Tren Debit Daerah Aliran Sungai Bengawan Solo

Tabel 3 Frekwensi hari hujan dan hujan ekstrim 12 stasiun curah hujan pewakil DAS Bengawan Solo Stasiun jumlah hari hujan Hujan Ekstrim Tretes 101 9 Jabung 77 12 Karangnongko 71 5 Jatiblimbing 101 9 Soko 83 11 Kebonharjo 75 6 Wonogiri 93 10 Mojosragen 110 7 Gondangwinangun 122 15 Tawangmangu 156 5 Purwantoro 109 9 Bluluk 76 7 Tabel 4 Prediktor curah hujan wilayah yang menunjukan tren α = 5 Prediktor Semua periode Sebelum era reformasi Setelah era reformasi N NT T N NT T N NT T R annWil √ √ √ R maxWil √ √ √ R wil50mm √ √ √ HH Wil √ √ √ keterangan : Naik N, Tidak ada tren NT, Turun T Hasil pengujian tren prediktor curah hujan yang dilakukan menunjukkan sebelum era reformasi curah hujan tahunan wilayah tidak mengalami tren naik ataupun tren turun secara signifikan sedangkan setelah era reformasi terjadi tren curah hujan tahunan wilayah yang positif serta sigifikan dengan nilai α = 5. Curah hujan maksimum harian wilayah sebelum era reformasi terjadi tren curah hujan maksimum wilayah yang positif serta signifikan, sedangkan setelah era reformasi sebaliknya tren curah hujan maksimum wilayah menunjukan tren negatif dan signifkan. Frekwensi hari hujan wilayah sebelum era reformasi tidak ada tren negatif atau positif yang signifikan, tetapi setelah era reformasi frekwensi hari hujan wilayah mengalami tren negatif serta signifikan, sedangkan untuk curah hujan ekstrim tidak menunjukkan tren yang positif ataupun negatif yang signifikan pada periode sebelum dan setelah terjadi penurunan luas hutan di DAS Bengawan Solo, sehingga secara keseluruhan prediktor curah hujan mengalami tren yang turun setelah era reformasi Tabel 4.

4.2 Tren Debit Daerah Aliran Sungai Bengawan Solo

Analisis debit DAS Bengawan Solo menggunakan uji Mann-Kendall dengan selang kepercayaan 95. Prediktor tren yang dianalisis terdiri dari tren debit tahunan, tren debit maksimum dan tren debit minimum. Pada periode 1980-2010 diper- oleh tren debit tahunan rata-rata yang men- unjukkan tren yang positif serta signifikan, artinya telah terjadi kenaikan debit di DAS Bengawan Solo selama selang waktu 31 tahun. Tren debit maksimum dan tren debit minimum selama periode 1980-2010 tidak menunjukan tren positif maupun tren negatif yang signifikan dengan selang kepercayaan 95. Periode sebelum era reformasi terjadi tren negatif dan signifikan untuk debit minimum dan pada era reformasi tren debit minimum tidak menunjukan tren yang positif maupun negatif yang signifikan. Debit tahunan rata-rata mengalami tren ya- ng positif tetapi tidak signifikan pada periode tahun 1980-1998, tetapi mengalami tren positif dan signifikan pada tahun 1998- 2010. Debit maksimum tidak menunjukan tren positif maupun negatif yang signifikan pada periode sebelum dan setelah era reformasi Gambar 4. Gambar 4 Tren debit minimum A, tren debit maksimum B dan tren debit tahunan rata-rata C sebelum 1 dan setelah 2 era reformasi 30 60 1980 1982 1984 1986 1988 1990 1992 1994 1996 1998 90 120 150 180 210 Debit m3s A 30 60 90 120 150 180 210 1998 2000 2002 2004 2006 2008 2010 de bit m3s 2 1 500 1000 1500 2000 2500 3000 3500 1980 1982 1984 1986 1988 1990 1992 1994 1996 1998 de bit m3s 500 1000 1500 2000 2500 3000 3500 1998 2000 2002 2004 2006 2008 2010 de bit m3s 2 150 300 450 600 750 900 1980 1982 1984 1986 1988 1990 1992 1994 1996 1998 de bit m 3s 1 150 300 450 600 750 900 1998 2000 2002 2004 2006 2008 2010 de bit m 3s 2 c B 1 C

4.3 Tren Curah Hujan Untuk 12 Stasiun Curah Hujan DAS Bengawan Solo

a. Prediktor curah hujan tahunan Periode tahun 1980-2010 setiap stasiun curah hujan menunjukkan tren yang berbeda-beda, untuk stasiun curah hujan Bluluk, Karangnongko, Mojosragen, Pur- wantoro, Soko, Tawangmangu, Tretes dan Wonogiri menunjukkan tren yang negatif dan signifikan, sedangkan untuk stasiun cur- ah hujan Gondangwinangun, Jatiblimbing, Jabung dan Kebonharjo tidak menunjukkan tren yang positif maupun tren yang negatif secara signifikan. Pada periode sebelum era reformasi 1980-1998 sebagian stasiun curah hujan tidak mengalami tren negatif sig- nifikan seperti Stasiun curah hujan Bluluk, Gondangwinangun, Kebonharjo, Purwan- toro, Soko, Tawangmangu, Tretes dan Wo- nogiri. Periode tahun 1998-2010 ke-12 sta- siun curah hujan mengalami tren yang negatif serta signifikan. Tabel 5. b. Prediktor curah hujan maksimum harian Periode sebelum era reformasi stasiun yang mengalami tren positif maupun tren negatif yang signifikan dengan selang ke- percayaan 95 yaitu stasiun curah hujan Mojosragen dan 1 stasiun curah hujan yang mengalami tren yang negatif serta signifikan yaitu stasiun curah hujan Karangnongko. Dari 12 stasiun curah hujan 8 stasiun meng- alami tren yang negatif secara signifikan se- telah era reformasi, sedangkan stasiun curah hujan yang tidak mengalami tren positif maupun negatif secara signifikan adalah sta- siun curah hujan Kebonharjo, Tawang- mangu, Tretes dan Wonogiri Tabel 6. Untuk periode 1980-2010 stasiun curah hujan yang menunjukkan tren yang negatif serta signifikan diantaranya stasiun curah hujan Bluluk, Jabung, Jatiblimbing, Karang- nongko, Soko, Tawangmangu dan Tretes. c. Prediktor curah hujan ekstrim Periode 1980-2010 stasiun curah hujan yang menunjukkan tidak ada tren yang positif maupun tren negatif yang signifikan terjadi pada 5 stasiun curah hujan yang di- amati pada yaitu stasiun curah hujan Gon- dangwinangun, Jatiblimbing, Kebonharjo, Soko dan Tretes, dan 7 stasiun lainnya yaitu Bluluk, Karangnongko, Mojosragen dan dan Tawangmangu mengalami tren yang negatif serta signifikan. Tabel 5 Curah hujan tahunan yang menunjukan tren α = 5 pada 12 stasiun curah hujan pewakil DAS Bengawan Solo Stasiun Semua era Sebelum reformasi Setelah reformasi N NT T N NT T N NT T Bluluk √ √ √ Gondangwinangun √ √ √ Jabung √ √ √ Jatiblimbing √ √ √ Karangnongko √ √ √ Kebonharjo √ √ √ Mojosragen √ √ √ Purwantoro √ √ √ Soko √ √ √ Tawangmangu √ √ √ Tretes √ √ √ Wonogiri √ √ √ Keterangan : Naik N, Tidak ada tren NT, Turun T Tabel 6 Curah hujan maksimum harian yang menunjukan tren α = 5 pada 12 stasiun curah hujan pewakil DAS Bengawan Solo Stasiun Semua era Sebelum reformasi Setelah reformasi N NT T N NT T N NT T Bluluk √ √ √ Gondangwinangun √ √ √ Jabung √ √ √ Jatiblimbing √ √ √ Karangnongko √ √ √ Kebonharjo √ √ √ Mojosragen √ √ √ Purwantoro √ √ √ Soko √ √ √ Tawangmangu √ √ √ Tretes √ √ √ Wonogiri √ √ √ Keterangan : Naik N, Tidak ada tren NT, Turun T Pada periode sebelum reformasi 1980- 1998 terdapat tren yang positif serta sig- nifikan untuk stasiun curah hujan Jati- blimbing, Mojosragen, Tawangmangu dan Tretes dan hanya stasiun curah hujan Karangnongko yang mengalami tren negatif serta signifikan dengan selang kepercayaan 95. Setelah era reformasi stasiun curah hujan Bluluk, Gondangwinangun, Jabung, Jatiblim-bing, Karangnongko, Kebonharjo, Mojo-sragen, Purwantoro mengalami tren yang negatif serta signifikan, sedangkan sta- siun curah hujan Soko, Tawangmangu, Tre- tes dan Wonogiri mengalami tren yang tidak signifikan untuk periode 1998-2010, secara keseluruhan untuk prediktor curah hujan ekstrim hampir semua stasiun curah hujan mengalami tren yang negatif dan signifikan setelah era reformasi Lampiran 3. d. Prediktor frekwensi hari hujan Periode 1980-2010 terdapat 7 dari 12 stasiun curah hujan yang menunjukkan tren yang negatif serta signifian yaitu stasiun curah hujan Bluluk, Karangnongko, Kebon- harjo, Mojosragen, Purwantoro, Soko, Ta- wangmangu, Tretes dan wonogiri, sedang- kan untuk stasiun curah hujan Gondang- winangun, Jabung dan Jatiblimbing tidak mengalami tren yang positif maupun yang negatif secara signifikan dengan selang kepercayaan 95. Pada era sebelum era re- formasi stasiun curah hujan yang mengalami tren positif serta signifikan dengan selang kepercayaan 95 adalah stasiun curah hujan Jatiblimbing sedangkan stasiun curah hujan yang mengalami tren negatif serta signifikan adalah stasiun curah hujan Karangnongko, Kebonharjo dan Soko. Ter- dapat 4 dari 12 Stasiun curah hujan pada era setelah reformasi yang mengalami tren yang negatif secara signifikan selang kepercayaan 95 Lampiran 4. 4.4 Koefisien Limpasan Koefisien limpasan di Daerah Aliran Sungai Bengawan Solo berkisar 0,4-0,81 Lampiran 5. Nilai koefisien limpasan ter- besar terjadi pada tahun 2005 dan koefisien limpasan terkecil terjadi pada tahun 1981. Koefisien limpasan terus meningkat sejak tahun tahun 2000-2006 hal ini dapat dilihat pada Gambar 5. Hubungan curah hujan, debit dan koefisien limpasan setelah era reformasi 1998-2010 menunjukkan curah hujan yang menurun berdampak terhadap debit yang meningkat karena daerah resapan yang berkurang sehingga koefisien limpasan juga akan meningkat, hal ini juga memper- kuat penelitian Susilowati 2006 mengenai hubungan perubahan tata guna lahan dan koefisien limpasan yang positif.