TINJAUAN PUSTAKA Alat Tangkap Pukat Cincin

2. TINJAUAN PUSTAKA Alat Tangkap Pukat Cincin

Pukat cincin atau dikenal juga dengan sebutan purse seine merupakan alat tangkap yang dioperasikan dengan cara melingkari gerombolan ikan permukaan pelagic fish. Pukat cincin berbentuk empat persegi panjang, dilengkapi tali kerut yang bercincin yang diikatkan pada bagian bawah jaring sehingga pada akhir pengoperasiannya akan membentuk kerut dan seperti mangkuk. Alat tangkap ini tergolong efektif terhadap target spesies dan memiliki kecenderungan tidak destruktif terhadap lingkungan perairan. Martasuganda 2004 menyatakan bahwa pukat cincin purse seine termasuk alat penangkapan ikan yang digolongkan dalam kelompok jaring lingkar surrounding nets yang pada umumnya jaring berbentuk empat persegi panjang, tanpa kantong dan digunakan untuk menangkap gerombolan ikan permukaan pelagic fish. Menurut Sadhori 1985, pukat cincin didefinisikan sebagai sejenis jaring lingkar yang aktif untuk menangkap ikan-ikan pelagis baik ikan pelagis kecil maupun ikan pelagis besar yang pada umumnya hidup membentuk kawanan dalam kelompok besar schooling. Brandt 1984 menyatakan alat tangkap pukat cincin juga digolongkan sebagai jaring lingkar dalam surrounding nets, karena dalam pengoperasiannya jaring akan membentuk pagar yang mengelilingi ikan yang akan ditangkap. Pukat cincin merupakan alat tangkap yang lebih efektif dalam menangkap ikan-ikan pelagis di sekitar permukaan air Brandt 1984. Pukat cincin dibuat dengan dinding jaring yang panjang, dengan panjang jaring bagian bawah sama atau lebih panjang dari bagian atas. Dengan bentuk konstruksi jaring seperti ini, tidak ada kantong yang berbentuk permanen pada jaring pukat cincin. Karakteristik jaring pukat cincin terletak pada cincin yang terdapat pada bagian bawah jaring. Menurut Sainsbury 1996 pengoperasian pukat cincin dilakukan dengan melingkari gerombolan ikan sehingga membentuk sebuah dinding besar yang selanjutnya jaring akan ditarik dari bagian bawah membentuk seperti kolam Gambar 2. Agar memudahkan pada proses penarikan jaring hingga membentuk kantong, alat tangkap ini dilengkapi dengan cincin sebagai tempat lewatnya “tali kolor” atau “tali pengerut” Subani Barus 1988. Adapun konstruksi pukat cincin menurut Subani Barus 1988 terdiri atas : 1. Bagian jaring, terdiri atas jaring sayap, jaring badan, dan jaring kantong. 2. Srampatan selvedge, dipasang pada bagian pinggiran jaring yang berfungsi untuk memperkuat jaring pada waktu dioperasikan terutama pada waktu penarikan jaring. 3. Tali-temali, terdiri atas tali pelampung, tali ris atas, tali ris bawah, tali pemberat, tali kolor dan tali selambar. 4. Pelampung, pelampung yang dipasang di bagian tengah lebih rapat dibandingkan dengan bagian pinggir. 5. Pemberat, dipasang pada tali pemberat 6. Cincin, digantungkan pada tali pemberat dengan seutas tali yang panjangnya 1 meter dengan jarak sekitar 3 meter setiap cincin. Setelah proses penarikan hauling berhasil dilakukan, selanjutnya hasil tangkapan dipindahkan ke kapal atau perahu dengan menggunakan alat bantu serok scoop net . Alat tangkap pukat cincin ada yang dioperasikan oleh satu kapal one boat purse seine dan ada yang dioperasikan dengan dua kapal two boat purse seine Diniah 2008. Gambar 2. Skema pengoperasian pukat cincin sumber : httpkapi.kkp.go.id Perkembangan pukat cincin di provinsi Kalimantan Barat pada mulanya merupakan akibat perluasan daerah penangkapan nelayan pukat cincin di Pekalongan. Alat tangkap pukat cincin ini mengalami perkembangan yang pesat setelah munculnya Keputusan Presiden No. 39 tahun 1980 tentang pelarangan trawl . Munculnya investasi kapal baru yang berukuran lebih dari 100 GT sekitar tahun 1982 - 1983 menyebabkan terjadinya perluasan daerah penangkapan hingga ke Laut Cina Selatan. Selain itu perkembangan pukat cincin dipicu juga oleh adanya penggunaan lampu untuk meningkatkan efektifitas penangkapan menggantikan peranan rumpon yang ditanam di laut pada tahun 1986 - 1987 Atmadja Sadhotomo 1995. Pada tahun yang sama mulai berkembang penggunaan pukat cincin di Pontianak dan pada tahun 1990 meluas ke Pemangkat Kabupaten Sambas. Kapal pukat cincin di Kalimantan Barat tersebar di beberapa tempat pendaratan ikan, namun sebagian besar berada di PPN Pemangkat. Sejak awal perkembangannya pukat cincin di PPN Pemangkat selalu mengalami peningkatan Kurniawati 2005. Faktor yang Mempengaruhi Produksi Hasil Tangkapan Pukat Cincin Sismadi 2006 menyatakan bahwa produksi adalah perubahan dari dua atau lebih input sumberdaya menjadi satu atau lebih output produk yang merupakan hasil akhir dari proses aktivitas ekonomi dengan memanfaatkan beberapa masukan atau input. Dengan pengertian ini dapat dipahami bahwa kegiatan produksi adalah mengkombinasikan berbagai input atau masukan untuk menghasilkan output. Doll Orazen dalam Soekartawi 2003 menggambarkan fungsi produksi sebagai hubungan antara input dan output sehingga menghasilkan produk tertentu, dengan kata lain fungsi produksi menggambarkan kombinasi penggunaan beberapa faktor produksi untuk menghasilkan sutu tingkat produksi tertentu. Fungsi produksi secara sederhana dapat digambarkan sebagai hubungan fisik atau hubungan teknis antara jumlah faktor produksi yang digunakan dengan jumlah produk yang dihasilkan per satuan waktu tanpa memperlihatkan biaya. Fungsi produksi adalah hubungan fisik antara variabel yang dijelaskan atau variabel tak bebas Y dan variabel yang menjelaskan atau variabel bebas X. Variabel yang menjelaskan biasanya berupa input, sedangkan variabel yang dijelaskan adalah jumlah produksi. Fungsi produksi adalah suatu hubungan matematis yang menggambarkan satu cara, dimana jumlah dan hasil produksi tertentu tergantung dari jumlah input yang digunakan Soekartawi 2003. Menurut Soekartawi 2003, bentuk dan model produksi yang sering digunakan dalam penelitian adalah model fungsi Cobb-Douglass dengan menggunakan data berdistribusi normal dan faktor produksi yang digunakan mewakili variabel- variabel yang mempengaruhi hasil produksi. Terdapat tiga alasan pokok fungsi Cobb-Douglass banyak dipakai peneliti, yaitu: 1 Penyelesaian fungsi Cobb-Douglass relatif lebih mudah dibanding fungsi yang lain; 2 Hasil pendugaan garis akan menghasilkan koefisien regresi yang sekaligus menunjukkan besaran elastisitas; dan 3 Besaran elastisitas tersebut sekaligus menunjukkan tingkat return to scale. Selain terdapat tiga kelebihan dari fungsi Cobb-Douglass tersebut, menurut Soekartawi 2003 terdapat beberapa hal yang menjadi kelemahan fungsi tersebut yang dicerminkan dari kesulitan-kesulitan dalam penggunaannya, antara- lain : 1 Spesifik variabel yang keliru; 2 Kesalahan pengukuran variabel; 3 Bias terhadap variabel manajemen; 4 Sulit dihindari adanya multikolinearitas; 5 Adanya kesulitan dalam memperoleh data yang benar-benar memenuhi syarat; dan 6 Kesulitan dalam mewujudkan asumsi, yaitu asumsi tidak ada perbedaan teknologi dalam pengamatan dan asumsi responden sebagai price takers. Karena pada penyelesaian fungsi Cobb-Douglass selalu dilogaritmakan dan diubah bentuk fungsinya menjadi fungsi linier, maka menurut Soekartawi 2003 terdapat beberapa persayaratan yang harus dipenuhi, yaitu : 1 Tidak ada nilai pengamatan yang bernilai nol, sebab logaritma dari nol adalah suatu bilangan yang besarnya tidak diketahui infinite; 2 Dalam fungsi produksi, perlu asumsi tidak ada perbedaan teknologi pada setiap pengamatan, artinya kalau fungsi Cobb-Douglass yang dipakai sebagai model dalam suatu pengamatan dan memerlukan lebih dari satu model maka perbedaan model tersebut terletak pada garis potong intercept dan bukan pada kemiringan garis slope model tersebut; 3 Tiap variabel X adalah perfect competition; dan Perbedaan lokasi pada fungsi produksi seperti iklim adalah sudah tercakup pada faktor kesalahan u. Menurut Ayodhyoa 1981, prinsip menangkap ikan dengan pukat cincin adalah melingkari suatu gerombolan ikan dengan jaring, setelah itu jaring pada bagian bawah dikerucutkan, dengan demikian ikan akan terkumpul pada bagian kantong, dengan kata lain memperkecil ruang lingkup gerak ikan, sehingga ikan tidak dapat melarikan diri dan akhirnya tertangkap. Sainsburry 1996 menyatakan bahwa penangkapan ikan dengan pukat cincin merupakan metode penangkapan yang paling agresif dan ditujukan untuk penangkapan gerombolan besar ikan pelagis. Alat tangkap ini dapat menangkap ikan pada segala macam ukuran baik mulai dari ikan kecil-kecil hingga ikan-ikan besar tergantung pada ukuran mata jaring yang digunakan. Alat tangkap yang melingkari kawanan ikan ini dalam pengoperasiannya akan dipengaruhi kemampuan skill nelayan dalam mencari kawanan ikan, tingkah laku spesies ikan yang dituju dan sifat-sifat teknologi alat tangkap. Sifat-sifat teknologi tersebut termasuk ukuran kapal, tenaga mesin, bahan bakar minyak, ukuran jaring, lama operasi dan jumlah tenaga kerja memegang peranan yang sama penting sehingga perlu adanya perhitungan kombinasi faktor- faktor tersebut agar diperoleh indeks daya tangkap yang sesuai Sudibyo 1998. Tenaga mesin yang merupakan motor penggerak kapal sangat berperan dalam penentuan kecepatan kapal. Pengoperasian mesin ini memerlukan bahan bakar minyak sebagai input utama dalam menggerakkan kapal. Jangkauan daerah penangkapan fishing ground dan lama pengoperasian pukat cincin dipengaruhi oleh jumlah bahan bakar minyak yang dibawa dan ukuran kapal yang digunakan. Panjang jaring diduga mempunyai hubungan erat dengan jumlah hasil tangkapan. Volume yang terbentuk oleh jaring akan dibatasi oleh panjang jaring yang digunakan Ayodhyoa 1981. Tenaga kerja termasuk salah satu faktor input yang sangat penting dalam keberhasilan operasi penangkapan, kemampuan skill tenaga kerja akan memberikan dampak positif pada keberhasilan operasi penangkapan Sudibyo 1998. Menurut Teken Asnawi 1981 yang diacu pada Sutopo 1984 bahwa kriteria produksi optimum adalah 1 syarat keharusan dimana hubungan fisik antara faktor produksi harus diketahui; 2 syarat kecukupan dimana produk marginal dari faktor produksi harus sama dengan satuan faktor produksi. Hasil penelitian Sugiarta 1992, optimasi produksi pukat cincin di Pengambengan Kabupaten Jembrana Bali memenuhi persamaan Y = -565.82 + 0.397X 1 + 1.886X 2 + 1.27X 3 + 1.31X 4 – 3.948X 5 + 0.225X 6 + 2.907X 7 ; dengan X 1 , X 2 , X 3 , X 4 , X 5 , X 6 , dan X 7 secara berturut-turut adalah ukuran kapal, panjang jaring, lebar jaring, tenaga mesin, anak buah kapal, bahan bakar minyak dan lamanya trip. Isnandar 1993 dalam penelitiannya menyatakan bahwa lamanya setting X 1 , lamanya hauling X 2 , ukuran kapal X 3 , panjang jaring X 4 dan anak buah kapal X 5 menjadi faktor-faktor teknis yang mempengaruhi hasil tangkapan pukat cincin di Palabuhanratu. Menurut Sudibyo 1998, ukuran kapal, bahan bakar minyak, panjang jaring, lamanya operasi, jumlah tenaga kerja, kombinasi tenaga mesin dan tenaga kerja, kombinasi bahan bakar dan lamanya operasi mempengaruhi jumlah hasil tangkapan pukat cincin di Pekalongan, Jawa Tengah. Nurdin et al. 2012 menyatakan bahwa hasil analisis regresi berganda faktor-faktor yang mempengaruhi hasil tangkapan pukat cincin di Watampone, Sulawesi Selatan diperoleh nilai koefisien determinasi R 2 sebesar 0.971. Hal ini menjelaskan bahwa hasil tangkapan pukat cincin di Watampone dipengaruhi oleh jumlah hari di laut, jumlah anak buah kapal ABK, bahan bakar, panjang jaring, dan panjang kapal sebesar 97.1, dan sisanya 2.9 dipengaruhi oleh faktor-faktor lainnya. Menurut Aprilia 2014, faktor produksi yang berpengaruh terhadap hasil tangkapan unit pukat cincin harian di Lampulo pada musim barat yaitu daya mesin kapal, tinggi jaring, awak kapal, jumlah lampu dan perbekalan. Konsep Efisiensi Teknis Penangkapan Ikan Kirkley Squires 1998 mendefinisikan kapasitas perikanan sebagai stok kapital maksimum yang ada dalam perikanan, yang dapat digunakan secara penuh pada kondisi efisien maksimum secara teknis, pada waktu dan kondisi pasar tertentu. Stok kapital tersebut dapat berupa kapital itu sendiri maupun sumberdaya manusia. Kapital merupakan fungsi dari spesifikasi kapal, alat tangkap, sedangkan sumberdaya manusia dapat berupa jumlah awak kapal dan kemampuan skill awak kapal. Keseluruhan kapital dan sumberdaya manusia itu merupakan manifestasi dari upaya effort yang biasanya diukur dari jumlah melaut trip atau jumlah hari melaut day fished. Dengan demikian konsep kapasitas perikanan ini dapat juga disebut sebagai tingkat upaya yang memungkinkan available fishing effort, kapasitas upaya, kapasitas tangkap, upaya potensial maksimum, dan kapasitas potensial perikanan Kirkley Squires, 1998. Salz 1994 mendefinisikan kapasitas perikanan sebagai jumlah yang dapat ditangkap oleh kapal tertentu atau alat tangkap tertentu setiap tahunnya. Menurut Lindebo 2003 bahwa dalam terminologi yang sederhana, kapasitas perikanan adalah kemampuan suatu kapal atau armada dalam melakukan penangkapan ikan. Kemampuan ini didasarkan pada : • banyaknya kapal nelayan dalam suatu armada • ukuran setiap kapal • efisiensi setiap kapal yang ditentukan oleh peralatan teknis yang tersedia dan kemampuan nelayan dalam penangkapan, dan • waktu yang dibutuhkan dibutuhkan dalam penangkapan ikan Kapasitas perikanan menurut Fish Agriculture Organization 1998 didefinisikan sebagai jumlah total maksimum ikan yang ditangkap pada suatu periode waktu tertentu tahun, musim oleh armada penangkapan ikan, jika seluruh unit penangkapan tersebut digunakan secara maksimal yang menghasilkan biomass dan struktur umur ikan dengan kemampuan teknologi. Reid et al. 2003 mendefinisikan bahwa secara umum kapasitas perikanan adalah kemampuan armada penangkapan atau kapal untuk menangkap ikan. Morrison 1993 menyatakan bahwa konsep kapasitas perikanan tangkap dapat didefinisikan dan diukur, baik dengan pendekatan ekonomi - teknologi maupun dinyatakan secara eksplisit dalam optimasi berdasarkan teori mikroekonomi. Dalam literatur perikanan, konsep kapasitas perikanan memiliki persepsi yang berbeda-beda, namun secara umum penggunaannya berkaitan dengan seberapa besar pemanfaatan sumberdaya perikanan dibandingkan dengan potensi sumberdaya ikan yang ada Kirkley Squires 1998. Dari perspektif ekonomi, kapasitas perikanan tangkap pada dasarnya merupakan fungsi dari input dan output. Kirkley Squires 1998 mendefinisikan kapasitas dari sudut pandang ekonomi dan teknologi sebagai jumlah maksimum yang dapat diproduksi oleh kapal setiap unit waktu dengan lahan dan peralatan yang ada, dengan keberadaan dari beberapa faktor produksi variabel tidak dibatasi. Lebih jauh Kirkley Squires 1998 menyatakan bahwa kapasitas perikanan dapat diukur, baik berdasarkan ketersediaan sumberdaya stok maupun tidak berdasarkan ketersediaan stok. Jika kapasitas diukur berdasarkan ketersediaan stok, kapasitas perikanan dapat diartikan sebagai potensi maksimum output yang datanya dihasilkan melalui tingkat sumberdaya yang ada. Sebaliknya, jika kapasitas perikanan yang diukur tidak berdasarkan ketersediaan stok dapat dijelaskan sebagai output potensial yang dapat dihasilkan, dengan ketersediaan sumberdaya tidak menjadi kendala. Memasukkan ketersediaan sumberdaya dalam pengukuran kapasitas perikanan dapat menentukan apakah ketersediaan stok akan membatasi produksi tangkap, namun khususnya bagi assesment perikanan di negara berkembang hal ini sulit dilakukan, mengingat data ketersediaan stok jarang ada Yustom 2009. Sehingga dari beberapa pendapat diatas dapat dirangkum bahwa efisiensi teknis penangkapan ikan adalah suatu model kapasitas penangkapan dalam rangka memperoleh hasil yang optimal dengan menggunakan upaya yang seefisien mungkin. Beberapa penelitian terkait efisiensi teknis penangkapan ikan telah dilakukan dengan menggunakan berbagai metode analisis data. Dengan menggunakan analisis Peak To Peak PTP, Budiarti Mahiswara 2012 menyatakan bahwa kondisi kapasitas berlebih overcapacity pada perikanan udang di perairan Balikpapan dan sekitarnya terjadi pada tahun 1992 hingga 2003, dan cenderung mengarah pada kondisi overfishing jika berlangsung secara terus- menerus. Pendugaan efisiensi teknis penangkapan pukat cincin di perairan Utara Jawa dengan program Data Envelopment Analysis DEA telah dilakukan oleh Hufiadi 2008. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa rata-rata tingkat pemanfaatan kapasitas penangkapan pukat cincin Pekalongan di beberapa daerah penangkapan pada setiap musim belum optimum. Sebagian besar kapal pukat cincin dalam pemanfaatan kapasitas penangkapannya telah melebihi nilai optimumnya. Kapasitas penangkapan pukat cincin Pekalongan dengan pendekatan input oriented secara relatif telah menunjukkan kapasitas berlebih, baik dalam jangka pendek excess capacity yang apabila dibiarkan dalam kondisi bertahun- tahun akan menyebabkan over capacity Efendi 2007. Penelitian Yustom 2009 tentang kapasitas pukat cincin di perairan Aceh Timur menunjukkan telah terjadi kapasitas berlebih pada penangkapan pukat cincin, dengan jumlah kapal pukat cincin optimal 61-78 unit. Di perairan sekitar Bangka, kapasitas unit penangkapan gillnet hanyut, pancing ulur dan payang per musim tidak optimal karena telah terjadi kapasitas berlebih, sedangkan kapasitas penangkapan pukat cincin mini telah optimal Hidayat 2009. Dengan berbagai penelitian di atas, kiranya perlu dilakukan pendugaan nilai efesiensi teknis pada kapasitas optimal suatu alat tangkap dalam menduga nilai produksi optimal alat tangkap tersebut. Produktivitas Perikanan Produktivitas perikanan tangkap adalah produktivitas kapalperahu penangkap ikan. Produktivitas kapal penangkap ikan merupakan tingkat kemampuan kapal penangkap ikan untuk memperoleh hasil tangkapan ikan. Produktivitas kapal penangkap ikan per tahun ditetapkan berdasarkan perhitungan jumlah hasil tangkapan ikan per kapal dalam satu tahun, dibagi besarnya jumlah kapal yang bersangkutan Saputra et al. 2011. Menurut Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan No. 60MEN2010, produktivitas kapal penangkap ikan merupakan tingkat kemampuan memperoleh hasil tangkapan ikan yang ditetapkan dengan mempertimbangkan: 1 ukuran tonnage kapal; 2 jenis bahan; 3 kekuatan mesin kapal; 4 jenis alat penangkap ikan yang digunakan; 5 jumlah trip operasi penangkapan per tahun; 6 kemampuan tangkap rata-rata per trip; dan 6 wilayah penangkapan ikan. Besar kecilnya produktivitas penangkapan tersebut akan menentukan tingkat kelayakan usaha. Di samping itu kelayakan usaha juga ditentukan oleh biaya produksi. Meningkatnya harga bahan bakar dapat menaikkan biaya produksi, hal ini akan menyebabkan menurunnya tingkat kelayakan usaha, sehingga tidak menutup kemungkinan akan menyebabkan terjadinya penurunan produktivitas. Nurdin et al. 2012 menyatakan bahwa produktivitas usaha pukat cincin nelayan Watampone, Sulawesi Selatan dari tahun 2005 hingga 2010 cenderung menurun, dengan nilai rata-rata produktivitas upaya penangkapan sebesar 4.45 tontripunit, produktivitas anak buah kapal 0.30 tonorangtrip, dan rata-rata produktivitas unit pukat cincin sebesar 103.35 tonunittahun. Hasil penelitian Suwarso et al. 2012 menyatakan bahwa terjadi kenaikan tren produktivitas pukat cincin di Mamuju dan Bone yang dinyatakan dalam Catch Per Unit Effort CPUE masih dapat mendukung kapasitas penangkapannya. Produktivitas per trip tertinggi pukat cincin di Lampulo, Aceh sebesar 1.86 tontrip pada tahun 2012 dan produktivitas per GT tertinggi terjadi pada tahun 2011 sebesar 9.97 tonGT Aprilia 2014. Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor : KEP 60MEN2010 tentang Produktivitas Kapal Penangkap Ikan, sebenarnya sudah menghadirkan dasar perhitungan kapasitas penangkapan ikan karena di dalamnya terdapat data estimasi produktivitas kapal yang dikaitkan dengan ketentuan mengenai perijinan dan pungutan perikanan yang diatur oleh pemerintah pusat kapal-kapal berukuran 30 GT atau lebih. Skenario penetapan Pungutan Hasil Perikanan PHP atau lebih umum dikenal sebagai pajak perikanan yang ditentukan oleh pemerintah dikenakan berdasarkan pada input produksi. Pajak tersebut dilakukan dalam kerangka mereduksi penggunaan input secara berlebihan seiring dengan rezim pengelolaan akses terbuka yang cenderung menimbulkan inefisiensi ekonomi Efendi 2007. Walaupun pengendalian sumberdaya perikanan dilakukan dengan menggunakan instrumen PHP bersifat netral, yang artinya mengandung pendekatan pengendalian input dan output sekaligus, tetapi instrumen tersebut seperti halnya pajak akan menyebabkan penurunan effort. Kebijakan pajak mampu mengurangi efek kapasitas berlebih dalam jangka pendek. Fauzi 2004 menyatakan bahwa sulit sekali menerapkan tingkat pajak terhadap input, karena komponen input perikanan terdiri dari berbagai komponen tenaga kerja, mesin, GT, jumlah trip, dan sebagainya. Sistem penentuan pajak perikanan di Indonesia dihitung berdasarkan produktivitas dan GT yang besarnya bervariasi tergantung jenis alat tangkap yang dioperasikan. Penerapan PHP pada perikanan pukat cincin di Indonesia sebesar 2,5 persen akan menyebabkan tambahan biaya operasi. Apabila pemerintah akan menaikkan besaran PHP maka akan menambah biaya per upaya yang pada gilirannya mengurangi profit yang diperoleh Efendi 2007. Ketidaktepatan perhitungan pajak yang didasarkan pada nilai input yang belum efisien tersebut jelas merupakan hal yang memberatkan nelayanpengusaha perikanan. Sehingga perlu dilakukan pendugaan nilai input yang efisien yang dapat memberikan hasil produksi optimal sebagai bahan pertimbangan pada penentuan pajak pungutan hasil perikanan.

3. METODOLOGI PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian