Tabel 6 Curah hujan maksimum harian yang menunjukan tren α = 5 pada 12 stasiun curah
hujan pewakil DAS Bengawan Solo Stasiun
Semua era Sebelum reformasi
Setelah reformasi N NT T N NT T N NT T
Bluluk √
√ √
Gondangwinangun √
√ √
Jabung
√
√ √
Jatiblimbing √
√ √
Karangnongko √
√
√
Kebonharjo √
√ √
Mojosragen √
√ √
Purwantoro √
√ √
Soko √
√ √
Tawangmangu √
√
√
Tretes
√ √
√ Wonogiri
√ √
√ Keterangan : Naik N, Tidak ada tren NT, Turun T
Pada periode sebelum reformasi 1980- 1998 terdapat tren yang positif serta sig-
nifikan untuk stasiun curah hujan Jati- blimbing, Mojosragen, Tawangmangu dan
Tretes dan hanya stasiun curah hujan Karangnongko yang mengalami tren negatif
serta signifikan dengan selang kepercayaan 95. Setelah era reformasi stasiun curah
hujan Bluluk, Gondangwinangun, Jabung, Jatiblim-bing, Karangnongko, Kebonharjo,
Mojo-sragen, Purwantoro mengalami tren yang negatif serta signifikan, sedangkan sta-
siun curah hujan Soko, Tawangmangu, Tre- tes dan Wonogiri mengalami tren yang tidak
signifikan untuk periode 1998-2010, secara keseluruhan untuk prediktor curah hujan
ekstrim hampir semua stasiun curah hujan mengalami tren yang negatif dan signifikan
setelah era reformasi Lampiran 3.
d. Prediktor frekwensi hari hujan Periode 1980-2010 terdapat 7 dari 12
stasiun curah hujan yang menunjukkan tren yang negatif serta signifian yaitu stasiun
curah hujan Bluluk, Karangnongko, Kebon- harjo, Mojosragen, Purwantoro, Soko, Ta-
wangmangu, Tretes dan wonogiri, sedang- kan untuk stasiun curah hujan Gondang-
winangun, Jabung dan Jatiblimbing tidak mengalami tren yang positif maupun yang
negatif secara signifikan dengan selang kepercayaan 95. Pada era sebelum era re-
formasi stasiun curah hujan yang mengalami tren positif serta signifikan dengan selang
kepercayaan 95 adalah stasiun curah hujan Jatiblimbing sedangkan stasiun curah
hujan yang mengalami tren negatif serta signifikan adalah stasiun curah hujan
Karangnongko, Kebonharjo dan Soko. Ter- dapat 4 dari 12 Stasiun curah hujan pada era
setelah reformasi yang mengalami tren yang negatif secara signifikan selang kepercayaan
95 Lampiran 4. 4.4 Koefisien Limpasan
Koefisien limpasan di Daerah Aliran Sungai Bengawan Solo berkisar 0,4-0,81
Lampiran 5. Nilai koefisien limpasan ter- besar terjadi pada tahun 2005 dan koefisien
limpasan terkecil terjadi pada tahun 1981. Koefisien limpasan terus meningkat sejak
tahun tahun 2000-2006 hal ini dapat dilihat pada Gambar 5. Hubungan curah hujan,
debit dan koefisien limpasan setelah era reformasi 1998-2010 menunjukkan curah
hujan yang menurun berdampak terhadap debit yang meningkat karena daerah resapan
yang berkurang sehingga koefisien limpasan juga akan meningkat, hal ini juga memper-
kuat penelitian Susilowati 2006 mengenai hubungan perubahan tata guna lahan dan
koefisien limpasan yang positif.
Gambar 5 Tren Koefisien Limpasan DAS Bengawan Solo periode 1980-2006
V. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Analisis tren jangka panjang dari data curah hujan dan debit DAS Bengawan Solo
1980-2010 era sebelum dan setelah re- formasi menghasilkan:
1. Terdapat perubahan secara signifikan
pada penurunan curah hujan wilayah dan kenaikan debit. Semua prediktor
curah hujan yaitu curah hujan tahunan, curah hujan maksimum harian, dan
frekwensi hari hujan mengalami perubahan yang signifikan kecuali curah
hujan ekstrim yang tidak megalami perubahan secara signifikan.
2. Hampir seluruh 12 stasiun curah hujan
mengalami penurunan secara signifikan setelah era reformasi.
3. Nilai koefisien limpasan tidak meng-
alami perubahan yang signifikan se- belum ataupun setelah era reformasi.
5.2 Saran
Penentuan tren curah hujan maupun debit dibutuhkan kelengkapan data dan
parameter lain misalnya suhu serta faktor fisik yang mempengaruhi curah hujan dan
debit agar analisis tren yang dihasilkan lebih akurat.
DAFTAR PUSTAKA
Aldrian E, Djamil Y. S. 2008. Spatio- temporal Climatic Change of Rainfall
in East Java Indonesia. Int. J. Climatol.
28: 435-448. BMKG. 2011. Analisis Hujan Bulan Januari
2011 dan Prakiraan Hujan Bulan Maret, April, dan Mei 2011 Provinsi
DKI Jakarta. Terhubung berkala http:jakarta.litbang.deptan.go.id
[16 Juli 2012]
Burn DH, Elnur MAH. 2001. Detection Of Hydrologic Trends And Variability.
J Hydrol 255:107-122
Coulibaly P, Burn DH. 2004. Wavelet Analysis Of Variability In Annual
Canadian Streamflows. Water Resources Res
40 : 1-14 [DPU] Departemen Pekerjaan Umum. 2008.
Profil Balai besar Wilayah Sungai Bengawan Solo [terhubung berkala]
http:www.pu.go.id[ 1 April 2012]. Darghouth S, Ward C, Gambarelli G, Styger
E, Roux J. 2008. Watershed Mana- gement Approaches, Policies, and
Operations: Lessons For Scaling Up. Water Sector Board Discussion Paper
Series.
Endriyanto, Ihsan F. 2011. Teknik Peng- amatan Curah Hujan Di Stasiun
Klimatologi Kebon Percobaan Cukurgondang, Pasuruan. Bul Teknik
Pertan 16: 61-63.
Hamed KH. 1997. A Modified Mann- Kendall Trend Test For Auto-
correlated Data. J Hydrol 204: 182- 196.
Handayani YL, Hendri A, Suherly H. 2007. Pemilihan Metode Intensitas Hujan
Yang Sesuai Dengan Karakteristik Stasiun Pekanbaru. J. Teknik Sipil 8:
1-15.
Indriatmoko RH. 2010. Penerapan Prinsip Kebijakan Zero Delta Q Dalam
Pembangunan Wilayah. J Air Indonesia
6 3: 77-83. [Kemenhut] Kementrian Kehutanan. 2008.
Statistik Kehutanan 2008. Ter- 0.0
0.1 0.2
0.3 0.4
0.5 0.6
0.7 0.8
0.9
1980 1982 1984 1986 1988 1990 1992 1994 1996 1998 2000 2002 2004 2006 Koefisien Lim
p asan
[-]
hubung berkala www.dephut.go.id [12 juni 2012].
Kristijatno C. 2008. Analisis Pengendalian Dan Perbaikan Sungai Kritis Haekto
Benenain di Pulau Timor. Teknologi Sumber Daya Air
5 3: 45-58.
Lettenmaier DP, Wood EF, Wallis JR. 1993. Hydro-Climatological Trends in The
Continental United States, 1948- 1988. J. Climate 7: 586-607.
Mustopa. 2011. Pengertian Seputar Daerah Aliran Sungai. Terhubung berkala
www.bpdassolo.net [12 Juni 2012]. Nugroho PS. 2009. Perubahan Watak
Hidrologi Sungai-sungai Bagian Hulu di Jawa. J. Air Indonesia 5 2: 112-
118. Pawitan H, Haryani GS. 2011. Konsep
Pendidikan Pasca Sarjana Dan Ke- butuhan Ekohidrologi Di Indonesia.
Prosidin Simposium Nasional Ekohidrologi;
Jakarta, 24 Maret 2011. Hlm 45-60.
Potter R, Beimes F, Krause P. 2001. The Importance Of Watershed Mana-
gement In Protecting Ontario Drink- ing Water Supplies. Conservation
Ontario.
Rahayuningsih SK. 2008. Manfaatkan dan Selamatkan Air “Si Emas Biru,
permata Dunia”. Warta Oseanografi 22: 13-19.
Soekarno I, Rohmat D. 2005. Perbandingan Metoda Formulasi Intensitas Hujan
Untuk Kawasan Hulu Daerah Aliran Sungai. J Geografi 5: 1-9
Soekarno I, Rohmat D. 2006. Kajian Koe- fisiean Limpasan Hujan Cekungan
Kecil Berdasarkan Model Infiltrasi Empirik untuk DAS Bagian Hulu
Kasus pada Cekungan Kecil Cikumutuk DAS Cimanuk Hulu. J
Teknik Sipil
13 1: 23-32 Sosrodarsono S, Takeda K, editor. 2003.
Hidrologi Untuk Pengairan. Jakarta: Pradnya Paramita.
Susilowati. 2006. Analisis Perubahan Tata Guna Lahan dan Koefisien Limpasan
Terhadap Debit Drainase Perkotaan. Media Teknik Sipil
: 27-34 Sutadi G. 2008. Profil Wilayah: DAS
Bengawan Solo. Buletin Tata Ruang: Penataan Ruang dan Pemanasan
Global Edisi Januari-Februari 2008:8-18.
Taufik M. 2010. Analisis Tren Iklim dan Ketersediaan Air. J. Agromet 24 1:
42-49. Turgay P, Ercan K . 2006. Trend analysis
Turkish Precipitation Data. Hydrol Process
20: 2011-2026. Xu Y, Tirus R, Holness SD, Zhang J, Tonder
GJV. 2002. A hydrogeomorpho- logical Approach To Quantification
Of Groundwater Discharge To Streams In South Africa. J hydrol:
312-329.