tindakan, evaluasi hasil yang ditemukan selama perawatan serta dokumentasi hasil yang sistematis (Agustina, 2009 dalam Sinaga, 2011).


(14)

Perawatan luka saat ini masih cenderung menggunakan bahan-bahan perawatan yang konvensional dan tidak mendukung penyembuhan luka, seperti penggunaan povidone iodine maupun alkohol 70 % yang masih digunakan untuk membersihkan luka. Cairan antiseptik ini akan menyebabkan luka mengering dan luka dianggap telah sembuh walau akhirnya malah menimbulkan bekas menghitam dan jaringan parut. Padahal cairan tersebut bersifat korosif dan merusak jaringan fibroblast yang sangat dibutuhkan pada proses penyembuhan luka. Anggapan bahwa luka yang telah mengering adalah kondisi luka yang telah sembuh inilah yang harus diubah karena tidak sesuai dengan prinsip penyembuhan luka (Gitarja, 2008).

Perawatan luka dengan metode "basah ke kering" masih banyak digunakan di rumah sakit. Metode tersebut menggunakan kasa yang basah menutupi luka dan kemudian membiarkannya kering pada luka tersebut, dan setelah kering bekas luka atau jaringan matinya bisa dikupas. Masalah dengan pendekatan ini adalah bahwa seiring dengan jaringan mati yang terkelupas, sel-sel pertumbuhan halus dan jaringan granulasi juga berhenti. Hal ini mengakibatkan tidak hanya pertumbuhan jaringan sehat yang terganggu, tetapi juga menimbulkan rasa nyeri yang berlebihan (Kohr, 2011).

Berdasarkan penelitian terkait, oleh Sinaga (2012) menyatakan bahwa 100% perawat di RSUP Dr. Djasamen Saragih Pematang Siantar masih menerapkan cara lama perawatan luka, bahan yang digunakan adalah sama untuk luka akut maupun kronis, prinsip perawatan luka yang digunakan dengan teknik


(15)

basah dan kering, hal ini dapat menyebabkan hipogranulasi dan hipergranulasi, serta mempercepat terjadinya infeksi.

Khor (2011) mengatakan studi kasus sudah dilakukan untuk membuktikan bahwa penyembuhan luka dengan lingkungan lembab tertutup lebih baik dibandingkan lingkungan”open air” atau luka terbuka. Pada luka yang dibiarkan terbuka, nekrosis meningkat sekitar 0,2-0,3 mm2 setiap 2-3 jam. Pembentukan jaringan nekrosis tersebut akan menghalangi epitelisasi sel dari tepi luka (Maibach, Bashir & McKibbon, 2002).

Dr. George Winter melaporkan penelitiannya yang dilakukan pada hewan tahun 1962 yang direplikasi pada manusia tahun 1963 oleh Drs. Hinman dan Maibach. Hal tersebut membuktikan bahwa penyembuhan luka dengan teknik tertutup lebih cepat sembuh dan menghasilkan lebih sedikit jaringan parut daripada luka yang dibiarkan terbuka. Sejumlah uji klinis yang dilakukan sejak saat itu menunjukkan hasil yang sama. Jelas bahwa menutup luka dengan dressing occlusive atau balutan tertutup rapat dan membiarkannya terus tertutup selama beberapa hari dapat meningkatkan tingkat penyembuhan luka secara signifikan (Khor, 2011).

Teknik perawatan luka terkini di dunia keperawatan yaitu dengan menggunakan prinsip lembab dan tertutup, suasana lembab pada luka mendukung terjadinya proses penyembuhan luka (Blackley, 2004 dalam Septiyanti, 2014). Teknik perawatan luka lembab dan tertutup atau yang dikenal dengan “moist wound healing” adalah metode untuk mempertahankan kelembaban luka dengan menggunakan bahan balutan penahan kelembaban sehingga menyembuhkan luka,


(16)

pertumbuhan jaringan dapat terjadi secara alami. Munculnya konsep “moist wound healing” menjadi dasar munculnya pembalut luka modern (Mutiara, 2009 dalam Septiyanti, 2014).

Maibach, Bashir dan McKibbon (2002) mengatakan metode lembab dengan balutan tertutup secara klinis memiliki keuntungan akan meningkatkan proliferasi dan migrasi dari sel-sel epitel disekitar lapisan air yang tipis, mengurangi resiko infeksi dan timbulnya jaringan parut. Beberapa keunggulan metode ini dibandingkan dengan kondisi luka yang kering adalah meningkatkan re-epitelisasi 30-50%, meningkatkan sintesa kolagen sebanyak 20-60%, dan rata-rata re-epitelisasi dengan kelembaban 2-6 kali lebih cepat dan epitelisasi terjadi 3 hari lebih awal dari pada luka yang dibiarkan terbuka dan mengering.

RSUP H. Adam Malik Medan merupakan Rumah Sakit Umum Pusat Provinsi Sumatera Utara Tipe A dan menampung rujukan untuk wilayah A yang meliputi Provinsi Sumatera Utara, Aceh, Sumatera Barat dan Riau. Oleh karena itu tingkat kejadian pasien dengan berbagai kondisi di rumah sakit ini cukup banyak termasuk pasien dengan kondisi luka akut maupun kronis, sehingga penangannan yang tepat dari tenaga kesehatan di rumah sakit tersebut sangat dibutuhkan (Pardede, 2010).

2. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas dan berbagai fenomena yang muncul tentang luka maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah bagaimana tingkat pengetahuan perawat tentang perawatan luka metode moist wound healing di RSUP H. Adam Malik Medan.


(17)

3. Pertanyaan Penelitian

Bagaimana tingkat pengetahuan perawat tentang perawatan luka dengan metode moist wound healing di RSUP H. Adam Malik Medan?

4. Tujuan Penelitian

Mengidentifikasi pengetahuan perawat tentang perawatan luka dengan metode moist wound healing di RSUP H. Adam Malik Medan.

5. Manfaat Penelitian

5.1Manajemen Rumah Sakit

Hasil penelitian ini dapat menjadi masukan bagi pihak Manajemen RSUP H. Adam Malik Medan dalam rangka meningkatkan mutu dan dapat menentukan kebijakan yang terkait perawatan luka di rumah sakit tersebut. 5.2Pendidikan Keperawatan

Hasil penelitian ini dapat memberikan penjelasan mengenai kondisi perawatan luka di sebagian rumah sakit saat ini, dan dapat menjadi informasi mengenai perawatan luka dengan metode “moist wound healing”.

5.3Penelitian Keperawatan

Hasil penelitian yang diperoleh dapat menjadi informasi tambahan bagi peneliti yang ingin melakukan penelitian di ruang lingkup yang sama.


(18)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2. Pengetahuan (knowledge)

Pengetahuan merupakan hasil dari tahu manusia dan ini terjadi setelah melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Penginderaan terjadi melalui panca indra manusia yakni indera penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan raba. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga (Notoatmodjo, 2012).

Ranah kognitif berorientasi pada kemampuan berfikir, mencakup memampuan intelektual yang paling sederhana yaitu mengingat, sampai dengan kemampuan untuk memecahkan suatu masalah (problem solving). Pada ranah ini induvidu dituntut untuk menghubungkan dan menggabungkan gagasan. Semakin tinggi tahapan dari ranah kognitif ini menunjukan semakin sulitnya tingkat berfikir atau tuntutan seseorang. Penguasaan tingkatan ranah di bawahnya, merupakan prasyarat untuk menguasai tingkatan ranah di atasnya yang lebih tinggi (Nurhidayah, 2010).

1.1.Tingkatan Pengetahuan dalam Domain Kognitif

Notoatmodjo (2012) mengatakan bahwa tingkatan pengetahuan terbagi menjadi 6 tingkatan, yaitu tahu, memahami, aplikasi, analisis, sintesis dan evaluasi.

Tahu diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah dipelajari sebelumnya. Termasuk ke dalam pengetahuan tingkat ini adalah mengingat kembali (recall) sesuatu yang spesifik dan seluruh bahan yang dipelajari atau


(19)

rangsangan yang telah diterima. Oleh sebab itu, tahu ini merupakan tingkat pengetahuan yang paling rendah.

Memahami diartikan sebagai suatu kemampuan untuk menjelaskan secara benar tentang objek yang diketahui, dan dapat mengintegrasikan materi tersebut secara benar. Orang yang telah paham terhadap objek atau materi harus dapat menjelaskan, menyebutkan contoh, menyimpulkan, meramalkan, dan sebagainya terhadap objek yang dipelajari.

Aplikasi merupakan kemampuan untuk menggunakan materi yang telah dipelajari pada situasi atau kondisi real (sebanarnya). Aplikasi disini dapat diartikan sebagai apliksi atau penggunaan hukum-hukum, rumus, metode, prinsip an sebagainya dalam konteks atau situasi yang lain.

Analisis adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu objek ke dalam komponen-komponen, tetapi masih di dalam suatu struktur organisasi, dan masih ada kaitannya satu sama lain. Kemampuan analisis ini dapat dilihat dari penggunaan kata kerja, seperti dapat menggambarkan (membuat bagan), membedakan, memisahkan, mengelompokan dan sebagainya.

Sintesis menunjukan pada suatu kemampuan untuk meletakan atau menghubungkan bagian-bagian di dalam suatu bentuk keseluruhan yang baru. Dengan kata lain sintesis adalah suatu kemampuan untuk menyusun formulasi baru dari formulasi-formulasi yang ada. Misalnya, dapat menyusun, dapat merencanakan, dapat meringkaskan, dapat menyesuaikan, dan sebagainya terhadap suatu teori atau rumusan-rumusan yang telah ada.


(20)

Evalausi itu berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan justifikasi atau penilaian terhadap suatu materi atau objek. Penilaian-penilaian itu didasarkan pada suatu kriteria yang ditentukan sendiri, atau menggunakan kriteria-kriteria yang telah ada. Misalnya, dapat membandingkan antara anak yang cukup gizi dengan anak yang kekuarangan gizi, dan sebagainya.

Menurut Nursalam (2008), pengukuran pengetahuan ada dua kategori yaitu: menggunakan pertanyaan subjektif misalnya jenis pertanyaan essay dan pertanyaan objektif misalnya pertanyaan pilihan ganda (multiple choise), pertanyaan betul salah dan pertanyaan menjodohkan.

Rumus Pengukuran Pengetahuan : P = f/N x 100%

Dimana:

P : adalah persentase

f : frekuensi item soal benar N : jumlah soal

Pengkategorian pengetahuan yang umum digunakan yaitu: 1. Kategori baik dengan nilai 76-100 %

2. Kriteria cukup dengan nilai 56-75 % 3. Kriteria kurang dengan nilai < 55 % 1.2 Faktor yang Mempengaruhi Pengetahuan

Budiman (2013) mengatakan bahwa tingkat pengetahuan seseorang dipengaruhi banyak faktor yaitu pendidikan, informasi, sosial ekonomi, lingkungan, pengalaman dan usia.


(21)

Pendidikan sangat mempengaruhi tingkat pengetahuan seseorang. Semakin tinggi pendidikan seseorang diharapkan semakin luas pula pengetahuannya. Namun, perlu ditekankan bahwa seorang yang berpendidikan rendah tidak berarti mutlak berpengetahuan rendah pula. Peningkatan pengetahuan tidak mutlak diperoleh di pendidikan formal, akan tetapi juga dapat diperoleh pada pendidikan nonformal.

Informasi adalah suatu teknik untuk mengumpulkan, menyiapkan, menyimpan, memanipulasi, mengumumkan, menganalisis, dan menyebarkan informasi dengan tujuan tertentu untuk memengaruhi pengetahuan masyarakat tentang inovasi baru. Sebagai sarana komunikasi, berbagai bentuk media massa seperti televisi, radio, surat kabar, majalah, dan lain-lain mempunyai pengaruh besar terhadap pembentukan opini dan kepercayaan orang.

Sosial dan ekonomi juga sangat mempengaruhi tingkat pengetahuan seseorang. Status ekonomi seseorang juga akan menentukan tersedianya suatu fasilitas yang diperlukan untuk kegiatan tertentu sehingga status sosial ekonomi ini akan memengaruhi pengetahuan seseorang.

Lingkungan adalah segala sesuatu yang ada di sekitar individu, baik lingkungan fisik, biologis, maupun sosial. Lingkungan berpengaruh terhadap proses masuknya pengetahuan ke dalam individu yang berada dalam lingkungan tersebut.

Pengalaman sebagai sumber pengetahuan adalah suatu cara untuk memperoleh kebenaran pengetahuan dengan cara mengulang kembali pengetahuan yang diperoleh dalam memecahkan masalah yang dihadapi masa


(22)

lalu. Pengalaman belajar dalam bekerja yang dikembangkan memberikan pengetahuan dan keterampilan profesional, serta pengalaman belajar selama bekerja akan dapat mengembangkan kemampuan mengambil keputusan yang merupakan manifestasi dari keterpaduan menalar secara ilmiah dan etik yang bertolak dari masalah nyata dalam.

Usia memengaruhi daya tangkap dan pola pikir seseorang. Semakin bertambah usia akan semakin berkembang pula daya tangkap dan pola pikirnya sehingga pengetahuan yang diperolehnya semakin membaik.

2. Perawatan Luka dengan Metode Moist Wound Healing

Bryant (2007) menyatakan konsep perawatan luka metode lembab pertama kali dipublikasikan oleh Professor George D Winter pada 1962 dalam jurnal Nature (193:293) Formation of the scab and the rate of epithelisation of superficial wounds in the skin of the young domestic pig. Ia melakukan studi dengan menciptakan beberapa luka kecil dengan ketebalan parsial di punggung babi. Sebagian luka yang telah diciptakan kemudian dibiarkan mengering dan membentuk keropeng, sementara luka yang lain ditutupi dengan film polimer. Hasilnya luka yang telah ditutupi oleh balutan film polimer (occlusive dressing) mengalami re-epitelisasi dua kali lebih cepat dibandingkan dengan luka yang dibiarkan terbuka terkena udara.

”Moist Wound Healing” adalah metode untuk mempertahankan kelembaban luka dengan menggunakan balutan tertutup penahan kelembaban, sehingga penyembuhan luka dan pertumbuhan jaringan dapat terjadi secara alami. Winter (1962, dalam Bryant, 2007) mendalilkan bahwa sel-sel epitel pada luka


(23)

kering pasti menjadi keropeng, memakan tenaga dan waktu, sedangkan pada luka lembab mereka bermigrasi secara bebas di seluruh permukaan luka vaskular lembab. Teori Winter tersebut telah didukung oleh penelitian lain sebagai tambahan penelitian lain yang memberikan bukti bahwa lingkungan yang lembab dapat mempercepat respon inflamasi, yang menjadikan proliferasi sel lebih cepat dan penyembuhan luka pada luka dermal yang lebih dalam. Prinsip penyembuhan luka lembab meniru fungsi dari epidermis. Tubuh kita sebagian besar terdiri dari air, dan lingkungan alam sel lembab. Oleh karena itu, sel kering adalah sel mati (Bryant, 2007).

Schultz et al. (2005) menyatakan moist wound healing merupakan suatu metode yang mempertahankan lingkungan luka tetap lembab untuk memfasilitasi proses penyembuhan luka. Lingkungan luka yang lembab dapat diciptakan dengan semi-occlusive dressing, full occlusive dan impermeable dressing. Dengan perawatan luka tertutup (occlusive dressing) maka keadaan yang lembab dapat tercapai dan hal tersebut telah diterima secara universal sebagai standar baku untuk berbagai tipe luka.

Substansi biokimia pada cairan luka kronik berbeda dengan luka akut. Produksi cairan pada luka kronik menekan penyembuhan luka dan dapat menyebabkan maserasi pada pinggir luka. Cairan pada luka kronik ini juga menghancurkan matrik protein ekstra selular dan faktor-faktor pertumbuhan, menimbulkan inflamasi yang lama, menekan proliferasi sel, dan membunuh matrik jaringan. Dengan demikian, untuk mengefektifkan perawatan pada dasar luka, harus mengutamakan penanganan cairan yang keluar dari permukaan luka


(24)

untuk mencegah aktifitas dari biokimiawi yang bersifat merugikan (Schultz et al., 2005).

Moist wound healing bertujuan untuk mempertahankan isolasi lingkungan luka yang tetap lembab dengan menggunakan balutan penahan-kelembaban occlusive dan semi occlusive. Balutan tersebut dapat mempercepat penyembuhan 45% lebih cepat, mengurangi komplikasi infeksi dan pertumbuhan jaringan parut residual sehingga perawatan luka dapat dioptimalkan (Schultz et al., 2005).

Bertambahnya produksi eksudat adalah bagian dari fase inflamasi yang normal pada proses penyembuhan luka. Peningkatan permeabilitas kapiler pembuluh darah, menyebabkan cairan yang kaya akan protein masuk ke rongga interstitial. Hal ini meningkatkan produksi dari cairan yang memfasilitasi pembersihan luka dari permukaan luka dan mempertahankan kelembaban lingkungan lokal yang maksimal untuk memaksimalkan penyembuhan. Keseimbangan kelembaban pada permukaan balutan luka adalah faktor kunci dalam mengoptimalkan perbaikan jaringan, mengeliminasi eksudat dari luka yang berlebihan pada luka kronik yang merupakan bagian penting untuk permukaan luka.

Keuntungan dari permukaan luka yang lembab diantaranya mengurangi pembentukan jaringan parut, meningkatkan produksi faktor pertumbuhan, mengaktivasi protease permukaan luka untuk mengangkat jaringan yang mati, menambah pertahanan imunitas permukaan luka, meningkatkan kecepatan angiogenesis dan proliferasi fibroblast, meningkatkan proliferasi dan migrasi dari sel-sel epitel disekitar lapisan air tipis, mengurangi rasa nyeri saat mengganti


(25)

balutan, dan efektifiktas biaya. Biaya pembelian balutan occlusive lebih mahal dari balutan kasa konvensional, tetapi dengan mengurangi frekuensi penggantian balutan dan meningkatkan kecepatan penyembuhan dapat menghemat biaya yang dibutuhkan (Schulitz et al., 2005).

Perbandingan permukaan luka yang lembab dengan luka yang terbuka cukup signifikan. Kelembaban meningkatkan epitelisasi 30-50%, memfasilitasi pertumbuhan sel-sel epitel pada permukaan kulit dengan ratarata re-epitelisasi kelembaban 2-5 kali lebih cepat. Kelembaban meningkatkan sintesa kolagen sebanyak 50%, sehingga memperkecil terbentuknya jaringan parut. Mengurangi kehilangan cairan dari atas permukaan luka dan mengurangi produksi eksudat akibat proses inflamasi pada permukaan luka (Schulitz et al., 2005).

Penerapan metode moist wound healing sangat penting dan berkaitan dengan penerapan seluruh rencana perawatan luka. Persiapan dasar luka sangat mendukung metode moist wound healing dan terjadinya proses penyembuhan luka dengan baik.

Persiapan dasar luka atau Wound Bed Preparation (WBP) diungkapkan oleh Falanga et al. (2004) di Europaean Wound Management Association (EWMA), sebuah diskusi ilmiah untuk menentukan persiapan dasar luka mengenalkan penggunaan manajemen TIME sebagai penatalaksanaan komprehensif pada luka kronik. Kerangka TIME membantu untuk menetapkan persiapan dasar luka dengan mengurangi edema, eksudat, dan mengurangi bakteri buruk dan memperbaiki penyebab gagalnya penyembuhan luka tersebut.


(26)

Falanga (2004) persiapan dasar luka ini bukan merupakan sebuah konsep yang statis dan linear, tetapi dinamis. Dalam pelaksanaannya kerangka TIME juga disesuaikan dengan kondisi luka, berbeda luka memerlukan perhatian pada elemen-elemen yang berbeda. Manajemen ini dapat memfasilitasi proses pertumbuhan jaringan dari tepi luka secara normal, dan juga menangani faktor intrinsik dan ekstrinsik yang mempengaruhi kegagalan penyembuhan luka. TIME terdiri dari empat komponen untuk luka persiapan dasar luka yang menangani berbagai kelainan patofisiologi mendasari luka kronis. T untuk Tissue management (manajemen jaringan), I untuk Inflammation and infection control (kontrol inflamasi dan infeksi), M untuk Moist balance (kelembaban yang seimbang) dan E untuk Ephitelial or edge advancement (kemampuan epitel atau tepi luka).

1) Tissue management (manajemen jaringan).

Tujuan dari manajemen jaringan yaitu untuk mengangkat jaringan mati, membersihkan luka dari benda asing, dan persiapan dasar luka yang kuning/ hitam menjadi merah. Tindakan utama manajemen jaringan adalah dengan melakukan debridement, dimulai dari mengkaji dasar luka sehingga dapat dipilih jenis debridement yang akan dilakukan.

Debridement adalah kegiatan mengangkat atau menghilangkan jaringan mati (devaskularisasi), jaringan terinfeksi dan benda asing dari dasar luka sehingga dapat ditemukan dasar luka dengan vaskularisasi baik. Untuk mendapatkan dasar luka yang baik (tidak ada lagi jaringan mati dan benda asing) diperlukan tindakan debridement secara berkelanjutan. Kaji luka,


(27)

lingkungan dan faktor sistemik pasien sebelum melakukan debridement, tentukan pencapaian hasil dan pilih jenis tindakan debridement yang cocok untuk pasien tersebut (Falanga, 2004)

Maryunani (2013) menyatakan bahwa debridement terdiri dari beberapa jenis yaitu debridement mekanik, debridement bedah, debridement enzimatik, dan debridement autolitik. Debridement mekanik merupakan teknik yang menggunakan kasa, pinset, irigasi dan kompres untuk mengangkat jaringan mati. Debridement bedah hanya dilakukan oleh tenaga kesehatan yang berpengalaman dengan menggunakan pisau bisturi, gunting, dan lacer. Debridement enzimatik adalah metode yang menggunakan agen topikal terapi yang menganduk enzimatik seperti papaian, kolegenase dan lainnya. Debridement autolitik merupakan prosedur alami tubuh dalam melakukan debridement, yang selektif atau hanya membuang jaringan nekrosis dan membutuhkan lingkungan luka yang lembab.

2) Inflammation and infection control (kontrol inflamasi dan infeksi).

Tujuan dari kontrol inflamasi dan infeksi yaitu untuk mengontrol inflamasi, mengurangi jumlah perkembangbiakan kuman, dan mencegah infeksi dan mengatasi infeksi. Semua luka kronis adalah luka yang terkontaminasi tapi tidak selalu ada infeksi (Smith, 1983 dalam Arisanty, 2012).

Infeksi adalah pertumbuhan organisme pada luka yang berlebihan ditandai dengan terjadi reaksi jaringan lokal maupun sistemik. Sebelum terjadi infeksi ada proses perkembangbiakan kuman mulai dari kontaminasi kolonisasi lalu


(28)

infeksi (Schultz et al, 2003 dalam Arisanty, 2012). Luka dikatakan dikatakan infeksi jika ada tanda inflamasi/ infeksi, eksudat purulen/ nanah bertambah banyak dan sangat berbau, luka meluas/ breakdown, serta melalui pemeriksaan penunjang diagnostik seperti leukosit dan makrofag meningkat, kultur eksudat : bakteri > 10 6/ gr jaringan (Arisanty, 2012).

3) Moisture balance (kelembaban yang seimbang)

Tujuan dari kelembaban yang seimbang yaitu untuk mempertahankan kelembaban yang seimbang, melindungi luka dari trauma saat mengganti balutan, dan melindungi kulit sekitar luka. Kelembaban pada kulit menjadi kebutuhan dasar, ketika kulit mengalami kerusakan, secara otomatis juga masih membutuhkan suasana lembab lebih besar dari sebelumnya. Cairan yang berlebih pada luka kronik dapat menyebabkan terganggunya kegiatan sel mediator seperti Growth Factor pada jaringan. Banyaknya cairan luka (eksudat) pada luka kronik dapat menimbulkan maserasi dan perlukaan baru pada daerah sekitar luka, sehingga konsep kelembaban yang dikembangkan adalah keseimbangan kelembaban luka (Falanga, 2004).

Penggunaan balutan yang tertutup rapat akan mengoptimalkan keseimbangan kelembaban luka. Kelembaban yang terjaga dengan optimal akan mengefektifkan proses penyembuhan luka (Arisanty, 2012).

4) Epithelization advancement (kemajuan epitel atau tepi luka)

Tujuannya ialah untuk mendukung proses epitelisasi, dan mempercepat penutupan luka.Proses penutupan luka dimulai dari tepi luka disebut dengan proses epitelisasi. Proses penutupan luka terjadi pada fase poliferasi


(29)

penyembuhan luka. Epitel (tepi luka) sangat penting untuk diperhatikan sehingga proses epitelisasi dapat berlangsung secara efektif. Tanda-tanda dari epitel yang baik diantaranya: halus, tipis, menyatu dengan dasar luka bersih dan lunak. Jika T-I-M teratasi maka E sebagai Epitelisasi akan berjalan dengan baik (Arisanty, 2012).

Perawatan luka adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk merawat luka agar dapat mencegah terjadinya trauma (injuri) pada kulit membran mukosa atau jaringan lain, fraktur, luka operasi yang dapat merusak permukaan kulit. Serangkaian kegiatan itu meliputi pembersihan luka, memasang balutan, mengganti balutan, pengisian (packing) luka, memfiksasi balutan, tindakan pemberian rasa nyaman yang meliputi membersihkan kulit dan daerah drainase, irigasi, pembuangan drainase, pemasangan perban (Bryant, 2007).

Maryunani (2013) menyatakan perawatan luka bertujuan untuk mengangkat jaringan nekrotik demi meningkatkan penyembuhan luka, mencegah dan membatasi atau mengontrol infeksi, menyerap eksudat, mempertahankan lingkungan luka yang lembab, melindungi luka dari trauma selanjutnya dan melindungi luka sekitar dari infeksi dan trauma.

2.1.Manajemen Perawatan Luka dengan Metode Moist Wound Healing

Wocare clinic (2007 dalam Buku panduan pelatihan perawatan luka, 2012) menyatakan manajemen perawatan luka terdiri dari 3 tahapan yang disingkat menjadi 3M, yaitu mencuci luka, membuang jaringan nekrotik, dan memilih balutan yang tepat.


(30)

a. Mencuci luka

Pencucian luka merupakan hal pokok untuk meningkatkan, memperbaiki, mempercepat penyembuhan luka dan menghindari kemungkinan terjadinya infeksi. Tujuannya ialah untuk membuang jaringan nekrosis, membuang cairan luka yang berlebih dan membuang sisa balutan yang digunakan. Pencucian luka dilakukan setiap penggantian balutan luka (Maryunani, 2013).

Gitarja (2008) mengatakan bahwa cairan terbaik dan teraman untuk mencuci luka adalah cairan fisiologis yang non-toksik pada proses penyembuhan luka yaitu cairan normal salin/ NaCl 0,9% atau dapat juga digunakan air steril/ air atang suam-suam kuku. Cairan pembersih lainnya atau banyak dikenal dengan cairan antiseptik yang banyak beredar di ruang-ruang perawatan seperti povidone iodine, alkohol 70 %, H2O2 (Hidrogen Peroksida), cairan hipoklorit, rivanol dan lainnya sering menimbulkan bahaya alergi dan perlukaan di kulit sehat dan kulit yang terluka. Tujuan utama dari penggunaan antiseptik yang tepat guna adalah untuk mencegah terjadinya kontaminasi bakteri pada luka. Namun perlu diperhatikan bahwa kebanyakan antiseptik dapat merusak jaringan fibroblast yang sangat dibutuhkan pada proses penyembuhan luka.

Ada beberapa teknik pencucian luka, diantaranya dengan swabbing (menyeka), scrubbing (menggosok), showering (irigasi), whirpool, dan bathing (mengguyur). Mencuci dengan teknik swabbing (menyeka), dan scrubbing (menggosok) tidak terlalu dianjurkan karena dapat menyebabkan trauma dan perdarahan sehingga dapat meningkatkan inflamasi pada jaringan granulasi dan


(31)

epithelium, juga membuat bakteri terdistribusi malah bukan mengangkat bakteri.Teknik showering (irigasi), whirpool, dan bathing (mengguyur) adalah teknik yang paling sering digunakan dan banyak riset yang mendukung teknik ini. Keuntungan teknik ini adalah dengan teknik tekanan yang cukup dapat mengangkat bakteri yang terkolonisasi, mengurangi terjadinya trauma, dan mencegah terjadinya infeksi silang (Gitarja, 2008).

Setelah luka bersih dicuci, dilanjutkan dengan mengkaji kondisi luka. Pengkajian luka ditunjukkan pada pengumpulan data khusus karakteristik status luka dan sekitar luka (Ekaputra, 2013). Pengkajian luka kronis sama dengan pengkajian luka akut, namun disini penekanan pada kenapa atau apa yang menyebabkan luka tidak kunjung sembuh lebih diperhatikan (Arisanty, 2012).

Menurut Keast et al, (2004 dalam Ekaputra 2013) menyatakan MEASURE sebagai istilah atau framework dalam mengkaji luka yaitu dalam table berikut : Tabel 2.1 Framework MEASURE menurut Keast et al (2004 dalam Ekaputra, 2013)

Istilah Parameter Isi Parameter

M Measure Panjang, lebar dan kedalaman luka E Exudate Kualitas dan kuantitas eksudat A Appearance Dasar luka, tipe jaringan dan jumlah

S Suffering Tipe nyeri dan skala/ derajat luka U Undermining Ada atau tidak kerusakan sekitar luka R Re-evaluate Memonitor semua parameter secara teratur E Edge Kondisi tepi luka dan sekitar kulit


(32)

b. Membuang jaringan nekrotik

Nekrotik adalah perubahan morphologi yang diindikasikan oleh adanya sel mati yang disebabkan oleh degradasi enzim secara progresif, dan ini merupakan respon yang normal dari tubuh terhadap jaringan rusak. Jaringan nekrotik dapat menghalangi proses penyembuhan luka dengan menyediakan tempat untuk pertumbuhan bakteri. Untuk menolong penyembuhan luka, tindakan debridement sangat dibutuhkan (Gitarja, 2008).

Debridement merupakan tindakan membuang jaringan nekrotik/ slough pada luka. Tindakan tersebut merupakan bagian dari manajemen persiapan dasar luka dalam perawatan luka dengan metode moist wound healing (Maryunani, 2013).

c. Memilih balutan luka

Memilih balutan merupakan hal yang harus dilakukan untuk memperbaiki kerusakan jaringan integument. Berhasil tidaknya perawatan luka, tergantung kepada kemampuan perawat dalam memilih balutan yang tepat, efektif dan efisien (Gitarja, 2008).

Balutan luka terbagi menjadi dua yaitu balutan primer dan balutan sekunder. Balutan primer merupakan balutan yang melindungi langsung menempel pada dasar luka. Balutan primer dapat berupa topikal terapi seperti salep luka maupun gel seperti lembaran penutup luka. Balutan sekunder merupakan balutan luka yang digunakan untuk menutup balutan primer ketika balutan primer tidak melindungi secara sempurna luka dari kontaminasi (Bryant, 2007).


(33)

Bux dan Malhi (1996 dalam Bryant, 2007) mengatakan kebanyakan balutan luka yang beredar saat ini adalah balutan semiocclusive daripada occllusive. Occllusive dressing merupakan balutan yang tertutup rapat, baik air, maupun udara (seperti penguapan, oksigen dan karbondioksida) tidak dapat melewati balutan tersebut, sedangkan semiocclusive balutan yang tertutup rapat namun masih memungkinkan masuknya udara dalam level rendah.

Semiocclusive maupun Occlusive dressing adalah balutan dengan prinsip tertutup rapat merupakan prinsip balutan yang mendukung dilakukannya perawatan luka dengan metode lembab atau moist wound healing. Jenis balutan ini akan mempertahankan lingkungan dalam keadaan optimal, dimana saat penggantian balutan akan tampak adanya peluruhan jaringan nekrosis dan slough, sehingga tampak dasar luka menjadi bersih (Maryunani, 2013).

Tujuan pemilihan balutan luka dengan prinsip occlusive atau tertutup rapat yaitu untuk melindungi dan menggantikan fungsi kulit yang rusak atau hilang, mempertahankan kelembaban yang seimbang untuk mempercepat proses penyembuhan luka agar menciptakan suasana lembab yang seimbang dan mengoptimalkan proses debris, mencegah trauma, resiko infeksi ataupun kontaminasi dari lingkungan luar, mempercepat proses penyembuhan luka dan mengefektifkan biaya, waktu, dan tenaga karena tidak perlu diganti setiap hari (Arisanty, 2012).

Perkembangan ilmu tersebut dapat dilihat dari banyaknya inovasi terbaru dalam perkembangan produk bahan pembalut luka modern. Bahan pembalut


(34)

luka modern adalah produk pembalut hasil teknologi tinggi yang mampu mengontrol kelembapan disekitar luka dan disesuaikan dengan jenis luka dan eksudat yang menyertainya (Sinaga, 2012). Bryant (2007) menyatakan ada beberapa jenis balutan luka yang mampu mempertahankan kelembaban antara lain:

Alginat banyak terkandung dalam rumput laut cokelat dan kualitasnya bervariasi. Polisakarida ini digunakan untuk bahan regenerasi pembuluh darah, kulit, tulang rawan, ikatan sendi dan sebagainya. Apabila pembalut luka dari alginat kontak dengan luka, maka akan terjadi infeksi dengan eksudat, menghasilkan suatu jel natrium alginat. Jel ini bersifat hidrofilik, dapat ditembus oleh oksigen tapi tidak oleh bakteri dan dapat mempercepat pertumbuhan jaringan baru. Selain itu bahan yang berasal dari alginat memiliki daya absorpsi tinggi, dapat menutup luka, menjaga keseimbangan lembab disekitar luka, mudah digunakan, bersifat elastis. antibakteri, dan nontoksik. Alginat adalah balutan primer dan membutuhkan balutan sekunder seperti film semi-permiabel, foam sebagai penutup. Hal ini disebabkan karena balutan ini menyerap eksudat, memberi kelembaban, dan melindungi kulit di sekitarnya agar tidak mudah rusak. Untuk memperoleh hasil yang optimal balutan ini harus diganti sekali sehari. Balutan ini dindikasi untuk luka superfisial dengan eksudat sedang sampai banyak dan untuk luka dalam dengan eksudat sedang sampai banyak sedangkan kontraindikasinya adalah tidak dinjurkan untuk membalut luka pada luka bakar derajat III.


(35)

Hidrogel tersedia dalam bentuk lembaran (seperti serat kasa, atau jel) yang tidak berperekat yang mengandung polimer hidrofil berikatan silang yang dapat menyerap air dalam volume yang cukup besar tanpa merusak struktur bahan. Jel akan memberi rasa sejuk dan dingin pada luka, yang akan meningkatkan rasa nyaman pasien. Jel diletakkan langsung diatas permukaan luka, dan biasanya dibalut dengan balutan sekunder (foam atau kasa) untuk mempertahankan kelembaban sesuai level yang dibutuhkan untuk mendukung penyembuhan luka. Indikasi balutan ini adalah digunakan pada jenis luka dengan cairan yang sedikit sedangkan kontraindikasinya adalah luka yang banyak mengeluarkan cairan

Foam Silikon Lunak jenis ini menggunakan bahan silikon yang direkatkan, pada permukaan yang kontak dengan luka. Silikon membantu mencegah balutan foam melekat pada permukaan luka atau sekitar kulit pada pinggir luka. Hasilnya menghindarkan luka dari trauma akibat balutan saat mengganti balutan, dan membantu proses penyembuhan. Balutan luka silikon lunak ini dirancang untuk luka dengan drainase dan luas.

Hidrokoloid bersifat ”water-loving” dirancang elastis dan merekat yang mengandung jell seperti pektin atau gelatin dan bahan-bahan absorben atau penyerap lainnya. Balutan hidrokoloid bersifat semipermiabel, semipoliuretan padat mengandung partikel hidroaktif yang akan mengembang atau membentuk jel karena menyerap cairan luka. Bila dikenakan pada luka, drainase dari luka berinteraksi dengan komponen-komponen dari balutan untuk membentuk seperti jel yang menciptakan lingkungan yang lembab yang


(36)

dapat merangsang pertumbuhan jaringan sel untuk penyembuhan luka. Balutan hidrokoloid ada dalam bermacam bentuk, ukuran, dan ketebalan. Balutan hidrokoloid digunakan pada luka dengan jumlah drainase sedikit atau sedang. Balutan jenis ini biasanya diganti satu kali selama 5-7 hari, tergantung pada metode aplikasinya, lokasi luka, derajat paparan kerutan-kerutan dan potongan-potongan, dan inkontinensia. Balutan ini diindikasi kan pada luka pada kaki, luka bernanah, sedangkan kontraindikasi balutan ini adalah tidak digunakan pada luka yang terinfeksi.

Hidrofiber merupakan balutan yang sangat lunak dan bukan tenunan atau balutan pita yang terbuat dari serat sodium carboxymethylcellusole, beberapa bahan penyerap sama dengan yang digunakan pada balutan hidrokoloid. Komponen-komponen balutan akan berinteraksi dengan drainase dari luka untuk membentuk jel yang lunak yang sangat mudah dieliminasi dari permukaan luka. Hidrofiber digunakan pada luka dengan drainase yang sedang atau banyak, dan luka yang dalam dan membutuhkan balutan sekunder. Hidrofiber dapat juga digunakan pada luka yang kering sepanjang kelembaban balutan tetap dipertahankan (dengan menambahkan larutan normal salin). Balutan hidrofiber dapat dipakai selama 7 hari, tergantung pada jumlah drainase pada luka.


(37)

BAB 3

KERANGKA PENELITIAN

1. Kerangka Penelitian

Kerangka konsep penelitian merupakan kerangka hubungan antara konsep-konsep yang diukur atau diamati melalui penelitian yang dilakukan (Riyanto, 2011). Kerangka penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi pengetahuan perawat tentang perawatan luka metode moist wound healing di RSUP H. Adam Malik Medan.

Skema 3.1. Kerangka penelitian pengetahuan perawat tentang perawatan luka dengan metode moist wound healing di RSUP H. Adam Malik Medan

Pengetahuan Perawat tentang Perawatan Luka dengan Metode Moist Wound Healing

Baik

Kurang Cukup


(38)

2. Definisi Operasional Tabel 3.1 Definisi operasional

N

o. Variabel

Definisi Operasional

Alat Ukur

Cara

Ukur Hasil Ukur

Skal a 1. Pengetahuan

perawat tentang

perawatan luka dengan metode moist wound healing di RSUP H. Adam Malik Medan Segala sesuatu yang diketahui oleh perawat tentang perawatan luka dengan metode lembab dengan menggunakan balutan tertutup rapat di RSUP H. Adam Malik Medan Kuesi oner Dengan menghitu ng jawaban responde n melalui kuesioner 1. Benar 16-20 : Baik 2. Benar 11-15 : Cukup 3. Benar 0-10 : Kurang Ordi nal


(39)

BAB 4

METODOLOGI PENELITIAN

1. Desain Penelitian

Desain penelitian yang digunakan dalam penelitian ini ialah deskriptif murni yang bertujuan mengidentifikasi pengetahuan perawat tentang perawatan luka dengan metode moist wound healing di RSUP H. Adam Malik Medan. 2. Populasi dan Sampel

2.1Populasi

Populasi merupakan keseluruhan subjek penelitian (Arikunto, 2006). Populasi dalam penelitian ini adalah perawat pelaksana di ruang rawat inap yang melakukan tindakan perawatan luka pada pasien dengan kondisi luka akut, full thickness dan kronik. Ruang rawat inap yang menampung pasien dengan kondisi luka akut dan kronik terdiri dari empat ruangan, yaitu : RA1 (ruang penyakit dalam laki-laki), RB2A (ruang bedah plastik), RB2 B (ruang bedah onkologi dan digestif) dan RB3 (ruang ortopaedi) yang berjumlah 65 orang perawat pelaksana.

2.2 Sampel

Sampel adalah bagian dari populasi yang diambil melalui cara-cara tertentu juga memiliki karakteristik tertentu, jelas, dan lengkap dan dianggap bisa mewakili populasi (Riyanto, 2011). Sampel pada penelitian ini adalah semua jumlah populasi dijadikan sampel. Hal ini sesuai dengan pendapat Arikunto (2008), yang menyatakan bahwa subjeknya kurang dari 100 orang, maka lebih


(40)

baik diambil semuanya, sehingga penelitian ini merupakan penelitian populasi. Jadi, teknik pengambilan sampel pada penelitian ini adalah total sampling.

Dalam menentukan sampel, peneliti mengacu kepada kriteria yang sudah ditetapkan yaitu kriteria inklusi dan eksklusi.

a. Kriteria Inklusi

Subjek/objek memenuhi syarat dan dapat mewakili sampel penelitian. Dalam penelitian ini yang menjadi kriteria inklusi adalah:

1) Perawat pelaksana yang bekerja di ruang rawat inap RA1, RB2A, RB2B, RB3.

2) Pendidikan perawat minimal D III

3) Telah bekerja dipelayanan keperawatan selama minimal 1 tahun 4) Bersedia menjadi subjek penelitian atau menjadi responden

Dari total populasi perawat pelaksana terdapat 5 perawat yang tidak memenuhi syarat kriteria inklusi. Tiga perawat berlatarbelakang pendidikan SPK, dan dua perawat lainnya bekerja dipelayanan keperawatan kurang dari 1 tahun. Oleh karena itu, yang termasuk dalam kriteria inklusi dan memenuhi syarat menjadi responden penelitian berjumlah 60 orang perawat.

b. Kriteria Eksklusi

Subjek/objek tidak memenuhi syarat dan tidak dapat mewakili sampel penelitian. Dalam penelitian ini yang menjadi kriteria eksklusi adalah:

1) Perawat yang sedang menjalani pendidikan, cuti dan sakit


(41)

3. Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di RSUP H. Adam Malik Medan dengan alasan tersedianya sampel yang memadai, dan penelitian mengenai pengetahuan perawat tentang perawatan luka dengan metode moist wound healing belum pernah diteliti di rumah sakit tersebut. Waktu penelitian dilakukan pada Mei-Juni 2015.

4. Pertimbangan Etik

Penelitian ini dilakukan setelah mendapatkan pengesahan dari Komisi Etik Penelitian Keperawatan dan mendapatkan izin dari Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara, lalu mengirimkan surat izin ke RSUP H. Adam Malik Medan sebagai tempat penelitian. Setelah mendapat persetujuan dari Pimpinan RSUP H. Adam Malik Medan peneliti mulai mengumpulkan data dengan memberikan lembar persetujuan (informed consent) kepada responden yang diteliti. Sebelum responden mengisi dan menandatangani lembar persetujuan, peneliti menjelaskan maksud, tujuan, prosedur penelitian dan penelitian ini bersifat sukarela sesuai dengan ketentuan yang berlaku tanpa adanya tekanan baik secara fisik maupun psikologis. Peneliti menanyakan kesediaan responden untuk berpartisipasi dalam penelitian dengan menandatangani lembar persetujuan tersebut atau bersedia secara lisan. Jika responden tidak bersedia, maka peneliti tidak memaksa dan menghormati keputusannya.

Untuk menjaga kerahasiaan responden, peneliti tidak mencantumkan namanya, pada lembar pengumpulan data. Peneliti cukup memberikan kode pada masing-masing lembar tersebut. Kerahasiaan catatan tentang data responden dijaga dengan tidak menuliskan nama responden pada instrumen penelitian tetapi


(42)

hanya menuliskan inisial namanya saja untuk menjaga kerahasiaan semua informasi yang diberikan. Data-data yang telah diperoleh dari calon responden juga hanya digunakan untuk kepentingan penelitian (Nursalam, 2008).

5. Instrumen Penelitian

Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini berupa tes dalam bentuk kuisioner yang dikembangkan berdasarkan kerangka penelitian yang telah disusun mengacu kepada tinjauan pustaka. Lembar kuesioner terdiri dari dua bagian yaitu data demografi dan lembar format berupa pertanyaan untuk mengukur pengetahuan perawat tentang perawatan luka dengan metode moist wound healing.

Kuisioner data demografi meliputi jenis kelamin, usia, tingkat pendidikan, lama bekerja dalam pelayanan keperawatan, dan pelatihan. Data demografi bertujuan untuk mengetahui karakteristik responden dan mendeskripsikannya dalam distribusi frekuensi dan presentase.

Kuesioner untuk mengukur pengetahuan perawat tentang perawatan luka dengan metode moist wound healing terdiri atas 20 pertanyaan pilihan berganda atau multiple choice. Menggunakan skala rating, dimana jawaban yang benar diberi skor 1 dan untuk jawaban yang salah diberi skor 0. Nilai minimum yang didapat adalah 0 dan nilai maksimum adalah 20. Maka semakin tinggi nilai yang benar, semakin baik pula pengetahuan perawat tersebut (Sudjana, 2002).

Untuk mengetahui persentasi tingkat pengetahuan perawat digunakan rumus pengukuran pengetahuan (Nursalam, 2008) :


(43)

Dimana:

P : adalah persentase

f : frekuensi item soal benar N : jumlah soal

Pengkategorian pengetahuan yang umum digunakan yaitu:

1. Kategori baik dengan nilai 76-100 %, yaitu benar 16-20 soal 2. Kriteria cukup dengan nilai 56-75 %, yaitu benar 11-15 soal 3. Kriteria kurang dengan nilai < 55 %, yaitu benar 0-10 soal 6. Validitas dan Realibilitas Instrumen

6.1Validitas

Instrumen penelitian pengetahuan perawat perawat dibuat oleh peneliti, sehingga perlu dilakukan uji validitas untuk mengetahui seberapa besar derajat kemampuan alat ukur dalam mengukur secara konsisten sasaran yang diukur. Pengujian validitas yang dilakukan pada penelitian ini adalah pengujian validitas isi. Validitas isi adalah suatu keputusan tentang bagaimana instrumen dengan baik mewakili karakteristik yang diteliti. Pengujian validitas isi dilakukan dengan memberikan instrumen penelitian, kriteria dan lembar penilaian Content Validity Index (CVI) kepada dosen Fakultas Keperawatan yang ahli dibidang perawatan luka, yaitu Bapak Ns. Ikhsanuddin Ahmad Harahap, M.NS., Bapak Ns. Ismayadi, M.Kes dan Bapak Ns. Asrizal, M.Kep., RN., WOC(ET)N, CHt.N. Hasil uji validitas dikatakan valid dilihat berdasarkan Coefisient Validity Index (CVI ). Kriteria Penilaian CVI (Content Validity Index) menurut Polite & Beck (2006) adalah sebagai berikut, setiap


(44)

pernyataan diberi skor 1 dengan pernyataan dinyatakan tidak valid dan tidak relevan, diberi skor 2 dengan pernyataan dinyatakan belum valid dan membutuhkan banyak revisi, diberi skor 3 dengan pernyataan valid dan membutuhkan sedikit revisi, diberi skor 4 dengan pernyataan valid dan sangat relevan. Setelah itu, nilai validitas dihitung dengan mengunakan rumus:

Suatu instrumen dikatakan valid jika Coefisient Validity Index mencapai nilai 0,80. Hasil Coefisient Validity Index uji validitas kuesioner pengetahuan perawat tentang perawatan luka dengan metode moist wound healing yang didapat adalah 0,84 dan dinyatakan bahwa kuesioner penelitian ini telah valid dan layak untuk diberikan kepada responden.

6.2Reliabilitas

Uji reliabilitas dilakukan untuk mengetahui seberapa besar derajat alat ukur dapat mengukur secara konsisten objek yang diukur. Alat ukur yang baik adalah alat ukur yang memberikan hasil yang sama bila digunakan beberapa kali pada kelompok sampel dan walau dilakukan oleh pengamat yang berbeda. Uji reliabilitas untuk kuesioner tingkat pengetahuan perawat dilakukan pada 30 orang responden. Uji reliabilitas dilakukan di RSUP H. Adam Malik pada responden yang memenuhi kriteria sampel penelitian di ruangan RA2 (ruang penyakit dalam wanita) dan RA4 (ruang bedah neurologi).

Nilai Validitas (r) :


(45)

Menurut Arikunto (2010) salah satu uji reliabilitas internal untuk jenis kuisioner dichotomy dengan jumlah pertanyaan genap dan skor 1 – 0 adalah menggunakan KR-21. Hasil uji reliabilitas untuk kuisioner pengetahuan pengetahuan perawat tentang perawatan luka dengan metode moist wound healing adalah 0,72 dan dinyatakan reliabel.

7. Pengumpulan Data

Prosedur pengumpulan data yang digunakan adalah dengan mengisi kuesioner untuk mengukur pengetahuan perawat. Pengumpulan data dimulai setelah kuesioner penelitian diuji validitasnya oleh dosen Fakultas Keperawatan dan uji reliabilitas kepada responden yang telah ditetapkan sesuai kriteria. Kemudian setelah peneliti mendapatkan izin pelaksanaan penelitian dari Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara dan surat izin dari lokasi penelitian, yaitu RSUP H. Adam Malik Medan, peneliti bertemu dengan calon responden dan menjelaskan tentang maksud, tujuan dan prosedur penelitian serta menanyakan kesediaan calon responden. Calon responden yang bersedia, diminta untuk menandatangani informed concent (surat persetujuan).

Pengisian kuesioner dilakukan untuk mendapatkan data tingkat pengetahuan perawat tentang perawatan luka dengan metode moist wound healing. Responden dipersilahkan untuk mengisi kuesioner yang diajukan peneliti. Selama pengisian kuesioner, peneliti mendampingi responden dan responden diberi kesempatan untuk bertanya pada peneliti bila ada pernyataan yang tidak dimengerti. Setelah kuesioner selesai diisi oleh responden, peneliti


(46)

mengumpulkan kembali kuesioner dengan terlebih dahulu memeriksa kelengkapan jawaban.

8. Analisa Data

Setelah data terkumpul maka peneliti melakukan analisa data melalui beberapa tahapan, antara lain tahap pertama editing yaitu memeriksa kelengkapan identitas responden serta memastikan bahwa semua pertanyaan telah diisi sesuai petunjuk, tahap kedua Coding yaitu memberi kode atau angka tertentu pada kuisioner untuk mempermudah tabulasi dan analisa data, tahap ketiga processing yaitu memasukkan data dari kuisioner ke dalam program komputer dengan menggunakan sitem komputerisasi pengolah data, tahap ke empat cleaning yaitu memeriksa kembali data yang telah dimasukkan untuk mengetahui ada kesalahan atau tidak. Selanjutnya melakukan analisa data secara deskriptif statistik.

Pengolahan data demografi yang meliputi jenis kelamin, usia, tingkat pendidikan, mengikuti pelatihan, dan lama bekerja dipelayanan keperawatan dilakukan dengan mendeskripsikan distribusi frekuensi dan persentase dalam bentuk narasi dan tabel.

Pengolahan data pengetahuan perawat tentang perawatan luka dengan metode moist wound healing diidentifikasi dengan mendeskripsikan distribusi frekuensi dan persentase dalam bentuk narasi dan tabel. Sehingga untuk mengetahui pengetahuan perawat baik dan kurang baik, dapat dilihat dari persentasenya. Data yang telah diperoleh, ditabulasikan, diolah dan disajikan dalam bentuk statistik deskriptif, yaitu uji statistik univariat. Hasil ditampilkan dalam bentuk narasi, tabel distribusi frekuensi dan presentase.


(47)

BAB 5

HASIL DAN PEMBAHASAN

Bab ini membahas mengenai hasil penelitian dan pembahasan setelah dilakukan pengumpulan data mulai tanggal 07 Mei 2015 sampai 21 Juni 2015 di RSUP H. Adam Malik Medan.

1. Hasil Penelitian

Hasil penelitian dijabarkan mulai dari deskripsi karakteristik responden, dan deskripsi pengetahuan perawat tentang perawatan luka dengan metode moist wound healing di RSUP H. Adam Malik Medan. Penelitian ini telah dilaksanakan mulai bulan Mei 2015 sampai Juni 2015 kepada 60 perawat pelaksana di empat ruangan rawat inap RSUP H. Adam Malik Medan.

1.1. Karakteristik Responden

Deskripsi karakteristik responden mencakup jenis kelamin, usia, pendidikan, lama bekerja dalam pelayanan keperawatan dan keikutsertaan dalam pelatihan perawatan luka dengan metode moist wound healing atau perawatan luka modern.

Hasil penelitian dari 60 responden yang terkumpul, diperoleh bahwa mayoritas responden yaitu berjenis kelamin perempuan sebanyak 55 orang (91,7%), memiliki rentang usia dewasa awal 26-35 tahun 23 orang (38,3%), pendidikan terakhir D3 Keperawatan 41 orang (68,3%), lama bekerja dalam pelayanan keperawatan selama 1-10 tahun sebanyak 28 orang (46,7%) dan responden dalam penelitian ini rata-rata belum pernah mengikuti pelatihan


(48)

perawatan luka dengan metode moist wound healing yaitu sebanyak 51 orang (85%).

Tabel 5.1. Distribusi Frekuensi dan Persentase Data Demografi Responden di RSUP H. Adam Malik Medan (N=60)

Karakteristik Frekuensi (n) Persentase (%)

Jenis Kelamin - Laki-laki - Perempuan Usia

- 17-25 tahun - 26-35 tahun - 36-45 tahun - 46-55 tahun Tingkat Pendidikan

- D3 - S1

Lama Bekerja dalam Pelayanan Keperawatan

- 1-10 tahun - 11-20 tahun - > 21 tahun Keikutsertaan dalam Pelatihan Perawatan Luka dengan Metode Moist Wound Healing - Tidak Pernah - Pernah 5 55 5 23 19 13 41 19 28 26 6 51 9 8,3 91,7 8,3 38,3 31,7 21,7 68,3 31,7 46,7 43,3 10,0 85 15


(49)

1.2.Pengetahuan Perawat tentang Perawatan Luka dengan Metode Moist

Wound Healing di RSUP H. Adam Malik Medan

Hasil penelitian ini menunjukkan sebanyak 11 responden (18,3%) memiliki pengetahuan baik, sebanyak setengah dari total responden yaitu 30 responden (50%) memiliki pengetahuan cukup, dan 19 responden (31,7%) memiliki pengetahuan kurang tentang perawatan luka dengan metode moist wound healing di RSUP H. Adam Malik Medan. Hasil tersebut dapat dilihat pada Tabel 5.2.

Tabel 5.2. Distribusi Frekuensi dan Persentase Pengetahuan Perawat tentang Perawatan Luka dengan Metode Moist Wound Healing di RSUP H. Adam Malik Medan (N = 60)

Pengetahuan Perawat Frekuensi (n) Persentase (%)

- Baik 11 18,3

- Cukup 30 50

- Kurang 19 31,7

Hasil penelitian pengetahuan perawat tentang perawatan luka dengan metode moist wound healing menunjukkan sebanyak 52 orang responden (86,7%) telah mengetahui prinsip perawatan luka dengan metode moist wound healing. Dan sebanyak 44 orang responden (73,3%) tidak mengetahui tentang tiga prinsip utama manajemen perawatan luka lembab. Hasil tersebut dapat dilihat pada Tabel 5.3.


(50)

Tabel 5.3. Distribusi Frekuensi dan Persentase Hasil Identifikasi Pengetahuan Perawat tentang Perawatan Luka dengan Metode

Moist Wound Healing di RSUP H. Adam Malik Medan (N = 60)

No. Pernyataan

Benar Salah

F % F %

1. Prinsip moist wound healing 52 86,7 8 13,3

2. Manfaat perawatan luka lembab 35 58,3 25 41,7 3. Tujuan perawatan luka lembab tertutup 42 70 18 30 4. Tiga prinsip utama manajemen perawatan luka

lembab

16 26,7 44 73,3 5. Intervensi pertama untuk menentukan balutan luka 36 60 24 40

6. Teknik pencucian luka 48 80 12 20

7. Tipe cairan pencuci luka 47 78,3 13 21,7

8. Pengkajian luka 29 48,3 31 51,7

9. Defenisi autholisisdebridement 24 40 36 60

10. Pemilihan balutan tepat guna 30 50 30 50

11. Luka dengan eksudat banyak menggunakan balutan 42 70 18 30 12. Tujuan utama perawatan luka dengan warna dasar

merah

33 55 27 45 13. Tujuan utama perawatan luka dengan eksudatif 47 78,3 13 21,7 14. Tujuan utama perawatan luka dengan warna dasar

hitam

30 50 30 50 15. Tujuan utama perawatan luka akut post-operasi 48 80 12 20 16. Topikal terapi ideal untuk luka nekrotik hitam dan

kering

38 63,3 22 36,7 17. Topikal terapi ideal untuk luka dengan tepi luka

tebal, mengeras

25 41,7 35 58,3 18. Balutan ideal untuk luka dengan cairan eksudat 24 40 36 60 19. Indikator balutan luka harus segera diganti 44 73,3 16 26,7 20. Tull grass (supratule) digunakan untuk luka 51 85 9 15


(51)

2. Pembahasan

2.1 Pengetahuan perawat tentang perawatan luka dengan metode moist wound healing di RSUP H. Adam Malik Medan

Hasil penelitian menunjukkan sebanyak 11 responden (18,3%) memiliki pengetahuan baik, setengah dari total responden yaitu 30 responden (50%) memiliki pengetahuan cukup, dan 19 responden (31,7%) memiliki pengetahuan kurang tentang perawatan luka dengan metode moist wound healing di RSUP H. Adam Malik Medan. Hal ini dapat diasumsikan bahwa pengetahuan responden tentang perawatan luka dengan metode lembab tergolong masih rendah karena data menunjukkan mayoritas responden memiliki pengetahuan cukup dan kurang. Hasil ini tidak sejalan dengan penelitian Septiyanti (2014) bahwa lebih dari setengah total perawat (59,3%) yang bekerja di ruangan medical surgical RS Eka Hospital Pekanbaru telah mampu memahami teknik perawatan luka dengan metode moist wound healing dengan baik. Pengetahuan tinggi perawat di Rumah Sakit Eka Hospital ini didukung oleh adanya sosialisasi metode perawatan luka dengan metode moist wound healing pada tahun 2011.

Pengetahuan dipengaruhi oleh banyak faktor diantaranya pendidikan, pengalaman dan sumber informasi (Notoatmodjo, 2010). Lebih dari setengah total responden berpendidikan D3 Keperawatan yaitu sebanyak 41 orang (68,3%) dan Sarjana Keperawatan sebanyak 19 orang (31,7%). Pendidikan merupakan salah satu faktor penting yang dapat menambah pengetahuan seseorang, sehingga tingkat pendidikan mendukung pengetahuan baik yang dimiliki responden pada penelitian ini. Hal ini sesuai dengan pendapat Budiman (2013) bahwa semakin tinggi pendidikan seseorang diharapkan semakin luas pula pengetahuannya.


(52)

Namun bukan berarti seseorang dengan pendidikan rendah mutlak berpengetahuan rendah pula. Peningkatan pengetahuan tidak mutlak diperoleh pada pendidikan formal, akan tetapi juga dapat diperoleh pada pendidikan non-formal dan faktor pendukung lainnya.

Pada penelitian ini hampir setengah dari total responden memiliki pengalaman bekerja dalam pelayanan keperawatan 1-10 tahun yaitu 28 orang (46,7%). Pengalaman merupakan aspek terpenting dalam proses pembelajaran yang dapat berimplikasi positif menambah pengetahuan seseorang terhadap suatu hal (Potter & Perry, 2006). Sesuai penelitian yang dilakukan Islam (2010), pengalaman kerja 1-10 tahun dalam keperawatan memiliki tingkat pengetahuan yang jauh lebih baik dibandingkan dengan pengalaman kerja 21-30 tahun. Islam (2010) mengatakan perawat dengan tahun kerja lebih lama memiliki kesempatan lebih rendah meng-update ilmunya.

Pada penelitian ini sebanyak 51 orang (85%) responden belum pernah mengikuti pelatihan tentang perawatan luka dengan metode moist wound healing atau perawatan luka modern. Sumber informasi bisa didapatkan melalui pelatihan-pelatihan yang dilakukan. Pelatihan merupakan salah satu sumber informasi yang menjadi perantara dalam menyampaikan informasi, merangsang pikiran dan kemampuan, dan menambah pengetahuan (Notoatmodjo, 2010). Dari data yang diperoleh rata-rata responden sudah pernah mengikuti pelatihan selain pelatihan perawatan luka seperti pelatihan Bantuan Hidup Dasar (BHD), Pencegahan dan Penangan Infeksi (PPI), Keselamatan dan Kesehatan Kerja RS (K3RS) dan Interpretasi EKG. Pelatihan-pelatihan tersebut telah difasilitasi oleh rumah sakit.


(53)

Hasil penelitian menunjukkan setengah dari total responden, yaitu sebanyak 30 orang responden (50%) memiliki pengetahuan cukup tentang perawatan luka dengan metode moist wound healing di RSUP H. Adam Malik Medan. Sebanyak 52 orang (86,7%) sudah mengetahui bahwa prinsip moist wound healing adalah lembab dan tertutup. Maibach, Bashir dan McKibbon (2002) mengatakan metode perawatan luka lembab dengan balutan tertutup secara klinis memiliki keuntungan akan meningkatkan proliferasi dan migrasi dari sel-sel epitel disekitar lapisan air yang tipis, mengurangi resiko infeksi dan timbulnya jaringan parut.

Sebanyak 35 orang (58,3%) responden sudah mengetahui bahwa manfaat perawatan luka lembab adalah mempercepat proses penyembuhan luka sesuai fisiologis tubuh. Lingkungan yang lembab dapat mempercepat respon inflamasi, yang menjadikan proliferasi sel lebih cepat dan penyembuhan luka pada luka dermal yang lebih dalam. Prinsip penyembuhan luka lembab meniru fungsi dari epidermis. Tubuh kita sebagian besar terdiri dari air, dan lingkungan alam sel lembab (Bryant, 2007).

Sebanyak 42 orang (70%) responden sudah mengetahui bahwa perawatan luka lembab tertutup bertujuan untuk meningkatkan re-epitelisasi jaringan baru. Perawatan luka lembab tertutup mampu meningkatkan re-epitelisasi 30-50%, meningkatkan sintesa kolagen sebanyak 20-60%, dan rata-rata re-epitelisasi dengan kelembaban 2-6 kali lebih cepat dan epitelisasi terjadi 3 hari lebih awal dari pada luka yang dibiarkan kering terbuka (Maibach, Bashir & McKibbon, 2002).


(54)

Hasil penelitian menunjukkan hanya 16 orang (26,7%) responden yang mengetahui prinsip utama manajemen perawatan luka. Data yang diperoleh menunjukkan kebanyakan responden menyatakan bahwa prinsip manajemen perawatan luka lembab sama dengan intervensi perawatan luka. Bryant (2007) menyatakan prinsip dari manajemen luka tergabung dalam pendekatan holistik atau secara keseluruhan. Penerapan prinsip dari manajemen luka harus mampu mengidentifikasi dan menentukan semua kebutuhan fisiologis pasien terkait dengan proses penyembuhan luka yaitu mengatasi penyebab luka, meningkatkan imunitas tubuh, dan menjaga kondisi fisiologis lingkungan luka. Kegagalan dalam menentukan prinsip manajemen luka dapat membahayakan seperti proses penyembuhan luka yang terhambat, penurunan daya tahan tubuh, komplikasi dan inflamasi yang berulang kemungkinan dapat terjadi.

Sebanyak 36 orang (60%) responden sudah mengetahui bahwa intervensi pertama yang harus dilakukan adalah pengkajian luka lengkap setelah membuka balutan lama. Intervensi keperawatan merupakan semua tindakan yang dilakukan perawat atas nama klien untuk membantu klien meningkatkan derajat kesehatannya (Bulechek & McCloskey, 2004). Untuk dapat melakukan menentukan penggunaan balutan tepat guna sesuai dengan luka pasien, hal pertama yang harus dilakukan ialah pengkajian luka lengkap setelah membuka balutan lama. Pengkajian luka ditujukan pada pengumpulan data khusus karakteristik status luka dan sekitar luka (Ekaputra, 2013). White (2009) mengatakan pendekatan manajemen luka optimal berpusat pada pengkajian yang


(55)

komprehensif dari pasien dan luka.. Semua aspek perawatan dari keadaan awal hingga pengobatan dan evaluasi harus didokumentasikan dengan tepat.

Mayoritas responden memiliki pengetahuan yang baik tentang teknik pencucian yang tepat tanpa menyebabkan trauma. Sebanyak 48 orang (80%) responden sudah mengetahui bahwa showering/ mengirigasi merupakan teknik pencucian yang paling tepat. Beberapa teknik lainnya seperti swabbing/ menyeka dan scrubbing/ menggosok tidak lagi dianjurkan karena dapat menyebabkan perdarahan dan trauma berulang sehingga dapat meningkatkan inflamasi pada jaringan granulasi dan memperlama proses penyembuhan luka (Gitarja, 2008).

Mayoritas responden sudah mengetahui tentang tipe cairan pencuci luka yng tepat dan mendukung perawatan luka dengan metode moist wound healing. Sebanyak 47 orang (78,3%) perawat sudah mengetahui bahwa NaCl 0,9% merupakan tipe cairan pencuci yang baik. Menurut pedoman AHCPR (1994, dalam Potter & Perry, 2006) menyatakan bahwa cairan pembersih yang dianjurkan adalah normal salin (Sodium klorida). Sodium klorida atau Natrium klorida tersusun atas Na dan Cl yang memiliki komposisi sama seperti plasma darah, dengan demikian aman bagi tubuh (Morison, 2013).

Hasil penelitian ini menunjukkan hanya 29 orang (48,3%) perawat yang mengetahui prosedur pengkajian luka yang tepat. Kebanyakan perawat menyatakan pengkajian luka dilakukan sebelum luka dibersihkan. Jika pengkajian luka dilakukan sebelum luka dibersihkan, maka benda asing disekitaran luka akan menghambat penilaian derajat luka. Warna dasar luka akan terhalangi dengan benda asing di atas permukaan luka. Pengkajian luka harus dilakukan setelah luka


(56)

dibersihkan untuk dapat menentukan hasil pengkajian dan intervensi yang akurat (Morison, 2013).

Hasil penelitian menunjukkan hanya 24 orang (40%) responden yang mengetahui tentang autolisis debridement. Autolisis debridement merupakan proses peluruhan jaringan nekrotik yang dilakukan oleh tubuh sendiri dengan syarat lingkungan luka harus lembab (Maryunani, 2013). Penelitian yang dilakukan Mwipatayi (2004) pada 10 orang pasien luka kronik dengan jaringan nekrotik, dua diantaranya dilakukan proses autolisis debridement menggunakan balutan polyacrylate mengalami penurunan luas area luka dari 26,4 cm2 menjadi 21,4 cm2 dalam waktu 5 hari. Sedangkan delapan orang pasien lagi dirawat menggunakan balutan basah kering mengalami penurunan luas area luka dari 25 cm2 menjadi 23 cm2 dalam waktu 5 hari. Hal ini menunjukkan bahwa proses autolisis debridement lebih efektif dan sangat bermanfaat.

Sebanyak 30 orang (50%) perawat sudah mengetahui tentang pemilihan balutan tepat guna untuk mendukung metode perawatan luka lembab ialah balutan mampu mencegah infeksi, menampung eksudat, tertutup rapat, dan mempertahankan kelembaban. Arisanty (2012) mengatakan balutan occlusive ataupun semi-occlusive mampu menggantikan fungsi kulit yang hilang atau rusak, mempertahankan kelembaban, mengoptimalkan proses debris, mencegah trauma, mengefektifkan biaya, waktu, dan tenaga karena tidak perlu diganti setiap hari.

Sebanyak 42 orang (70%) perawat telah mengetahui bahwa luka eksudatif harus menggunakan balutan yang mampu mempertahankan kelembaban dan menampung eksudat luka secara maksimal. Schulitz et al (2005) mengatakan


(57)

substansi biokimia pada cairan luka kronik berbeda dengan luka akut. Produksi cairan eksudat pada luka kronik dapat menekan penyembuhan luka dan menyebabkan maserasi pada pinggir luka. Cairan eksudat pada luka kronik ini juga menghancurkan matrik protein ekstra seluler dan faktor-faktor pertumbuhan, menimbulkan inflamasi yang lama, menekan proliferasi sel dan membunuh matrik jaringan. Oleh karena itu, prinsip balutan yang tetap dapat mempertahankan kelembaban dan dapat menyerap cairan eksudat secara efektif sangat dibutuhkan untuk mempercepat proses penyembuhan luka.

Lebih dari setengah total responden sudah mengetahui tentang tujuan utama perawatan luka dengan beberapa karakterisktik luka yang berbeda-beda. Sebanyak 33 orang (55%) perawat sudah mengetahui bahwa tujuan perawatan luka dengan warna dasar merah, sedikit eksudat, dan terdapat banyak vaskular, ialah menjaga kelembaban luka dan proteksi mencegah perdarahan berulang. Sebanyak 47 orang (78,3%) perawat sudah mengetahui bahwa luka tujuan utama perawatan luka eksudatif berwarna dasar kuning dan sangat berbau ialah menghilangkan slough hingga terlihat warna dasar luka dan mengurangi bau luka. Sebanyak 30 orang (50%) perawat sudah mengetahui bahwa tujuan perawatan luka dengan warna dasar nekrotik hitam dan kering tanpa eksudat ialah meningkatkan kelembaban luka dengan autolisis debridement. Sebanyak 48 orang (80%) sudah mengetahui bahwa tujuan perawatan luka post operasi ialah untuk proteksi luka tersebut dan mencegah trauma pasca operasi. Menentukan tujuan perawatan berguna untuk menentukan intervensi dan manajemen perawatan luka yang tepat agar dapat mencapai tujuan tersebut (White, 2009).


(58)

Sebanyak 38 orang (63,3%) perawat sudah mengetahui bahwa topikal terapi yang tepat digunakan pada luka dengan jaringan nekrotik hitam dan kering adalah hydocolloid gel. Hanya 25 orang (41,7%) perawat yang mengetahui topikal terapi luka yang digunakan pada luka dengan tepi luka yang masih tebal, mengeras dan belum menyatu adalah hydrogel. Hanya 24 orang (40%) perawat yang mengetahui jenis balutan ideal pada luka dengan banyak cairan eksudat adalah balutan alginate. Kebanyakan perawat belum mengenal jenis-jenis balutan primer maupun sekunder yang sesuai dengan karakterisktik luka tertentu. Peneliti berasumsi bahwa ketidaktahuan perawat tersebut dikarenakan mayoritas perawat masih menggunakan jenis balutan yang sama untuk semua karakteristik luka yang berbeda. Biaya pembelian balutan occlusive modern lebih mahal dari balutan kasa konvensional, tetapi balutan modern dapat mengurangi frekuensi penggantian balutan dan meningkatkan kecepatan penyembuhan sehingga dapat menghemat biaya yang dibutuhkan (Schulitz et al., 2005). Sesuai dengan penelitian yang dilakukan Ohura, Hiromi dan Yoshio (2004) tentang efektifitas pengeluaran biaya pada perawatan luka dengan balutan tradisional dan balutan modern. Hasilnya, total biaya yang digunakan selama 12 minggu untuk perawatan luka dengan derajat II dan III menunjukkan hasil pengeluaran biaya yang berbeda. Rata-rata biaya yang dikeluarkan pada perawatan luka dengan balutan modern yaitu sebesar 87,715 yen yang lebih rendah dibandingkan perawatan luka dengan balutan tradisional yang menggunakan kasa yaitu sebesar 131,283 yen.

Sebanyak 44 orang (73,3%) perawat sudah mengetahui bahwa indikator balutan luka harus segera diganti ialah ketika balutan sudah kotor, tidak utuh lagi


(59)

dan eksudat sudah penuh. Pada perawatan luka dengan metode moist wound healing, balutan luka tidak perlu diganti setiap hari. Balutan luka dengan prinsip moist wound healing memiliki daya serap eksudat lebih tinggi, dapat mempertahankan kelembaban permukaan luka dan memperepat proses re-epitelisasi jaringan dan tidak menyebabkan maserasi disekitar luka, olehkarena itu penggantian balutan bisa dilakukan 3-5 hari bahkan lebih sesuai dengan balutan yang digunakan dan kondisi luka yang dirawat (Bryant, 2007). Metode perawatn luka lembab secara klinis akan meningkatkan proliferasi dan migrasi sel-sel epitel disekitar lapisan air tipis (Maibach, Bashir, McKibbon, 2002). Berkurangnya frekuensi penggantian balutan di rumah sakit akan mengurangi waktu perawat dalam merawat luka, dengan demikian perawat bisa mengerjakan pekerjaan lagi lebih efektif.

Sebanyak 51 responden sudah mengetahui bahwa tull grass (sofra-tulle) digunakan untuk luka akut, traumatis atau luka post operasi. Sofratulle merupakan balutan primer berbahan lilin parafin, lanolin dan mengandung framycetin sulfat. Framycetin adalah antibiotik golongan aminoglikosida yang sensitif terhadap bakteri seperti Staphylococus aureus, Escherischia coli, Klebsiella spesies dan sejenisnya. Sofratul digunakan pada luka ringan traumatis, bisul, luka bakar, dan luka lain yang secara klinis terinfeksi oleh organisme terbukti sensitif terhadap framycetin. Kontra indikasi penggunaan sufratul yaitu pada pasien dengan kondisi alergi lanolin, framycetin atau pada organisme yang resisten terhadap framycetin. Sofratulle sudah digunakan sejak lama di banyak rumah sakit pemerintah terutama


(60)

di negara-negara Asia (Thomas, 1997). Namun sofratulle tidak efektif digunakan pada luka kronis karena daya serap eksudat dari sofratulle yang rendah.

Hasil penelitian ini menunjukkan setengah dari total responden memiliki pengetahuan cukup tentang perawatan luka tertutup. Tingkat pengetahuan cukup masih perlu ditingkatkan lagi menjadi pengetahuan baik karena akan mendukung aplikasi tindakan yang baik pula.

Peneliti berasumsi bahwa dukungan dari rumah sakit sangat penting untuk meningkatkan pengetahuan perawat dengan memberikan kesempatan atau bahkan memfasilitasi perawat untuk mengadakan seminar dan pelatihan tentang perawatan luka. Dalam penelitian ini peneliti merasakan adanya keterbatasan penelitian yaitu peneliti tidak dapat menemukan instrumen baku dari peneliti-peneliti sebelumnya dan terbatasnya peneliti-penelitian Indonesia tentang perawatan luka dengan metode moist wound healing.


(1)

(2)

(3)

No

Aktivitas Penelitian September 2014 Oktober 2014 November 2014 Desember 2014 Januari 2015 Februari 2015 Maret 2015 April 2015 Mei 2015 Juni 2015 Juli 2015 Minggu Ke- 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4

1 Pengajuan judul penelitian

2 Menyusun Bab 1

3 Menyusun Bab 2

4 Menyusun Bab 3

5 Menyusun Bab 4

6 Menyerahkan proposal penelitian

7 Ujian sidang proposal

8 Revisi proposal penelitian

9 Uji validitas

10 Perizinan komisi etik

11 Uji reliabilitas

12 Pengumpulan data responden

13 Analisa data

14 Pengajuan sidang skripsi

15 Ujian sidang skripsi

16 Revisi skripsi


(4)

LAMPIRAN 16

Taksasi Dana Penelitian

No. Item Biaya

I. Biaya Penyusunan Proposal dan Skripsi

1. Buku referensi tinjauan pustaka Rp. 400.000,-

2. Kertas 6 rim Rp. 300.000,-

3. Paket internet Rp. 150.000,-

4. Tinta printer Rp. 200.000,-

5. Jilid proposal dan skripsi Rp. 80.000,-

6. Konsumsi sidang proposal Rp. 150.000,-

7. Konsumsi sidang skripsi Rp. 300.000,-

II. Biaya Pengumpulan Data

1. Transportasi penelitian Rp. 100.000,-

2. Perbanyak kuesioner Rp. 100.000,-

3. Souvenir responden 100 orang x Rp. 4.000 Rp. 400.000,- 4. Biaya pengambilan data di RS HAM Medan Rp. 263.000,-


(5)

Daftar Riwayat Hidup

Nama : T. Widya Naralia

Tempat tanggal lahir : Medan, 03 Agustus 1993 Jenis Kelamin : Perempuan

Agama : Islam

Riwayat Pendidikan :

No.

Tahun Nama Institusi

1. 1998-1999 TK Islam Arafah Medan

2. 1999-2005 SD Yayasan Pendidikan Al-Fithriah Medan 3. 2005-2008 SMP Swasta Primbana Medan

4. 2008-2011 SMA Negeri 13 Medan


(6)